Kamis, 10 April 2025

The Bride#7

Penjelasan Jamie terdengar konyol bahkan bagi dirinya sendiri. Wajahnya memerah dan ia pun mengernyit untuk menutupi rasa malu.

“Aku tadi bertanya apakah kau selalu serius begitu,” Alec mengingatkan Jamie sambil menyeringai.

“Oh, ya?”

Oh Tuhan, tolonglah dirinya, sepertinya ia tidak bisa memusatkan perhatian dalam percakapan ini. Semua ini salah Alec, tentu saja, karena pria itu tersenyum dan membuat otaknya berhenti bekerja.

“Iya.”

Alec menahan tawa, karena Jamie akan mengira dirinyalah yang ditertawakan. Entah mengapa, Alec tidak mau menyakiti perasaan Jamie yang lembut. Sebuah reaksi yang aneh, pikir Alec, karena selama ini ia tidak pernah terlalu memedulikan perasaan wanita.

Jelas sekarang ia peduli, Alec menyadari itu, bahkan saat ia memaklumi perilakunya dengan mengingatkan dirinya sendiri bahwa bagaimanapun gadis ini keturunan Inggris, dan kerenanya sedikit lebih gugup dibanding wanita Skotlandia yang tegar.

Jamie meremas-remas tangannya, Alec yakin kalau Jamie tidak menyadari gerakannya sendiri. Itu gerakan ketakutan, tapi Jamie melawan kelemahan itu dengan membalas tatapan Alec. Tulang pipi Jamie yang tinggi berpendar merah muda karena malu. Alec tahu Jamie pasti seletih Mary. Stamina kedua wanita ini sama-sama tampak buruk. Kecepatannya tadi memang keterlaluan, tapi ia harus melakukannya karena selama masih di tanah Inggris, mereka berada dalam bahaya. Namun, Jamie tidak mengeluh ataupun memohon untuk berhenti, dan itu membuat Alec sangat senang. Gavin, bawahannya, akan menyebut Jamie tegar. Itu pujian tinggi dari seorang Highlander pada wanita, dan pujian yang sudah pantas Jamie terima hanya dengan menghadapinya.

Gavin pasti akan tertawa terbahak-bahak kalau bisa melihat laird-nya sekarang, pikir Alec. Senyuman Alec lenyap ketika sadar ia bertingkah seperti orang bodoh. Alec tidak pernah melewatkan waktu sebanyak ini untuk bicara dengan wanita. Nyatanya, sekarang ia sedang menatap istrinya persis seperti laki-laki yang tidak pernah melihat perempuan cantik. Astaga, fisiknya bahkan juga bereaksi; Alec bisa merasakan dirinya mengeras.

Saatnya menepiskan gadis ini dari benaknya.

“Kau meremas-remas tanganmu,” gumam Alec seraya mengulurkan tangan untuk menghentikan gerakan Jamie.

“Aku membayangkan meremas-remas lehermu,” cetus Jamie menanggapi dengusan Alec yang tiba-tiba. “Dan, ya, Milord, aku serius di sebagian besar waktu,” lanjutnya dengan cepat-cepat, berharap bisa mengalihkan pikiran Alec dari caciannya. “Saat meninggalkan Inggris, aku sangat serius. Aku meninggalkan kampung halaman yang sangat kucintai.”

“Itu alasan yang sama mengapa aku tersenyum,” timpal Alec.

Alec tidak tersenyum sekarang, tapi Jamie tidak ingin menyebutkan fakta itu. “Kau senang karena kau akan pulang?”

“Karena kita akan pulang.” Nada suara Alec kembali terdengar keras seperti baja.

“Inggris adalah rumahku.”

“Dulu,” koreksi Alec, bertekad untuk meluruskannya. “Skotlandia adalah rumahmu sekarang.”

“Kau ingin aku memberikan kesetiaanku pada Skotlandia?”

“Ingin?” Alec menyeringai. “Aku tidak menginginkannya, Istriku. Aku memerintahkannya. Kau akan setia pada Skotlandia dan padaku.”

Jamie kembali meremas-remas tangannya. Suara Jamie juga sudah meninggi saat bertanya pada Alec, tapi Alec tidak mengindahkan sikap istrinya itu. Ia tahu bahwa Jamie tentu butuh waktu untuk berpikir jernih. Sebagai pria yang sangat sabar, Alec memutuskan untuk memberi istrinya waktu.

Alec merasa sikapnya itu sudah sangat sopan dan berhati-hati agar ia tidak menjadikan hal itu sebagai sebuah kebiasaan.

“Coba aku pahami ini,” kata Jamie. “Kau sungguh-sungguh berpikir kalau aku akan…”

“Ini sangat sederhana, Istriku. Kalau kau setia pada Skotlandia, berarti kau setia padaku. Kau akan memahami kebenaran hal ini begitu kau menyesuaikan diri.”

“Begitu aku apa?” Suara Jamie, anehnya, begitu lembut.

“Begitu kau menyesuaikan diri,” ulang Alec.

Tenggorokan Jamie mulai sakit karena ia ingin menjerit ke pria arogan ini. Lalu, Jamie teringat nasihat Beak agar jangan memicu emosi sang laird dulu sampai ia tahu akan mendapat reaksi yang seperti apa.

Jamie memutuskan agar berhati-hati. Sudah lazim diketahui kalau para pria Skotlandia sering kali naik pitam sebelum sempat berpikir dengan saksama. “Biri-biri yang menyesuaikan diri, Kincaid. Tapi aku seorang perempuan, kalau kau belum sempat menyadarinya.”

“Aku menyadarinya.”

Cara Alec mengucapkan itu membuat jantung Jamie berdetak cepat. “Wanita tidak menyesuaikan diri. Sama sekali tidak sama dengan biri-biri.”

“Sama,” sanggah Alec sambil menyeringai malas.

“Tidak sama,” sergah Jamie. “Kau harus percaya padaku tentang ini.”

“Apa kau menantangku, Orang Inggris?”

Suara Alec sudah cukup keras untuk bisa menakut-nakuti Jamie, tapi Alec bertekad untuk membuat Jamie memahami posisinya.

Alec menunggu Jamie… meminta maaf.

“Aku memang menantangmu,” tukas Jamie, menganggukkan kepala saat Alec terlihat tidak percaya.

Sejujurnya, Alec tidak tahu bagaimana menanggapinya saat ini. Suara dan cara berdiri istrinya menguarkan aura kekuasaan. Jamie juga tidak meremas-remas tangannya, keduanya berada di samping tubuhnya. Alec tahu seharusnya ia tidak membiarkan keangkuhan gadis itu lolos begitu saja. Seorang istri harus selalu sepakat dengan suaminya. Namun, Jamie pasti belum pernah mendengar aturan sakral ini. Jamie bahkan berani menghadapinya seolah gadis itu setara dengannya.

Pemikiran itu membuat Alec terkekeh. Jamie pasti sudah gila, tapi gadis ini jelas tegar.

“Aku sudah terlalu lama berada di Inggris,” aku Alec, “kalau tidak, perlawananmu itu pasti sudah kuanggap keterlaluan, Istriku.”

“Bisakah kau berhenti memanggilku ‘istri’? Aku punya nama. Apa kau tidak bisa memanggilku Jamie?”

“Itu nama laki-laki.”

Jamie ingin mencekik Alec. “Itu namaku.”

“Kita akan mencari nama lain.”

“Tidak.”

“Kau berani membantahku lagi?”

Jamie berharap tubuhnya sebesar Alec. Dengan begitu, Alec pasti tidak akan berani menertawakannya. Jamie mengambil napas panjang. “Kau bilang perlawananku keterlaluan, tapi begitu aku menyesuaikan diri, seperti kau sebutkan dengan vulgarnya, kebingunganmu mungkin akan hilang dan kau akan melihat kebenaran dalam kata-kataku.”

“Aku meragukannya karena aku sama sekali tidak mengerti maksudmu,” balas Alec.

“Sekarang kau menghinaku.”

“Oh, ya?”

“Iya.”

Alec mengangkat bahunya yang besar. “Itu hakku, Istriku.”

Jamie mulai berdoa memohon kesabaran. “Oh, begitu, ya?” bisiknya dengan suara parau. “Kalau begitu aku berasumsi aku juga berhak menghinamu.”

“Bukan begitu aturannya.”

Jamie menyerah. Pria ini keras kepala seperti dirinya. “Apa kita sudah melewati perbatasan?”

Alec menggeleng. “Tinggal sepelemparan batu lagi.”

“Lalu, kenapa kau tersenyum?”

“Karena semangat.”

“Oh.”

Alec hendak membalikkan badan, tapi Jamie menghentikannya dengan pertanyaan berikut. “Alec? Kau benar-benar tidak suka Inggris, ya?”

Jamie tidak bisa menahan keterkejutan dari suaranya. Gagasan bahwa ada orang yang tidak menyukai negerinya benar-benar di luar pemahamannya. Semoa orang menyukai Inggris, bahkan orang-orang Skotlandia berotak udang yang senang saling melempar batang pohon. Astaga, Inggris kan Roma-nya zaman modern. Kemegahannya tak terbantahkan.

“Pada sebagian besar waktu aku memang tidak menyukai Inggris. Tapi, ada juga pengecualian.”

“Pengecualian?”

Alec pelan-pelan mengangguk.

“Nah, kalau begitu, kapan kau menyukai Inggris?”

“Ketika aku sedang melakukan penyerbuan.”

“Kau sungguh-sungguh mengakui perbuatan dosa itu?” tanya Jamie, ngeri bukan main.

Seringaian Alec melebar. Semburat merah di pipi Jamie semakin tebal seolah matahari membakarnya. Reaksi Jamie begitu jujur, menyegarkan. Itu merupakan sifat mematikan pada laki-laki karena bisa memperingatkan orang lain tentang apa yang ada di dalam benaknya, namun sifat paling menyenangkan pada wanita. Terutama istrinya.

Well?”

Alec mengembuskan desahan panjang. Desahan kasihan sebenarnya, karena kelihatannya Jamie tidak punya selera humor. Istrinya itu jelas tidak tahu kapan ia bercanda. “Naiklah ke kudamu. Matahari sudah mulai tenggelam,” katanya. “Kalian bisa beristirahat saat kita sudah tiba dengan aman.”

“Dengan aman?”

“Di Skotlandia.”

Jamie hendak bertanya apakah kata “aman” dan “Skotlandia” merupakan satu kesatuan bagi Alec, lalu memutuskan untuk tidak melakukannya. Ia menduga jawaban Alec hanya akan membuatnya kesal.

Jamie sudah mengetahui dua hal yang sangat tidak menyenangkan tentang suaminya. Pertama: Alec tidak suka diragukan atau dibantah. Jamie tahu itu akan jadi masalah sebab ia bertekad untuk meragukan atau membantah Alec kapan saja ia ingin melakukannya. Jamie tidak peduli Alec suka atau tidak. Kedua: saat Alec memandangnya dengan geram. Jamie sama sekali tidak menyukainya. Cela kedua ini sama mengkhawatirkan seperti yang pertama. Suasana hati Alec bisa berubah seperti angin. Kata-kata paling lugu pun bisa membuatnya memberengut.

“Jamie, aku tidak mau menaiki kuda sialan itu lagi.”

Mary menarik lengan Jamie untuk menarik perhatiannya. Alec mendengar kata-kata Mary, tapi tidak menggubrisnya. Alec membalikkan badan dan menghampiri kudanya. Jamie mengamati suaminya, berpikir bahwa Alec baru saja meninggalkannya bagai seseorang yang membuang sehelai kain perca.

“Pria itu kasar bukan main,” gumam Jamie.

“Jamie, apa kau tidak mendengarku?” desak Mary. “Kau harus berkeras kalau kita mesti beristirahat di sini malam ini.”

Jamie setuju dengan kakaknya. Wajah Mary coreng-moreng penuh debu. Mary tampak letih, seperti halnya Jamie. Staminanya memang jauh lebih bagus dary Mary, tapi malam sebelumnya ia terjaga hampir semalaman untuk membantu anak salah satu pelayan yang sakit.

Jamie tidak berani bersimpati pada Mary karena tahu bahwa yang kakaknya butuhkan sekarang adalah ketegasan. Mary pasti akan menangis kalau ia memberi sedikit saja rasa kasihan. Pemikiran itu cukup mengerikan. Begitu Mary mulai menangis, kakaknya itu bahkan lebih parah daripada si kembar.

“Ke mana harga dirimu?” desak Jamie. “Tidak sopan bagi seorang lady menggunakan kata-kata kasar seperti ‘sialan’ saat bicara. Hanya rakyat jelata yang menggunakan kata sekasar itu, Mary.”

Amarah lenyap dari wajah Mary. “Oh, Tuhan, kenapa kau malah menceramahi aku?” erangnya. “Aku mau pulang. Aku rindu Papa.”

“Cukup!” tukas Jamie dengan nada yang sangat kasar. Ia menepuk pundak Mary, lalu berbisik. “Nasi sudah menjadi bubur. Kita sudah menikahi orang Skotlandia, titik. Jangan permalukan diri kita. Lagi pula, sebentar lagi kita akan memasuki Skotlandia,” ujar Jamie. “Alec berjanji kita akan bermalam begitu melewati perbatasan. Kau tentu bisa bertahan beberapa menit lagi. Biarkan suamimu melihat kalau kau adalah wanita yang sangat tegar.”

Mary mengangguk. “Bagaimana kalau dia terlalu bodoh untuk menyadari ketegaranku?”

“Maka dengan senang hati aku akan memaksanya untuk menyadarinya,” Jamie berjanji.

“Jamie, sepanjang hidupmu, apa kau pernah berpikir kita akan berakhir dalam keadaan pelik begini? Kita menikah dengan orang Skotlandia!”

“Tidak, Mary, tak pernah sekali pun aku memikirkan kemungkinan itu.”

“Tuhan pasti sangat marah pada kita.”

“Bukan Tuhan,” Jamie mengoreksi. “Raja kita.”

Mary mendesah sedih seraya menghampiri kudanya kembali. Jamie mengamati Mary sampai kakaknya itu tiba di samping Daniel. Pria Skotlandia itu tersenyum. Jamie menduga, Daniel senang melihat mempelai wanitanya berjalan seperti wanita tua yang lemah.

Jamie mengenyahkan kondisi malang kakaknya dari benaknya, tapi kemudian sadar bahwa dirinya pun mengalami hal serupa. Kakinya gemetar seperti daun kering. Ia menyalahkan pelana bodoh yang terpaksa ia pakai supaya Alec menganggapnya seorang lady.

Jamie perlu tiga kali percobaan untuk menaiki punggung Wildfire. Ia juga membuat kudanya gugup dengan gangguan itu. Kuda betina itu mulai menaikkan kaki depannya dan Jamie mengerahkan sisa tenaganya untuk menenangkan kudanya kembali.

Seperti Jamie, Wilfire jelas tidak menyukai pelana itu juga.

Daniel membantu Mary naik ke pelananya, tapi Alec tidak memperlihatkan perhatian sesopan itu. Alec bahkan tidak memperhatikan jamie sama sekali. Jamie penasaran apa yang menyita perhatian Alec. Kernyitan konsentrasi terukir di dahi pria itu.

Jamie memutuskan untuk tidak menggubrisnya sebagaimana Alec tidak mengacuhkannya. Ia membalikkan badan untuk meneriakkan kata-kata penyemangat pada Mary.

Jamie tidak mendengar Alec mendekat. Tiba-tiba Alec sudah berada di sampingnya. Sebelum Jamie sempat bereaksi, Alec menariknya turun dari kuda. Lalu sambil setengah menggendong dan setengah menyeret, Alec membawanya ke batu besar di samping semak belukar yang sudah terbelah tertimpa tubuh Mary. Alec mendorong Jamie dengan satu tangannya, memukul perut samping Wildfire dengan tangan yang satunya lagi, lalu memunggungi Jamie dan memberi isyarat kepada Daniel.

“Apa pun yang kau…”

Sisa kalimat Jamie lenyap ketika Mary didorong menimpanya. Daniel mengambil posisi di depan Mary. Punggung Daniel yang lebar membuat kedua gadis itu terimpit ke batu besar di belakang mereka.

Ketika Daniel menghunus pedangnya, Jamie mengerti apa yang sedang terjadi. Ia mengambil napas panjang sementara mengamati Daniel yang memberi isyarat kepada Alec dengan mengangkat tiga jari.

Alec menggeleng, lalu mengancungkan empat jarinya.

Marry masih belum memahami ancaman itu. Tangan Jamie membungkam mulut Mary ketika Mary hendak protes.

Alec kembali berjalan ke tengah-tengah daerah terbuka. Jamie menyingkirkan rambut Mary dari wajahnya sehingga ia bisa melihat Alec dengan jelas.

Alec belum menghunus pedangnya. Lalu, Jamie sadar kalau Alec tidak punya pedang. Oh Tuhan, pria itu sungguh-sungguh tidak berdaya.

Jamie mengkhawatirkan keselamatan Alec. Dan kekhawatiran itu menerbitkan kegeraman. Prajurit macam apa yang bepergian melewati hutan belantara tanpa membawa senjata?

Prajurit sialan yang pelupa, pikir Jamie sambil mendengus. Mungkin pedang Alec hilang di suatu tempat dalam perjalanannya menuju London dan pria itu tidak merasa perlu menggantinya.

Tentu saja, ia harus turun tangan, pikir Jamie. Alec Kincaid suaminya, dan tak seorang pun bisa menyentuh Alec elama ia masih hidup. Jamie tidak mau memahami alasan sebenarnya mengapa ia tidak ingin melihat Alec terluka, maka ia hanya beralasan bahwa ia tidak mau menjadi janda pada hari pernikahannya, titik.

Jamie mengeluarkan belati kecil dari ikt pinggang bersimpul yang ia lilitkan di pinggang, berharap ada cukup waktu untuk mengoper senjata tersebut ke Alec. Kalau digunakan dangan akurat, belati itu bisa menimbulkan luka parah. Ada juga senjata Daniel, Jamie teringat. Ia berdoa semoga Daniel tahu bagaimana mengayunkan senjata. Baru saja Jamie hendak meminta Daniel membantu suaminya ketika Alec tiba-tiba membalikkan badan.

Alec memberikan isyarat kepada Daniel. Jamie bisa melihat wajah Alec dengan jelas sekarang dan langsung gemetar. Ekspresi berang di mata hitam Alec yang dingin membuatnya takut. Jamie bisa melihat kekuatan alami di lengan dan paha Alec yang berotot. Tampak amarah juga di sana. Tatapan itu menghanyutkan Jamie bagai gelombang panas. Kekuatan memancar dari diri Alec hingga berubah menjadi kabut tebal yang mengelilingi mereka semua.

Jamie belum pernah melihat ekspresi seperti itu, tapi ia memahaminya: Alec siap membunuh.

Mary mulai menangis. “Bukan babi liar, kan, Jamie?”

“Bukan, Mary,” bisik Jamie. Ia terus menatap suaminya sementara meremas lengan Mary. “Semua akan baik-baik saja. Kedua suami kita akan menjaga kita supaya aman. Lihat saja.”

Jamie nyaris meyakini jaminannya sendiri hingga ia melihat para bandit yang perlahan-lahan menghampiri Alec. Saat itu, ia berpikir keadaan akan sama sekali tidak akan baik-baik saja.

Alec sudah berada cukup jauh dari tempat mereka. Jamie menduga, Alec sengaja berusaha menjauhkan para bandit dari para wanita.

Para bandit itu perlahan-lahan mengikuti Alec. Mereka juga bergerak santai, seolah-olah mereka punya banyak waktu untuk membunuh mangsa mereka. Tubuh Alec jauh lebih besar daripada musuh-musuhnya, tapi ia tidak bersenjata. Peluangnya jelas tidak bagus. Dua dari keempat bandit itu membawa pentungan hitam. Dua yang lainnya mengayun-ayunkan pedang ke udara. Gerakan mengiris-iris menimbulkan suara berdesir di udara. Terlihat darah kering mengeras di bilah pedang mereka, tanda keberhasilan serangan mereka sebelumnya.

Jamie merasa mau muntah. Wajah mereka kejam sekali. Mereka seolah menikmati semua ini. Dua di antaranya bahkan terseyum. Gigi mereka sehitam pentungan mereka.

“Daniel, kumohon, pergilah dan bantui Alec,” pinta Jamie, suaranya lemah karena ketakutan.

“Hanya ada empat orang. Akan beres dalam satu menit.”

Jawaban Daniel membuat Jamie geram. Ia tahu Daniel berdiri di depan mereka untuk melindungi, tapi menurutnya, itu bukan tindakan mulia mengingat Alec akan dibantai.

Jamie meraih bahu Mary dan mendorong punggung Daniel. “Alec tidak punya senjata untuk membela diri. Berikan belatiku atau pedangmu padanya, Daniel.”

“Alec tidak butuh senjata.”

Daniel mengatakan itu dengan nada riang sampai-sampai Jamie yakin kalau Daniel pasti sudah sinting.

Jamie berhenti berdebat dengan Daniel. “Kau yang pergi dan membantunya atau aku yang akan melakukannya.”

“Baiklah, kalau kau memaksa.” Daniel melepaskan tangan Mary dari tuniknya dan menghampiri orang-orang yang mengelilingi Alec.

Tapi, ketika sampai di tepi padang terbuka, Daniel berhenti. Jamie tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dengan tenang Daniel memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya, melipat tangan di depan dada, dan terkutuklah Daniel karena ia malah menyeringai ke Alec.

Alec balas menyeringai.

“Kita menikah dengan orang-orang bodoh,” kata Jamie pada Mary. Rasa takutnya melebihi amarahnya, sebab dalam kesenyapan suaranya terdengar gemetaran.

Seruan kencang tiba-tiba menarik perhatian jamie. Seruan pertempuran itu berasal dari Alec. Suara yang menggetarkan tulang yang wajar saja kalau membuat Mary menjerit.

Lingkaran orang itu menghampiri Alec. Alec menunggu hingga orang pertama berada dalam jangkauan serangan, lalu melesat cepat sampai-sampai ia hanya tampak seperti bayangan kabur bagi Jamie. Jamie melihat Alec menyambar lengan dan rahang seorang bandit, mendengar suara derakan tulang yang mengerikan ketika Alec memuntir leher lawannya ke posisi yang tidak wajar.

Alec melempar laki-laki itu ke tanah tepat saat dua bandit lainnya berteriak dan merengsek ke sisi kirinya. Alec menghantam kedua kepala mereka, lalu melemparkan mereka ke atas tubuh bandit yang lebih dulu teronggok di atas tanah.

Bandit yang terakhir mencoba-coba mengambil kesempatan dengan menyerang dari belakang. Alec berputar, menghantamkan sepatu botnya ke selangkarang laki-laki itu dengan gerakan yang terlihat sangat santai, lalu dengan satu pukulan keras ke rahang, Alec membuat laki-laki itu melayang.

Tumpukan orang di tanah menjadi sebesar piramida. Sesumbar Daniel bahwa pertarungan itu akan cepat selesai ternyata benar, sebab waktu baru berlalu kurang dari satu menit.

Alec bahkan tidak terlihat tersengal-sengal. Fakta menakjubkan itu baru saja mengendap di benak Jamie ketika perhatiannya teralihkan lagi oleh suara baru. Ia menoleh bertepatan ketika tiga laki-laki bertubuh besar berlari menghampirinya dari balik semak belukar di seberang batu besar.

Seperti ular, mereka merayap melewati semak-semak.

“Alec!” teriak Jamie.

“jamie, kau harus melindungiku,” jerit Mary.

Sebelum Jamie sampat menjawab, Mary menariknya dari batu besar. Mary merapatkan diri ke batu, lalu menarik Jamie di depannya. Tubuh Mary sedikit lebih tinggi daripada Jamie, tapi begitu bahunya merosot ke dalam lekukan batu dan wajahnya menyelinap di antara tulang belikat Jamie, Mary terhalangidari serangan. Batu besar itu melindungi punggungnya dan Jamie menutupi tubuh bagian depannya.

Jamie tidak berusaha melindungi dirinya sendiri. Ia memahami tugasnya. Mary yang lebih utama. Kalau perlu, ia akan mengorbankan nyawanya demi keselamatan Mary.

Ketiga laki-laki itu nyaris sampai di depan mereka ketika Jamie teringat belati kecil yang dipegangnya. Ia membidik dan melemparkan senjata itu, sengaja memilih laki-laki yang bertubuh paling besar. Bidikannya ternyata tepat. Bandit itu mengeluarkan jeritan memekakkan telinga dan ambruk.

Daniel menyerang laki-laki kedua dari tiga orang berambut hitam itu dan merobohkan penjahat tersebut dengan pukulan kencang ke perut. Alec harus menempuh jarak yang lebih jauh. Pada saat ia hampir mencapai mangsanya, ia sudah terlambat. Walau Jamie berjuang seperti kucing hutan, bajingan itu berhasil mencengkramnya erat sekali. Belati si bandit ditekankan ke jantung Jamie.

“Berhenti di sana,” seru laki-laki itu pada Alec dengan suara melengking. “Kalau kau mendekat, aku akan membunuhnya. Aku bisa dengan mudah memenggal leher kecilnya yang indah ini.”

Daniel sudah selesai bertarung dan pelan-pelan menghampiri dari belakang. Alec memberinya tanda agar berhenti ketika penjahat itu melihat ke balik bahu dengan takut. Bandit itu semakin mempererat cengkramannya di rambut Jamie untuk merespons ancaman baru tersebut, lalu memuntir rambut Jamie seraya menyentakkan kepala Jamie ke belakang.

Alec melihat tatapan liar dan putus asa di mata hitam laki-laki itu. Bajingan itu pasti ketakutan, karena Alec melihat tangannya gemetaran. Tinggi bandit itu sedang, sementara wajah dan perutnya buncit. Keparat ini akan jadi mangsa yang mudah, pikir Alec, begitu Jamie bisa lepas dan tidak lagi berada dalam bahaya. Tapi, saat ini laki-laki itu sedang panik. Rasa takut membuat lelaki itu tidak bisa ditebak bagai tikus yang terpojok. Ia bisa saja membunuh Jamie kalau terpancing… atau saat merasa situasinya sudah tamat.

Tentu saja, situasinya memang sudah tamat. Bajingan itu akan mati. Takdirnya telah ditetapkan begitu ia menyentuh Jamie.

Alec memupuk amarahnya, menanti kesempatannya. Ia berpura-pura berdiri santai, bersedekap, dan sebisa mungkin tampak bosan.

“Aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku,” teriak bandit yang menahan Jamie. “Dan suruh wanita itu tutup mulut. Aku tak bisa berpikir kalau dia menjerit-jerit seperti itu.

Daniel langsung menghampiri Mary. Tangannya menutup mulut Mary, memaksa Mary diam, tapi ia tidak berlama-lama menatap Mary. Perhatiannya terfokus pada si bandit sementara menunggu kesempatan untuk menyerang.

Rasa takut perlahan-lahan lenyap dari mata bandit itu. Ia menyeringai, merasa kemenangan sudah pasti berada di pihaknya sekarang. Saat itulah Alec tahu kalau dirinya sudah mengusai situasi. Si tikus sudah bersiap-siap keluar dari sudut. Bedebah itu merasa percaya diri, dan keyakinan yang keliru itu akan menjadi awal kehancurannya.

“Yang ini istrimu?” teriak laki-laki itu pada Alec.

“Ya.”

“Kau menyayanginya?”

Alec mengangkat bahunya.

“Oh, kau pasti menyayanginya,” seru si bandit. Kemudian, ia terkekeh riang. Suaranya jelek dan menjengkelkan. “Nah, kau tidak mau aku membunuh gadismu yang cantik ini, kan?” Ia memotong rambut Jamie, berharap akan ada yang meringis untuk membuktikan kekuatannya dan ketidakberdayaan mereka. Tapi, ketika ia melirik gadis yang disanderanya, ia sadar kalau ia sudah gagal.

Tawanannya memnelalak menatapnya. Ia tahu ia telah menyakiti sanderanya, tapi gadis ini tidak mau berteriak.

Alec berusaha untuk tidak menatap wajah istrinya, tahu pasti bahwa konsentrasinya akan pecah saat melihat ketakutan di mata Jamie. Jika itu terjadi, ia tidak akan bisa mengendalikan amarahnya. Tapi, ketika bandit itu memuntir rambut Jamie keras-keras, secara naluriah Alec menoleh ke arah istrinya.

Jamie tidak terlihat takut. Gadis itu malah terlihat sangat geram. Alec sangat terkejut dengan keberanian istrinya itu sampai-sampai nyaris tersenyum.

“Ambilkan salah satu kuda yang bagus untukku,” perintah si bandit. “Begitu aku telah aman dan yakin kalian tidak mengikutiku secara diam-siam, aku akan melepaskan gadismu yang cantik ini.”

Alec menggeleng. “Tidak bisa.”

“Apa katamu?”

“Aku bilang, tidak bisa,” jawab Alec, suaranya kini setenang semilir angin yang lembut. “Kau boleh membawanya, tapi tidak boleh membawa kudanya.”

“Aku bilang aku mau kedua-duanya!” suara si bandit terdengar seperti lengkingan brung yang terperangkap.

“Tidak bisa.”

“Biarkan dia mengambil dua-duanya, Alec,” saran Daniel. “Kau bisa mendapatkan pengganti keduanya dengan mudah.”



  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar