Entah bagaimana, Brianna berhasil kembali ke toko sambil
terhuyung, mencengkram kenop pintu, dan hampir saja terjatuh ke dalam.
Tangannya gemetar keras sekali sehingga syalnya meluncur turun dari bahunya dan
membentuk gumpalan hitam di lantai. Ia terjatuh ke kursi menjahitnya, terlalu bingung
untuk mencemaskan apakah Abigail mendengar kepulangannya dan menghitung lamanya
ia keluar. Untuk saat ini, dibayar sesuai dengan jumlah jam kerjanya adalah hal
terakhir yang dikhawatirkan Brianna.
Oh, Tuhan... oh, Tuhan.
David Paxton berbahaya. Ketika berada di gang tadi, ia mengacaukan segalanya,
berusaha untuk bertahan dengan cerita awalnya bahkan setelah pria itu mulai
mementahkan klaimnya. Selama lebih dari enam tahun, tidak ada yang
mempertanyakan ceritanya, apalagi mencari tahu di mana lokasi peternakan suami
karangannya. Memang apa bedanya? Bagi orang normal, itu adalah detail kecil dan
sama sekali tidak penting, tapi untuk alasan-alasan yang tak bisa dipahaminya,
David Paxton sepertinya bermaksud untuk mematahkan semua yang dikatakannya. Apakah
pria itu bodoh? Kalau tidak, bagaimana mungkin David Paxton bisa percaya kalau
ia memiliki anak dengan wanita yang tak pernah ditemuinya?
Sebenarnya, Brianna tidak pernah berhubungan dengan siapa
pun. Demi Bunda Maria. Bagaimana
kalau itu ketahuan –bahwa ia bukan
ibu Daphne yang sebenarnya, tapi hanya bibi anak itu? Maka ia mungkin tidak
akan punya hak yang sah secara hukum terhadap gadis kecilnya itu.
Perut Brianna mulas, dan ia menelan kembali rasa mual itu.
David Paxton bahkan sudah mengatakan tidak akan meninggalkan Glory Ridge tanpa
Daphne. Apakah ia bersikap berlebihan bila menanggapi itu sebagai sebuah
ancaman? David Paxton tidak akan bisa
mengambil Daphne! Ia adalah ibu anak itu, dalam segala cara, kecuali secara
biologis, dan orang-orang yang mengetahui kebenaran tersebut berada di Boston.
Pria itu adalah orang asing yang muncul entah dari mana. Pasti baik sang marshal ataupun hakim tidak akan
memercayai klaim David Paxton yang keterlaluan itu. Misalnya, cerita tentang
tanda lahir. Noda di leher Daphne memang sudah ada sejak lahir, tapi warnanya
tidak cukup gelap untuk menjadi tanda lahir. Itu hanya noda biasa. Banyak orang
yang lahir dengan tanda serupa, dan seiring berjalannya waktu, tanda itu akan
memudar.
Brianna menekan jari-jarinya yang gemetar ke matanya dengan
kuat sehingga ia melihat titik-titik hitam. Setelah beberapa tarikan napas,
denyut jantungnya melambat, dan ia merasakah keringat akibat kepanikannya tadi
telah mengering di kulitnya. Ia harus tetap tenang kalau ia ingin menemukan jalan
keluar dari kekacauan ini.
Brianna bangkit untuk menyampirkan syal miliknya ke atas
peti yang menjadi tempat penyimpanan selimut Daphne, kain sisa, dan peralatan
menjahit. Tangannya, yang masih dingin akibat udara di luar, mati rasa. Ia
mulai berjalan mondar mandir di dalam ruangan kecil itu sambil menggosokkan
telapak tangannya ke lengannya dengan cepat. Wangi bacon panas dan bawang yang ditumis tercium dari tempat tinggal
Abigail. Aroma itu membuat perut Brianna berbunyi. Bagaimana bisa wanita pemarah
itu tetap sekurus pensil padahal begitu sering makan? Secepat pertanyaan itu
memasuki benaknya, secepat itu juga dilupakannya. Ia perlu berkonsentrasi pada
hal yang jauh lebih penting. Kalau David Paxton mengatur pertemuan dengan hakim
dan marshal, maka ceritanya harus
kuat, tidak membiarkan pertanyaan-pertanyaan atau tuduhan pria itu membuatnya
bingung. Ia benar-benar ibu Daphne.
Tidak ada yang bisa membantah hal itu. Iya, kan?
Pikiran yang mencemaskan itu muncul di benaknya. David
Paxton tidak tampak seperti penegak hukum lain yang pernah dilihatnya, tapi
pria itu memakai lencana. Bagaimana kalau David Paxton betul-betul seorang marshal? Tidakkah orang itu akan punya
cara untuk mengecek ceritanya? Seharusnya ia tidak memberitahu David Paxton
kalau dulu ia dib uang ketika masih bayi. Tidak banyak panti asuhan di Boston.
Kalau David Paxton mulai menggali informasi dan memiliki uang yang diperlukan
untuk menyewa penyelidik di Timur, pada akhirnya pria itu akan menghubungi
institusi yang tepat, dan kebenaran tentang ibu Daphne akan terbongkar.
Penemuan seperti itu akan meniadakan klaim David Paxton sebagai ayah Daphne,
tapi juga bisa mengubah status dirinya terhadap anak itu. Akankah pengadilan
memberinya hak untuk membesarkan keponakannya ketika ia sendiri tidak punya
uang? Dan, oh Tuhan, kalau pihak berwenang mengambil Daphne, apa yang akan
terjadi pada anak itu? Sejauh yang Brianna tahu, hanya ada satu panti asuhan
yang cukup baik di Denver, dan ia juga tidak bisa memastikan kualitasnya.
Brianna berputar untuk menatap pakaian Mrs. Pauder yang
teronggok. Hentikan, perintahnya
kepada dirinya sendiri. Kau membuat
dirimu sendiri bingung. Itu tidak akan membantu kau harus menjaga kepalamu
tetap jernih. Tenanglah. David Paxton tidak memiliki tampang orang kaya. Dia
tidak akan punya uang yang cukup untuk menyewa penyelidik, dan kalaupun punya,
proses itu pasti akan memakan waktu. Kau bisa lari dengan Daphne, kalau memang
harus melakukannya. Kau masih menyimpan sisa uang pakaian anak itu, yang
seharusnya cukup untuk menyewa kuda dan pergi ke stasitun kereta api terdekat.
Dari sana kau bisa membeli tiket untuk pergi ke kota besar, mengganti namamu,
dan tak ada yang akan menemukanmu.
Brianna merasa lebih baik dengan rencana yang sudah setengah
terbentuk di kepalanya. Ia mendengar Abigail mondar-mandiri di kediaman wanita
itu. Peringatan tersebut membuatnya melompat ke atas kursi kerjanya. Tepat
ketika si pemilik toko itu membuka gorden yang menutupi ruang kerjanya, Brianna
sudah terlihat sedang bekerja keras.
“Jam kerjamu akan dipotong satu jam,” ujar Abigail. “Kau
pergi lebih lama dari itu, tapi aku sudah memutuskan untuk bermurah hati.”
Brianna pergi keluar tak lebih dari dua puluh menit, tapi ia
sudah belajar kalau melawan bosnya hanya akan membuat masalah menjadi lebih
buruk. “Terima kasih,” ucapnya dengan terpaksa. “Aku membutuhkan setiap jam
yang bisa aku dapatkan.”
“Siapa laki-laki itu?”
Brianna ingin berbohong, tapi di kota kecil seperti Glory
Ridge, beritanya mungkin sudah tersebar. “Namanya David Paxton.”
Abigail menarik napasnya dengan tajam. “Suamimu?”
Bagian belakang mata Brianna seperti tertusuk pisau. Otaknya
kusut, ia tidak bisa berpikir bagaimana menjawab pertanyaan Abigail. Laki-laki
itu bukan suamiku. Dia hanya memiliki
nama yang sama. Itu hanya akan menimbulkan pertanyaan yang lain yang tak
siap untuk dijawabnya. Pria itu meyakini
dirinya sebagai ayah Daphne, tapi dia bukan ayah Daphne. Sekali lagi,
jawaban itu akan mengusik rasa penasaran Abigail. Pendeknya, Brianna tidak bisa
berpikir bagaimana akan menjawab Abigail, tapi ia tak punya pilihan selain
mengatakan sesuatu. Ia memutuskan, “Bukan, dia bukan suamiku.”
“Tapi itu nama suamimu.”
“Ya, itu memang nama suamiku. Kau benar. Tapi dia bukan
David Paxton yang sama.”
Abigail mencium gosip hangat dan memasuki ruang kerja
Brianna. “Aneh sekali. Apa yang sedang dilakukannya di sini? Apa yang
diinginkannya?”
Keputusasaan membuat Brianna berani. Matanya bertemu dengan
mata Abigail yang seperti mata burung. “Miss Martin, kau adalah bosku, dan aku
menghormatimu, tapi bukan berarti kau berhak mengusik urusan pribadiku.”
Pipi kurus Abigail memerah karena marah. “Well, aku tidak pernah melakukannya!
Jangan lupa posisimu, Madam, atau kau akan mendapati dirimu tidak punya
pekerjaan. Bukan kau satu-satunya wanita di Glory Ridge yang ahli dengan jarum
dan benang.”
Brianna sadar kalau sekarang adalah saat-saat yang sulit
bagi penduduk kota itu dan banyak orang lain yang melamar untuk menempati
posisinya. Tapi, para pelamar lain itu tidak memiliki kemampuan untuk mendesain
gaun yang indah dan berkualitas seperti yang dimilikinya, dan Abigail tidak
bodoh. “Itu benar,” ia berani menjawab wanita itu. “Apakah ada orang lain yang
terpikirkan olehmu?”
Bibir Abigail menipis dan ia berputar untuk meninggalkan
ruangan sempit tersebut. Brianna tahu ia baru saja mengalahkan mejikannya, tapi
ia terlalu tegang untuk merasa puas. Orang lain pasti akan mengajukan
pertanyaan yang sama dengan yang baru saja dilemparkan Abigail. Bagaimana ia
akan menjawab mereka? Oh, Tuhan... oh, Tuhan, kenapa pria itu ada di
sini? Aku memohon keajaiban padamu, dan Kau malah mengirimkan bencana. Ia
telah bekerja keras membangun kehidupan bagi dirinya dan Daphne di kota kecil
yang dihuni oleh orang-orang berpikiran sempit dan suka menghakimi ini, yang
siap untuk mengucilkan siapa pun yang terkena skandal, bahkan ketika baru
muncul tanda-tandanya saja.
David Paxton telah membawa lebih dari sekadar pertanda
kemari.
***
David duduk di tepi serambi kayu di luar restoran dengan
Daphne duduk di sampingnya. Anak itu telah pulang ke kamar sewaan mereka untuk
mengambil mantel baru indah yang terbuat dari kain wol biru untuk menghangatkan
tubuhnya, tapi ia mengeluarkan tangannya dari sarung tangan mungil yang serasi
dengan mantelnya untuk meminum sarsaparilla-nya.
Ketika angin yang bertiup menerbangkan debu di jalan, David mempertanyakan
keputusannya mengizinkan anak itu mengonsumsi minuman dingin. Dengan setiap
sesapan, Daphne menggigil.
Yah, ia masih baru dalam urusan menjadi ayah ini. Ia tadinya
ingin Daphne menikmati minuman itu di dalam restoran, tapi anak itu merasa
tidak nyaman di lingkungan yang formal dan meminta agar mereka keluar saja.
Apakah anak ini belum pernah makan di restoran? Mungkin belum pernah. Sambil
mendesah, David mengangkat satu bagian duster-nya
untuk disampirkan ke bahu Daphne sebelum menyesap menumannya sendiri, berharap
itu adalah bir, dan bukannya soda. Daphne tersenyum lebar, menampakkan lesung
pipit Dory Paxton, sementara cairan gelap itu membentuk kumis di sekeliling
bibirnya.
“Terima kasih, Papa. Ini sedikit dingin?”
“Hanya sedikit.” David menarik Daphne lebih dekat ke
sampingnya, menyukai bagaimana tubuh yang ringan itu menempel ke badannya. Ia
memang baru dalam peran ini, tapi ia suka menjadi ayah. “Apa sarsaparilla-nya enak?”
“Sangat enak.” Daphne menyesapnya lagi lalu menurunkan botol
yang isinya tinggal setengah itu ke lututnya dan bersender semakin dekat ke
kehangatan tubuh David. Bibirnya tertarik akibat menahan kuapan, yang akhirnya
memenangkan perang, dan ia membuka mulutnya lebar-lebar. “Hmm,” katanya,
mengistirahatkan kepalanya ke tubuh David. “Aku suka kau ada di sini, Papa.”
“Kenapa, karena aku bantal yang nyaman?” goda David.
Daphne mengikik dan melepaskan satu tangannya dari botol
untuk menggosok matanya.
“Apa kau mengantuk, Pumpkin?”
tanya David.
“Hanya sedikit.”
“Biasanya kau tidur siang setelah sekolah?”
Daphne menggerakkan kepalanya naik turun. “Di kasur yang
ditaruh di samping kursi Mama. Setelah itu, dia akan memberiku makan malam, dan
aku mengerjakan PR atau bermain dengan tenang sampai waktunya tidur.”
“Kemudian kalian akan kembali ke kamar sewaan itu?”
“Tidak, aku tidur di toko sampai Mama membersihkan restoran.
Lalu dia kembali dan membawaku pulang ke kamar kami.”
“Ah.” David penasaran kapan Brianna beristirahat. Ia menarik
arloji sakunya. Sekarang jam setengah empat, dan ia menebak pasti sekarang jam
tidur siang Daphne yang biasanya sudah lewat. “Kapan ibumu selesai di
restoran?”
Daphne menguap lagi. “Aku tidak tahu,” katanya dengan mengantuk.
“Aku selalu sudah tidur ketika dia membawaku pulang.”
David memang sudah yakin kalau Brianna bekerja tanpa pernah
berhenti. Seorang wanita cantik seperti Brianna berhak mendapatkan yang lebih
baik. Wanita itu memiliki mulut paling menggoda yang pernah dilihatnya. Pikiran yang tidak pantas. Membiarkan
dirinya untuk merasa tertarik pada Brianna mungkin akan mengganggu ketetapan
hatinya untuk menyelesaikan masalah ini, dan demi Daphne, ia harus tetap fokus,
bukan pada ibu Daphne tapi pada kemaslahatan anak itu.
David memandang kantor marshal
di seberang jalan, belum pernah ia merasakan keinginan sebesar ini untuk
mengatur pertemuan dengan penegak hukum dan hakim. Brianna mungkin akan menolak
dan melawannya, tapi pada akhirnya, kondisi Brianna akan lebih baik kalau ia
yang membiayai kehidupan wanita itu.
Sambil menundukkan kepala, David berbisik pada Daphne,
“Kurasa sisa menumanmu tidak akan kemana-mana. Sekarang waktunya bagimu untuk
masuk ke dalam dan tidur siang.”
Daphne menarik mundur badannya untuk memandang David dengan
ekspresi khawatir. “Kau mungkin saja sudah hilang saat aku bangun. Maukah kau
datang ke pertunjukan May Day-ku malam ini, Papa? Hope Blinstrub menghafalkan
bagiannya dengan sempurna, dan dia selalu tertawa saat aku membuat kesalahan.
Aku tidak akan setakut itu kalau kau di sana. Mama tidak bisa datang karena dia
harus bekerja.”
David benci mendengar bos Brianna –atau kondisi keuangan
Brianna– akan mencegah wanita itu untuk menghadiri pertunjukan Daphne. Membujuk
Miss Martin akan menjadi sebuah
tantangan, tapi ia merasa wanita itu sangat haus perhatian laki-laki, jadi
membodohi bos Brianna itu mungkin tidak akan sulit.
“Aku tidak akan melewatkannya untuk apa pun,” David
meyakinkan Brianna. “Sementara untuk kekhawatiranmu aku akan pergi ketika kau
tidur... tidak akan, Little Lady.
Mulai sekarang, kau menempel denganku, sekuat kutu di leher anjing pemburu,
ingat?”
Daphne sepertinya masih belum yakin. Berpikir dengan cepat,
David mengambil koin di saku kemejanya. “Begini saja. Sementara kau tidur siang,
kau jaga koin keberuntungan kita. Dengan begitu, kau bisa ekstra yakin kalau
aku tidak akan lari selama kau tidur.”
Daphne menerima koin tersebut dan memasukkannya ke saku
mantelnya. “Kau tidak akan pernah pergi
tanpa koin kita, karena koin itu ajaib.”
“Kau betul sekali. Koin keberuntungan kita hampir sama
bagusnya dengan memiliki jin di dalam botol.”
“Apa?”
David menceritakan dongeng singkat tentang seorang pria yang
mempunyai jin yang terperangkap di dalam botol. Cerita itu bergulir dan tak
lama kemudian Daphne terkulai di sampingnya. Ketika ia mendengar suara
dengkuran pelan, sekali lagi anak itu mengingatkannya pada ibunya, yang
bersumpah demi langit dan bumi tidak pernah mendengkur. Hal itu kemudian
menjadi lelucon di keluarga mereka, di mana ia dan semua saudara laki-lakinya
sering bertanya apakah ibu mereka terbangun sepanjang malam untuk memastikan
dirinya sendiri tidak mendengkur.
Setelah meletakkan sarsaparilla
miliknya di tepi serambi, David memasang tutup botol sarsaparilla Daphne dan memasukkan botol yang isinya tinggal
setengah itu ke dalam kantong di bagian dalam duster-nya, memiringkan botol itu agar isinya tidak tumpah. Setelah
mengangkat Daphne, ia berjalan ke toko pakaian, yang jaraknya hanya beberapa
meter. Dengan menggeser badan Daphne, ia berhasil membuka pintu toko, masuk ke
dalam, dan mendorongnya kembali hingga tertutup. Segera saja Brianna muncul,
matanya lebar, ekspresi wajahnya mencela. David mendapat firasat kalau Brianna
takut kepadanya ketika ia melewati wanita itu ke dalam ruang kerja kecil
tersebut. Kenapa? Ia tahu hidup bisa
terasa berat bagi seorang wanita yang tak memiliki suami. Apakah Brianna pernah
diperlakukan dengan buruk oleh beberapa lelaki di kota ini? Walaupun glory
Ridge terlihat kumuh, sepertinya penduduknya cukup takut akan Tuhan. Meskipun
begitu, David tahu kalau lingkungan yang terlihat baik seringkali
menyembunyikan kebusukan.
“Di mana tempat tidur siangnya?” tanya David.
Brianna membuka sebuah peti untuk menarik selimut yang
terlipat, yang kemudian dihamparkannya di atas lantai di samping kursinya.
Sekali lagi, David menyadari betapa kakunya tubuh Brianna ketika membungkuk. Itu sangat aneh.
Ia pernah melihat seseorang yang bergerak seperti itu, tapi tak bisa ingat
siapa orang itu. Ia berlutut dengan hati-hati dan meletakkan Daphne di atas
selimut. Anak itu bergumam dalam tidurnya. David melihat kalau satu tangan anak
itu tersembunyi di dalam saku mantelnya, tak diragukan lagi untuk melindungi
koin keberuntungan mereka. David tak bisa menahan keinginannya untuk membelai
rambut ikal emas Daphne yang berantakan.
Ketika menegakkan badan, David menarik botol sarsaparilla dari sakunya dan
meletakkannya di birai jendela. Brianna tersentak akibat gerakan tangan itu.
David memandang Brianna cukup lama, mencari-cari jawabannya di mata wanita itu.
Ia tidak pernah memukul wanita seumur hidupnya, dan ia sangat terganggu karena
wanita yang satu ini berpikir ia sanggup melakukan hal itu.
Ketika meninggalkan ruang kerja Brianna yang sempit, David
melirik ke dalam peti yang terbuka, melihat berbagai macam alat menjahit dan
kain, tapi yang menangkap perhatiannya adalah setumpuk novel picisan, di mana
novel yang berada paling atas adalah tentang alec Keegan, sang gungslinger terkenal, yang ceritanya
terlalu dilebih-lebihkan. Apakah yang akan dikatakan Brianna kalau ia
memberitahu wanita itu bahwa Ace adalah kakak tirinya? Bukan langkah yang
bagus, putusnya dengan cepat. Entah bagaimana ia merasa hal itu hanya akan
membuat Brianna meragukan strata
sosialnya, dan bisa dipastikan hal itu tidak akan meyakinkan Brianna bahwa
ia tidak berbahaya.
Pandangan mereka bertemu, dan David berusaha untuk
mengabaikan lelukan manis pipi Brianna serta bayangan ketakutan di mata
hijaunya. David menyesal karena telah membuat wanita itu khawatir, tapi ia
tidak melihat ada pilihan lain kecuali untuk melanjutkan apa yang sudah
dimulainya. “Aku akan pergi ke kantor marshal
untuk mengatur pertemuan kita,” katanya.
“Untuk pagi hari,” Brianna menambahkan.
“Seperti yang kubilang, aku berharap bisa menyelesaikan
masalah kita malam ini. Semakin cepat selesai, semakin baik.”
Brianna mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, “Tidak ada yang perlu diselesaikan, Sir.”
David menaksakan senyuman. “Simpan tenagamu untuk sang marshal dan hakim, Honey. Sia-sia saja kau mengatakan itu padaku.”
David sempat mengira ia melihat asap keluar dari telinga
Brianna. Ia pun berputar dan pergi.
***
Setelah David Paxton pergi, Brianna berputar-putar di tempat
kerjanya. Pria itu adalah pria paling kurang ajar yang pernah ditemuinya. Cara
berdiri yang arogan, dengan pinggul yang ramping dimiringkan serta lutut yang
agak dibengkokkan, tanda-tanda pria itu menganggap dirinya lebih hebat daripada
orang lain, dan ketika mata biru menakjubkan David Paxton bertemu dengan
matanya sendiri, Brianna mendapat perasaan tidak nyaman kalau pria itu melihat
jauh lebih banyak daripada yang ingin diungkapkannya. David Paxton juga punya
cara tersenyum yang khas –dengan gerakan bibir yang agak merendahkan– yang
membuatnya ingin menampar wajah tampan itu.
Tampan? Brianna
hampir tak bisa percaya kalau ia telah membiarkan pikirannya berkelana ke situ,
tapi itu adalah fakta yang tak bisa disangkalnya. Wajah yang bagai dipahat,
yang coklat akibat sinar matahari, sangat tampan, dengan daya tarik maskulin
yang tak bisa diragukan lagi membuat jantung para wanita berdetak lebih cepat. Bukan jantungku, Brianna meyakinkan
dirinya sendiri. Well, hanya ketika
ia berduaan saja dengan pria itu di dalam ruangan yang kecil. Lalu jantungnya
akan berdetak tak terkendali, bukan karena ia merasa pria itu menarik, tapi
karena mengintimidasi. David Paxton menjulang tinggi di atasnya, dan bahu pria
itu yang lebar membuatnya merasa seperti kurcaci. Walau belum pernah melihat
David Paxton tanpa duster, Brianna
tahu tubuh bagian atas pria itu pasti sama berototnya dengan tungkai pria itu
yang panjang dan ramping. Kalau David Paxton menggunakan kakuatan itu untuk
melawannya, ia tidak akan berdaya mempertahankan dirinya sendiri.
Pikiran tersebut membuat paru-paru Brianna menyentak. Ia
tidak akan pernah benar-benar sendirian saja dengan David Paxton, jadi rasanya
konyol untuk mencemaskan hal itu. Selama di kota ini, David Paxton tidak akan
pernah berani menyentuhnya. Bantuan ada di kiri kanannya.
Guna mendapatkan ketenangan, Brianna berjalan untuk menutup
petinya, sebuah kebiasaan yang telah ditanamkan oleh bosnya, yang bersikeras
kalau ruangan kecil itu harus selalu terlihat rapi. Ketika menurunkan tutup
peti, matanya terpaku pada buku-buku yang dipinjamkan oleh para wanita di kota
itu. Ia menyimpannya di sana agar bisa mengembalikannya ketika para wanita itu
datang ke toko. Sesuatu yang dingin terasa mencengkram perutnya. Brianna
berlutut, membolak-balik novel-novel tersebut, jantungnya berhenti. Buku berjudul
Perdagangan budak di Meksiko, yang
diikuti sub judul, Anak Kecil dan Wanita
Muda, Diculik Demi Uang.
Brianna telah membaca buku itu lebih dari satu kali.
Seringnya pada malam hari, ketika ia terlalu bersemangat akibat bekerja dengan
terburu-buru di restoran sehingga ia tidak bisa tidur. Menenggelamkan dirinya
dalam sebuah cerita membuatnya mengantuk. Biasanya ia membaca novel picisan
yang tidak terlalu panjang, dengan tujuan untuk menghibur dan membuatnya
bergairah. Tapi buku yang satu ini berbeda. Bukunya berisi cerita heroik para
pahlawan daerah Barat, buku itu memuat kisah nyata yang menanamkan kengerian ke
dalam hati setiap wanita yang berdiam di wilayah Barat. Kisah itu bercerita
tentang pria-pria mengerikan yang akan melakukan apa pun untuk menculik seorang
gadis kecil atau perempuan muda yang bisa dijual mahal melewati perbatasan.
Mereka dibawa melintasi Rio Grande dan dijual ke penawar tertinggi, setelah itu
mereka menjadi mainan para pria kaya. Apa yang benar-benar membuat Brianna
takut adalah si pengarang berulang kali memberikan peringatan kalau anak
berambut pirang memiliki harga paling mahal, dan gadis kecil seumuran Daphne
akan sangat dihargai.
Tangan Brianna gemetar ketika membuka buku itu. Pandangannya
berkabut sehingga ia tidak bisa membaca tulisannya. Tidak perlu. Ia ingat
sebagian besar tulisannya Oh, Tuhan.
Sejak detik pertama ia memandang David Paxton, ia telah menetapkan pria itu
sebagai seorang bajingan. David Paxton tidak terlihat ataupun bersikap seperti
penegak hukum mana pun yang pernah ditemuinya. Bagaimana kalau pria itu seorang
pelaku kriminal? Dalam banyak novel picisan, disebutkan tentang para lelaki tak
berhati nurani yang berdiam di Deadwood, Dakota Selatan, kota paling jahat dari
semua kota. Kota tanpa hukum itu adalah tempat berkumpulnya para bajingan,
banyak dari mereka bersembunyi dari hukum untuk menghindari ganjaran atas
kesalahan mereka. Beredar rumor yang mengatakan bahwa setiap hari terjadi
pembunuhan di Deadwood, dan para penghuninya sering keluar dari kota itu untuk
meneror penduduk di Montana dan Colorado.
Brianna membanting buku itu hingga tertutup, bertekad untuk
tidak membiarkan imajinasinya berkembang terlalu liar. Namun, ketika kecurigaan
itu sudah merasuk ke dalam benaknya, ia tidak bisa mendorongnya keluar lagi.
Siapa David Paxton? Apakah itu nama asli? Bagaimana kalau pria itu mendapatkan
semua suratnya dan surat Daphne dengan cara yang tidak benar? Sejak awal,
Brianna berdoa semoga orang yang dikiriminya surat itu tidak nyata. Ia
membayangkan tukang pos di Denver menyimpan surat-surat itu untuk sementara
waktu, kemudian melemparkannya ke dalam tumpukan surat yang akan dibakar atau
dibuang ke dalam tong sampah untuk di bawa ke tempat pembuangan sampah lokal.
Apa yang tidak dipertimbangkannya adalah surat-surat itu mungkin saja jatuh ke
tangan yang salah.
Sekarang, tiba-tiba saja, sikap David Paxton yang gila sama
sekali tidak terlihat gila. Gadis kecil berambut pirang seperti Daphne, dengan
kulit yang sangat putih dan mata biru, mungkin bisa membuat pria itu
mendapatkan seribu dolar di Meksiko. Majikan Brianna, Ricker, selalu
mendiktekan isi suratnya. Apakah mantan majikannya itu pernah membuatnya
memberitahu David kalau putri kecilnya adalah anak berambut pirang yang sangat
cantik? Brianna sudah menulis banyak sekali surat sehingga ia tidak ingat lagi.
Sejak awal Ricker sudah tak sabar ingin menyingkirkan Daphne. Pria itu berharap
bisa mempekerjakan wanita yang mau bekerja sama, tidak hanya untuk menjaga
rumahnya tetap bersih dan mengajari anak-anaknya, tapi juga untuk menghangatkan
tempat tidurnya. Untuk urusan yang satu itu, Ricker sangat kecewa pada Brianna.
Selama satu bulan sejak kedatangannya di Glory Ridge, pria itu mulai mendesak
agar ia menulis surat setiap minggu kepada suaminya yang bekerja di Denver agar
mau datang. Jadi rasanya masuk akal kalau Ricker menyuruhnya untuk menuliskan
secara spesifik tentang Daphne; umur, warna rambut, serta kemajuan anak itu
dalam sekolah.
Kalau benar, diskripsi fisik Daphne pasti sudah cukup untuk
membuat para pedagang budak mana pun berliur memikirkan keuntungan yang akan
diterimanya kalau ia berhasil mendapatkan Daphne.
Brianna melemparkan kembali buku itu ke dalam peti dan
menghadapi masalah yang pelik. Peristiwa hari ini bukan suatu kebetulan.
Kedatangan bajingan yang mengaku David Paxton itu bertujuan buruk. Entah
bagaimana pria itu berhasil mendapatkan surat-suratnya, dan sekarang bermaksud
membawa Daphne serta menjual anak itu ke perbatasan sehingga bajingan itu bisa
bersantai menikmati teqila dan
mencari pelacur untuk dirinya sendiri.
***
“Sial!”
Brianna memaki dengan suara pelan agar tidak membangunkan
Daphne. Ketika mengangkat gaun Mrs. Pauder, tangannya gemetar, dan dengan cemas
ia memandang jahitan di bawah ketiak kiri baju itu, yang baru saja disatukannya
hingga ke pinggang , namun dengan sisi yang salah sehingga bagian dalam kain
itu terlihat. Apa yang dipikirkannya? Terkutuk penjahat itu karena telah
membuat pikirannya kacau. Sekarang ia harus berhati-hati membuka jahitannya,
bukan pekerjaan yang mudah dengan senja yang akan segera tiba dan lentera
sebagai satu-satunya sumber cahaya yang dimilikinya.
Tepat pada saat itu, Brianna mendengar suara ketukan di
pintu depan toko, yang baru saja dikuncinya beberapa saat yang lalu ketika
jarum pendek jam menunjuk ke angka lima. Ia mengerang dan menaruh gaun itu ke
samping. Ketika melewati gorden pemisah ruangan, ia melihat musuh barunya
melalui kaca dan langkahnya langsung terhenti. David Paxton, atau siapa pun nama asli pria itu, sedang membungkuk
untuk mengintip melalui tanda “Tutup” dan membengkokkan buku jarinya lagi untuk
mengetuk. Brianna mempertimbangkan untuk mengabaikan panggilan tersebut, tapi
ia sudah melihat kilatan tekad di mata pria itu tadi dan tahu bahwa pria itu
tidak akan ragu-ragu untuk membuat keributan kalau ia sampai mengabaikannya. Ia
tidak mau ribut lagi dengan majikannya hari ini. Sudah jelas kalau ia
Perut Brianna terasa seakan baru menelan makanan basi, tapi
ia memaksa kakinya untuk bergerak. Ia tidak akan dengan sengaja menghilang, dan
suka atau tidak, ia harus menghadapi pria itu. Ketika mendekati kaca depan, ia
menilai David Paxton. Dada pria itu terlihat paling tidak satu meter lebarnya,
sebuah ilusi yang Brianna yakin terbentuk karena tas pelana yang digendong
David Paxton di salah satu bahunya. Brianna melepaskan selot yang mengunci
pintu dengan jari-jari yang gemetar, lalu membuka pintu untuk mengintip. David
Paxton menegakkan badan, memaksa Brianna untuk mendongakkan kepalanya agar
tidak memutus kontak mata mereka. Wajah David Paxton yang keras tersembunyi
oleh bayangan yang terbentuk dari topi kulitnya. Wangi bay rum yang samar-samar menguar ke hidung Brianna melalui udara
yang dingin.
“Hakim dan marshal
telah setuju untuk menemui kita sepuluh menit lagi di kantor marshal. Aku tadinya akan memberitahumu
lebih cepat, tapi aku harus mengambil tasku.”
Brianna mencengkram kenop pintu. “Aku sudah memberitahumu,
aku tidak bisa meminta izin lagi hari ini. Apa lubang telingamu tersumbat
kapas?”
Gigi David yang putih terlihat ketika ia menyeringai lambat.
David menyenderkan lengan kanannya ke bingkai pintu, memaksa daun pintu itu
untuk terbuka lebih lebar terlepas dari usaha Brianna untuk menahannya dengan
berat badannya. “Tidak ada kapas di kupingku, tapi aku punya uang di kantongku.
Aku akan mengganti gajimu yang dipotong.”
“Aku tidak mau uangmu, Mr. Paxton, kalau itu benar namamu!
Aku sama sekali tidak ingin berurusan denganmu, titik!”
David tidak bergerak, membuat Brianna tidak mungkin untuk
menutup pintu itu. “Kau seharusnya memutuskan itu tujuh tahun yang lalu, Darlin’.”
Kemarahan menyebar ke sekujur tubuh Brianna dengan begitu
dahsyatnya sampai-sampai ia merasakan panas di tenggorokannya. Ia ingin sekali
menginjak kaki David Paxton untuk membuat pria itu mundur dari pintu. “Aku
tidak bisa pergi sekarang. Daphne akan melakukan pertunjukannya di gereja malam
ini. Saat dia bangun, aku harus membantunya bersiap-siap dan memastikan dia
sampai di sana tepat waktu.”
“Pertemuan ini tidak akan lama... mungkin hanya tiga puluh
menit, satu jam paling lama... dan aku bisa membantu Daphne bersiap-siap untuk
pertunjukannya.”
Brianna mendelik. “Acara dimulai jam tujuh, Sir! Sekarang
sudah hampir jam lima.”
“Kubilang aku akan membantunya bersiap-siap.”
“Tidak!” seru Brianna. “Aku tidak akan mengizinkanmu
mengganggu jadwal pekerjaanku sampai dua kali, dan kau tidak akan menyentuh
putriku lagi, dasar kau bajingan rendahan.”
David benar-benar terkekeh. “Bajingan rendahan? Wah, wah,
strataku sudah naik sekarang.”
Sejak kematian Moira, Brianna telah berjuang untuk menjadi
jiplakan saudaranya itu –manis, penuh sopan santun, dan tidak gampang marah,
seorang lady kelas atas yang cocok
untuk menjadi ibu Daphne. Tapi saat ini, melihat seringai David Paxton, ia
ingin membuang semua itu dan mengeluarkan sifat asli-nya, yang meledak-ledak dan khas Irlandia sampai ke tulangnya.
David Paxton pasti akan kaget setengah mati kalau ia menusuk mata pria itu
dengan sekuat tenaga lalu membanting pintu dan menjepit kaki bajingan itu.
Tapi, tidak. Ia tidak bisa membiarkan orang ini menghadiri
pertemuan di kantor marshal
sendirian. Karena, kalau begitu kejadiannya, hakin dan marshal hanya akan mendengar cerita dari sisi penjahat itu saja.
Brianna mundur dari pintu. “Baiklah. Terserah kau saja. Aku
akan memberitahu Miss Marthin tentang hal ini dan mengambil syalku.”
David masuk ke dalam toko dan menutup pintu di belakangnya
dengan sangat pelan sehingga lonceng di pintu tidak berbunyi sama sekali. “Sementara
kau melakukan itu, aku akan mengambil putri kita.”
“Putriku.”
Menyeringai lagi, David mencantolkan satu ibu jari ke bawah
tali tas di bahunya dan mendorong topinya ke atas dengan tangannya yang satu
lagi. Brianna tidak kaget kalau David tidak mau melepaskan benda kotor penuh keringat
itu. Laki-laki semacam ini sama sekali tidak tahu bagaimana membawa diri mereka
di dalam masyarakat atau bagaimana caranya menunjukkan rasa hormat kepada
seorang wanita. Para suster telah memperingatkannya tentang jenis laki-laki
seperti ini. Penjahat ini bisa tersenyum sesuka hati. Ia tidak akan tertipu.
“Tidak perlu mengganggu tidur siangnya,” cetus Brianna. “Toko
sudah tutup. Aku bisa mengunci pintu ketika kita pergi. Sebaiknya kita
membiarkannya tidur.”
David melewati Brianna seakan-akan wanita itu tidak
mengatakan apa pun. “Aku tidak akan meninggalkan anakku dengan wanita cerewet
berlidah tajam itu. Kalau aku berhati-hati, dia tidak akan terbangun. Ketika kita
sampai di kantor marshal, aku akan
membaringkannya di bangku yang ada di samping pintu. Dia akan cukup nyaman di sana.”
Brianna ingin menyerang dari belakang ketika David Paxton
membungkuk di atas putrinya. Sebaliknya, ia berpegang pada pengendalian dirinya
yang sudah di ambang batas, meyakinkan dirinya kalau sang hakim dan marshal akan lebih memercayai ucapannya
ketimbang kata-kata pria ini, dan berjalan ke pintu apartemen Abigail. Dengan
ketukan singkat, ia memanggil majikannya, menjelaskan sesingkat mungkin kalau
ia akan pergi selama setengah jam, lalu mendegarkan wanita itu mengoceh
mengenai permintaan izinnya yang kedua kalinya hari itu.
“Aku mengharapkan hasil dari pekerjaanmu, Mrs. Paxton, dan
hasil kerjamu sdikit sekali hari ini.”
Brianna baru akan membuka mulut untuk membela diri, kemudian
ingat kesalahan yang dibuatnya pada baju Mrs. Pauder. Betul sekali kalau hanya
sedikit yang dihasilkannya. “Hari ini memang agak berbeda daripada biasanya.
Aku akan bekerja lebih baik besok.”
“akan kupegang kata-katamu itu,” bentak Abigail. “Kalau
tidak, aku akan mempertimbangkan pelamar lain untuk pekerjaan ini, dan kau akan
diganti.”
Cerita lengkapnya dimana
BalasHapus