Selasa, 11 Februari 2025

The Bride #5

Jamie mengenakan gaun hitam dalam upacara pernikahannya. Pilihan pakaiannya murni merupakan sikap menentangnya agar orang-orang Skotlandia itu geram. Namun, Jamie sadar bahwa rencananya gagal begitu ia berjalan memasuki aula utama. Alec menatapnya satu kali dan tertawa. Ledakan suara Alec nyaris membuat kasau-kasau di sana ambruk.

Jamie pasti tidak tahu sikap memberontak itu malah membuat Alec senang. Sebab kalau tahu, gadis itu pasti tidak akan mau repot-repot berusaha memancingnya, pikir Alec. Seandainya Jamie tahu kalau ia sangat membenci air mata, mungkin Jamie akan menangis. Jamie melangkah seperti seorang ratu. Punggungnya selurus tombak, tidak bersedia menundukkan kepalanya pada siapa pun, dan Alec merasa Jamie tidak akan mau memperlihatkan sedikit pun kelemahan perempuan.

Gadis itu mengenakan pakaian berkabung, tapi tetap saja tampak menakjubkan. Mata Jemie terus memikat Alec. Alec bertanya-tanya kapan kiranya ia akan terbiasa dengan kecantikan Jamie. Oh Tuhan, ia sangat berharap bisa terbiasa. Ia tidak bisa membiarkan adanya gangguan yang mengalihkannya dari tugas-tugas utamanya.

Jamie ternyata cukup membingungkan. Alec tahu kalau Jamie berdarah Inggris dan dibesarkan di Inggris, tapi gadi itu sama sekali tidak tampak penakut. Alec penasaran bagaimana keajaiban seperti itu bisa terjadi, lalu menyimpulkan bahwa keluguan dan keberanian Jamie pasti terbentuk karena gadis itu tidak trcemar kehidupan mesum di dalam istana King Henry. Berkat rahmat Tuhan, Lady Jamie tidak terpapar kegemaran orang Inggris pada gaya hidup bejat.

Sepertinya , Alec justru harus berterima kasih pada Baron Jamison karena telah “gagal” melaksanakan tugasnya pada putri-putrinya. Namun, Alec tidak berniat menyampaikan rasa terima kasihnya. Lagi pula, Alec tidak yakin ayah Jamie bisa mendengar satu patah kata pun. Pria itu sedang menangis sekarang. Alec terlalu jijik untuk bicara dengan sang baron. Ia tidak pernah melihat laki-laki dewasa mempermalukan diri dengan cara seburuk itu. Perutnya jadi mual.

“Kami semua sangat dekat dengan ayah kami,” bisik Jamie ketika sang baron tidak bisa menjawab pertanyaan pastor mengenai siapa yang akan menyerahkan para mempelai wanita. Wajah Baron Jamison tertutupi sapu tangan linennya yang lembap. “Papa akan merindukan kami. Milord. Ini sangat sulit baginya.”

Jamie tidak menengadah dan memandang Alec ketika membisikkan alasan perilaku memalukan ayahnya, tapi permohonannya terurai dalam suara seraknya. Jamie meminta pengertian Alec, dan Alec tahu itu. Alec merasa pembelaan Jamie terhadap sang baron cukup layak untuk mengurungkan niatnya mengeluarkan komentar yang buruk.

Permohonan itu juga menggambarkan kesetiaan Jamie pada keluarga. Menurut Alec, itu merupakan sifat mulia dalam situasi apa pun, dan mengingat karakter anggota keluarganya, kesetiaan Jamie nyaris seperti santa.

Jamie terlalu ketakutan untuk memandang calon suaminya. Ia dan kakaknya berdiri berdampingan, saling berpegangan tangan untuk saling menenangkan. Daniel berdiri di sebelah kanan Mary dan Alec berdiri di sebelah kanan Jamie. Lengan Alec menyentuh bahu bahu Jamie dan pahanya mengenai paha Jamie. Dengan sengaja, berulalng-ulang.

Jamie sadar ia tidak bisa lari dari Alec. Mary terimpit di sebelahnya dan lengan Alec membuatnya tidak bisa melangkah mundur. Oh Tuhan, ia benci sekali merasa takut. Ia tidak terbiasa merasa seperti itu. Jamie meyakinkan dirinya sendiri bahwa penyebabnya adalah tubuh pria yang sangat besar itu. Alec menjulang di atasnya seperti awan raksasa. Tubuh Alec beraroma bunga heather sekaligus maskulin, serta sedikit berbau kulit hewan. Dalam situasi yang lebih menyenangkan, mungkin Jamie akan menganggap aroma tubuh Alec menarik. Tapi saat ini, tentu saja, Jamie membenci ukuran tubuh Alec, aromanya, kehadirannya.

Sang pastor menyelesaikan homili sakramen pernikahan, lalu menoleh ke arah kakak Jamie. Mary, yang selalu jujur, tertawa pada Daniel ketika Bapa Charles bertanya apakah ia bersedia menerima Daniel sebagai suaminya. Mary merenungkan pertanyaan itu cukup lama, seolah-olah ia baru saja diminta untuk menjelaskan arti pentingnya Penaklukan Bangsa Normandia. Lalu, akhirnya ia mengucapkan jawabannya. “Lebih baik aku tidak mengatakan kebenarannya, Bapa.”

Jamie nyaris berada di titik histeria. Ia seharusnya tidak menikahi panglima perang bernama Alec Kincaid ini. Alec juga tidak membuat keadaannya jadi lebih mudah untuk dilalui karena ia berdiri dekat sekali sehingga Jamie bisa merasakan hawa panas memancar dari tubuhnya.

Bapa Charles memohon Mary agar mau memberikan jawaban yang semestinya, sementara itu Jamie berusaha bergeser menjauhi Alec. Tebersit di sudut pikirannya yang pengecut bahwa ia bisa saja menepiskan lengan Alec, mundur satu langkah, lalu lari secepat kilat keluar dari ruangan.

Alec pasti bisa membaca niat Jamie sebab ia mengalungkan lengan ke bahu Jamie. Sebelum Jamie sempat protes, Alec menyeret gadis itu ke sampingnya.

Jamie tidak bisa bergeser menjau dari Alec. Ia mencoba melakukannhya –bahkan beberapa kali– sebelum  akhirnya membisikkan desakan agar Alec melepaskannya.

Alec tidak mengacuhkannya.

Merasa frustrasi, Jamie menoleh ke kakaknya dan berkata, “Kurasa tidak penting apa yang kita inginkan, Mary. Kalau kau tidak setuju menikahi Daniel, berarti kau melawan rajamu.”

“Tapi, kalau aku mengatakan bersedia menerima pria ini sebagai suamiku, maka itu berarti aku melawan Tuhan, bukankah begitu?” kilah Mary. “Aku tidak akan mengucapkan yang sebenarnya,” tambahnya sambil meratap.

“Demi Tuhan, Mary, jawab saja,” bentak Jamie.

Mary kesal dengan nada kasar Jamie. Ia membelalak ke adiknya itu sebelum kembali menoleh ke sang pastor. “Oh, baiklah. Aku bersedia menerimanya.” Ia menoleh ke Jamie lagi dan bergumam, “Nah, apa kau senang sekarang? Kau telah memaksaku berbohong kepada pastor.”

“Aku memaksamu?”

Bukan pernyataan Mary saja yang membuat Jamie terkesiap. Tangan Alec melingkari bawah lehernya. Jari-jari pria itu membelai kulit sensitifnya.

Bapa charles menganggukkan persetujuan atas jawaban Mary.

Sekarang giliran Jamie dan Alec.

“Nama lengkap Anda, Milord?” tanya sang pastor.

“Alec Kincaid.”

Pastor itu mengangguk. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan pernikahan yang menyiksa ini karena mata Jamie-nya yang manis kini sudah berubah kejam. Dalam ketergesa-gesaan, Bapa Charles memasukkan kata “sukarela’ ketika bertanya pada Jamie apakah ia bersedia menerima Alec sebagai suaminya.

“Sukarela?” tanya Jamie. Ia menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya untuk mengutarakan pendapatnya yang sesungguhnya, ia merasakan jemari Alec yang semakin erat di tenggorokannya.

Pria itu berusaha mengintimidasinya. Jamie mengulurkan tangan hendak menarik tangan Alec, tapi Alec tidak mau mengalah. Ia menangkap jemari Jamie dan terus memberikan tekanan.

Alec tidak mengalah sedikit pun, memijat leher Jamie diam-diam. Alec akan mencekiknya sampai mati kalau ia memancing pria angkuh itu lebih jauh, pikir Jamie. Dan karena Alec seorang Skotlandia, Jamie yakin Alec akan mewujudkan ancamannya.

Leher Jamie mulai terasa perih. “Aku bersedia menerimanya,” cetus Jamie.

Sang pastor mengembuskan napas lega, lalu cepat-cepat meneruskan sisa upacara itu. Begitu pastor selesai memberikan berkat, Mary berusaha berlari keluar dari aula. Daniel menangkapnya dalam dua langkah, menggendongnya, dan, di hadapan Bapa Charles serta keluarganya, mencium mulutnya sampai jeritan itu berhenti. Ketika serangan lembut Daniel telah selesai, tubuh Mary merosot. Bagi Jamie, Mary tampak seperti bunga yang layu.

Si sekembar mulai meratap lagi, sang baron tersedu-sedan, dan Jamie merasa ingin mati saja.

Alec Kincaid tidak terlalu menuntut ciuman untuk meresmikan sumpah pernikahan ini. Ia hanya berdiri persis di hadapan mempelai wanitanya. Ia berkacak pinggang, kakinya yang berotot terbuka, dan tatapannya di arahkan ke atas kepala Jamie yang berpita.

Alec tidak mengatakan apa-apa. Namun, cara berdirinya yang kaku mengisyaratkan ia akan berdiri di sana sepanjang malam kalau memang itu yang dibutuhkan agar Jamie menatapnya. Jamie menghibur diri dengan kenyataan bahwa pria ini tidak berusaha mencekiknya lagi.

Jamie bisa merasakan jantungnya berdentam-dentam. Ia rasa Alec Kincaid berani melakukan apa saja yang pria itu inginkan. Jamie mengumpulkan keberaniannya dan pelan-pelan mengangkat pandangannya.

Pria itu sungguh mengerikan. Matanya coklat gelap. Tidak banyak kehangatan di mata itu, dan setelah menatap Alec selama yang  bisa ia lakukan tanpa mengernyit, Jamie hendak membalikkan badan.

Alec tiba-tiba mengulurkan tangan dan menarik Jamie ke dalam pelukan. Tangannya menangkup dagu Jamie bersamaan ketika mulutnya turun mendekati mulut mempelainya. Ciuman itu keras, penuh hasrat… dan luar biasa hangat.

Jamie merasa seolah baru saja dihanguskan oleh matahari. Ciuman itu berakhir sebelum ia sempat terpikir untuk melawannya, sebelum ia benar-benar ingin bergerak. Jamie terpaku sejenak. Ia menengadah menatap suaminya dalam waktu yang cukup lama, bertanya-tanya apakah ciuman singkat itu juga memengaruhi Alec sebagaimana memengaruhi dirinya.

Alec senang melihat kebingungan di mata Jamie. Kentara sekali kalau Jamie tidak sering dicium. Kini, wajah Jamie memerah karena malu. Tangannya menyatu.

Ya, Alec puas dengan Jamie, dan ia menyadari bahwa ia sendiri bukannya tidak terpengaruh oleh ciuman singkat itu. Ia tidak bisa berhenti menatap Jamie. Astaga, ia ingin mencium gadis itu lagi.

Jerita Mary yang tiba-tiba mematahkan sihir itu.

“Sekarang?” Mary meneriakkan kata itu. “Jamie, mereka berniat pergi sekarang!”

“Kakakku pasti salah paham,” kata Jamie pada Alec. “Kalian tidak akan sungguh-sungguh ingin pergi sekarang, kan?”

“Kami memang akan pergi sekarang,” jawab Alec. “Aku dan Daniel punya banyak tanggung jawab di kampung halaman. Kami akan pergi satu jam lagi.”

Alec tidak menyebutkan Mary atau Jamie dalam penjelasannya. Kesadaran itu menarik perhatian Jamie. Ia nyaris tersenyum membayangkan kemungkinan menyenangkan itu, lalu memutuskan untuk memastikan dugaannya sebelum terlalu banyak berharap.

“Apa kau ingin makan malam sederhana bersama kami sebelum kau dan Daniel pergi?” tanya Jamie.

Alec tahu pasti apa yang Jamie pikirkan. Gadis ini benar-benar mengira ia akan meninggalkan istrinya. Alec ingin tertawa. Kini Jamie tampak sangat serius dan penuh harap.

Elec menggeleng.

Jamie merasa seolah-olah pintu penjara baru saja dibuka dan ia bebas sekali lagi. Ia berusaha menyembunyikan kegembiraannya sebab tidak sopan menunjukkan rasa senang atas kepergian suaminya dengan begitu terbuka.

Pernikahan itu hanya di atas kertas. Oh, kenapa ia tidak menyadarinya sebelumnya? Alec dan Daniel hanya melakukan perintah raja mereka untuk menikah. Sekarang mereka akan kembali pulang dan meneruskan tugas mereka, apa pun tugas itu, dan meninggalkan mempelai wanita mereka di Inggris.

Sebenarnya perjodohan seperti itu cukup lazim. Banyak pernikahan yang diatur. Jamie merasa seperti orang bodoh karena tidak menyadarinya lebih awal. Seharusnya ia tidak merasa khawatir berlebihan.

Rasa lega menyapu dirinya dengan kuat sampai-sampai nyaris membuat lututnya ambruk. Jamie langsung berjanji untuk melafalkan doa Novena selama dua belas hari karena Tuhan telah memberinya penangguhan yang indah ini.

“Apakah suatu hari nanti kau akan kembali ke Inggris untuk menginap?” tanya Jamie, berusaha terdengar seolah gagasan menjijikan itu patut dinantikan.

“Aku akan kembali kemari kalau ada perang.”

“Kau tidak boleh mengharapkan perang,” kata Jamie sebelum sempat memikirkannya. Jamie membiarkan Alec melihatnya mengernyit, dan tidak peduli kalau ia telah menyinggung pria itu. Otak Alec pasti setumpul gada. Dan kalau Alec tidak berniat bersikap sopan, maka ia juga tidak akan repot-repot memperhatikan tatakramanya. Jamie menyibakkan rambut ke bahu, membalikkan badan memunggungi Alec, dan perlahan-lahan menjauh darinya. “Hari sudah petang, Kincaid,” kata Jamie dari balik bahu.“Kalian sebaiknya bergegas karena aku yakin jarak yang harus kalian tempuh cukup jauh.”

Jamie nyaris menambahkan bahwa ia senang bertemu dengan Alec, tapi dusta itu akan menambah jumlah doa Novena-nya lagi, jadi ia diam saja.

Jamie baru saja tiba di meja ketika perintah kasar Alec mengehentikannya seketika.

“Kumpulkan barang-barangmu dan ucapkan perpisahan dengan keluargamu, Jamie, sementara Daniel dan aku akan mengambil kuda-kuda kami. Bergegaslah.”

“Kau juga, Mary,” ujar Daniel dengan nada riang khasnya yang mulai membuat Jamie kesal.

“Kenapa kita harus bergegas?” tanya Mary.

“Aku dan Alec sudah bersumpah tidak akan tidur di tanah Inggris walau hanya satu malam lagi. Jarak yang akan kita tempuh cukup jauh sebelum malam tiba.”

Jamie memutar tubuh tepat pada waktunya untuk melihat kedua pria Skotlandia itu berjalan keluar dari ruangan. Tangannya mencengkram pinggiran meja di belakangnya. “Kincaid? Kau seharusnya meninggalkan aku di sini,” teriaknya. “Pernikahan ini hanya formalitas, kan?”

Alec berhenti di tengah ambang pintu masuk, lalu membalikkan badan dan menatap Jamie. “Istriku, pernikahan bukan hanya formalitas, tapi juga demi kenyamananku. Apa kau paham?"

Jamie tidak mengacuhkan nada marah dalam suara Alec dan ekspresi kejamnya. "Tidak, Kincaid, aku tidak mengerti."

Jamie berusaha terdengar seangkuh tampilan Alec, tapi sadar usahanya berantakan karea suaranya gemetar.

Gertakan amarah Jamie tidak bisa membodohi Alec. Ia tahu Jamie ketakutan; senyumnya menyiratkan itu. “Aku janji, pada saatnya nanti kau pasti akan paham. Aku janji.”

Jamie tidak menginginkan janji Alec, tapi rasanya Alec tidak peduli. Dasar panglima perang dari neraka. Tapi Jamie juga tidak ingin membantah Alec. Matanya digenangi air mata begitu Alec menghilang di balik ambang pintu, dan yang ingin ia lakukan hanyalah melemparkan diri kekursi dan menangis keras.

Jamie terlalu kesal untuk memikirkan barang-barang pribadinya. Si kembar yang mengurus semuanya sehingga ia punya waktu dengan ayahnya.

Saat Agnes dan Alice kembali ke aula utama, Marry begitu emosional. Ia hampir tidak bisa mengucapkan salam perpisahan sebelum bergegas keluar dari ruangan.

“Aku akan menyuruh orang untuk mengepak sisa barang-barangmu dengan cermat, Jamie, dan mengirimkannya padamu dalam waktu satu minggu,” janji Agnes. “Skotlandia tidak mungkin terlalu jauh.”

“Aku akan mengepak permadani-permadani indahmu,” kata Alice. “Aku janji tidak akan melupakan apa pun. Kau akan segera merasa seperti berada di rumahmu sendiri.”

“Alice, aku sudah memberitahu Jamie kalau akulah yang akan mengurus itu,” gumam Agnes. Kau selalu saja berusaha lebih baik dari pada aku. Oh, Jamie? Aku memasukkan syal ibumu ke tas tanganmu bersama stoples obat-obatan.”

“Terima kasih,” sahut Jamie. Ia langsung memeluk mereka berdua. “Oh, aku akan sangat merindukan kalian berdua. Kalian kakak yang sangat baik.”

“Jamie, kau sangat berani,” bisik Agnes. “Kau tampak tenang sekali, begitu tentaram. Kalau aku… aku pasti sudah gila sekarang. Kau menikahi laki-laki yang…”

“Kau tidak perlu mengingatkannya,” sela Alice. “Jamie tidak akan lupa kalau laki-laki itu membunuh istri pertamanya.”

“Kita, kan, belum yakin betul,” sanggah Agnes.

Jamie berharap si kebar berhenti menghiburnya. Mereka malah membuatnya semakin kesal karena mengingatkannya terus soal Alec Kincaid.

Baron Jamison mencolek rok Jamie untuk menarik perhatiannya. “Aku akan mati dalam waktu seminggu. Siapa yang akan mengurus makananku? Siapa yang akan mendengerkan cerita-ceritaku?”

“Papa, Agnes dan Alice akan merawatmu dengan baik. Kau akan baik-baik saja,” hibur Jamie. Jemie membungkuk pada sang baron, mencium dahinya, lalu menambahkan, “Kumohon jangan murung terus. Aku dan Mary akan mengunjungimu…”

Jamie tidak bisa menyelesaikan dustanya, tidak bisa memberitahu ayahnya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hidupnya baru saja berakhir, semua yang ia kenal baru saja direnggut darinya.

Agneslah yang melontarkan ketakutan terbesar Jamie. “Kami tidak akan pernah melihatmu lagi, kan, Jamie? Dia tidak akan membiarkanmu pulang, kan?”

“Aku berjanji akan mencari cara untuk kemari dan bertemu kalian,” janji Jamie. Suaranya gemetar dan matanya perih dipenuhi air mata. Oh Tuhan, kepergian ini sangat menyakitkan.

Di antara isakannya, Baron Jamison terus berceloteh tentang bagaimana orang-orang Skotlandia itu telah merampok anak-anak tersayangnya dan… oh Tuhan, bagaimana ia akan bisa melaluinya?

Jamie mencoba menghibur ayahnya, tapi pada akhirnya sia-sia belaka. Tangis sang baron tidak juga mereda. Semakin Jamie mencoba, semakin kencang raungannya.

Beak datang untuk menjemput Jamie. Tarik-menarik terjadi ketika Beak berusaha memisahkan sang ayah dari putrinya. Baron Jamison tidak mau melepaskan tangan Jamie. Tugas itu akhirnya selesai ketika Jamie ikut membantu.

“Ayo, Jamie. Jangan membuat suami barumu marah. Dia menunggumu di halaman dengan sabar. Lord Daniel dan Lady Mary sudah mulai berkuda menuju Skotlandia, Nak. Ikutlah denganku sekarang. Hidup yang baru menantimu.”

Suara lembut Beak membantu menenangkan Jamie. Ia memegang tangan laki-laki tua itu dan berjalan bersisian menuju pintu masuk. Ketika Jamie berhenti untuk mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada keluarganya, Beak menyenggolnya untuk maju.

“Jangan melihat ke belakang, Jamie. Dan berhentilah gemetaran. Mulailah memikirkan masa depanmu yang bahagia.”

“Masa depankulah yang membuatku gemetaran,” cetus Jamie. “Beak, aku tidak tahu apa-apa soal suamiku. Gosip buruk tentangnya membuatku khawatir. Aku tidak mau menikah dengannya.”

“Yang sudah terjadi, terjadilah,” kata Beak. “Ada dua cara untuk memandang masalah ini, Nak. Kau bisa memasuki pernikahan ini dengan mata tertutup rapat dan merasa menderita di sepanjang sisa hidupmu, atau kau bisa membuka matamu lebar-lebar, menerima suamimu, dan menjalani hidupmu dengan sebaik-baiknya.”

“Aku tidak mau membencinya.”

Beak tersenyum. Jamie terdengar muram. “Kalau begitu, jangan membencinya,” saran Beak. “Lagi pula, kau tidak ahli dalam membenci. Hatimu terlalu lembut, Nak. Lagi pula,” ia menambahkan seraya mendorong Jamie ke depan, “Kejadian seperti ini cukup lazim.”

“Apanya yang lazim?”

“Banyak mempelai wanita menghadiri pernikahannya tanpa mengetahui pasangannya.”

“Tapi, Beak, para mempelai itu wanita Inggris yang menikahi laki-laki Inggris pula.”

“Sudahlah,” ujar Beak, mendengar ketakutan dalam suara Jamie. “Dia laki-laki yang baik… si Kincaid ini. Aku sudah menilainya, Jamie. Dia pasti akan memperlakukanmu dengan baik.”

“Bagaimana kau bisa yakin?” tanya Jamie. Ia berusaha berhenti dan menoleh ke Beak, tapi pria tua itu terus saja mendorongnya maju. “Kau tentu ingat tentang gosip bahwa ia membunuh istri pertamanya?”

“Dan kau percaya?”

Jamie menjawab dengan cepat, “Tidak.”

“Kenapa tidak?”

Jamie menangkat bahu. “Aku tidak bisa menjelaskannya,” bisiknya. “Aku hanya merasa dia tidak akan…” Jamie mengembuskan napas, lalu menambahkan, “Kau akan mengira aku gila, Beak, tapi matanya… yah, kurasa dia bukan orang jahat.”

“Aku kebetulan tahu kalau gosip itu sebenarnya hanya kebohongan,” kata Beak. “Dia tidak membunuh istrinya. Aku mengajukan pertanyaan itu padanya, Jamie, langsung menanyakannya.”

“Yang benar saja.” Pernyataan Beak membuat Jamie terbahak. “Beak, dia pasti marah besar padamu.”

“Hah,” tukas Beak. “Aku hanya memikirkan masa depanmu, bukan amarahnya,” katanya dengan bangga. “Tentu saja, aku baru bertanya-tanya setelah kudengar dia akan memilihmu.”

“Kapan kau sempat melakukannya?” tanya Jamie, mengernyit.

“Itu tidak penting,” sahut Beak cepat-cepat. “lagi pula begitu aku mengamati kudanya, aku tahu kalau Kincaid seorang yang baik. “Beak mendorong Jamie lagi agar cepat menghampiri suaminya. “Dia akan memperlakukanmu dengan penuh kasih.”

“Oh, Tuhan,” gumam Jamie. “Kau sudah terlalu lama jadi kepala istal, Beak. Ada perbedaan antara seorang istri dan seekor kuda. Kulihat kau yakin sekali dengan omong kosong yang kau katakan ini. Kau terlihat sangat senang.”

“Memang benar,” kata Beak dengan angkuh. “Aku baru saja mengajakmu keluar tanpa sama sekali menyeretmu, kan?”

Beak tahu kalimatnya mengejutkan Jamie karena mata Jamie membesar dan ia harus mendorong Jamie lagi ketika gadis itu tiba-tiba berhenti.

Alec beridri di tengah halaman, di samping kudanya. Ekspresinya tidak menunjukkan apa pun yang bisa menggambarkan apa yang sedang ada di dalam pikirannya. Tapi, Jamie tidak percaya kalau Alec menunggunya dengan sabar, seperti yang dikatakan Beak. Tidak, Alec Kincaid tidak terlihat sabar sama sekali.

Alec yakin Jamie akan menyebabkan kehebohan begitu mereka tiba di Skotlandia. Ia menatap Jamie, bertanya-tanya pada diri sendiri kapan ia akan terbiasa pada gadis ini. Mata itu memiliki warna lembayung yang paling terang yang pernah dilihatnya.

Ada warna biru dan ada biru yang sebenarnya. Beak yang mengucapkan kalimat aneh itu, Alec ingat. Sekarang ia paham maksud kepala istal.

Ya, Jamie pasti akan menyebabkan kehebohan, entah gadis itu menyadarinya atau tidak, pikir Alec dengan geli, sebab walau ia yakin tidak ada satu pun anggota klannya yang berani menyentuh miliknya, [ikiran mereka pasti mengarah ke sana.

Jamie jelas terlalu cantik.

Jamie masih takut padanya. Alec mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu awal yang bagus. Seorang istri harus selalu merasa sedikit tidak yakin pada suaminya. Namun, rasa takut Jamie juga mengusiknya. Ia pasti sudah menyuruh Jamie bergegas menaiki kuda kalau saja ia tidak melihat pemahaman itu di maja Jamie. Jamie mengingatkan Alec pada kijang yang baru saja mencium adanya bahaya.

Sudah saatnya ia yang memengang kendali, putus Alec.


Sinopsis




Tidak ada komentar:

Posting Komentar