Senin, 23 Juni 2025

Lucky Penny #12

Well, kedengarannya menarik. David duduk dan membetulkan posisi topinya. Ia sudah pernah melihat wanita gugup di masa lalu, tapi Brianna tampak seperti akan hancur berkeping-keping. Jaketnya, yang menenggelamkan Brianna, berkelepak di sekitar pahanya. Jari-jari Brianna saling terjalin, dengan kukunya menekan keras, lalu ia membuat gerakan memutar dengan pergelangan tangannya dan terdengar kertak dari tulang-tulangnya yang rapuh.

“Jangan di sini,” lanjut Brianna sambil melirik melalui bahunya. “Aku tidak mau mengambil risiko Daphne tak sengaja mendengar percakapan kita. Bisa kita ke sungai?”

David berdiri dan menusukkan jari-jarinya ke bawah ikat pinggangnya untuk memasukkan ujung kemejanya. Kalau Brianna bermaksud menyampaikan kebenaran, mengapa wanita ini segugup itu? Pikiran pertamanya adalah wanita ini telah mengarang cerita lainnya, berharap kali ini ia akan percaya. Tidak akan. Ia bisa melihat kebohongan bahkan dari jarak satu kilometer.

Meskipun begitu David setuju untuk berjalan ke sungai bersama Brianna. Seiring dengan setiap langkah, wanita itu menjadi semakin gugup. David tidak yakin apakah itu karena berduaan saja dengannya, dan jeritan Brianna tidak akan didengar Daphne, ataukah wanita ini ketakutan untuk mulai bercerita.

Brianna berhenti pada sebuah belokan di sungai itu, di mana hamparan batu-batu kecil di dekat tepian sungai yang berlumpur menciptakan bunyi tetesan yang merdu. Di sebelah kiri mereka, sebuah batu besar mencuat dari bumi, puncaknya sehalus dan sebulat kue jagung. Sambil melipat tangannya, David menunggu Brianna untuk mulai bicara. Brianna menatap sungai itu, kedua telapak tangannya menempel di pinggangnya, tenggorokannya bergerak-gerak menelan ludah ketika ia berusaha untuk mengeluarkan kata-kata.

Well, Shamrock, apa kau akan mengatakan sesuatu atau hanya akan diam saja sampai besok?”

Brianna memandangnya, dan David melihat mata hijau itu digenangi air mata Mulut Brianna, yang sejak awal sudah menggodanya, bergetar dan satu sudutnya tertarik ke bawah. Kalau ini hanya akting, Brianna seharusnya mengejar karier di atas panggung.

“Ketika lahir, aku punya saudara kembar identik,” akhirnya Brianna memulai.

Oke, ia bisa percaya itu, pikir David. Ia jarang bertemu dengan anak kembar, tapi ia tahu mereka ada.

“Orang tua kami meninggalkan kami di depan pintu panti asuhan ketika kami masih bayi.” Brianna memejamkan mata, menyebabkan air mata mengalir menuruni pipinya yang pucat. “Mereka hanya meninggalkan sebuah pesan untuk memberitahukan nama kami kepada suster, Brianna dan Moira O’Keefe.” Brianna mendorong rambutnya yang sudah sedari tadi terlepas dari sanggulnya. Jemarinya gemetar. “Sebagian besar suster itu orang Irlandia, dan mereka tahu nama depan dan nama keluarga kami berasal dari Irlandia. Aku dan Moira…” Ia berhenti, seakan-akan membicarakan saudaranya membuatnya sakit. “Aku dan Moira benar-benar identik secara fisik. Bahkan para suster kesulitan untuk membedakan kami, dan kami menggunakan kemiripan kami untuk mempermainkan orang-orang.” Ia memandang ke kejauhan, dahinya mengernyit bahkan ketika tersenyum dengan sayu. “Rasanya sungguh menyenangkan ketika kami masih kecil, mengecoh para suster yang baik itu. Tapi mereka selalu tahu, karena walaupun wajah kami benar-benar sama, kami punya kepribadian yang berbeda. Dia…,” menggerakkan tangannya yang lemas, manis dan sangat baik, seorang lady luar dalam, bahkan sebagai anak kecil. Aku yakin aku tidak pernah melihatnya marah atau bertindak kurang ajar kepada para suster. Dia selalu melakukan seperti yang disuruh, dan melakukannya dengan gembira. Dia adalah makhluk hidup yang paling menyerupai malaikat di bumi ini. Sedangkan aku…” Brianna menelan ludah untuk membuat suranya tidak goyah, “aku bertolak belakang dengannya, selalu membuat masalah, selalu membangkang, selalu haus akan perhatian yang tidak bisa diberikan para suster itu kepadaku. Pendeknya aku bermasalah.”

David bisa sepenuhnya memercayai itu. Hingga kini pun Brianna masih bermasalah. Wanita paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Dan ternyata ia benar tentang asal-usul Brianna yang asli Irlandia.

“Biara itu tempat yang tertutup.” David pernah diajar oleh para suster di San Francisco, jadi ia mengerti apa maksudnya. “Para suster tidak meninggalkan biara, dan hanya ada dua suster, salah satunya Kepala Biara, yang berurusan dengan pedagang dan orang luar lainnya. Kami anak-anak jarang sekali pergi ke luar dinding panti asuhan. Aku haus akan pengetahuan, tentang dunia luar biara itu, sementara Moira puas terisolasi di dalamnya.”

Oke, Sejauh ini kedengarannya masih masuk akal, pikir David. Tapi pengalamannya bersama Brianna telah membuatnya meragukan semua ucapan wanita itu, bahkan kalau Brianna memberitahunya bahwa Natal jatuh pada tanggal 25 Desember, ia belum tentu akan percaya. Dan pembawaan Brianna sangat tegang untuk seseorang yang sedang menceritakan kebenaran.

David menguatkan dirinya untuk menghadapi air mata Brianna dan suara wanita itu yang bergetar. Ia sudah pernah melihat wanita yang bisa tiba-tiba menangis dan terlihat sangat meyakinkan. Sejauh ini, ia merasa yakin kalau satu-satunya yang dilakukan oleh Brianna adalah berbohong padanya.

“Dan?”

“Ketika kami menginjak usia delapan belas tahun, kami harus meninggalkan panti asuhan. Para suster telah berusaha untuk mempersiapkan kami menghadapi dunia luar. Mereka melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan, sungguh, tapi aku dan Moira lebih cocok untuk tetap tinggal di dalam biara itu, kami terlalu polos untuk bisa bertahan di jalan. Para suster memberi kami tugas untuk berurusan dengan pedagang dan orang luar lainnya, menggantikan Kepala Biara, kecuali kalau tugas itu berhubungan dengan kedatangan anak baru. Kami melakukan pekerjaan rutin seperti menerima, memeriksa, dan membayar pengiriman barang. Pekerjaan itu membantu kami belajar untuk berurusan dengan orang luar, selain itu kami juga dibutuhkan untuk bekerja di dapur, membantu menyiapkan makanan. Para suster yang memasak, dan setelah itu kami membersihkannya. Pekerjaan itu memberi kami jalan untuk membiayai hidup kami sementara kami tetap berada dalam perlindungan panti asuhan. Suster Kepala berharap interaksi kami dengan pedagang dan pengantar barang secara perlahan akan membuat kami siap untuk menghadapi dunia nyata.”

David semakin tidak sabar.

“Sebagian besar daging dan bahan makanan diantarkan dalam keadaan segar ke panti asuhan, setiap hari, oleh peternakan lokal di pinggiran kota Boston. Si… si pengantar itu adalah putra sang peternak, seorang pria muda bernama Stanley dengan rambut pirang dan mata biru. Dia sering datang, membawa kotak-kotak besar berisi sayuran dan daging. Karena aku seorang keras kepala yang merindukan dunia nyata, aku merasa Stanley sangat menarik. Di suatu sore, ketika kami sedang memeriksa tagihan, dia memegang tanganku dan memintaku untuk bertemu dengannya di taman setelah dia meninggalkan dapur.”

Oke, pikir David, ia bisa menebak akan ke mana cerita ini berkembang. Brianna akan mengaku hamil dengan laki-laki lain yang punya rambut pirang dan mata biru. Begitu, bukan? Pertama, cerita ini terlalu kebetulan, dan kedua, ia tidak bisa membayangkan Brianna merespons rayuan pria itu tanpa melakukan apa pun.

Meski begitu, David mendengarkan dengan diam, membiarkan Brianna bercerita sampai selesai.

“Karena aku orang yang suka membangkang, aku bilang ya.” Brianna menundukkan kepalanya dan David benar-benar melihat air mata jatuh ke tanah. “Aku bilang ya, dan aku menyesalinya seumur hidupku.” Bahunya tersentak. “Setelah itu, aku bertemu dengannya di taman beberapa kali. Tidak pernah terjadi apa pun yang tidak pantas. Bukan kami tidak menginginkannya. Aku menggodanya, lalu menghindari cumbuannya, dan bersenang-senang. Bagiku, itu hanya permainan. Dia berusaha merayu, dan aku akan menjauh. Kadang-kadang dia marah, tapi bagiku itu adalah bagian dari permaianan. Aku tahu dia punya … kecenderungan menggunakan kekuatan untuk memaksakan kehendaknya, tapi tidak pernah terpikir olehku, sungguh-sungguh tidak pernah, bahwa seorang pria muda yang dibesarkan dengan baik bisa bertindak sejauh itu. Tapi rasanya menyenangkan ketika aku menyerempet bahaya. Aku akan menggodanya sampai ia meluapkan kemarahannya dan menantikan saat-saat aku bisa menyelinap untuk bertemu dengannya lagi.”

David menendang rumput dengan tumit sepatunya. “Oke, lanjutkanlah. Kuanggap ada akhir dari kisah ini dan alasan kau menceritakan kepadaku.”

Mata hijau Brianna tampak terluka. David menatap mata itu, tidak mau membiarkan dirinya memercayai apa yang dilihatnya di sana. Kemarin Brianna telah berbohong, melawannya di hadapan hakim. Pada saat ini, ia tidak tahu apa lagi yang akan dikarang Brianna, tapi membumbui kisah ini dengan air mata dan isak tangis tidak akan membuatnya memercayai satu kata pun yang keluar dari mulut wanita itu.

“Lanjutkanlah. Tadinya aku berharap bisa beristirahat, bukannya menyaksikan pertunjukan besar.”

Brianna mengernyit seakan-akan David telah menamparnya, lalu ia memalingkan wajahnya.

“Jadi suatu hari,” David melanjutkan untuk Brianna, “kau bertemu dengan bajingan itu di kebun, dan bakatnya untuk melakukan kekerasan menjadi kenyataan… benar, kan? Dia mendorongmu, memaksakan hasratnya kepadamu, dan kau hamil.” Ia terdiam sejenak agar lebih dramatis. “Bagaimana ceritaku sejauh ini?”

Tubuh Brianna menggigil dan ia berjongkok di atas batu besar di samping sungai. Sambil mencengkram siku dengan kedua tangannya, Brianna membungkuk seakan-akan kesakitan. Dengan perlahan, ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. David menyipitkan matanya. Entah ia meremehkan kemampuan akting Brianna, atau Brianna benar-benar sedih. Ia curiga yang terjadi adalah yang pertama.

“Tidak,” bisik Brianna, begitu pelan sehingga David hampir tak mendengarnya.

David ikut berjongkok di samping Brianna dan melihat air mata bergantung di bulu mata wanita itu. Brianna memandang lurus ke tanah. David sudah tak asing dengan taktik itu. Orang-orang yang berbohong tidak pernah mau memandang mata lawan bicara mereka.

“Suatu sore, Moira diminta untuk merapikan semak mawar di kebun dan memetik bunga untuk ditaruh di meja makan. Pria itu menemukannya di sana dan mengira itu aku. Moira tahu aku menemui pria itu. Dia tidak pernah punya kekasih. Dia pikir akan menyenangkan bisa menipu Stanley, membuat Stanley mengira dirinya adalah aku, seperti yang pernah kami lakukan terhadap para suster. Sore itu…” Brianna memegang lehernya. “Tidak seperti aku, kembaranku yang manis tidak mengetahui cara untuk menghindari Stanley atau menggoda pria itu agar tidak marah lagi. Stanley menyeretnya ke dalam rumah kaca, dan…” Brianna menelan ludah. Buku jarinya menjadi putih saking kerasnya ia mencengkram roknya.

“Dan apa?”

Tubuh Brianna menggigil lagi, walaupun hari itu tidak dingin. “Oh Tuhan, kau tidak bisa menebaknya? Stanley memerkosanya. Moira melawan. Stanley memukulinya dan mencekiknya, lalu meninggalkannya di sana begitu saja.”

Sebelum David bisa bicara, Brianna melanjutkan, “Kau harus percaya kepadaku, Mr. Paxton. Aku mengatakan yang sebenarnya. Daphne bukan anakmu. Dia bahkan bukan anakku.” Kata-kata itu terlontar dari mulut Brianna. “Para suster menuntut Stanley, tapi pemuda itu datang dari keluarga baik-baik. Yang terjadi adalah kata-katanya melawan kata-kata Moira. Stanley menyangkal, dan ayahnya, yang percaya kepadanya, menyewa seseorang pengacara dan siap untuk bertarung. Para suster berusaha mengumpulkan uang untuk membawa kasus itu ke pengadilan, tapi mereka tidak berhasil. Pada akhirnya, Stanley pun bebas.”

“Para suster tidak bisa membiarkan perempuan hamil tinggal di panti asuhan, bukan karena mereka tidak mencintai dan tidak ingin menolong Moira, tapi karena itu akan menjadi bahan gunjingan orang-orang. Mereka harus memikirkan anak-anak lainnya serta reputasi lembaga itu. Rumah bagi para ibu yang tidak menikah penuh. Moira sejak awal sakit, mengalami perdarahan kalau dia berdiri terlalu lama, jadi para suster melakukan apa pun yang mereka bisa untuk mempertahankannya di panti agar mereka bisa mengurusnya. Mereka memasukkannya ke daftar tunggu tiga rumah bagi ibu yang yang tidak menikah, berdoa semoga akan ada tempat kosong sebelum kehamilannya mulai terlihat. Itu tidak terwujud, tapi tetap saja mereka membiarkannya tinggal, menyembunyikannya ketika para wanita jemaat gereja atau orang luar lainnya datang berkunjung. Aku sempat berpikir kalau Moira bisa melahirkan di sana, tapi ketika usia kandungannya enam bulan, seorang pengantar barang datang tiba-tiba, dan alisnya langsung terangkat ketika dia melihat Moira di dapur. Dia meninggalkan panti asuhan dan segera mulai menyebarkan berita itu.”

“Para suster tidak mempunyai pilihan lain. Lidah-lidah orang akan bergunjing, dan mereka harus mengeluarkan Moira dari sana. Aku mengerti, tapi aku tidak bisa membiarkannya pergi sendirian. Di antara kami berdua, akulah yang kuat. Akulah yang bertanggung jawab. Itu salahku!” Brianna meneriakkan kata-kata itu, lalu mengendalikan dirinya, menarik napas gemetar, dan melanjutkan dengan suara yang lebih tenang. “Para suster memberikan barang-barang kami serta semua uang pribadi yang mereka punya. Sayangnya, mereka mengambil sumpah untuk tidak hidup berlebihan, dan gaji bulanan mereka yang kecil seringnya bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka berjanji akan memberikan lebih banyak pada bulan berikutnya, dengan suara bulat mengambil keputusan untuk memotong anggaran makan mereka dengan tidak sarapan dan makan siang. Meskipun begitu, kami pergi dari sana dengan pakaian kami dan beberapa barang lainnya. Hanya aku yang bisa bekerja. Aku menemukan sebuah kamar kecil di rumah petak dan mengambil pekerjaan apa pun yang bisa kutemukan demi memastikan ada makanan untuk Moira.”

David merasa sudah cukup mendengar cerita itu, yang sangat menyentuh. Dalam keadaan yang berbeda, ia mungkin akan percaya. Tapi semeyakinkan apa pun Brianna, kemiripan fisik Daphne dengan ibunya mengalahkan kemampuan akting Brianna. Wajah mungil Daphne yang manis. Tanda lahir Daphne. Kerutan yang menghiasi kening anak itu. Demi Tuhan, Daphne adalah jiplakan ibunya, pikir David. Ia tidak bisa menyangkal apa yang dilihatnya, sial. Daphne jelas anaknya.

David menggeser berat badannya ke satu kaki. Emosi yang terpancar dari wajah Brianna tampak seperti kesedihan, tapi mungkin saja itu rasa bersalah karena sudah berbohong di atas kebohongan.

“Ah,” kata David. “Jadi kelanjutan ceritanya adalah Moira yang malang itu meninggal ketika melahirkan. Benar bagitu? Dan sejak saat itu kau mendedikasikan seluruh hidupmu untuk menjadi orang suci, mengarang seorang suami, mendapatkan pekerjaan di Colorado, dan membesarkan anak itu sebagai anakmu sendiri. Itu artinya Daphne bukan anakku. Dia adalah putri dari seorang laki-laki pemerkosa tak bernama yang tidak bisa ditemukan untuk memverivikasi cerita ini. Sangat meyakinkan. Artinya aku bukan ayahnya dan kau bisa membawanya pergi. Oke.”

Hal berikutnya yang David tahu, ia sudah telentang di tanah yang lembap. Selama detik-detik yang mengejutkan, ia tidak bisa berpikir apa yang telah terjadi. Lalu, ketika kepalanya jernih, ia sadar kalau Brianna telah menampar wajahnya. Hanya saja tamparannya tidak tepat untuk mendeskripsikan kekuatan yang menghantamnya. Bahkan dalam keadaan berjongkok, butuh tenaga besar untuk membuatnya goyah, apalagi sampai membuatnya jatuh.

Dengan wajah yang masih berdenyut-denyut, David berdiri dan memandang Brianna dengan kesal. Ia masih tidak bisa percaya Brianna memukulnya dengan kekuatan sebesar itu, namun otaknya yang kacau memberritahunya kalau itulah yang telah dilakukan Brianna. Diajarkan sedari kecil untuk tidak balas memukul ketika ia berurusan dengan wanita, David memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung belakangnya. Akan sampai sejauh mana wanita itu berbohong demi menyingkirkannya?

“Well, itu hook kanan yang lumayan. Lain kali kepalkan tanganmu, dan mungkin kau bisa membuat tinjumu itu terasa.”

Bukannya mundur, Brianna melompat berdiri, tangannya mencengkram pasir dan batu-batu kecil. Ia melemparkannya kepada David, dan di balik amarah liar yang menguasai suaranya, terdengar histeria.

“Terkutuklah kau, Mr. Paxton. Aku sudah memberitahumu yang sebenarnya, kebenaran yang tak pernah kuceritakan kepada siapa pun, dan setiap kata itu keluar dari hatiku yang terdalam. Tapi kau berdiri di sana dan menghinaku? Terkutuklah kau!” Brianna benar-benar mengangkat tangan kanannya dan menunjuk kepala David dengan jari telunjuknya yang kaku. “Semoga Tuhan menyambarmu dengan petir sampai mati!”


Sinopsis


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar