Hadirkah Anda di pesta dansa Lady
Danbury semalam? Jika tidak, memalukan sekali. Anda melewatkan kesempatan
menyaksikan kesuksesan paling luar biasa musim ini. . Jelas bagi semua tamu
pesta, dan terutama bagi Penulis, bahwa Miss Daphne Bridgerton telah menarik
minat Duke of Hastings yang baru saja kembali ke Inggris.
Saya hanya bisa membayangkan kelegaan
Lady Bridgerton. Betapa memalukannya jika musim ini Daphne belum juga menemukan
pasangan! Dan Lady B masih punya tiga putri lain yang perlu dicarikan suami.
Oh, mengerikan sekali.
LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN,
30
APRIL 1813
Mustahil
Daphne bisa menolaknya. Pertama-tama, ibunya melontarkan tatapan tajam
Aku-Ibumu-Jangan-Berani-Berani-Menentangku.
Kedua,
sang duke jelas tidak menceritakan keseluruhan kisah pertemuan mereka di
koridor remang-remang itu; jika menolak berdansa dengannya, ia hanya akan
memunculkan spekulasi yang tidak diinginkan.
Belum
lagi kenyataan Daphne tidak terlalu menyukai pembicaraan dengan keluarga
Featherington, yang pasti akan terjadi jika ia tidak buru-buru pergi ke lantai
dansa.
Dan
akhirnya, sebenarnya ia lumayan ingin berdansa dengan sang duke.
Tentu
saja pria aroga itu bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menerima
undangannya. Sebelum Daphne sempat berkata “Dengan senang hati,” atau bahkan
sekadar “Ya,” pria itu sudah membimbingnya ke tengah ruangan.
Orkestra
masih memperdengarkan suara-suara menyakitkan telinga sementara para musisi
bersiap-siap, jadi mereka terpaksa menunggu sejenak sebelum bisa benar-benar
berdansa.
“Untunglah
kau tidak menolak,” tutur sang duke sepenuh hati.
“Memangnya
aku sempat menolak?”
Simon
menyengir ke arahnya. Daphne membalas dengan cemberut. “Aku juga tidak diberi
kesempatan untuk menerima, ingat tidak?”
Simon
mengangkat sebelah alis. “Apa itu berarti aku harus mengajakmu sekali lagi?”
“Tentu
saja tidak,” balas Daphne sambil memutar bola matanya. “Tidakkah menurutmu itu
sikap yang agak kekanak-kanakan? Lagi pula, itu akan mengakibatkan kejadian
yang tidak mengenakkan, yang menurutku tidak diinginkan oleh kita berdua.”
Simon
menelengkan kepala dan menatapnya dengan penuh arti, seolah pria itu telah
menganalisis kepribadian Daphne dalam sekejap dan memutuskan dirinya mungkin
bisa diterima. Daphne menilai pengalaman itu agak mencemaskan.
Tepat
pada saat itu orkestra menghentikan suara sumbangnya dan mulai melantunkan
nada-nada pertama waltz.
Simon
mengerang, “Apa gadis muda masih butuh izin untuk berdansa waltz?”
Daphne
mendapati dirinya tersenyum melihat keresahan pria itu. “Sudah berapa lama kau
pergi?”
“Lima
tahun. Masihkah?”
“Ya.”
“Kau
sudah mendapat izin?” Pria itu terlihat
hampir sengsara menghadapi prospek rencana pelariannya hancur berantakan.
“Tentu
saja.”
Simon
langsung memeluk Daphne dan memutarnya ke tengah kerumunan para pasangan
berpakaian elegan. “Bagus.”
Mereka
sudah memutari ruang dansa sekali sebelum Daphne bertanya, “Seberapa banyak
pertemuan kita yang kau ceritakan pada kakak-kakakku? Kau tahu, aku melihatmu
bersama mereka.”
Simon
hanya tersenyum.
“Kenapa
kau senyum=-senyum begitu?” tanya Daphne curiga.
“Aku
hanya mengagumi kendali dirimu.”
“Apa?”
Simon
mengangkat bahu sedikit sementara kepalanya ditelengkan sedikit ke kanan.
“Tadinya kupikir kau bukan wanita yang sangat sabar,” ujarnya, “dan ternyata
kau menunggu sampai tiga menit sebelum menanyaiku tentang pembicaraanku dengan
kakak-kakakmu.”
Daphne
berusaha menahan rona di wajahnya. Sejujurnya, sang duke itu pedansa yang
sangat hebat, dan ia terlalu menikmati waltz
ini hingga tidak memikirkan soal berbincang-bincang.
“Tapi
karena kau menanyakannya.” Ucap Simon berbaik hati sehingga Daphne tidak perlu
berkomentar, “Aku hanya memberitahu mereka aku kebetulan bertemu denganmu di
koridor dan, mengingat warna rambut serta matamu, aku langsung mengenalimu sebagai anggota keluarga Bridgerton dan
memperkenalkan diri kepadamu.”
“Menurutmu
mereka memercayaimu?”
“Ya,”
tutur Simon pelan, “kurasa begitu.”
“Walaupun
tidak ada yang perlu kita sembunyikan,” tambah Daphne cepat-cepat.
“Tentu
saja tidak.”
“Jika
memang ada penjahat dalam kasus ini, orang itu pastilah Nigel.”
“Tentu
saja.”
Daphne
menggigiti bibir bawahnya. “Apa menurutmu Nigel masih tergeletak di koridor?”
“Yang
pasti aku tidak berniat mencari tahu soal itu.”
Terdapat
suasana membisu yang canggung, kemudian Daphne berkata, “Sudah cukup lama sejak
terakhir kali kau menghadiri pesta dansa London, bukan? Aku dan Nigel pasti
sambutan yang lumayan menyenangkan.”
“Kau
sambutan yang menyenangkan. Dia tidak.”
Daphne
tersenyum simpul mendengar pujian itu. “Selain petualangan kecil kita tadi, apa
kau menikmati malam ini?”
Jawaban
Simon amat sangat negatif hingga pria itu mendengus sebelum mengucapkannya.
“Benarkah?”
sahut Daphne, alisnya terangkat penasaran. “Wah, itu menarik.”
“Kau
menganggap penderitaanku menarik? Ingatkan aku untuk tidak pernah meminta
bantuanmu manakala aku sedang jatuh sakit.”
“Oh,
mana mungkin,” bantah Daphne. “Keadaannya tidak mungkin separah itu.”
“Oh,
tentu saja mungkin.”
“Sudah
pasti tidak separah malamku.”
“Kau
memang terlihat lumayan sengsara bersama ibumu dan Macclesfield,” Simon
mengakui.
“Baik
sekali kau mau mengungkit masalah itu saat ini,” gerutu Daphne.
“Tapi
menurutku malamku masih lebih parah.”
Daphne
tergelak, suara renyah merdu yang menghangatkan simon sampai ke tulang
sumsumnya. “Kita ini pasangan menyedihkan,” ujar Daphne. “Tentunya kita bisa
berbincang-bincang dalam topik selain betapa betapa menyedihkannya malam kita
masing-masing.”
Simon
tidak berkata apa-apa.
Daphne
tidak berkata apa-apa.
“Yah,
aku tidak bisa memikirkan topik apa pun,” tutur Simon.
Daphne
tergelak lagi, kali ini dengan lebih riang, dan Simon lagi-lagi mendapati
dirinya terpesona oleh senyum wanita itu.
“Aku
menyerah,” ujar Daphne terengah-engah. “Apa yang membuat malammu menjadi
peristiwa yang sangat mengerikan?”
“Apa
atau siapa?”
“Siapa?”
ulang Daphne, menelengkan kepala sembari menatap pria itu. “Kedengarannya
semakin menarik.”
“Aku
bisa memikirkan banyak kata kata sifat untuk menggambarkan semua ‘siapa’ yang
harus kutemui malam ini, tapi ‘menarik’ tidak termasuk di antaranya.”
“Sudahlah,”
tegur Daphne. “Jangan kasar. Lagi pula, aku melihatmu berbincang-bincang dengan
kakakku.”
Simon
mengangguk dengan gagah, mempererat sedikit genggamannya di pinggang gadis itu
sementara mereka berputar dengan anggun. “Maafkan aku. Tentu saja keluarga
Bridgerton mendapat perkecualian dari hinaanku.”
“Aku
yakin kami semua lega.”
Simon
tersenyum kecil mendengar kejenakaan sinis gadis itu. “Aku hidup demi
membahagiakan para Bridgerton.”
“Wah,
itu pernyataan yang bisa kembali menghantuimu,” tegur Daphne. “Tapi aku serius,
apa yang membuatmu sangat getir? Jika malammu memburuk separah itu sejak
pertemuan kita dengan Nigel, situasimu pasti sungguh sungguh menyedihkan..”
“Bagaimana
ya aku menjelaskannya,” renung Simon, “supaya aku tidak menyinggung
perasaanmu?”
“Oh,
silahkan saja,” sahut Daphne riang. “Aku janji aku takkan tersinggung.”
Simon
menyengir jail. “Pernyataan yang bisa kembali menghantuimu.” Daphne merona
sedikit. Warna merah itu nyaris tidak terlihat di bawah cahaya lilin
remang-remang, tapi Simon mengamati gadis itu lekat-lekat, Daphne tidak berkata
apa-apa, jadi Simon menambahkan, “Baiklah, jika kau harus tahu, aku
diperkenalkan kepada setiap wanita lajang yang belum menikah di ruang dansa
ini.”
Suara
dengusan aneh terdengar dari dekat mulut gadis itu. Simon curiga gadis itu
menertawakannya. “Aku juga,” lanjutnya, “diperkenalkan kepada semua ibu
mereka.”
Daphne
mendenguk. Gadis itu benar-benar mendenguk.
“Sikap
yang tidak pantas,” omel Simon. “Menertawakan pasangan dansamu.”
“Maafkan
aku,” ujar Daphne, bibirnya merapat karena berusaha menahan senyum.
“Tidak,
kau tidak menyesalinya.”
“Baiklah,”
aku Daphne, “aku tidak menyesalinya. Tapi hanya karena aku mengalami siksaan
yang sama selama dua tahun. Sulit bagiku untuk merasa iba hanya bagi
penderitaan semalam.”
“Mengapa
kau tidak memilih seseorang untuk kau nikahi dan membebaskan dirimu dari
penderitaan ini?”
Daphne
menatap Simon tajam. “Kau menawarkan diri?”
Simon
merasa wajahnya pucat.
“Kupikir
juga tidak,” Daphne menatap Simon sekilas lalu mengembuskan napas dengan keras.
“Oh, ya ampun. Kau bisa mulai bernapas sekarang. Your Grace. Aku Cuma
bercanda.”
Simon
ingin melontarkan komentar hambar, menusuk dan sinis, tapi kenyataannya gadis
itu membuatnya sangat terkejut hingga tidak bisa berkata-kata sepatah pun.
“Menjawab
pertanyaanmu,” lanjut Daphne, suaranya sedikit lebih rapuh dibanding yang biasa
didengar Simon. “Seorang wanita harus mempertimbangkan pilihannya. Tentu saja
ada Nigel, tapi kurasa kita setuju dia bukanlah calon yang pantas.”
Simon
menggeleng.
“Sebelumnya,
masih tahun ini juga, ada Lord Chalmers.”
“Chalmers?”
Simon mengerutkan dahi. “Bukankah dia–”
“Hampir
tujuh puluh tahun? Ya. Dan karena suatu hari nanti aku ingin punya anak,
kemungkinan–”
“Beberapa
pria di usia itu masih bisa mempunyai keturunan,” potong Simon.
“Itu
tidak termasuk risiko yang siap kuterima,” balas Daphne. “Lagi pula,” tubuhnya
gemetar sedikit, mimik jijik menghiasi wajahnya. “Aku tidak ingin punya anak
dengan dia.”
Simon
kesal ketika mendapati dirinya membayangkan Daphne di ranjang bersama Chalmers
tua. Itu bayangan menjijikkan, dan membuatnya merasa sedikit murka. Ia tidak
tahu kepada siapa kemurkaan itu ditujukan; mungkin pada dirinya sendiri karena
membayangkan hal tersebut, tapi–”
“Sebelum
Lord Chalmers,” lanjut Daphne, untungnya memotong proses pemikiran Simon yang
agak tidak menyenangkan itu, “ada dua orang lain, keduanya sama-sama
menjijikkan seperti Lord Chalmers.”
Simon
menatap Daphne lekat-lekat. “Kau mau menikah?”
“Yah,
tentu saja.” Wajah Daphne menampakkan keterkejutan. “Bukankah semua orang
menginginkannya?”
“Aku
tidak.”
Daphne
tersenyum sok tahu. “Kau pikir kau tidak menginginkannya. Semua pria berpikir
begitu. Tapi kau akan menginginkannya.”
“Tidak,”
tukas Simon sepenuh hati. “Aku takkan pernah menikah.” Daphne terkesiap menatap
pria itu. Sesuatu dalam nada suara pria tersebut memberitahunya Simon
benar-benar sirius dengan ucapannya. “Bagaimana denganmu?”
Simon
mengangkat bahu. “memangnya kenapa?”
“Kalau
kau tidak menikah dan mempunyai pewaris, gelarmu akan punah. Atau diwariskan
kepada sepupu yang jahat.”
Itu
mengakibatkan Simon mengangkat alisnya dengan geli. “Dan bagaimana kau tahu
sepupuku itu jahat?”
“Semua
sepupu yang menjadi calon pewaris gelar itu jahat.” Daphne menelengkan kepala
dengan jail. “Atau paling tidak begitulah pandangan para pria yang memiliki
gelar tersebut.”
“Dan
kau mendapatkan informasi ini dari pengetahuan luasmu tentang kaum pria?” goda
Simon.
Daphne
menyengir lebar ke arah pria itu. “Tentu saja.”
Simon
terdiam sejenak, kemudian bertanya. “Layakkah semua ini?”
Daphne
terlihat geli oleh perubahan topik mendadak ini. “apa yang layak?”
Simon
melepaskan tangan Daphne sebentar untuk melambai ke arah kerumunan. “Ini. Pesta
demi pesta tanpa henti. Ibumu merongrongmu terus-menerus.”
Daphne
terkekeh kaget. “Aku ragu dia menyukai metafora itu.” Ia terdiam sejenak,
tatapannya menerawang sambari berkata, “Tapi ya, kurasa ini layak. Harus.”
Ia
kembali memusatkan perhatiannya dan menatap wajah Simon, mata kelamnya jujur
dan memesona. “Aku menginginkan suami. Aku menginginkan keluarga. Itu tidak
terlalu konyol ketika dipikirkan. Aku anak keempat dari delapan bersaudara. Aku
hanya tahu soal keluarga besar. Aku tidak tahu caranya hidup selain dalam
situasi seperti itu.”
Simon
membalas tatapan Daphne, sorot matanya membara dan intens manakala menatap mata
gadis itu. Bel tanda bahaya berdentang di benaknya. Ia menginginkan gadis itu.
Ia amat sangat menginginkan gadis itu hingga tubuhnya seolah terkekang oleh
pakaiannya, tapi ia takkan pernah bisa menyentuhnya sedikit pun. Karena hal itu
sama saja dengan menghancurkan seluruh mimpi Daphne, dan playboy atau bukan, Simon tidak yakin ia bisa memaafkan dirinya
jika sampai melakukannya.
Ia
takkan pernah menikah, takkan pernah mempunyai keturunan, padahal hanya itu yang
diinginkan Daphne dalam hidupnya.
Ia
mungkin menikmati kebersamaan mereka; ia tidak yakin ia bisa membantah hal itu.
Tapi ia harus mempertahankan kesucian gadis itu bagi pria lain.
“Your
Grace?” tanya Daphne pelan. Ketika Simon berkedip. Daphne tersenyum dan
berkata, “Kau melamun.”
Simon
menelengkan kepala dengan sopan. “Sekedar merenungkan kata-katamu.”
“Dan
apa kau menyetujuinya?”
“Sejujurnya,
aku tidak ingat terakhir kalinya aku berbincang-bincang dengan seseorang yang
mempunyai akal sehat sepertimu.” Simon menambahkan dengan pelan, “Bagus sekali
mengetahui apa yang kau inginkan dalam hidup ini.”
“Tahukah
kau apa yang kuinginkan?”
Ah,
bagaimana menjawabnya ya. Ada beberapa hal yang ia tahu tidak bisa ia katakan. Tetapi
betapa mudahnya berbicara dengan gadis ini. Sesuatu tentangnya membuat pikiran
simon rileks, bahkan ketika tubuhnya digelitik oleh gairah. Seharusnya mereka
tidak berbicara sejauh ini ketika baru berkenalan, tapi entah bagaimana rasanya
normal saja. Akhirnya Simon hanya berkata, “Aku membuat beberapa keputusan
ketika masih muda. Aku mencoba menjalani hidupku sesuai sumpah itu.”
Daphne
terlihat amat sangat penasaran, tapi sopan santun menahan gadis itu untuk
menanyai Simon lebih lanjut. “Astaga,” ucap Daphne dengan senyuman yang sedikit
terpaksa, “ini jadi serius. Padahal tadinya kupikir kita hanya akan berdebat
tentang malam siapa yang lebih tidak menyenangkan.”
Mereka
berdua terperangkap, Simon tersadar. Terperangkap oleh aturan dan harapan
masyarakat pada mereka. Dan pada saat itulah gagasan melintas di benaknya.
Gagasan aneh, liar, dan menarik sekaligus luar biasa. Mungkin itu juga gagasan
berbahaya, mengingat hal tersebut akan menempatkan dirinya di dekat gadis itu
dalam waktu lumayan lama, yang sudah pasti akan membuat tubuhnya terus menerus
diliputi gairah tak terpuaskan, tapi Simon menghargai kendali diri di atas
segalanya, dan yakin ia bisa mengendalikan dorongan badaniahnya. “Tidakkah kau
ingin beristirahat?” mendadak ia bertanya.
“Beristirahat?”
sahut Daphne geli. Bahkan ketika mereka berputar di lantai dansa, gadis itu
menoleh ke kiri-kanan. “Dari semua ini?”
“Tidak
juga. Kau masih harus menjalani semua ini. Apa yang kubayangkan lebih cenderung
istirahat dari ibumu.”
Daphne
tersedak karena terkejut. “Kau akan menyingkirkan ibuku dari acara-acara
sosial? Tidakkah itu agak terlalu ekstrim?”
“Maksudku
bukan menyingkirkan ibumu. Sebaliknya aku ingin menyingkirkanmu.”
Daphne
tersandung kakinya sendiri, kemudian, tepat saat ia berhasil menyeimbangkan
tubuhnya lagi, kakinya tersandung kaki Simon. “Apa?”
“Tadinya
aku ingin mengabaikan masyarakat London sepenuhnya,” jelas Simon, “tapi aku
mendapati hal itu mustahil.”
“Karena
mendadak kau menyukai ratafia dan
minuman limun encer?” komentar Daphne.
“Tidak,”
jawab Simon, mengabaikan sarkasme Daphne, “karena aku mendapati setengah teman
kuliahku menikah selama aku pergi, dan istri mereka tampaknya terobsesi
mengadakan pesta yang sempurna–”
“Dan
kau diundang?”
Simon
mengangguk muram.
Daphne
mencondongkan badan mendekat, seolah hendak memberitahukan rahasia yang amat
sangat penting pada pria itu. “Kau kan duke,”
bisiknya. “Kau bisa menolaknya.”
Daphne
mengamati dengan takjub manakala rahang pria itu menegang. “Orang-orang ini,”
tutur Simon, “Suami mereka –mereka temanku.”
Daphne
merasakan bibirnya bergerak membentuk cengiran yang tak dapat ditahannya. “Dan
kau tidak ingin menyakiti perasaan istri mereka.”
Simon
cemberut, jelas tidak nyaman dengan pujian itu.
“Wah,
wah,” ucap Daphne jail. “Sepertinya ternyata kau itu memang orang baik.”
“Aku
jarang berbaik hati,” bantah Simon.
“Mungkin,
tapi kau juga jarang bersikap kejam.”
Lantunan
nada-nada terakhir terdengar, dan Simon menggandeng lengan Daphne lalu
membimbingnya ke pinggiran ruang dansa. Dansa barusan menempatkan mereka di
sisi yang berseberangan dengan lokasi keluarga Daphne, jadi mereka punya waktu
untuk melanjutkan pembicaraan mereka sembari perlahan berjalan kembali ke
keluarga Bridgerton.
“Maksudku
tadi,” ucap Simon, ‘sebelum kau dengan mahir mengalihkan pembicaraan, tampaknya
aku harus menghadiri sejumlah acara London.”
“Itu
tidai bisa dibilang takdir yang lebih buruk dibanding kematian.”
Simon
mengabaikan pembetulan Daphne. “Aku beranggapan kau juga harus menghadiri acara
tersebut.”
Daphne
mengangguk sekali dengan anggun.
“Mungkin
ada cara di mana perhatian keluarga Featherington dan sebangsanya terhadapku
bisa teralihkan, dan pada saat bersamaan, kau bisa menghindari upaya perjodohan
ibumu.”
Daphne
menatap Simon lekat-lekat. “Lanjutkan.”
“Kita–”
Simon mencondongkan badan ke depan, tatapannya memeson Dapne– “akan membentuk
ikatan.”
Daphne
tidak berkata apa-apa. Sama sekali. Gadis itu hanya menatapnya seolah berusaha
memutuskan apa Simon itu pria paling kasar sedunia atau hanya berotak gila.
“Bukan
ikatan yang sebenarnya,” ujar Simon tidak sabar. “Demi Tuhan, memangnya
menurutmu aku ini pria macam apa?”
“Yah,
aku kan diperingatkan soal
reputasimu,” tukas Daphne. “Dan kau sendiri berusaha menakut-nakutiku dengan
jurus-jurus playboy-mu beberapa waktu
sebelumnya.”
“Aku
tidak melakukan hal semacam itu.”
“Tentu
saja kau melakukannya.” Daphne menepuk-nepuk lengan Simon. “Tapi aku
memaafkanmu. Aku yakin kau tidak bisa menahan diri.”
Simon
menatap Daphne dengan pandangan terkejut. “Kurasa aku belum pernah diremehkan
oleh seorang wanita.”
Daphne
mengangkat bahu. “Mungkin sudah saatnya.”
“Tahukah
kau, tadinya kupikir kau belum menikah gara-gara ketiga kakak lelakimu
menakut-nakuti semua orang yang melamarmu, tapi sekarang aku bertanya-tanya apa
kau sendiri yang melakukannya.”
Simon
terkejut ketika Daphne hanya tertawa. “Tidak,” jawab gadis itu, “akku masih
belum menikah karena semua orang menganggapku sebagai teman. Tidak ada orang
yang pernah tertarik padaku secara romantis,” Daphne mengernyit. “Kecuali
Nigel.”
Simon
merenungkan penjelasan Daphne selama beberapa saat, kemudian rencananya bisa
lebih menguntungkan gadis itu daripada yang dibayangkan olehnya pada awalnya. “Dengar,”
tuturnya, “dan dengarlah dengan cepat karena kita hampir kembali ke tempat
keluargamu, dan Anthony terlihat seolah hendak melesat ke arah kita sebentar
lagi.”
Mereka
berdua melirik sekilas ke kanan. Anthony masih terperangkap dalam perbincangan
dengan keluarga Featherington. Pria itu tidak terlihat senang.
“Begini
rencanaku,” lanjut Simon, suaranya pelan dan intens. “Kita akan berpura-pura
tertarik terhadap satu sama lain. Aku takkan menghadapi begitu banyak debutan
yang dilempar ke arahku karena mereka akan menganggap aku bukan lagi calon yang
layak.”
“Tidak,
mereka takkan berpikir begitu,” balas Daphne. “Mereka takkan percaya kau bukan
calon yang layak sampai kau berdiri di depan uskup, mengucapkan janji
pernikahanmu.”
Gagasan
itu membuat perutnya melintir. “Omong kosong,” tukas Simon. “Mungkin itu butuh
waktu, tapi aku yakin akhirnya aku bisa meyakinkan masyarakat bahwa aku
bukanlah kandidat yang layak dinikahi.”
“Kecuali
aku,” tegas Daphne.
“Kecuali
kau,” Simon mengiyakan, “tapi kita tahu itu tidak benar.”
“Tentu
saja,” gumam Daphne. “Sejujurnya, aku tidak yakin hal ini bisa berhasil, tapi
jika kau yakin...”
“Ya,
aku yakin.”
“Kalau
begitu, apa keuntungannya bagiku?”
“Salah
satunya, ibumu akan berhenti menyeretmu dari satu pria ke pria lain jika dia
berpikir kau sudah mendapatkan perhatianku.”
“Kau
agak sombong, ya,” renung Daphne.
“Tapi
itu betul,” Simon mengabaikan sindiran gadis itu. “Kedua,” lanjutnya, “kaum
pria selalu lebih tertarik pada seorang wanita jika mereka pikir pria lain
tertarik kepadanya.”
“Maksudmu?”
“Maksudku,
singkat kata, dan maafkan kesombonganku,” Simon melontarkan tatapan sinis untuk
menunjukkan ia memahami sarkasme Daphne barusan. “Tapi jika seluruh dunia
berpikir aku berniat menjadikanmu sebagai duchess-ku,
semua pria yang menganggapmu tidak lebih dari sekadar teman baik akan mulai
memandangmu dengan kacamata baru.”
Daphne
mengerucutkan bibirnya. “Berarti begitu kau mencampakkanku, aku akan mempunyai
segerombolan pria yang berniat melamarku?”
“Oh,
aku akan mengizinkanmu sebagai pihak yang memutuskan ikatan kita,” ucap Simon
berbesar hati.
Simon
menyadari gadis itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih padanya. “Aku masih
berpikir aku mendapatkan keuntungan lebih banyak dibanding kau dalam rencana
ini,” ujar Daphne.
Simon
meremas pelan lengan Daphne. “Kalau begitu kau bersedia melakukannya?”
Daphne
menatap Mrs. Featherington, yang tampak seperti burung pemangsa, kemudian
kepada kakak lelakinya, yang tampak seolah baru saja menelan tulang ayam. Ia
sudah lusinan kali melihat ekspresi seperti itu –namun di wajah ibunya dan
calon pengagum potensial yang tak berdaya. “Ya,” jawabnya, suaranya tegas. “Ya,
aku akan melakukannya.”
***
“Menurutmu
apa yang membuat mereka lama sekali?”
Violet
Bridgerton menarik lengan baju putra sulungnya, tidak sanggup mengalihkan
pandangan dari putrinya –yang tampaknya benar-benar mendapat perhatian penuh
dari Duke of Hastings –baru seminggu di London dan sudah menjadi pria incaran
tahun ini.
“Entahlah,”
jawab Anthony, menatap lega punggung keluarga Featherington manakala mereka
pindah ke korban berikutnya, “tapi rasanya seolah sudah berjam-jam.”
“Apa
menurutmu dia menyukainya?” tanya Violet penuh gairah. “Apa menurutmu Daphne
kita punya kesempatan menjadi duchess?”
Sorot
mata Anthony penuh dengan campuran ketidaksabaran dan keheranan. “Ibu, kau
bilang pada Daphne dia bahkan tidak boleh terlihat bersama sang duke, dan
sekarang kau memikirkan soal pernikahan?”
“Aku
berbicara terlalu dini,” tukas Violet sambil melambaikan tangan dengan riang. “Jelas
dia pria dengan selera dan budi pekerti yang luar biasa. Dan, kalau aku boleh
bertanya, bagaimana kau bisa tahu apa yang kukatakan pada Daphne?”
“Daff
yang memberitahuku,” Anthony berbohong.
“Huh.
Yah, aku yakin Portia Featherington takkan melupakan malam ini dalam waktu
dekat.”
Mata
Anthony terbelalak. “Apa kau berniat menikahkan Daphne supaya dia bahagia
sebagai istri dan ibu, ataukah kau hanya berusaha mengalahkan Mrs.
Featherington dalam menikhkan putrinya?”
“Tentu
saja pilihan yang pertama,” jawab Violet gemas, “dan aku tersinggung kau bahkan
menyiratkan tujuan selain itu.” Tatapannya beralih sejenak dari Daphne dan sang
duke untuk mencari tahu posisi Portia Featherington beserta putri-putrinya. “Tapi
aku sudah pasti tidak keberatan melihat ekspresi di wajahnya ketika dia
menyadari Daphne-lah yang akand
menjadi pasangan nomor satu tahun ini.”
“Ibu,
kau benar-benar berkepala batu.”
“Tentu
saja tidak. Mungkin memalukan, tapi tidak pernah berkepala batu.”
Anthony
hanya menggeleng dan menggumamkan sesuatu dengan pelan.
“Bergumam
itu tidak sopan,” tegur Violet, hanya demi mengganggu putranya. Kemudian ia
melihat Daphne dan sang duke. “Ah, itu mereka datang, anthony, jaga tingkahmu.
Daphne! Your Grace!” Ia berhenti manakala pasangan itu berjalan ke sisinya. “Kuharap
kalian menikmati dansa barusan.”
“Sangat,”
gumam Simon. “Putrimu ternyata tidak Cuma cantik tapi juga anggun.” Anthony mendengus.
Simon
mengabaikan sahabatnya. “Kuharap kami bisa mendapatkan kesempatan untuk
berdansa kembali dalam waktu dekat.”
Wajah
Violet bersinar-sinar. “Oh, aku yakin Daphne akan sangat mengharapkannya.”
Ketika Daphne tidak menjawab dengan segera, ia menambahkan dengan tatapan yang
penuh arti. “Bukan begitu, Daphne?”
“Tentu
saja,” ucap Daphne patuh.
“Aku
yakin ibumu takkan pernah bersikap terlalu permisif hingga mengizinkanku
berdansa waltz untuk kedua kalinya
denganmu,” tutur Simon, terlihat layaknya duke
menawan dari ujung rambut hingga ujung kaki, “tapi aku berharap akan
mengizinkan kita berjalan mengelilingi ruangan dansa.”
“Kalian
baru saja berjalan mengelilingi ruangan dansa,” tukas Anthony.
Simon
mengabaikan sahabatnya lagi. Ia berkata kepada Violet, “Tentu saja kami akan
selalu berada dalam pandanganmu sepanjang waktu.”
Kipas
sutra lembayung di tangan Violet mulai bergerak dengan cepat. “Dengan senang
hati. Maksudku, Daphne pasti senang. Bukankah begitu, Daphne?”
Daphne
menampakkan mimik polos. “Oh, tentu saja aku senang.”
“Dan
aku,” bentak anthony, “sebaiknya meminum sesendok laudanum, karena jelas aku sudah gila. Brengsek, apa-apaan, ini?”
“Anthony!”
seru Violet. Ia bergegas berbalik menghadap Simon. “Jangan pedulikan dia.”
“Oh,
aku tidak pernah memedulikannya,” sahut Simon santai.
“Daphne,”
ujar anthony penuh arti, “aku akan dengan senang hati akan bertindak sebagai
pendampingmu.”
“Astaga,
Anthony,” sela Violet, “mereka kan tidak butuh pendamping jika tetap berada di
dalam ruang dansa.”
“Oh,
aku harus melakukannya.”
“Kalian
pergilah lebih dulu,” ucap Violet kepada Daphne dan Simon, melambaikan tangan
kepada mereka. “Anthony akan menyusul kalian sebentar lagi.”
Anthony
berusaha menyusul mereka saat itu juga, tapi Violet mencengkram erat
pergelangan tangan putranya. “Astaga, apa yang mau kaulakukan?” desisnya.
“Melindungi
adikku!”
“Dari
sang duke? Dia tidak mungkin sejahat
itu. Malah, dia mengingatkanku akan dirimu.”
Anthony
mengerang. “Maka dari itu Daphne benar-benar membutuhkan perlindunganku.”
Violet
menepuk-nepuk lengan putranya. “Jangan terlalu protektif. Jika dia berupaya
menggiring Daphne ke balkon, aku berjanji kau boleh bergegas menyelamatkan
adikmu menikmati saat-saat kejayaannya.”
Anthony
memelototi punggung tangan simon. “Besok aku akan membunuhnya.”
“Astaga,”
tutur Violet, menggelng. “aku tidak tahu kau bisa bersikap secemas itu. Orang
pikir, sebagai ibumu, aku mengetahui hal ini, terutama kau anak pertamaku, dan
oleh karena itu aku telah mengenalmu paling lama dibanding anak-anakku yang
lain, tapi...”
“Itu
Colin, bukan?” potong Anthony, suaranya tercekik.
Violet
berkedip kemudian menyipitkan matanya. “Oh, ya, kau benar. Menyenangkan sekali
bukan, dia bisa pulang lebih awal? Aku nyaris tidak memercayai mataku ketika
melihatnya sejam yang lalu. Bahkan aku–”
“Sebaiknya
aku pergi ke tempatnya,” ucap Anthony cepat-cepat. “Sepertinya dia kesepian.
Sampai jumpa Ibu.”
Violet
mengamati manakala anthony melarikan diri, bisa diasumsikan untuk kabur dari
celotehannya. “Anak bodoh,” gumamnya pelan. Tampaknya, tak seorang pun anaknya
yang memahami taktiknya. Tinggal berceloteh tentang berbagai hal, dan ia bisa
terbebas dari mereka semua dalam sekejap.
Ia
mendesah puas dan kembali mengamati putrinya, kini berada di seberang ruang
dansa, tangannya menggayut nyaman di lekuk sang duke. Mereka tampak seperti
pasangan yang sangat serasi.
Ya,
batin Violet, matanya mulai berkaca-kaca, putrinya akan menjadi duchess yang
luar biasa.
Kemudian
ia mengalihkan pandangannya sebentar kepada Anthony, yang kini berada tepat di
tempat yang diinginkannya –berhenti merecokinya. Ia mengizinkan dirinya tersenyum
kecil. Anak-anak itu mudah sekali diatur.
Kemudian
senyumnya berubah menjadi kerutan ketika ia menyadari Daphne berjalan kembali
ke arahnya –sambil menggandeng pria lain. Violet langsung mengedarkan pandangan
ke seluruh ruang dansa sampai ia menemukan sang duke.
Ya
ampun, kenapa pria itu berdansa dengan Penelope Featherington?
mwah, suka karakter daff
BalasHapus