Kamis, 13 Maret 2025

The Bride #6

Alec menaiki punggung kuda jantannya dalam satu gerakan luwes. Kuda hitam yang besar itu mengangkat kaki belakangnya dengan gugup di samping Wildfire. Kuda Jamie sudah dalam kondisi kesal karena dipaksa berada di samping kuda jantan yang aromanya belum ia kenal, dan langsung berusaha mengangkat kaki depannya. Alec mengulurkan tangan, menyambar tali kekang Wildfire dari pengurus kuda yang tak acuh, dan memerintahkan kuda betina itu agar tenang.

Wildfire langsung patuh.

Beak mendengar Jamie menahan napas, melihat cara Jamie memandang prajurit Skotlandia itu, dan menyimpulkan bahwa Jamie sudah hendak pingsan. Beak meletakkan tangannya di bahu Jamie.

“Kumpulkan kembali akal sehatmu, Nak. Kau tidak akan merasa lebih baik kalau kau mempermalukan dirimu sendiri dengan pingsan.”

Bisikan Beak langsung mendapat perhatian. Jamie menegakkan badan dan menjauh dari si kepala istal. “Tidak akan ada yang pingsan,” gumamnya. “Kau menghinaku, mengira aku memiliki kelemahan seperti itu.”

Beak menyembunyikan senyumnya. Ia tidak perlu mendorong Jamie lagi. Kobaran semangat itu sudah kembali ke mata Jamie.

Dengan keanggunan bak keluarga kerajaan, Jamie mengangkat keliman gaunnya dan berjalan menghampiri kudanya. Beak membantunya duduk di punggung Wildfire, lalu mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk tangannya. “Nah, berjanjilah pada orang tua ini kalau kau akan akur dengan suamimu,” ujar Beak. “Itu salah satu dari sepuluh perintah Tuhan, kalau kau ingat,” tambahnya dengan kerlingan.

“Itu tidak termasuk dalam sepuluh perintah Tuhan,” sanggah Jamie.

“Di Skotlandia, itu termasuk.”

Alec yang menambahkan kalimat itu. Ia juga terdengar seolah bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Jamie melemparkan tatapan geram kepada Alec sebelum kembali menoleh ke Beak.

Beak tersenyum pada Alec. “Anda akan ingat pada janji Anda pada saya, kan, Laird Kincaid?”

Alec mengangguk. Ia melemparkan tali kekang Wildfire ke Jamie, menghentak kuda jantannya agar maju dan meninggalkan Jamie yang menatapnya.

Alec tidak berniat menunggunya, pikir Jamie. Jamie memegangi Waildfire dengan mantap, bertekad ingin melihat sejauh mana Alec akan berkuda sebelum berhenti untuk menunggunya. Ketika Alec menghilang di seberang jembatan tarik dan tak kelihatan lagi, Jamie menyimpulkan bahwa suami barunya itu tidak akan menunggunya sama sekali. Alec bahkan tidak melirik dari balik bahunya.

“Apa maksudmu ketika memintanya mengingat janjinya padamu?” tanya Jamie sementara mengamati jembatan tarik.

“Tidak perlu kau pikirkan,” jawab Beak segera.

Jamie menoleh kepada Beak. “Katakanlah, Beak,” perintahnya.

“Aku hanya mengobrol sedikit dengannya, Jamie, mengenai… keluguanmu.”

“Aku tidak mengerti.”

“Yah, pastinya akan ada malam pengantin, Nak. Karena akulah yang mengajarimu soal hubungan di antara laki-laki dan perempuan, kupikir aku harus memperingatkan suamimu…”

“Oh Tuhan, kau membicarakan hal itu?”

“Iya. Dia berjanji akan berhati-hati denganmu, Jamie. Dia akan berusaha untuk tidak terlalu menyakitimu saat pertama kali.”

Jamie tahu pipinya merah membara karena malu. “Aku tidak akan pernah membiarkannya menyentuhku, Beak, jadi sia-sia saja kau memintanya berjanji.”

“Jamie, jangan terlalu keras kepala. Aku mengkhawatirkanmu. Aku tidak cukup memberitahumu mengenai cara bercinta yang sebenarnya. Kujelaskan pada Kincaid bahwa kau tidak terlalu mengerti soal…”

“Aku tidak mau dengar soal ini lagi. Dia tidak akan menyentuhku, titik.”

Beak mengembuskan napas kencang. “Kalau begitu, kau akan terkejut, Gadisku. Caranya memandangmu menyiratkan kalau dia akan segera mendekatimu begitu ada kesempatan. Sebaiknya masukkan itu ke dalam otakmu yang keras kepala, Jamie. Lakukan saja apa yang dia perintahkan padamu, maka kau akan baik-baik saja.”

“Melakukan apa yang diperintahkannya?”

“Jangan bicara dengan nada tinggi padaku. Kau sebaiknya berangkat, Jamie,” desak Beak.

Jamie menggeleng. “Aku akan pergi sebentar lagi, Beak. Pertama-tama, kau harus berjanji dulu kalau kau akan menemuiku kalau ada masalah di sini.”

“Masalah? Masalah seperti apa?”

Jamie tidak bisa memandang mata Beak ketika membisikkan penjelasannya. “Tampaknya Papa menerima uang dari Andrew. Itu pinjaman, Beak, dan bukan mas kawin, tapi tetap saja aku khawatir. Aku tidak tahu bagaimana Papa bisa membayar Andrew kembali.”

Jamie memberanikan diri menengadah sebentar untuk menilai reaksi Beak. Seharusnya ia tidak perlu melakukannya. Pekikan marah Beak nyaris mendorong Jamie terjatuh dari kudanya. “Dia menjualmu pada Baron Andrew?”

“Tidak, tidak, kau salah paham,” ujar Jamie cepat-cepat. “Itu hanya pinjaman, Beak. Tidak ada waktu untuk memperdebatkan hal ini. Berjanji sajalah kepadaku bahwa kau akan menemuiku kalau Papa membutuhkan pertolongan.”

“Baiklah, Nak,” kata Beak. Desahan napasnya terdengar geram. “Aku berjanji padamu. Ada hal lain yang perlu kuketahui?”

“Aku berdoa semoga saja tidak ada.”

“Kalau begitu, pergilah. Kalau suamimu…”

“Satu hal terakhir, kemudian aku akan pergi.”

“Kau sengaja mengulur-ngulur waktu, ya? Kau ingin memancing amarahnya? Kalau begitu dia akan tahu yang sebenarnya tentang dirimu,” uajr Beak sambil menyeringai. “Padahal aku sudah bersusah payah berdusta padanya.”

“Dusta apa?”

“Aku memberitahunya bahwa kau gadis yang manis dan lembut.”

“Aku memang gadis yang manis dan lembut,” balas Jamie.

Beak mendengus. “Yang benar saja.”

“Kau bilang apa lagi padanya?” desak Jamie, curiga. “Sebaiknya kau memberitahuku semuanya, Beak.”

“Kubilang kau malu-malu.”

“Tidak!”

“Kubilang, kau lemah, biasa dimanja.”

“Tidak!”

“Dan kau senang melewatkan waktu dengan menjahit dan pergi ke gereja.”

Jamie mulai terbahak-bahak. “Kenapa kau mengatakan hal-hal seperti itu?”

“Karena aku ingin memberimu sedikit keuntungan,” jelas Beak. Kata-katanya agak tak keruan karena ia tergesa-gesa ingin segera menyelesaikan penjelasannya. “Aku juga tidak memberitahunya kalau kau bisa bahasa Gael.”

“Begitu pula denganku.”

Kedua sahabat itu saling menyeringai. Lalu, Jamie bertanya. “Kau tidak menyesal dengan semua ketrampilan yang telah kau ajarkan kepadaku, kan?”

“Tentu saja tidak,” jawab Beak. “Tapi, kalau suamimu menduga ka lemah, kurasa dia akan lebih waspada untuk memastikan keamanan dirimu, Nak. Dia akan lebih bersabar terhadapmu, begitulah yang kupikir.”

“Aku tidak peduli dengan pendapatnya mengenai aku,” tukas Jamie. “Tapi harga diriku terkoyak karena kau menggambarkan aku separah itu.”

“Kebanyakan wanita memang separah itu,” cetus Beak.

“Apakah kebanyakan wanita berburu untuk makan malam keluarga mereka? Apakah kebanyakan wanita menunggangi kuda mereka lebih baik daripada pria? Apakah kebanyakan…”

“Jangan marah padaku,” sela Beak. “Untuk sementara, sembunyikan saja bakatmu, Jamie. Dan jangan menyulut amarahnya dulu. Jangan menarik ekor anjing liar, kecuali kau ingin menghadapi akibatnya. Aku selalu bilang begitu, kan?”

“Kau tidak pernah bilang begitu.”

“Aku selalu berniat mengatakannya,” kilah Beak. Ia melirik jembatan tarik dengan cemas. “Pergilah sekarang, Jamie.”

“Sejak lama aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi ini, Beak, dan aku tidak mau disuruh bergegas.”

“Sana pergi,” desak Beak sambil setengah berteriak.

“Aku menyanyangimu. Aku tidak pernah mengatakannya, tapi aku menyayangimu dengan sepenuh hatiku. Kau telah menjadi ayah yang baik bagiku, Beak.”

Lelaki tua itu sontak menangis. Matanya penuh air mata dan suaranya tegang ketika berbisik, “Dan aku pun menyayangimu, Jamie. Kau telah menjadi anak perempuan yang baik bagiku. Aku selalu menganggapmu sebagai anakku sendiri.”

“Berjanjilah kau tidak akan pernah melupakan aku.”

Terdengar nada panik dalam suara Jamie. Beak meremas tangannya. “Aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Jamie mengangguk. Air mata mengalir di pipinya. Ia menyekanya, meluruskan bahu, lalu menyentak Wildfire agar berderap maju.

Beak berdiri di tengah-tengah halaman, mengamati Jamie pergi. Ia berdoa semoga Jamie tidak membalikkan badan. Ia tidak mau Jamie melihatnya dalam keadaan tak terkendali.

Beak terisak seperti pria yang kehilangan anak satu-satunya. Dalam hatinya ia tahu yang sebenarnya: ia tidak akan pernah melihat anaknya lagi.

***

 

Suasana hati Alec Kincaid sedang bagus. Ia terus tersenyum dan menahan kecepatan agar istrinya bisa menyusul. Ia ingin tertawa karena mempelai wanitanya yang naif itu kentara sekali berusaha memancing amarahnya. Jamie berlama-lama sebelum menyusulnya. Jamie tidak tahu kalau ia adalah pria yang sangat sabar, terutama untuk urusan yang tidak penting, seperti wanita. Ia merasa lucu memikirkan ada wanita yang berani menentangnya.

Begitu mendengar Jamie mendekat, Alec meningkatkan kecepatannya hingga kuda mereka melaju kencang. Jamie tetap di belakang Alec, dengan gagahnya mengabaikan debu yang menerpa wajahnya. Ia bertekad untuk menyamai kecepatan Alec yang melesat sangat cepat tanpa mengeluarkan satu pun kata protes. Jamie juga menunggu Alec melirik ke balik bahu sehingga suami berunya itu bisa melihat kelincahannya dalam berkuda. Ia juga akan memberi Alec ekspresi paling tenang, bahkan walau harus bersusah payah melakukannya.

Faktanya, Alec Kincaid tidak mau repot-repot menoleh ke belakang.

Namun, meski mahir, Jamie tidak terbiasa berkuda dengan pelana baru yang kaku. Ia lebih nyaman berkuda tanpa pelana.

Punggung dan pahanya lumayan pegal. Jalann utara yang berbatu dan tidak terawat menjadikan hentakan berkuda terasa semakin sakit. Semak belukar menghalangi jalanan dan Jamie harus menundukkan kepala di bawah dahan-dahan pohon yang rendah sementara terus mengendalikan kudanya. Jamie menyeringai satu kali ketika yakin Alec sedang tidak sadar kalau ia tepat berada di belakang pria itu, lalu mulai melakukan tawar menawar dengan Penciptanya bahwa ia akan menghadiri dua puluh misa berturut-turut tanpa melamun seandainya Dia bersedia sedikit saja melambatkan laju suaminya yang kejam.

Tapi tampaknya Tuhan sedang tidak ingin tawar-menawar. Jamie menyimpulkannya saat mereka berhasil menyusul Mary dan Daniel. Alec langsung memimpin, sama sekali tidak berhenti berpacu. Jamie tetap berada di belakang suaminya. Mary, tampaknya seletih sepatu bot tua, mengekor di belakangnya dan Daniel mengambil posisi paling belakang.

Jamie tahu mereka berkuda dengan kecepatan melelahkan seperti ini demi alasan keamanan. Ia pernah mendengar cerita tentang kelompok perampok yang “memangsa” para korban yang tidak waspada. Jamie menduga Alec berada di depan untuk melindungi para wanita dari serangan mendadak, sementara Daniel mengambil posisi paling belakang demi alasan yang sama. Kalau memang ada kawanan bandit yang berusaha merampok mereka berempat, kawanan itu harus menghadapi Alec atau Daniel lebih dulu.

Oh, Jamie sangat memahami semua alasannya, tapi tak lama kemudian ia mulai mengkhawatirkan Mary.

Mereka suddah berkuda selama dua jam penuh dan kakaknya itu akhirnya ambruk. Jamie sangat bangga pada Mary karerna Marey berhasil bertahan selama ini tanpa mengeluh. Mary bukan jenis orang yang terbiasa melalui penderitaan.

“Jamie? Aku ingin berhenti beberapa menit,” seru Mary.

Nay.” Daniel menyuarakan penolakannya.

Jamie tidak percaya dengan sikap Daniel yang tak berperasaan itu. Jamie berputar bertepatan saat Daniel memepertegas penolakannya dengan menggeleng.

Jamie kesal meloihat tatapan sedih di wajah Mary. Ia berbalik hendak meneriakkan perintah istirahatnya pada Alec, tapi pada saat itu ia mendengar jeritan melengking.

Ketika menoleh ke belakang lagi, ia melihat kuda Mary persis di belakangnya. Namun, Mary menghilang.

Semua orang berhenti, bahkan Alec Kincaid.

Daniel mendekati mempelai wanitanya sementara Jamie dan Alec turun dari kuda. Marry yang malang terkapar di tengah-tengah semak belukar berdaun lebar. Jamie turun dari kuda sementara dengan lembut Daniel menopang Mery berdiri.

“Apa kau terluka?” tanya Daniel dengan suara cemas.

Marry menepiskan rambut dari matanya sebelum menjawab. “Hanya sedikit, Milord,” jawabnya.

Ada beberapa lembar daun yang menempel di rambut Mary. Perlahan-lahan Daniel membersihkannya. Daniel memperlakukan Mary dengan lembut. Jamie memperhatikannya dan memutuskan kalau laki-laki itu memang memiliki beberapa sifat yang baik.

“Apa yang terjadi?” tanya Alec dari belakang Jamie.

Jamie terlonjak mendengar suara Alec, lalu membalikkan badan.

“Mary jatuh dari kuda.”

“Dia apa?”

“Dia jatuh dari kuda.”

Alec tampak seolah tidak percaya.

“Dia orang Inggris, Alec, atau apa kau sudah lupa?” seru Daniel.

“Apa hubungannya?” tanya Jamie. Ia memandang Alec dan kemudian Daniel, lalu sadar kalau mereka berdua berusaha menahan senyum.

“Lehernya bisa saja patah,” gumam Jamie

“Tapi, nyatanya tidak, kan?” kilah Alec.

“Tapi, bisa daja begitu,” sergah Jamie, kesal dengan sikap dingin Alec.

“Dia baik-baik saja sekarang,” kata Daniel, menarik perhatian Jmie kembali padanya. “Bukankah begitu, Mary?”

“Aku baik-baik saja,” sahut Mary, wajahnya bersemu merah karena merasa sudah menarik perhatian semua orang.

“Dia tidak baik-baik saja,” kata Jamie. Ia membalikkan badan menghadapi suaminya. Tanpa ia sadari, Alec mendekatinya dan ia hampir menabrak pria itu. Jamie segera melangkah mundur, tapi tetap harus menengadahka kepala agar bisa memandang mata Alec.

“Mary jatuh karena…” Suara Jamie menghilang. Ia baru saja melihat taburan warna emas di mata coklat tua Alec. Sangat menawan. Jamie mengalihkan pandangan ke dada Alec agar bisa mengingat kembali kata-katanya.

“Karena…?” tanya Alec.

“Mary terlalu letih untuk melanjutkan perjalanan, Milord. Dia harus istirahat. Dia tidak terbiasa berkuda sejauh ini.”

“Bagaimana denganmu, Orang Inggris? Apa kau terbiasa berkuda dalam jarak jauh?”

Jamie mengangkat bahu. “Bukan kebiasaanku yang penting sekarang. Kondisi Mary-lah yang penting. Kau pasti bisa lihat dia sangat letih. Beberapa menit istirahat tentu tidak akan berarti banyak bagimu.”

Saat itu Jamie melirik sekilas ke atas, melihat ekspresi Alec, dan bertanya-tanya apa yang telah ia ucapkan sampai membuat suaminya itu mengernyit sengit.

“Mary seorang gadis yang lembut,” jelas Jamie sambil menatap dada Alec.

“Dan kau tidak?”

“Tentu saja aku juga lembut,” Jamie terbata-bata. Alec sengaja memutarbalikkan kata-katanya. “Jahat sekali kau mengatakan yang sebaliknya.”

Jamie melirik wajah Alec lagi, bertepatan saat Alec tersenyum.

Jamie tiba-tiba menyadari bahwa Alec sebenarnya tidak menghina. Alec benar-benar tersenyum kepadanya, seulas senyum tulus dan lembut yang membuat perutnya terasa seperti dipelintir. Jamie dibanjiri rasa senang.

 Ia tidak tahu bagaimana menanggapinya.

“Apa kau selalu seserius ini, Istriku?”

Pertanyaan itu terdengar bagai belaian bagi Jamie, seolah Alec baru saja mengusapkan tangan ke hatinya.

Hanya Tuhan yang tahu mengapa ia mengalami reaksi yang tidak wajar terhadap laki-laki barbar ini. Ia pasti sudah seletih Mary. Pasti itu alasannya mengapa Alec Kincaid mulai tampak memikat baginya. Saat ini, Alec terlihat nyaris tampan, tapi tentu dalam cara yang primitif dan kasar. Sehelai rambut Alec terurai di dahi, membuat pria itu terkesan seperti berandalan. Sayang sekali memang, sekaligus mengkhawatirkan, sebab ia selalu menyukai berandalan riang yang berlidah manis.

Tanpa memikirkan konsekuensinya, Jamie mengulurkan tangan dan merapikan helaian rambut Alec yang berkeliaran. Ia tidak mau Alec tampak seperti ini; ia ingin Alec tampak kejam. Kemudian, jantungnya akan berhenti berdentam-dentam dengan keras di dadanya dan ia bisa bernapas normal kembali, bukankah begitu?

Alec tidak bergerak ketika Jamie menyentuhnya, tapi ia suka merasakan tangan Jamie di dahinya. Bantuan lembut Jamie mengejutkannya. Ia ingin Jamie menyentuhnya lagi. :Kenapa kau melakukan itu?” tanyanya dengan nada lembut.

“Rambutmu terlalu panjang,” jawab Jamie, tidak berani mengatakan yang sebenarnya.

“Tidak.”

“Kau harus memangkasnya.”

“Kenapa?”

“Aku tidak bisa memercayai laki-laki yang rambutnya nyaris sepanjang rambutku,” gumam Jamie.


Sinopsis

The Bride #5

The Bride #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar