Rabu, 29 Januari 2020

One God Earl Deserves a Lover #sampaisiniaja


Mungkin Pippa mau memulai dengan berciuman, tapi Cross mau mengakhirinya dengan Pippa telanjang dan telentang di mejanya, terbuka untuk tangan, mulut dan tubuhnya, seperti musim panas di desa.

Dan itu tidak masalah.

Cross tidak dapat memberikan apa yang Pippa inginkan. Tidak tanpa mengambil semua apa yang ia dambakan.

Brengsek. Pippa berada terlalu dekat. Cross mundur selangkah, mensyukuri kakinya yang panjang dan tepi meja kokoh di belakangnya yang memberikan perlindungan stabil dan mantap. “Menurutku, Bourne tidak akan suka kalau aku mengajarimu...” Ia terdiam, mendapati dirinya sulit mengucapkan kata yang dimaksud.

Pippa tidak memiliki masalah yang sama. “Berciuman?”

Cross rasa seharusnya ia senang Pippa tidak mengatakan hal lain. “Ya.”

Pippa memiringkan kepala, dan Cross tidak dapat menahan diri untuk tidak mengarahkan pandangan ke leher Pippa yang jenjang, kulit putih lembut yang ada di sana. “Menurutku dia tidak akan keberatan,” tukas Pippa setelah beberapa saat. “Bahkan menurutku dia akan sangat senang karena aku memintanya kepadamu.”

Cross tertawa –kalau suara ha bernada tidak percaya yang keras dan singkat bisa disebut tawa. “Menurutku kau salah besar.”

Bourne akan membunuhnya dengan tangan kosong karena sudah menyentuh Pippa. Bukan berarti itu tidak sepadan.

Itu sepadan.

Cross mengetahuinya tanpa keraguan.

Pippa menggelengkan kepala. “Tidak, menurutku aku benar,” katanya, lebih kepada diri sendiri ketimbang kepada Cross, dan selama beberapa saat ia merenungkan masalah itu.

Cross belum pernah mengenal wanita yang berpikir sampai secermat itu. Ia bisa memperhatikan Pippa berpikir selama berjam-jam. Selama berhari-hari. Gagasan konyol itu mengejutkannya. Memperhatikan Pippa berpikir? Ada apa dengan dirinya sebenarnya?

Cross tidak sempat memikirkan jawabannya karena sesuatu berubah di mata Pippa, yang setengah tersembunyi oleh lensa kacamatanya sewaktu ia menatap Cross lagi. “Menurutku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bourne.”

Memang tidak. Tapi Pippa tidak perlu tahu. “Bourne adalah salah satu dari sekian banyak alasan yang membuatku enggan memberitahumu tentang masalah itu.”

Pippa menunduk memandangi tangannya, yang terkepal erat di depannya, dan sewaktu ia bicara ada sesuatu yang tidak Cross sukai dalam nada suaranya. “Aku mengerti.”

Pippa menggelengkan kepala, dan Cross tidak dapat berbuat apa-apa selain memperhatikan rambut kuningnya yang pucat, seperti rambut jagung, mengilat terkena cahaya lilin.

Cross tahu semestinya ia tidak bertanya. “Apa yang kau mengerti?”

Pippa b icara kepada dirinya sendiri, dengan lembut tanpa mendongak. “Tidak pernah terpikirkan olehku. Tentu saja, seharusnya pernah. Gairah adalah bagiannya.”

Gairah. Oh, ya. Itu bagian yang besar.

Kemudian Pippa mendongak memandang Cross, dan Cross melihatnya. Sebagian kebimbangan, sebagian kepasrahan, sebagian kesedihan.... Dan semua yang ia miliki, segenap dirinya, berteriak ingin meraih Pippa.

Oh, Tuhan. Cross berusaha memperlebar jarak di antara mereka, tapi mejanya yang besar –dari mana ia mendapatkan ketenangan beberapa detik yang lalu –sekarang memerangkapnya di sini, terlalu dekat dengan Pippa sementara mata biru Pippa yang besar berkilat, kemudian gadis itu berkata, “Mr. Cross... apa menurutmu aku bisa meyakinkannya  untuk menyentuhku?”

Cross bisa menerima kata-kata itu kalau bukan karena intonasinya –karena sedikit penekanan bernada panik pada kata meyakinkannya, maksudnya seseorang selain dirinya. Maksudnya Castleton.

Yang perlu Cross lakukan hanyalah mengulurkan tangan dan meraih Pippa. Tidak akan ada yang tahu. Sekali saja. Secicip saja, dan ia akan mengirim Pippa kepada sang suami. Kepada pernikahan.

Kepada kehidupan gadis itu.

Tidak.

Pippa tidak boleh dijamah. Seperti semua wanita yang ia kenal selama enam tahun terakhir. Lebih tidak boleh dijamah.

Jauh lebih baik.

Tenggorokan Cross tercekat selagi ia mencari kata-kata, membenci fakta bahwa Pippa bisa membuatnya kehilangan kata-kata.

Kata-kata tak kunjung terucap, maka Cross memilih, “Pippa...”

Pippa kembali memandangi tangannya, merentangkannya lebar-lebar, tidak tahu bagaimana jemarinya yang miring menggoda Cross. “Maafkan itu. Itu sangat... itu... yang barusan itu...” Ia menghela napas, bahunya terkulai, karena beban yang nyaris tak tertahankan. Akhirnya ia mendongak dan berkata, “Semestinya aku tidak mengatakannya.”

Jangan bertanya. Kau tidak mau tahu.

Tapi Cross mau tahu. Mau sekali.

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak mau mengatakannya kepadamu.”

Salah satu ujung bibir Cross terangkat. Bahkan sekarang, saat ia pasti ingin melakukannya, Pippa tidak mau berbohong. “Namun aku tahu.”

Pippa bicara ke tangannya. “Hanya saja... sejak kita bertemu, aku sangat... yah, terpesona, oleh...”

Dirimu.

Katakan. Cross memerintahkan, tidak terlalu yakin apa yang akan ia lakukan jika Pippa melakukannya, tapi bersedia menguji dirinya.

Pippa menarik napas lagi. “Oleh tulang-tulangmu.”

Apa Pippa bisa mengatakan sesuatu yang sudah terduga? “Tulang-tulangku?”

Pippa mengangguk. “Iya. Yah, ototmu juga. Lengan atasmu. Pahamu. Dan tadi... selagi aku memperhatikanmu minum wiski... tanganmu.”

Cross sudah sering dirayu di sepanjang hidupnya. Ia sudah biasa menolak permintaan wanita. Tapi ia belum pernah menerima pujian untuk tulang-tulangnya.

Itu pengakuan paling aneh dan paling seksi yang pernah ia dengar.

Dan ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.

Akan tetapi Cross tidak perlu menanggapi, karena Pippa sudah melanjutkan, “Rasanya aku tidak bisa berhenti memikirkannya.” Suara Pippa rendah dan sarat akan kesengsaraan mendalam. “Rasanya aku tidak bisa membayangkan diriku menyentuhnya. Membayangkan tulang-tulang itu... menyentuhku.”

Semoga Tuhan menolong mereka berdua, karena Cross tidak mampu melakukannya.

Cross tahu semestinya ia tidak bertanya. Ia tidak boleh bertanya.

Tapi tidak ada satu hal pun yang bisa menghentikannya. “Menyentuhmu di mana?”

Kepala Pippa langsung diangkat. Cross sudah mengejutkannya. “Apa?”

“Itu pertanyaan yang sederhana, Pippa,” ujar Cross, bersandar ke meja, terkesan oleh kemampuannya untuk berpura-pura tenang padahal jantungnya berdebar kencang dan jemarinya gatal ingin menyentuh Pippa. “Di bagian mana kau membayangkan tubuhmu bersentuhan dengan tulang-tulangku?”

Mulut Pippa menganga, bibir manisnya tampak lembut saking kagetnya, dan Cross pun bersedekap. Pandangan Pippa tertuju ke gerakan itu, tangan Cross yang memegangi bisepnya, satu-satunya hal yang mencegah Cross meraih Pippa dan mencium gadis itu sampai mereka berdua terengah-engah.

“Tanganmu,” bisik Pippa.

“Ada apa dengan tanganku?”

“Aku penasaran akan seperti apa rasanya kalau tanganmu...” Pippa menelan ludah, dan gerakan itu mengalihkan perhatian Cross ke lehernya, di mana nadinya pasti berdenyut kencang. Cross melewatkan kata-kata berikutnya yang terucap dari bibir Pippa –dan mungkin itu yang terbaik bagi mereka berdua. “Di kulitku.”

Kulit. Kata tersebut membangkitkan khayalan tentang kulit pucat yang cantik, lekuk-lekuk yang panas dan tonjolan-tonjolan yang lembut, bentangan-bentangan luas yang bebas dieksplorasi. Pippa pasti seperti dosa dan sutra, dan di semua tempat yang Cross sentuh, Pippa pasti menanggapinya. Cross membayangkan suara-suara yang akan Pippa keluarkan, bagaimana Pippa terengah saat ia mengelus, bagaimana Pippa mendesah ketika ia membelai, bagaimana Pippa tertawa kalau tanpa disengaja ia menemukan titik yang membuat gadis itu geli.

Perhatian Pippa dialihkan ke tangan kiri Cross, yang menopang lengannya, dan Cross tahu persis bahwa kalau ia menggerakkan tangannya, kalau ia meraih Pippa, gadis itu akan membiarkannya melakukan apa pun yang ia inginkan. Semua yang ia inginkan.

Cross tidak menggerakkan tangannya.

“Di mana persisnya, Pippa?”

Pippa tidak boleh memberitahukan hal itu kepadanya, pikir Cross. Seharusnya Pippa keluar dari ruangan ini dengan secepat mungkin... gadis itu pasti lebih aman jika berada di arena kasino ketimbang di sini, bersama dirinya. Tapi ia tidak mau memberitahukannya kepada Pippa.

“Tanganku,” Pippa memulai, tangan yang dimaksud direntangkan. “Pi... pipiku... leherku...”

Selagi bicara, Pippa menelusuri bagian-bagian tubuh yang ia sebutkan –asing baginya, Cross yakin itu –dan gairah Cross bertambah dalam seiring dengan setiap kata yang disebutkan, seiring dengan sentuhan yang lembut. Jemari Pippa menuruni lehernya, melintasi kulit lembut dan pucat di dadanya, ke pinggir korsetnya, di mana tangan itu berhenti, membeku di atas kain hijau.

Cross ingin mengulurkan tangan dan mengoyakkan kain itu, menelusuri jejak ujung jemari yang tidak sempurna secara menarik itu. Cross ingin memperhatikan Pippa menyentuh setiap jengkal dari tubuh gadis itu sendiri, berpura-pura tangan Pippa adalah tangannya.

Persetan dengan itu. Cross ingin Pippa menggunakan tangannya.

Ia ingin menjadi orang yang menyentuh.

Tidak.

“apa lagi?” kata Cross, menggerakkan tangannya, menyadarkan Pippa dari lamunan.

Pippa menatap mata Cross, matanya membelalak, pipinya merona. “Aku...” Ia terdiam. Menarik napas. “Aku juga mau menyentuhmu.”

Dan di sana, di dalam pengakuan yang sederhana yang blak-blakan itu, Cross menemukan untaian pengendalian dirinya yang terakhir dan rapuh. Ia berada terlalu dekat dengan Pippa. Ia harus bergerak. Harus menciptakan jarak di antara mereka. Alih-alih, ia bertanya, “Di mana?”

Cross tahu ia meminta terlalu banyak dari Pippa –gadis lugu yang mengenal tubuh manusia tapi tidak memiliki wawasan apa pun tentangnya. Tapi ia tidak kuasa menghentikan dirinya. Ia tidak bisa memiliki Pippa. Tapi ia bisa memiliki ini.

Bahkan kalau ia akan terbakar di neraka karenanya.

Neraka tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan penyiksaan yang ia hadapi sekarang. Di sini.

“Kau mau menyentuhku di mana, Pippa?” tanya Cross setelah keheningan setelah beberapa saat.

Pippa menggelengkan kepala, tangannya direntangkan lebar-lebar, dan selama sesaat, Cross mengira gadis itu akan menyerah. Pulang. Kekecewaan bangkit, panas dan membuatnya frustrasi.

Kemudian Pippa berkata, dengan sederhana. “Di mana-mana.”

Kata itu merampas kekuatan, napas dan pengendalian diri Cross, membuatnya hancur dan tidak dapat berbuat apa-apa. Dan menginginkan Pippa.

Ingin menunjukkan kenikmatan kepada Pippa. Dengan suatu cara. Dengan cara apa saja.

“Kemarilah.”

Cross mendengar nada kasar pada suaranya, nada mendesak, dan terkejut karena Pippa segera mematuhi perintahnya, beranjak untuk berdiri hanya beberapa sentimeter darinya. Gaun Pippa terdiri dari sejumlah lapisan, yang paling luar dirapatkan oleh sabuk hijau tebal. Cross menunjuk. “Buka.”

Seolah itu hal yang paling wajar di dunia, pinggiran gaun Pippa terbuka dan memperlihatkan kain hijau yang lebih halus lagi di baliknya. “Tanggalkan.”

Pippa melepaskan lapisan yang paling luar itu, membiarkan kain itu teronggok di kakinya, napasnya bertambah cepat. Napas Cross juga. “Semuanya.”

Pippa memunggungi Cross. Ia menolak.  Kuat sementara Cross lemah. Rasa frustrasi tersulut, dan Cross mengulurkan tangan, berhenti tepat sebelum ia menyentuh Pippa, mengoyakkan kain dari tubuh Pippa dan menggantikannya dengan tubuhnya sendiri.

Tentu saja Pippa menolak. Pippa seorang lady. Dan Cross tahu seharusnya ia tidak berada di dekat Pippa. Ia penjahat yang paling biadab, dan semestinya ia dicambuk untuk apa yang sudah ia lakukan. Untuk apa yang ia inginkan.

Gaun wol hijau Pippa yang tebal tergeletak di lantai di dekat kaki Cross, dan ia berjongkok untuk mengambilnya, jemarinya menyapu kain halus itu saking putus asanya ia, seolah itu kulit Pippa. Seolah itu sudah cukup.

Cross mengutuki dirinya sendiri, berjanji kepada Tuhan dan dirinya sendiri bahwa ia akan mengenakan gaun ini kembali ke tubuh Pippa dan memulangkan wanita itu, tapi nasi sudah menjadi bubur.

Selapis linen menyusul kain wol yang tebal, kain lembut itu menyapu buku-buku jemari Cross, masih hangat karena tubuh Pippa. Membara. Napas Cross tertahan karena sensasi tersebut dan membeku, tahu dengan pemahaman mendalam milik seorang yang sudah pernah jatuh kalau momen ini akan menjadi kehancurannya.

Tahu ia tidak boleh mendongak.

Tahu ia tidak mampu menghentikan dirinya sendiri.

Pippa hanya mengenakan korset, celana dalam, dan stoking, bersedekap, pipinya merah padam –warna merahnya menjadi janji yang tidak dapat ditolak.

Cross pun berlutut.

***

Pippa tidak bisa memercayai apa yang sudah ia lakukan.

Bahkan sekarang, selagi ia berdiri di ruangan megah dan cabul ini, udara dingin berembus ke kulitnya yang kelewat hangat, ia tidak bisa percaya ia sudah menanggalkan pakaiannya, hanya karena Cross memerintahkannya dengan nada pelan dan rendah yang mengirim getaran-getaran asing dan ringan ke perutnya.

Ia harus meneliti getaran-getaran itu.

Nanti.

Sekarang, ia lebih tertarik kepada pria di depannya, kepada lutut Cross, tangan yang terkepal di paha Cross yang panjang dan indah, mata yang menjelajahi tubuhnya.

“Kau menanggalkan pakaianmu,” kata Cross.

“Kau memintaku melakukannya,” sahut Pippa, menaikkan kacamata di hidungnya.

Salah satu ujung bibir Cross terangkat mengulas sanyum tanggung, dan ia mengusapkan punggung salah satu tangannya di bibir, dengan perlahan dan santai, seolah ia ingin melahap Pippa. “Benar.”

Getaran-getaran itu bertambah kuat.

Cross memandangi lutut Pippa, dan tiba-tiba Pippa menyadari sepenuhnya kondisi tokingnya, wol krem polos yang dipilih demi kehangatan ketimbang... yah... ketimbang ini. Pasti stokingnya jelek kalau dibandingkan dengan stoking sutra yang biasa Cross jumpai pada wanita-wanita lain. Miss Tasser mungkin punya stoking dalam berbagai macam warna, semuanya berenda dan cantik.

Pippa selalu praktis dengan pakaian dalamnya.

Ia merapatkan lututnya lalu mempererat lipatan lengannya di dada, bimbang, berharap Cross akan mengulurkan tangan kepadanya. Saat pria itu tidak melakukannya, ia bertanya-tanya apakah entah bagaimana ia sudah mengecewakan Cross –ia memang tidak secantik wanita-wanita yang pasti sudah biasa Cross temui, tapi ia tidak pernah menganggap dirinya jelek.

Mengapa Cross tidak mau menyentuhnya?

Pippa menarik kembali pertanyaan itu, membenci bagaimana pertanyaan tersebut meliputinya, membuatnya dingin dan panas pada saat yang bersamaan, lalu berkata, “Apa lagi?”

Kata-kata itu terdengar lebih tajam daripada yang Pippa inginkan, tapi berhasil mencapai tujuan, langsung mengalihkan perhatian Cross ke wajahnya. Cross memandanginya selama beberapa saat, dan perhatian Pippa teralihkan oleh mata pria itu –warnanya lebih seperti timah ketimbang kelabu, dengan bintik-bintik hitam kecil, dinaungi oleh bulu mata coklat kemerahan yang panjang.

Selagi Pippa memperhatikan, pandangan Cross dialihkan ke kursi besar yang terdapat beberapa puluh sentimeter di sebelah kana Pippa, kemudian kembali kepadanya, dengan perlahan dan santai. “Duduklah.”

Bukan itu yang Pippa sangka. “Terima kasih, aku lebih suka berdiri.”

“Kau mau belajar atau tidak, Pippa?”

Jantung Pippa berdegup kencang sewaktu ia mendengar kata-kata itu. “Mau.”

Senyum tanggung itu kembali muncul, dan Cross mendongakkan kepala ke arah kursi. “Kalau begitu duduklah.”

Pippa beranjak. Duduk sesopan mungkin, dengan punggung tegak, tangan terkepal erat di pangkuannya, kaki dirapatkan, seolah ia tidak sedang berduaan di sebuah kasino dengan salah seorang pria flamboyan yang paling terkenal di London, hanya memakai korset dan celana dalam. Dan kacamata.

Pippa memejamkan mata karena pemikiran itu. Kacamata. Tidak ada yang menggoda dari kacamata. Ia mengangkat tangan untuk melepaskannya.

“Jangan.”

Pippa membeku, tangannya sudah hampir sampai di wajahnya. “Tapi...”

“Biarkan saja.”

“Kacamataku tidak...” mulainya. Kacamataku tidak menggoda.

“Kacamatamu sempurna.” Cross tidak menghampiri Pippa, malah bersandar ke meja eboni yang besar, meluruskan salah satu kakinya ke depan lalu mengangkat lutut kaki yang satu lagi, menopangkan lengan ke atasnya sembari memperhatikan Pippa dengan mata yang sayu. “Bersandarlah.”

“Aku sudah cukup nyaman,” cetus Pippa dengan cepat.

Salah satu alis coklat kemerahan itu diangkat. “Pokoknya bersandar saja.”

Pippa mundur di atas kursi sampai ia merasakan punggung kulit yang lembut di kulitnya. Cross tidak berhenti memperhatikannya, mata pria itu disipitkan, mencermati setiap bagian dari dirinya, setiap gerakan.

“Rileks,” ujar Cross.

Pippa menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya, berusaha mengikuti instruksi-instruksi Cross. “Ini tidak mudah.”

Senyum itu lagi. “Aku tahu.” Terjadi keheningan selama beberapa saat, lalu Cross berkata, “Kau cantik sekali.”

Wajah Pippa merona. “Aku tidak cantik.” Cross tidak menimpali. Pippa memecah kesunyian. “Pakaian dalam ini sudah sangat kuno. Semua ini tidak ditujukan untuk...” Ia terdiam sewaktu pandangan Cross dialihkan ke pinggiran korsetnya, yang tiba-tiba terasa semakin ketat. “Dilihat.”

“Aku tidak sedang bicara tentang pakaian,” ujar Cross, rendah dan berat. “Aku bicara tentang dirimu. Kulit yang ingin kau sentuh itu.”

Pippa memejamkan mata waktu mendengar kata-kata itu, rasa malu dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya melandanya.

Cross tidak berhenti berbicara. “Aku bicara tentang lenganmu yang panjang dan indah, juga kakimu yang berbentuk sempurna... rasanya aku sangat cemburu kepada stoking yang mengetahui seperti apa kulitmu itu, kehangatanmu.” Pippa bergeser, tidak bisa diam di bawah serangan kata-kata Cross. “Aku bicara tentang korset yang memeluk tubuhmu yang indah dan lembut... apa rasanya tidak nyaman?”

Pippa ragu. “Biasanya tidak.”

“Dan sekarang?” Pippa mendengar pemahaman dalam pertanyaan itu.

Pippa mengangguk sekali. “Rasanya agak... sesak.”

Cross berseru, dan Pippa membuka matanya, langsung menatap mata Cross, panas dan tertuju kepadanya. “Pippa yang malang. Katakan, dengan wawasanmu tentang tubuh manusia, menurutmu mengapa begitu?”

Pippa menelan ludah, berusaha menarik napas dalam-dalam. Gagal. “Itu karena jantungku mengancam akan melompat keluar dari dadaku.”

Senyum itu lagi. “Apa kau membuat dirimu kelelahan?”

Pippa menggelengkan kepala. “Tidak.”

“Lantas, apa?”

Pippa bukan orang bodoh. Cross mendesaknya. Berusaha melihat seberapa jauh ia bisa melangkah. Ia mengatakan yang sebenarnya. “Menurutku ini karenamu.”

Kemudian Cross memejamkan matanya, tangannya dikepalkan lagi, lalu ia menyandarkan kepalanya ke samping meja, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan rahangnya yang dikertakkan kuat-kuat. Mulut Pippa terasa kering karena gerakan itu, karena bagaimana urat-urat yang ada di sana menonjol dan beriak, dan ia sangat ingin menyentuh Cross.

Sewaktu Cross kembali mengalihkan pandangannya ke mata Pippa ada sesuatu yang liar di kedalaman timah itu... sesuatu yang langsung membuat Pippa kewalahan dan takut. “Seharusnya tidak secepat itu kau mengatakan yang sebenarnya,” ujar Cross.

“Mengapa?”

“Itu memberiku kendali yang terlalu besar.”

“Aku percaya padamu.”

“Seharusnya tidak.” Cross mencondongkan badan ke depan, menopangkan lengannya di lutut yang diangkat. “Kau tidak aman bersamaku.”

Tidak pernah sekali pun Pippa merasa tidak aman bersama Cross. “Menurutku itu tidak benar.”

Cross tertawa, rendah dan berat, dan suaranya beriak di tubuh Pippa, bagai gelombang kenikmatan dan godaan. “Kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan padamu, Philippha Marbury. Bagaimana aku bisa menyentuhmu. Keajaiban yang bisa aku tunjukkan padamu. Aku bisa menghancurkanmu tanpa segan-segan. Membawamu tenggelam di kedalaman dosa dan tidak menyesalinya sama sekali. Aku bisa membawamu langsung ke dalam godaan yang tidak pernah menengok ke belakang lagi.”

Kata-kata tersebut membuat Pippa tidak bisa bernapas. Ia menginginkannya. Semuanya. Ia membuka mulut untuk mengatakan kepada Cross, tapi tidak ada suara yang keluar.

“Kau lihat? Aku sudah membuatmu terguncang.”

Pippa menggelengkan kepala. “Aku yang membuat diriku terguncang. Sorot mata Cross berubah menjadi penasaran, lalu Pippa menambahkan, “Karena aku mendapati bahwa aku ingin mengalami semua itu.”

Terjadi kesenyapan selama beberapa saat, selagi Pippa memerintahkan Cross untuk bergerak, untuk menghampirinya. Untuk menyentuhnya. Untuk menunjukkan kepadanya.

“Tunjukkan kepadaku,” ucap Cross, kata-katanya seolah berasal dari pemikiran Pippa.

Terkejut, Pippa berkata, “A... apa?”

“Tadi kau bilang kau ingin aku menyentuhmu. Tunjukkan kepadaku di mana.”

Pippa tidak bisa melakukannya. Tapi tangannya sudah bergerak, sudah menelusuri tulang korsetnya hingga ke tempat di mana sutra bertemu dengan kulit. Ujung tulang ke korsetnya lebih rendah daripada garis gaun yang tadi ia kenakan, beberapa sentimeter dari...

“Payudaramu?”

Wajah Pippa merona karena kata itu. “Ya.”

“Katakan seperti apa rasanya.”

Pippa memejamkan mata, memusatkan perhatian kepada pertanyaan itu. Kepada jawabannya. “Penuh. Kencang.”

“Apa rasanya nyeri?”

Sangat. “Ya.”

“Sentuhlah.” Mata Pippa terbuka, langsung bertatapan dengan mata Cross. “Tunjukkan kepadaku bagaimana kai ingin aku menyentuhmu.”

Pippa menggelengkan kepala. “Tidak bisa.”

“Bisa.”

“Tapi mengapa bukan kau saja? Tanganmu ada di sini... kau ada di sini.”

Mata Cross menggelap, dan sebuah otot berdenyut di rahangnya. “Seperti ini saja, Pippa. Aku tidak akan menyentuhmu. Aku tidak akan menghancurkanmu.”

Pria keras kepala, batin Pippa. Ia merasa nyeri dan frustrasi. Apa Cross tidak bisa melihatnya? “Aku sudah hancur, entah kau menyentuhku atau tidak.”

“Tidak. Kalau aku tidak menyentuhmu , kau aman.”

“Bagaimana kalau aku tidak mau aman?”

“Sayangnya kau tidak punya pilihan.” Cross mengangkat salah satu tangannya yang besar, seolah tangan itu terasa sakit. “Apa perlu kuberitahu apa yang akan kulakukan kalau aku bisa menyentuhmu?”

Kata-kata tersebut diucapkan dengan lembut dan cabul, dan merupakan godaan yang sangat tidak dapat ditolak. “Ya, please.”

“Aku akan mengangkat keduanya dari penjara itu, dan aku akan memuja keduanya dengan cara yang pantas.”

Oh, astaga. Tangan Pippa membeku, menjadi tidak berguna karena suara Cross yang indah dan jernih.

“Kemudian, setelah keduanya melupakan seperti apa rasanya dikungkung oleh sutra dan tulang korset, aku akan mengajarimu tentang ciuman, seperti yang kau minta.” Bibir Pippa membuka, dan ia membalas tatapan Cross, yang sarat akan janji cabul. “Tapi bukan di mulutmu... di situ. Di kulit pucat dan lembut yang ada di sana... di tempat-tempat yang belum pernah melihat cahaya, yang belum pernah merasakan sentuhan pria. Kau akan belajar tentang lidah, Ilmuwan mungilku... di puncak manis yang mendamba itu.”

Gambaran yang Cross lukiskan jelas dan mengguncang, dan Pippa langsung terpaku karena membayangkan lidah Cross di tubuhnya –terlalu terpaku untuk merasa malu, tangannya mengikuti kata-kata Cross, menggoda, menyentuh, dan selama sesaat ia hampir percaya kalau Cross-lah yang menyentuhnya. Membuatnya mendamba. Ia mendesah, dan Cross bergeser, menegakkan badan, tapi tidak mendekat, terkutuklah pria itu.

“Apa kau mau aku memberitahumu di mana lagi aku akan menyentuhmu?”

“Ya, please.” Kata-kata itu diucapkan sebagai bisikan.

“Sopan sekali.” Cross mencondongkan badan ke depan. “Tidak ada ruang untuk kesopanan di sini, Kekasih cantikku yang berkacamata. Di sini, kau meminta dan aku memberi. Kau menawarkan dan aku menerima. Tidak ada please. Tidak ada terima kasih.”

Pippa menunggu Cross melanjutkan, setiap jengkal dari tubuhnya bersenandung penuh semangat, penuh antisipasi.

“Kaitkan sebelah kakimu di lengan kursi itu.” Mata Pippa membelalak karena perintah tersebut. Di sepanjang hidupnya ia belum pernah duduk seperti itu. Ia ragu. Cross terus mendesak. “Kau yang minta.”

Benar. Pippa pun bergerak, membuka diri untuk Cross, pahanya direntangkan, udara ruangan yang sejuk berembus ke celah celana dalamnya. Pipinya terasa panas dan ia memindahkan tangannya untuk menghalangi pandangan Cross.

Cross memperhatikan tangan itu, dan ia membenarkan dengan pelan. “Tanganku juga akan berada di sana. Apa kau bisa merasakan alasannya? Apa kau bisa merasakan hawa panasnya? Godaannya?”

Mata Pippa terpejam sekarang. Ia tidak bisa memandang Cross. Tapi ia mengangguk.

“Tentu saja bisa... aku sendiri hampir bisa merasakannya.” Kata-kata itu menghipnotis, dangat menggoda, lembut, lirih, dan indah. “Dan coba katakan, Ahli anatomi mungilku... apa kau pernah mengeksplorasi lokasi itu sebelumnya?”

Pipi Pippa terasa panas.

“Jangan mulai berbohong sekarang, Pippa. Kita sudah sejauh ini.”

“Ya.”

“Ya, apa?”

“Ya, aku pernah mengeksplorasinya sebelumnya.” Pengakuan itu sangat pelan, tapi Cross mendengarnya. Ketika Cross mengerang, Pippa membuka mata dan mendapati pria itu sudah bersandar ke mejanya lagi. “Apa aku mengucapkan hal yang salah?”

Cross menggelengkan kepala, tangannya diangkat ke mulut lagi, mengusap bibirnya yang kencang. “Kau hanya membuatku terbakar rasa iri.”

Dahi Pippa dikerutkan. “Kepada siapa?”

“Kepadamu, Cantik.” Mata kelabu Cross diarahkan ke tempat yang Pippa sembunyikan darinya. “Kepada tanganmu yang sempurna. Katakan apa yang kau temukan.”

Pippa tidak bisa. Walaupun ia mengetahui kata-kata klinis untuk semua yang sudah ia sentuh dan temukan, ia tidak bisa mengucapkannya kepada Cross. Ia menggelengkan kepala. “Tidak bisa.”

“Apa kau menemukan kenikmatan?”

Pippa memejamkan mata, mengatupkan bibirnya.

“Apa iya?” bisik Cross, suaranya terdengar sekeras suara tembakan di ruangan gelap nan cabul ini.

Pippa menggelengkan kepala. Lagi-lagi, sangat samar hingga nyaris tak terlihat.

Cross menghela napas, suaranya panjang dan cabul di ruangan itu, seolah sedari tadi ia menahan napas... dan ia bergerak. “Tragedi besar.”

Mata Pippa langsung terbuka begitu ia mendengar suara Cross –suara celana panjang yang menyapu karpet selagi pria itu menghampirinya, dengan mata yang disipitkan dan sarat akan janji mesum serta penuh kenikmatan.

Cross menghampiri Pippa. Bak predator yang mengintai mangsanya.

Dan Pippa sudah tidak sabar untuk ditangkap.

Pippa menghela napas, napasnya terdengar seperti desahan pelan dan bergetar yang bisa menjadi erangan bila ia tidak berhati-hati, dan ia memindahkan tangannya, membuka diri untuk sentuhan dan mata Cross.

Tapi, Cross tidak menyentuhnya.

“Boleh kutunjukkan cara menemukannya, Cantik?” tanya Cross, dan Pippa berani bersumpah ia merasakan napas Cross ditangannya, panas dan menggoda. “Di mana kau bisa menemukannya?”

Pippa tidak pernah akan tahu darimana keberaniannya berasal –bagaimana ia bisa mengatasi rasa malu dan segan yang seharusnya ada. “Please,” pintanya, dan Cross pun melakukannya, dengan kata-kata yang lembut dan meluluhlantakkan.

Pippa melakukan apa yang Cross sampaikan kepadanya, membuka lipatan kain, kemudian lipatan lain yang lebih pribadi, mematuhi instruksi-instruksi yang Cross bisikan, menjawab pertanyaan-pertanyaan mesum Cross.

“Sangat manis dan merah muda... apa rasanya nikmat, Darling?”

Pippa merintihkan jawabannya.

“Tentu saja nikmat. Aku bisa mencium kenikmatan di tubuhmu... manis, lembut, dan amat sangat basah. “ Kata-kata itu menghadirkan sensasi, kenikmatan dahsyat yang belum pernah Pippa rasakan sebelumnya, bahkan pada malam-malam gelap sewaktu ia mengeksplorasi tubuhnya sendiri secara diam-diam.

“Oh, Pippa...” bisik Cross, memalingkan kepalanya, bernapas ke lekuk lutut Pippa, tapi tidak menyentuh –tidak pernah menyentuh. Kalau aku yang ada di sana... kalau jemariku menjadi jemarimu, aku akan membukamu lebar-lebar dan menunjukkan kepadamu betapa jauh lebih nikmatnya jika pengalaman itu dibagikan. Aku akan menggunakan mulutku untuk memberi palajaran kedua tentang ciuman... aku akan mengajarimu semua yang kuketahui tentang tindakan itu.”

Mata Pippa membelalak karena pengakuan blak-blakan itu, karena ia bisa membayangkannya. Ia bisa membayangkan Cross, berlutut di depannya, menepiskan tangannya dari tubuhnya lalu menggantikannya dengan mulut pria itu yang indah dan kencang, mengelus, menyentuh... mencumbu. Pippa tidak mengetahui nama dari tindakan tersebut –ia bahkan belum pernah membayangkan sebelum ini –tapi ia tahu, tanpa keraguan, kalau itu pasti menakjubkan.

“Aku akan melahapmu... ya... tepat di sana, Cantik.” Cross terus mendorong Pippa, menghadiahi gerakan-gerakan pelan yang berani dari jemari Pippa dengan geraman kenikmatan, tahu, bahkan sebelum Pippa tahu, bahwa gadis itu sudah berada di ambang jurang dari sesuatu yang luar biasa. “Apa kau mau mulutku ke sana, Manis?”

Apa itu bisa dilakukan? Ya. Pippa jelas menginginkannya.

“Aku akan melakukannya dampai berjam-jam...” janji Cross. “Lidahku akan menunjukkan kenikmatan yang belum pernah kau kenal. Berkali-kali. Lagi dan lagi sampai kau lemas karenanya. Sampai kau tidak tahan lagi, dan kau memohonku untuk berhenti. Apa kau mau, Darling?”

Tubuh Pippa menjawab Cross, menggelinjang di kursi dan tangannya, memberikan dirinya semua yang Cross janjikan... tapi entah bagaimana tidak satu pun. Pippa meneriakkan nama Cross, menggapai, ingin merasakan Cross, merasakan kekuatan dan otot Cross.

Saat itu, Pippa menjadi milik Cross, terbuka dan rentan, diguncang kenikmatan dan entah bagaimana, masih mendamba karena gairah.

Gairah yang hanya dapat dipuaskan oleh Cross.

Pippa membisikkan nama Cross, tidak mampu menghapus nada takjub dari suaranya, dan jemarinya menyentuh rambut Cross, bak sutra merah yang mengilat.

Cross bergerak secepat kilat karena sentuhan itu, bangkit berdiri dengan keanggunan yang bertolak belakang dengan tingginya yang seratus sembilan puluh lima sentimeter. Ia menyeberangi kantornya, berbalik menghadapkan Pippa dengan punggung rampingnya yang indah, salah satu lengannya yang panjang diulurkan untuk menopang berat badannya di selusin buku besar yang ditumpuk di sudut ruangan.

Kehilangan Cross terasa seperti pukulan, melucuti kenikmatan sesaat dari Pippa. Membuatnya mendamba. Hampa. Tidak puas.

Kepala Cross ditundukkan, cahaya lilin menyoroti rambut coklat kemerahan yang ingin Pippa sentuh. Pippa tidak bergerak saat bahu Cross naik turun sekali, dua kali, tiga kali –napas Cross tidak beraturan seperti napasnya.

“Riset malam ini sudah cukup,” ujar Cross kepada buku-buku yang tertumpuk di depannya, kata-katanya terdengar lebih tegas, lebih keras daripada semua yang ia katakan malam itu. “Aku sudah berjanji akan mengajarimu tentang godaan, dan aku yakin aku sudah menunaikan tugas itu. Kenakan pakaianmu. Aku akan meminta seseorang mengantarmu pulang.”

***

“Kemajuan telah tercapai. Rupanya ada sejumlah cara yang bisa digunakan untuk... memperlakukan anatomi wanita. Mitra mengungkapkan lebih dari satu cara semalam –dengan hasil fisik yang luar biasa. Sayangnya, Menariknya, hasilnya juga memiliki dampak emosional yang besar. Dampak pribadi.

Tapi ia tetap tidak menyentuhku. Itu juga memiliki dampak pribadi.

Tidak ada ruang untuk dampak pribadi dalam riset ini.

Jurnal Ilmiah Lady Phillipa Marbury
29 Maret 1831; tujuh hari sebelum pernikahannya.


Keseluruhan isi buku ini 19 bab


--------Debda--------


Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar