Jamie mengenakan gaun hitam dalam upacara pernikahannya. Pilihan pakaiannya murni merupakan sikap menentangnya agar orang-orang Skotlandia itu geram. Namun, Jamie sadar bahwa rencananya gagal begitu ia berjalan memasuki aula utama. Alec menatapnya satu kali dan tertawa. Ledakan suara Alec nyaris membuat kasau-kasau di sana ambruk.
Jamie pasti tidak tahu sikap memberontak itu malah membuat Alec senang. Sebab kalau tahu, gadis itu pasti tidak akan mau repot-repot berusaha memancingnya, pikir Alec. Seandainya Jamie tahu kalau ia sangat membenci air mata, mungkin Jamie akan menangis. Jamie melangkah seperti seorang ratu. Punggungnya selurus tombak, tidak bersedia menundukkan kepalanya pada siapa pun, dan Alec merasa Jamie tidak akan mau memperlihatkan sedikit pun kelemahan perempuan.
Gadis itu mengenakan pakaian berkabung, tapi tetap saja
tampak menakjubkan. Mata Jemie terus memikat Alec. Alec bertanya-tanya kapan
kiranya ia akan terbiasa dengan kecantikan Jamie. Oh Tuhan, ia sangat berharap
bisa terbiasa. Ia tidak bisa membiarkan adanya gangguan yang mengalihkannya
dari tugas-tugas utamanya.
Jamie ternyata cukup membingungkan. Alec tahu kalau Jamie
berdarah Inggris dan dibesarkan di Inggris, tapi gadi itu sama sekali tidak
tampak penakut. Alec penasaran bagaimana keajaiban seperti itu bisa terjadi,
lalu menyimpulkan bahwa keluguan dan keberanian Jamie pasti terbentuk karena
gadis itu tidak trcemar kehidupan mesum di dalam istana King Henry. Berkat
rahmat Tuhan, Lady Jamie tidak terpapar kegemaran orang Inggris pada gaya hidup
bejat.
Sepertinya , Alec justru harus berterima kasih pada Baron
Jamison karena telah “gagal” melaksanakan tugasnya pada putri-putrinya. Namun,
Alec tidak berniat menyampaikan rasa terima kasihnya. Lagi pula, Alec tidak
yakin ayah Jamie bisa mendengar satu patah kata pun. Pria itu sedang menangis
sekarang. Alec terlalu jijik untuk bicara dengan sang baron. Ia tidak pernah
melihat laki-laki dewasa mempermalukan diri dengan cara seburuk itu. Perutnya
jadi mual.
“Kami semua sangat dekat dengan ayah kami,” bisik Jamie
ketika sang baron tidak bisa menjawab pertanyaan pastor mengenai siapa yang
akan menyerahkan para mempelai wanita. Wajah Baron Jamison tertutupi sapu
tangan linennya yang lembap. “Papa akan merindukan kami. Milord. Ini sangat
sulit baginya.”
Jamie tidak menengadah dan memandang Alec ketika membisikkan
alasan perilaku memalukan ayahnya, tapi permohonannya terurai dalam suara
seraknya. Jamie meminta pengertian Alec, dan Alec tahu itu. Alec merasa
pembelaan Jamie terhadap sang baron cukup layak untuk mengurungkan niatnya
mengeluarkan komentar yang buruk.
Permohonan itu juga menggambarkan kesetiaan Jamie pada
keluarga. Menurut Alec, itu merupakan sifat mulia dalam situasi apa pun, dan
mengingat karakter anggota keluarganya, kesetiaan Jamie nyaris seperti santa.
Jamie terlalu ketakutan untuk memandang calon suaminya. Ia
dan kakaknya berdiri berdampingan, saling berpegangan tangan untuk saling
menenangkan. Daniel berdiri di sebelah kanan Mary dan Alec berdiri di sebelah
kanan Jamie. Lengan Alec menyentuh bahu bahu Jamie dan pahanya mengenai paha
Jamie. Dengan sengaja, berulalng-ulang.
Jamie sadar ia tidak bisa lari dari Alec. Mary terimpit di
sebelahnya dan lengan Alec membuatnya tidak bisa melangkah mundur. Oh Tuhan, ia
benci sekali merasa takut. Ia tidak terbiasa merasa seperti itu. Jamie
meyakinkan dirinya sendiri bahwa penyebabnya adalah tubuh pria yang sangat
besar itu. Alec menjulang di atasnya seperti awan raksasa. Tubuh Alec beraroma
bunga heather sekaligus maskulin, serta sedikit berbau kulit hewan.
Dalam situasi yang lebih menyenangkan, mungkin Jamie akan menganggap aroma
tubuh Alec menarik. Tapi saat ini, tentu saja, Jamie membenci ukuran tubuh
Alec, aromanya, kehadirannya.
Sang pastor menyelesaikan homili sakramen pernikahan, lalu
menoleh ke arah kakak Jamie. Mary, yang selalu jujur, tertawa pada Daniel
ketika Bapa Charles bertanya apakah ia bersedia menerima Daniel sebagai
suaminya. Mary merenungkan pertanyaan itu cukup lama, seolah-olah ia baru saja
diminta untuk menjelaskan arti pentingnya Penaklukan Bangsa Normandia. Lalu,
akhirnya ia mengucapkan jawabannya. “Lebih baik aku tidak mengatakan
kebenarannya, Bapa.”
Jamie nyaris berada di titik histeria. Ia seharusnya tidak
menikahi panglima perang bernama Alec Kincaid ini. Alec juga tidak membuat
keadaannya jadi lebih mudah untuk dilalui karena ia berdiri dekat sekali
sehingga Jamie bisa merasakan hawa panas memancar dari tubuhnya.
Bapa Charles memohon Mary agar mau memberikan jawaban yang
semestinya, sementara itu Jamie berusaha bergeser menjauhi Alec. Tebersit di
sudut pikirannya yang pengecut bahwa ia bisa saja menepiskan lengan Alec,
mundur satu langkah, lalu lari secepat kilat keluar dari ruangan.
Alec pasti bisa membaca niat Jamie sebab ia mengalungkan
lengan ke bahu Jamie. Sebelum Jamie sempat protes, Alec menyeret gadis itu ke
sampingnya.
Jamie tidak bisa bergeser menjau dari Alec. Ia mencoba
melakukannhya –bahkan beberapa kali– sebelum
akhirnya membisikkan desakan agar Alec melepaskannya.
Alec tidak mengacuhkannya.
Merasa frustrasi, Jamie menoleh ke kakaknya dan berkata,
“Kurasa tidak penting apa yang kita inginkan, Mary. Kalau kau tidak setuju
menikahi Daniel, berarti kau melawan rajamu.”
“Tapi, kalau aku mengatakan bersedia menerima pria ini
sebagai suamiku, maka itu berarti aku melawan Tuhan, bukankah begitu?” kilah
Mary. “Aku tidak akan mengucapkan yang sebenarnya,” tambahnya sambil meratap.
“Demi Tuhan, Mary, jawab saja,” bentak Jamie.
Mary kesal dengan nada kasar Jamie. Ia membelalak ke adiknya
itu sebelum kembali menoleh ke sang pastor. “Oh, baiklah. Aku bersedia
menerimanya.” Ia menoleh ke Jamie lagi dan bergumam, “Nah, apa kau senang
sekarang? Kau telah memaksaku berbohong kepada pastor.”
“Aku memaksamu?”
Bukan pernyataan Mary saja yang membuat Jamie terkesiap.
Tangan Alec melingkari bawah lehernya. Jari-jari pria itu membelai kulit
sensitifnya.
Bapa charles menganggukkan persetujuan atas jawaban Mary.
Sekarang giliran Jamie dan Alec.
“Nama lengkap Anda, Milord?” tanya sang pastor.
“Alec Kincaid.”
Pastor itu mengangguk. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan
urusan pernikahan yang menyiksa ini karena mata Jamie-nya yang manis kini sudah
berubah kejam. Dalam ketergesa-gesaan, Bapa Charles memasukkan kata “sukarela’
ketika bertanya pada Jamie apakah ia bersedia menerima Alec sebagai suaminya.
“Sukarela?” tanya Jamie. Ia menarik napas panjang,
mempersiapkan dirinya untuk mengutarakan pendapatnya yang sesungguhnya, ia
merasakan jemari Alec yang semakin erat di tenggorokannya.
Pria itu berusaha mengintimidasinya. Jamie mengulurkan
tangan hendak menarik tangan Alec, tapi Alec tidak mau mengalah. Ia menangkap
jemari Jamie dan terus memberikan tekanan.
Alec tidak mengalah sedikit pun, memijat leher Jamie
diam-diam. Alec akan mencekiknya sampai mati kalau ia memancing pria angkuh itu
lebih jauh, pikir Jamie. Dan karena Alec seorang Skotlandia, Jamie yakin Alec
akan mewujudkan ancamannya.
Leher Jamie mulai terasa perih. “Aku bersedia menerimanya,”
cetus Jamie.
Sang pastor mengembuskan napas lega, lalu cepat-cepat
meneruskan sisa upacara itu. Begitu pastor selesai memberikan berkat, Mary
berusaha berlari keluar dari aula. Daniel menangkapnya dalam dua langkah,
menggendongnya, dan, di hadapan Bapa Charles serta keluarganya, mencium
mulutnya sampai jeritan itu berhenti. Ketika serangan lembut Daniel telah
selesai, tubuh Mary merosot. Bagi Jamie, Mary tampak seperti bunga yang layu.
Si sekembar mulai meratap lagi, sang baron tersedu-sedan,
dan Jamie merasa ingin mati saja.
Alec Kincaid tidak terlalu menuntut ciuman untuk meresmikan
sumpah pernikahan ini. Ia hanya berdiri persis di hadapan mempelai wanitanya.
Ia berkacak pinggang, kakinya yang berotot terbuka, dan tatapannya di arahkan
ke atas kepala Jamie yang berpita.
Alec tidak mengatakan apa-apa. Namun, cara berdirinya yang
kaku mengisyaratkan ia akan berdiri di sana sepanjang malam kalau memang itu
yang dibutuhkan agar Jamie menatapnya. Jamie menghibur diri dengan kenyataan
bahwa pria ini tidak berusaha mencekiknya lagi.
Jamie bisa merasakan jantungnya berdentam-dentam. Ia rasa
Alec Kincaid berani melakukan apa saja yang pria itu inginkan. Jamie
mengumpulkan keberaniannya dan pelan-pelan mengangkat pandangannya.
Pria itu sungguh mengerikan. Matanya coklat gelap. Tidak
banyak kehangatan di mata itu, dan setelah menatap Alec selama yang bisa ia lakukan tanpa mengernyit, Jamie
hendak membalikkan badan.
Alec tiba-tiba mengulurkan tangan dan menarik Jamie ke dalam
pelukan. Tangannya menangkup dagu Jamie bersamaan ketika mulutnya turun
mendekati mulut mempelainya. Ciuman itu keras, penuh hasrat… dan luar biasa
hangat.
Jamie merasa seolah baru saja dihanguskan oleh matahari.
Ciuman itu berakhir sebelum ia sempat terpikir untuk melawannya, sebelum ia
benar-benar ingin bergerak. Jamie terpaku sejenak. Ia menengadah menatap
suaminya dalam waktu yang cukup lama, bertanya-tanya apakah ciuman singkat itu
juga memengaruhi Alec sebagaimana memengaruhi dirinya.
Alec senang melihat kebingungan di mata Jamie. Kentara
sekali kalau Jamie tidak sering dicium. Kini, wajah Jamie memerah karena malu.
Tangannya menyatu.
Ya, Alec puas dengan Jamie, dan ia menyadari bahwa ia
sendiri bukannya tidak terpengaruh oleh ciuman singkat itu. Ia tidak bisa
berhenti menatap Jamie. Astaga, ia ingin mencium gadis itu lagi.
Jerita Mary yang tiba-tiba mematahkan sihir itu.
“Sekarang?” Mary meneriakkan kata itu. “Jamie, mereka
berniat pergi sekarang!”
“Kakakku pasti salah paham,” kata Jamie pada Alec. “Kalian
tidak akan sungguh-sungguh ingin pergi sekarang, kan?”
“Kami memang akan pergi sekarang,” jawab Alec. “Aku dan
Daniel punya banyak tanggung jawab di kampung halaman. Kami akan pergi satu jam
lagi.”
Alec tidak menyebutkan Mary atau Jamie dalam penjelasannya.
Kesadaran itu menarik perhatian Jamie. Ia nyaris tersenyum membayangkan
kemungkinan menyenangkan itu, lalu memutuskan untuk memastikan dugaannya
sebelum terlalu banyak berharap.
“Apa kau ingin makan malam sederhana bersama kami sebelum
kau dan Daniel pergi?” tanya Jamie.
Alec tahu pasti apa yang Jamie pikirkan. Gadis ini
benar-benar mengira ia akan meninggalkan istrinya. Alec ingin tertawa. Kini
Jamie tampak sangat serius dan penuh harap.
Elec menggeleng.
Jamie merasa seolah-olah pintu penjara baru saja dibuka dan
ia bebas sekali lagi. Ia berusaha menyembunyikan kegembiraannya sebab tidak
sopan menunjukkan rasa senang atas kepergian suaminya dengan begitu terbuka.
Pernikahan itu hanya di atas kertas. Oh, kenapa ia tidak
menyadarinya sebelumnya? Alec dan Daniel hanya melakukan perintah raja mereka
untuk menikah. Sekarang mereka akan kembali pulang dan meneruskan tugas mereka,
apa pun tugas itu, dan meninggalkan mempelai wanita mereka di Inggris.
Sebenarnya perjodohan seperti itu cukup lazim. Banyak
pernikahan yang diatur. Jamie merasa seperti orang bodoh karena tidak
menyadarinya lebih awal. Seharusnya ia tidak merasa khawatir berlebihan.
Rasa lega menyapu dirinya dengan kuat sampai-sampai nyaris
membuat lututnya ambruk. Jamie langsung berjanji untuk melafalkan doa Novena
selama dua belas hari karena Tuhan telah memberinya penangguhan yang indah ini.
“Apakah suatu hari nanti kau akan kembali ke Inggris untuk
menginap?” tanya Jamie, berusaha terdengar seolah gagasan menjijikan itu patut
dinantikan.
“Aku akan kembali kemari kalau ada perang.”
“Kau tidak boleh mengharapkan perang,” kata Jamie sebelum
sempat memikirkannya. Jamie membiarkan Alec melihatnya mengernyit, dan tidak
peduli kalau ia telah menyinggung pria itu. Otak Alec pasti setumpul gada. Dan
kalau Alec tidak berniat bersikap sopan, maka ia juga tidak akan repot-repot
memperhatikan tatakramanya. Jamie menyibakkan rambut ke bahu, membalikkan badan
memunggungi Alec, dan perlahan-lahan menjauh darinya. “Hari sudah petang,
Kincaid,” kata Jamie dari balik bahu.“Kalian sebaiknya bergegas karena aku
yakin jarak yang harus kalian tempuh cukup jauh.”
Jamie nyaris menambahkan bahwa ia senang bertemu dengan
Alec, tapi dusta itu akan menambah jumlah doa Novena-nya lagi, jadi ia diam
saja.
Jamie baru saja tiba di meja ketika perintah kasar Alec
mengehentikannya seketika.
“Kumpulkan barang-barangmu dan ucapkan perpisahan dengan
keluargamu, Jamie, sementara Daniel dan aku akan mengambil kuda-kuda kami.
Bergegaslah.”
“Kau juga, Mary,” ujar Daniel dengan nada riang khasnya yang
mulai membuat Jamie kesal.
“Kenapa kita harus bergegas?” tanya Mary.
“Aku dan Alec sudah bersumpah tidak akan tidur di tanah
Inggris walau hanya satu malam lagi. Jarak yang akan kita tempuh cukup jauh
sebelum malam tiba.”
Jamie memutar tubuh tepat pada waktunya untuk melihat kedua
pria Skotlandia itu berjalan keluar dari ruangan. Tangannya mencengkram
pinggiran meja di belakangnya. “Kincaid? Kau seharusnya meninggalkan aku di
sini,” teriaknya. “Pernikahan ini hanya formalitas, kan?”
Alec berhenti di tengah ambang pintu masuk, lalu membalikkan
badan dan menatap Jamie. “Istriku, pernikahan bukan hanya formalitas, tapi juga
demi kenyamananku. Apa kau paham?"
Jamie tidak mengacuhkan nada marah dalam suara Alec dan
ekspresi kejamnya. "Tidak, Kincaid, aku tidak mengerti."
Jamie berusaha terdengar seangkuh tampilan Alec, tapi sadar
usahanya berantakan karea suaranya gemetar.
Gertakan amarah Jamie tidak bisa membodohi Alec. Ia tahu
Jamie ketakutan; senyumnya menyiratkan itu. “Aku janji, pada saatnya nanti kau
pasti akan paham. Aku janji.”
Jamie tidak menginginkan janji Alec, tapi rasanya Alec tidak
peduli. Dasar panglima perang dari neraka. Tapi Jamie juga tidak ingin
membantah Alec. Matanya digenangi air mata begitu Alec menghilang di balik
ambang pintu, dan yang ingin ia lakukan hanyalah melemparkan diri kekursi dan
menangis keras.
Jamie terlalu kesal untuk memikirkan barang-barang
pribadinya. Si kembar yang mengurus semuanya sehingga ia punya waktu dengan
ayahnya.
Saat Agnes dan Alice kembali ke aula utama, Marry begitu
emosional. Ia hampir tidak bisa mengucapkan salam perpisahan sebelum bergegas
keluar dari ruangan.
“Aku akan menyuruh orang untuk mengepak sisa barang-barangmu
dengan cermat, Jamie, dan mengirimkannya padamu dalam waktu satu minggu,” janji
Agnes. “Skotlandia tidak mungkin terlalu jauh.”
“Aku akan mengepak permadani-permadani indahmu,” kata Alice.
“Aku janji tidak akan melupakan apa pun. Kau akan segera merasa seperti berada
di rumahmu sendiri.”
“Alice, aku sudah memberitahu Jamie kalau akulah yang akan
mengurus itu,” gumam Agnes. Kau selalu saja berusaha lebih baik dari pada aku.
Oh, Jamie? Aku memasukkan syal ibumu ke tas tanganmu bersama stoples
obat-obatan.”
“Terima kasih,” sahut Jamie. Ia langsung memeluk mereka
berdua. “Oh, aku akan sangat merindukan kalian berdua. Kalian kakak yang sangat
baik.”
“Jamie, kau sangat berani,” bisik Agnes. “Kau tampak tenang
sekali, begitu tentaram. Kalau aku… aku pasti sudah gila sekarang. Kau menikahi
laki-laki yang…”
“Kau tidak perlu mengingatkannya,” sela Alice. “Jamie tidak
akan lupa kalau laki-laki itu membunuh istri pertamanya.”
“Kita, kan, belum yakin betul,” sanggah Agnes.
Jamie berharap si kebar berhenti menghiburnya. Mereka malah
membuatnya semakin kesal karena mengingatkannya terus soal Alec Kincaid.
Baron Jamison mencolek rok Jamie untuk menarik perhatiannya.
“Aku akan mati dalam waktu seminggu. Siapa yang akan mengurus makananku? Siapa
yang akan mendengerkan cerita-ceritaku?”
“Papa, Agnes dan Alice akan merawatmu dengan baik. Kau akan
baik-baik saja,” hibur Jamie. Jemie membungkuk pada sang baron, mencium
dahinya, lalu menambahkan, “Kumohon jangan murung terus. Aku dan Mary akan
mengunjungimu…”
Jamie tidak bisa menyelesaikan dustanya, tidak bisa
memberitahu ayahnya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hidupnya baru saja
berakhir, semua yang ia kenal baru saja direnggut darinya.
Agneslah yang melontarkan ketakutan terbesar Jamie. “Kami
tidak akan pernah melihatmu lagi, kan, Jamie? Dia tidak akan membiarkanmu
pulang, kan?”
“Aku berjanji akan mencari cara untuk kemari dan bertemu
kalian,” janji Jamie. Suaranya gemetar dan matanya perih dipenuhi air mata. Oh
Tuhan, kepergian ini sangat menyakitkan.
Di antara isakannya, Baron Jamison terus berceloteh tentang
bagaimana orang-orang Skotlandia itu telah merampok anak-anak tersayangnya dan…
oh Tuhan, bagaimana ia akan bisa melaluinya?
Jamie mencoba menghibur ayahnya, tapi pada akhirnya sia-sia
belaka. Tangis sang baron tidak juga mereda. Semakin Jamie mencoba, semakin
kencang raungannya.
Beak datang untuk menjemput Jamie. Tarik-menarik terjadi
ketika Beak berusaha memisahkan sang ayah dari putrinya. Baron Jamison tidak
mau melepaskan tangan Jamie. Tugas itu akhirnya selesai ketika Jamie ikut
membantu.
“Ayo, Jamie. Jangan membuat suami barumu marah. Dia
menunggumu di halaman dengan sabar. Lord Daniel dan Lady Mary sudah mulai
berkuda menuju Skotlandia, Nak. Ikutlah denganku sekarang. Hidup yang baru
menantimu.”
Suara lembut Beak membantu menenangkan Jamie. Ia memegang
tangan laki-laki tua itu dan berjalan bersisian menuju pintu masuk. Ketika
Jamie berhenti untuk mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada keluarganya,
Beak menyenggolnya untuk maju.
“Jangan melihat ke belakang, Jamie. Dan berhentilah
gemetaran. Mulailah memikirkan masa depanmu yang bahagia.”
“Masa depankulah yang membuatku gemetaran,” cetus Jamie. “Beak,
aku tidak tahu apa-apa soal suamiku. Gosip buruk tentangnya membuatku khawatir.
Aku tidak mau menikah dengannya.”
“Yang sudah terjadi, terjadilah,” kata Beak. “Ada dua cara
untuk memandang masalah ini, Nak. Kau bisa memasuki pernikahan ini dengan mata
tertutup rapat dan merasa menderita di sepanjang sisa hidupmu, atau kau bisa
membuka matamu lebar-lebar, menerima suamimu, dan menjalani hidupmu dengan
sebaik-baiknya.”
“Aku tidak mau membencinya.”
Beak tersenyum. Jamie terdengar muram. “Kalau begitu, jangan
membencinya,” saran Beak. “Lagi pula, kau tidak ahli dalam membenci. Hatimu
terlalu lembut, Nak. Lagi pula,” ia menambahkan seraya mendorong Jamie ke
depan, “Kejadian seperti ini cukup lazim.”
“Apanya yang lazim?”
“Banyak mempelai wanita menghadiri pernikahannya tanpa
mengetahui pasangannya.”
“Tapi, Beak, para mempelai itu wanita Inggris yang menikahi
laki-laki Inggris pula.”
“Sudahlah,” ujar Beak, mendengar ketakutan dalam suara
Jamie. “Dia laki-laki yang baik… si Kincaid ini. Aku sudah menilainya, Jamie.
Dia pasti akan memperlakukanmu dengan baik.”
“Bagaimana kau bisa yakin?” tanya Jamie. Ia berusaha
berhenti dan menoleh ke Beak, tapi pria tua itu terus saja mendorongnya maju. “Kau
tentu ingat tentang gosip bahwa ia membunuh istri pertamanya?”
“Dan kau percaya?”
Jamie menjawab dengan cepat, “Tidak.”
“Kenapa tidak?”
Jamie menangkat bahu. “Aku tidak bisa menjelaskannya,”
bisiknya. “Aku hanya merasa dia tidak akan…” Jamie mengembuskan napas, lalu
menambahkan, “Kau akan mengira aku gila, Beak, tapi matanya… yah, kurasa dia
bukan orang jahat.”
“Aku kebetulan tahu kalau gosip itu sebenarnya hanya
kebohongan,” kata Beak. “Dia tidak membunuh istrinya. Aku mengajukan pertanyaan
itu padanya, Jamie, langsung menanyakannya.”
“Yang benar saja.” Pernyataan Beak membuat Jamie terbahak. “Beak,
dia pasti marah besar padamu.”
“Hah,” tukas Beak. “Aku hanya memikirkan masa depanmu, bukan
amarahnya,” katanya dengan bangga. “Tentu saja, aku baru bertanya-tanya setelah
kudengar dia akan memilihmu.”
“Kapan kau sempat melakukannya?” tanya Jamie, mengernyit.
“Itu tidak penting,” sahut Beak cepat-cepat. “lagi pula
begitu aku mengamati kudanya, aku tahu kalau Kincaid seorang yang baik. “Beak
mendorong Jamie lagi agar cepat menghampiri suaminya. “Dia akan memperlakukanmu
dengan penuh kasih.”
“Oh, Tuhan,” gumam Jamie. “Kau sudah terlalu lama jadi
kepala istal, Beak. Ada perbedaan antara seorang istri dan seekor kuda. Kulihat
kau yakin sekali dengan omong kosong yang kau katakan ini. Kau terlihat sangat
senang.”
“Memang benar,” kata Beak dengan angkuh. “Aku baru saja
mengajakmu keluar tanpa sama sekali menyeretmu, kan?”
Beak tahu kalimatnya mengejutkan Jamie karena mata Jamie
membesar dan ia harus mendorong Jamie lagi ketika gadis itu tiba-tiba berhenti.
Alec beridri di tengah halaman, di samping kudanya.
Ekspresinya tidak menunjukkan apa pun yang bisa menggambarkan apa yang sedang
ada di dalam pikirannya. Tapi, Jamie tidak percaya kalau Alec menunggunya
dengan sabar, seperti yang dikatakan Beak. Tidak, Alec Kincaid tidak terlihat
sabar sama sekali.
Alec yakin Jamie akan menyebabkan kehebohan begitu mereka
tiba di Skotlandia. Ia menatap Jamie, bertanya-tanya pada diri sendiri kapan ia
akan terbiasa pada gadis ini. Mata itu memiliki warna lembayung yang paling
terang yang pernah dilihatnya.
Ada warna biru dan ada biru yang sebenarnya. Beak yang
mengucapkan kalimat aneh itu, Alec ingat. Sekarang ia paham maksud kepala
istal.
Ya, Jamie pasti akan menyebabkan kehebohan, entah gadis itu
menyadarinya atau tidak, pikir Alec dengan geli, sebab walau ia yakin tidak ada
satu pun anggota klannya yang berani menyentuh miliknya, [ikiran mereka pasti
mengarah ke sana.
Jamie jelas terlalu cantik.
Jamie masih takut padanya. Alec mengatakan pada dirinya
sendiri bahwa itu awal yang bagus. Seorang istri harus selalu merasa sedikit
tidak yakin pada suaminya. Namun, rasa takut Jamie juga mengusiknya. Ia pasti
sudah menyuruh Jamie bergegas menaiki kuda kalau saja ia tidak melihat pemahaman
itu di maja Jamie. Jamie mengingatkan Alec pada kijang yang baru saja mencium
adanya bahaya.
Sudah saatnya ia yang memengang kendali, putus Alec.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar