Jumat, 21 Maret 2025

The Reluctant Viking #8

Terkadang cubitan di pantat itu oke…

Tiga hari kemudian Thork dan rekan-rekannya membawa kuda mereka ke halaman di samping rumah Olaf.

Alis Thork terangkat ketika ia melihat Ruby duduk seperti seorang ratu di bawah naungan sebuah pohon di dekat sungai. Selusin anak-anak yang tertawa geli mengelilingi sambil memujanya, seperti hamba setia yang memohon “satu cerita lagi saja.” Ulf berdiri dengan waspada tak jauh dari mereka.

Setelah turun dari kuda, Thork menyerahkan tali kekangnya kepada Selik, yang membuatnya kesal karena menyeringai dengan terang-terangan ke arah Ruby sebelum masuk ke kandang. Ia sudah memperingatkan pemuda berdarah panas itu agar tidak mendekati Astrid kalau masih ingin hidup. Cnut berada tak jauh di belakang mereka, hampir tak bisa menahan tawanya.

Teman-temannya tahu kalau Thork dongkol pada panggilan mendadak yang mengganggu kunjungannya yang menyenangkan di manor kakeknya dan sudah tak henti-hentinya mengingatkan mereka semua atas kedongkolannya itu dalam perjalanan kembali ke Jorvik. Kehidupan selibat yang mau tak mau harus dijalaninya selama perjalanannya yang panjang di laut telah membuatnya semakin menghargai tawaran menggoda dari sang janda Viking, Linette, yang juga tinggal di rumah kakeknya. Tapi lebih dari itu, Linette telah membantunya untuk melupakan wanita pembawa masalah yang menunggunya di Jorvik. Dan ia sama sekali tidak senang harus kembali ke Jorvik untuk menghadiri pesta dansa di istana Sygtrygg, terutama ketika ia masih belum bosan dengan pesona Linette.

Neraka dan Valhalla! Sebenarnya bukan ketidakhadiran Linette yang mengganggu pikirannya. Ada banyak perempuan di Jorvik. Perempuan mana pun sama saja baginya dan memang selalu seperti itu. Suasana di istana itulah yang dibencinya.

Ketika ia mendekati gerombolan anak-anak di halaman Olaf, sejauh ini masih tidak terdeteksi, Thork melihat Ruby mengatur anak-anak itu menjadi satu baris namun dua dari anak-anak itu berdiri di depan, dengan posisi saling berhadapan, tangan mereka terangkat dan menempel. Jantung Thork terasa sakit ketika ia melihat Tykir berdiri di ujung barisan, memandangnya dengan penuh kerinduan, tak bisa berlari menyambut ayahnya seperti anak pada umumnya. Anak itu mengikuti perintah ayahnya dengan baik.

“Aku tahu kalian akan menyukai permainan ini karena permainan ini didasarkan pada pertempuran terkenal bangsa Viking…”

Pertempuran Viking apa? Thork bertanya-tanya, mengerutkan keningnya.

“Dalam pertempuran ini,” Ruby melanjutkan kisahnya yang menakjubkan, “orang-orang Viking yang kejam itu tidak hanya mengambil alih kota London, tapi mereka juga merubuhkan London Bridge untuk mencegah orang-orang Saxon mengambil kembali kota itu. Bukankah itu cerdas?”

London Bridge? Penjajahan Viking di London? Kelicikan apa lagi yang sedang direncanakan penyihir ini? Alis Thork menyatu dengan ekspresi bingung di keningnya. Wanita ini benar-benar sebuah teka-teki. Di benak Thork, perempuan adalah makhluk yang sederhana, seperti kucing. Egois. Bodoh. Jelas sekali tidak memiliki kehormatan dan kesetiaan. Wanita misterius ini tidak sesuai dengan kriterianya, dan itu benar-benar mengusiknya.

Dan jelas sekali kalau Ruby terlihat berbeda dari hari pertama ia melihat wanita itu di pelabuhan. Rambutnya masih sangat pendek seperti anak laki-laki, tapi rambutnya itu juga berkilau seperti kayu mahoni yang mengilap di bawah sinar matahari musim panas, menonjolkan kulitnya yang putih dan mulus, tulang pipi yang tinggi, hidung yang lurus dan tegak melengkung di ujungnya, serta bibir yang penuh dan sensual.

Kausnya yang menghina serta celana panjang itu sudah lenyap, digantikan oleh tunik hijau yang lebut dan menempel ke tubuhnya, mungkin punya Astrid, kalau melihat ukuran wanita itu. Setiap kali ia bergerak untuk meluruskan lengan seorang anak atau memosisikan mereka di dalam barisan, tunik itu akan memperlihatkan bagian dari tubuhnya yang ramping dan tinggi–panjang , bukan, tungkai ygn sangat panjang, pinggang yang kedua tangan Thork sudah gatal dan tak sabar untuk menyentuhnya, payudara yang tinggi dan kencang, serta bokong bulat yang menundang tangan seorang laki-laki.

Wanita itu tidak cantik–tidak, jauh dari cantik–tapi aura sensual wanita itu telah menariknya. Thork memikirkan reaksi tubuhnya terhadap wanita itu, sepertinya ia bisa membahayakan masa depannya. Demi Thor!  Seharusnya ia tinggal lebih lama di Northumbria – sampai Linette selesai memuaskan dahaganya.

“London Bridge is falling down, falling down, falling down,” Ruby bernyanyi sambil anak-anak itu berbaris di bawah “jembatan.” Ia bersenandung dengan riang sampai mata abu-abunya kehijauan itu terangkat dan terhubung dengan mata Thork – awalnya dengan hangat, kemudian menjadi waspada. Wanita itu menyembunyikan banyak hal. Thork harus berhati-hati.

Ruby memberitahu Tyra untuk memimpin permainan itu dan berjalan ke tempat Thork sedang berdiri. Tyra awalnya memprotes, ingin mendatangi Thork juga, tapi menurut ketika Thork menjajikan sebuah kejutan untuknya nanti. Dengan tidak kentara ia juga menganggukkan kepalanya kepada Tykir, memberitahu kalau ia juga akan membawa sesuatu untuk anak itu.

“Sudah waktunya kau kembali,” Ruby menuduhnya.

“Masalah apa lagi yang kau buat, Penyihir?”

Ruby memandang dengan rasa tidak suka, tapi Thork bisa melihat di matanya yang jernih, sekarang lebih ke hijau ketimbang abu-abu, kalau dengan enggan wanita itu apa yang dilihatnya.

Thork menyeringai.

Ruby mendelik.

Merasa malu, Ruby menyerang. “Ada beberapa hal yang ingin kukatakan mengenai sikapmu yang mengabaikan anak-anak kita. Aku tidak bisa percaya…”

Thork mengangkat satu tangannya untuk menghentikan omelan Ruby.

“Apakah kau tidak pernah menyerah? Kau masih tidak mau mendengarkan peringatan Sigtrygg, dan dariku juga, kalau kebohongan serta ceritamu tentang masa depan itu tidak baik untuk nasibmu. Kita tidak menikah, dan anak-anakku adalah urusanku sendiri, bukan orang lain.”

“Dan karena itu kau tidak mau menerima saran dari siapa pun tentang penderitaan mereka?”

“Penderitaan?” Thork menyipitkan matanya dengan sinis. “Siapa yang menyakiti mereka?”

“Kau.”

Thork melemparkan tangannya dengan putus asa. “Satu kata lagi dan demi pedang Thor, aku bersumpah, aku akan…”

“Apa? Memenjarakanku?” mata Ruby menyala dengan tantangan.

Thork menggertakkan gigi, memerintahkan dirinya untuk tidak terpancing oleh umpan yang dilemparkan wanita itu. Akhirnya ia berkata dengan kaku, “Kau pantas mendapatkan hukuman itu dan akan mendapatkannya lebih dari itu kalau kau tidak mengubah sikapmu. Sana, lanjutkan permainanmu dengan anak-anak itu dan jangan berpikir untuk melarikan diri… atau memancing kemarahanku.”

Ruby berputar untuk kembali kepada anak-anak itu, namun melalui bahunya ia membuat tanda vulgar Anglo-Saxon dengan tangannya, dan Thork belum pernah sekali pun mendengar ada wanita yang membuat tanda itu, bahkan dengan berbagai perjalanan yang telah dilakukannya.

Wanita itu benar-benar tak bisa dipercaya!

Thork menyeringai dan menggeleng. Ia akan memberi pelajaran pada wanita lancang ini! Mengulurkan lengannya yang panjang, ia melakukan sesuatu yang sudah ingin sekali dilakukannya sejak Ruby membungkuk dengan anak-anak di dekat sungai itu.

Ia mencubit bokong Ruby yang menggoda.

Ruby menjerit dan bisa dibilang melompat, lalu melemparkan tatapan membunuh pada Thork. “Beraninya kau melakukan itu?”

Ya, aku berani, Wench. Dan ingat itu dengan baik sebelum kau menggodaku lagi.”

“Ini sudah yang kedua kalinya kau melakukan itu padaku,” Ruby meledak. “Berikutnya aku mungkin akan melakukan yang sama padamu, tapi bukan pantatmu yang kucubit. Sebaiknya kau ingat itu.”

Thork mendongakkan kepalanya ke belakang dan tertawa dengan keras mendengar balasan Ruby.

 

 

Ia bukan Carrie Underwood

Ruby melanjutkan permaiannya dan menceritakan berbagai dongeng kepada anak-anak, sementara itu, di dalam kepalanya ia melatih kata-kata yang rencananya akan disemburkannya kepada Thork ketika ia sudah masuk ke dalam rumah nanti. Akan tetapi, ia harus merasa kecewa ketika mengetahui Thork dan Olaf sudah pergi ke pelabuhan dan Thork akan tinggal di istana selama di Jorvik.

“Ruby, ayo cepat. Kita harus menemukan pakaian untuk dipakai malam ini. Kita akan pergi ke istana untuk menghadiri jamuan makan malam,” Astrid memberitahunya dengan bersemangat. Ini adalah kehangatan pertama yang diperlihatkan gadis itu kepada Ruby sejak hukumannya.

“Aku?”

“Ya, raja meminta dengan spesifik agar kau ikut. Ayah tidak bisa menolak. Aku juga diizinkan untuk pergi.”

“Kenapa Sigtrygg ingin bertemu denganku lagi?” tanya Ruby dengan gugup. Walaupun Thork kemungkinan besar juga akan hadir di pesta itu dan mungkin ia akan memperoleh kesempatan untuk mendiskusikan masalah anak-anak peria itu dengannya., Ruby lebih memilih untuk tinggal di rumah. “Aku lebih baik tidak ikut.”

Gyda mendengar kata-katanya dan memberitahunya dengan tegas, “Bukan kau yang memutuskannya. Kita akan pergi.”

Para pelayan laki-laki membawakan bak mandi untuk mereka sementara lainnya memasak air di atas tungku yang disiapkan untuk acara itu. Ketika mereka sudah selesai mandi, para pelayan itu membuang air dari dalam bak mandi dan mengisinya kembali dengan air bersih untuk digunakan oleh Olaf.

Di dalam kamar utama yang terletak di lantai dua, Gyda menilai beberapa gaun yang dihamparkannya di atas tempat tidur untuk Astrid dan Ruby, pertama-tama ia memilih, kemudian menyingkirkan semua yang dirasanya tidak pantas – terlalu terang, terlalu suram, terlalu panjang, terlalu usang, terlalu ketat, terlalu longgar. Mata penjahit Ruby melihat tunik yang dikenakan bangsa Viking ini tak lebih dari dua kain persegi yang disatukan di bagian pundaknya dengan tali dan bros.

Akhirnya Astrid memilih sebuah tunik berwarna merah tua yang terang dengan bordiran benang emas dan dilengkapi sebuah ikat pinggang dari rantai emas serta dua buah bros bahu indah yang bertatahkan batu semerah darah.

Mungkinkah benag dan sabuk itu benar-benar terbuat dari emas murni? Dan bati-batu itu! Sudah pasti bukan batu rubi!

Ketika Astrid meninggalkan kamar itu untuk mencari Adeleve, yang memiliki bakat dalam menata rambut, Gyda berpaling pada Ruby. “Menurutku yang hijau,” ujarnya sambil mengangkat pakaian itu di depan Ruby. “Warna ini mencerahkan matamu dan mengalihkan perhatian dari… dari…” Ia menunjuk rambut pendek Ruby dengan jijik. “Ayo coba dan kita lihat hasilnya.”

Ruby memakai kaus kaki setinggi paha warna putih, menganakan pakaian dalam berlipit sepanjang mata kaki dengan leher bulat serta lengan yang panjang dan ketat hingga ke pergelangan tangannya.

Tidak ada celana dalam! Orang-orang ini bisa memakai hasil karyanya, pikir Ruby. Bibirnya melengkung ke atas dengan geli. Kalau ada angin kencang yang bertiup, bagian pribadi wanita-wanita Viking ini pasti akan menggigil.

Gyda membantunya memakai gaun sutra hijau itu melewati kepalanya. Sama seperti gaun Astrid, bordiran emas menghiasi keliman serta tepian lengan dan lehernya. Bros dari emas berbentuk hewan dipasangkan di bahunya. Naga yang meliuk itu memiliki mata dari batu amber. Mungkin harganya mahal, terka Ruby.

“Aku tidak bisa memakai sesuatu yang semahal ini. Aku takut akan menghilangkannya.”

“Jangan takut. Ini punya Thork.” Gyda menunjuk ke sebuah peti kecil dari kayu yang tergeletak terbuka di sudut. Ruby memeriksa tulisan runik di kotak itu, “Thokkr a Kistu Thasa.” Ketika ia bertanya, Gyda memberitahu artinya “Thork memiliki peti ini.”

“Thork menyimpan sebagian hartanya di sini berhubung dia tidak punya rumah sendiri. Dia juga menyimpan sebagian di rumah kakeknya.”

Well, kalau ini milik Thork, aku tak keberatan. Bagaimana juga, dia suamiku… kurang lebih. Selain itu, dia berutang padaku, setelah memperlakukanku dengan begitu buruk.”

Sambil mengerutkan bibirnya, Gyda memandang Ruby ketiak ia menyebut  Thork sebagai suaminya. “Itu hanya dipinjamkan, kau mengerti.”

Tentu.

Berikutnya Gyda mengambil sebuah ikat pinggang emas yang halus dari kotak milik Thork, yang ukurannya bisa diatur. Di tengah ikat pinggang itu dipasangkan sebuah bros naga yang serasi dengan yang ada di bahunya, kecuali binatang ini memiliki mata batu amber yang lebih besar.

Elizabeth Taylor, silakan gigit jarimu, Ruby menyombong dalam hati. Gaya hidupViking ini mungkin tak terlalu buruk juga.

Sementara itu, Gyda mendecakkan lidahnya dengan jijik melihat tubuh Ruby yang kerempeng. “Ck, ck! Apakah orang tuamu miskin sampai-sampai mereka tidak bisa memberimu makan? Badanmu hanya tulang dan kulit.” Gyda melipat dan menjahit menggunakan benang dan jarum yang disimpannya berbentuk silinder kecil yang selalu tergantung di brosnya.

Ruby menunduk dan memandang tubuhnya. Tulang dan kulit? Tidak menurut standar abad dua puluh satu! Tubuh ramping yang dimilikinya sekang adalah bentuk tubuh ideal wanita modern, bukan tubuh yang montok, dan jelas sekali, berlekuk.

“Cukup satu bulan saja kau memakan makanan Viking, dan bisa dipastikan, kami akan membuat badanmu lebih berisi.”

Ya ampun, memangnya ia masih akan ada di tempat ini bulan depan? Dan kalau iya, Ruby bertekad tidak akan membiarkan ornag-orang Viking ini mengganggu-gugat tubuh Jessica Alba yang berhasil didapatkannya ini, dan mengubahnya menjadi karikatur Rubensesque.

Mereka pergi ke istana dengan menunggang kuda, walaupun jaraknya tidak jauh, untuk melindungi kulit sepatu mereka yang lembut dan keliman gaun mereka, yang dengan penuh gaya terseret di belakang. Ketiga wanita itu menunggang kuda dengan menghadap ke samping, sebagaimana kebiasaan di sana – bukan hal mudah untuk Ruby, yang mencengkram serai kuda itu demi kelangsungan hidupnya.

Ketika mereka memasuki istana itu, riuhnya percakapan dan suara tawa dari beratus pria dan wanita berbaju indah yang memenuhi tempat itu menyambut mereka. Olaf menunjukkan kepada Ruby bagian dari bangunan itu yang merupakan peninggalan kota kuno Roma, Eboracum, serta beberapa sentuhan arsitektural yang jelas sekali bernuansa Nordic, seperti ukiran rumit dan tulisan-tulisan runik di pinggiran atap dan bagian-bagian lain yang terbuat dari kayu.

“Apakah pesta ini diadakan untuk merayakan sesuatu?” tanya Ruby pada Gyda.

“Ya. Seseorang telah tiba di Inggris membawa dokumen resmi pernikahan. Kita merayakan peresmian pertunangan itu.”

Ruby mengikuti keluarga Olaf ke sebuah meja di dekat podium, tempat Thork duduk bersama raja dan sekitar selusin tamu yang lebih terhormat. Tak seperti di wilayah yang lebih rendah, di meja podium itu dilapisi taplak meja dari kain linen halus dan peralatan makan dari perak.

Tampil gemerlap dalam tunik biru-malam dengan jalinan benang perak di atas celana ketat sehitam batu bara, Thork melambangkan ksatria Viking yang terhormat. Ia menyesap minumannya dengan lesu, benar-benar terlihat bosan. Setiap kali ia mengangkat gelasnya untuk minum, gelang tebal dari perak yang melingkari lengan atasnya memantulkan cahaya dari lampu minyak dan obor yang tersebar di sekeliling aula itu. Sebuah piringan bulat yang dipenuhi batu mulia tergantung di dadanya dengan kalung rantai perak yang berat.

Rambut pirang Thork masih melewati bahunya, tapi pria itu mendorongnya ke belakang salah satu telinganya di mana sebuah… ya Tuhan… sebuah anting-anting berbentuk halilintar tergantung di sana. Suaminya, Jack tidak akan pernah memakai anting-anting, tapi Thork cocok sekali menganakannya, dan hal itu mempertegas maskulinitasnya, menonjolkan gambaran bajak laut pemberontak yang dipancarkannya.

Ruby bertanya-tanya apakah ia bisa membujuk Jack untuk memakai anting-anting. Ia kemudian membayangkan Jack dalam setelah jas bergaris-garis yang konservatif dan sebuah anting-anting halilintar, dan ia menyukainya!

Ketika Thork mengarahkan mata birunya yang jernih pada Ruby, keterkejutan pria itu melintas di wajahnya. Dengan tidak kentara mengangguk sementara tatapannya yang tenang menahan Ruby cukup lama. Seperti halilintar di telinganya, gelombang kehangatan sepertinya mengalir dari pria itu ke dalam dirinya, memelihara benang tipis yang entah bagaimana, menghubungkan mereka.

Lalu Ruby menyadari kehadiran wanita itu di sisinya. Perempuan murahan yang sama dengan yang dipelabuhan! Ruby mengepalkan tangannya dan memaksa dirinya untuk memandang ke arah lain.

Jamuan itu berlangsung hingga lebih dari tiga jam, dengan berbagai hidangan lezat, anggur yang sempurna, dan ale yang berlimpah. Sementara para pelayan membersihkan meja, orang-orang mulai berkelompok, menunggu dimulainya hiburan. Astrid dengan malu-malu berbincang dengan Selik di bawah tatapan waspada Olaf. Raja dan kelompoknya turun dari podium, termasuk si pirang montok yang memeluk lengan Thork dengan posesif.

Kecemburuan menggerogoti dirinya, dan Ruby membenci dirinya sendiri untuk itu. Kenapa ia harus merasa cemburu pada pria Viking ini? Thork bukan suaminya. Iya, kan?

Wanita itu mengingatkan Ruby pada seseorang. Oh, tidak! Jangan Jessica Alba! Akan terlalu banyak kebetulan namanya kalau Thork dan Jack menyukai tipe perempuan yang sama. Jack tidak serius ketika dia bilang akan mencari wanita dengan tubuh seperti Jessica Alba. Pria itu hanya bercanda, Ruby mengatakan pada dirinya sendiri.

Para pelayan mengatur berlusin-lusin kursi di dasar tangga untuk tamu-tamu yang paling elit. Olaf menariknya dan Gyda ke tepi kerumunan itu, lalu memegang pinggang mereka dan mengangkat mereka berdua sehingga mereka bisa duduk di pinggir podium. Sebagian besar orang-orang itu duduk di bangku lebar dan rendah yang dipasang di dinding-dinding aula. Yang lainnya berbincang dengan suara pelan dalam kelompok-kelompok kecil.

Hiburan malam itu dimulai dengan seorang wanita Viking muda yang menyanyikan sebuah balada yang indah, ditemani oleh saudara laki-lakinya yang memainkan lute. Kemudian seorang skalad , atau pujangga, menceritakan kisah-kisah keberanian bangsa Viking dalam pertempuran. Ceritanya mengisahkan tentang orang-orang pemberani yang terusir dari tanah kelahiran mereka karena masalah politik dan kelebihan penduduk, dipaksa untuk mencari tanah baru bagi keluarga mereka – jelas sekali motivasi yang berbeda dari gambaran haus darah yang dikalim oleh para ahli sejarah mengenai motivasi yang mendorong orang-orang Norse itu untuk melakukan a-Viking.

Salah satu hikayat itu menceritakan sebuah kisah menarik tentang ayah Thork, King Herald of Norwey, dan bagaimana pria itu mendapatkan nama Harald Fairhair. Kisah itu dimulai dengan menceritakan berbagai keberhasilan Harald, di mana yang paling hebat di antaranya adalah penyatuan seluruh Norwegia.

“Disebutkan bahwa sukses terbesarnya itu merupakan hasil dari celaan Gyda, putri King Of Hordaland.” Ruby melirik gyda bertanya apakah ia dinamakan berdasarkan wanita itu, tapi istri Olaf itu sepenuhnya tenggelam dalam kisah tersebut dan tidak memperhatikannya. Ruby juga melirik singkat pada Thork yang berselonjor dengan kaki terentang di sebuah kursi berlengan di dekat raja, bibirnya mencibir dengan sinis. Mungkin kisah itu tidak sepenuhnya benar.

Sang skald mengklaim bahwa Gyda menolak untuk menikahi Harald muda hingga pria itu berhasil menggabungkan seluruh Norwegia, seperti yang telah dilakukan Gorm di Denmark. Harald bersumpah tidak akan pernah memotong atau menyisir rambutnya sampai ia mendapatkan tujuannya. Memakan waktu sepuluh tahun sebelum ia menjadi high-king. Setelah mandi dan bercukur rambut serta jenggotnya, namanya berubah dari Harald lufa – Harald Mop-Hair – menjadi Harald harfagri – Harald Fairhair. Kemudian, dengan sukarela Gyda mendatangi tempat tidurnya, menggabungkan apa yang digambarkan sang skald itu sebagai kumpulan para istri dan gundik kerajaan.

“Omong kosong!” makian kasar Thork menggema dengan keras ke seluruh aula itu, di mana para tamu tengah mengikuti kisah tersebut dengan khidmat.

Sigtrygg berpaling pada Thork dan bertanya, “Apakah kau mencela kisah itu?”

“Ya, benar sekali. Hasil akhirnya memang benar, tapi coba kau pikirkan, mengingat bagaimana kelicikan ayahku, apakah mungkin permintaan wanita itu yang mendorongnya?”

Sigtrygg memikirkannya sejenak, kemudian setuju. “Kau benar, Thork, tapi hal itu membuat ceritanya menjadi menarik.” Lalu ia berpaling kepada skald yang malu itu dan bertanya, “Apakah kau tahu itu?”

“Ya, tapi saya tidak tahu apakah kisah itu benar,” pria itu merengek. “Saya hanya menghubungkan apa yang sudah saya dengar.” Skald itu memandang Thork, bertanya-tanya apakah Thork akan menemukan kesalahan dengan cerita yang ini juga. Ketika Thork mengacuhkannya, memandang dengan bosan ke dalam gelasnya, pria itu melanjutkan kisahnya.

Dalam puisi yang detail, pria itu menceritakan tentang nenek moyang Ruby, Hrolf, yang telah dinyatakan sebagai penjahat di Norwegia oleh Harald, walaupun pria itu berteman dengan ayah Hrolf, Rognvald, Earl of More. Si skald menelusuri keturunan Hrolf hingga sebelas generasi mulai dari seorang raja yang dipanggil Fornjot di Finlandia. Ia terus bercerita hingga akhirnya menyimpulkan, “…dan Raja Frankish, Charles the Simple, memberikan provinsi Normandia kepadanya.”

Ruby mendapati kisah itu sangat menarik, tapi berharap skald itu tidak menceritakannya, karena kisah itu membuat Sigtrygg teringat padanya.

“Di mana wanita yang mengaku keturunan Hrolf itu?” Sigtrygg berseru, memandang kerumunan itu untuk mencarinya. “Apakah dia sudah dipenggal?”

Ya ampun! Orang ini benar-benar suka memenggal.

Ruby berusaha meluncur dari podium agar bisa tertutupi oleh tubuh besar Olaf. Tidak beruntung! Olaf berputar dan menurunkannya, lalu memberitahunya untuk maju ke depan.

Oh, bagus! Ayo kita mulai lagi!

Ruby maju ke depan dengan dagu terangkat tinggi, berusaha agar lututnya tidak meleleh.

“Pakaianmu sudah jauh lebih baik semenjak terakhir kali kita berjumpa,” raja itu berkomentar sambil mengejeknya, sepertinya lupa bahwa terakhir kali mereka bertemu, Ruby hampir telanjang. Ruby tidak berniat untuk mengingatkan pria itu.

“Kenapa kami tidak melihatmu di istana ini?”

Pria itu rupanya sudah lupa kalau ia memerintahkan Thork untuk membawanya pergi.

“Aku tinggal dengan keluarga Olaf.”

Sigtrygg menganggukkan kepala dengan rambutnya yang kusut, sudah ingat pada perintahnya waktu itu dan memandang Thork. “Seberapa cepat kau melepaskan dirimu dari wanita yang merepotkan ini?” Ia tidak menunggu jawaban Thork sebelum kembali berbicara pada Ruby, “Siapa namamu?”

“Ruby. Ruby Jordan.”

“Seperti permata?”

“Sebenarnya, ibuku adalah pencinta musik country. Dia berpikir Ruby dan Lucille… itu adikku… terdengar seperty nama country yang bagus. Tentu saja, dia terbukti benar ketika lagu dengan dua judul itu kemudian menjadi legenda dalam musik country.”

Mata sang raja berbinar dengan ketertarikan. Ia mungkin tidak mengerti sebagian besar yang diucapkan Ruby, kecuali bagian musiknya.”

“Kau akan menyanyi untuk kamai,” perintah sang raja tanpa pikir panjang.

“Aku tidak menyanyi sebagus itu.”

Thork tersedak anggur yang sedang diminumnya dan seorang teman menepuk-nepuk punggungnya untuk menghentikan tawanya yang keras. Ruby memandang pria itu dengan dongkol.

“Itu tidak penting,” kata sigtrygg. “Bernyanyilah.”

Wajah Ruby memerah akibat malu. Di rumah, ia selalu memainkan gitar anaknya ketika bernyanyi, untuk menutupi kesalahannya. Ia mengambil lute yang tergeletak di atas meja di dekat raja, bertanya-tanya apakah benda itu bisa digunakan. Ia memetiknya beberapa kali. Tentu saja tidak sama, tapi lebih baik dari pada tidak ada.

“Aku akan mencoba,” ujar Ruby kepada raja itu, “tapi jangan berharap terlalu banyak.”

Sigtrygg tidak mengatakan apa pun tapi memandangnya seakan-akan pria itu memang berharap banyak. Apa yang bisa dilakukan pria itu? Memenggal kepalanya? Candanya dalam hati.

“Sebelum mulai, aku harus menjelaskan beberapa hal tentang kata-kata yang mungkin tidak kau mengerti di dalam lagu ini. Ada beberapa perang terkenal di negaraku yang disebutkan di dalam lagu ini sebagai perang Asia. Lagu ini bercerita tentang seorang laki-laki, seorang prajurit pemberani, yang terluka sangat parah di perang itu sehingga kakinya lumpuh dan dia kehilangan…” Ruby mencari kata yang tepat, “kejantanannya.”



Sebelumnya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar