Terkadang cubitan di pantat itu oke…
Tiga hari kemudian Thork dan
rekan-rekannya membawa kuda mereka ke halaman di samping rumah Olaf.
Alis Thork terangkat ketika ia
melihat Ruby duduk seperti seorang ratu di bawah naungan sebuah pohon di dekat
sungai. Selusin anak-anak yang tertawa geli mengelilingi sambil memujanya,
seperti hamba setia yang memohon “satu cerita lagi saja.” Ulf berdiri dengan
waspada tak jauh dari mereka.
Setelah turun dari kuda, Thork
menyerahkan tali kekangnya kepada Selik, yang membuatnya kesal karena
menyeringai dengan terang-terangan ke arah Ruby sebelum masuk ke kandang. Ia
sudah memperingatkan pemuda berdarah panas itu agar tidak mendekati Astrid
kalau masih ingin hidup. Cnut berada tak jauh di belakang mereka, hampir tak
bisa menahan tawanya.
Teman-temannya tahu kalau
Thork dongkol pada panggilan mendadak yang mengganggu kunjungannya yang
menyenangkan di manor kakeknya dan sudah tak henti-hentinya mengingatkan mereka
semua atas kedongkolannya itu dalam perjalanan kembali ke Jorvik. Kehidupan
selibat yang mau tak mau harus dijalaninya selama perjalanannya yang panjang di
laut telah membuatnya semakin menghargai tawaran menggoda dari sang janda
Viking, Linette, yang juga tinggal di rumah kakeknya. Tapi lebih dari itu,
Linette telah membantunya untuk melupakan wanita pembawa masalah yang
menunggunya di Jorvik. Dan ia sama sekali tidak senang harus kembali ke Jorvik
untuk menghadiri pesta dansa di istana Sygtrygg, terutama ketika ia masih belum
bosan dengan pesona Linette.
Neraka dan Valhalla!
Sebenarnya bukan ketidakhadiran Linette yang mengganggu pikirannya. Ada banyak
perempuan di Jorvik. Perempuan mana pun sama saja baginya dan memang selalu
seperti itu. Suasana di istana itulah yang dibencinya.
Ketika ia mendekati gerombolan
anak-anak di halaman Olaf, sejauh ini masih tidak terdeteksi, Thork melihat
Ruby mengatur anak-anak itu menjadi satu baris namun dua dari anak-anak itu
berdiri di depan, dengan posisi saling berhadapan, tangan mereka terangkat dan
menempel. Jantung Thork terasa sakit ketika ia melihat Tykir berdiri di ujung
barisan, memandangnya dengan penuh kerinduan, tak bisa berlari menyambut
ayahnya seperti anak pada umumnya. Anak itu mengikuti perintah ayahnya dengan
baik.
“Aku tahu kalian akan menyukai
permainan ini karena permainan ini didasarkan pada pertempuran terkenal bangsa
Viking…”
Pertempuran Viking apa? Thork
bertanya-tanya, mengerutkan keningnya.
“Dalam pertempuran ini,” Ruby
melanjutkan kisahnya yang menakjubkan, “orang-orang Viking yang kejam itu tidak
hanya mengambil alih kota London, tapi mereka juga merubuhkan London Bridge
untuk mencegah orang-orang Saxon mengambil kembali kota itu. Bukankah itu
cerdas?”
London Bridge? Penjajahan
Viking di London? Kelicikan apa lagi yang sedang direncanakan penyihir ini?
Alis Thork menyatu dengan ekspresi bingung di keningnya. Wanita ini benar-benar
sebuah teka-teki. Di benak Thork, perempuan adalah makhluk yang sederhana,
seperti kucing. Egois. Bodoh. Jelas sekali tidak memiliki kehormatan dan
kesetiaan. Wanita misterius ini tidak sesuai dengan kriterianya, dan itu
benar-benar mengusiknya.
Dan jelas sekali kalau Ruby
terlihat berbeda dari hari pertama ia melihat wanita itu di pelabuhan.
Rambutnya masih sangat pendek seperti anak laki-laki, tapi rambutnya itu juga
berkilau seperti kayu mahoni yang mengilap di bawah sinar matahari musim panas,
menonjolkan kulitnya yang putih dan mulus, tulang pipi yang tinggi, hidung yang
lurus dan tegak melengkung di ujungnya, serta bibir yang penuh dan sensual.
Kausnya yang menghina serta
celana panjang itu sudah lenyap, digantikan oleh tunik hijau yang lebut dan
menempel ke tubuhnya, mungkin punya Astrid, kalau melihat ukuran wanita itu.
Setiap kali ia bergerak untuk meluruskan lengan seorang anak atau memosisikan
mereka di dalam barisan, tunik itu akan memperlihatkan bagian dari tubuhnya
yang ramping dan tinggi–panjang , bukan, tungkai ygn sangat panjang, pinggang
yang kedua tangan Thork sudah gatal dan tak sabar untuk menyentuhnya, payudara
yang tinggi dan kencang, serta bokong bulat yang menundang tangan seorang
laki-laki.
Wanita itu tidak cantik–tidak,
jauh dari cantik–tapi aura sensual wanita itu telah menariknya. Thork
memikirkan reaksi tubuhnya terhadap wanita itu, sepertinya ia bisa membahayakan
masa depannya. Demi Thor! Seharusnya ia
tinggal lebih lama di Northumbria – sampai Linette selesai memuaskan dahaganya.
“London Bridge is falling
down, falling down, falling down,”
Ruby bernyanyi sambil anak-anak itu berbaris di bawah “jembatan.” Ia
bersenandung dengan riang sampai mata abu-abunya kehijauan itu terangkat dan
terhubung dengan mata Thork – awalnya dengan hangat, kemudian menjadi waspada.
Wanita itu menyembunyikan banyak hal. Thork harus berhati-hati.
Ruby memberitahu Tyra untuk
memimpin permainan itu dan berjalan ke tempat Thork sedang berdiri. Tyra
awalnya memprotes, ingin mendatangi Thork juga, tapi menurut ketika Thork
menjajikan sebuah kejutan untuknya nanti. Dengan tidak kentara ia juga
menganggukkan kepalanya kepada Tykir, memberitahu kalau ia juga akan membawa
sesuatu untuk anak itu.
“Sudah waktunya kau kembali,”
Ruby menuduhnya.
“Masalah apa lagi yang kau
buat, Penyihir?”
Ruby memandang dengan rasa
tidak suka, tapi Thork bisa melihat di matanya yang jernih, sekarang lebih ke
hijau ketimbang abu-abu, kalau dengan enggan wanita itu apa yang dilihatnya.
Thork menyeringai.
Ruby mendelik.
Merasa malu, Ruby menyerang.
“Ada beberapa hal yang ingin kukatakan mengenai sikapmu yang mengabaikan
anak-anak kita. Aku tidak bisa percaya…”
Thork mengangkat satu
tangannya untuk menghentikan omelan Ruby.
“Apakah kau tidak pernah
menyerah? Kau masih tidak mau mendengarkan peringatan Sigtrygg, dan dariku
juga, kalau kebohongan serta ceritamu tentang masa depan itu tidak baik untuk
nasibmu. Kita tidak menikah, dan anak-anakku adalah urusanku sendiri, bukan
orang lain.”
“Dan karena itu kau tidak mau
menerima saran dari siapa pun tentang penderitaan mereka?”
“Penderitaan?” Thork
menyipitkan matanya dengan sinis. “Siapa yang menyakiti mereka?”
“Kau.”
Thork melemparkan tangannya
dengan putus asa. “Satu kata lagi dan demi pedang Thor, aku bersumpah, aku
akan…”
“Apa? Memenjarakanku?” mata
Ruby menyala dengan tantangan.
Thork menggertakkan gigi,
memerintahkan dirinya untuk tidak terpancing oleh umpan yang dilemparkan wanita
itu. Akhirnya ia berkata dengan kaku, “Kau pantas mendapatkan hukuman itu dan
akan mendapatkannya lebih dari itu kalau kau tidak mengubah sikapmu. Sana,
lanjutkan permainanmu dengan anak-anak itu dan jangan berpikir untuk melarikan
diri… atau memancing kemarahanku.”
Ruby berputar untuk kembali
kepada anak-anak itu, namun melalui bahunya ia membuat tanda vulgar Anglo-Saxon
dengan tangannya, dan Thork belum pernah sekali pun mendengar ada wanita yang
membuat tanda itu, bahkan dengan berbagai perjalanan yang telah dilakukannya.
Wanita itu benar-benar tak
bisa dipercaya!
Thork menyeringai dan
menggeleng. Ia akan memberi pelajaran pada wanita lancang ini! Mengulurkan
lengannya yang panjang, ia melakukan sesuatu yang sudah ingin sekali
dilakukannya sejak Ruby membungkuk dengan anak-anak di dekat sungai itu.
Ia mencubit bokong Ruby yang
menggoda.
Ruby menjerit dan bisa
dibilang melompat, lalu melemparkan tatapan membunuh pada Thork. “Beraninya kau
melakukan itu?”
Ya, aku berani, Wench.
Dan ingat itu dengan baik sebelum kau menggodaku lagi.”
“Ini sudah yang kedua kalinya
kau melakukan itu padaku,” Ruby meledak. “Berikutnya aku mungkin akan melakukan
yang sama padamu, tapi bukan pantatmu yang kucubit. Sebaiknya kau ingat itu.”
Thork mendongakkan kepalanya
ke belakang dan tertawa dengan keras mendengar balasan Ruby.
Ia bukan Carrie Underwood…
Ruby melanjutkan permaiannya
dan menceritakan berbagai dongeng kepada anak-anak, sementara itu, di dalam
kepalanya ia melatih kata-kata yang rencananya akan disemburkannya kepada Thork
ketika ia sudah masuk ke dalam rumah nanti. Akan tetapi, ia harus merasa kecewa
ketika mengetahui Thork dan Olaf sudah pergi ke pelabuhan dan Thork akan
tinggal di istana selama di Jorvik.
“Ruby, ayo cepat. Kita harus
menemukan pakaian untuk dipakai malam ini. Kita akan pergi ke istana untuk
menghadiri jamuan makan malam,” Astrid memberitahunya dengan bersemangat. Ini
adalah kehangatan pertama yang diperlihatkan gadis itu kepada Ruby sejak hukumannya.
“Aku?”
“Ya, raja meminta dengan
spesifik agar kau ikut. Ayah tidak bisa menolak. Aku juga diizinkan untuk
pergi.”
“Kenapa Sigtrygg ingin bertemu
denganku lagi?” tanya Ruby dengan gugup. Walaupun Thork kemungkinan besar juga
akan hadir di pesta itu dan mungkin ia akan memperoleh kesempatan untuk
mendiskusikan masalah anak-anak peria itu dengannya., Ruby lebih memilih untuk
tinggal di rumah. “Aku lebih baik tidak ikut.”
Gyda mendengar kata-katanya
dan memberitahunya dengan tegas, “Bukan kau yang memutuskannya. Kita akan
pergi.”
Para pelayan laki-laki
membawakan bak mandi untuk mereka sementara lainnya memasak air di atas tungku
yang disiapkan untuk acara itu. Ketika mereka sudah selesai mandi, para pelayan
itu membuang air dari dalam bak mandi dan mengisinya kembali dengan air bersih
untuk digunakan oleh Olaf.
Di dalam kamar utama yang
terletak di lantai dua, Gyda menilai beberapa gaun yang dihamparkannya di atas
tempat tidur untuk Astrid dan Ruby, pertama-tama ia memilih, kemudian
menyingkirkan semua yang dirasanya tidak pantas – terlalu terang, terlalu
suram, terlalu panjang, terlalu usang, terlalu ketat, terlalu longgar. Mata
penjahit Ruby melihat tunik yang dikenakan bangsa Viking ini tak lebih dari dua
kain persegi yang disatukan di bagian pundaknya dengan tali dan bros.
Akhirnya Astrid memilih sebuah
tunik berwarna merah tua yang terang dengan bordiran benang emas dan dilengkapi
sebuah ikat pinggang dari rantai emas serta dua buah bros bahu indah yang
bertatahkan batu semerah darah.
Mungkinkah benag dan sabuk itu
benar-benar terbuat dari emas murni? Dan bati-batu itu! Sudah pasti bukan batu
rubi!
Ketika Astrid meninggalkan
kamar itu untuk mencari Adeleve, yang memiliki bakat dalam menata rambut, Gyda
berpaling pada Ruby. “Menurutku yang hijau,” ujarnya sambil mengangkat pakaian
itu di depan Ruby. “Warna ini mencerahkan matamu dan mengalihkan perhatian
dari… dari…” Ia menunjuk rambut pendek Ruby dengan jijik. “Ayo coba dan kita
lihat hasilnya.”
Ruby memakai kaus kaki
setinggi paha warna putih, menganakan pakaian dalam berlipit sepanjang mata
kaki dengan leher bulat serta lengan yang panjang dan ketat hingga ke
pergelangan tangannya.
Tidak ada celana dalam!
Orang-orang ini bisa memakai hasil karyanya, pikir Ruby. Bibirnya melengkung ke
atas dengan geli. Kalau ada angin kencang yang bertiup, bagian pribadi
wanita-wanita Viking ini pasti akan menggigil.
Gyda membantunya memakai gaun
sutra hijau itu melewati kepalanya. Sama seperti gaun Astrid, bordiran emas
menghiasi keliman serta tepian lengan dan lehernya. Bros dari emas berbentuk
hewan dipasangkan di bahunya. Naga yang meliuk itu memiliki mata dari batu
amber. Mungkin harganya mahal, terka Ruby.
“Aku tidak bisa memakai
sesuatu yang semahal ini. Aku takut akan menghilangkannya.”
“Jangan takut. Ini punya
Thork.” Gyda menunjuk ke sebuah peti kecil dari kayu yang tergeletak terbuka di
sudut. Ruby memeriksa tulisan runik di kotak itu, “Thokkr a Kistu Thasa.”
Ketika ia bertanya, Gyda memberitahu artinya “Thork memiliki peti ini.”
“Thork menyimpan sebagian
hartanya di sini berhubung dia tidak punya rumah sendiri. Dia juga menyimpan
sebagian di rumah kakeknya.”
“Well, kalau ini milik
Thork, aku tak keberatan. Bagaimana juga, dia suamiku… kurang lebih. Selain
itu, dia berutang padaku, setelah memperlakukanku dengan begitu buruk.”
Sambil mengerutkan bibirnya,
Gyda memandang Ruby ketiak ia menyebut
Thork sebagai suaminya. “Itu hanya dipinjamkan, kau mengerti.”
Tentu.
Berikutnya Gyda mengambil
sebuah ikat pinggang emas yang halus dari kotak milik Thork, yang ukurannya
bisa diatur. Di tengah ikat pinggang itu dipasangkan sebuah bros naga yang
serasi dengan yang ada di bahunya, kecuali binatang ini memiliki mata batu amber
yang lebih besar.
Elizabeth Taylor, silakan
gigit jarimu, Ruby menyombong dalam hati. Gaya hidupViking ini mungkin tak
terlalu buruk juga.
Sementara itu, Gyda
mendecakkan lidahnya dengan jijik melihat tubuh Ruby yang kerempeng. “Ck, ck!
Apakah orang tuamu miskin sampai-sampai mereka tidak bisa memberimu makan?
Badanmu hanya tulang dan kulit.” Gyda melipat dan menjahit menggunakan benang
dan jarum yang disimpannya berbentuk silinder kecil yang selalu tergantung di
brosnya.
Ruby menunduk dan memandang
tubuhnya. Tulang dan kulit? Tidak menurut standar abad dua puluh satu! Tubuh
ramping yang dimilikinya sekang adalah bentuk tubuh ideal wanita modern, bukan
tubuh yang montok, dan jelas sekali, berlekuk.
“Cukup satu bulan saja kau
memakan makanan Viking, dan bisa dipastikan, kami akan membuat badanmu lebih
berisi.”
Ya ampun, memangnya ia masih
akan ada di tempat ini bulan depan? Dan kalau iya, Ruby bertekad tidak akan
membiarkan ornag-orang Viking ini mengganggu-gugat tubuh Jessica Alba yang
berhasil didapatkannya ini, dan mengubahnya menjadi karikatur Rubensesque.
Mereka pergi ke istana dengan
menunggang kuda, walaupun jaraknya tidak jauh, untuk melindungi kulit sepatu
mereka yang lembut dan keliman gaun mereka, yang dengan penuh gaya terseret di
belakang. Ketiga wanita itu menunggang kuda dengan menghadap ke samping, sebagaimana
kebiasaan di sana – bukan hal mudah untuk Ruby, yang mencengkram serai kuda itu
demi kelangsungan hidupnya.
Ketika mereka memasuki istana
itu, riuhnya percakapan dan suara tawa dari beratus pria dan wanita berbaju
indah yang memenuhi tempat itu menyambut mereka. Olaf menunjukkan kepada Ruby
bagian dari bangunan itu yang merupakan peninggalan kota kuno Roma, Eboracum,
serta beberapa sentuhan arsitektural yang jelas sekali bernuansa Nordic,
seperti ukiran rumit dan tulisan-tulisan runik di pinggiran atap dan
bagian-bagian lain yang terbuat dari kayu.
“Apakah pesta ini diadakan
untuk merayakan sesuatu?” tanya Ruby pada Gyda.
“Ya. Seseorang telah tiba di
Inggris membawa dokumen resmi pernikahan. Kita merayakan peresmian pertunangan
itu.”
Ruby mengikuti keluarga Olaf
ke sebuah meja di dekat podium, tempat Thork duduk bersama raja dan sekitar
selusin tamu yang lebih terhormat. Tak seperti di wilayah yang lebih rendah, di
meja podium itu dilapisi taplak meja dari kain linen halus dan peralatan makan
dari perak.
Tampil gemerlap dalam tunik
biru-malam dengan jalinan benang perak di atas celana ketat sehitam batu bara,
Thork melambangkan ksatria Viking yang terhormat. Ia menyesap minumannya dengan
lesu, benar-benar terlihat bosan. Setiap kali ia mengangkat gelasnya untuk
minum, gelang tebal dari perak yang melingkari lengan atasnya memantulkan
cahaya dari lampu minyak dan obor yang tersebar di sekeliling aula itu. Sebuah
piringan bulat yang dipenuhi batu mulia tergantung di dadanya dengan kalung
rantai perak yang berat.
Rambut pirang Thork masih
melewati bahunya, tapi pria itu mendorongnya ke belakang salah satu telinganya
di mana sebuah… ya Tuhan… sebuah anting-anting berbentuk halilintar tergantung
di sana. Suaminya, Jack tidak akan pernah memakai anting-anting, tapi Thork
cocok sekali menganakannya, dan hal itu mempertegas maskulinitasnya,
menonjolkan gambaran bajak laut pemberontak yang dipancarkannya.
Ruby bertanya-tanya apakah ia
bisa membujuk Jack untuk memakai anting-anting. Ia kemudian membayangkan Jack
dalam setelah jas bergaris-garis yang konservatif dan sebuah anting-anting
halilintar, dan ia menyukainya!
Ketika Thork mengarahkan mata
birunya yang jernih pada Ruby, keterkejutan pria itu melintas di wajahnya.
Dengan tidak kentara mengangguk sementara tatapannya yang tenang menahan Ruby
cukup lama. Seperti halilintar di telinganya, gelombang kehangatan sepertinya
mengalir dari pria itu ke dalam dirinya, memelihara benang tipis yang entah
bagaimana, menghubungkan mereka.
Lalu Ruby menyadari kehadiran
wanita itu di sisinya. Perempuan murahan yang sama dengan yang dipelabuhan!
Ruby mengepalkan tangannya dan memaksa dirinya untuk memandang ke arah lain.
Jamuan itu berlangsung hingga
lebih dari tiga jam, dengan berbagai hidangan lezat, anggur yang sempurna, dan ale
yang berlimpah. Sementara para pelayan membersihkan meja, orang-orang mulai
berkelompok, menunggu dimulainya hiburan. Astrid dengan malu-malu berbincang
dengan Selik di bawah tatapan waspada Olaf. Raja dan kelompoknya turun dari
podium, termasuk si pirang montok yang memeluk lengan Thork dengan posesif.
Kecemburuan menggerogoti
dirinya, dan Ruby membenci dirinya sendiri untuk itu. Kenapa ia harus merasa
cemburu pada pria Viking ini? Thork bukan suaminya. Iya, kan?
Wanita itu mengingatkan Ruby
pada seseorang. Oh, tidak! Jangan Jessica Alba! Akan terlalu banyak kebetulan
namanya kalau Thork dan Jack menyukai tipe perempuan yang sama. Jack tidak
serius ketika dia bilang akan mencari wanita dengan tubuh seperti Jessica Alba.
Pria itu hanya bercanda, Ruby mengatakan pada dirinya sendiri.
Para pelayan mengatur
berlusin-lusin kursi di dasar tangga untuk tamu-tamu yang paling elit. Olaf
menariknya dan Gyda ke tepi kerumunan itu, lalu memegang pinggang mereka dan
mengangkat mereka berdua sehingga mereka bisa duduk di pinggir podium. Sebagian
besar orang-orang itu duduk di bangku lebar dan rendah yang dipasang di
dinding-dinding aula. Yang lainnya berbincang dengan suara pelan dalam
kelompok-kelompok kecil.
Hiburan malam itu dimulai
dengan seorang wanita Viking muda yang menyanyikan sebuah balada yang indah,
ditemani oleh saudara laki-lakinya yang memainkan lute. Kemudian seorang
skalad , atau pujangga, menceritakan kisah-kisah keberanian bangsa
Viking dalam pertempuran. Ceritanya mengisahkan tentang orang-orang pemberani
yang terusir dari tanah kelahiran mereka karena masalah politik dan kelebihan
penduduk, dipaksa untuk mencari tanah baru bagi keluarga mereka – jelas sekali
motivasi yang berbeda dari gambaran haus darah yang dikalim oleh para ahli
sejarah mengenai motivasi yang mendorong orang-orang Norse itu untuk melakukan a-Viking.
Salah satu hikayat itu
menceritakan sebuah kisah menarik tentang ayah Thork, King Herald of Norwey,
dan bagaimana pria itu mendapatkan nama Harald Fairhair. Kisah itu dimulai dengan
menceritakan berbagai keberhasilan Harald, di mana yang paling hebat di
antaranya adalah penyatuan seluruh Norwegia.
“Disebutkan bahwa sukses
terbesarnya itu merupakan hasil dari celaan Gyda, putri King Of Hordaland.”
Ruby melirik gyda bertanya apakah ia dinamakan berdasarkan wanita itu, tapi
istri Olaf itu sepenuhnya tenggelam dalam kisah tersebut dan tidak
memperhatikannya. Ruby juga melirik singkat pada Thork yang berselonjor dengan
kaki terentang di sebuah kursi berlengan di dekat raja, bibirnya mencibir
dengan sinis. Mungkin kisah itu tidak sepenuhnya benar.
Sang skald mengklaim
bahwa Gyda menolak untuk menikahi Harald muda hingga pria itu berhasil
menggabungkan seluruh Norwegia, seperti yang telah dilakukan Gorm di Denmark.
Harald bersumpah tidak akan pernah memotong atau menyisir rambutnya sampai ia
mendapatkan tujuannya. Memakan waktu sepuluh tahun sebelum ia menjadi high-king.
Setelah mandi dan bercukur rambut serta jenggotnya, namanya berubah dari Harald
lufa – Harald Mop-Hair – menjadi Harald harfagri – Harald Fairhair.
Kemudian, dengan sukarela Gyda mendatangi tempat tidurnya, menggabungkan apa
yang digambarkan sang skald itu sebagai kumpulan para istri dan gundik
kerajaan.
“Omong kosong!” makian kasar
Thork menggema dengan keras ke seluruh aula itu, di mana para tamu tengah
mengikuti kisah tersebut dengan khidmat.
Sigtrygg berpaling pada Thork
dan bertanya, “Apakah kau mencela kisah itu?”
“Ya, benar sekali. Hasil
akhirnya memang benar, tapi coba kau pikirkan, mengingat bagaimana kelicikan
ayahku, apakah mungkin permintaan wanita itu yang mendorongnya?”
Sigtrygg memikirkannya
sejenak, kemudian setuju. “Kau benar, Thork, tapi hal itu membuat ceritanya
menjadi menarik.” Lalu ia berpaling kepada skald yang malu itu dan
bertanya, “Apakah kau tahu itu?”
“Ya, tapi saya tidak tahu
apakah kisah itu benar,” pria itu merengek. “Saya hanya menghubungkan apa yang
sudah saya dengar.” Skald itu memandang Thork, bertanya-tanya apakah
Thork akan menemukan kesalahan dengan cerita yang ini juga. Ketika Thork
mengacuhkannya, memandang dengan bosan ke dalam gelasnya, pria itu melanjutkan
kisahnya.
Dalam puisi yang detail, pria
itu menceritakan tentang nenek moyang Ruby, Hrolf, yang telah dinyatakan
sebagai penjahat di Norwegia oleh Harald, walaupun pria itu berteman dengan
ayah Hrolf, Rognvald, Earl of More. Si skald menelusuri keturunan Hrolf
hingga sebelas generasi mulai dari seorang raja yang dipanggil Fornjot di
Finlandia. Ia terus bercerita hingga akhirnya menyimpulkan, “…dan Raja
Frankish, Charles the Simple, memberikan provinsi Normandia kepadanya.”
Ruby mendapati kisah itu
sangat menarik, tapi berharap skald itu tidak menceritakannya, karena
kisah itu membuat Sigtrygg teringat padanya.
“Di mana wanita yang mengaku
keturunan Hrolf itu?” Sigtrygg berseru, memandang kerumunan itu untuk
mencarinya. “Apakah dia sudah dipenggal?”
Ya ampun! Orang ini benar-benar suka
memenggal.
Ruby berusaha meluncur dari podium
agar bisa tertutupi oleh tubuh besar Olaf. Tidak beruntung! Olaf berputar dan
menurunkannya, lalu memberitahunya untuk maju ke depan.
Oh, bagus! Ayo kita mulai
lagi!
Ruby maju ke depan dengan dagu
terangkat tinggi, berusaha agar lututnya tidak meleleh.
“Pakaianmu sudah jauh lebih
baik semenjak terakhir kali kita berjumpa,” raja itu berkomentar sambil
mengejeknya, sepertinya lupa bahwa terakhir kali mereka bertemu, Ruby hampir
telanjang. Ruby tidak berniat untuk mengingatkan pria itu.
“Kenapa kami tidak melihatmu
di istana ini?”
Pria itu rupanya sudah lupa
kalau ia memerintahkan Thork untuk membawanya pergi.
“Aku tinggal dengan keluarga
Olaf.”
Sigtrygg menganggukkan kepala
dengan rambutnya yang kusut, sudah ingat pada perintahnya waktu itu dan
memandang Thork. “Seberapa cepat kau melepaskan dirimu dari wanita yang
merepotkan ini?” Ia tidak menunggu jawaban Thork sebelum kembali berbicara pada
Ruby, “Siapa namamu?”
“Ruby. Ruby Jordan.”
“Seperti permata?”
“Sebenarnya, ibuku adalah
pencinta musik country. Dia berpikir Ruby dan Lucille… itu adikku…
terdengar seperty nama country yang bagus. Tentu saja, dia terbukti
benar ketika lagu dengan dua judul itu kemudian menjadi legenda dalam musik country.”
Mata sang raja berbinar dengan
ketertarikan. Ia mungkin tidak mengerti sebagian besar yang diucapkan Ruby,
kecuali bagian musiknya.”
“Kau akan menyanyi untuk
kamai,” perintah sang raja tanpa pikir panjang.
“Aku tidak menyanyi sebagus itu.”
Thork tersedak anggur yang
sedang diminumnya dan seorang teman menepuk-nepuk punggungnya untuk
menghentikan tawanya yang keras. Ruby memandang pria itu dengan dongkol.
“Itu tidak penting,” kata
sigtrygg. “Bernyanyilah.”
Wajah Ruby memerah akibat
malu. Di rumah, ia selalu memainkan gitar anaknya ketika bernyanyi, untuk menutupi
kesalahannya. Ia mengambil lute yang tergeletak di atas meja di dekat
raja, bertanya-tanya apakah benda itu bisa digunakan. Ia memetiknya beberapa
kali. Tentu saja tidak sama, tapi lebih baik dari pada tidak ada.
“Aku akan mencoba,” ujar Ruby
kepada raja itu, “tapi jangan berharap terlalu banyak.”
Sigtrygg tidak mengatakan apa
pun tapi memandangnya seakan-akan pria itu memang berharap banyak. Apa yang
bisa dilakukan pria itu? Memenggal kepalanya? Candanya dalam hati.
“Sebelum mulai, aku harus menjelaskan beberapa hal tentang kata-kata yang mungkin tidak kau mengerti di dalam lagu ini. Ada beberapa perang terkenal di negaraku yang disebutkan di dalam lagu ini sebagai perang Asia. Lagu ini bercerita tentang seorang laki-laki, seorang prajurit pemberani, yang terluka sangat parah di perang itu sehingga kakinya lumpuh dan dia kehilangan…” Ruby mencari kata yang tepat, “kejantanannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar