Senin, 31 Maret 2025

Lucky Penny #11

Setelah sisa-sisa sarapan dibersihkan dan alas tidur mereka dilipat kembali, David mengambil kuda dan keledai mereka, yang telah ditinggalkannya di tempat yang rumputnya lebih bagus. Berdiri beberapa meter dari pria itu, Brianna pura-pura sedang menyaksikan Daphne yang sedang mengumpulkan bunga, tapi sebenarnya ia mengamati David yang sedang memasang pelana ke atas kedua kuda mereka. Ricker tidak memerlukan dirinya untuk melakukan tugas itu, jadi, kalau David Paxton memang memiliki rencana jahat, ia harus tahu bagaimana memasang pelana agar bisa membawa Daphne menjauh dari pria itu.

Brianna mengira telah berhasil memperlihatkan kalau ia tidak tertarik pada kegiatan David sampai pria itu menyeringai dari atas pelana ketika sudah hampir selesai dan menyentuh pinggiran topinya. “Kau sudah paham? Apa aku harus melepaskan pelananya dan memasangnya kembali?”

Semburat rasa malu menghiasi pipi Brianna. Apakah pria ini tidak pernah melewatkan apa pun?

“Dengan senang hati aku akan mengajarimu cara untuk memasang pelana kuda. Tidak perlu berdiri di sana dan pura-pura tidak sedang memperhatikan. Ini keahlian yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang di negeri ini.”

Untuk kedua kalinya pagi itu Brianna bertanya-tanya apakah pria ini sudah gila. David pasti tahu ia ingin sekali kabur, dan disinilah mereka sekarang, pria itu malah menawarkan untuk mengajarinya keahlian yang mungkin akan membuatnya berhasil mewujudkan niatnya. Tentu, David misa saja punya motif tersembunyi, pikir Brianna. Apakah David berencana untuk pergi bersama Daphne dan punya cukup hati untuk memastikan dirinya bisa kembali sendiri ke peradaban dengan selamat?

Brianna tidak mau mengambil risiko apa pun jika Daphne terlibat di dalamnya. Hari ini, David Paxton bahkan tidak akan bisa menggerakkan alis tanpa sepengetahuannya.

“Ayo,” kata David, ketika sudah jelas Brianna tidak akan menjawab. “Ayo berangkat. Perjalanan kita cukup jauh hari ini.”

Brianna melangkah ke sisi kuda itu, mengabaikan tangan David yang terulur. Ia mengangkat satu kakinya, mengarahkannya ke sanggurdi, namun hanya berhasil menyenggol perut kuda itu. Hewan itu memutar kepalanya dan memandang Brianna dengan agak kesal. Brianna mencoba lagi, namun tidak bisa mengankat kaki kanannya cukup tinggi untuk mencapai sanggurdi.

David menyaksikan Brianna melompat di samping kuda untuk mencoba lagi, lalu tersenyum miring. “Aku mau memberimu pijakan kalau kau mau.”

Aku yakin kau pasti mau. Brianna tidak yakin apakah tawaran David hanya alasan untuk menyentuhnya atau karena pria itu benar-benar ingin membantu. Ia tidak peduli. Intinya adalah ia harus belajar bagaimana caranya menaiki kuda tanpa bantuan orang lain. “Aku tidak apa-apa, terima kasih.”

Brianna berputar sehingga punggungnya menjauh dari tatapan David dan mencoba lagi. Ia sudah diajarkan untuk bersyukur atas berkat yang telah diberikan Tuhan kepadanya, tapi kali ini ia memohon kepada Tuhan agar berkat itu termasuk tambahan beberapa sentimeter untuk tinggi badannya. Kakinya menyerempet tepi sanggurdinya dan menusuk kudanya lagi. Hewan itu menghela napas dengan sabar. Daphne, yang sedari tadi memandangi buket bunga yang kotor, mengangkat wajahnya, dan memandangi Brianna dengan penasaran, namun tidak lama karena perhatiannya kembali pada bunga merah muda itu.

“Ini konyol,” kata David setelah Brianna melompat beberapa kali lagi. “Saat kita sampai di peternakanku, aku akan membuatkan pijakan untukmu, tapi untuk saat ini, kau harus puas dengan menggunakan batu atau tanganku. Aku tidak melihat ada batu, Shamrock, jadi pilihanmu hanya tanganku.” David menyatukan tangannya dan melangkah ke depan. “Ayulah. Banyak orang yang kakinya tidak cukup panjang untuk bisa naik tanpa bantuan. Kau tidak perlu malu.”

Brianna mengirimkan tatapan yang diharapkannya akan membuat wajah David panas. Seorang pria terhormat tidak pernah menyebut-nyebut bagian bawah tubuh seorang wanita atau menyebutkan nama bagian itu secara langsung.

Masih tetap menawarkan tangannya yang dijalin kepada Brianna, David berkata, “Jangan terlalu gengsi, Shamrock. Tuhan memberimu tubuh kecil, apanya yang salah? Secara keseluruhan kau lumayan. Lebih dari lumayan, sebenarnya.”

Brianna terkesiap. “Apa kau lahir dan dibesarkan di kandang, Sir?”

Dengan kening agak berkerut, David menegakkan badan dan menumpangkan tangannya di pinggulnya yang ramping. “Apa lagi yang kuucapkan kali ini?”

“Kau menyebut bagian bawah tubuhku, pantat, dan mengomentari diriku, memanggilku dengan nama yang kasar, dan kau masih bisa bertanya?”

David terkekeh dan menggelengkan kepala. Dengan cahaya matahari bermain-main di wajah David yang keras, Brianna harus mengakui kalau pria itu sangat tampan. “Jangan bilang kau salah satu wanita sok suci itu, yang berpendapat setiap piano seharusnya diberi rok supaya kaki mereka tidak terlihat.”

Brianna tidak melihat kelucuannya. “Punya tata krama bukan sok suci, Sir, dan menyebutkan tubuh wanita sungguh tidak sopan. Aku bukan pianao!”

David memandang Brianna dari atas ke bawah dalam cara yang membuat kulit Brianna terbakar. “Tentu saja bukan, Ma’am, aku bisa melihatnya. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Di tempat asalku, orang boleh-boleh saja menyadari bahwa wanita juga punya kaki, sama seperti pria, dan seorang lady merasa tersanjung ketika menerima pujian. Dan sekadar untuk diketahui, aku lahir di perkebunan yang indah di Virginia.”

“Benarkah?” Brianna melontarkan pertanyaan itu dengan nada ragu.

“Ya, benar,” jawab David. “Ayahku, Joseph Paxton Sr., adalah pria Selatan yang kaya. Selain bertani, dia juga mengembangbiakkan kuda-kuda yang hebat. Selama perang, dia hampir kehilangan segalanya. Dengan sisa uang yang dimilikinya, dia membeli tanah di luar No Name dan membawa kami pindah ke Barat. Sesampainya di sana, dia tahu kalau penjualan tanah itu hanya tipuan dan sertifikat miliknya tak ada harganya. Itu cerita yang panjang,  dan kita harus segera berangkat, jadi aku hanya akan mengatakan kalau dia berakhir tergantung di pohon ek besar di daerah itu, dihukum atas pembunuhan yang tidak dilakukannya, dan setelahnya, ibuku dan kakakku, Ace, yang membesarkan aku dan saudara-saudaraku. Mungkin menurutmu mereka gagal, tapi buatku mereka telah membesarkanku dengan baik.”

Cerita David terdengar masuk akal, renung Brianna. Banyak orang kaya dari Selatan yang kehilangan segalanya elama perang. Brianna merasakan sengatan rasa bersalah karena menghina David. Tidak semua orang dibesarkan di dalam biara seperti yang dialaminya. Mungkin David benar, dan ia agak sok suci. Hanya saja, hampir semua ucapan yang keluar dari mulut pria itu mengejutkannya. Apakah itu karena caranya dibesarkan, atau hanya karena ia tak tahan dengan David Paxton? Semua yang dikatakan atau dilakukan David membuatnya kesal atau cemas, atau keduanya.

Akhirnya, ia tak punya pilihan kecuali menerima tawaran David untuk membantunya naik kuda, dan ketika bokongnya menyentuh pelana, ia memekik, tak bisa menelan kembali suara itu. Bukan hal yang mengherankan, karena sekujur tubuhnya sudah sakit sejak ia bangun tadi dan ia hampir tak bida berjalan. Brianna merasakan memar dan perih di tempat-tempat yang, sampai baru-baru ini, bahkan tidak sadar dimilikinya.

“Pantatmu sakit, Darlin?”

Dengan mengerahkan semua kekuatannya, Brianna menegakkan badan dan memegang tali kekang. Darlin? Pria itu benar-benar berani.

“Ada obat gosok di tasku yang bisa mengatasi rasa sakit itu dengan cepat,” ujar David. “Kalau ada tempat yang tak bisa kau raih, dengan senang hati aku akan mengoleskannya untukmu.”

Sapi bersayap malaikat akan lebih dulu muncul di langit sebelum ia menerima tawaran tiu, pikir Brianna dengan kesal. “Aku baik-baik saja, Sir. Mari lanjutkan perjalanan kita.

***

 

Sekali lagi, Daphne berkuda bersama David dan hampir tak pernah berhenti mengoceh. Pagi itu cuacanya cerah, dan Brianna ingin sekali menyingkirkan jaketnya, tapi segera saja komentar David tentang bajunya yang tipis menggema di kepalanya, membuatnya memutuskan lebih baik kepanasan daripada menanggalkan jaketnya. David Paxton tidak akan mendapatkan pertunjukan gratis lagi darinya.

Berada di belakang Lucy, Brianna hanya bisa menangkap samar-samar percakapan antara Daphne dan David, tapi dilihat dari suara tawa Daphne, anak itu sangat menikmati percakapan mereka dan jatuh cinta setengah mati pada Papa-nya. Kegelisahan memuncak di dalam diri Brianna. Tidak akan ada hal baik yang muncul dari situasi ini. Kalau David Paxton memang benar-benar percaya kalau dirinya adalah ayah Daphne, suatu saat nanti ia pasti akan mengetahui kebenarannya cepat atau lambat, dan ketika daat itu tiba, David pasti akan meninggalkan Daphne, seperti yang akan dilakukan laki-laki waras mana pun. Daphne tidak akan pernah sembuh dari luka hati yang dirasakannya.

Setiap beberapa menit, David menghentikan kudanya untuk turun dan mengumpulkan tumbuh-tumbuhan. Setelah menjelaskan panjang lebar kepada Daphne nama dari setiap tanaman itu, dan bagaimana tanaman itu bisa dimasak, ia memasukkan temuannya ke dalam tas kanvas yang tergantung di tanduk pelananya. Brianna hanya menangkap beberapa kata dari percakapan mereka, yang membuatnya frustrasi. Apakah David tahu apa yang dikatakannya, atau hanya mengisi kepala Daphne dengan omong kosong yang bisa membuat anak itu tewas?

Lebih buruk lagi, hanya duduk di sana tanpa ada sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya kecuali berkilo-kilometer rumput yang menghampar ke segala arah, mata Brianna berulang kali tertarik ke tubuh ramping dan berotot David. Pria itu bergerak dengan anggun untuk tubuh sebesar itu, dengan mudah berjongkok dan berdiri lagi. Semua itu membuat Brianna tidak nyaman. Dengan tekad untuk tidak memandang David, Brianna mengaloihkan matanya ke rerumputan di sekitarnya.

Brianna mengira akan menemukan rel kereta api di dataran yang luas itu, tapi sampai sejauh ini, mereka tidak melihat rel sama sekali. Ia merasa itu aneh. Mereka sudah berkuda lumayan jauh, walau mungkin tak sejauh yang diindikasikan oleh punggungnya yang sakit, namun ia belum melihat tanda-tanda peradaban. Apakah David Paxton sengaja menghindari manusia? Ia curiga itulah yang dilakukan pria itu. David sudah menyatakan dengan jelas kalau pria itu tidak akan menggunakan transportasi umum sampai ia menerima situasi mereka.

Tapi bagaimana kalau David mempunyai alasan lain untuk menghindari manusia? Kecurigaan Brianna merongrongnya lagi. Pria itu membuatnya maju mundur seperti gergaji.

David dan Daphne akhirnya naik ke atas kuda, dan mereka melanjutkan perjalanan mereka lagi. Brianna bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana David tahu ke arah mana mereka harus pergi? Padang rumput itu terlihat sama untuknya. Ia memang tidak pernah punya insting yang kuat dalam menentukan arah. Ia tahu matahari terbit di timur dan terbenam di barat, tapi sekarang matahari sudah hampir di atas kepala mereka, yang tidak membeitahunya apa-apa. Dan ia sama sekali tidak tahu bagaimana menemukan jalannya setelah matahari terbenam. Ketika masih kecil, ia mempelajari konstelasi dan bagaimana cara menggunakan Bintang Utara untuk menuntunnya, tapi sudah lama sekali lupa cara menemukan bintang itu di langit. Pengetahuan seperti itu tidak penting di panti asuhan. Para suster baik hati yang membesarkannya tidak pernah meninggalkan biara karena mereka terikat pada peraturan. Sebagai hasilnya, Brianna menghabiskan sebagian besar hidupnya di balik dinding biara, hanya bisa keluar ketika ditemani oleh para wanita jemaat gereja yang mengajukan diri dengan sukarela untuk mengatur kunjungan bagi anak-anak di sana. Brianna dulu menikmati saat-saat singkatnya di dunia luar, tapi kesempatan itu sangat jarang, dan para wanita yang mengendarai kereta kuda terbuka itu tidak tersesat karena mereka dibantu oleh petunjuk jalan.

Di padang rumput tidak ada petunjuk jalan. Dengan takut, ia harus menerima kalau ia sama sekali tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Apakah Glory Ridge di belakang atau di sebelah kirinya? Ia hampir yakin kalau kota itu berada di sisi lain sungai ini, tapi ia tidak pasti. Ia lelah sekali selama perjalanan kemarin malam sehingga David mungkin telah menyeberangi sungai itu tanpa disadarinya. Rasanya mengerikan memutar kepalanya ke segala arah tanpa tahu tujuannya kalau ia memutuskan untuk kabur.

Ketika matahari sudah tinggi di atas kepala mereka, David berhenti di dekat sungai untuk makan siang. Brianna hampir jatuh bertekuk lutut ketika meluncur turun dari kuda. David melepaskan pelana kedua kudanya dan membebaskan Lucy dari barang bawaannya. Lalu, ia melibatkan Daphne dalam mengumpulkan rumput yang akan digunakan untuk menggosok badan hewan-hewan itu, yang membuat Brianna tidak suka. Brianna tahu bahwa satu saja tendangan dari binatang kuat itu sanggup melukai Daphne, atau bahkan membunuh anak itu. Ia terpincang-pincang – ya, terpincang-pincang, karena seluruh bagian bawah tubuhnya terbakar oleh rasa sakit akibat berkuda terlalu lama – melewati kuda itu untuk menyuarakan keberatannya.

“Aku tidak mau anakku dekat-dekat dengan makhluk yang tak bisa ditebak itu, Mr. Paxton!”

Daphne menggosok punggung Lucy, setinggi yang bisa diraihnya. “Tapi, Mama, mereka manis. Lihat sini. Papa mengajariku cara agar tetap aman di dekat mereka.”

Papa. Kalau ia mendengar anaknya menyebutkan panggilan itu sekali lagi, ia akan menjambak rambutnya sendiri dan menjerit, gerutu Brianna dalam hati. “Sebaik apa pun mereka kelihatannya, Daphne, masing-masing hewan itu beratnya lima ratus kilo, bahkan bisa lebih. Salah satu langkah saja, bahkan karena tidak sengaja, kakimu bisa terluka.” Brianna memandang sandal kulit Daphne, yang tidak terlalu berguna untuk melindungi kakinya. Sandal itu juga sudah rusak. Daphne membutuhkan sepatu bot yang tebal dan kokoh – lebih baik lagi yang diperkuat dengan logam di bagian jarinya. Brianna berharap kemarin malam ia ingat untuk mengganti sandal yang cantik itu dengan sepatu permainan yang lebih kuat.

David berhenti menyikat bulu Blue. Setelah selama sedetik matanya bertemu dengan tatapan Brianna yang tegang, ia berkata, “Kau dengar Mama-mu, Daphne. Kalau dia tidak mau kau berurusan dengan kuda-kuda itu, kata-katanya adalah hukum. Mungkin seiring dengan berjalannya waktu, dia akan sedikit lebih santai dan mencabut peraturannya.”

Brianna memandang David dengan kaget. Pria itu, yang selalu memegang kendali, sekarang melepaskannya. Mata mereka bertemu dan Brianna bisa melihat kilatan geli di mata David. Apakah ia pernah melihat mata sebiru itu? Ya, Daphne memiliki mata David – yang sebiru langit musin panas. Perbandingan tersebut membuat Brianna terdiam. Daphne tidak memiliki mata pria itu. Apa yang dipikirkannya?

David mengubah persiapan makan siangnya menjadi sebuah tugas yang menyenangkan. Daphne bergabung dengannya di sungai untuk mencuci temuan mereka dari perjalanan sepanjang pagi tadi. David menyebut pencarian mereka sebagai “perjalanan ke toko Tuhan,” yang membuat Daphne senang. Daphne memercayai setiap kata tentang makanan menakjubkan yang telah disediakan sang Pencipta untuk mereka.

“Ketika melakukan perjalanan seperti ini, aku jarang membawa banyak barang,” kata David kepada Daphne ketika mereka berjongkok di dekat api. “Aku membawa beberapa bahan makanan supaya aku bisa membuat roti tawar, roti jagung, atau pancake. Sedikit garam, gula, dan bacon juga bisa sangat membantu. Tapi, aku tidak seperti kebanyakan orang yang kau temui, yan g membawa telur di dalam tas-tas yang dipenuhi serbuk kayu yang membebani keledai mereka yang malang dengan beragam makanan kaleng. Kalau tiba-tiba ingin makan telur, aku pergi untuk mencarinya kalau musimnya tepat. Kalau tidak dapat, ya tidak apa-apa. Sedangkan untuk makanan kaleng, aku tidak menyukainya. Dunia di sekitar kita dipenuhi dengan bahan-bahan untuk membuat salad, sup dan setup kalau kau tahu bagaimana menemukannya.”

“Dan aku sedang mempelajari hal itu. Benar kan, Papa?”

Brianna memutar badannya, mengernyit akibat rasa sakit yang menyebar dari pinggul ke ujung jari kakinya. Ketika ia berjalan, mencari potongan kayu dan kotoran sapi kering yang menjijikan itu untuk menghidupkan apinya sendiri, ia hampir saja mengerang. Bokongnya terasa seperti baru saja dipantul-pantulkan berulang kali di atas sebuah batu besar. Paha dalamnya panas. Gerakan sekecil apa pun membuat otot-otot kakinya berteriak marah.

Ketika Brianna kembali dengan kotoran sapi di roknya, david meninggalkan apinya untuk berjalan ke arah Brianna dengan gerakan pinggul yang malas dan kaki panjang yang membuat Brianna tidak tenang. Tidakkah David pernah merasakan perih akibat berkuda seperti yang dideritanya sekarang? Segala sesuatu yang ada pada pria itu terlihat sangat maskulin.

“Tahan dulu,” ujar David. “Tidak ada gunanya menyalakan api hanya untuk ditiup angin dan mati lagi.”

Brianna memperhatikan kalau David memegang sebuah sekop pendek. David menumpukan badannya ke satu lutut, menunjukkan otot-otot yang berkontraksi di bahu dang punggungnya kepada Brianna ketika ia mulai menggali sebuah lubang. Tubuh David seperti sebuah pasak pemotong kayu, lebar di dada dan ramping di pinggang.

“Di wilayah ini, di mana tidak ada penahan angin,” jelas David. “kau harus melindungi apimu dengan tanah. Selama kau bersikeras untuk memasak makananmu sendiri, aku akan menggali sebuah lubang untukmu.”

Ketika pekerjaannya selesai, David berjongkok dengan menopangkan berat badannya ke satu kakinya, dan menghadiahi Brianna seulas senyuman seperti yang diberikannya terhadap Abigail ketika memperdayai wanita itu.

“Tapi, kuharap kau segera memercayaiku dan mau memakan makananku. Kalau ada wanita yang perlu untuk digemukkan, itu adalah kau. Kalau ada angin kencang bertiup, angin itu bisa menerbangkanmu.”

Brianna sudah sering membayangkan hal yang sama tentang Abigail, dan untuk saat-saat yang nyaman itu, ia bertanya-tanya apakah David berpikir ia terlihat seperti sapu. Kemudian Brianna mengingatkan dirinya sendiri kalau ia tidak peduli apa yang dipikirkan David. Bisa saja David seorang fiddle, istilah para pelaut – yang dipelajarinya sebagai anak yang tumbuh di dekat pelabuhan Boston – bagi laki-laki yang mencuri ransum. Seiring dengan berjalanannya waktu, fiddle telah menjadi istilah untuk menggambarkan orang yang mencuri atau melakukan tindak kejahatan lainnya, dan bodoh namanya kalau ia melupakan bahwa David Paxton mungkin saja orang seperti itu sampai terbukti sebaliknya.

Brianna bertekad tidak akan terpancing oleh mata biru yang membuatnya meleleh itu atau senyum miring yang selalu menghasilkan lipatan di pipi kiri David.

“Aku membawa banyak makanan. Aku tidak akan membiarkan putriku mengonsumsi tanaman berbahaya.”

David menggelengkan kepalanya dan berdiri. Tinggi tubuh David sekali lagi mengingatkan Brianna kalau pria itu memiliki keuntungan secara fisik. Apa yang akan dilakukannya apabila David memutuskan untuk mewujudkan malam pertama mereka? Pernikahan mereka kemarin tidak sah, Brianna yakin akan hal itu, tapi David masih membawa dokumen bersegel tersebut, yang secara resmi menjadikan pria itu suaminya, entah ia mau atau tidak. Ia cukup yakin David tidak akan berusaha melakukan apa pun dengan Daphne tidur di sampingnya, tapi apa yang akan terjadi kalau ia sedang sendirian? Akal sehat memaksanya untuk menyadari bahwa ia terlalu kecil untuk melawan David Paxton.

“Aku tidak akan pernah menawarkan apa pun yang beracun untuk dimakan anakku,” David meyakinkan Brianna. “Hal yang sama berlaku padamu. Aku tahu apa yang kulakukan.”

Brianna tidak menjawab, tapi senyum di bibir Davidd memberitahunya kalau pria itu tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Brianna berusaha untuk berjalan dengan normal ketika ia mengambil tasnya yang berisi makanan dari keledai David. Berjongkok untuk mencari makanan itu membuatnya menangis. Jelas sekali, tubuhnya tidak dibuat untuk menunggang kuda.

“Ada obat gosok di salah satu tas itu, botol coklat gelap yang terbungkus handuk putih. Kapan pun kau ingin menggunakanannya, jangan ragu-ragu.”

Brianna telah menolak tawaran itu sebelumnya, tapi sekarang, saking sakitnya, menggunakan ramuan David terdengar sebagai ide bagus. Mungkin ia bisa membawa botol itu ke tempatnya tidur malam ini dan mengoleskannya ke bagian-bagian tubuhnya yang perih di balik selimut.

David menyajikan sisa daging kelinci sarapan tadi untuk makan siang, bersama dengan salad dan sayuran lainnya yang dimasak. Brianna menyuruh Daphne duduk bersamanya di apinya sendiri, di mana mereka makan daging ham, keju serta roti, dan sekali lagi, berbagi gelas kaleng yang dipinjamnya dari David, yang diisi dengan air putih.

“Makanan yang kami temukan tidak membuatnya sakit, Mama. Boleh aku mencobanya sedikit saja, please?”

Mulut Brianna berliur melihat salad itu. Ia tidak bisa ingat kapan terakhir kalinya menyantap sayuran segar. Musim panas yang lalu, pikirnya, ketika ia memanennya di kebun Ricker. Di musim gugur dan dingin, satu-satunya makanan hijau di piring mereka adalah kacang panjang, yang telah ia awetkan setiap musim gugur. David bahkan membawa beberapa buah lemon di dalam tasnya, yang cairannya diperas di atas campuran sayuran itu. Setiap kali David menyendokkan sayuran itu ke dalam mulutnya, ia memejamkan mata ketika mengunyah, ekspresinya mengatakan kalau rasa makanan itu luar biasa.

Please, Mama?” Daphne tak berhenti mendesak ibunya.

Walau David sepertinya tidak sakit, Brianna masih enggan untuk membiarkan anaknya memakan tumbuhan itu. Satu saja tanaman beracun di dalam campuran itu bisa membuat anaknya sakit keras. “Habiskan makananmu, Daphne. Kau punya ham. Itu makanan yang enak.”

“Tapi kami menemukan alyssum, bawang liar, serta asparagus dan begonia, dan juga ada bindweed liar! Papa selalu mengawasi untuk memastikan aku mencabut tanaman yang benar. Alyssum manis tidak baik untuk kita, tapi jenis yang lainnya tidak apa-apa. Apa kau tahu kami menemukan rubberweed pahit? Papa bilang itu berbahaya untuk hewan ternak, jadi dia tidak akan membiarkan kuda kita ataupun Lucy mendekati tempat itu. Karena itulah kemarin malam dia membawa mereka ke tempat yang aman agar mereka bisa makan.”

Brianna selalu tidak suka mengatakan tidak kepada Daphne, tapi dalam masalah ini, ia merasa tindakannya adalah demi kebaikan anak itu. Terkutuklah David Paxton karena membuat Daphne menginginkan makanan yang seharusnya tidak dimakan anak itu. Daphne selama ini sudah puas dengan roti dan keju, sampai kemarin malam, dan sekarang anak ini menolak daging ham.

“Setelah kau selesai makan, aku mau kau mengganti pakaianmu dengan baju bermain dan sepatu yang lebih kuat. Aku akan membantumu mengambilnya.

Daphne menggigit ham dan mengunyah daging itu seakan-akan mulutnya penuh dengan kulit. Bahkan Brianna harus mengakui kalau daging itu gosong dan kering. Aroma kopi yang baru dibuat David melayang di udara hingga sampai ke hidungnya. Kopi adalah satu hal lagi yang telah dilupakannya, dan ia ingin sekali meminta segelas dari pria itu. Harga diri mencegahnya. Ia dan Daphne akan baik-baik saja dengan perbekalan yang mereka miliki.

Sepanjang makan siang, Brianna memikirkan situasi mereka. Sejauh ini David Paxton tidak pernah mencoba melakukan apa pun yang buruk. Pria itu bersikap menyenangkan sepanjang pagi, dan sangat luar biasa ketika bersama Daphne. Tapi ia sama sekali belum yakin kalau David tidak punya pikiran jahat.

Brianna menggosok keningnya. Sepertinya David yakin sekali kalau Daphne anak pria itu. Ia masih ingat pada pertemuan mereka dengan sang hakim kemarin malam ketika David menunjukkan foto seorang wanita yang dikatakannya sebagai ibu pria itu.

Dalam benak Brianna muncul pertanyaan: Bisakah pria ini dipercayai? Wanita itu mungkin ibu David, tapi mungkin juga telah mencuri foto itu. Hanya saja, kalau foto itu benar-benar curian, bagaimana David berhasil menemukan foto yang sangat mirip dengan Daphne ketika pria itu bahkan tidak pernah bertemu dengan anaknya?

Berusaha untuk menguraikan semua pertanyaan itu membuat Brianna sakit kepala. Setiap kali ia mencapai sebuah kesimpulan, pikiran lain membuatnya goyah. Apakah David Paxton benar-benar seperti yang tampak di permukaan – seorang pria jujur yang percaya bahwa Daphne adalah anaknya? Atau pria itu sebenarnya seorang penjahat yang sangat amat pintar? Brianna akan memberi kesempatan kepada David dengan memercayai pria itu. Rasa cinta David yang sangat nyata terhadap Daphne tidak sosok dengan kecurigaannya bahwa David akan menjual Daphne ke perbatasan.

Dan kalau ia bisa memercayi David, entah bagaimana ia harus membuat David sadar kalau Daphne bukanlah anak pria itu. Daphne sudah jatuh cinta pada David, pikir Brianna, dan semakin lama ia membiarkan situasi ini berlanjut, akan semakin buruk akibarnya bagi anak itu ketika David mengetahui yang sebenarnya.

Brianna beringsut, mencari posisi yang lebih nyaman. Tapi, mau duduk seperti apa pun, otot-ototnya akan menjerit protes atau tanah yang keras itu akan menggesek kulitnya. Ia mendahan desahan. David tidak memercayai kebohongan yang dikatakannya kemarin, tapi ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pria itu. Ia adalah seorang pembohong yang buruk, dan ia tahu itu.

Kalau ia memberitahu David cerita sebenarnya tentang kelahiran Daphne, apa risiko bagi dirinya dan anak itu? Glory Ridge sudah jauh di belakang mereka sekarang. Masih ada kemungkinan pihak berwenang akan mengambil Daphne darinya karena ia bukan ibu biologis Daphne, tapi kemungkinan itu jauh lebih kecil sekarang ketimbang kemarin malam. Kalau ia jujur pada David Paxton, pria itu tidak akan mendapatkan apa pun dengan melaporkannya. Sebaliknya, David mungkin akan terbebas dari mereka berdua, meninggalkan mereka di kota terdekat untuk melanjutkan hidup mereka masing-masing. Itu tidak akan menjadi masalah baginya. Ia sudah pernah berhasil bertahan sebelumnya, dan rasanya tak ada majikan yang bisa lebih buruk lagi daripada Ricker ataupun Abigail.

Brianna memandang David dengan gugup. Kalau David memang berniat buruk, maka apa pun yang akan dikatakannya tidak akan berpengaruh pada situasi mereka, renung Brianna. David hanya akan melanjutkan rencananya semula. Tapi kalau pria itu benar-benar David Paxton, marshal di kota No Name, kebenaran itu mungkin akan meyakinkannya untuk mengakhiri kegilaan ini sekarang. Sejauh yang bisa dilihat Brianna, ia tidak akan apa-apa dengan berbicara kepada David. Mungkin David akan mengenali ketulusan ketika pria itu melihatnya.

Ketika peralatan makan telah dicuci dan di simpan, David mencari-cari sesuatu di dalam barang-barang mereka dan melemparkan dua buah selimut kepada Brianna. “Aku selalu suka tidur setelah makan siang,” katanya. “Sebut aku banci kalau kau mau, tapi aku butuh istirahat dari pelana itu.”

Sambil mencengkram selimut di dadanya, Brianna menyaksikan David berjalan menjauh. Apakah David melakukan sesuatu yang istimewa untuk menciptakan tubuh seperti itu? Ia belum pernah melihat seorang pria yang begitu kuat, namun gesit. David tidak terlihat lelah. Bahkan, ia berani bertaruh David bisa berkuda sepanjang hari sampai malam tanpa letih sama sekali. Lehernya tercekat. Apakah pria itu memutuskan untuk beristirahat demi dirinya? Ia menduga, mungkin saja, yang sepenuhnya bertolak belakang dengan kepribadian David yang ada di benaknya. David merebahkan badan di atas tanah, menggunakan pelana sebagai bantal dan topi menutupi matanya. Brianna berdiri menatap pria itu sambil menganga selama sesaat. Lalu, ia berbalik untuk menyiapkan alas tidur bagi dirinya dan Daphne.

Brianna menarik Daphne ke dalam pelukannya Daphne memasukkan tangan ke dalam saku roknya dan menarik koin yang David bilang memiliki kekuatan ajaib. Anak itu mengangkat koin itu ke arah cahaya matahari, membolak-baliknya.

“Lihat koin ini berkedip padaku, Mama? Sungguh ajaib. Kemarin malam, koin ini membantuku mengingat semua hafalanku.”

Brianna berharap David tidak mengisi kepala Daphne dengan omong kosong. Itu hanya koin biasa. Kalau Daphne terus berpikir koin tersebut memiliki kekuatan ajaib, anak itu akan tinggal dalam khayalan.

“Kau seharusnya hanya berharap kepada Tuhan, Sayang, bukan kepada benda tak berguna itu.”

“Koin ini bukan benda tak berguna,” Daphne bersikukuh. “Kau tidak mengerti.”

Brianna memutuskan untuk tidak memperpanjangnya. “Masukkan kembali ke dalam sakumu, agar kau tidak kehilangan koin itu saat tidur siang.”

Daphne membolak balik koin itu sekali lagi dan melakukan seperti yang disuruh ibunya. Dalam hitungan menit, tarikan napas Daphne berubah, dan Brianna yakin anak itu sudah tidur. Banci? Tepat ketika ia mengira David sudah bisa mengatakan sesuatu yang lebih mengejutkan lagi, pria itu menarik kata-kata kasar lain dari kepalanya. Dengan pelan, Brianna bergumam, “Mungkin saja dia orang baik, tapi dia memiliki mulut paling kotor yang pernah kutemui.”

Hari ini sangat berat untuk Brianna, dan ia ingin sekali menyusul anaknya ke dalam dunia mimpi. Alih-alih demikian, ia menjaga matanya tetap terbuka, menunggu beberapa menit lagi, lalu dengan hati-hati beranjak dari alas tidurnya. Kalau ia bermaksud memberitahu David kebenaran yang sesungguhnya tentang orang tua Daphne, ia harus melakukannya ketika anak itu tidur. Ketika nanti Daphne sudah cukup besar untuk mengerti apa yang telah terjadi tanpa berpikir Moira menjadi pihak yang perlu disalahkan, ia akan menceritakannya, tapi untuk sekarang, ia rasa yang terbaik adalah menyimpan kebenaran itu sebagai rahasia.

Dengan lengan terlipat di atas dadanya yang berotot serta kaki terbungkus sepatu bot yang disilangkan di pergelangan. David terlihat sedang tidur ketika Brianna mencapai tempatnya. “Mr. Paxton?” panggil Brianna pelan, agar tidak membangunkan Daphne.

David tidak tersentak kaget, yang memberitahu Brianna entah David mempunyai saraf baja atau sudah mendengarnya mendekat. Mendorong topinya ke atas, Bavid memandang Brianna dengan tatapan menusuk dan berkata, dengan sama pelannya, “Namaku David. Bukankah putri kita akan merasa agak aneh kalau kau tidak menggunakan nama depanku?”

“Itulah masalahnya. Tidakkah kau lihat? Daphne benar-benar bukan putrimu.” Melihat David menegang, Brianna mengangkat tangannya. “Kumohon, jangan marah. Aku tahu kau telah memperingatkanku untuk tidak mengungkitnya lagi.” Ia sangat gugup sehingga ia mulai meremas tangannya. “Aku… emm… perlu berbicara denganmu, Mr. Paxton. Semua yang kukatakan padamu kemarin,” Brianna melirik  melalui bahunya untuk memastikan Daphne tidak terganggu, “sebagian besar bohong. Dugaanmu tentang itu benar. Sekarang, ketimbang membiarkan situasi ini berlanjut, aku merasa berkewajiban untuk memberitahumu yang sebenarnya, cerita yang tidak pernah kusampaikan kepada siapa pun.”



Sinopsis

Selanjutnya

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar