Selasa, 04 Februari 2020

The Duke and I #5


 Hadirkah Anda di pesta dansa Lady Danbury semalam? Jika tidak, memalukan sekali. Anda melewatkan kesempatan menyaksikan kesuksesan paling luar biasa musim ini. . Jelas bagi semua tamu pesta, dan terutama bagi Penulis, bahwa Miss Daphne Bridgerton telah menarik minat Duke of Hastings yang baru saja kembali ke Inggris.

Saya hanya bisa membayangkan kelegaan Lady Bridgerton. Betapa memalukannya jika musim ini Daphne belum juga menemukan pasangan! Dan Lady B masih punya tiga putri lain yang perlu dicarikan suami. Oh, mengerikan sekali.

LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN,
30 APRIL 1813


Mustahil Daphne bisa menolaknya. Pertama-tama, ibunya melontarkan tatapan tajam Aku-Ibumu-Jangan-Berani-Berani-Menentangku.


Kedua, sang duke jelas tidak menceritakan keseluruhan kisah pertemuan mereka di koridor remang-remang itu; jika menolak berdansa dengannya, ia hanya akan memunculkan spekulasi yang tidak diinginkan.

Belum lagi kenyataan Daphne tidak terlalu menyukai pembicaraan dengan keluarga Featherington, yang pasti akan terjadi jika ia tidak buru-buru pergi ke lantai dansa.

Dan akhirnya, sebenarnya ia lumayan ingin berdansa dengan sang duke.

Tentu saja pria aroga itu bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menerima undangannya. Sebelum Daphne sempat berkata “Dengan senang hati,” atau bahkan sekadar “Ya,” pria itu sudah membimbingnya ke tengah ruangan.

Orkestra masih memperdengarkan suara-suara menyakitkan telinga sementara para musisi bersiap-siap, jadi mereka terpaksa menunggu sejenak sebelum bisa benar-benar berdansa.

“Untunglah kau tidak menolak,” tutur sang duke sepenuh hati.

“Memangnya aku sempat menolak?”

Simon menyengir ke arahnya. Daphne membalas dengan cemberut. “Aku juga tidak diberi kesempatan untuk menerima, ingat tidak?”

Simon mengangkat sebelah alis. “Apa itu berarti aku harus mengajakmu sekali lagi?”

“Tentu saja tidak,” balas Daphne sambil memutar bola matanya. “Tidakkah menurutmu itu sikap yang agak kekanak-kanakan? Lagi pula, itu akan mengakibatkan kejadian yang tidak mengenakkan, yang menurutku tidak diinginkan oleh kita berdua.”

Simon menelengkan kepala dan menatapnya dengan penuh arti, seolah pria itu telah menganalisis kepribadian Daphne dalam sekejap dan memutuskan dirinya mungkin bisa diterima. Daphne menilai pengalaman itu agak mencemaskan.

Tepat pada saat itu orkestra menghentikan suara sumbangnya dan mulai melantunkan nada-nada pertama waltz.

Simon mengerang, “Apa gadis muda masih butuh izin untuk berdansa waltz?”

Daphne mendapati dirinya tersenyum melihat keresahan pria itu. “Sudah berapa lama kau pergi?”

“Lima tahun. Masihkah?”

“Ya.”

“Kau sudah  mendapat izin?” Pria itu terlihat hampir sengsara menghadapi prospek rencana pelariannya hancur berantakan.

“Tentu saja.”

Simon langsung memeluk Daphne dan memutarnya ke tengah kerumunan para pasangan berpakaian elegan. “Bagus.”

Mereka sudah memutari ruang dansa sekali sebelum Daphne bertanya, “Seberapa banyak pertemuan kita yang kau ceritakan pada kakak-kakakku? Kau tahu, aku melihatmu bersama mereka.”

Simon hanya tersenyum.

“Kenapa kau senyum=-senyum begitu?” tanya Daphne curiga.

“Aku hanya mengagumi kendali dirimu.”

“Apa?”

Simon mengangkat bahu sedikit sementara kepalanya ditelengkan sedikit ke kanan. “Tadinya kupikir kau bukan wanita yang sangat sabar,” ujarnya, “dan ternyata kau menunggu sampai tiga menit sebelum menanyaiku tentang pembicaraanku dengan kakak-kakakmu.”

Daphne berusaha menahan rona di wajahnya. Sejujurnya, sang duke itu pedansa yang sangat hebat, dan ia terlalu menikmati waltz ini hingga tidak memikirkan soal berbincang-bincang.

“Tapi karena kau menanyakannya.” Ucap Simon berbaik hati sehingga Daphne tidak perlu berkomentar, “Aku hanya memberitahu mereka aku kebetulan bertemu denganmu di koridor dan, mengingat warna rambut serta matamu, aku langsung mengenalimu sebagai anggota keluarga Bridgerton dan memperkenalkan diri kepadamu.”

“Menurutmu mereka memercayaimu?”

“Ya,” tutur Simon pelan, “kurasa begitu.”

“Walaupun tidak ada yang perlu kita sembunyikan,” tambah Daphne cepat-cepat.

“Tentu saja tidak.”

“Jika memang ada penjahat dalam kasus ini, orang itu pastilah Nigel.”

“Tentu saja.”

Daphne menggigiti bibir bawahnya. “Apa menurutmu Nigel masih tergeletak di koridor?”

“Yang pasti aku tidak berniat mencari tahu soal itu.”

Terdapat suasana membisu yang canggung, kemudian Daphne berkata, “Sudah cukup lama sejak terakhir kali kau menghadiri pesta dansa London, bukan? Aku dan Nigel pasti sambutan yang lumayan menyenangkan.”

“Kau sambutan yang menyenangkan. Dia tidak.”

Daphne tersenyum simpul mendengar pujian itu. “Selain petualangan kecil kita tadi, apa kau menikmati malam ini?”

Jawaban Simon amat sangat negatif hingga pria itu mendengus sebelum mengucapkannya.

“Benarkah?” sahut Daphne, alisnya terangkat penasaran. “Wah, itu menarik.”

“Kau menganggap penderitaanku menarik? Ingatkan aku untuk tidak pernah meminta bantuanmu manakala aku sedang jatuh sakit.”

“Oh, mana mungkin,” bantah Daphne. “Keadaannya tidak mungkin separah itu.”

“Oh, tentu saja mungkin.”

“Sudah pasti tidak separah malamku.”

“Kau memang terlihat lumayan sengsara bersama ibumu dan Macclesfield,” Simon mengakui.

“Baik sekali kau mau mengungkit masalah itu saat ini,” gerutu Daphne.

“Tapi menurutku malamku masih lebih parah.”

Daphne tergelak, suara renyah merdu yang menghangatkan simon sampai ke tulang sumsumnya. “Kita ini pasangan menyedihkan,” ujar Daphne. “Tentunya kita bisa berbincang-bincang dalam topik selain betapa betapa menyedihkannya malam kita masing-masing.”

Simon tidak berkata apa-apa.

Daphne tidak berkata apa-apa.

“Yah, aku tidak bisa memikirkan topik apa pun,” tutur Simon.

Daphne tergelak lagi, kali ini dengan lebih riang, dan Simon lagi-lagi mendapati dirinya terpesona oleh senyum wanita itu.

“Aku menyerah,” ujar Daphne terengah-engah. “Apa yang membuat malammu menjadi peristiwa yang sangat mengerikan?”

“Apa atau siapa?”

“Siapa?” ulang Daphne, menelengkan kepala sembari menatap pria itu. “Kedengarannya semakin menarik.”

“Aku bisa memikirkan banyak kata kata sifat untuk menggambarkan semua ‘siapa’ yang harus kutemui malam ini, tapi ‘menarik’ tidak termasuk di antaranya.”

“Sudahlah,” tegur Daphne. “Jangan kasar. Lagi pula, aku melihatmu berbincang-bincang dengan kakakku.”

Simon mengangguk dengan gagah, mempererat sedikit genggamannya di pinggang gadis itu sementara mereka berputar dengan anggun. “Maafkan aku. Tentu saja keluarga Bridgerton mendapat perkecualian dari hinaanku.”

“Aku yakin kami semua lega.”

Simon tersenyum kecil mendengar kejenakaan sinis gadis itu. “Aku hidup demi membahagiakan para Bridgerton.”

“Wah, itu pernyataan yang bisa kembali menghantuimu,” tegur Daphne. “Tapi aku serius, apa yang membuatmu sangat getir? Jika malammu memburuk separah itu sejak pertemuan kita dengan Nigel, situasimu pasti sungguh sungguh menyedihkan..”

“Bagaimana ya aku menjelaskannya,” renung Simon, “supaya aku tidak menyinggung perasaanmu?”

“Oh, silahkan saja,” sahut Daphne riang. “Aku janji aku takkan tersinggung.”

Simon menyengir jail. “Pernyataan yang bisa kembali menghantuimu.” Daphne merona sedikit. Warna merah itu nyaris tidak terlihat di bawah cahaya lilin remang-remang, tapi Simon mengamati gadis itu lekat-lekat, Daphne tidak berkata apa-apa, jadi Simon menambahkan, “Baiklah, jika kau harus tahu, aku diperkenalkan kepada setiap wanita lajang yang belum menikah di ruang dansa ini.”

Suara dengusan aneh terdengar dari dekat mulut gadis itu. Simon curiga gadis itu menertawakannya. “Aku juga,” lanjutnya, “diperkenalkan kepada semua ibu mereka.”

Daphne mendenguk. Gadis itu benar-benar mendenguk.

“Sikap yang tidak pantas,” omel Simon. “Menertawakan pasangan dansamu.”

“Maafkan aku,” ujar Daphne, bibirnya merapat karena berusaha menahan senyum.

“Tidak, kau tidak menyesalinya.”

“Baiklah,” aku Daphne, “aku tidak menyesalinya. Tapi hanya karena aku mengalami siksaan yang sama selama dua tahun. Sulit bagiku untuk merasa iba hanya bagi penderitaan semalam.”

“Mengapa kau tidak memilih seseorang untuk kau nikahi dan membebaskan dirimu dari penderitaan ini?”

Daphne menatap Simon tajam. “Kau menawarkan diri?”

Simon merasa wajahnya pucat.

“Kupikir juga tidak,” Daphne menatap Simon sekilas lalu mengembuskan napas dengan keras. “Oh, ya ampun. Kau bisa mulai bernapas sekarang. Your Grace. Aku Cuma bercanda.”

Simon ingin melontarkan komentar hambar, menusuk dan sinis, tapi kenyataannya gadis itu membuatnya sangat terkejut hingga tidak bisa berkata-kata sepatah pun.

“Menjawab pertanyaanmu,” lanjut Daphne, suaranya sedikit lebih rapuh dibanding yang biasa didengar Simon. “Seorang wanita harus mempertimbangkan pilihannya. Tentu saja ada Nigel, tapi kurasa kita setuju dia bukanlah calon yang pantas.”

Simon menggeleng.

“Sebelumnya, masih tahun ini juga, ada Lord Chalmers.”

“Chalmers?” Simon mengerutkan dahi. “Bukankah dia–”

“Hampir tujuh puluh tahun? Ya. Dan karena suatu hari nanti aku ingin punya anak, kemungkinan–”

“Beberapa pria di usia itu masih bisa mempunyai keturunan,” potong Simon.

“Itu tidak termasuk risiko yang siap kuterima,” balas Daphne. “Lagi pula,” tubuhnya gemetar sedikit, mimik jijik menghiasi wajahnya. “Aku tidak ingin punya anak dengan dia.”

Simon kesal ketika mendapati dirinya membayangkan Daphne di ranjang bersama Chalmers tua. Itu bayangan menjijikkan, dan membuatnya merasa sedikit murka. Ia tidak tahu kepada siapa kemurkaan itu ditujukan; mungkin pada dirinya sendiri karena membayangkan hal tersebut, tapi–”

“Sebelum Lord Chalmers,” lanjut Daphne, untungnya memotong proses pemikiran Simon yang agak tidak menyenangkan itu, “ada dua orang lain, keduanya sama-sama menjijikkan seperti Lord Chalmers.”

Simon menatap Daphne lekat-lekat. “Kau mau menikah?”

“Yah, tentu saja.” Wajah Daphne menampakkan keterkejutan. “Bukankah semua orang menginginkannya?”

“Aku tidak.”

Daphne tersenyum sok tahu. “Kau pikir kau tidak menginginkannya. Semua pria berpikir begitu. Tapi kau akan menginginkannya.”

“Tidak,” tukas Simon sepenuh hati. “Aku takkan pernah menikah.” Daphne terkesiap menatap pria itu. Sesuatu dalam nada suara pria tersebut memberitahunya Simon benar-benar sirius dengan ucapannya. “Bagaimana denganmu?”

Simon mengangkat bahu. “memangnya kenapa?”

“Kalau kau tidak menikah dan mempunyai pewaris, gelarmu akan punah. Atau diwariskan kepada sepupu yang jahat.”

Itu mengakibatkan Simon mengangkat alisnya dengan geli. “Dan bagaimana kau tahu sepupuku itu jahat?”

“Semua sepupu yang menjadi calon pewaris gelar itu jahat.” Daphne menelengkan kepala dengan jail. “Atau paling tidak begitulah pandangan para pria yang memiliki gelar tersebut.”

“Dan kau mendapatkan informasi ini dari pengetahuan luasmu tentang kaum pria?” goda Simon.

Daphne menyengir lebar ke arah pria itu. “Tentu saja.”

Simon terdiam sejenak, kemudian bertanya. “Layakkah semua ini?”

Daphne terlihat geli oleh perubahan topik mendadak ini. “apa yang layak?”

Simon melepaskan tangan Daphne sebentar untuk melambai ke arah kerumunan. “Ini. Pesta demi pesta tanpa henti. Ibumu merongrongmu terus-menerus.”

Daphne terkekeh kaget. “Aku ragu dia menyukai metafora itu.” Ia terdiam sejenak, tatapannya menerawang sambari berkata, “Tapi ya, kurasa ini layak. Harus.”

Ia kembali memusatkan perhatiannya dan menatap wajah Simon, mata kelamnya jujur dan memesona. “Aku menginginkan suami. Aku menginginkan keluarga. Itu tidak terlalu konyol ketika dipikirkan. Aku anak keempat dari delapan bersaudara. Aku hanya tahu soal keluarga besar. Aku tidak tahu caranya hidup selain dalam situasi seperti itu.”

Simon membalas tatapan Daphne, sorot matanya membara dan intens manakala menatap mata gadis itu. Bel tanda bahaya berdentang di benaknya. Ia menginginkan gadis itu. Ia amat sangat menginginkan gadis itu hingga tubuhnya seolah terkekang oleh pakaiannya, tapi ia takkan pernah bisa menyentuhnya sedikit pun. Karena hal itu sama saja dengan menghancurkan seluruh mimpi Daphne, dan playboy atau bukan, Simon tidak yakin ia bisa memaafkan dirinya jika sampai melakukannya.

Ia takkan pernah menikah, takkan pernah mempunyai keturunan, padahal hanya itu yang diinginkan Daphne dalam hidupnya.

Ia mungkin menikmati kebersamaan mereka; ia tidak yakin ia bisa membantah hal itu. Tapi ia harus mempertahankan kesucian gadis itu bagi pria lain.

“Your Grace?” tanya Daphne pelan. Ketika Simon berkedip. Daphne tersenyum dan berkata, “Kau melamun.”

Simon menelengkan kepala dengan sopan. “Sekedar merenungkan kata-katamu.”

“Dan apa kau menyetujuinya?”

“Sejujurnya, aku tidak ingat terakhir kalinya aku berbincang-bincang dengan seseorang yang mempunyai akal sehat sepertimu.” Simon menambahkan dengan pelan, “Bagus sekali mengetahui apa yang kau inginkan dalam hidup ini.”

“Tahukah kau apa yang kuinginkan?”

Ah, bagaimana menjawabnya ya. Ada beberapa hal yang ia tahu tidak bisa ia katakan. Tetapi betapa mudahnya berbicara dengan gadis ini. Sesuatu tentangnya membuat pikiran simon rileks, bahkan ketika tubuhnya digelitik oleh gairah. Seharusnya mereka tidak berbicara sejauh ini ketika baru berkenalan, tapi entah bagaimana rasanya normal saja. Akhirnya Simon hanya berkata, “Aku membuat beberapa keputusan ketika masih muda. Aku mencoba menjalani hidupku sesuai sumpah itu.”

Daphne terlihat amat sangat penasaran, tapi sopan santun menahan gadis itu untuk menanyai Simon lebih lanjut. “Astaga,” ucap Daphne dengan senyuman yang sedikit terpaksa, “ini jadi serius. Padahal tadinya kupikir kita hanya akan berdebat tentang malam siapa yang lebih tidak menyenangkan.”

Mereka berdua terperangkap, Simon tersadar. Terperangkap oleh aturan dan harapan masyarakat pada mereka. Dan pada saat itulah gagasan melintas di benaknya. Gagasan aneh, liar, dan menarik sekaligus luar biasa. Mungkin itu juga gagasan berbahaya, mengingat hal tersebut akan menempatkan dirinya di dekat gadis itu dalam waktu lumayan lama, yang sudah pasti akan membuat tubuhnya terus menerus diliputi gairah tak terpuaskan, tapi Simon menghargai kendali diri di atas segalanya, dan yakin ia bisa mengendalikan dorongan badaniahnya. “Tidakkah kau ingin beristirahat?” mendadak ia bertanya.

“Beristirahat?” sahut Daphne geli. Bahkan ketika mereka berputar di lantai dansa, gadis itu menoleh ke kiri-kanan. “Dari semua ini?”

“Tidak juga. Kau masih harus menjalani semua ini. Apa yang kubayangkan lebih cenderung istirahat dari ibumu.”

Daphne tersedak karena terkejut. “Kau akan menyingkirkan ibuku dari acara-acara sosial? Tidakkah itu agak terlalu ekstrim?”

“Maksudku bukan menyingkirkan ibumu. Sebaliknya aku ingin menyingkirkanmu.”

Daphne tersandung kakinya sendiri, kemudian, tepat saat ia berhasil menyeimbangkan tubuhnya lagi, kakinya tersandung kaki Simon. “Apa?”

“Tadinya aku ingin mengabaikan masyarakat London sepenuhnya,” jelas Simon, “tapi aku mendapati hal itu mustahil.”

“Karena mendadak kau menyukai ratafia dan minuman limun encer?” komentar Daphne.

“Tidak,” jawab Simon, mengabaikan sarkasme Daphne, “karena aku mendapati setengah teman kuliahku menikah selama aku pergi, dan istri mereka tampaknya terobsesi mengadakan pesta yang sempurna–”

“Dan kau diundang?”

Simon mengangguk  muram.

Daphne mencondongkan badan mendekat, seolah hendak memberitahukan rahasia yang amat sangat penting pada pria itu. “Kau kan duke,” bisiknya. “Kau bisa menolaknya.”

Daphne mengamati dengan takjub manakala rahang pria itu menegang. “Orang-orang ini,” tutur Simon, “Suami mereka –mereka temanku.”

Daphne merasakan bibirnya bergerak membentuk cengiran yang tak dapat ditahannya. “Dan kau tidak ingin menyakiti perasaan istri mereka.”

Simon cemberut, jelas tidak nyaman dengan pujian itu.

“Wah, wah,” ucap Daphne jail. “Sepertinya ternyata kau itu memang orang baik.”

“Aku jarang berbaik hati,” bantah Simon.

“Mungkin, tapi kau juga jarang bersikap kejam.”

Lantunan nada-nada terakhir terdengar, dan Simon menggandeng lengan Daphne lalu membimbingnya ke pinggiran ruang dansa. Dansa barusan menempatkan mereka di sisi yang berseberangan dengan lokasi keluarga Daphne, jadi mereka punya waktu untuk melanjutkan pembicaraan mereka sembari perlahan berjalan kembali ke keluarga Bridgerton.

“Maksudku tadi,” ucap Simon, ‘sebelum kau dengan mahir mengalihkan pembicaraan, tampaknya aku harus menghadiri sejumlah acara London.”

“Itu tidai bisa dibilang takdir yang lebih buruk dibanding kematian.”

Simon mengabaikan pembetulan Daphne. “Aku beranggapan kau juga harus menghadiri acara tersebut.”

Daphne mengangguk sekali dengan anggun.

“Mungkin ada cara di mana perhatian keluarga Featherington dan sebangsanya terhadapku bisa teralihkan, dan pada saat bersamaan, kau bisa menghindari upaya perjodohan ibumu.”

Daphne menatap Simon lekat-lekat. “Lanjutkan.”

“Kita–” Simon mencondongkan badan ke depan, tatapannya memeson Dapne– “akan membentuk ikatan.”

Daphne tidak berkata apa-apa. Sama sekali. Gadis itu hanya menatapnya seolah berusaha memutuskan apa Simon itu pria paling kasar sedunia atau hanya berotak gila.

“Bukan ikatan yang sebenarnya,” ujar Simon tidak sabar. “Demi Tuhan, memangnya menurutmu aku ini pria macam apa?”

“Yah, aku kan diperingatkan soal reputasimu,” tukas Daphne. “Dan kau sendiri berusaha menakut-nakutiku dengan jurus-jurus playboy-mu beberapa waktu sebelumnya.”

“Aku tidak melakukan hal semacam itu.”

“Tentu saja kau melakukannya.” Daphne menepuk-nepuk lengan Simon. “Tapi aku memaafkanmu. Aku yakin kau tidak bisa menahan diri.”

Simon menatap Daphne dengan pandangan terkejut. “Kurasa aku belum pernah diremehkan oleh seorang wanita.”

Daphne mengangkat bahu. “Mungkin sudah saatnya.”

“Tahukah kau, tadinya kupikir kau belum menikah gara-gara ketiga kakak lelakimu menakut-nakuti semua orang yang melamarmu, tapi sekarang aku bertanya-tanya apa kau sendiri yang melakukannya.”

Simon terkejut ketika Daphne hanya tertawa. “Tidak,” jawab gadis itu, “akku masih belum menikah karena semua orang menganggapku sebagai teman. Tidak ada orang yang pernah tertarik padaku secara romantis,” Daphne mengernyit. “Kecuali Nigel.”

Simon merenungkan penjelasan Daphne selama beberapa saat, kemudian rencananya bisa lebih menguntungkan gadis itu daripada yang dibayangkan olehnya pada awalnya. “Dengar,” tuturnya, “dan dengarlah dengan cepat karena kita hampir kembali ke tempat keluargamu, dan Anthony terlihat seolah hendak melesat ke arah kita sebentar lagi.”

Mereka berdua melirik sekilas ke kanan. Anthony masih terperangkap dalam perbincangan dengan keluarga Featherington. Pria itu tidak terlihat senang.

“Begini rencanaku,” lanjut Simon, suaranya pelan dan intens. “Kita akan berpura-pura tertarik terhadap satu sama lain. Aku takkan menghadapi begitu banyak debutan yang dilempar ke arahku karena mereka akan menganggap aku bukan lagi calon yang layak.”

“Tidak, mereka takkan berpikir begitu,” balas Daphne. “Mereka takkan percaya kau bukan calon yang layak sampai kau berdiri di depan uskup, mengucapkan janji pernikahanmu.”

Gagasan itu membuat perutnya melintir. “Omong kosong,” tukas Simon. “Mungkin itu butuh waktu, tapi aku yakin akhirnya aku bisa meyakinkan masyarakat bahwa aku bukanlah kandidat yang layak dinikahi.”

“Kecuali aku,” tegas Daphne.

“Kecuali kau,” Simon mengiyakan, “tapi kita tahu itu tidak benar.”

“Tentu saja,” gumam Daphne. “Sejujurnya, aku tidak yakin hal ini bisa berhasil, tapi jika kau yakin...”

“Ya, aku yakin.”

“Kalau begitu, apa keuntungannya bagiku?”

“Salah satunya, ibumu akan berhenti menyeretmu dari satu pria ke pria lain jika dia berpikir kau sudah mendapatkan perhatianku.”

“Kau agak sombong, ya,” renung Daphne.

“Tapi itu betul,” Simon mengabaikan sindiran gadis itu. “Kedua,” lanjutnya, “kaum pria selalu lebih tertarik pada seorang wanita jika mereka pikir pria lain tertarik kepadanya.”

“Maksudmu?”

“Maksudku, singkat kata, dan maafkan kesombonganku,” Simon melontarkan tatapan sinis untuk menunjukkan ia memahami sarkasme Daphne barusan. “Tapi jika seluruh dunia berpikir aku berniat menjadikanmu sebagai duchess-ku, semua pria yang menganggapmu tidak lebih dari sekadar teman baik akan mulai memandangmu dengan kacamata baru.”

Daphne mengerucutkan bibirnya. “Berarti begitu kau mencampakkanku, aku akan mempunyai segerombolan pria yang berniat melamarku?”

“Oh, aku akan mengizinkanmu sebagai pihak yang memutuskan ikatan kita,” ucap Simon berbesar hati.

Simon menyadari gadis itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih padanya. “Aku masih berpikir aku mendapatkan keuntungan lebih banyak dibanding kau dalam rencana ini,” ujar Daphne.

Simon meremas pelan lengan Daphne. “Kalau begitu kau bersedia melakukannya?”

Daphne menatap Mrs. Featherington, yang tampak seperti burung pemangsa, kemudian kepada kakak lelakinya, yang tampak seolah baru saja menelan tulang ayam. Ia sudah lusinan kali melihat ekspresi seperti itu –namun di wajah ibunya dan calon pengagum potensial yang tak berdaya. “Ya,” jawabnya, suaranya tegas. “Ya, aku akan melakukannya.”

***

“Menurutmu apa yang membuat mereka lama sekali?”

Violet Bridgerton menarik lengan baju putra sulungnya, tidak sanggup mengalihkan pandangan dari putrinya –yang tampaknya benar-benar mendapat perhatian penuh dari Duke of Hastings –baru seminggu di London dan sudah menjadi pria incaran tahun ini.

“Entahlah,” jawab Anthony, menatap lega punggung keluarga Featherington manakala mereka pindah ke korban berikutnya, “tapi rasanya seolah sudah berjam-jam.”

“Apa menurutmu dia menyukainya?” tanya Violet penuh gairah. “Apa menurutmu Daphne kita punya kesempatan menjadi duchess?”

Sorot mata Anthony penuh dengan campuran ketidaksabaran dan keheranan. “Ibu, kau bilang pada Daphne dia bahkan tidak boleh terlihat bersama sang duke, dan sekarang kau memikirkan soal pernikahan?”

“Aku berbicara terlalu dini,” tukas Violet sambil melambaikan tangan dengan riang. “Jelas dia pria dengan selera dan budi pekerti yang luar biasa. Dan, kalau aku boleh bertanya, bagaimana kau bisa tahu apa yang kukatakan pada Daphne?”

“Daff yang memberitahuku,” Anthony berbohong.

“Huh. Yah, aku yakin Portia Featherington takkan melupakan malam ini dalam waktu dekat.”

Mata Anthony terbelalak. “Apa kau berniat menikahkan Daphne supaya dia bahagia sebagai istri dan ibu, ataukah kau hanya berusaha mengalahkan Mrs. Featherington dalam menikhkan putrinya?”

“Tentu saja pilihan yang pertama,” jawab Violet gemas, “dan aku tersinggung kau bahkan menyiratkan tujuan selain itu.” Tatapannya beralih sejenak dari Daphne dan sang duke untuk mencari tahu posisi Portia Featherington beserta putri-putrinya. “Tapi aku sudah pasti tidak keberatan melihat ekspresi di wajahnya ketika dia menyadari Daphne-lah yang akand menjadi pasangan nomor satu tahun ini.”

“Ibu, kau benar-benar berkepala batu.”

“Tentu saja tidak. Mungkin memalukan, tapi tidak pernah berkepala batu.”

Anthony hanya menggeleng dan menggumamkan sesuatu dengan pelan.

“Bergumam itu tidak sopan,” tegur Violet, hanya demi mengganggu putranya. Kemudian ia melihat Daphne dan sang duke. “Ah, itu mereka datang, anthony, jaga tingkahmu. Daphne! Your Grace!” Ia berhenti manakala pasangan itu berjalan ke sisinya. “Kuharap kalian menikmati dansa barusan.”

“Sangat,” gumam Simon. “Putrimu ternyata tidak Cuma cantik tapi juga anggun.” Anthony mendengus.

Simon mengabaikan sahabatnya. “Kuharap kami bisa mendapatkan kesempatan untuk berdansa kembali dalam waktu dekat.”

Wajah Violet bersinar-sinar. “Oh, aku yakin Daphne akan sangat mengharapkannya.” Ketika Daphne tidak menjawab dengan segera, ia menambahkan dengan tatapan yang penuh arti. “Bukan begitu, Daphne?”

“Tentu saja,” ucap Daphne patuh.

“Aku yakin ibumu takkan pernah bersikap terlalu permisif hingga mengizinkanku berdansa waltz untuk kedua kalinya denganmu,” tutur Simon, terlihat layaknya duke menawan dari ujung rambut hingga ujung kaki, “tapi aku berharap akan mengizinkan kita berjalan mengelilingi ruangan dansa.”

“Kalian baru saja berjalan mengelilingi ruangan dansa,” tukas Anthony.

Simon mengabaikan sahabatnya lagi. Ia berkata kepada Violet, “Tentu saja kami akan selalu berada dalam pandanganmu sepanjang waktu.”

Kipas sutra lembayung di tangan Violet mulai bergerak dengan cepat. “Dengan senang hati. Maksudku, Daphne pasti senang. Bukankah begitu, Daphne?”

Daphne menampakkan mimik polos. “Oh, tentu saja aku senang.”

“Dan aku,” bentak anthony, “sebaiknya meminum sesendok laudanum, karena jelas aku sudah gila. Brengsek, apa-apaan, ini?”

“Anthony!” seru Violet. Ia bergegas berbalik menghadap Simon. “Jangan pedulikan dia.”

“Oh, aku tidak pernah memedulikannya,” sahut Simon santai.

“Daphne,” ujar anthony penuh arti, “aku akan dengan senang hati akan bertindak sebagai pendampingmu.”

“Astaga, Anthony,” sela Violet, “mereka kan tidak butuh pendamping jika tetap berada di dalam ruang dansa.”

“Oh, aku harus melakukannya.”

“Kalian pergilah lebih dulu,” ucap Violet kepada Daphne dan Simon, melambaikan tangan kepada mereka. “Anthony akan menyusul kalian sebentar lagi.”

Anthony berusaha menyusul mereka saat itu juga, tapi Violet mencengkram erat pergelangan tangan putranya. “Astaga, apa yang mau kaulakukan?” desisnya.

“Melindungi adikku!”

“Dari sang duke? Dia tidak  mungkin sejahat itu. Malah, dia mengingatkanku akan dirimu.”

Anthony mengerang. “Maka dari itu Daphne benar-benar membutuhkan perlindunganku.”

Violet menepuk-nepuk lengan putranya. “Jangan terlalu protektif. Jika dia berupaya menggiring Daphne ke balkon, aku berjanji kau boleh bergegas menyelamatkan adikmu menikmati saat-saat kejayaannya.”

Anthony memelototi punggung tangan simon. “Besok aku akan membunuhnya.”

“Astaga,” tutur Violet, menggelng. “aku tidak tahu kau bisa bersikap secemas itu. Orang pikir, sebagai ibumu, aku mengetahui hal ini, terutama kau anak pertamaku, dan oleh karena itu aku telah mengenalmu paling lama dibanding anak-anakku yang lain, tapi...”

“Itu Colin, bukan?” potong Anthony, suaranya tercekik.

Violet berkedip kemudian menyipitkan matanya. “Oh, ya, kau benar. Menyenangkan sekali bukan, dia bisa pulang lebih awal? Aku nyaris tidak memercayai mataku ketika melihatnya sejam yang lalu. Bahkan aku–”

“Sebaiknya aku pergi ke tempatnya,” ucap Anthony cepat-cepat. “Sepertinya dia kesepian. Sampai jumpa Ibu.”

Violet mengamati manakala anthony melarikan diri, bisa diasumsikan untuk kabur dari celotehannya. “Anak bodoh,” gumamnya pelan. Tampaknya, tak seorang pun anaknya yang memahami taktiknya. Tinggal berceloteh tentang berbagai hal, dan ia bisa terbebas dari mereka semua dalam sekejap.

Ia mendesah puas dan kembali mengamati putrinya, kini berada di seberang ruang dansa, tangannya menggayut nyaman di lekuk sang duke. Mereka tampak seperti pasangan yang sangat serasi.

Ya, batin Violet, matanya mulai berkaca-kaca, putrinya akan menjadi duchess yang luar biasa.

Kemudian ia mengalihkan pandangannya sebentar kepada Anthony, yang kini berada tepat di tempat yang diinginkannya –berhenti merecokinya. Ia mengizinkan dirinya tersenyum kecil. Anak-anak itu mudah sekali diatur.

Kemudian senyumnya berubah menjadi kerutan ketika ia menyadari Daphne berjalan kembali ke arahnya –sambil menggandeng pria lain. Violet langsung mengedarkan pandangan ke seluruh ruang dansa sampai ia menemukan sang duke.

Ya ampun, kenapa pria itu berdansa dengan Penelope Featherington?








1 komentar: