Mungkin
Pippa mau memulai dengan berciuman, tapi Cross mau mengakhirinya dengan Pippa
telanjang dan telentang di mejanya, terbuka untuk tangan, mulut dan tubuhnya,
seperti musim panas di desa.
Dan
itu tidak masalah.
Cross
tidak dapat memberikan apa yang Pippa inginkan. Tidak tanpa mengambil semua apa
yang ia dambakan.
Brengsek. Pippa berada
terlalu dekat. Cross mundur selangkah, mensyukuri kakinya yang panjang dan tepi
meja kokoh di belakangnya yang memberikan perlindungan stabil dan mantap. “Menurutku,
Bourne tidak akan suka kalau aku mengajarimu...” Ia terdiam, mendapati dirinya
sulit mengucapkan kata yang dimaksud.
Pippa
tidak memiliki masalah yang sama. “Berciuman?”
Cross
rasa seharusnya ia senang Pippa tidak mengatakan hal lain. “Ya.”
Pippa
memiringkan kepala, dan Cross tidak dapat menahan diri untuk tidak mengarahkan
pandangan ke leher Pippa yang jenjang, kulit putih lembut yang ada di sana.
“Menurutku dia tidak akan keberatan,” tukas Pippa setelah beberapa saat.
“Bahkan menurutku dia akan sangat senang karena aku memintanya kepadamu.”
Cross
tertawa –kalau suara ha bernada tidak
percaya yang keras dan singkat bisa disebut tawa. “Menurutku kau salah besar.”
Bourne
akan membunuhnya dengan tangan kosong karena sudah menyentuh Pippa. Bukan berarti
itu tidak sepadan.
Itu sepadan.
Cross
mengetahuinya tanpa keraguan.
Pippa
menggelengkan kepala. “Tidak, menurutku aku benar,” katanya, lebih kepada diri
sendiri ketimbang kepada Cross, dan selama beberapa saat ia merenungkan masalah
itu.
Cross
belum pernah mengenal wanita yang berpikir sampai secermat itu. Ia bisa
memperhatikan Pippa berpikir selama berjam-jam. Selama berhari-hari. Gagasan
konyol itu mengejutkannya. Memperhatikan
Pippa berpikir? Ada apa dengan dirinya sebenarnya?
Cross
tidak sempat memikirkan jawabannya karena sesuatu berubah di mata Pippa, yang
setengah tersembunyi oleh lensa kacamatanya sewaktu ia menatap Cross lagi.
“Menurutku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bourne.”
Memang
tidak. Tapi Pippa tidak perlu tahu. “Bourne adalah salah satu dari sekian
banyak alasan yang membuatku enggan memberitahumu tentang masalah itu.”
Pippa
menunduk memandangi tangannya, yang terkepal erat di depannya, dan sewaktu ia
bicara ada sesuatu yang tidak Cross sukai dalam nada suaranya. “Aku mengerti.”
Pippa
menggelengkan kepala, dan Cross tidak dapat berbuat apa-apa selain
memperhatikan rambut kuningnya yang pucat, seperti rambut jagung, mengilat
terkena cahaya lilin.
Cross
tahu semestinya ia tidak bertanya. “Apa yang kau mengerti?”
Pippa
b icara kepada dirinya sendiri, dengan lembut tanpa mendongak. “Tidak pernah
terpikirkan olehku. Tentu saja, seharusnya pernah. Gairah adalah bagiannya.”
Gairah. Oh, ya. Itu bagian yang besar.
Kemudian
Pippa mendongak memandang Cross, dan Cross melihatnya. Sebagian kebimbangan,
sebagian kepasrahan, sebagian kesedihan.... Dan semua yang ia miliki, segenap
dirinya, berteriak ingin meraih Pippa.
Oh, Tuhan. Cross berusaha
memperlebar jarak di antara mereka, tapi mejanya yang besar –dari mana ia
mendapatkan ketenangan beberapa detik yang lalu –sekarang memerangkapnya di
sini, terlalu dekat dengan Pippa sementara mata biru Pippa yang besar berkilat,
kemudian gadis itu berkata, “Mr. Cross... apa menurutmu aku bisa meyakinkannya untuk menyentuhku?”
Cross
bisa menerima kata-kata itu kalau bukan karena intonasinya –karena sedikit
penekanan bernada panik pada kata meyakinkannya, maksudnya seseorang selain
dirinya. Maksudnya Castleton.
Yang
perlu Cross lakukan hanyalah mengulurkan tangan dan meraih Pippa. Tidak akan
ada yang tahu. Sekali saja. Secicip saja, dan ia akan mengirim Pippa kepada
sang suami. Kepada pernikahan.
Kepada
kehidupan gadis itu.
Tidak.
Pippa
tidak boleh dijamah. Seperti semua wanita yang ia kenal selama enam tahun
terakhir. Lebih tidak boleh dijamah.
Jauh
lebih baik.
Tenggorokan
Cross tercekat selagi ia mencari kata-kata, membenci fakta bahwa Pippa bisa
membuatnya kehilangan kata-kata.
Kata-kata
tak kunjung terucap, maka Cross memilih, “Pippa...”
Pippa
kembali memandangi tangannya, merentangkannya lebar-lebar, tidak tahu bagaimana
jemarinya yang miring menggoda Cross. “Maafkan itu. Itu sangat... itu... yang
barusan itu...” Ia menghela napas, bahunya terkulai, karena beban yang nyaris
tak tertahankan. Akhirnya ia mendongak dan berkata, “Semestinya aku tidak
mengatakannya.”
Jangan bertanya. Kau tidak mau tahu.
Tapi
Cross mau tahu. Mau sekali.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
tidak mau mengatakannya kepadamu.”
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat. Bahkan sekarang, saat ia pasti ingin
melakukannya, Pippa tidak mau berbohong. “Namun aku tahu.”
Pippa
bicara ke tangannya. “Hanya saja... sejak kita bertemu, aku sangat... yah,
terpesona, oleh...”
Dirimu.
Katakan. Cross
memerintahkan, tidak terlalu yakin apa yang akan ia lakukan jika Pippa melakukannya,
tapi bersedia menguji dirinya.
Pippa
menarik napas lagi. “Oleh tulang-tulangmu.”
Apa
Pippa bisa mengatakan sesuatu yang sudah terduga? “Tulang-tulangku?”
Pippa
mengangguk. “Iya. Yah, ototmu juga. Lengan atasmu. Pahamu. Dan tadi... selagi
aku memperhatikanmu minum wiski... tanganmu.”
Cross
sudah sering dirayu di sepanjang hidupnya. Ia sudah biasa menolak permintaan
wanita. Tapi ia belum pernah menerima pujian untuk tulang-tulangnya.
Itu
pengakuan paling aneh dan paling seksi yang pernah ia dengar.
Dan
ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
Akan
tetapi Cross tidak perlu menanggapi, karena Pippa sudah melanjutkan, “Rasanya
aku tidak bisa berhenti memikirkannya.” Suara Pippa rendah dan sarat akan
kesengsaraan mendalam. “Rasanya aku tidak bisa membayangkan diriku
menyentuhnya. Membayangkan tulang-tulang itu... menyentuhku.”
Semoga
Tuhan menolong mereka berdua, karena Cross tidak mampu melakukannya.
Cross
tahu semestinya ia tidak bertanya. Ia tidak
boleh bertanya.
Tapi
tidak ada satu hal pun yang bisa menghentikannya. “Menyentuhmu di mana?”
Kepala
Pippa langsung diangkat. Cross sudah mengejutkannya. “Apa?”
“Itu
pertanyaan yang sederhana, Pippa,” ujar Cross, bersandar ke meja, terkesan oleh
kemampuannya untuk berpura-pura tenang padahal jantungnya berdebar kencang dan
jemarinya gatal ingin menyentuh Pippa. “Di bagian mana kau membayangkan tubuhmu
bersentuhan dengan tulang-tulangku?”
Mulut
Pippa menganga, bibir manisnya tampak lembut saking kagetnya, dan Cross pun
bersedekap. Pandangan Pippa tertuju ke gerakan itu, tangan Cross yang memegangi
bisepnya, satu-satunya hal yang mencegah Cross meraih Pippa dan mencium gadis
itu sampai mereka berdua terengah-engah.
“Tanganmu,”
bisik Pippa.
“Ada
apa dengan tanganku?”
“Aku
penasaran akan seperti apa rasanya kalau tanganmu...” Pippa menelan ludah, dan
gerakan itu mengalihkan perhatian Cross ke lehernya, di mana nadinya pasti
berdenyut kencang. Cross melewatkan kata-kata berikutnya yang terucap dari
bibir Pippa –dan mungkin itu yang terbaik bagi mereka berdua. “Di kulitku.”
Kulit. Kata tersebut membangkitkan
khayalan tentang kulit pucat yang cantik, lekuk-lekuk yang panas dan
tonjolan-tonjolan yang lembut, bentangan-bentangan luas yang bebas
dieksplorasi. Pippa pasti seperti dosa dan sutra, dan di semua tempat yang
Cross sentuh, Pippa pasti menanggapinya. Cross membayangkan suara-suara yang
akan Pippa keluarkan, bagaimana Pippa terengah saat ia mengelus, bagaimana
Pippa mendesah ketika ia membelai, bagaimana Pippa tertawa kalau tanpa
disengaja ia menemukan titik yang membuat gadis itu geli.
Perhatian
Pippa dialihkan ke tangan kiri Cross, yang menopang lengannya, dan Cross tahu
persis bahwa kalau ia menggerakkan tangannya, kalau ia meraih Pippa, gadis itu
akan membiarkannya melakukan apa pun yang ia inginkan. Semua yang ia inginkan.
Cross
tidak menggerakkan tangannya.
“Di
mana persisnya, Pippa?”
Pippa
tidak boleh memberitahukan hal itu kepadanya, pikir Cross. Seharusnya Pippa
keluar dari ruangan ini dengan secepat mungkin... gadis itu pasti lebih aman jika
berada di arena kasino ketimbang di sini, bersama dirinya. Tapi ia tidak mau
memberitahukannya kepada Pippa.
“Tanganku,”
Pippa memulai, tangan yang dimaksud direntangkan. “Pi... pipiku... leherku...”
Selagi
bicara, Pippa menelusuri bagian-bagian tubuh yang ia sebutkan –asing baginya,
Cross yakin itu –dan gairah Cross bertambah dalam seiring dengan setiap kata
yang disebutkan, seiring dengan sentuhan yang lembut. Jemari Pippa menuruni
lehernya, melintasi kulit lembut dan pucat di dadanya, ke pinggir korsetnya, di
mana tangan itu berhenti, membeku di atas kain hijau.
Cross
ingin mengulurkan tangan dan mengoyakkan kain itu, menelusuri jejak ujung
jemari yang tidak sempurna secara menarik itu. Cross ingin memperhatikan Pippa
menyentuh setiap jengkal dari tubuh gadis itu sendiri, berpura-pura tangan
Pippa adalah tangannya.
Persetan
dengan itu. Cross ingin Pippa menggunakan tangannya.
Ia
ingin menjadi orang yang menyentuh.
Tidak.
“apa
lagi?” kata Cross, menggerakkan tangannya, menyadarkan Pippa dari lamunan.
Pippa
menatap mata Cross, matanya membelalak, pipinya merona. “Aku...” Ia terdiam.
Menarik napas. “Aku juga mau menyentuhmu.”
Dan
di sana, di dalam pengakuan yang sederhana yang blak-blakan itu, Cross
menemukan untaian pengendalian dirinya yang terakhir dan rapuh. Ia berada
terlalu dekat dengan Pippa. Ia harus bergerak. Harus menciptakan jarak di
antara mereka. Alih-alih, ia bertanya, “Di mana?”
Cross
tahu ia meminta terlalu banyak dari Pippa –gadis lugu yang mengenal tubuh
manusia tapi tidak memiliki wawasan apa pun tentangnya. Tapi ia tidak kuasa
menghentikan dirinya. Ia tidak bisa memiliki Pippa. Tapi ia bisa memiliki ini.
Bahkan
kalau ia akan terbakar di neraka karenanya.
Neraka tidak ada apa-apanya kalau
dibandingkan dengan penyiksaan yang ia hadapi sekarang. Di sini.
“Kau
mau menyentuhku di mana, Pippa?” tanya Cross setelah keheningan setelah
beberapa saat.
Pippa
menggelengkan kepala, tangannya direntangkan lebar-lebar, dan selama sesaat,
Cross mengira gadis itu akan menyerah. Pulang. Kekecewaan bangkit, panas dan
membuatnya frustrasi.
Kemudian
Pippa berkata, dengan sederhana. “Di mana-mana.”
Kata
itu merampas kekuatan, napas dan pengendalian diri Cross, membuatnya hancur dan
tidak dapat berbuat apa-apa. Dan menginginkan Pippa.
Ingin
menunjukkan kenikmatan kepada Pippa. Dengan suatu cara. Dengan cara apa saja.
“Kemarilah.”
Cross
mendengar nada kasar pada suaranya, nada mendesak, dan terkejut karena Pippa
segera mematuhi perintahnya, beranjak untuk berdiri hanya beberapa sentimeter
darinya. Gaun Pippa terdiri dari sejumlah lapisan, yang paling luar dirapatkan
oleh sabuk hijau tebal. Cross menunjuk. “Buka.”
Seolah
itu hal yang paling wajar di dunia, pinggiran gaun Pippa terbuka dan
memperlihatkan kain hijau yang lebih halus lagi di baliknya. “Tanggalkan.”
Pippa
melepaskan lapisan yang paling luar itu, membiarkan kain itu teronggok di
kakinya, napasnya bertambah cepat. Napas Cross juga. “Semuanya.”
Pippa
memunggungi Cross. Ia menolak. Kuat
sementara Cross lemah. Rasa frustrasi tersulut, dan Cross mengulurkan tangan,
berhenti tepat sebelum ia menyentuh Pippa, mengoyakkan kain dari tubuh Pippa
dan menggantikannya dengan tubuhnya sendiri.
Tentu
saja Pippa menolak. Pippa seorang lady.
Dan Cross tahu seharusnya ia tidak berada di dekat Pippa. Ia penjahat yang
paling biadab, dan semestinya ia dicambuk untuk apa yang sudah ia lakukan.
Untuk apa yang ia inginkan.
Gaun
wol hijau Pippa yang tebal tergeletak di lantai di dekat kaki Cross, dan ia
berjongkok untuk mengambilnya, jemarinya menyapu kain halus itu saking putus
asanya ia, seolah itu kulit Pippa. Seolah itu sudah cukup.
Cross
mengutuki dirinya sendiri, berjanji kepada Tuhan dan dirinya sendiri bahwa ia
akan mengenakan gaun ini kembali ke tubuh Pippa dan memulangkan wanita itu,
tapi nasi sudah menjadi bubur.
Selapis
linen menyusul kain wol yang tebal, kain lembut itu menyapu buku-buku jemari
Cross, masih hangat karena tubuh Pippa. Membara.
Napas Cross tertahan karena sensasi tersebut dan membeku, tahu dengan pemahaman
mendalam milik seorang yang sudah pernah jatuh kalau momen ini akan menjadi
kehancurannya.
Tahu
ia tidak boleh mendongak.
Tahu
ia tidak mampu menghentikan dirinya sendiri.
Pippa
hanya mengenakan korset, celana dalam, dan stoking, bersedekap, pipinya merah
padam –warna merahnya menjadi janji yang tidak dapat ditolak.
Cross
pun berlutut.
***
Pippa
tidak bisa memercayai apa yang sudah ia lakukan.
Bahkan
sekarang, selagi ia berdiri di ruangan megah dan cabul ini, udara dingin
berembus ke kulitnya yang kelewat hangat, ia tidak bisa percaya ia sudah
menanggalkan pakaiannya, hanya karena Cross memerintahkannya dengan nada pelan
dan rendah yang mengirim getaran-getaran asing dan ringan ke perutnya.
Ia
harus meneliti getaran-getaran itu.
Nanti.
Sekarang,
ia lebih tertarik kepada pria di depannya, kepada lutut Cross, tangan yang
terkepal di paha Cross yang panjang dan indah, mata yang menjelajahi tubuhnya.
“Kau
menanggalkan pakaianmu,” kata Cross.
“Kau
memintaku melakukannya,” sahut Pippa, menaikkan kacamata di hidungnya.
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat mengulas sanyum tanggung, dan ia mengusapkan
punggung salah satu tangannya di bibir, dengan perlahan dan santai, seolah ia
ingin melahap Pippa. “Benar.”
Getaran-getaran
itu bertambah kuat.
Cross
memandangi lutut Pippa, dan tiba-tiba Pippa menyadari sepenuhnya kondisi
tokingnya, wol krem polos yang dipilih demi kehangatan ketimbang... yah...
ketimbang ini. Pasti stokingnya jelek kalau dibandingkan dengan stoking sutra
yang biasa Cross jumpai pada wanita-wanita lain. Miss Tasser mungkin punya
stoking dalam berbagai macam warna, semuanya berenda dan cantik.
Pippa
selalu praktis dengan pakaian dalamnya.
Ia
merapatkan lututnya lalu mempererat lipatan lengannya di dada, bimbang,
berharap Cross akan mengulurkan tangan kepadanya. Saat pria itu tidak
melakukannya, ia bertanya-tanya apakah entah bagaimana ia sudah mengecewakan
Cross –ia memang tidak secantik wanita-wanita yang pasti sudah biasa Cross
temui, tapi ia tidak pernah menganggap dirinya jelek.
Mengapa Cross tidak mau menyentuhnya?
Pippa
menarik kembali pertanyaan itu, membenci bagaimana pertanyaan tersebut
meliputinya, membuatnya dingin dan panas pada saat yang bersamaan, lalu
berkata, “Apa lagi?”
Kata-kata
itu terdengar lebih tajam daripada yang Pippa inginkan, tapi berhasil mencapai
tujuan, langsung mengalihkan perhatian Cross ke wajahnya. Cross memandanginya
selama beberapa saat, dan perhatian Pippa teralihkan oleh mata pria itu
–warnanya lebih seperti timah ketimbang kelabu, dengan bintik-bintik hitam
kecil, dinaungi oleh bulu mata coklat kemerahan yang panjang.
Selagi
Pippa memperhatikan, pandangan Cross dialihkan ke kursi besar yang terdapat
beberapa puluh sentimeter di sebelah kana Pippa, kemudian kembali kepadanya,
dengan perlahan dan santai. “Duduklah.”
Bukan
itu yang Pippa sangka. “Terima kasih, aku lebih suka berdiri.”
“Kau
mau belajar atau tidak, Pippa?”
Jantung
Pippa berdegup kencang sewaktu ia mendengar kata-kata itu. “Mau.”
Senyum
tanggung itu kembali muncul, dan Cross mendongakkan kepala ke arah kursi.
“Kalau begitu duduklah.”
Pippa
beranjak. Duduk sesopan mungkin, dengan punggung tegak, tangan terkepal erat di
pangkuannya, kaki dirapatkan, seolah ia tidak sedang berduaan di sebuah kasino
dengan salah seorang pria flamboyan yang paling terkenal di London, hanya
memakai korset dan celana dalam. Dan kacamata.
Pippa
memejamkan mata karena pemikiran itu. Kacamata.
Tidak ada yang menggoda dari kacamata. Ia mengangkat tangan untuk
melepaskannya.
“Jangan.”
Pippa
membeku, tangannya sudah hampir sampai di wajahnya. “Tapi...”
“Biarkan
saja.”
“Kacamataku
tidak...” mulainya. Kacamataku tidak
menggoda.
“Kacamatamu
sempurna.” Cross tidak menghampiri Pippa, malah bersandar ke meja eboni yang
besar, meluruskan salah satu kakinya ke depan lalu mengangkat lutut kaki yang
satu lagi, menopangkan lengan ke atasnya sembari memperhatikan Pippa dengan
mata yang sayu. “Bersandarlah.”
“Aku
sudah cukup nyaman,” cetus Pippa dengan cepat.
Salah
satu alis coklat kemerahan itu diangkat. “Pokoknya bersandar saja.”
Pippa
mundur di atas kursi sampai ia merasakan punggung kulit yang lembut di
kulitnya. Cross tidak berhenti memperhatikannya, mata pria itu disipitkan,
mencermati setiap bagian dari dirinya, setiap gerakan.
“Rileks,”
ujar Cross.
Pippa
menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya, berusaha mengikuti
instruksi-instruksi Cross. “Ini tidak mudah.”
Senyum
itu lagi. “Aku tahu.” Terjadi keheningan selama beberapa saat, lalu Cross
berkata, “Kau cantik sekali.”
Wajah
Pippa merona. “Aku tidak cantik.” Cross tidak menimpali. Pippa memecah
kesunyian. “Pakaian dalam ini sudah sangat kuno. Semua ini tidak ditujukan
untuk...” Ia terdiam sewaktu pandangan Cross dialihkan ke pinggiran korsetnya,
yang tiba-tiba terasa semakin ketat. “Dilihat.”
“Aku
tidak sedang bicara tentang pakaian,” ujar Cross, rendah dan berat. “Aku bicara
tentang dirimu. Kulit yang ingin kau sentuh itu.”
Pippa
memejamkan mata waktu mendengar kata-kata itu, rasa malu dan sesuatu yang jauh
lebih berbahaya melandanya.
Cross
tidak berhenti berbicara. “Aku bicara tentang lenganmu yang panjang dan indah,
juga kakimu yang berbentuk sempurna... rasanya aku sangat cemburu kepada
stoking yang mengetahui seperti apa kulitmu itu, kehangatanmu.” Pippa bergeser,
tidak bisa diam di bawah serangan kata-kata Cross. “Aku bicara tentang korset
yang memeluk tubuhmu yang indah dan lembut... apa rasanya tidak nyaman?”
Pippa
ragu. “Biasanya tidak.”
“Dan
sekarang?” Pippa mendengar pemahaman dalam pertanyaan itu.
Pippa
mengangguk sekali. “Rasanya agak... sesak.”
Cross
berseru, dan Pippa membuka matanya, langsung menatap mata Cross, panas dan
tertuju kepadanya. “Pippa yang malang. Katakan, dengan wawasanmu tentang tubuh
manusia, menurutmu mengapa begitu?”
Pippa
menelan ludah, berusaha menarik napas dalam-dalam. Gagal. “Itu karena jantungku
mengancam akan melompat keluar dari dadaku.”
Senyum
itu lagi. “Apa kau membuat dirimu kelelahan?”
Pippa
menggelengkan kepala. “Tidak.”
“Lantas,
apa?”
Pippa
bukan orang bodoh. Cross mendesaknya. Berusaha melihat seberapa jauh ia bisa
melangkah. Ia mengatakan yang sebenarnya. “Menurutku ini karenamu.”
Kemudian
Cross memejamkan matanya, tangannya dikepalkan lagi, lalu ia menyandarkan
kepalanya ke samping meja, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan rahangnya
yang dikertakkan kuat-kuat. Mulut Pippa terasa kering karena gerakan itu,
karena bagaimana urat-urat yang ada di sana menonjol dan beriak, dan ia sangat
ingin menyentuh Cross.
Sewaktu
Cross kembali mengalihkan pandangannya ke mata Pippa ada sesuatu yang liar di
kedalaman timah itu... sesuatu yang langsung membuat Pippa kewalahan dan takut.
“Seharusnya tidak secepat itu kau mengatakan yang sebenarnya,” ujar Cross.
“Mengapa?”
“Itu
memberiku kendali yang terlalu besar.”
“Aku
percaya padamu.”
“Seharusnya
tidak.” Cross mencondongkan badan ke depan, menopangkan lengannya di lutut yang
diangkat. “Kau tidak aman bersamaku.”
Tidak
pernah sekali pun Pippa merasa tidak aman bersama Cross. “Menurutku itu tidak
benar.”
Cross
tertawa, rendah dan berat, dan suaranya beriak di tubuh Pippa, bagai gelombang
kenikmatan dan godaan. “Kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan padamu,
Philippha Marbury. Bagaimana aku bisa menyentuhmu. Keajaiban yang bisa aku
tunjukkan padamu. Aku bisa menghancurkanmu tanpa segan-segan. Membawamu
tenggelam di kedalaman dosa dan tidak menyesalinya sama sekali. Aku bisa
membawamu langsung ke dalam godaan yang tidak pernah menengok ke belakang
lagi.”
Kata-kata
tersebut membuat Pippa tidak bisa bernapas. Ia menginginkannya. Semuanya. Ia
membuka mulut untuk mengatakan kepada Cross, tapi tidak ada suara yang keluar.
“Kau
lihat? Aku sudah membuatmu terguncang.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Aku yang membuat diriku terguncang. Sorot mata Cross
berubah menjadi penasaran, lalu Pippa menambahkan, “Karena aku mendapati bahwa
aku ingin mengalami semua itu.”
Terjadi
kesenyapan selama beberapa saat, selagi Pippa memerintahkan Cross untuk
bergerak, untuk menghampirinya. Untuk menyentuhnya. Untuk menunjukkan
kepadanya.
“Tunjukkan
kepadaku,” ucap Cross, kata-katanya seolah berasal dari pemikiran Pippa.
Terkejut,
Pippa berkata, “A... apa?”
“Tadi
kau bilang kau ingin aku menyentuhmu. Tunjukkan kepadaku di mana.”
Pippa
tidak bisa melakukannya. Tapi tangannya sudah bergerak, sudah menelusuri tulang
korsetnya hingga ke tempat di mana sutra bertemu dengan kulit. Ujung tulang ke
korsetnya lebih rendah daripada garis gaun yang tadi ia kenakan, beberapa
sentimeter dari...
“Payudaramu?”
Wajah
Pippa merona karena kata itu. “Ya.”
“Katakan
seperti apa rasanya.”
Pippa
memejamkan mata, memusatkan perhatian kepada pertanyaan itu. Kepada jawabannya.
“Penuh. Kencang.”
“Apa
rasanya nyeri?”
Sangat. “Ya.”
“Sentuhlah.”
Mata Pippa terbuka, langsung bertatapan dengan mata Cross. “Tunjukkan kepadaku
bagaimana kai ingin aku menyentuhmu.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Tidak bisa.”
“Bisa.”
“Tapi
mengapa bukan kau saja? Tanganmu ada di sini... kau ada di sini.”
Mata
Cross menggelap, dan sebuah otot berdenyut di rahangnya. “Seperti ini saja,
Pippa. Aku tidak akan menyentuhmu. Aku tidak akan menghancurkanmu.”
Pria
keras kepala, batin Pippa. Ia merasa nyeri dan frustrasi. Apa Cross tidak bisa
melihatnya? “Aku sudah hancur, entah kau menyentuhku atau tidak.”
“Tidak.
Kalau aku tidak menyentuhmu , kau aman.”
“Bagaimana
kalau aku tidak mau aman?”
“Sayangnya
kau tidak punya pilihan.” Cross mengangkat salah satu tangannya yang besar,
seolah tangan itu terasa sakit. “Apa perlu kuberitahu apa yang akan kulakukan
kalau aku bisa menyentuhmu?”
Kata-kata
tersebut diucapkan dengan lembut dan cabul, dan merupakan godaan yang sangat
tidak dapat ditolak. “Ya, please.”
“Aku
akan mengangkat keduanya dari penjara itu, dan aku akan memuja keduanya dengan
cara yang pantas.”
Oh, astaga. Tangan Pippa
membeku, menjadi tidak berguna karena suara Cross yang indah dan jernih.
“Kemudian,
setelah keduanya melupakan seperti apa rasanya dikungkung oleh sutra dan tulang
korset, aku akan mengajarimu tentang ciuman, seperti yang kau minta.” Bibir
Pippa membuka, dan ia membalas tatapan Cross, yang sarat akan janji cabul. “Tapi
bukan di mulutmu... di situ. Di kulit pucat dan lembut yang ada di sana... di
tempat-tempat yang belum pernah melihat cahaya, yang belum pernah merasakan
sentuhan pria. Kau akan belajar tentang lidah, Ilmuwan mungilku... di puncak
manis yang mendamba itu.”
Gambaran
yang Cross lukiskan jelas dan mengguncang, dan Pippa langsung terpaku karena
membayangkan lidah Cross di tubuhnya –terlalu terpaku untuk merasa malu,
tangannya mengikuti kata-kata Cross, menggoda, menyentuh, dan selama sesaat ia
hampir percaya kalau Cross-lah yang menyentuhnya. Membuatnya mendamba. Ia
mendesah, dan Cross bergeser, menegakkan badan, tapi tidak mendekat,
terkutuklah pria itu.
“Apa
kau mau aku memberitahumu di mana lagi aku akan menyentuhmu?”
“Ya, please.” Kata-kata itu diucapkan sebagai
bisikan.
“Sopan
sekali.” Cross mencondongkan badan ke depan. “Tidak ada ruang untuk kesopanan
di sini, Kekasih cantikku yang berkacamata. Di sini, kau meminta dan aku
memberi. Kau menawarkan dan aku menerima. Tidak ada please. Tidak ada terima kasih.”
Pippa
menunggu Cross melanjutkan, setiap jengkal dari tubuhnya bersenandung penuh
semangat, penuh antisipasi.
“Kaitkan
sebelah kakimu di lengan kursi itu.” Mata Pippa membelalak karena perintah
tersebut. Di sepanjang hidupnya ia belum pernah duduk seperti itu. Ia ragu.
Cross terus mendesak. “Kau yang minta.”
Benar.
Pippa pun bergerak, membuka diri untuk Cross, pahanya direntangkan, udara
ruangan yang sejuk berembus ke celah celana dalamnya. Pipinya terasa panas dan
ia memindahkan tangannya untuk menghalangi pandangan Cross.
Cross
memperhatikan tangan itu, dan ia membenarkan dengan pelan. “Tanganku juga akan
berada di sana. Apa kau bisa merasakan alasannya? Apa kau bisa merasakan hawa
panasnya? Godaannya?”
Mata
Pippa terpejam sekarang. Ia tidak bisa memandang Cross. Tapi ia mengangguk.
“Tentu
saja bisa... aku sendiri hampir bisa merasakannya.” Kata-kata itu menghipnotis,
dangat menggoda, lembut, lirih, dan indah. “Dan coba katakan, Ahli anatomi
mungilku... apa kau pernah mengeksplorasi lokasi itu sebelumnya?”
Pipi
Pippa terasa panas.
“Jangan
mulai berbohong sekarang, Pippa. Kita sudah sejauh ini.”
“Ya.”
“Ya,
apa?”
“Ya,
aku pernah mengeksplorasinya sebelumnya.” Pengakuan itu sangat pelan, tapi
Cross mendengarnya. Ketika Cross mengerang, Pippa membuka mata dan mendapati
pria itu sudah bersandar ke mejanya lagi. “Apa aku mengucapkan hal yang salah?”
Cross
menggelengkan kepala, tangannya diangkat ke mulut lagi, mengusap bibirnya yang
kencang. “Kau hanya membuatku terbakar rasa iri.”
Dahi
Pippa dikerutkan. “Kepada siapa?”
“Kepadamu,
Cantik.” Mata kelabu Cross diarahkan ke tempat yang Pippa sembunyikan darinya. “Kepada
tanganmu yang sempurna. Katakan apa yang kau temukan.”
Pippa
tidak bisa. Walaupun ia mengetahui kata-kata klinis untuk semua yang sudah ia
sentuh dan temukan, ia tidak bisa mengucapkannya kepada Cross. Ia menggelengkan
kepala. “Tidak bisa.”
“Apa
kau menemukan kenikmatan?”
Pippa
memejamkan mata, mengatupkan bibirnya.
“Apa
iya?” bisik Cross, suaranya terdengar sekeras suara tembakan di ruangan gelap
nan cabul ini.
Pippa
menggelengkan kepala. Lagi-lagi, sangat samar hingga nyaris tak terlihat.
Cross
menghela napas, suaranya panjang dan cabul di ruangan itu, seolah sedari tadi
ia menahan napas... dan ia bergerak. “Tragedi besar.”
Mata
Pippa langsung terbuka begitu ia mendengar suara Cross –suara celana panjang
yang menyapu karpet selagi pria itu menghampirinya, dengan mata yang disipitkan
dan sarat akan janji mesum serta penuh kenikmatan.
Cross
menghampiri Pippa. Bak predator yang mengintai mangsanya.
Dan
Pippa sudah tidak sabar untuk ditangkap.
Pippa
menghela napas, napasnya terdengar seperti desahan pelan dan bergetar yang bisa
menjadi erangan bila ia tidak berhati-hati, dan ia memindahkan tangannya,
membuka diri untuk sentuhan dan mata Cross.
Tapi,
Cross tidak menyentuhnya.
“Boleh
kutunjukkan cara menemukannya, Cantik?” tanya Cross, dan Pippa berani bersumpah
ia merasakan napas Cross ditangannya, panas dan menggoda. “Di mana kau bisa
menemukannya?”
Pippa
tidak pernah akan tahu darimana keberaniannya berasal –bagaimana ia bisa
mengatasi rasa malu dan segan yang seharusnya ada. “Please,” pintanya, dan Cross pun melakukannya, dengan kata-kata
yang lembut dan meluluhlantakkan.
Pippa
melakukan apa yang Cross sampaikan kepadanya, membuka lipatan kain, kemudian
lipatan lain yang lebih pribadi, mematuhi instruksi-instruksi yang Cross bisikan,
menjawab pertanyaan-pertanyaan mesum Cross.
“Sangat
manis dan merah muda... apa rasanya nikmat, Darling?”
Pippa
merintihkan jawabannya.
“Tentu
saja nikmat. Aku bisa mencium kenikmatan di tubuhmu... manis, lembut, dan amat
sangat basah. “ Kata-kata itu menghadirkan sensasi, kenikmatan dahsyat yang
belum pernah Pippa rasakan sebelumnya, bahkan pada malam-malam gelap sewaktu ia
mengeksplorasi tubuhnya sendiri secara diam-diam.
“Oh,
Pippa...” bisik Cross, memalingkan kepalanya, bernapas ke lekuk lutut Pippa,
tapi tidak menyentuh –tidak pernah menyentuh. Kalau aku yang ada di sana...
kalau jemariku menjadi jemarimu, aku akan membukamu lebar-lebar dan menunjukkan
kepadamu betapa jauh lebih nikmatnya jika pengalaman itu dibagikan. Aku akan
menggunakan mulutku untuk memberi palajaran kedua tentang ciuman... aku akan
mengajarimu semua yang kuketahui tentang tindakan itu.”
Mata
Pippa membelalak karena pengakuan blak-blakan itu, karena ia bisa
membayangkannya. Ia bisa membayangkan Cross, berlutut di depannya, menepiskan
tangannya dari tubuhnya lalu menggantikannya dengan mulut pria itu yang indah
dan kencang, mengelus, menyentuh... mencumbu.
Pippa tidak mengetahui nama dari tindakan tersebut –ia bahkan belum pernah
membayangkan sebelum ini –tapi ia tahu, tanpa keraguan, kalau itu pasti
menakjubkan.
“Aku
akan melahapmu... ya... tepat di sana, Cantik.” Cross terus mendorong Pippa,
menghadiahi gerakan-gerakan pelan yang berani dari jemari Pippa dengan geraman
kenikmatan, tahu, bahkan sebelum Pippa tahu, bahwa gadis itu sudah berada di
ambang jurang dari sesuatu yang luar biasa. “Apa kau mau mulutku ke sana,
Manis?”
Apa itu bisa dilakukan? Ya. Pippa jelas
menginginkannya.
“Aku
akan melakukannya dampai berjam-jam...” janji Cross. “Lidahku akan menunjukkan
kenikmatan yang belum pernah kau kenal. Berkali-kali. Lagi dan lagi sampai kau
lemas karenanya. Sampai kau tidak tahan lagi, dan kau memohonku untuk berhenti.
Apa kau mau, Darling?”
Tubuh
Pippa menjawab Cross, menggelinjang di kursi dan tangannya, memberikan dirinya
semua yang Cross janjikan... tapi entah bagaimana tidak satu pun. Pippa
meneriakkan nama Cross, menggapai, ingin merasakan Cross, merasakan kekuatan
dan otot Cross.
Saat
itu, Pippa menjadi milik Cross, terbuka dan rentan, diguncang kenikmatan dan
entah bagaimana, masih mendamba karena gairah.
Gairah
yang hanya dapat dipuaskan oleh Cross.
Pippa
membisikkan nama Cross, tidak mampu menghapus nada takjub dari suaranya, dan
jemarinya menyentuh rambut Cross, bak sutra merah yang mengilat.
Cross
bergerak secepat kilat karena sentuhan itu, bangkit berdiri dengan keanggunan
yang bertolak belakang dengan tingginya yang seratus sembilan puluh lima
sentimeter. Ia menyeberangi kantornya, berbalik menghadapkan Pippa dengan
punggung rampingnya yang indah, salah satu lengannya yang panjang diulurkan
untuk menopang berat badannya di selusin buku besar yang ditumpuk di sudut
ruangan.
Kehilangan
Cross terasa seperti pukulan, melucuti kenikmatan sesaat dari Pippa. Membuatnya
mendamba. Hampa. Tidak puas.
Kepala
Cross ditundukkan, cahaya lilin menyoroti rambut coklat kemerahan yang ingin
Pippa sentuh. Pippa tidak bergerak saat bahu Cross naik turun sekali, dua kali,
tiga kali –napas Cross tidak beraturan seperti napasnya.
“Riset
malam ini sudah cukup,” ujar Cross kepada buku-buku yang tertumpuk di depannya,
kata-katanya terdengar lebih tegas, lebih keras daripada semua yang ia katakan
malam itu. “Aku sudah berjanji akan mengajarimu tentang godaan, dan aku yakin
aku sudah menunaikan tugas itu. Kenakan pakaianmu. Aku akan meminta seseorang
mengantarmu pulang.”
***
“Kemajuan telah tercapai. Rupanya ada
sejumlah cara yang bisa digunakan untuk... memperlakukan anatomi wanita. Mitra
mengungkapkan lebih dari satu cara semalam –dengan hasil fisik yang luar biasa.
Sayangnya, Menariknya, hasilnya juga memiliki dampak emosional yang
besar. Dampak pribadi.
Tapi ia tetap tidak menyentuhku. Itu juga
memiliki dampak pribadi.
Tidak ada ruang untuk dampak pribadi
dalam riset ini.
Jurnal
Ilmiah Lady Phillipa Marbury
29
Maret 1831; tujuh hari sebelum pernikahannya.
Keseluruhan isi buku ini 19 bab
--------Debda--------
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar