Jumat, 07 Februari 2020

In Bed with a Highlander #6



Bab 6

Sepanjang siang Mairin mempelajari pertahanan kastel dan mencari jalan untuk melarikan diri dari sana. Sang laird tidak memberinya pilihan dalam hal ini. Sambil mengawasi keadaan di sekeliling, Mairin juga memikirkan ke mana ia akan pergi.


Duncan pasti akan mencarinya ke biara-biara lain. Itu tempat pertama yang akan diperiksa Duncan. Keluarga ibu Mairin berasal dari kepulauan barat, namun sudah putus hubungan dengan klan bahkan sebelum dia menjadi selir raja.

Dan sejujurnya, Mairin tidak yakin klan ibunya tidak tahu tentang Neamh Álainn. Bisa-bisa ia dinikahi pria pertama yang tahu tentang warisannya. Ia butuh waktu. Untuk menyusun rencana baik.

Dulu, Bunda Kedamaian dan Mairin bersama-sama menyusun daftar pria yang pantas menjadi calon suaminya. Mairin tidak menginginkan pria ksatria, namun sadar tipe pria seperti itulah yang diperlukannya. Begitu Mairin mengambil hak waris, suaminya harus menghabiskan sisa hidupnya untuk mempertahankan tanah pusaka itu dari para lelaki yang tamak dan haus kekuasaan.

Bukankah itu yang terjadi di dunia ini? Hanya yang kuat bertahan, sementara yang lemah akan binasa.

Mairin mengerutkan kening. Tidak, itu tidak benar. Tuhan melindungi orang yang lemah. Mungkin itu sebabnya Dia menciptakan kaum ksatria, supaya mereka bisa melindungi wanita dan anak-anak. Itu artinya, Duncan Cameron orang yang jahat.

Mairin menghela napas dan meletakkan tangan di tanah yang dihangatkan sinar matahari, untuk mendorong diri bangkit. Supaya ia dapat kembali ke kamar dan menyusun rencana terbaik untuk melarikan diri. Namun sebelum berdiri sepenuhnya, Mairin melihat Crispen berlari mendaki lereng bukit, melambaikan tangan kepadanya.

Mairin duduk kembali di tanah dan menunggu Crispen menghampirinya. Crispen tersenyum lebar lalu mengempaskan badan ke tanah di samping Mairin.

“Apakah kau sudah merasa normal kembali hari ini?” tanya Crispen dengan sopan.

“Aku merasa jauh lebih baik. Aku berjalan-jalan untuk mengusir rasa sakit.”

Crispen meringkuk kepadanya. “Aku senang mendengarnya. Kau sudah bicara dengan Papa?”

Mairin menghela napas. “Sudah.”

Crispen memandang Mairin berseri-seri. “Aku kan sudah memberitahumu, dia akan membereskan semuanya.”

“Ya, kau benar,” gumam Mairin.

“Jadi kau akan tetap di sini?”

Wajah Crispen yang penuh harapan membuat hati mairin meleleh. Mairin mengalungkan lengan kepada Crispen dan memeluknya erat-erat. “Aku tidak bisa melakukannya, Crispen. Kau tahu itu. Ada banyak pria selain Duncan Cameron yang akan menculikku jika mereka tahu siapa aku.”

Wajah Crispen berkerut sampai hidungnya bergerak-gerak. “Mengapa?”

“Sulit untuk menjelaskannya,” gumam Mairin. “Kalau saja keadaannya tidak seperti ini, tapi Bunda Kedamaian selalu menasehatiku supaya melakukan yang terbaik dengan apa yang kita miliki.”

“Kapan kau akan berangkat dan ke mana kau akan pergi? Apakah aku akan bertemu denganmu lagi?”

Di sini Mairin harus berhati-hati. Ia tidak mau Crispen buru-buru pergi mendatangi ayahnya dengan berita tentang rencana kepergiannya. Sekarang, setelah memutuskan akan pergi dari sini, mairin tidak mau sang laird ikut campur dan menuntut agar ia percaya kepada pria itu. Mairin nyaris mendengus jengkel ketika teringat pada gagasan itu. Sang laird mungkin bisa memerintahkan klannya supaya percaya kepadanya, dan Mairin mereka mematuhi pria itu. Tapi wanita dalam posisinya tidak bisa percaya kepada siapa pun.

“Aku belum tahu. Aku perlu menyusun rencana keberangkatan dulu.”

Crispen mengangkat dagu supaya bisa menatap langsung ke mata Mairin. “Apakah kau akan memberitahuku sebelum pergi, supaya aku bisa mengucapkan selamat jalan kepadamu?”

Mairin merasa sedih, karena sadar akan segera meninggalkan Crispen. Padahal dalam beberapa hari saja ia sudah begitu menyayangi anak itu. Namun Mairin tidak mau berbohong dan berjanji memberitahu Crispen kapan ia akan pergi. Karena Mairin tahu benar ia tidak akan mengumumkan kepergiannya kepada siapa pun.

“Aku tidak bisa berjanji kepadamu, Crispen. Mungkin sebaiknya kita berpamitan sekarang, supaya dapat mengatakan semua yang ingin kita katakan saat ini juga.”

Crispen berdiri dan mengalungkan lengan kepada Mairin, sampai nyaris mendorong Mairin ke tanah lagi.

“Aku sayang kepadamu,” kata Crispen dengan segenap hati. “Aku tidak mau kau pergi.”

Mairin memeluk Crispen dan mencium kepala anak itu. “Aku juga sayang kepadamu, Nak. Kau akan selalu ada di hatiku.”

“Janji?”

Mairin tersenyum. “Untuk yang satu itu, aku bisa menjanjikannya, dan itu benar.”

“Maukah kau duduk disampingku saat makan malam nanti?”

Karena tidak berniat untuk pergi sampai semua orang tidur, Mairin tidak keberatan dengan permintaan Crispen. Ia mengangguk, lalu Crispen tersenyum gembira kepadanya.

Sebuah teriakan terdengar dari halaman, sampai mairin dan Crispen yang berada di lereng bukit bisa mendengarnya. Mairin menoleh ke arah suara itu dan melihat sepasukan prajurit berkuda berbaris melalui jembatan dan masuk ke kastel.

Crispen langsung melepaskan diri dari pelukan Mairin dan berlari-lari sejenak sebelum menghentikan langkah. “Itu Paman Caelen! Dia sudah kembali!”

“Kalau begitu, tentu saja kau harus menyambutnya,” kata Mairin sambil tersenyum.

Crispen berlari kembali ke arah Mairin dan meraih tangannya, berusaha menariknya. “Kau juga harus ikut denganku.”

Mairin menggeleng dan melepaskan tangan. “Aku di sini saja. Pergilah. Aku akan menyusulmu sebentar lagi.”

Hal terakhir yang dibutuhkan Mairin adalah berkenalan dengan satu pria lagi dari keluarga McCabe. Mairin menggigil. Pria itu mungkin juga orang yang menjengkelkan, sama seperti Ewan dan Alaric.

***


Ewan tiba untuk menyambut Caelen persis ketika Caelen turun dari kuda dan berjalan ke arah Ewan.

“Apakah itu benar? Bahwa Crispen sudah kembali?” Caelen bertanya dengan nada tidak sabar.

“Ya, itu benar. Alaric membawanya pulang kemarin.”

“Kalau begitu, di mana anak nakal itu?”

Ewan tersenyum persis saat Crispen berlari-lari di halaman seraya berteriak “Paman Caelen” keras-keras. Caelen menjadi pucat dan terhuyung ke belakang sebelum kembali berdiri kokoh dan menangkap anak yang menggeliat-geliat itu, yang menghambur ke pelukan Caelen.

“Syukurlah,” kata Caelen dengan terengah-engah. “Kau masih hidup.”

Crispen mengalungkan lengan ke leher Caelen dan memeluk Caelen erat-erat. “Maafkan aku, Paman Caelen. Aku tidak bermaksud membuat kau dan Papa takut. Tapi jangan khawatir, mairin mengurusku dengan baik.”

Ewan mengangkat alis. Di sampingnya, Alaric juga mendegar ketika Crispen tidak sengaja membocorkan rahasia.

Caelen mengerutkan wajah kepada Ewan dari atas kepala Crispen. “Siapa Mairin ini?”

Crispen langsung membeku dalam pelukan Caelen, lalu meronta-ronta sampai Caelen menurunkannya. Setelah itu dengan terpukul Crispen menatap Ewan, perasaan bersalah jelas terpancar dari matanya.

“Oh tidak, Papa, aku sudah melanggar janjiku. Aku melanggarnya!”

Ewan mengulurkan tangan kepada putranya dan meremas bahu anak itu untuk menenangkannya. “Kau tidak sengaja, Nak. Untuk membuat perasaanmu lebih tenang, aku akan suruh Alaric dan Caelen supaya melupakan nama itu sekarang juga.”

“Dan kau, Papa?” tanya Crispen dengan gelisah. “Apakah kau akan melupakannya juga?”

Ewan menahan rasa geli lalu menoleh kepada dua adiknya. “Kami bertiga akan berusaha keras melupakannya.”

“Demi Tuhan, bisakah seseorang memberitahuku apa yang terjadi?” tanya Caelen dengan kesal. “Dan apakah ini ada kaitannya dengan wanita aneh yang duduk di lereng itu?”

Ewan mengikuti tatapan Caelen, ke tempat Mairin duduk di bukit yang menghadap ke kastel. Mata Caelen memang tajam. Jika ada orang asing di tanah mereka, Caelen langsung melihatnya. Caelen luar biasa hati-hati tentang siapa yang boleh masuk ke tanah mereka. Pelajaran yang diperolehnya dari pengalaman pahit di masa silam.

“Dia tidak mau tinggal di sini,” kata Crispen dengan murung.

Ewan langsung menoleh ke arah putranya. “Mengapa kau berkata begitu?”

“Dia bilang tidak bisa melakukannya.”

“Ewan? Apakah aku harus memukulimu dulu untuk mendapat informasi darimu?” tanya Caelen.

Ewan mengangkat tangan untuk menyuruh Caelen diam. “Apa lagi yang dikatakannya, Crispen?”

Crispen mengerutkan kening dan membuka mulut, tapi segera menutupnya lagi. Dia mengatupkan bibir rapat-rapat dengan sikap melawan. “Aku sudah melanggar janji,” katanya dengan kesal. “Aku tidak boleh mengatakan apa-apa lagi.”

Ewan menghela napas dan menggeleng. Semua masalah ini membuatnya amat pusing. Semoga Tuhan menyelamatkannya dari wanita keras kepala dan tidak mau membuka mulut itu. Tapi parahnya, setelah membuat putra Ewan benar-benar terpikat, wanita itu malah ingin segera meninggalkan kastel ini.

Kening Ewan berkerut memikirkan hal itu. Sebenarnya Ewan tidak ingin menahan wanita itu. Ia hanya tidak mau Crispen menjadi sedih. Namun ia juga tidak mau mengurus wanita yang merepotkan atau menghadapi masalah yang dibawanya.

“Baiklah, kau boleh pergi, Crispen, supaya aku bisa menyambut kedatangan pamanmu dulu. Aku perlu membicarakan banyak hal dengan Caelen dan Alaric.”

Mendengarnya, Crispen tidak tampak tersinggung, matanya malah bersinar lega. Dia memutar tubuh dan langsung kembali mendaki bukit tempat Mairin duduk. Hanya saja Mairin sudah pergi dari sana sekarang. Ewan memandang ke sekeliling untuk melihat ke mana Mairin pergi, tapi tidak menemukan wanita itu di mana pun.

“Mairin? Siapa Mairin ini dan apa hubungannya dengan Crispen? Lagi pula, apa yang dia lakukan di sini?”

Ewan menunjuk Alaric. “Dia yang membawa wanita itu.”

Seperti yang diduga Ewan. Alaric segera menyangkal peran dalam seluruh masalah ini. Ewan harus menahan tawa ketika mendengar nada tertekan dalam suara Alaric.

Caelen sudah hampir kehilangan kesabaran, dan ia bukan orang yang penyabar, jadi Ewan akhirnya menceritakan semua yang diketahui kepada Caelen. Alaric memberikan beberapa informasi tambahan, dan setelah mereka selesai bercerita, Caelen memandang Ewan dengan tidak percaya.

“Dia tidak mau memberitahumu apa pun? Dan kau membiarkannya?”

Ewan menghela napas. “Kau mau aku berbuat apa, memukulinya seperti yang Cameron lakukan? Wanita itu pasti akan menuruti permintaanku nanti. Aku memberinya waktu sampai besok untuk memutuskan bahwa dia bisa percaya kepadaku.”

“Dan apa yang akan kau lakukan jika dia menolak besok?” alaric menyeringai.

“Dia tidak akan menolak permintaanku.”

“Yang penting Crispen sudah kembali kepada kita,” kata Caelen. “Aku tidak peduli dengan apa yang dilakukan atau dikatakan wanita itu. Jika Cameron datang dan ingin berperang, dengan senang hati aku akan melayaninya. Lalu, biarkan wanita itu pergi.

“Ayo, hari semakin gelap dan Gertie pasti sudah memasak makan malam. Kalian tahu benar dia tidak suka menyajikan makanan dingin,” kata Ewan. “Serahkanlah masalah Mairin kepadaku. Kalian berdua tidak perlu memikirkannya.”

“Kami juga tidak mau,” gumam Caelen dengan jengkel, ketika melewati Ewan.



***



Bab 7

Mairin merapatkan syal ke tubuh dan berjalan mengendap-endap di sepanjang dinding batu kastel yang retak di sana sini. Ia memilih jalan yang paling dekat dengan danau karena lebih sedikit penjaga yang ditugaskan di sisi itu. Karena sulit bagi musuh untuk masuk dan menyerang kastel lewat jalur air.

Udara musim semi dingin menusuk, dan tiba-tiba Mairin merasa bukan keputusan yang bagus untuk meninggalkan kehangatan kamar kecilnya tadi.

Mairin merasa tertekan ketika makan malam tadi. Ketika melihat adik bungsu lang laird, ia jadi enggan memenuhi janji untuk duduk di sebelah Crispen di meja. Pria itu cemberut kepada Mairin, dan meski kedua pria McCabe yang lain suka cemberut kepadanya, ada sesuatu yang gelap di balik wajah merengut Caelen. Yang membuat Mairin takut.

Karena itu Mairin berdalih tidak enak badan dan langsung naik. Namun kepergiannya dari meja makan tidak menghalangi Crispen untuk membawakan sepiring makanan ke pintu kamar Mairin. Lalu mereka berdua duduk bersila di depan perapian untuk makan.

Setelah itu, dengan alasan dirinya sangat lelah, Mairin meminta Crispen pergi. Lalu ia menunggu selama berjam-jam. Sampai suara-suara di kastel itu lenyap. Ketika Mairin yakin semua orang tidur, atau setidaknya sudah di kamar masing-masing. Ia menyelinap turun dan pergi ke jalan masuk kastel yang menghadap ke danau.

Mairin bernapas lebih tenang ketika sampai di bawah naungan pohon-pohon yang memisahkan sebagian danau dari kastel. Di sini, Mairin bisa bergerak relatif bebas tanpa ada orang yang melihatnya dan menyusuri danau sampai ia pergi jauh dari tempat ini.

Percikan keras membuat Mairin terkejut, lalu ia menoleh ke arah air. Mairin membeku, menahan napas ketika melihat ke air yang sehitam tinta dari sela-sela pepohonan. Nyaris tidak ada bulan malam ini, dan hanya ada seberkas cahaya yang menyoroti riak-riak air danau.

Namun penerangan itu cukup bagi Mairin untuk melihat bahwa ada tiga pria yang berenang pada larut malam. Juga untuk melihat siapa yang berenang. Ewan McCabe dan kedua adiknya menyelam ke danau dan semoga Tuhan mengampuninya, tetapi mereka bertiga tidak mengenakan pakaian selembar pun.

Mairin langsung menutupi mata dengan kedua tangan. Ia malu sekali karena sadar melihat bokong tiga pria dewasa. Apakah mereka sudah gila? Danau itu pasti luar biasa dingin. Mairin menggigil ketika membayangkan betapa dinginnya berenang di danau itu sekarang.

Selama beberapa menit Mairin duduk berjongkok di samping sebatang pohon, tangannya menutupi mata. Ketika mairin akhirnya menyingkirkan tangan dari mata, ia malah melihat Ewan McCabe berjalan keluar dari air. Mata Mairin menjadi bundar karena shock, dan tangannya terkulai ke samping kala ia menatap lurus ke depan, terpaku memandang pria yang telanjang bulat. Sang laird berdiri, mengeringkan tubuh dengan handuk. Setiap gerakan tangan sang laird hanya menarik perhatian Mairin kepada tubuh berotot pria itu. Dan... Dan... Mairin bahkan tidak sanggup memikirkan daerah di antara kedua paha sang laird.

Ketika sadar bahwa ia tanpa malu-malu menatap ke... ke... bukit gairah sang laird, mairin buru-buru menutupi mata lagi dan menggigit bibir bawah untuk menahan pekikan yang siap keluar dari mulut.

Satu-satunya harapan Mairin adalah semoga acara renang mereka cepat selesai lalu mereka akan kembali ke kastel. Ia tidak mau mengambil risiko dengan bergerak di sekita pepohonan dan menarik perhatian mereka. Namun ia juga tidak mau duduk di sini dan dengan kurang ajar memelototi ketiga pria itu.

Pipi Mairin menjadi panas, dan meski ia memejamkan mata rapat-rapat, sosok telanjang Ewan McCabe tercetak jelas di benak. Apa pun yang Mairin lakukan, ia tetap saja tidak bisa melupakan pemandangan ketika sang lair berjalan keluar dari air –telanjang bulat, tanpa sehelai benang pun.

Paling tidak Mairin harus mengaku dosa tiga kali untuk memohon ampun atas dosa sebesar itu.

“Kau boleh melihat sekarang. Tenang saja, aku sudah berpakaian lengkap.”

Suara kering sang laird terdengar sangat dekat dengan teling Mairin. Mairin merasa malu sekali, sehingga pipinya terasa sangat tegang sampai ia hanya bisa duduk di sana, dengan tangan yang masih menutupi mata. Mungkin jika benar-benar mengharapkannya, ketika ia membuka mata, sang laird akan berada jauh, jauh sekali dari sini.

“Itu tidak akan terjadi,” jawab sebuah suara dengan nada geli.

Mairin menurunkan satu tangan ke mulut, tempat ia seharusnya meletakkan tangan sejak awal, supaya ia tidak mengatakan sesuatu yang bodoh. Seperti tadi, ketika ia menyatakan kalau saja sang laird berada jauh dari sini.

Sekarang, setelah menurunkan satu tangan dari satu mata, Mairin dengan takut-takut menatap sang laird untuk mengecek apakah pria itu memang sudah memakai baju. Setelah memastikan, Mairin menurunkan tangan yang lain saat ia melihat dengan gelisah kepada sang laird.

Sang laird berdiri, kakinya terentang lebar, lengannya dilipat di depan dada, dan tentu saja, cemberut kepada Mairin.

“Mau memberitahuku mengapa kau mengendap-endap dalam gelap di sini?”

Pundak Mairin merosot turun. Rupanya melarikan diri dengan baik saja ia tak mampu. Tapi, mana mungkin Mairin tahu bahwa sang laird dan kedua adiknya setolol itu, senang berenang begitu larut?

“apakah aku harus menjawabnya?” tanya Mairin dengan suara tak jelas.

Sang laird menghela napas. “Aku sudah memberitahumu bahwa kau tidak boleh meninggalkan perlingunganku. Bagian mana dari perintah itu yang tidak kau mengerti? Aku tidak suka melihat orang yang ada di bawah kekuasaanku terang-terangan melanggar perintahku. Jika kau salah satu prajuritku, aku akan membunuhmu.”

Kalimat terakhir sang laird kedengarannya bukan ancaman kosong. Bahkan tidak ada nada angkuh dalam suara sang laird ketika mengucapkannya. Jadi Mairin yakin sang laird tidak mengatakannya hanya untuk membuat ia hormat kepada pria itu. Tidak, sang laird Cuma bersikap jujur, dan itu malah membuat Mairin semakin ketakutan.

Tapi iblis mendorong Mairin untuk menentang sang laird. “Aku tidak berada di bawah kekuasaanmu, Laird. Aku tidak tahu mengapa kau bisa berpikir seperti itu, tapi itu sama sekali tidak benar. Aku tidak berada di bawah kekuasaan siapa pun, selain Tuhan dan diriku sendiri.”

Sang laird balas menyeringai kepada Mairin, giginya berkilat-kilat di bawah cahaya bulan yang redup. “Untuk wanita yang bertekad hidup mandiri, kau melakukannya dengan buruk.”

Mairin menarik napas dengan kesal. “Sungguh lancang kau.”

“Tapi bukan berarti perkataanku tidak benar. Nah, jika percakapan kita sudah selesai, bagaimana kalau kita kembali ke kastel? Idealnya, sebelum putraku keluar dari kamarku dan pergi ke kamarmu untuk mencarimu. Kelihatannya dia senang tidur di sisimu. Aku tidak mau membayangkan reaksinya ketika melihat ranjangmu kosong.”

Oh, itu benar-benar tidak adil, dan sang laird sangat menyadarinya. Pria itu mengeksploitasi emosi Mairin dan berusaha membuat Mairin merasa bersalah meninggalkan Crispen. Mairin mengerut kesal kepada laird untuk menunjukkan perasaan tidak senangnya, tapi pria itu tidak peduli dan malah meraih lengan Mairin dengan jemarinya yang kuat.

Mairin tidak punya pilihan selain membiarkan sang laird menggiringnya kembali ke arah kastel. Pria itu menyeret Mairin mengelilingi tempbok batu dan melintasi halaman. Di sana dia berhenti sejenak untuk memberikan perintah tegas kepada penjaga agar tidak membiarkan Mairin sampai kabur lagi. Lalu dia meneruskan langkah ke kastel. Mairin semakin tertekan ketika sang laird berkeras untuk mengantarnya sampai ke kamar.

Sang laird membuka pintu kamar Mairin lalu mendorongnya ke dalam. Kemudian dia berdiri di depan pintu dan melotot galak kepada Mairin.

“Kau tidak akan bisa menakutiku dengan menunjukkan wajah yang menyeramkan,” kata Mairin dengan ringan.

Mata sang laird menengadah ke langit untuk sesaat, dan mairin berani bersumpah pria itu menghitung dengan suara pelan. Sang laird mengambil waktu sejenak, seolah berusaha mengumpulkan kembali kesabaran. Pemandangan itu membuat Mairin geli, mengingat pria itu tampaknya tidak punya kesabaran sedikit pun.

“Jika harus memalang pintumu, aku akan melakukannya. Aku bisa bersikap sangat baik kepadamu, lass, tapi kau benar-benar menguji kesabaranku. Aku sudah memberimu waktu sampai besok untuk memercayakan apa pun rahasiamu padaku. Setelah itu, aku yakin kau tidak akan menyukai sikapku lagi.”

“Sekarang saja aku tidak menyukainya,” sahut Mairin dengan jengkel. Ia melambaikan tangan ke arah sang laird. “Pergilah. Aku hanya ingin tidur sekarang.”

Rahang sang laird bergerak sedikit, lalu ia meregangkan jemarinya di samping tubuh. Mairin ingin tahu apakah sang laird membayangkan jemarinya mencekik leher Mairin. Kelihatannya sang laird memikirkan hal yang sama pada saat itu.

Lalu, seolah hendak melawan perintah Mairin, sang laird melangkah maju sampai sosoknya menjulang menakutkan di atas Mairin. Rahang pria itu masih bergerak-gerak, dan matanya menyipit saat dia menunduk menatap Mairin.

Ujung jari sang laird menyentuh ujung hidung Mairin. “Bukan kau yang membuat peraturan di sini, lass. Tapi aku. Ingat itu, demi kebaikanmu sendiri.”

Mairin menelan ludah, tiba-tiba merasa amat kecil dibandingkan dengan sang laird. “Aku akan berusaha keras mengingatnya.”

Sang laird mengangguk singkat lalu berbalik dan meninggalkan ruangan, membanting pintu dengan keras.

Mairin mengempaskan tubuh ke kasur jerami dan menghela napas dengan kesal. Ini tidak berjalan sesuai rencana. Seharusnya ia sudah pergi jauh dari tanah McCabe sekarang, atau paling tidak sudah sampai di perbatasan. Rencananya ia akan pergi ke utara, karena tidak ada apa-apa baginya di selatan.

Tapi sekarang ia malah terperangkap di kastel dengan seorang laird angkuh. Yang mengira dia bisa dengan mudah menyuruh Mairin percaya kepadanya, sama seperti dia memerintah para prajurit. Besok sang laird akan melihat, bahwa Mairin tidak akan tunduk begitu saja kepada orang lain.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar