Setelah sisa-sisa sarapan
dibersihkan dan alas tidur mereka dilipat kembali, David mengambil kuda dan
keledai mereka, yang telah ditinggalkannya di tempat yang rumputnya lebih
bagus. Berdiri beberapa meter dari pria itu, Brianna pura-pura sedang
menyaksikan Daphne yang sedang mengumpulkan bunga, tapi sebenarnya ia mengamati
David yang sedang memasang pelana ke atas kedua kuda mereka. Ricker tidak
memerlukan dirinya untuk melakukan tugas itu, jadi, kalau David Paxton memang
memiliki rencana jahat, ia harus tahu bagaimana memasang pelana agar bisa
membawa Daphne menjauh dari pria itu.
Brianna mengira telah berhasil
memperlihatkan kalau ia tidak tertarik pada kegiatan David sampai pria itu
menyeringai dari atas pelana ketika sudah hampir selesai dan menyentuh
pinggiran topinya. “Kau sudah paham? Apa aku harus melepaskan pelananya dan
memasangnya kembali?”
Semburat rasa malu menghiasi pipi Brianna. Apakah pria ini tidak pernah melewatkan apa pun?
“Dengan senang hati aku akan
mengajarimu cara untuk memasang pelana kuda. Tidak perlu berdiri di sana dan
pura-pura tidak sedang memperhatikan. Ini keahlian yang seharusnya dimiliki
oleh setiap orang di negeri ini.”
Untuk kedua kalinya pagi itu
Brianna bertanya-tanya apakah pria ini sudah gila. David pasti tahu ia ingin
sekali kabur, dan disinilah mereka sekarang, pria itu malah menawarkan untuk
mengajarinya keahlian yang mungkin akan membuatnya berhasil mewujudkan niatnya.
Tentu, David misa saja punya motif tersembunyi, pikir Brianna. Apakah David
berencana untuk pergi bersama Daphne dan punya cukup hati untuk memastikan
dirinya bisa kembali sendiri ke peradaban dengan selamat?
Brianna tidak mau mengambil risiko
apa pun jika Daphne terlibat di dalamnya. Hari ini, David Paxton bahkan tidak
akan bisa menggerakkan alis tanpa sepengetahuannya.
“Ayo,” kata David, ketika sudah
jelas Brianna tidak akan menjawab. “Ayo berangkat. Perjalanan kita cukup jauh
hari ini.”
Brianna melangkah ke sisi kuda
itu, mengabaikan tangan David yang terulur. Ia mengangkat satu kakinya,
mengarahkannya ke sanggurdi, namun hanya berhasil menyenggol perut kuda itu.
Hewan itu memutar kepalanya dan memandang Brianna dengan agak kesal. Brianna
mencoba lagi, namun tidak bisa mengankat kaki kanannya cukup tinggi untuk
mencapai sanggurdi.
David menyaksikan Brianna melompat
di samping kuda untuk mencoba lagi, lalu tersenyum miring. “Aku mau memberimu
pijakan kalau kau mau.”
Aku yakin kau pasti mau.
Brianna tidak yakin apakah tawaran David hanya alasan untuk menyentuhnya atau
karena pria itu benar-benar ingin membantu. Ia tidak peduli. Intinya adalah ia
harus belajar bagaimana caranya menaiki kuda tanpa bantuan orang lain. “Aku
tidak apa-apa, terima kasih.”
Brianna berputar sehingga
punggungnya menjauh dari tatapan David dan mencoba lagi. Ia sudah diajarkan
untuk bersyukur atas berkat yang telah diberikan Tuhan kepadanya, tapi kali ini
ia memohon kepada Tuhan agar berkat itu termasuk tambahan beberapa sentimeter
untuk tinggi badannya. Kakinya menyerempet tepi sanggurdinya dan menusuk kudanya
lagi. Hewan itu menghela napas dengan sabar. Daphne, yang sedari tadi
memandangi buket bunga yang kotor, mengangkat wajahnya, dan memandangi Brianna
dengan penasaran, namun tidak lama karena perhatiannya kembali pada bunga merah
muda itu.
“Ini konyol,” kata David setelah
Brianna melompat beberapa kali lagi. “Saat kita sampai di peternakanku, aku
akan membuatkan pijakan untukmu, tapi untuk saat ini, kau harus puas dengan
menggunakan batu atau tanganku. Aku tidak melihat ada batu, Shamrock, jadi
pilihanmu hanya tanganku.” David menyatukan tangannya dan melangkah ke depan.
“Ayulah. Banyak orang yang kakinya tidak cukup panjang untuk bisa naik tanpa
bantuan. Kau tidak perlu malu.”
Brianna mengirimkan tatapan yang
diharapkannya akan membuat wajah David panas. Seorang pria terhormat tidak
pernah menyebut-nyebut bagian bawah tubuh seorang wanita atau menyebutkan nama
bagian itu secara langsung.
Masih tetap menawarkan tangannya
yang dijalin kepada Brianna, David berkata, “Jangan terlalu gengsi, Shamrock.
Tuhan memberimu tubuh kecil, apanya yang salah? Secara keseluruhan kau lumayan.
Lebih dari lumayan, sebenarnya.”
Brianna terkesiap. “Apa kau lahir
dan dibesarkan di kandang, Sir?”
Dengan kening agak berkerut, David
menegakkan badan dan menumpangkan tangannya di pinggulnya yang ramping. “Apa
lagi yang kuucapkan kali ini?”
“Kau menyebut bagian bawah
tubuhku, pantat, dan mengomentari diriku, memanggilku dengan nama yang kasar,
dan kau masih bisa bertanya?”
David terkekeh dan menggelengkan
kepala. Dengan cahaya matahari bermain-main di wajah David yang keras, Brianna
harus mengakui kalau pria itu sangat tampan. “Jangan bilang kau salah satu
wanita sok suci itu, yang berpendapat setiap piano seharusnya diberi rok supaya
kaki mereka tidak terlihat.”
Brianna tidak melihat kelucuannya.
“Punya tata krama bukan sok suci, Sir, dan menyebutkan tubuh wanita sungguh tidak
sopan. Aku bukan pianao!”
David memandang Brianna dari atas
ke bawah dalam cara yang membuat kulit Brianna terbakar. “Tentu saja bukan,
Ma’am, aku bisa melihatnya. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Di tempat
asalku, orang boleh-boleh saja menyadari bahwa wanita juga punya kaki, sama
seperti pria, dan seorang lady merasa tersanjung ketika menerima pujian.
Dan sekadar untuk diketahui, aku lahir di perkebunan yang indah di Virginia.”
“Benarkah?” Brianna melontarkan
pertanyaan itu dengan nada ragu.
“Ya, benar,” jawab David. “Ayahku,
Joseph Paxton Sr., adalah pria Selatan yang kaya. Selain bertani, dia juga
mengembangbiakkan kuda-kuda yang hebat. Selama perang, dia hampir kehilangan
segalanya. Dengan sisa uang yang dimilikinya, dia membeli tanah di luar No Name
dan membawa kami pindah ke Barat. Sesampainya di sana, dia tahu kalau penjualan
tanah itu hanya tipuan dan sertifikat miliknya tak ada harganya. Itu cerita
yang panjang, dan kita harus segera
berangkat, jadi aku hanya akan mengatakan kalau dia berakhir tergantung di
pohon ek besar di daerah itu, dihukum atas pembunuhan yang tidak dilakukannya,
dan setelahnya, ibuku dan kakakku, Ace, yang membesarkan aku dan saudara-saudaraku.
Mungkin menurutmu mereka gagal, tapi buatku mereka telah membesarkanku dengan
baik.”
Cerita David terdengar masuk akal,
renung Brianna. Banyak orang kaya dari Selatan yang kehilangan segalanya elama
perang. Brianna merasakan sengatan rasa bersalah karena menghina David. Tidak
semua orang dibesarkan di dalam biara seperti yang dialaminya. Mungkin David
benar, dan ia agak sok suci. Hanya saja, hampir semua ucapan yang keluar dari
mulut pria itu mengejutkannya. Apakah itu karena caranya dibesarkan, atau hanya
karena ia tak tahan dengan David Paxton? Semua yang dikatakan atau dilakukan
David membuatnya kesal atau cemas, atau keduanya.
Akhirnya, ia tak punya pilihan
kecuali menerima tawaran David untuk membantunya naik kuda, dan ketika
bokongnya menyentuh pelana, ia memekik, tak bisa menelan kembali suara itu.
Bukan hal yang mengherankan, karena sekujur tubuhnya sudah sakit sejak ia
bangun tadi dan ia hampir tak bida berjalan. Brianna merasakan memar dan perih
di tempat-tempat yang, sampai baru-baru ini, bahkan tidak sadar dimilikinya.
“Pantatmu sakit, Darlin?”
Dengan mengerahkan semua
kekuatannya, Brianna menegakkan badan dan memegang tali kekang. Darlin?
Pria itu benar-benar berani.
“Ada obat gosok di tasku yang bisa
mengatasi rasa sakit itu dengan cepat,” ujar David. “Kalau ada tempat yang tak
bisa kau raih, dengan senang hati aku akan mengoleskannya untukmu.”
Sapi bersayap malaikat akan lebih
dulu muncul di langit sebelum ia menerima tawaran tiu, pikir Brianna dengan
kesal. “Aku baik-baik saja, Sir. Mari lanjutkan perjalanan kita.
***
Sekali lagi, Daphne berkuda
bersama David dan hampir tak pernah berhenti mengoceh. Pagi itu cuacanya cerah,
dan Brianna ingin sekali menyingkirkan jaketnya, tapi segera saja komentar
David tentang bajunya yang tipis menggema di kepalanya, membuatnya memutuskan
lebih baik kepanasan daripada menanggalkan jaketnya. David Paxton tidak akan
mendapatkan pertunjukan gratis lagi darinya.
Berada di belakang Lucy, Brianna
hanya bisa menangkap samar-samar percakapan antara Daphne dan David, tapi
dilihat dari suara tawa Daphne, anak itu sangat menikmati percakapan mereka dan
jatuh cinta setengah mati pada Papa-nya. Kegelisahan memuncak di dalam diri
Brianna. Tidak akan ada hal baik yang muncul dari situasi ini. Kalau David Paxton
memang benar-benar percaya kalau dirinya adalah ayah Daphne, suatu saat nanti
ia pasti akan mengetahui kebenarannya cepat atau lambat, dan ketika daat itu
tiba, David pasti akan meninggalkan Daphne, seperti yang akan dilakukan
laki-laki waras mana pun. Daphne tidak akan pernah sembuh dari luka hati yang
dirasakannya.
Setiap beberapa menit, David
menghentikan kudanya untuk turun dan mengumpulkan tumbuh-tumbuhan. Setelah
menjelaskan panjang lebar kepada Daphne nama dari setiap tanaman itu, dan
bagaimana tanaman itu bisa dimasak, ia memasukkan temuannya ke dalam tas kanvas
yang tergantung di tanduk pelananya. Brianna hanya menangkap beberapa kata dari
percakapan mereka, yang membuatnya frustrasi. Apakah David tahu apa yang
dikatakannya, atau hanya mengisi kepala Daphne dengan omong kosong yang bisa
membuat anak itu tewas?
Lebih buruk lagi, hanya duduk di
sana tanpa ada sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya kecuali berkilo-kilometer
rumput yang menghampar ke segala arah, mata Brianna berulang kali tertarik ke
tubuh ramping dan berotot David. Pria itu bergerak dengan anggun untuk tubuh
sebesar itu, dengan mudah berjongkok dan berdiri lagi. Semua itu membuat
Brianna tidak nyaman. Dengan tekad untuk tidak memandang David, Brianna
mengaloihkan matanya ke rerumputan di sekitarnya.
Brianna mengira akan menemukan rel
kereta api di dataran yang luas itu, tapi sampai sejauh ini, mereka tidak
melihat rel sama sekali. Ia merasa itu aneh. Mereka sudah berkuda lumayan jauh,
walau mungkin tak sejauh yang diindikasikan oleh punggungnya yang sakit, namun
ia belum melihat tanda-tanda peradaban. Apakah David Paxton sengaja menghindari
manusia? Ia curiga itulah yang dilakukan pria itu. David sudah menyatakan
dengan jelas kalau pria itu tidak akan menggunakan transportasi umum sampai ia
menerima situasi mereka.
Tapi bagaimana kalau David
mempunyai alasan lain untuk menghindari manusia? Kecurigaan Brianna
merongrongnya lagi. Pria itu membuatnya maju mundur seperti gergaji.
David dan Daphne akhirnya naik ke
atas kuda, dan mereka melanjutkan perjalanan mereka lagi. Brianna bertanya pada
dirinya sendiri, bagaimana David tahu ke arah mana mereka harus pergi? Padang
rumput itu terlihat sama untuknya. Ia memang tidak pernah punya insting yang
kuat dalam menentukan arah. Ia tahu matahari terbit di timur dan terbenam di
barat, tapi sekarang matahari sudah hampir di atas kepala mereka, yang tidak
membeitahunya apa-apa. Dan ia sama sekali tidak tahu bagaimana menemukan
jalannya setelah matahari terbenam. Ketika masih kecil, ia mempelajari konstelasi
dan bagaimana cara menggunakan Bintang Utara untuk menuntunnya, tapi sudah lama
sekali lupa cara menemukan bintang itu di langit. Pengetahuan seperti itu tidak
penting di panti asuhan. Para suster baik hati yang membesarkannya tidak pernah
meninggalkan biara karena mereka terikat pada peraturan. Sebagai hasilnya,
Brianna menghabiskan sebagian besar hidupnya di balik dinding biara, hanya bisa
keluar ketika ditemani oleh para wanita jemaat gereja yang mengajukan diri
dengan sukarela untuk mengatur kunjungan bagi anak-anak di sana. Brianna dulu
menikmati saat-saat singkatnya di dunia luar, tapi kesempatan itu sangat
jarang, dan para wanita yang mengendarai kereta kuda terbuka itu tidak tersesat
karena mereka dibantu oleh petunjuk jalan.
Di padang rumput tidak ada
petunjuk jalan. Dengan takut, ia harus menerima kalau ia sama sekali tidak tahu
di mana mereka berada sekarang. Apakah Glory Ridge di belakang atau di sebelah
kirinya? Ia hampir yakin kalau kota itu berada di sisi lain sungai ini, tapi ia
tidak pasti. Ia lelah sekali selama perjalanan kemarin malam sehingga David
mungkin telah menyeberangi sungai itu tanpa disadarinya. Rasanya mengerikan
memutar kepalanya ke segala arah tanpa tahu tujuannya kalau ia memutuskan untuk
kabur.
Ketika matahari sudah tinggi di
atas kepala mereka, David berhenti di dekat sungai untuk makan siang. Brianna
hampir jatuh bertekuk lutut ketika meluncur turun dari kuda. David melepaskan
pelana kedua kudanya dan membebaskan Lucy dari barang bawaannya. Lalu, ia
melibatkan Daphne dalam mengumpulkan rumput yang akan digunakan untuk menggosok
badan hewan-hewan itu, yang membuat Brianna tidak suka. Brianna tahu bahwa satu
saja tendangan dari binatang kuat itu sanggup melukai Daphne, atau bahkan
membunuh anak itu. Ia terpincang-pincang – ya, terpincang-pincang,
karena seluruh bagian bawah tubuhnya terbakar oleh rasa sakit akibat berkuda
terlalu lama – melewati kuda itu untuk menyuarakan keberatannya.
“Aku tidak mau anakku
dekat-dekat dengan makhluk yang tak bisa ditebak itu, Mr. Paxton!”
Daphne menggosok punggung Lucy,
setinggi yang bisa diraihnya. “Tapi, Mama, mereka manis. Lihat sini. Papa
mengajariku cara agar tetap aman di dekat mereka.”
Papa. Kalau ia mendengar
anaknya menyebutkan panggilan itu sekali lagi, ia akan menjambak rambutnya
sendiri dan menjerit, gerutu Brianna dalam hati. “Sebaik apa pun mereka
kelihatannya, Daphne, masing-masing hewan itu beratnya lima ratus kilo, bahkan
bisa lebih. Salah satu langkah saja, bahkan karena tidak sengaja, kakimu bisa
terluka.” Brianna memandang sandal kulit Daphne, yang tidak terlalu berguna
untuk melindungi kakinya. Sandal itu juga sudah rusak. Daphne membutuhkan
sepatu bot yang tebal dan kokoh – lebih baik lagi yang diperkuat dengan logam
di bagian jarinya. Brianna berharap kemarin malam ia ingat untuk mengganti
sandal yang cantik itu dengan sepatu permainan yang lebih kuat.
David berhenti menyikat bulu Blue.
Setelah selama sedetik matanya bertemu dengan tatapan Brianna yang tegang, ia
berkata, “Kau dengar Mama-mu, Daphne. Kalau dia tidak mau kau berurusan dengan
kuda-kuda itu, kata-katanya adalah hukum. Mungkin seiring dengan berjalannya
waktu, dia akan sedikit lebih santai dan mencabut peraturannya.”
Brianna memandang David dengan
kaget. Pria itu, yang selalu memegang kendali, sekarang melepaskannya. Mata
mereka bertemu dan Brianna bisa melihat kilatan geli di mata David. Apakah ia
pernah melihat mata sebiru itu? Ya, Daphne memiliki mata David – yang sebiru langit
musin panas. Perbandingan tersebut membuat Brianna terdiam. Daphne tidak
memiliki mata pria itu. Apa yang dipikirkannya?
David mengubah persiapan makan
siangnya menjadi sebuah tugas yang menyenangkan. Daphne bergabung dengannya di
sungai untuk mencuci temuan mereka dari perjalanan sepanjang pagi tadi. David
menyebut pencarian mereka sebagai “perjalanan ke toko Tuhan,” yang membuat
Daphne senang. Daphne memercayai setiap kata tentang makanan menakjubkan yang
telah disediakan sang Pencipta untuk mereka.
“Ketika melakukan perjalanan
seperti ini, aku jarang membawa banyak barang,” kata David kepada Daphne ketika
mereka berjongkok di dekat api. “Aku membawa beberapa bahan makanan supaya aku
bisa membuat roti tawar, roti jagung, atau pancake. Sedikit garam, gula,
dan bacon juga bisa sangat membantu. Tapi, aku tidak seperti kebanyakan
orang yang kau temui, yan g membawa telur di dalam tas-tas yang dipenuhi serbuk
kayu yang membebani keledai mereka yang malang dengan beragam makanan kaleng.
Kalau tiba-tiba ingin makan telur, aku pergi untuk mencarinya kalau musimnya
tepat. Kalau tidak dapat, ya tidak apa-apa. Sedangkan untuk makanan kaleng, aku
tidak menyukainya. Dunia di sekitar kita dipenuhi dengan bahan-bahan untuk
membuat salad, sup dan setup kalau kau tahu bagaimana menemukannya.”
“Dan aku sedang mempelajari hal
itu. Benar kan, Papa?”
Brianna memutar badannya,
mengernyit akibat rasa sakit yang menyebar dari pinggul ke ujung jari kakinya.
Ketika ia berjalan, mencari potongan kayu dan kotoran sapi kering yang
menjijikan itu untuk menghidupkan apinya sendiri, ia hampir saja mengerang.
Bokongnya terasa seperti baru saja dipantul-pantulkan berulang kali di atas
sebuah batu besar. Paha dalamnya panas. Gerakan sekecil apa pun membuat
otot-otot kakinya berteriak marah.
Ketika Brianna kembali dengan
kotoran sapi di roknya, david meninggalkan apinya untuk berjalan ke arah
Brianna dengan gerakan pinggul yang malas dan kaki panjang yang membuat Brianna
tidak tenang. Tidakkah David pernah merasakan perih akibat berkuda seperti yang
dideritanya sekarang? Segala sesuatu yang ada pada pria itu terlihat sangat
maskulin.
“Tahan dulu,” ujar David. “Tidak
ada gunanya menyalakan api hanya untuk ditiup angin dan mati lagi.”
Brianna memperhatikan kalau David
memegang sebuah sekop pendek. David menumpukan badannya ke satu lutut,
menunjukkan otot-otot yang berkontraksi di bahu dang punggungnya kepada Brianna
ketika ia mulai menggali sebuah lubang. Tubuh David seperti sebuah pasak
pemotong kayu, lebar di dada dan ramping di pinggang.
“Di wilayah ini, di mana tidak ada
penahan angin,” jelas David. “kau harus melindungi apimu dengan tanah. Selama
kau bersikeras untuk memasak makananmu sendiri, aku akan menggali sebuah lubang
untukmu.”
Ketika pekerjaannya selesai, David
berjongkok dengan menopangkan berat badannya ke satu kakinya, dan menghadiahi
Brianna seulas senyuman seperti yang diberikannya terhadap Abigail ketika
memperdayai wanita itu.
“Tapi, kuharap kau segera
memercayaiku dan mau memakan makananku. Kalau ada wanita yang perlu untuk
digemukkan, itu adalah kau. Kalau ada angin kencang bertiup, angin itu bisa menerbangkanmu.”
Brianna sudah sering membayangkan
hal yang sama tentang Abigail, dan untuk saat-saat yang nyaman itu, ia
bertanya-tanya apakah David berpikir ia terlihat seperti sapu. Kemudian Brianna
mengingatkan dirinya sendiri kalau ia tidak peduli apa yang dipikirkan David.
Bisa saja David seorang fiddle, istilah para pelaut – yang dipelajarinya
sebagai anak yang tumbuh di dekat pelabuhan Boston – bagi laki-laki yang
mencuri ransum. Seiring dengan berjalanannya waktu, fiddle telah menjadi
istilah untuk menggambarkan orang yang mencuri atau melakukan tindak kejahatan
lainnya, dan bodoh namanya kalau ia melupakan bahwa David Paxton mungkin saja
orang seperti itu sampai terbukti sebaliknya.
Brianna bertekad tidak akan
terpancing oleh mata biru yang membuatnya meleleh itu atau senyum miring yang
selalu menghasilkan lipatan di pipi kiri David.
“Aku membawa banyak makanan. Aku
tidak akan membiarkan putriku mengonsumsi tanaman berbahaya.”
David menggelengkan kepalanya dan
berdiri. Tinggi tubuh David sekali lagi mengingatkan Brianna kalau pria itu
memiliki keuntungan secara fisik. Apa yang akan dilakukannya apabila David
memutuskan untuk mewujudkan malam pertama mereka? Pernikahan mereka kemarin
tidak sah, Brianna yakin akan hal itu, tapi David masih membawa dokumen
bersegel tersebut, yang secara resmi menjadikan pria itu suaminya, entah ia mau
atau tidak. Ia cukup yakin David tidak akan berusaha melakukan apa pun dengan
Daphne tidur di sampingnya, tapi apa yang akan terjadi kalau ia sedang
sendirian? Akal sehat memaksanya untuk menyadari bahwa ia terlalu kecil untuk
melawan David Paxton.
“Aku tidak akan pernah menawarkan
apa pun yang beracun untuk dimakan anakku,” David meyakinkan Brianna. “Hal yang
sama berlaku padamu. Aku tahu apa yang kulakukan.”
Brianna tidak menjawab, tapi
senyum di bibir Davidd memberitahunya kalau pria itu tahu apa yang sedang
dipikirkannya.
Brianna berusaha untuk berjalan
dengan normal ketika ia mengambil tasnya yang berisi makanan dari keledai
David. Berjongkok untuk mencari makanan itu membuatnya menangis. Jelas sekali,
tubuhnya tidak dibuat untuk menunggang kuda.
“Ada obat gosok di salah satu tas
itu, botol coklat gelap yang terbungkus handuk putih. Kapan pun kau ingin
menggunakanannya, jangan ragu-ragu.”
Brianna telah menolak tawaran itu
sebelumnya, tapi sekarang, saking sakitnya, menggunakan ramuan David terdengar
sebagai ide bagus. Mungkin ia bisa membawa botol itu ke tempatnya tidur malam
ini dan mengoleskannya ke bagian-bagian tubuhnya yang perih di balik selimut.
David menyajikan sisa daging
kelinci sarapan tadi untuk makan siang, bersama dengan salad dan sayuran
lainnya yang dimasak. Brianna menyuruh Daphne duduk bersamanya di apinya
sendiri, di mana mereka makan daging ham, keju serta roti, dan sekali
lagi, berbagi gelas kaleng yang dipinjamnya dari David, yang diisi dengan air
putih.
“Makanan yang kami temukan tidak
membuatnya sakit, Mama. Boleh aku mencobanya sedikit saja, please?”
Mulut Brianna berliur melihat
salad itu. Ia tidak bisa ingat kapan terakhir kalinya menyantap sayuran segar.
Musim panas yang lalu, pikirnya, ketika ia memanennya di kebun Ricker. Di musim
gugur dan dingin, satu-satunya makanan hijau di piring mereka adalah kacang
panjang, yang telah ia awetkan setiap musim gugur. David bahkan membawa
beberapa buah lemon di dalam tasnya, yang cairannya diperas di atas campuran
sayuran itu. Setiap kali David menyendokkan sayuran itu ke dalam mulutnya, ia
memejamkan mata ketika mengunyah, ekspresinya mengatakan kalau rasa makanan itu
luar biasa.
“Please, Mama?” Daphne tak
berhenti mendesak ibunya.
Walau David sepertinya tidak
sakit, Brianna masih enggan untuk membiarkan anaknya memakan tumbuhan itu. Satu
saja tanaman beracun di dalam campuran itu bisa membuat anaknya sakit keras.
“Habiskan makananmu, Daphne. Kau punya ham. Itu makanan yang enak.”
“Tapi kami menemukan alyssum,
bawang liar, serta asparagus dan begonia, dan juga ada bindweed liar!
Papa selalu mengawasi untuk memastikan aku mencabut tanaman yang benar. Alyssum
manis tidak baik untuk kita, tapi jenis yang lainnya tidak apa-apa. Apa kau
tahu kami menemukan rubberweed pahit? Papa bilang itu berbahaya untuk
hewan ternak, jadi dia tidak akan membiarkan kuda kita ataupun Lucy mendekati
tempat itu. Karena itulah kemarin malam dia membawa mereka ke tempat yang aman
agar mereka bisa makan.”
Brianna selalu tidak suka
mengatakan tidak kepada Daphne, tapi dalam masalah ini, ia merasa tindakannya
adalah demi kebaikan anak itu. Terkutuklah David Paxton karena membuat Daphne
menginginkan makanan yang seharusnya tidak dimakan anak itu. Daphne selama ini
sudah puas dengan roti dan keju, sampai kemarin malam, dan sekarang anak ini
menolak daging ham.
“Setelah kau selesai makan, aku
mau kau mengganti pakaianmu dengan baju bermain dan sepatu yang lebih kuat. Aku
akan membantumu mengambilnya.
Daphne menggigit ham dan
mengunyah daging itu seakan-akan mulutnya penuh dengan kulit. Bahkan Brianna
harus mengakui kalau daging itu gosong dan kering. Aroma kopi yang baru dibuat
David melayang di udara hingga sampai ke hidungnya. Kopi adalah satu hal lagi
yang telah dilupakannya, dan ia ingin sekali meminta segelas dari pria itu.
Harga diri mencegahnya. Ia dan Daphne akan baik-baik saja dengan perbekalan
yang mereka miliki.
Sepanjang makan siang, Brianna
memikirkan situasi mereka. Sejauh ini David Paxton tidak pernah mencoba
melakukan apa pun yang buruk. Pria itu bersikap menyenangkan sepanjang pagi,
dan sangat luar biasa ketika bersama Daphne. Tapi ia sama sekali belum yakin
kalau David tidak punya pikiran jahat.
Brianna menggosok keningnya.
Sepertinya David yakin sekali kalau Daphne anak pria itu. Ia masih ingat pada
pertemuan mereka dengan sang hakim kemarin malam ketika David menunjukkan foto
seorang wanita yang dikatakannya sebagai ibu pria itu.
Dalam benak Brianna muncul
pertanyaan: Bisakah pria ini dipercayai? Wanita itu mungkin ibu David, tapi
mungkin juga telah mencuri foto itu. Hanya saja, kalau foto itu benar-benar
curian, bagaimana David berhasil menemukan foto yang sangat mirip dengan Daphne
ketika pria itu bahkan tidak pernah bertemu dengan anaknya?
Berusaha untuk menguraikan semua
pertanyaan itu membuat Brianna sakit kepala. Setiap kali ia mencapai sebuah
kesimpulan, pikiran lain membuatnya goyah. Apakah David Paxton benar-benar
seperti yang tampak di permukaan – seorang pria jujur yang percaya bahwa Daphne
adalah anaknya? Atau pria itu sebenarnya seorang penjahat yang sangat amat
pintar? Brianna akan memberi kesempatan kepada David dengan memercayai pria
itu. Rasa cinta David yang sangat nyata terhadap Daphne tidak sosok dengan
kecurigaannya bahwa David akan menjual Daphne ke perbatasan.
Dan kalau ia bisa memercayi David,
entah bagaimana ia harus membuat David sadar kalau Daphne bukanlah anak pria
itu. Daphne sudah jatuh cinta pada David, pikir Brianna, dan semakin lama ia
membiarkan situasi ini berlanjut, akan semakin buruk akibarnya bagi anak itu
ketika David mengetahui yang sebenarnya.
Brianna beringsut, mencari posisi
yang lebih nyaman. Tapi, mau duduk seperti apa pun, otot-ototnya akan menjerit
protes atau tanah yang keras itu akan menggesek kulitnya. Ia mendahan desahan.
David tidak memercayai kebohongan yang dikatakannya kemarin, tapi ia tidak bisa
sepenuhnya menyalahkan pria itu. Ia adalah seorang pembohong yang buruk, dan ia
tahu itu.
Kalau ia memberitahu David cerita
sebenarnya tentang kelahiran Daphne, apa risiko bagi dirinya dan anak itu?
Glory Ridge sudah jauh di belakang mereka sekarang. Masih ada kemungkinan pihak
berwenang akan mengambil Daphne darinya karena ia bukan ibu biologis Daphne,
tapi kemungkinan itu jauh lebih kecil sekarang ketimbang kemarin malam. Kalau
ia jujur pada David Paxton, pria itu tidak akan mendapatkan apa pun dengan
melaporkannya. Sebaliknya, David mungkin akan terbebas dari mereka berdua,
meninggalkan mereka di kota terdekat untuk melanjutkan hidup mereka
masing-masing. Itu tidak akan menjadi masalah baginya. Ia sudah pernah berhasil
bertahan sebelumnya, dan rasanya tak ada majikan yang bisa lebih buruk lagi
daripada Ricker ataupun Abigail.
Brianna memandang David dengan
gugup. Kalau David memang berniat buruk, maka apa pun yang akan dikatakannya
tidak akan berpengaruh pada situasi mereka, renung Brianna. David hanya akan
melanjutkan rencananya semula. Tapi kalau pria itu benar-benar David Paxton, marshal
di kota No Name, kebenaran itu mungkin akan meyakinkannya untuk mengakhiri
kegilaan ini sekarang. Sejauh yang bisa dilihat Brianna, ia tidak akan apa-apa
dengan berbicara kepada David. Mungkin David akan mengenali ketulusan ketika
pria itu melihatnya.
Ketika peralatan makan telah
dicuci dan di simpan, David mencari-cari sesuatu di dalam barang-barang mereka
dan melemparkan dua buah selimut kepada Brianna. “Aku selalu suka tidur setelah
makan siang,” katanya. “Sebut aku banci kalau kau mau, tapi aku butuh istirahat
dari pelana itu.”
Sambil mencengkram selimut di
dadanya, Brianna menyaksikan David berjalan menjauh. Apakah David melakukan
sesuatu yang istimewa untuk menciptakan tubuh seperti itu? Ia belum pernah
melihat seorang pria yang begitu kuat, namun gesit. David tidak terlihat lelah.
Bahkan, ia berani bertaruh David bisa berkuda sepanjang hari sampai malam tanpa
letih sama sekali. Lehernya tercekat. Apakah pria itu memutuskan untuk
beristirahat demi dirinya? Ia menduga, mungkin saja, yang sepenuhnya bertolak
belakang dengan kepribadian David yang ada di benaknya. David merebahkan badan
di atas tanah, menggunakan pelana sebagai bantal dan topi menutupi matanya.
Brianna berdiri menatap pria itu sambil menganga selama sesaat. Lalu, ia
berbalik untuk menyiapkan alas tidur bagi dirinya dan Daphne.
Brianna menarik Daphne ke dalam
pelukannya Daphne memasukkan tangan ke dalam saku roknya dan menarik koin yang
David bilang memiliki kekuatan ajaib. Anak itu mengangkat koin itu ke arah
cahaya matahari, membolak-baliknya.
“Lihat koin ini berkedip padaku,
Mama? Sungguh ajaib. Kemarin malam, koin ini membantuku mengingat semua
hafalanku.”
Brianna berharap David tidak
mengisi kepala Daphne dengan omong kosong. Itu hanya koin biasa. Kalau Daphne
terus berpikir koin tersebut memiliki kekuatan ajaib, anak itu akan tinggal
dalam khayalan.
“Kau seharusnya hanya berharap
kepada Tuhan, Sayang, bukan kepada benda tak berguna itu.”
“Koin ini bukan benda tak
berguna,” Daphne bersikukuh. “Kau tidak mengerti.”
Brianna memutuskan untuk tidak
memperpanjangnya. “Masukkan kembali ke dalam sakumu, agar kau tidak kehilangan
koin itu saat tidur siang.”
Daphne membolak balik koin itu
sekali lagi dan melakukan seperti yang disuruh ibunya. Dalam hitungan menit,
tarikan napas Daphne berubah, dan Brianna yakin anak itu sudah tidur. Banci?
Tepat ketika ia mengira David sudah bisa mengatakan sesuatu yang lebih
mengejutkan lagi, pria itu menarik kata-kata kasar lain dari kepalanya. Dengan
pelan, Brianna bergumam, “Mungkin saja dia orang baik, tapi dia memiliki mulut paling
kotor yang pernah kutemui.”
Hari ini sangat berat untuk
Brianna, dan ia ingin sekali menyusul anaknya ke dalam dunia mimpi. Alih-alih
demikian, ia menjaga matanya tetap terbuka, menunggu beberapa menit lagi, lalu
dengan hati-hati beranjak dari alas tidurnya. Kalau ia bermaksud memberitahu
David kebenaran yang sesungguhnya tentang orang tua Daphne, ia harus
melakukannya ketika anak itu tidur. Ketika nanti Daphne sudah cukup besar untuk
mengerti apa yang telah terjadi tanpa berpikir Moira menjadi pihak yang perlu
disalahkan, ia akan menceritakannya, tapi untuk sekarang, ia rasa yang terbaik
adalah menyimpan kebenaran itu sebagai rahasia.
Dengan lengan terlipat di atas
dadanya yang berotot serta kaki terbungkus sepatu bot yang disilangkan di pergelangan.
David terlihat sedang tidur ketika Brianna mencapai tempatnya. “Mr. Paxton?”
panggil Brianna pelan, agar tidak membangunkan Daphne.
David tidak tersentak kaget, yang
memberitahu Brianna entah David mempunyai saraf baja atau sudah mendengarnya
mendekat. Mendorong topinya ke atas, Bavid memandang Brianna dengan tatapan
menusuk dan berkata, dengan sama pelannya, “Namaku David. Bukankah putri kita
akan merasa agak aneh kalau kau tidak menggunakan nama depanku?”
“Itulah masalahnya. Tidakkah kau lihat? Daphne benar-benar bukan putrimu.” Melihat David menegang, Brianna mengangkat tangannya. “Kumohon, jangan marah. Aku tahu kau telah memperingatkanku untuk tidak mengungkitnya lagi.” Ia sangat gugup sehingga ia mulai meremas tangannya. “Aku… emm… perlu berbicara denganmu, Mr. Paxton. Semua yang kukatakan padamu kemarin,” Brianna melirik melalui bahunya untuk memastikan Daphne tidak terganggu, “sebagian besar bohong. Dugaanmu tentang itu benar. Sekarang, ketimbang membiarkan situasi ini berlanjut, aku merasa berkewajiban untuk memberitahumu yang sebenarnya, cerita yang tidak pernah kusampaikan kepada siapa pun.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar