Alec menaiki punggung kuda jantannya dalam satu gerakan luwes. Kuda hitam yang besar itu mengangkat kaki belakangnya dengan gugup di samping Wildfire. Kuda Jamie sudah dalam kondisi kesal karena dipaksa berada di samping kuda jantan yang aromanya belum ia kenal, dan langsung berusaha mengangkat kaki depannya. Alec mengulurkan tangan, menyambar tali kekang Wildfire dari pengurus kuda yang tak acuh, dan memerintahkan kuda betina itu agar tenang.
Wildfire
langsung patuh.
Beak
mendengar Jamie menahan napas, melihat cara Jamie memandang prajurit Skotlandia
itu, dan menyimpulkan bahwa Jamie sudah hendak pingsan. Beak meletakkan
tangannya di bahu Jamie.
“Kumpulkan
kembali akal sehatmu, Nak. Kau tidak akan merasa lebih baik kalau kau
mempermalukan dirimu sendiri dengan pingsan.”
Bisikan Beak
langsung mendapat perhatian. Jamie menegakkan badan dan menjauh dari si kepala
istal. “Tidak akan ada yang pingsan,” gumamnya. “Kau menghinaku, mengira aku
memiliki kelemahan seperti itu.”
Beak
menyembunyikan senyumnya. Ia tidak perlu mendorong Jamie lagi. Kobaran semangat
itu sudah kembali ke mata Jamie.
Dengan
keanggunan bak keluarga kerajaan, Jamie mengangkat keliman gaunnya dan berjalan
menghampiri kudanya. Beak membantunya duduk di punggung Wildfire, lalu mengulurkan
tangan untuk menepuk-nepuk tangannya. “Nah, berjanjilah pada orang tua ini
kalau kau akan akur dengan suamimu,” ujar Beak. “Itu salah satu dari sepuluh
perintah Tuhan, kalau kau ingat,” tambahnya dengan kerlingan.
“Itu tidak
termasuk dalam sepuluh perintah Tuhan,” sanggah Jamie.
“Di
Skotlandia, itu termasuk.”
Alec yang
menambahkan kalimat itu. Ia juga terdengar seolah bersungguh-sungguh dengan
kalimatnya. Jamie melemparkan tatapan geram kepada Alec sebelum kembali menoleh
ke Beak.
Beak
tersenyum pada Alec. “Anda akan ingat pada janji Anda pada saya, kan, Laird
Kincaid?”
Alec
mengangguk. Ia melemparkan tali kekang Wildfire ke Jamie, menghentak kuda
jantannya agar maju dan meninggalkan Jamie yang menatapnya.
Alec tidak
berniat menunggunya, pikir Jamie. Jamie memegangi Waildfire dengan mantap,
bertekad ingin melihat sejauh mana Alec akan berkuda sebelum berhenti untuk
menunggunya. Ketika Alec menghilang di seberang jembatan tarik dan tak
kelihatan lagi, Jamie menyimpulkan bahwa suami barunya itu tidak akan
menunggunya sama sekali. Alec bahkan tidak melirik dari balik bahunya.
“Apa
maksudmu ketika memintanya mengingat janjinya padamu?” tanya Jamie sementara
mengamati jembatan tarik.
“Tidak perlu
kau pikirkan,” jawab Beak segera.
Jamie
menoleh kepada Beak. “Katakanlah, Beak,” perintahnya.
“Aku hanya
mengobrol sedikit dengannya, Jamie, mengenai… keluguanmu.”
“Aku tidak
mengerti.”
“Yah,
pastinya akan ada malam pengantin, Nak. Karena akulah yang mengajarimu soal
hubungan di antara laki-laki dan perempuan, kupikir aku harus memperingatkan
suamimu…”
“Oh Tuhan,
kau membicarakan hal itu?”
“Iya. Dia
berjanji akan berhati-hati denganmu, Jamie. Dia akan berusaha untuk tidak
terlalu menyakitimu saat pertama kali.”
Jamie tahu
pipinya merah membara karena malu. “Aku tidak akan pernah membiarkannya
menyentuhku, Beak, jadi sia-sia saja kau memintanya berjanji.”
“Jamie,
jangan terlalu keras kepala. Aku mengkhawatirkanmu. Aku tidak cukup
memberitahumu mengenai cara bercinta yang sebenarnya. Kujelaskan pada Kincaid
bahwa kau tidak terlalu mengerti soal…”
“Aku tidak
mau dengar soal ini lagi. Dia tidak akan menyentuhku, titik.”
Beak
mengembuskan napas kencang. “Kalau begitu, kau akan terkejut, Gadisku. Caranya
memandangmu menyiratkan kalau dia akan segera mendekatimu begitu ada kesempatan.
Sebaiknya masukkan itu ke dalam otakmu yang keras kepala, Jamie. Lakukan saja
apa yang dia perintahkan padamu, maka kau akan baik-baik saja.”
“Melakukan
apa yang diperintahkannya?”
“Jangan
bicara dengan nada tinggi padaku. Kau sebaiknya berangkat, Jamie,” desak Beak.
Jamie
menggeleng. “Aku akan pergi sebentar lagi, Beak. Pertama-tama, kau harus
berjanji dulu kalau kau akan menemuiku kalau ada masalah di sini.”
“Masalah?
Masalah seperti apa?”
Jamie tidak
bisa memandang mata Beak ketika membisikkan penjelasannya. “Tampaknya Papa
menerima uang dari Andrew. Itu pinjaman, Beak, dan bukan mas kawin, tapi tetap
saja aku khawatir. Aku tidak tahu bagaimana Papa bisa membayar Andrew kembali.”
Jamie
memberanikan diri menengadah sebentar untuk menilai reaksi Beak. Seharusnya ia
tidak perlu melakukannya. Pekikan marah Beak nyaris mendorong Jamie terjatuh
dari kudanya. “Dia menjualmu pada Baron Andrew?”
“Tidak,
tidak, kau salah paham,” ujar Jamie cepat-cepat. “Itu hanya pinjaman, Beak.
Tidak ada waktu untuk memperdebatkan hal ini. Berjanji sajalah kepadaku bahwa
kau akan menemuiku kalau Papa membutuhkan pertolongan.”
“Baiklah,
Nak,” kata Beak. Desahan napasnya terdengar geram. “Aku berjanji padamu. Ada
hal lain yang perlu kuketahui?”
“Aku berdoa
semoga saja tidak ada.”
“Kalau
begitu, pergilah. Kalau suamimu…”
“Satu hal
terakhir, kemudian aku akan pergi.”
“Kau sengaja
mengulur-ngulur waktu, ya? Kau ingin memancing amarahnya? Kalau begitu dia akan
tahu yang sebenarnya tentang dirimu,” uajr Beak sambil menyeringai. “Padahal
aku sudah bersusah payah berdusta padanya.”
“Dusta apa?”
“Aku
memberitahunya bahwa kau gadis yang manis dan lembut.”
“Aku memang
gadis yang manis dan lembut,” balas Jamie.
Beak
mendengus. “Yang benar saja.”
“Kau bilang
apa lagi padanya?” desak Jamie, curiga. “Sebaiknya kau memberitahuku semuanya,
Beak.”
“Kubilang
kau malu-malu.”
“Tidak!”
“Kubilang,
kau lemah, biasa dimanja.”
“Tidak!”
“Dan kau
senang melewatkan waktu dengan menjahit dan pergi ke gereja.”
Jamie mulai
terbahak-bahak. “Kenapa kau mengatakan hal-hal seperti itu?”
“Karena aku
ingin memberimu sedikit keuntungan,” jelas Beak. Kata-katanya agak tak keruan
karena ia tergesa-gesa ingin segera menyelesaikan penjelasannya. “Aku juga
tidak memberitahunya kalau kau bisa bahasa Gael.”
“Begitu pula
denganku.”
Kedua
sahabat itu saling menyeringai. Lalu, Jamie bertanya. “Kau tidak menyesal
dengan semua ketrampilan yang telah kau ajarkan kepadaku, kan?”
“Tentu saja
tidak,” jawab Beak. “Tapi, kalau suamimu menduga ka lemah, kurasa dia akan lebih
waspada untuk memastikan keamanan dirimu, Nak. Dia akan lebih bersabar
terhadapmu, begitulah yang kupikir.”
“Aku tidak
peduli dengan pendapatnya mengenai aku,” tukas Jamie. “Tapi harga diriku
terkoyak karena kau menggambarkan aku separah itu.”
“Kebanyakan
wanita memang separah itu,” cetus Beak.
“Apakah
kebanyakan wanita berburu untuk makan malam keluarga mereka? Apakah kebanyakan
wanita menunggangi kuda mereka lebih baik daripada pria? Apakah kebanyakan…”
“Jangan
marah padaku,” sela Beak. “Untuk sementara, sembunyikan saja bakatmu, Jamie.
Dan jangan menyulut amarahnya dulu. Jangan menarik ekor anjing liar, kecuali
kau ingin menghadapi akibatnya. Aku selalu bilang begitu, kan?”
“Kau tidak
pernah bilang begitu.”
“Aku selalu
berniat mengatakannya,” kilah Beak. Ia melirik jembatan tarik dengan cemas.
“Pergilah sekarang, Jamie.”
“Sejak lama
aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi ini, Beak, dan aku tidak mau
disuruh bergegas.”
“Sana
pergi,” desak Beak sambil setengah berteriak.
“Aku
menyanyangimu. Aku tidak pernah mengatakannya, tapi aku menyayangimu dengan
sepenuh hatiku. Kau telah menjadi ayah yang baik bagiku, Beak.”
Lelaki tua
itu sontak menangis. Matanya penuh air mata dan suaranya tegang ketika
berbisik, “Dan aku pun menyayangimu, Jamie. Kau telah menjadi anak perempuan
yang baik bagiku. Aku selalu menganggapmu sebagai anakku sendiri.”
“Berjanjilah
kau tidak akan pernah melupakan aku.”
Terdengar
nada panik dalam suara Jamie. Beak meremas tangannya. “Aku tidak akan pernah
melupakanmu.”
Jamie
mengangguk. Air mata mengalir di pipinya. Ia menyekanya, meluruskan bahu, lalu
menyentak Wildfire agar berderap maju.
Beak berdiri
di tengah-tengah halaman, mengamati Jamie pergi. Ia berdoa semoga Jamie tidak
membalikkan badan. Ia tidak mau Jamie melihatnya dalam keadaan tak terkendali.
Beak terisak
seperti pria yang kehilangan anak satu-satunya. Dalam hatinya ia tahu yang
sebenarnya: ia tidak akan pernah melihat anaknya lagi.
***
Suasana hati
Alec Kincaid sedang bagus. Ia terus tersenyum dan menahan kecepatan agar
istrinya bisa menyusul. Ia ingin tertawa karena mempelai wanitanya yang naif
itu kentara sekali berusaha memancing amarahnya. Jamie berlama-lama sebelum
menyusulnya. Jamie tidak tahu kalau ia adalah pria yang sangat sabar, terutama
untuk urusan yang tidak penting, seperti wanita. Ia merasa lucu memikirkan ada
wanita yang berani menentangnya.
Begitu
mendengar Jamie mendekat, Alec meningkatkan kecepatannya hingga kuda mereka
melaju kencang. Jamie tetap di belakang Alec, dengan gagahnya mengabaikan debu
yang menerpa wajahnya. Ia bertekad untuk menyamai kecepatan Alec yang melesat
sangat cepat tanpa mengeluarkan satu pun kata protes. Jamie juga menunggu Alec
melirik ke balik bahu sehingga suami berunya itu bisa melihat kelincahannya dalam
berkuda. Ia juga akan memberi Alec ekspresi paling tenang, bahkan walau harus
bersusah payah melakukannya.
Faktanya,
Alec Kincaid tidak mau repot-repot menoleh ke belakang.
Namun, meski
mahir, Jamie tidak terbiasa berkuda dengan pelana baru yang kaku. Ia lebih
nyaman berkuda tanpa pelana.
Punggung dan
pahanya lumayan pegal. Jalann utara yang berbatu dan tidak terawat menjadikan
hentakan berkuda terasa semakin sakit. Semak belukar menghalangi jalanan dan
Jamie harus menundukkan kepala di bawah dahan-dahan pohon yang rendah sementara
terus mengendalikan kudanya. Jamie menyeringai satu kali ketika yakin Alec
sedang tidak sadar kalau ia tepat berada di belakang pria itu, lalu mulai
melakukan tawar menawar dengan Penciptanya bahwa ia akan menghadiri dua puluh misa
berturut-turut tanpa melamun seandainya Dia bersedia sedikit saja melambatkan
laju suaminya yang kejam.
Tapi
tampaknya Tuhan sedang tidak ingin tawar-menawar. Jamie menyimpulkannya saat
mereka berhasil menyusul Mary dan Daniel. Alec langsung memimpin, sama sekali
tidak berhenti berpacu. Jamie tetap berada di belakang suaminya. Mary,
tampaknya seletih sepatu bot tua, mengekor di belakangnya dan Daniel mengambil
posisi paling belakang.
Jamie tahu
mereka berkuda dengan kecepatan melelahkan seperti ini demi alasan keamanan. Ia
pernah mendengar cerita tentang kelompok perampok yang “memangsa” para korban
yang tidak waspada. Jamie menduga Alec berada di depan untuk melindungi para
wanita dari serangan mendadak, sementara Daniel mengambil posisi paling
belakang demi alasan yang sama. Kalau memang ada kawanan bandit yang berusaha
merampok mereka berempat, kawanan itu harus menghadapi Alec atau Daniel lebih
dulu.
Oh, Jamie
sangat memahami semua alasannya, tapi tak lama kemudian ia mulai
mengkhawatirkan Mary.
Mereka
suddah berkuda selama dua jam penuh dan kakaknya itu akhirnya ambruk. Jamie
sangat bangga pada Mary karerna Marey berhasil bertahan selama ini tanpa
mengeluh. Mary bukan jenis orang yang terbiasa melalui penderitaan.
“Jamie? Aku
ingin berhenti beberapa menit,” seru Mary.
“Nay.”
Daniel menyuarakan penolakannya.
Jamie tidak
percaya dengan sikap Daniel yang tak berperasaan itu. Jamie berputar bertepatan
saat Daniel memepertegas penolakannya dengan menggeleng.
Jamie kesal
meloihat tatapan sedih di wajah Mary. Ia berbalik hendak meneriakkan perintah
istirahatnya pada Alec, tapi pada saat itu ia mendengar jeritan melengking.
Ketika
menoleh ke belakang lagi, ia melihat kuda Mary persis di belakangnya. Namun,
Mary menghilang.
Semua orang
berhenti, bahkan Alec Kincaid.
Daniel mendekati
mempelai wanitanya sementara Jamie dan Alec turun dari kuda. Marry yang malang
terkapar di tengah-tengah semak belukar berdaun lebar. Jamie turun dari kuda
sementara dengan lembut Daniel menopang Mery berdiri.
“Apa kau
terluka?” tanya Daniel dengan suara cemas.
Marry
menepiskan rambut dari matanya sebelum menjawab. “Hanya sedikit, Milord,”
jawabnya.
Ada beberapa
lembar daun yang menempel di rambut Mary. Perlahan-lahan Daniel
membersihkannya. Daniel memperlakukan Mary dengan lembut. Jamie
memperhatikannya dan memutuskan kalau laki-laki itu memang memiliki beberapa
sifat yang baik.
“Apa yang
terjadi?” tanya Alec dari belakang Jamie.
Jamie terlonjak
mendengar suara Alec, lalu membalikkan badan.
“Mary jatuh dari
kuda.”
“Dia apa?”
“Dia jatuh
dari kuda.”
Alec tampak
seolah tidak percaya.
“Dia orang
Inggris, Alec, atau apa kau sudah lupa?” seru Daniel.
“Apa
hubungannya?” tanya Jamie. Ia memandang Alec dan kemudian Daniel, lalu sadar
kalau mereka berdua berusaha menahan senyum.
“Lehernya
bisa saja patah,” gumam Jamie
“Tapi,
nyatanya tidak, kan?” kilah Alec.
“Tapi, bisa
daja begitu,” sergah Jamie, kesal dengan sikap dingin Alec.
“Dia baik-baik
saja sekarang,” kata Daniel, menarik perhatian Jmie kembali padanya. “Bukankah
begitu, Mary?”
“Aku
baik-baik saja,” sahut Mary, wajahnya bersemu merah karena merasa sudah menarik
perhatian semua orang.
“Dia tidak
baik-baik saja,” kata Jamie. Ia membalikkan badan menghadapi suaminya. Tanpa ia
sadari, Alec mendekatinya dan ia hampir menabrak pria itu. Jamie segera
melangkah mundur, tapi tetap harus menengadahka kepala agar bisa memandang mata
Alec.
“Mary jatuh
karena…” Suara Jamie menghilang. Ia baru saja melihat taburan warna emas di
mata coklat tua Alec. Sangat menawan. Jamie mengalihkan pandangan ke dada Alec
agar bisa mengingat kembali kata-katanya.
“Karena…?”
tanya Alec.
“Mary
terlalu letih untuk melanjutkan perjalanan, Milord. Dia harus istirahat. Dia
tidak terbiasa berkuda sejauh ini.”
“Bagaimana
denganmu, Orang Inggris? Apa kau terbiasa berkuda dalam jarak jauh?”
Jamie
mengangkat bahu. “Bukan kebiasaanku yang penting sekarang. Kondisi Mary-lah
yang penting. Kau pasti bisa lihat dia sangat letih. Beberapa menit istirahat
tentu tidak akan berarti banyak bagimu.”
Saat itu
Jamie melirik sekilas ke atas, melihat ekspresi Alec, dan bertanya-tanya apa
yang telah ia ucapkan sampai membuat suaminya itu mengernyit sengit.
“Mary
seorang gadis yang lembut,” jelas Jamie sambil menatap dada Alec.
“Dan kau
tidak?”
“Tentu saja
aku juga lembut,” Jamie terbata-bata. Alec sengaja memutarbalikkan
kata-katanya. “Jahat sekali kau mengatakan yang sebaliknya.”
Jamie
melirik wajah Alec lagi, bertepatan saat Alec tersenyum.
Jamie
tiba-tiba menyadari bahwa Alec sebenarnya tidak menghina. Alec benar-benar
tersenyum kepadanya, seulas senyum tulus dan lembut yang membuat perutnya
terasa seperti dipelintir. Jamie dibanjiri rasa senang.
Ia tidak tahu bagaimana menanggapinya.
“Apa kau
selalu seserius ini, Istriku?”
Pertanyaan itu
terdengar bagai belaian bagi Jamie, seolah Alec baru saja mengusapkan tangan ke
hatinya.
Hanya Tuhan
yang tahu mengapa ia mengalami reaksi yang tidak wajar terhadap laki-laki
barbar ini. Ia pasti sudah seletih Mary. Pasti itu alasannya mengapa Alec
Kincaid mulai tampak memikat baginya. Saat ini, Alec terlihat nyaris tampan,
tapi tentu dalam cara yang primitif dan kasar. Sehelai rambut Alec terurai di dahi,
membuat pria itu terkesan seperti berandalan. Sayang sekali memang, sekaligus
mengkhawatirkan, sebab ia selalu menyukai berandalan riang yang berlidah manis.
Tanpa
memikirkan konsekuensinya, Jamie mengulurkan tangan dan merapikan helaian rambut
Alec yang berkeliaran. Ia tidak mau Alec tampak seperti ini; ia ingin Alec
tampak kejam. Kemudian, jantungnya akan berhenti berdentam-dentam dengan keras
di dadanya dan ia bisa bernapas normal kembali, bukankah begitu?
Alec tidak
bergerak ketika Jamie menyentuhnya, tapi ia suka merasakan tangan Jamie di
dahinya. Bantuan lembut Jamie mengejutkannya. Ia ingin Jamie menyentuhnya lagi.
:Kenapa kau melakukan itu?” tanyanya dengan nada lembut.
“Rambutmu
terlalu panjang,” jawab Jamie, tidak berani mengatakan yang sebenarnya.
“Tidak.”
“Kau harus
memangkasnya.”
“Kenapa?”
“Aku tidak
bisa memercayai laki-laki yang rambutnya nyaris sepanjang rambutku,” gumam
Jamie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar