Selasa, 18 Februari 2020

Lucky Penny #4


Entah bagaimana, Brianna berhasil kembali ke toko sambil terhuyung, mencengkram kenop pintu, dan hampir saja terjatuh ke dalam. Tangannya gemetar keras sekali sehingga syalnya meluncur turun dari bahunya dan membentuk gumpalan hitam di lantai. Ia terjatuh ke kursi menjahitnya, terlalu bingung untuk mencemaskan apakah Abigail mendengar kepulangannya dan menghitung lamanya ia keluar. Untuk saat ini, dibayar sesuai dengan jumlah jam kerjanya adalah hal terakhir yang dikhawatirkan Brianna.

Oh, Tuhan... oh, Tuhan. David Paxton berbahaya. Ketika berada di gang tadi, ia mengacaukan segalanya, berusaha untuk bertahan dengan cerita awalnya bahkan setelah pria itu mulai mementahkan klaimnya. Selama lebih dari enam tahun, tidak ada yang mempertanyakan ceritanya, apalagi mencari tahu di mana lokasi peternakan suami karangannya. Memang apa bedanya? Bagi orang normal, itu adalah detail kecil dan sama sekali tidak penting, tapi untuk alasan-alasan yang tak bisa dipahaminya, David Paxton sepertinya bermaksud untuk mematahkan semua yang dikatakannya. Apakah pria itu bodoh? Kalau tidak, bagaimana mungkin David Paxton bisa percaya kalau ia memiliki anak dengan wanita yang tak pernah ditemuinya?

Sebenarnya, Brianna tidak pernah berhubungan dengan siapa pun. Demi Bunda Maria. Bagaimana kalau itu ketahuan –bahwa ia bukan ibu Daphne yang sebenarnya, tapi hanya bibi anak itu? Maka ia mungkin tidak akan punya hak yang sah secara hukum terhadap gadis kecilnya itu.

Perut Brianna mulas, dan ia menelan kembali rasa mual itu. David Paxton bahkan sudah mengatakan tidak akan meninggalkan Glory Ridge tanpa Daphne. Apakah ia bersikap berlebihan bila menanggapi itu sebagai sebuah ancaman? David Paxton tidak akan bisa mengambil Daphne! Ia adalah ibu anak itu, dalam segala cara, kecuali secara biologis, dan orang-orang yang mengetahui kebenaran tersebut berada di Boston. Pria itu adalah orang asing yang muncul entah dari mana. Pasti baik sang marshal ataupun hakim tidak akan memercayai klaim David Paxton yang keterlaluan itu. Misalnya, cerita tentang tanda lahir. Noda di leher Daphne memang sudah ada sejak lahir, tapi warnanya tidak cukup gelap untuk menjadi tanda lahir. Itu hanya noda biasa. Banyak orang yang lahir dengan tanda serupa, dan seiring berjalannya waktu, tanda itu akan memudar.

Brianna menekan jari-jarinya yang gemetar ke matanya dengan kuat sehingga ia melihat titik-titik hitam. Setelah beberapa tarikan napas, denyut jantungnya melambat, dan ia merasakah keringat akibat kepanikannya tadi telah mengering di kulitnya. Ia harus tetap tenang kalau ia ingin menemukan jalan keluar dari kekacauan ini.

Brianna bangkit untuk menyampirkan syal miliknya ke atas peti yang menjadi tempat penyimpanan selimut Daphne, kain sisa, dan peralatan menjahit. Tangannya, yang masih dingin akibat udara di luar, mati rasa. Ia mulai berjalan mondar mandir di dalam ruangan kecil itu sambil menggosokkan telapak tangannya ke lengannya dengan cepat. Wangi bacon panas dan bawang yang ditumis tercium dari tempat tinggal Abigail. Aroma itu membuat perut Brianna berbunyi. Bagaimana bisa wanita pemarah itu tetap sekurus pensil padahal begitu sering makan? Secepat pertanyaan itu memasuki benaknya, secepat itu juga dilupakannya. Ia perlu berkonsentrasi pada hal yang jauh lebih penting. Kalau David Paxton mengatur pertemuan dengan hakim dan marshal, maka ceritanya harus kuat, tidak membiarkan pertanyaan-pertanyaan atau tuduhan pria itu membuatnya bingung. Ia benar-benar ibu Daphne. Tidak ada yang bisa membantah hal itu. Iya, kan?

Pikiran yang mencemaskan itu muncul di benaknya. David Paxton tidak tampak seperti penegak hukum lain yang pernah dilihatnya, tapi pria itu memakai lencana. Bagaimana kalau David Paxton betul-betul seorang marshal? Tidakkah orang itu akan punya cara untuk mengecek ceritanya? Seharusnya ia tidak memberitahu David Paxton kalau dulu ia dib uang ketika masih bayi. Tidak banyak panti asuhan di Boston. Kalau David Paxton mulai menggali informasi dan memiliki uang yang diperlukan untuk menyewa penyelidik di Timur, pada akhirnya pria itu akan menghubungi institusi yang tepat, dan kebenaran tentang ibu Daphne akan terbongkar. Penemuan seperti itu akan meniadakan klaim David Paxton sebagai ayah Daphne, tapi juga bisa mengubah status dirinya terhadap anak itu. Akankah pengadilan memberinya hak untuk membesarkan keponakannya ketika ia sendiri tidak punya uang? Dan, oh Tuhan, kalau pihak berwenang mengambil Daphne, apa yang akan terjadi pada anak itu? Sejauh yang Brianna tahu, hanya ada satu panti asuhan yang cukup baik di Denver, dan ia juga tidak bisa memastikan kualitasnya.

Brianna berputar untuk menatap pakaian Mrs. Pauder yang teronggok. Hentikan, perintahnya kepada dirinya sendiri. Kau membuat dirimu sendiri bingung. Itu tidak akan membantu kau harus menjaga kepalamu tetap jernih. Tenanglah. David Paxton tidak memiliki tampang orang kaya. Dia tidak akan punya uang yang cukup untuk menyewa penyelidik, dan kalaupun punya, proses itu pasti akan memakan waktu. Kau bisa lari dengan Daphne, kalau memang harus melakukannya. Kau masih menyimpan sisa uang pakaian anak itu, yang seharusnya cukup untuk menyewa kuda dan pergi ke stasitun kereta api terdekat. Dari sana kau bisa membeli tiket untuk pergi ke kota besar, mengganti namamu, dan tak ada yang akan menemukanmu.

Brianna merasa lebih baik dengan rencana yang sudah setengah terbentuk di kepalanya. Ia mendengar Abigail mondar-mandiri di kediaman wanita itu. Peringatan tersebut membuatnya melompat ke atas kursi kerjanya. Tepat ketika si pemilik toko itu membuka gorden yang menutupi ruang kerjanya, Brianna sudah terlihat sedang bekerja keras.

“Jam kerjamu akan dipotong satu jam,” ujar Abigail. “Kau pergi lebih lama dari itu, tapi aku sudah memutuskan untuk bermurah hati.”

Brianna pergi keluar tak lebih dari dua puluh menit, tapi ia sudah belajar kalau melawan bosnya hanya akan membuat masalah menjadi lebih buruk. “Terima kasih,” ucapnya dengan terpaksa. “Aku membutuhkan setiap jam yang bisa aku dapatkan.”

“Siapa laki-laki itu?”

Brianna ingin berbohong, tapi di kota kecil seperti Glory Ridge, beritanya mungkin sudah tersebar. “Namanya David Paxton.”

Abigail menarik napasnya dengan tajam. “Suamimu?”

Bagian belakang mata Brianna seperti tertusuk pisau. Otaknya kusut, ia tidak bisa berpikir bagaimana menjawab pertanyaan Abigail. Laki-laki itu bukan suamiku. Dia hanya memiliki nama yang sama. Itu hanya akan menimbulkan pertanyaan yang lain yang tak siap untuk dijawabnya. Pria itu meyakini dirinya sebagai ayah Daphne, tapi dia bukan ayah Daphne. Sekali lagi, jawaban itu akan mengusik rasa penasaran Abigail. Pendeknya, Brianna tidak bisa berpikir bagaimana akan menjawab Abigail, tapi ia tak punya pilihan selain mengatakan sesuatu. Ia memutuskan, “Bukan, dia bukan suamiku.”

“Tapi itu nama suamimu.”

“Ya, itu memang nama suamiku. Kau benar. Tapi dia bukan David Paxton yang sama.”

Abigail mencium gosip hangat dan memasuki ruang kerja Brianna. “Aneh sekali. Apa yang sedang dilakukannya di sini? Apa yang diinginkannya?”

Keputusasaan membuat Brianna berani. Matanya bertemu dengan mata Abigail yang seperti mata burung. “Miss Martin, kau adalah bosku, dan aku menghormatimu, tapi bukan berarti kau berhak mengusik urusan pribadiku.”

Pipi kurus Abigail memerah karena marah. “Well, aku tidak pernah melakukannya! Jangan lupa posisimu, Madam, atau kau akan mendapati dirimu tidak punya pekerjaan. Bukan kau satu-satunya wanita di Glory Ridge yang ahli dengan jarum dan benang.”

Brianna sadar kalau sekarang adalah saat-saat yang sulit bagi penduduk kota itu dan banyak orang lain yang melamar untuk menempati posisinya. Tapi, para pelamar lain itu tidak memiliki kemampuan untuk mendesain gaun yang indah dan berkualitas seperti yang dimilikinya, dan Abigail tidak bodoh. “Itu benar,” ia berani menjawab wanita itu. “Apakah ada orang lain yang terpikirkan olehmu?”

Bibir Abigail menipis dan ia berputar untuk meninggalkan ruangan sempit tersebut. Brianna tahu ia baru saja mengalahkan mejikannya, tapi ia terlalu tegang untuk merasa puas. Orang lain pasti akan mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang baru saja dilemparkan Abigail. Bagaimana ia akan menjawab mereka?  Oh, Tuhan... oh, Tuhan, kenapa pria itu ada di sini? Aku memohon keajaiban padamu, dan Kau malah mengirimkan bencana. Ia telah bekerja keras membangun kehidupan bagi dirinya dan Daphne di kota kecil yang dihuni oleh orang-orang berpikiran sempit dan suka menghakimi ini, yang siap untuk mengucilkan siapa pun yang terkena skandal, bahkan ketika baru muncul tanda-tandanya saja.

David Paxton telah membawa lebih dari sekadar pertanda kemari.


***


David duduk di tepi serambi kayu di luar restoran dengan Daphne duduk di sampingnya. Anak itu telah pulang ke kamar sewaan mereka untuk mengambil mantel baru indah yang terbuat dari kain wol biru untuk menghangatkan tubuhnya, tapi ia mengeluarkan tangannya dari sarung tangan mungil yang serasi dengan mantelnya untuk meminum sarsaparilla-nya. Ketika angin yang bertiup menerbangkan debu di jalan, David mempertanyakan keputusannya mengizinkan anak itu mengonsumsi minuman dingin. Dengan setiap sesapan, Daphne menggigil.

Yah, ia masih baru dalam urusan menjadi ayah ini. Ia tadinya ingin Daphne menikmati minuman itu di dalam restoran, tapi anak itu merasa tidak nyaman di lingkungan yang formal dan meminta agar mereka keluar saja. Apakah anak ini belum pernah makan di restoran? Mungkin belum pernah. Sambil mendesah, David mengangkat satu bagian duster-nya untuk disampirkan ke bahu Daphne sebelum menyesap menumannya sendiri, berharap itu adalah bir, dan bukannya soda. Daphne tersenyum lebar, menampakkan lesung pipit Dory Paxton, sementara cairan gelap itu membentuk kumis di sekeliling bibirnya.

“Terima kasih, Papa. Ini sedikit dingin?”

“Hanya sedikit.” David menarik Daphne lebih dekat ke sampingnya, menyukai bagaimana tubuh yang ringan itu menempel ke badannya. Ia memang baru dalam peran ini, tapi ia suka menjadi ayah. “Apa sarsaparilla-nya enak?”

“Sangat enak.” Daphne menyesapnya lagi lalu menurunkan botol yang isinya tinggal setengah itu ke lututnya dan bersender semakin dekat ke kehangatan tubuh David. Bibirnya tertarik akibat menahan kuapan, yang akhirnya memenangkan perang, dan ia membuka mulutnya lebar-lebar. “Hmm,” katanya, mengistirahatkan kepalanya ke tubuh David. “Aku suka kau ada di sini, Papa.”

“Kenapa, karena aku bantal yang nyaman?” goda David.

Daphne mengikik dan melepaskan satu tangannya dari botol untuk menggosok matanya.

“Apa kau mengantuk, Pumpkin?” tanya David.

“Hanya sedikit.”

“Biasanya kau tidur siang setelah sekolah?”

Daphne menggerakkan kepalanya naik turun. “Di kasur yang ditaruh di samping kursi Mama. Setelah itu, dia akan memberiku makan malam, dan aku mengerjakan PR atau bermain dengan tenang sampai waktunya tidur.”

“Kemudian kalian akan kembali ke kamar sewaan itu?”

“Tidak, aku tidur di toko sampai Mama membersihkan restoran. Lalu dia kembali dan membawaku pulang ke kamar kami.”

“Ah.” David penasaran kapan Brianna beristirahat. Ia menarik arloji sakunya. Sekarang jam setengah empat, dan ia menebak pasti sekarang jam tidur siang Daphne yang biasanya sudah lewat. “Kapan ibumu selesai di restoran?”

Daphne menguap lagi. “Aku tidak tahu,” katanya dengan mengantuk. “Aku selalu sudah tidur ketika dia membawaku pulang.”

David memang sudah yakin kalau Brianna bekerja tanpa pernah berhenti. Seorang wanita cantik seperti Brianna berhak mendapatkan yang lebih baik. Wanita itu memiliki mulut paling menggoda yang pernah dilihatnya. Pikiran yang tidak pantas. Membiarkan dirinya untuk merasa tertarik pada Brianna mungkin akan mengganggu ketetapan hatinya untuk menyelesaikan masalah ini, dan demi Daphne, ia harus tetap fokus, bukan pada ibu Daphne tapi pada kemaslahatan anak itu.

David memandang kantor marshal di seberang jalan, belum pernah ia merasakan keinginan sebesar ini untuk mengatur pertemuan dengan penegak hukum dan hakim. Brianna mungkin akan menolak dan melawannya, tapi pada akhirnya, kondisi Brianna akan lebih baik kalau ia yang membiayai kehidupan wanita itu.

Sambil menundukkan kepala, David berbisik pada Daphne, “Kurasa sisa menumanmu tidak akan kemana-mana. Sekarang waktunya bagimu untuk masuk ke dalam dan tidur siang.”

Daphne menarik mundur badannya untuk memandang David dengan ekspresi khawatir. “Kau mungkin saja sudah hilang saat aku bangun. Maukah kau datang ke pertunjukan May Day-ku malam ini, Papa? Hope Blinstrub menghafalkan bagiannya dengan sempurna, dan dia selalu tertawa saat aku membuat kesalahan. Aku tidak akan setakut itu kalau kau di sana. Mama tidak bisa datang karena dia harus bekerja.”

David benci mendengar bos Brianna –atau kondisi keuangan Brianna– akan mencegah wanita itu untuk menghadiri pertunjukan Daphne. Membujuk Miss Martin akan menjadi sebuah tantangan, tapi ia merasa wanita itu sangat haus perhatian laki-laki, jadi membodohi bos Brianna itu mungkin tidak akan sulit.

“Aku tidak akan melewatkannya untuk apa pun,” David meyakinkan Brianna. “Sementara untuk kekhawatiranmu aku akan pergi ketika kau tidur... tidak akan, Little Lady. Mulai sekarang, kau menempel denganku, sekuat kutu di leher anjing pemburu, ingat?”

Daphne sepertinya masih belum yakin. Berpikir dengan cepat, David mengambil koin di saku kemejanya. “Begini saja. Sementara kau tidur siang, kau jaga koin keberuntungan kita. Dengan begitu, kau bisa ekstra yakin kalau aku tidak akan lari selama kau tidur.”

Daphne menerima koin tersebut dan memasukkannya ke saku mantelnya. “Kau tidak akan pernah pergi tanpa koin kita, karena koin itu ajaib.”

“Kau betul sekali. Koin keberuntungan kita hampir sama bagusnya dengan memiliki jin di dalam botol.”

“Apa?”

David menceritakan dongeng singkat tentang seorang pria yang mempunyai jin yang terperangkap di dalam botol. Cerita itu bergulir dan tak lama kemudian Daphne terkulai di sampingnya. Ketika ia mendengar suara dengkuran pelan, sekali lagi anak itu mengingatkannya pada ibunya, yang bersumpah demi langit dan bumi tidak pernah mendengkur. Hal itu kemudian menjadi lelucon di keluarga mereka, di mana ia dan semua saudara laki-lakinya sering bertanya apakah ibu mereka terbangun sepanjang malam untuk memastikan dirinya sendiri tidak mendengkur.

Setelah meletakkan sarsaparilla miliknya di tepi serambi, David memasang tutup botol sarsaparilla Daphne dan memasukkan botol yang isinya tinggal setengah itu ke dalam kantong di bagian dalam duster-nya, memiringkan botol itu agar isinya tidak tumpah. Setelah mengangkat Daphne, ia berjalan ke toko pakaian, yang jaraknya hanya beberapa meter. Dengan menggeser badan Daphne, ia berhasil membuka pintu toko, masuk ke dalam, dan mendorongnya kembali hingga tertutup. Segera saja Brianna muncul, matanya lebar, ekspresi wajahnya mencela. David mendapat firasat kalau Brianna takut kepadanya ketika ia melewati wanita itu ke dalam ruang kerja kecil tersebut. Kenapa? Ia tahu hidup bisa terasa berat bagi seorang wanita yang tak memiliki suami. Apakah Brianna pernah diperlakukan dengan buruk oleh beberapa lelaki di kota ini? Walaupun glory Ridge terlihat kumuh, sepertinya penduduknya cukup takut akan Tuhan. Meskipun begitu, David tahu kalau lingkungan yang terlihat baik seringkali menyembunyikan kebusukan.

“Di mana tempat tidur siangnya?” tanya David.

Brianna membuka sebuah peti untuk menarik selimut yang terlipat, yang kemudian dihamparkannya di atas lantai di samping kursinya. Sekali lagi, David menyadari betapa kakunya tubuh  Brianna ketika membungkuk. Itu sangat aneh. Ia pernah melihat seseorang yang bergerak seperti itu, tapi tak bisa ingat siapa orang itu. Ia berlutut dengan hati-hati dan meletakkan Daphne di atas selimut. Anak itu bergumam dalam tidurnya. David melihat kalau satu tangan anak itu tersembunyi di dalam saku mantelnya, tak diragukan lagi untuk melindungi koin keberuntungan mereka. David tak bisa menahan keinginannya untuk membelai rambut ikal emas Daphne yang berantakan.

Ketika menegakkan badan, David menarik botol sarsaparilla dari sakunya dan meletakkannya di birai jendela. Brianna tersentak akibat gerakan tangan itu. David memandang Brianna cukup lama, mencari-cari jawabannya di mata wanita itu. Ia tidak pernah memukul wanita seumur hidupnya, dan ia sangat terganggu karena wanita yang satu ini berpikir ia sanggup melakukan hal itu.

Ketika meninggalkan ruang kerja Brianna yang sempit, David melirik ke dalam peti yang terbuka, melihat berbagai macam alat menjahit dan kain, tapi yang menangkap perhatiannya adalah setumpuk novel picisan, di mana novel yang berada paling atas adalah tentang alec Keegan, sang gungslinger terkenal, yang ceritanya terlalu dilebih-lebihkan. Apakah yang akan dikatakan Brianna kalau ia memberitahu wanita itu bahwa Ace adalah kakak tirinya? Bukan langkah yang bagus, putusnya dengan cepat. Entah bagaimana ia merasa hal itu hanya akan membuat Brianna meragukan strata sosialnya, dan bisa dipastikan hal itu tidak akan meyakinkan Brianna bahwa ia tidak berbahaya.

Pandangan mereka bertemu, dan David berusaha untuk mengabaikan lelukan manis pipi Brianna serta bayangan ketakutan di mata hijaunya. David menyesal karena telah membuat wanita itu khawatir, tapi ia tidak melihat ada pilihan lain kecuali untuk melanjutkan apa yang sudah dimulainya. “Aku akan pergi ke kantor marshal untuk mengatur pertemuan kita,” katanya.

“Untuk pagi hari,” Brianna menambahkan.

“Seperti yang kubilang, aku berharap bisa menyelesaikan masalah kita malam ini. Semakin cepat selesai, semakin baik.”

Brianna mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, “Tidak ada yang perlu diselesaikan, Sir.”

David menaksakan senyuman. “Simpan tenagamu untuk sang marshal dan hakim, Honey. Sia-sia saja kau mengatakan itu padaku.”

David sempat mengira ia melihat asap keluar dari telinga Brianna. Ia pun berputar dan pergi.


***


Setelah David Paxton pergi, Brianna berputar-putar di tempat kerjanya. Pria itu adalah pria paling kurang ajar yang pernah ditemuinya. Cara berdiri yang arogan, dengan pinggul yang ramping dimiringkan serta lutut yang agak dibengkokkan, tanda-tanda pria itu menganggap dirinya lebih hebat daripada orang lain, dan ketika mata biru menakjubkan David Paxton bertemu dengan matanya sendiri, Brianna mendapat perasaan tidak nyaman kalau pria itu melihat jauh lebih banyak daripada yang ingin diungkapkannya. David Paxton juga punya cara tersenyum yang khas –dengan gerakan bibir yang agak merendahkan– yang membuatnya ingin menampar wajah tampan itu.

Tampan? Brianna hampir tak bisa percaya kalau ia telah membiarkan pikirannya berkelana ke situ, tapi itu adalah fakta yang tak bisa disangkalnya. Wajah yang bagai dipahat, yang coklat akibat sinar matahari, sangat tampan, dengan daya tarik maskulin yang tak bisa diragukan lagi membuat jantung para wanita berdetak lebih cepat. Bukan jantungku, Brianna meyakinkan dirinya sendiri. Well, hanya ketika ia berduaan saja dengan pria itu di dalam ruangan yang kecil. Lalu jantungnya akan berdetak tak terkendali, bukan karena ia merasa pria itu menarik, tapi karena mengintimidasi. David Paxton menjulang tinggi di atasnya, dan bahu pria itu yang lebar membuatnya merasa seperti kurcaci. Walau belum pernah melihat David Paxton tanpa duster, Brianna tahu tubuh bagian atas pria itu pasti sama berototnya dengan tungkai pria itu yang panjang dan ramping. Kalau David Paxton menggunakan kakuatan itu untuk melawannya, ia tidak akan berdaya mempertahankan dirinya sendiri.

Pikiran tersebut membuat paru-paru Brianna menyentak. Ia tidak akan pernah benar-benar sendirian saja dengan David Paxton, jadi rasanya konyol untuk mencemaskan hal itu. Selama di kota ini, David Paxton tidak akan pernah berani menyentuhnya. Bantuan ada di kiri kanannya.

Guna mendapatkan ketenangan, Brianna berjalan untuk menutup petinya, sebuah kebiasaan yang telah ditanamkan oleh bosnya, yang bersikeras kalau ruangan kecil itu harus selalu terlihat rapi. Ketika menurunkan tutup peti, matanya terpaku pada buku-buku yang dipinjamkan oleh para wanita di kota itu. Ia menyimpannya di sana agar bisa mengembalikannya ketika para wanita itu datang ke toko. Sesuatu yang dingin terasa mencengkram perutnya. Brianna berlutut, membolak-balik novel-novel tersebut, jantungnya berhenti. Buku berjudul Perdagangan budak di Meksiko, yang diikuti sub judul, Anak Kecil dan Wanita Muda, Diculik Demi Uang.

Brianna telah membaca buku itu lebih dari satu kali. Seringnya pada malam hari, ketika ia terlalu bersemangat akibat bekerja dengan terburu-buru di restoran sehingga ia tidak bisa tidur. Menenggelamkan dirinya dalam sebuah cerita membuatnya mengantuk. Biasanya ia membaca novel picisan yang tidak terlalu panjang, dengan tujuan untuk menghibur dan membuatnya bergairah. Tapi buku yang satu ini berbeda. Bukunya berisi cerita heroik para pahlawan daerah Barat, buku itu memuat kisah nyata yang menanamkan kengerian ke dalam hati setiap wanita yang berdiam di wilayah Barat. Kisah itu bercerita tentang pria-pria mengerikan yang akan melakukan apa pun untuk menculik seorang gadis kecil atau perempuan muda yang bisa dijual mahal melewati perbatasan. Mereka dibawa melintasi Rio Grande dan dijual ke penawar tertinggi, setelah itu mereka menjadi mainan para pria kaya. Apa yang benar-benar membuat Brianna takut adalah si pengarang berulang kali memberikan peringatan kalau anak berambut pirang memiliki harga paling mahal, dan gadis kecil seumuran Daphne akan sangat dihargai.

Tangan Brianna gemetar ketika membuka buku itu. Pandangannya berkabut sehingga ia tidak bisa membaca tulisannya. Tidak perlu. Ia ingat sebagian besar tulisannya Oh, Tuhan. Sejak detik pertama ia memandang David Paxton, ia telah menetapkan pria itu sebagai seorang bajingan. David Paxton tidak terlihat ataupun bersikap seperti penegak hukum mana pun yang pernah ditemuinya. Bagaimana kalau pria itu seorang pelaku kriminal? Dalam banyak novel picisan, disebutkan tentang para lelaki tak berhati nurani yang berdiam di Deadwood, Dakota Selatan, kota paling jahat dari semua kota. Kota tanpa hukum itu adalah tempat berkumpulnya para bajingan, banyak dari mereka bersembunyi dari hukum untuk menghindari ganjaran atas kesalahan mereka. Beredar rumor yang mengatakan bahwa setiap hari terjadi pembunuhan di Deadwood, dan para penghuninya sering keluar dari kota itu untuk meneror penduduk di Montana dan Colorado.

Brianna membanting buku itu hingga tertutup, bertekad untuk tidak membiarkan imajinasinya berkembang terlalu liar. Namun, ketika kecurigaan itu sudah merasuk ke dalam benaknya, ia tidak bisa mendorongnya keluar lagi. Siapa David Paxton? Apakah itu nama asli? Bagaimana kalau pria itu mendapatkan semua suratnya dan surat Daphne dengan cara yang tidak benar? Sejak awal, Brianna berdoa semoga orang yang dikiriminya surat itu tidak nyata. Ia membayangkan tukang pos di Denver menyimpan surat-surat itu untuk sementara waktu, kemudian melemparkannya ke dalam tumpukan surat yang akan dibakar atau dibuang ke dalam tong sampah untuk di bawa ke tempat pembuangan sampah lokal. Apa yang tidak dipertimbangkannya adalah surat-surat itu mungkin saja jatuh ke tangan yang salah.

Sekarang, tiba-tiba saja, sikap David Paxton yang gila sama sekali tidak terlihat gila. Gadis kecil berambut pirang seperti Daphne, dengan kulit yang sangat putih dan mata biru, mungkin bisa membuat pria itu mendapatkan seribu dolar di Meksiko. Majikan Brianna, Ricker, selalu mendiktekan isi suratnya. Apakah mantan majikannya itu pernah membuatnya memberitahu David kalau putri kecilnya adalah anak berambut pirang yang sangat cantik? Brianna sudah menulis banyak sekali surat sehingga ia tidak ingat lagi. Sejak awal Ricker sudah tak sabar ingin menyingkirkan Daphne. Pria itu berharap bisa mempekerjakan wanita yang mau bekerja sama, tidak hanya untuk menjaga rumahnya tetap bersih dan mengajari anak-anaknya, tapi juga untuk menghangatkan tempat tidurnya. Untuk urusan yang satu itu, Ricker sangat kecewa pada Brianna. Selama satu bulan sejak kedatangannya di Glory Ridge, pria itu mulai mendesak agar ia menulis surat setiap minggu kepada suaminya yang bekerja di Denver agar mau datang. Jadi rasanya masuk akal kalau Ricker menyuruhnya untuk menuliskan secara spesifik tentang Daphne; umur, warna rambut, serta kemajuan anak itu dalam sekolah.

Kalau benar, diskripsi fisik Daphne pasti sudah cukup untuk membuat para pedagang budak mana pun berliur memikirkan keuntungan yang akan diterimanya kalau ia berhasil mendapatkan Daphne.

Brianna melemparkan kembali buku itu ke dalam peti dan menghadapi masalah yang pelik. Peristiwa hari ini bukan suatu kebetulan. Kedatangan bajingan yang mengaku David Paxton itu bertujuan buruk. Entah bagaimana pria itu berhasil mendapatkan surat-suratnya, dan sekarang bermaksud membawa Daphne serta menjual anak itu ke perbatasan sehingga bajingan itu bisa bersantai menikmati teqila dan mencari pelacur untuk dirinya sendiri.


***

“Sial!”

Brianna memaki dengan suara pelan agar tidak membangunkan Daphne. Ketika mengangkat gaun Mrs. Pauder, tangannya gemetar, dan dengan cemas ia memandang jahitan di bawah ketiak kiri baju itu, yang baru saja disatukannya hingga ke pinggang , namun dengan sisi yang salah sehingga bagian dalam kain itu terlihat. Apa yang dipikirkannya? Terkutuk penjahat itu karena telah membuat pikirannya kacau. Sekarang ia harus berhati-hati membuka jahitannya, bukan pekerjaan yang mudah dengan senja yang akan segera tiba dan lentera sebagai satu-satunya sumber cahaya yang dimilikinya.

Tepat pada saat itu, Brianna mendengar suara ketukan di pintu depan toko, yang baru saja dikuncinya beberapa saat yang lalu ketika jarum pendek jam menunjuk ke angka lima. Ia mengerang dan menaruh gaun itu ke samping. Ketika melewati gorden pemisah ruangan, ia melihat musuh barunya melalui kaca dan langkahnya langsung terhenti. David Paxton, atau siapa pun nama asli pria itu, sedang membungkuk untuk mengintip melalui tanda “Tutup” dan membengkokkan buku jarinya lagi untuk mengetuk. Brianna mempertimbangkan untuk mengabaikan panggilan tersebut, tapi ia sudah melihat kilatan tekad di mata pria itu tadi dan tahu bahwa pria itu tidak akan ragu-ragu untuk membuat keributan kalau ia sampai mengabaikannya. Ia tidak mau ribut lagi dengan majikannya hari ini. Sudah jelas kalau ia

Perut Brianna terasa seakan baru menelan makanan basi, tapi ia memaksa kakinya untuk bergerak. Ia tidak akan dengan sengaja menghilang, dan suka atau tidak, ia harus menghadapi pria itu. Ketika mendekati kaca depan, ia menilai David Paxton. Dada pria itu terlihat paling tidak satu meter lebarnya, sebuah ilusi yang Brianna yakin terbentuk karena tas pelana yang digendong David Paxton di salah satu bahunya. Brianna melepaskan selot yang mengunci pintu dengan jari-jari yang gemetar, lalu membuka pintu untuk mengintip. David Paxton menegakkan badan, memaksa Brianna untuk mendongakkan kepalanya agar tidak memutus kontak mata mereka. Wajah David Paxton yang keras tersembunyi oleh bayangan yang terbentuk dari topi kulitnya. Wangi bay rum yang samar-samar menguar ke hidung Brianna melalui udara yang dingin.

“Hakim dan marshal telah setuju untuk menemui kita sepuluh menit lagi di kantor marshal. Aku tadinya akan memberitahumu lebih cepat, tapi aku harus mengambil tasku.”

Brianna mencengkram kenop pintu. “Aku sudah memberitahumu, aku tidak bisa meminta izin lagi hari ini. Apa lubang telingamu tersumbat kapas?”

Gigi David yang putih terlihat ketika ia menyeringai lambat. David menyenderkan lengan kanannya ke bingkai pintu, memaksa daun pintu itu untuk terbuka lebih lebar terlepas dari usaha Brianna untuk menahannya dengan berat badannya. “Tidak ada kapas di kupingku, tapi aku punya uang di kantongku. Aku akan mengganti gajimu yang dipotong.”

“Aku tidak mau uangmu, Mr. Paxton, kalau itu benar namamu! Aku sama sekali tidak ingin berurusan denganmu, titik!”

David tidak bergerak, membuat Brianna tidak mungkin untuk menutup pintu itu. “Kau seharusnya memutuskan itu tujuh tahun yang lalu, Darlin’.”

Kemarahan menyebar ke sekujur tubuh Brianna dengan begitu dahsyatnya sampai-sampai ia merasakan panas di tenggorokannya. Ia ingin sekali menginjak kaki David Paxton untuk membuat pria itu mundur dari pintu. “Aku tidak bisa pergi sekarang. Daphne akan melakukan pertunjukannya di gereja malam ini. Saat dia bangun, aku harus membantunya bersiap-siap dan memastikan dia sampai di sana tepat waktu.”

“Pertemuan ini tidak akan lama... mungkin hanya tiga puluh menit, satu jam paling lama... dan aku bisa membantu Daphne bersiap-siap untuk pertunjukannya.”

Brianna mendelik. “Acara dimulai jam tujuh, Sir! Sekarang sudah hampir jam lima.”

“Kubilang aku akan membantunya bersiap-siap.”

“Tidak!” seru Brianna. “Aku tidak akan mengizinkanmu mengganggu jadwal pekerjaanku sampai dua kali, dan kau tidak akan menyentuh putriku lagi, dasar kau bajingan rendahan.”

David benar-benar terkekeh. “Bajingan rendahan? Wah, wah, strataku sudah naik sekarang.”

Sejak kematian Moira, Brianna telah berjuang untuk menjadi jiplakan saudaranya itu –manis, penuh sopan santun, dan tidak gampang marah, seorang lady kelas atas yang cocok untuk menjadi ibu Daphne. Tapi saat ini, melihat seringai David Paxton, ia ingin membuang semua itu dan mengeluarkan sifat asli-nya, yang meledak-ledak dan khas Irlandia sampai ke tulangnya. David Paxton pasti akan kaget setengah mati kalau ia menusuk mata pria itu dengan sekuat tenaga lalu membanting pintu dan menjepit kaki bajingan itu.

Tapi, tidak. Ia tidak bisa membiarkan orang ini menghadiri pertemuan di kantor marshal sendirian. Karena, kalau begitu kejadiannya, hakin dan marshal hanya akan mendengar cerita dari sisi penjahat itu saja.

Brianna mundur dari pintu. “Baiklah. Terserah kau saja. Aku akan memberitahu Miss Marthin tentang hal ini dan mengambil syalku.”

David masuk ke dalam toko dan menutup pintu di belakangnya dengan sangat pelan sehingga lonceng di pintu tidak berbunyi sama sekali. “Sementara kau melakukan itu, aku akan mengambil putri kita.”

“Putriku.”

Menyeringai lagi, David mencantolkan satu ibu jari ke bawah tali tas di bahunya dan mendorong topinya ke atas dengan tangannya yang satu lagi. Brianna tidak kaget kalau David tidak mau melepaskan benda kotor penuh keringat itu. Laki-laki semacam ini sama sekali tidak tahu bagaimana membawa diri mereka di dalam masyarakat atau bagaimana caranya menunjukkan rasa hormat kepada seorang wanita. Para suster telah memperingatkannya tentang jenis laki-laki seperti ini. Penjahat ini bisa tersenyum sesuka hati. Ia tidak akan tertipu.

“Tidak perlu mengganggu tidur siangnya,” cetus Brianna. “Toko sudah tutup. Aku bisa mengunci pintu ketika kita pergi. Sebaiknya kita membiarkannya tidur.”

David melewati Brianna seakan-akan wanita itu tidak mengatakan apa pun. “Aku tidak akan meninggalkan anakku dengan wanita cerewet berlidah tajam itu. Kalau aku berhati-hati, dia tidak akan terbangun. Ketika kita sampai di kantor marshal, aku akan membaringkannya di bangku yang ada di samping pintu. Dia akan cukup  nyaman di sana.”

Brianna ingin menyerang dari belakang ketika David Paxton membungkuk di atas putrinya. Sebaliknya, ia berpegang pada pengendalian dirinya yang sudah di ambang batas, meyakinkan dirinya kalau sang hakim dan marshal akan lebih memercayai ucapannya ketimbang kata-kata pria ini, dan berjalan ke pintu apartemen Abigail. Dengan ketukan singkat, ia memanggil majikannya, menjelaskan sesingkat mungkin kalau ia akan pergi selama setengah jam, lalu mendegarkan wanita itu mengoceh mengenai permintaan izinnya yang kedua kalinya hari itu.

“Aku mengharapkan hasil dari pekerjaanmu, Mrs. Paxton, dan hasil kerjamu sdikit sekali hari ini.”

Brianna baru akan membuka mulut untuk membela diri, kemudian ingat kesalahan yang dibuatnya pada baju Mrs. Pauder. Betul sekali kalau hanya sedikit yang dihasilkannya. “Hari ini memang agak berbeda daripada biasanya. Aku akan bekerja lebih baik besok.”

“akan kupegang kata-katamu itu,” bentak Abigail. “Kalau tidak, aku akan mempertimbangkan pelamar lain untuk pekerjaan ini, dan kau akan diganti.”



Synopsis

1 komentar: