Penjelasan Jamie terdengar konyol bahkan
bagi dirinya sendiri. Wajahnya memerah dan ia pun mengernyit untuk menutupi
rasa malu.
“Aku tadi bertanya apakah kau selalu serius
begitu,” Alec mengingatkan Jamie sambil menyeringai.
“Oh, ya?”
Oh Tuhan, tolonglah dirinya, sepertinya ia
tidak bisa memusatkan perhatian dalam percakapan ini. Semua ini salah Alec,
tentu saja, karena pria itu tersenyum dan membuat otaknya berhenti bekerja.
“Iya.”
Alec menahan tawa, karena Jamie akan
mengira dirinyalah yang ditertawakan. Entah mengapa, Alec tidak mau menyakiti
perasaan Jamie yang lembut. Sebuah reaksi yang aneh, pikir Alec, karena selama
ini ia tidak pernah terlalu memedulikan perasaan wanita.
Jelas sekarang ia peduli, Alec menyadari
itu, bahkan saat ia memaklumi perilakunya dengan mengingatkan dirinya sendiri
bahwa bagaimanapun gadis ini keturunan Inggris, dan kerenanya sedikit lebih
gugup dibanding wanita Skotlandia yang tegar.
Jamie meremas-remas tangannya, Alec yakin
kalau Jamie tidak menyadari gerakannya sendiri. Itu gerakan ketakutan, tapi
Jamie melawan kelemahan itu dengan membalas tatapan Alec. Tulang pipi Jamie
yang tinggi berpendar merah muda karena malu. Alec tahu Jamie pasti seletih
Mary. Stamina kedua wanita ini sama-sama tampak buruk. Kecepatannya tadi memang
keterlaluan, tapi ia harus melakukannya karena selama masih di tanah Inggris,
mereka berada dalam bahaya. Namun, Jamie tidak mengeluh ataupun memohon untuk
berhenti, dan itu membuat Alec sangat senang. Gavin, bawahannya, akan menyebut
Jamie tegar. Itu pujian tinggi dari seorang Highlander pada wanita, dan pujian
yang sudah pantas Jamie terima hanya dengan menghadapinya.
Gavin pasti akan tertawa terbahak-bahak
kalau bisa melihat laird-nya sekarang, pikir Alec. Senyuman Alec lenyap ketika
sadar ia bertingkah seperti orang bodoh. Alec tidak pernah melewatkan waktu
sebanyak ini untuk bicara dengan wanita. Nyatanya, sekarang ia sedang menatap
istrinya persis seperti laki-laki yang tidak pernah melihat perempuan cantik.
Astaga, fisiknya bahkan juga bereaksi; Alec bisa merasakan dirinya mengeras.
Saatnya menepiskan gadis ini dari benaknya.
“Kau meremas-remas tanganmu,” gumam Alec
seraya mengulurkan tangan untuk menghentikan gerakan Jamie.
“Aku membayangkan meremas-remas lehermu,”
cetus Jamie menanggapi dengusan Alec yang tiba-tiba. “Dan, ya, Milord, aku
serius di sebagian besar waktu,” lanjutnya dengan cepat-cepat, berharap bisa
mengalihkan pikiran Alec dari caciannya. “Saat meninggalkan Inggris, aku sangat
serius. Aku meninggalkan kampung halaman yang sangat kucintai.”
“Itu alasan yang sama mengapa aku
tersenyum,” timpal Alec.
Alec tidak tersenyum sekarang, tapi Jamie
tidak ingin menyebutkan fakta itu. “Kau senang karena kau akan pulang?”
“Karena kita akan pulang.” Nada suara Alec
kembali terdengar keras seperti baja.
“Inggris adalah rumahku.”
“Dulu,” koreksi Alec, bertekad untuk
meluruskannya. “Skotlandia adalah rumahmu sekarang.”
“Kau ingin aku memberikan kesetiaanku pada
Skotlandia?”
“Ingin?” Alec menyeringai. “Aku tidak
menginginkannya, Istriku. Aku memerintahkannya. Kau akan setia pada Skotlandia
dan padaku.”
Jamie kembali meremas-remas tangannya.
Suara Jamie juga sudah meninggi saat bertanya pada Alec, tapi Alec tidak
mengindahkan sikap istrinya itu. Ia tahu bahwa Jamie tentu butuh waktu untuk berpikir
jernih. Sebagai pria yang sangat sabar, Alec memutuskan untuk memberi istrinya
waktu.
Alec merasa sikapnya itu sudah sangat sopan
dan berhati-hati agar ia tidak menjadikan hal itu sebagai sebuah kebiasaan.
“Coba aku pahami ini,” kata Jamie. “Kau sungguh-sungguh
berpikir kalau aku akan…”
“Ini sangat sederhana, Istriku. Kalau kau
setia pada Skotlandia, berarti kau setia padaku. Kau akan memahami kebenaran
hal ini begitu kau menyesuaikan diri.”
“Begitu aku apa?” Suara Jamie, anehnya,
begitu lembut.
“Begitu kau menyesuaikan diri,” ulang Alec.
Tenggorokan Jamie mulai sakit karena ia
ingin menjerit ke pria arogan ini. Lalu, Jamie teringat nasihat Beak agar
jangan memicu emosi sang laird dulu sampai ia tahu akan mendapat reaksi yang
seperti apa.
Jamie memutuskan agar berhati-hati. Sudah
lazim diketahui kalau para pria Skotlandia sering kali naik pitam sebelum
sempat berpikir dengan saksama. “Biri-biri yang menyesuaikan diri, Kincaid.
Tapi aku seorang perempuan, kalau kau belum sempat menyadarinya.”
“Aku menyadarinya.”
Cara Alec mengucapkan itu membuat jantung
Jamie berdetak cepat. “Wanita tidak menyesuaikan diri. Sama sekali tidak sama
dengan biri-biri.”
“Sama,” sanggah Alec sambil menyeringai
malas.
“Tidak sama,” sergah Jamie. “Kau harus
percaya padaku tentang ini.”
“Apa kau menantangku, Orang Inggris?”
Suara Alec sudah cukup keras untuk bisa
menakut-nakuti Jamie, tapi Alec bertekad untuk membuat Jamie memahami
posisinya.
Alec menunggu Jamie… meminta maaf.
“Aku memang menantangmu,” tukas Jamie,
menganggukkan kepala saat Alec terlihat tidak percaya.
Sejujurnya, Alec tidak tahu bagaimana
menanggapinya saat ini. Suara dan cara berdiri istrinya menguarkan aura
kekuasaan. Jamie juga tidak meremas-remas tangannya, keduanya berada di samping
tubuhnya. Alec tahu seharusnya ia tidak membiarkan keangkuhan gadis itu lolos
begitu saja. Seorang istri harus selalu sepakat dengan suaminya. Namun, Jamie
pasti belum pernah mendengar aturan sakral ini. Jamie bahkan berani
menghadapinya seolah gadis itu setara dengannya.
Pemikiran itu membuat Alec terkekeh. Jamie
pasti sudah gila, tapi gadis ini jelas tegar.
“Aku sudah terlalu lama berada di Inggris,”
aku Alec, “kalau tidak, perlawananmu itu pasti sudah kuanggap keterlaluan,
Istriku.”
“Bisakah kau berhenti memanggilku ‘istri’?
Aku punya nama. Apa kau tidak bisa memanggilku Jamie?”
“Itu nama laki-laki.”
Jamie ingin mencekik Alec. “Itu namaku.”
“Kita akan mencari nama lain.”
“Tidak.”
“Kau berani membantahku lagi?”
Jamie berharap tubuhnya sebesar Alec.
Dengan begitu, Alec pasti tidak akan berani menertawakannya. Jamie mengambil
napas panjang. “Kau bilang perlawananku keterlaluan, tapi begitu aku
menyesuaikan diri, seperti kau sebutkan dengan vulgarnya, kebingunganmu mungkin
akan hilang dan kau akan melihat kebenaran dalam kata-kataku.”
“Aku meragukannya karena aku sama sekali
tidak mengerti maksudmu,” balas Alec.
“Sekarang kau menghinaku.”
“Oh, ya?”
“Iya.”
Alec mengangkat bahunya yang besar. “Itu
hakku, Istriku.”
Jamie mulai berdoa memohon kesabaran. “Oh,
begitu, ya?” bisiknya dengan suara parau. “Kalau begitu aku berasumsi aku juga
berhak menghinamu.”
“Bukan begitu aturannya.”
Jamie menyerah. Pria ini keras kepala
seperti dirinya. “Apa kita sudah melewati perbatasan?”
Alec menggeleng. “Tinggal sepelemparan batu
lagi.”
“Lalu, kenapa kau tersenyum?”
“Karena semangat.”
“Oh.”
Alec hendak membalikkan badan, tapi Jamie
menghentikannya dengan pertanyaan berikut. “Alec? Kau benar-benar tidak suka
Inggris, ya?”
Jamie tidak bisa menahan keterkejutan dari
suaranya. Gagasan bahwa ada orang yang tidak menyukai negerinya benar-benar di
luar pemahamannya. Semoa orang menyukai Inggris, bahkan orang-orang Skotlandia
berotak udang yang senang saling melempar batang pohon. Astaga, Inggris kan
Roma-nya zaman modern. Kemegahannya tak terbantahkan.
“Pada sebagian besar waktu aku memang tidak
menyukai Inggris. Tapi, ada juga pengecualian.”
“Pengecualian?”
Alec pelan-pelan mengangguk.
“Nah, kalau begitu, kapan kau menyukai
Inggris?”
“Ketika aku sedang melakukan penyerbuan.”
“Kau sungguh-sungguh mengakui perbuatan
dosa itu?” tanya Jamie, ngeri bukan main.
Seringaian Alec melebar. Semburat merah di
pipi Jamie semakin tebal seolah matahari membakarnya. Reaksi Jamie begitu
jujur, menyegarkan. Itu merupakan sifat mematikan pada laki-laki karena bisa
memperingatkan orang lain tentang apa yang ada di dalam benaknya, namun sifat
paling menyenangkan pada wanita. Terutama istrinya.
“Well?”
Alec mengembuskan desahan panjang. Desahan
kasihan sebenarnya, karena kelihatannya Jamie tidak punya selera humor.
Istrinya itu jelas tidak tahu kapan ia bercanda. “Naiklah ke kudamu. Matahari
sudah mulai tenggelam,” katanya. “Kalian bisa beristirahat saat kita sudah tiba
dengan aman.”
“Dengan aman?”
“Di Skotlandia.”
Jamie hendak bertanya apakah kata “aman”
dan “Skotlandia” merupakan satu kesatuan bagi Alec, lalu memutuskan untuk tidak
melakukannya. Ia menduga jawaban Alec hanya akan membuatnya kesal.
Jamie sudah mengetahui dua hal yang sangat
tidak menyenangkan tentang suaminya. Pertama: Alec tidak suka diragukan atau
dibantah. Jamie tahu itu akan jadi masalah sebab ia bertekad untuk meragukan
atau membantah Alec kapan saja ia ingin melakukannya. Jamie tidak peduli Alec
suka atau tidak. Kedua: saat Alec memandangnya dengan geram. Jamie sama sekali
tidak menyukainya. Cela kedua ini sama mengkhawatirkan seperti yang pertama.
Suasana hati Alec bisa berubah seperti angin. Kata-kata paling lugu pun bisa
membuatnya memberengut.
“Jamie, aku tidak mau menaiki kuda sialan
itu lagi.”
Mary menarik lengan Jamie untuk menarik
perhatiannya. Alec mendengar kata-kata Mary, tapi tidak menggubrisnya. Alec
membalikkan badan dan menghampiri kudanya. Jamie mengamati suaminya, berpikir
bahwa Alec baru saja meninggalkannya bagai seseorang yang membuang sehelai kain
perca.
“Pria itu kasar bukan main,” gumam Jamie.
“Jamie, apa kau tidak mendengarku?” desak
Mary. “Kau harus berkeras kalau kita mesti beristirahat di sini malam ini.”
Jamie setuju dengan kakaknya. Wajah Mary
coreng-moreng penuh debu. Mary tampak letih, seperti halnya Jamie. Staminanya
memang jauh lebih bagus dary Mary, tapi malam sebelumnya ia terjaga hampir
semalaman untuk membantu anak salah satu pelayan yang sakit.
Jamie tidak berani bersimpati pada Mary
karena tahu bahwa yang kakaknya butuhkan sekarang adalah ketegasan. Mary pasti
akan menangis kalau ia memberi sedikit saja rasa kasihan. Pemikiran itu cukup
mengerikan. Begitu Mary mulai menangis, kakaknya itu bahkan lebih parah
daripada si kembar.
“Ke mana harga dirimu?” desak Jamie. “Tidak
sopan bagi seorang lady menggunakan kata-kata kasar seperti ‘sialan’ saat
bicara. Hanya rakyat jelata yang menggunakan kata sekasar itu, Mary.”
Amarah lenyap dari wajah Mary. “Oh, Tuhan,
kenapa kau malah menceramahi aku?” erangnya. “Aku mau pulang. Aku rindu Papa.”
“Cukup!” tukas Jamie dengan nada yang sangat
kasar. Ia menepuk pundak Mary, lalu berbisik. “Nasi sudah menjadi bubur. Kita
sudah menikahi orang Skotlandia, titik. Jangan permalukan diri kita. Lagi pula,
sebentar lagi kita akan memasuki Skotlandia,” ujar Jamie. “Alec berjanji kita
akan bermalam begitu melewati perbatasan. Kau tentu bisa bertahan beberapa
menit lagi. Biarkan suamimu melihat kalau kau adalah wanita yang sangat tegar.”
Mary mengangguk. “Bagaimana kalau dia
terlalu bodoh untuk menyadari ketegaranku?”
“Maka dengan senang hati aku akan memaksanya
untuk menyadarinya,” Jamie berjanji.
“Jamie, sepanjang hidupmu, apa kau pernah
berpikir kita akan berakhir dalam keadaan pelik begini? Kita menikah dengan
orang Skotlandia!”
“Tidak, Mary, tak pernah sekali pun aku
memikirkan kemungkinan itu.”
“Tuhan pasti sangat marah pada kita.”
“Bukan Tuhan,” Jamie mengoreksi. “Raja
kita.”
Mary mendesah sedih seraya menghampiri
kudanya kembali. Jamie mengamati Mary sampai kakaknya itu tiba di samping
Daniel. Pria Skotlandia itu tersenyum. Jamie menduga, Daniel senang melihat
mempelai wanitanya berjalan seperti wanita tua yang lemah.
Jamie mengenyahkan kondisi malang kakaknya
dari benaknya, tapi kemudian sadar bahwa dirinya pun mengalami hal serupa.
Kakinya gemetar seperti daun kering. Ia menyalahkan pelana bodoh yang terpaksa
ia pakai supaya Alec menganggapnya seorang lady.
Jamie perlu tiga kali percobaan untuk
menaiki punggung Wildfire. Ia juga membuat kudanya gugup dengan gangguan itu.
Kuda betina itu mulai menaikkan kaki depannya dan Jamie mengerahkan sisa tenaganya
untuk menenangkan kudanya kembali.
Seperti Jamie, Wilfire jelas tidak menyukai
pelana itu juga.
Daniel membantu Mary naik ke pelananya,
tapi Alec tidak memperlihatkan perhatian sesopan itu. Alec bahkan tidak
memperhatikan jamie sama sekali. Jamie penasaran apa yang menyita perhatian
Alec. Kernyitan konsentrasi terukir di dahi pria itu.
Jamie memutuskan untuk tidak menggubrisnya
sebagaimana Alec tidak mengacuhkannya. Ia membalikkan badan untuk meneriakkan
kata-kata penyemangat pada Mary.
Jamie tidak mendengar Alec mendekat.
Tiba-tiba Alec sudah berada di sampingnya. Sebelum Jamie sempat bereaksi, Alec
menariknya turun dari kuda. Lalu sambil setengah menggendong dan setengah
menyeret, Alec membawanya ke batu besar di samping semak belukar yang sudah terbelah
tertimpa tubuh Mary. Alec mendorong Jamie dengan satu tangannya, memukul perut
samping Wildfire dengan tangan yang satunya lagi, lalu memunggungi Jamie dan
memberi isyarat kepada Daniel.
“Apa pun yang kau…”
Sisa kalimat Jamie lenyap ketika Mary didorong
menimpanya. Daniel mengambil posisi di depan Mary. Punggung Daniel yang lebar
membuat kedua gadis itu terimpit ke batu besar di belakang mereka.
Ketika Daniel menghunus pedangnya, Jamie
mengerti apa yang sedang terjadi. Ia mengambil napas panjang sementara
mengamati Daniel yang memberi isyarat kepada Alec dengan mengangkat tiga jari.
Alec menggeleng, lalu mengancungkan empat
jarinya.
Marry masih belum memahami ancaman itu.
Tangan Jamie membungkam mulut Mary ketika Mary hendak protes.
Alec kembali berjalan ke tengah-tengah
daerah terbuka. Jamie menyingkirkan rambut Mary dari wajahnya sehingga ia bisa
melihat Alec dengan jelas.
Alec belum menghunus pedangnya. Lalu, Jamie
sadar kalau Alec tidak punya pedang. Oh Tuhan, pria itu sungguh-sungguh tidak
berdaya.
Jamie mengkhawatirkan keselamatan Alec. Dan
kekhawatiran itu menerbitkan kegeraman. Prajurit macam apa yang bepergian
melewati hutan belantara tanpa membawa senjata?
Prajurit sialan yang pelupa, pikir Jamie
sambil mendengus. Mungkin pedang Alec hilang di suatu tempat dalam
perjalanannya menuju London dan pria itu tidak merasa perlu menggantinya.
Tentu saja, ia harus turun tangan, pikir
Jamie. Alec Kincaid suaminya, dan tak seorang pun bisa menyentuh Alec elama ia
masih hidup. Jamie tidak mau memahami alasan sebenarnya mengapa ia tidak ingin
melihat Alec terluka, maka ia hanya beralasan bahwa ia tidak mau menjadi janda
pada hari pernikahannya, titik.
Jamie mengeluarkan belati kecil dari ikt
pinggang bersimpul yang ia lilitkan di pinggang, berharap ada cukup waktu untuk
mengoper senjata tersebut ke Alec. Kalau digunakan dangan akurat, belati itu
bisa menimbulkan luka parah. Ada juga senjata Daniel, Jamie teringat. Ia berdoa
semoga Daniel tahu bagaimana mengayunkan senjata. Baru saja Jamie hendak
meminta Daniel membantu suaminya ketika Alec tiba-tiba membalikkan badan.
Alec memberikan isyarat kepada Daniel.
Jamie bisa melihat wajah Alec dengan jelas sekarang dan langsung gemetar.
Ekspresi berang di mata hitam Alec yang dingin membuatnya takut. Jamie bisa
melihat kekuatan alami di lengan dan paha Alec yang berotot. Tampak amarah juga
di sana. Tatapan itu menghanyutkan Jamie bagai gelombang panas. Kekuatan
memancar dari diri Alec hingga berubah menjadi kabut tebal yang mengelilingi
mereka semua.
Jamie belum pernah melihat ekspresi seperti
itu, tapi ia memahaminya: Alec siap membunuh.
Mary mulai menangis. “Bukan babi liar, kan,
Jamie?”
“Bukan, Mary,” bisik Jamie. Ia terus
menatap suaminya sementara meremas lengan Mary. “Semua akan baik-baik saja.
Kedua suami kita akan menjaga kita supaya aman. Lihat saja.”
Jamie nyaris meyakini jaminannya sendiri
hingga ia melihat para bandit yang perlahan-lahan menghampiri Alec. Saat itu,
ia berpikir keadaan akan sama sekali tidak akan baik-baik saja.
Alec sudah berada cukup jauh dari tempat
mereka. Jamie menduga, Alec sengaja berusaha menjauhkan para bandit dari para
wanita.
Para bandit itu perlahan-lahan mengikuti
Alec. Mereka juga bergerak santai, seolah-olah mereka punya banyak waktu untuk
membunuh mangsa mereka. Tubuh Alec jauh lebih besar daripada musuh-musuhnya,
tapi ia tidak bersenjata. Peluangnya jelas tidak bagus. Dua dari keempat bandit
itu membawa pentungan hitam. Dua yang lainnya mengayun-ayunkan pedang ke udara.
Gerakan mengiris-iris menimbulkan suara berdesir di udara. Terlihat darah
kering mengeras di bilah pedang mereka, tanda keberhasilan serangan mereka
sebelumnya.
Jamie merasa mau muntah. Wajah mereka kejam
sekali. Mereka seolah menikmati semua ini. Dua di antaranya bahkan terseyum.
Gigi mereka sehitam pentungan mereka.
“Daniel, kumohon, pergilah dan bantui
Alec,” pinta Jamie, suaranya lemah karena ketakutan.
“Hanya ada empat orang. Akan beres dalam
satu menit.”
Jawaban Daniel membuat Jamie geram. Ia tahu
Daniel berdiri di depan mereka untuk melindungi, tapi menurutnya, itu bukan
tindakan mulia mengingat Alec akan dibantai.
Jamie meraih bahu Mary dan mendorong
punggung Daniel. “Alec tidak punya senjata untuk membela diri. Berikan belatiku
atau pedangmu padanya, Daniel.”
“Alec tidak butuh senjata.”
Daniel mengatakan itu dengan nada riang
sampai-sampai Jamie yakin kalau Daniel pasti sudah sinting.
Jamie berhenti berdebat dengan Daniel. “Kau
yang pergi dan membantunya atau aku yang akan melakukannya.”
“Baiklah, kalau kau memaksa.” Daniel
melepaskan tangan Mary dari tuniknya dan menghampiri orang-orang yang
mengelilingi Alec.
Tapi, ketika sampai di tepi padang terbuka,
Daniel berhenti. Jamie tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dengan tenang
Daniel memasukkan kembali pedangnya ke sarungnya, melipat tangan di depan dada,
dan terkutuklah Daniel karena ia malah menyeringai ke Alec.
Alec balas menyeringai.
“Kita menikah dengan orang-orang bodoh,”
kata Jamie pada Mary. Rasa takutnya melebihi amarahnya, sebab dalam kesenyapan
suaranya terdengar gemetaran.
Seruan kencang tiba-tiba menarik perhatian
jamie. Seruan pertempuran itu berasal dari Alec. Suara yang menggetarkan tulang
yang wajar saja kalau membuat Mary menjerit.
Lingkaran orang itu menghampiri Alec. Alec
menunggu hingga orang pertama berada dalam jangkauan serangan, lalu melesat
cepat sampai-sampai ia hanya tampak seperti bayangan kabur bagi Jamie. Jamie
melihat Alec menyambar lengan dan rahang seorang bandit, mendengar suara
derakan tulang yang mengerikan ketika Alec memuntir leher lawannya ke posisi
yang tidak wajar.
Alec melempar laki-laki itu ke tanah tepat
saat dua bandit lainnya berteriak dan merengsek ke sisi kirinya. Alec
menghantam kedua kepala mereka, lalu melemparkan mereka ke atas tubuh bandit
yang lebih dulu teronggok di atas tanah.
Bandit yang terakhir mencoba-coba mengambil
kesempatan dengan menyerang dari belakang. Alec berputar, menghantamkan sepatu
botnya ke selangkarang laki-laki itu dengan gerakan yang terlihat sangat
santai, lalu dengan satu pukulan keras ke rahang, Alec membuat laki-laki itu
melayang.
Tumpukan orang di tanah menjadi sebesar
piramida. Sesumbar Daniel bahwa pertarungan itu akan cepat selesai ternyata
benar, sebab waktu baru berlalu kurang dari satu menit.
Alec bahkan tidak terlihat
tersengal-sengal. Fakta menakjubkan itu baru saja mengendap di benak Jamie
ketika perhatiannya teralihkan lagi oleh suara baru. Ia menoleh bertepatan
ketika tiga laki-laki bertubuh besar berlari menghampirinya dari balik semak
belukar di seberang batu besar.
Seperti ular, mereka merayap melewati
semak-semak.
“Alec!” teriak Jamie.
“jamie, kau harus melindungiku,” jerit
Mary.
Sebelum Jamie sampat menjawab, Mary
menariknya dari batu besar. Mary merapatkan diri ke batu, lalu menarik Jamie di
depannya. Tubuh Mary sedikit lebih tinggi daripada Jamie, tapi begitu bahunya
merosot ke dalam lekukan batu dan wajahnya menyelinap di antara tulang belikat
Jamie, Mary terhalangidari serangan. Batu besar itu melindungi punggungnya dan
Jamie menutupi tubuh bagian depannya.
Jamie tidak berusaha melindungi dirinya
sendiri. Ia memahami tugasnya. Mary yang lebih utama. Kalau perlu, ia akan
mengorbankan nyawanya demi keselamatan Mary.
Ketiga laki-laki itu nyaris sampai di depan
mereka ketika Jamie teringat belati kecil yang dipegangnya. Ia membidik dan
melemparkan senjata itu, sengaja memilih laki-laki yang bertubuh paling besar.
Bidikannya ternyata tepat. Bandit itu mengeluarkan jeritan memekakkan telinga
dan ambruk.
Daniel menyerang laki-laki kedua dari tiga
orang berambut hitam itu dan merobohkan penjahat tersebut dengan pukulan
kencang ke perut. Alec harus menempuh jarak yang lebih jauh. Pada saat ia
hampir mencapai mangsanya, ia sudah terlambat. Walau Jamie berjuang seperti
kucing hutan, bajingan itu berhasil mencengkramnya erat sekali. Belati si
bandit ditekankan ke jantung Jamie.
“Berhenti di sana,” seru laki-laki itu pada
Alec dengan suara melengking. “Kalau kau mendekat, aku akan membunuhnya. Aku
bisa dengan mudah memenggal leher kecilnya yang indah ini.”
Daniel sudah selesai bertarung dan
pelan-pelan menghampiri dari belakang. Alec memberinya tanda agar berhenti
ketika penjahat itu melihat ke balik bahu dengan takut. Bandit itu semakin
mempererat cengkramannya di rambut Jamie untuk merespons ancaman baru tersebut,
lalu memuntir rambut Jamie seraya menyentakkan kepala Jamie ke belakang.
Alec melihat tatapan liar dan putus asa di
mata hitam laki-laki itu. Bajingan itu pasti ketakutan, karena Alec melihat
tangannya gemetaran. Tinggi bandit itu sedang, sementara wajah dan perutnya
buncit. Keparat ini akan jadi mangsa yang mudah, pikir Alec, begitu Jamie bisa
lepas dan tidak lagi berada dalam bahaya. Tapi, saat ini laki-laki itu sedang
panik. Rasa takut membuat lelaki itu tidak bisa ditebak bagai tikus yang
terpojok. Ia bisa saja membunuh Jamie kalau terpancing… atau saat merasa
situasinya sudah tamat.
Tentu saja, situasinya memang sudah tamat.
Bajingan itu akan mati. Takdirnya telah ditetapkan begitu ia menyentuh Jamie.
Alec memupuk amarahnya, menanti
kesempatannya. Ia berpura-pura berdiri santai, bersedekap, dan sebisa mungkin
tampak bosan.
“Aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku,”
teriak bandit yang menahan Jamie. “Dan suruh wanita itu tutup mulut. Aku tak
bisa berpikir kalau dia menjerit-jerit seperti itu.
Daniel langsung menghampiri Mary. Tangannya
menutup mulut Mary, memaksa Mary diam, tapi ia tidak berlama-lama menatap Mary.
Perhatiannya terfokus pada si bandit sementara menunggu kesempatan untuk
menyerang.
Rasa takut perlahan-lahan lenyap dari mata bandit
itu. Ia menyeringai, merasa kemenangan sudah pasti berada di pihaknya sekarang.
Saat itulah Alec tahu kalau dirinya sudah mengusai situasi. Si tikus sudah
bersiap-siap keluar dari sudut. Bedebah itu merasa percaya diri, dan keyakinan
yang keliru itu akan menjadi awal kehancurannya.
“Yang ini istrimu?” teriak laki-laki itu pada
Alec.
“Ya.”
“Kau menyayanginya?”
Alec mengangkat bahunya.
“Oh, kau pasti menyayanginya,” seru si
bandit. Kemudian, ia terkekeh riang. Suaranya jelek dan menjengkelkan. “Nah, kau
tidak mau aku membunuh gadismu yang cantik ini, kan?” Ia memotong rambut Jamie,
berharap akan ada yang meringis untuk membuktikan kekuatannya dan
ketidakberdayaan mereka. Tapi, ketika ia melirik gadis yang disanderanya, ia
sadar kalau ia sudah gagal.
Tawanannya memnelalak menatapnya. Ia tahu
ia telah menyakiti sanderanya, tapi gadis ini tidak mau berteriak.
Alec berusaha untuk tidak menatap wajah
istrinya, tahu pasti bahwa konsentrasinya akan pecah saat melihat ketakutan di
mata Jamie. Jika itu terjadi, ia tidak akan bisa mengendalikan amarahnya. Tapi,
ketika bandit itu memuntir rambut Jamie keras-keras, secara naluriah Alec
menoleh ke arah istrinya.
Jamie tidak terlihat takut. Gadis itu malah
terlihat sangat geram. Alec sangat terkejut dengan keberanian istrinya itu
sampai-sampai nyaris tersenyum.
“Ambilkan salah satu kuda yang bagus
untukku,” perintah si bandit. “Begitu aku telah aman dan yakin kalian tidak
mengikutiku secara diam-siam, aku akan melepaskan gadismu yang cantik ini.”
Alec menggeleng. “Tidak bisa.”
“Apa katamu?”
“Aku bilang, tidak bisa,” jawab Alec,
suaranya kini setenang semilir angin yang lembut. “Kau boleh membawanya, tapi
tidak boleh membawa kudanya.”
“Aku bilang aku mau kedua-duanya!” suara si
bandit terdengar seperti lengkingan brung yang terperangkap.
“Tidak bisa.”
“Biarkan dia mengambil dua-duanya, Alec,” saran Daniel. “Kau bisa mendapatkan pengganti keduanya dengan mudah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar