Well, kedengarannya menarik. David duduk dan membetulkan posisi topinya. Ia sudah pernah melihat wanita gugup di masa lalu, tapi Brianna tampak seperti akan hancur berkeping-keping. Jaketnya, yang menenggelamkan Brianna, berkelepak di sekitar pahanya. Jari-jari Brianna saling terjalin, dengan kukunya menekan keras, lalu ia membuat gerakan memutar dengan pergelangan tangannya dan terdengar kertak dari tulang-tulangnya yang rapuh.
“Jangan
di sini,” lanjut Brianna sambil melirik melalui bahunya. “Aku tidak mau
mengambil risiko Daphne tak sengaja mendengar percakapan kita. Bisa kita ke
sungai?”
David
berdiri dan menusukkan jari-jarinya ke bawah ikat pinggangnya untuk memasukkan
ujung kemejanya. Kalau Brianna bermaksud menyampaikan kebenaran, mengapa wanita
ini segugup itu? Pikiran pertamanya adalah wanita ini telah mengarang cerita
lainnya, berharap kali ini ia akan percaya. Tidak akan. Ia bisa melihat
kebohongan bahkan dari jarak satu kilometer.
Meskipun
begitu David setuju untuk berjalan ke sungai bersama Brianna. Seiring dengan
setiap langkah, wanita itu menjadi semakin gugup. David tidak yakin apakah itu
karena berduaan saja dengannya, dan jeritan Brianna tidak akan didengar Daphne,
ataukah wanita ini ketakutan untuk mulai bercerita.
Brianna
berhenti pada sebuah belokan di sungai itu, di mana hamparan batu-batu kecil di
dekat tepian sungai yang berlumpur menciptakan bunyi tetesan yang merdu. Di
sebelah kiri mereka, sebuah batu besar mencuat dari bumi, puncaknya sehalus dan
sebulat kue jagung. Sambil melipat tangannya, David menunggu Brianna untuk
mulai bicara. Brianna menatap sungai itu, kedua telapak tangannya menempel di
pinggangnya, tenggorokannya bergerak-gerak menelan ludah ketika ia berusaha
untuk mengeluarkan kata-kata.
“Well,
Shamrock, apa kau akan mengatakan sesuatu atau hanya akan diam saja sampai
besok?”
Brianna
memandangnya, dan David melihat mata hijau itu digenangi air mata Mulut
Brianna, yang sejak awal sudah menggodanya, bergetar dan satu sudutnya tertarik
ke bawah. Kalau ini hanya akting, Brianna seharusnya mengejar karier di atas
panggung.
“Ketika
lahir, aku punya saudara kembar identik,” akhirnya Brianna memulai.
Oke, ia
bisa percaya itu, pikir David. Ia jarang bertemu dengan anak kembar, tapi ia
tahu mereka ada.
“Orang
tua kami meninggalkan kami di depan pintu panti asuhan ketika kami masih bayi.”
Brianna memejamkan mata, menyebabkan air mata mengalir menuruni pipinya yang
pucat. “Mereka hanya meninggalkan sebuah pesan untuk memberitahukan nama kami
kepada suster, Brianna dan Moira O’Keefe.” Brianna mendorong rambutnya yang
sudah sedari tadi terlepas dari sanggulnya. Jemarinya gemetar. “Sebagian besar
suster itu orang Irlandia, dan mereka tahu nama depan dan nama keluarga kami
berasal dari Irlandia. Aku dan Moira…” Ia berhenti, seakan-akan membicarakan
saudaranya membuatnya sakit. “Aku dan Moira benar-benar identik secara fisik.
Bahkan para suster kesulitan untuk membedakan kami, dan kami menggunakan
kemiripan kami untuk mempermainkan orang-orang.” Ia memandang ke kejauhan,
dahinya mengernyit bahkan ketika tersenyum dengan sayu. “Rasanya sungguh
menyenangkan ketika kami masih kecil, mengecoh para suster yang baik itu. Tapi
mereka selalu tahu, karena walaupun wajah kami benar-benar sama, kami punya
kepribadian yang berbeda. Dia…,” menggerakkan tangannya yang lemas, manis dan
sangat baik, seorang lady luar dalam, bahkan sebagai anak kecil. Aku
yakin aku tidak pernah melihatnya marah atau bertindak kurang ajar kepada para
suster. Dia selalu melakukan seperti yang disuruh, dan melakukannya dengan
gembira. Dia adalah makhluk hidup yang paling menyerupai malaikat di bumi ini.
Sedangkan aku…” Brianna menelan ludah untuk membuat suranya tidak goyah, “aku
bertolak belakang dengannya, selalu membuat masalah, selalu membangkang, selalu
haus akan perhatian yang tidak bisa diberikan para suster itu kepadaku.
Pendeknya aku bermasalah.”
David
bisa sepenuhnya memercayai itu. Hingga kini pun Brianna masih
bermasalah. Wanita paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Dan ternyata ia benar
tentang asal-usul Brianna yang asli Irlandia.
“Biara
itu tempat yang tertutup.” David pernah diajar oleh para suster di San
Francisco, jadi ia mengerti apa maksudnya. “Para suster tidak meninggalkan
biara, dan hanya ada dua suster, salah satunya Kepala Biara, yang berurusan
dengan pedagang dan orang luar lainnya. Kami anak-anak jarang sekali pergi ke
luar dinding panti asuhan. Aku haus akan pengetahuan, tentang dunia luar biara
itu, sementara Moira puas terisolasi di dalamnya.”
Oke,
Sejauh ini kedengarannya masih masuk akal, pikir David. Tapi pengalamannya
bersama Brianna telah membuatnya meragukan semua ucapan wanita itu, bahkan
kalau Brianna memberitahunya bahwa Natal jatuh pada tanggal 25 Desember, ia
belum tentu akan percaya. Dan pembawaan Brianna sangat tegang untuk seseorang
yang sedang menceritakan kebenaran.
David
menguatkan dirinya untuk menghadapi air mata Brianna dan suara wanita itu yang
bergetar. Ia sudah pernah melihat wanita yang bisa tiba-tiba menangis dan
terlihat sangat meyakinkan. Sejauh ini, ia merasa yakin kalau satu-satunya yang
dilakukan oleh Brianna adalah berbohong padanya.
“Dan?”
“Ketika
kami menginjak usia delapan belas tahun, kami harus meninggalkan panti asuhan.
Para suster telah berusaha untuk mempersiapkan kami menghadapi dunia luar.
Mereka melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan, sungguh, tapi aku dan
Moira lebih cocok untuk tetap tinggal di dalam biara itu, kami terlalu polos
untuk bisa bertahan di jalan. Para suster memberi kami tugas untuk berurusan
dengan pedagang dan orang luar lainnya, menggantikan Kepala Biara, kecuali
kalau tugas itu berhubungan dengan kedatangan anak baru. Kami melakukan
pekerjaan rutin seperti menerima, memeriksa, dan membayar pengiriman barang.
Pekerjaan itu membantu kami belajar untuk berurusan dengan orang luar, selain
itu kami juga dibutuhkan untuk bekerja di dapur, membantu menyiapkan makanan.
Para suster yang memasak, dan setelah itu kami membersihkannya. Pekerjaan itu
memberi kami jalan untuk membiayai hidup kami sementara kami tetap berada dalam
perlindungan panti asuhan. Suster Kepala berharap interaksi kami dengan
pedagang dan pengantar barang secara perlahan akan membuat kami siap untuk
menghadapi dunia nyata.”
David
semakin tidak sabar.
“Sebagian
besar daging dan bahan makanan diantarkan dalam keadaan segar ke panti asuhan,
setiap hari, oleh peternakan lokal di pinggiran kota Boston. Si… si pengantar
itu adalah putra sang peternak, seorang pria muda bernama Stanley dengan rambut
pirang dan mata biru. Dia sering datang, membawa kotak-kotak besar berisi
sayuran dan daging. Karena aku seorang keras kepala yang merindukan dunia
nyata, aku merasa Stanley sangat menarik. Di suatu sore, ketika kami sedang
memeriksa tagihan, dia memegang tanganku dan memintaku untuk bertemu dengannya
di taman setelah dia meninggalkan dapur.”
Oke,
pikir David, ia bisa menebak akan ke mana cerita ini berkembang. Brianna akan
mengaku hamil dengan laki-laki lain yang punya rambut pirang dan mata biru.
Begitu, bukan? Pertama, cerita ini terlalu kebetulan, dan kedua, ia tidak bisa
membayangkan Brianna merespons rayuan pria itu tanpa melakukan apa pun.
Meski
begitu, David mendengarkan dengan diam, membiarkan Brianna bercerita sampai
selesai.
“Karena
aku orang yang suka membangkang, aku bilang ya.” Brianna menundukkan kepalanya
dan David benar-benar melihat air mata jatuh ke tanah. “Aku bilang ya, dan aku
menyesalinya seumur hidupku.” Bahunya tersentak. “Setelah itu, aku bertemu
dengannya di taman beberapa kali. Tidak pernah terjadi apa pun yang tidak
pantas. Bukan kami tidak menginginkannya. Aku menggodanya, lalu menghindari
cumbuannya, dan bersenang-senang. Bagiku, itu hanya permainan. Dia berusaha
merayu, dan aku akan menjauh. Kadang-kadang dia marah, tapi bagiku itu adalah
bagian dari permaianan. Aku tahu dia punya … kecenderungan menggunakan kekuatan
untuk memaksakan kehendaknya, tapi tidak pernah terpikir olehku,
sungguh-sungguh tidak pernah, bahwa seorang pria muda yang dibesarkan dengan
baik bisa bertindak sejauh itu. Tapi rasanya menyenangkan ketika aku menyerempet
bahaya. Aku akan menggodanya sampai ia meluapkan kemarahannya dan menantikan
saat-saat aku bisa menyelinap untuk bertemu dengannya lagi.”
David
menendang rumput dengan tumit sepatunya. “Oke, lanjutkanlah. Kuanggap ada akhir
dari kisah ini dan alasan kau menceritakan kepadaku.”
Mata
hijau Brianna tampak terluka. David menatap mata itu, tidak mau membiarkan
dirinya memercayai apa yang dilihatnya di sana. Kemarin Brianna telah
berbohong, melawannya di hadapan hakim. Pada saat ini, ia tidak tahu apa lagi
yang akan dikarang Brianna, tapi membumbui kisah ini dengan air mata dan isak
tangis tidak akan membuatnya memercayai satu kata pun yang keluar dari mulut
wanita itu.
“Lanjutkanlah.
Tadinya aku berharap bisa beristirahat, bukannya menyaksikan pertunjukan besar.”
Brianna
mengernyit seakan-akan David telah menamparnya, lalu ia memalingkan wajahnya.
“Jadi
suatu hari,” David melanjutkan untuk Brianna, “kau bertemu dengan bajingan itu
di kebun, dan bakatnya untuk melakukan kekerasan menjadi kenyataan… benar, kan?
Dia mendorongmu, memaksakan hasratnya kepadamu, dan kau hamil.” Ia terdiam
sejenak agar lebih dramatis. “Bagaimana ceritaku sejauh ini?”
Tubuh
Brianna menggigil dan ia berjongkok di atas batu besar di samping sungai.
Sambil mencengkram siku dengan kedua tangannya, Brianna membungkuk seakan-akan
kesakitan. Dengan perlahan, ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
David menyipitkan matanya. Entah ia meremehkan kemampuan akting Brianna, atau
Brianna benar-benar sedih. Ia curiga yang terjadi adalah yang pertama.
“Tidak,”
bisik Brianna, begitu pelan sehingga David hampir tak mendengarnya.
David
ikut berjongkok di samping Brianna dan melihat air mata bergantung di bulu mata
wanita itu. Brianna memandang lurus ke tanah. David sudah tak asing dengan taktik
itu. Orang-orang yang berbohong tidak pernah mau memandang mata lawan bicara
mereka.
“Suatu
sore, Moira diminta untuk merapikan semak mawar di kebun dan memetik bunga
untuk ditaruh di meja makan. Pria itu menemukannya di sana dan mengira itu aku.
Moira tahu aku menemui pria itu. Dia tidak pernah punya kekasih. Dia pikir akan
menyenangkan bisa menipu Stanley, membuat Stanley mengira dirinya adalah aku,
seperti yang pernah kami lakukan terhadap para suster. Sore itu…” Brianna
memegang lehernya. “Tidak seperti aku, kembaranku yang manis tidak mengetahui
cara untuk menghindari Stanley atau menggoda pria itu agar tidak marah lagi.
Stanley menyeretnya ke dalam rumah kaca, dan…” Brianna menelan ludah. Buku
jarinya menjadi putih saking kerasnya ia mencengkram roknya.
“Dan
apa?”
Tubuh
Brianna menggigil lagi, walaupun hari itu tidak dingin. “Oh Tuhan, kau tidak
bisa menebaknya? Stanley memerkosanya. Moira melawan. Stanley memukulinya dan
mencekiknya, lalu meninggalkannya di sana begitu saja.”
Sebelum
David bisa bicara, Brianna melanjutkan, “Kau harus percaya kepadaku, Mr.
Paxton. Aku mengatakan yang sebenarnya. Daphne bukan anakmu. Dia bahkan bukan
anakku.” Kata-kata itu terlontar dari mulut Brianna. “Para suster menuntut
Stanley, tapi pemuda itu datang dari keluarga baik-baik. Yang terjadi adalah
kata-katanya melawan kata-kata Moira. Stanley menyangkal, dan ayahnya, yang
percaya kepadanya, menyewa seseorang pengacara dan siap untuk bertarung. Para
suster berusaha mengumpulkan uang untuk membawa kasus itu ke pengadilan, tapi
mereka tidak berhasil. Pada akhirnya, Stanley pun bebas.”
“Para
suster tidak bisa membiarkan perempuan hamil tinggal di panti asuhan, bukan
karena mereka tidak mencintai dan tidak ingin menolong Moira, tapi karena itu
akan menjadi bahan gunjingan orang-orang. Mereka harus memikirkan anak-anak
lainnya serta reputasi lembaga itu. Rumah bagi para ibu yang tidak menikah
penuh. Moira sejak awal sakit, mengalami perdarahan kalau dia berdiri terlalu
lama, jadi para suster melakukan apa pun yang mereka bisa untuk
mempertahankannya di panti agar mereka bisa mengurusnya. Mereka memasukkannya
ke daftar tunggu tiga rumah bagi ibu yang yang tidak menikah, berdoa semoga akan
ada tempat kosong sebelum kehamilannya mulai terlihat. Itu tidak terwujud, tapi
tetap saja mereka membiarkannya tinggal, menyembunyikannya ketika para wanita
jemaat gereja atau orang luar lainnya datang berkunjung. Aku sempat berpikir
kalau Moira bisa melahirkan di sana, tapi ketika usia kandungannya enam bulan,
seorang pengantar barang datang tiba-tiba, dan alisnya langsung terangkat
ketika dia melihat Moira di dapur. Dia meninggalkan panti asuhan dan segera
mulai menyebarkan berita itu.”
“Para
suster tidak mempunyai pilihan lain. Lidah-lidah orang akan bergunjing, dan
mereka harus mengeluarkan Moira dari sana. Aku mengerti, tapi aku tidak bisa
membiarkannya pergi sendirian. Di antara kami berdua, akulah yang kuat. Akulah
yang bertanggung jawab. Itu salahku!” Brianna meneriakkan kata-kata itu, lalu
mengendalikan dirinya, menarik napas gemetar, dan melanjutkan dengan suara yang
lebih tenang. “Para suster memberikan barang-barang kami serta semua uang pribadi
yang mereka punya. Sayangnya, mereka mengambil sumpah untuk tidak hidup
berlebihan, dan gaji bulanan mereka yang kecil seringnya bahkan tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka berjanji akan memberikan lebih
banyak pada bulan berikutnya, dengan suara bulat mengambil keputusan untuk
memotong anggaran makan mereka dengan tidak sarapan dan makan siang. Meskipun
begitu, kami pergi dari sana dengan pakaian kami dan beberapa barang lainnya.
Hanya aku yang bisa bekerja. Aku menemukan sebuah kamar kecil di rumah petak
dan mengambil pekerjaan apa pun yang bisa kutemukan demi memastikan ada makanan
untuk Moira.”
David
merasa sudah cukup mendengar cerita itu, yang sangat menyentuh. Dalam keadaan
yang berbeda, ia mungkin akan percaya. Tapi semeyakinkan apa pun Brianna,
kemiripan fisik Daphne dengan ibunya mengalahkan kemampuan akting Brianna.
Wajah mungil Daphne yang manis. Tanda lahir Daphne. Kerutan yang menghiasi
kening anak itu. Demi Tuhan, Daphne adalah jiplakan ibunya, pikir David. Ia
tidak bisa menyangkal apa yang dilihatnya, sial. Daphne jelas anaknya.
David
menggeser berat badannya ke satu kaki. Emosi yang terpancar dari wajah Brianna
tampak seperti kesedihan, tapi mungkin saja itu rasa bersalah karena sudah
berbohong di atas kebohongan.
“Ah,”
kata David. “Jadi kelanjutan ceritanya adalah Moira yang malang itu meninggal
ketika melahirkan. Benar bagitu? Dan sejak saat itu kau mendedikasikan seluruh
hidupmu untuk menjadi orang suci, mengarang seorang suami, mendapatkan
pekerjaan di Colorado, dan membesarkan anak itu sebagai anakmu sendiri. Itu
artinya Daphne bukan anakku. Dia adalah putri dari seorang laki-laki pemerkosa
tak bernama yang tidak bisa ditemukan untuk memverivikasi cerita ini. Sangat
meyakinkan. Artinya aku bukan ayahnya dan kau bisa membawanya pergi. Oke.”
Hal
berikutnya yang David tahu, ia sudah telentang di tanah yang lembap. Selama
detik-detik yang mengejutkan, ia tidak bisa berpikir apa yang telah terjadi.
Lalu, ketika kepalanya jernih, ia sadar kalau Brianna telah menampar wajahnya.
Hanya saja tamparannya tidak tepat untuk mendeskripsikan kekuatan yang
menghantamnya. Bahkan dalam keadaan berjongkok, butuh tenaga besar untuk
membuatnya goyah, apalagi sampai membuatnya jatuh.
Dengan
wajah yang masih berdenyut-denyut, David berdiri dan memandang Brianna dengan
kesal. Ia masih tidak bisa percaya Brianna memukulnya dengan kekuatan sebesar
itu, namun otaknya yang kacau memberritahunya kalau itulah yang telah dilakukan
Brianna. Diajarkan sedari kecil untuk tidak balas memukul ketika ia berurusan
dengan wanita, David memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung belakangnya.
Akan sampai sejauh mana wanita itu berbohong demi menyingkirkannya?
“Well,
itu hook kanan yang lumayan. Lain kali kepalkan tanganmu, dan mungkin
kau bisa membuat tinjumu itu terasa.”
Bukannya
mundur, Brianna melompat berdiri, tangannya mencengkram pasir dan batu-batu
kecil. Ia melemparkannya kepada David, dan di balik amarah liar yang menguasai
suaranya, terdengar histeria.
“Terkutuklah
kau, Mr. Paxton. Aku sudah memberitahumu yang sebenarnya, kebenaran yang tak
pernah kuceritakan kepada siapa pun, dan setiap kata itu keluar dari hatiku
yang terdalam. Tapi kau berdiri di sana dan menghinaku? Terkutuklah kau!”
Brianna benar-benar mengangkat tangan kanannya dan menunjuk kepala David dengan
jari telunjuknya yang kaku. “Semoga Tuhan menyambarmu dengan petir sampai mati!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar