Bab
6
Sepanjang
siang Mairin mempelajari pertahanan kastel dan mencari jalan untuk melarikan
diri dari sana. Sang laird tidak memberinya pilihan dalam hal ini. Sambil
mengawasi keadaan di sekeliling, Mairin juga memikirkan ke mana ia akan pergi.
Duncan
pasti akan mencarinya ke biara-biara lain. Itu tempat pertama yang akan
diperiksa Duncan. Keluarga ibu Mairin berasal dari kepulauan barat, namun sudah
putus hubungan dengan klan bahkan sebelum dia menjadi selir raja.
Dan
sejujurnya, Mairin tidak yakin klan ibunya tidak tahu tentang Neamh Álainn.
Bisa-bisa ia dinikahi pria pertama yang tahu tentang warisannya. Ia butuh
waktu. Untuk menyusun rencana baik.
Dulu,
Bunda Kedamaian dan Mairin bersama-sama menyusun daftar pria yang pantas
menjadi calon suaminya. Mairin tidak menginginkan pria ksatria, namun sadar
tipe pria seperti itulah yang diperlukannya. Begitu Mairin mengambil hak waris,
suaminya harus menghabiskan sisa hidupnya untuk mempertahankan tanah pusaka itu
dari para lelaki yang tamak dan haus kekuasaan.
Bukankah
itu yang terjadi di dunia ini? Hanya yang kuat bertahan, sementara yang lemah
akan binasa.
Mairin
mengerutkan kening. Tidak, itu tidak benar. Tuhan melindungi orang yang lemah.
Mungkin itu sebabnya Dia menciptakan kaum ksatria, supaya mereka bisa
melindungi wanita dan anak-anak. Itu artinya, Duncan Cameron orang yang jahat.
Mairin
menghela napas dan meletakkan tangan di tanah yang dihangatkan sinar matahari,
untuk mendorong diri bangkit. Supaya ia dapat kembali ke kamar dan menyusun
rencana terbaik untuk melarikan diri. Namun sebelum berdiri sepenuhnya, Mairin
melihat Crispen berlari mendaki lereng bukit, melambaikan tangan kepadanya.
Mairin
duduk kembali di tanah dan menunggu Crispen menghampirinya. Crispen tersenyum
lebar lalu mengempaskan badan ke tanah di samping Mairin.
“Apakah
kau sudah merasa normal kembali hari ini?” tanya Crispen dengan sopan.
“Aku
merasa jauh lebih baik. Aku berjalan-jalan untuk mengusir rasa sakit.”
Crispen
meringkuk kepadanya. “Aku senang mendengarnya. Kau sudah bicara dengan Papa?”
Mairin
menghela napas. “Sudah.”
Crispen
memandang Mairin berseri-seri. “Aku kan sudah memberitahumu, dia akan
membereskan semuanya.”
“Ya,
kau benar,” gumam Mairin.
“Jadi
kau akan tetap di sini?”
Wajah
Crispen yang penuh harapan membuat hati mairin meleleh. Mairin mengalungkan
lengan kepada Crispen dan memeluknya erat-erat. “Aku tidak bisa melakukannya,
Crispen. Kau tahu itu. Ada banyak pria selain Duncan Cameron yang akan
menculikku jika mereka tahu siapa aku.”
Wajah
Crispen berkerut sampai hidungnya bergerak-gerak. “Mengapa?”
“Sulit
untuk menjelaskannya,” gumam Mairin. “Kalau saja keadaannya tidak seperti ini,
tapi Bunda Kedamaian selalu menasehatiku supaya melakukan yang terbaik dengan
apa yang kita miliki.”
“Kapan
kau akan berangkat dan ke mana kau akan pergi? Apakah aku akan bertemu denganmu
lagi?”
Di
sini Mairin harus berhati-hati. Ia tidak mau Crispen buru-buru pergi mendatangi
ayahnya dengan berita tentang rencana kepergiannya. Sekarang, setelah
memutuskan akan pergi dari sini, mairin tidak mau sang laird ikut campur dan
menuntut agar ia percaya kepada pria itu. Mairin nyaris mendengus jengkel
ketika teringat pada gagasan itu. Sang laird mungkin bisa memerintahkan klannya
supaya percaya kepadanya, dan Mairin mereka mematuhi pria itu. Tapi wanita
dalam posisinya tidak bisa percaya kepada siapa pun.
“Aku
belum tahu. Aku perlu menyusun rencana keberangkatan dulu.”
Crispen
mengangkat dagu supaya bisa menatap langsung ke mata Mairin. “Apakah kau akan
memberitahuku sebelum pergi, supaya aku bisa mengucapkan selamat jalan
kepadamu?”
Mairin
merasa sedih, karena sadar akan segera meninggalkan Crispen. Padahal dalam
beberapa hari saja ia sudah begitu menyayangi anak itu. Namun Mairin tidak mau
berbohong dan berjanji memberitahu Crispen kapan ia akan pergi. Karena Mairin
tahu benar ia tidak akan mengumumkan kepergiannya kepada siapa pun.
“Aku
tidak bisa berjanji kepadamu, Crispen. Mungkin sebaiknya kita berpamitan sekarang,
supaya dapat mengatakan semua yang ingin kita katakan saat ini juga.”
Crispen
berdiri dan mengalungkan lengan kepada Mairin, sampai nyaris mendorong Mairin
ke tanah lagi.
“Aku
sayang kepadamu,” kata Crispen dengan segenap hati. “Aku tidak mau kau pergi.”
Mairin
memeluk Crispen dan mencium kepala anak itu. “Aku juga sayang kepadamu, Nak.
Kau akan selalu ada di hatiku.”
“Janji?”
Mairin
tersenyum. “Untuk yang satu itu, aku bisa menjanjikannya, dan itu benar.”
“Maukah
kau duduk disampingku saat makan malam nanti?”
Karena
tidak berniat untuk pergi sampai semua orang tidur, Mairin tidak keberatan
dengan permintaan Crispen. Ia mengangguk, lalu Crispen tersenyum gembira
kepadanya.
Sebuah
teriakan terdengar dari halaman, sampai mairin dan Crispen yang berada di
lereng bukit bisa mendengarnya. Mairin menoleh ke arah suara itu dan melihat
sepasukan prajurit berkuda berbaris melalui jembatan dan masuk ke kastel.
Crispen
langsung melepaskan diri dari pelukan Mairin dan berlari-lari sejenak sebelum
menghentikan langkah. “Itu Paman Caelen! Dia sudah kembali!”
“Kalau
begitu, tentu saja kau harus menyambutnya,” kata Mairin sambil tersenyum.
Crispen
berlari kembali ke arah Mairin dan meraih tangannya, berusaha menariknya. “Kau
juga harus ikut denganku.”
Mairin
menggeleng dan melepaskan tangan. “Aku di sini saja. Pergilah. Aku akan
menyusulmu sebentar lagi.”
Hal
terakhir yang dibutuhkan Mairin adalah berkenalan dengan satu pria lagi dari
keluarga McCabe. Mairin menggigil. Pria itu mungkin juga orang yang menjengkelkan,
sama seperti Ewan dan Alaric.
***
Ewan
tiba untuk menyambut Caelen persis ketika Caelen turun dari kuda dan berjalan
ke arah Ewan.
“Apakah
itu benar? Bahwa Crispen sudah kembali?” Caelen bertanya dengan nada tidak
sabar.
“Ya,
itu benar. Alaric membawanya pulang kemarin.”
“Kalau
begitu, di mana anak nakal itu?”
Ewan
tersenyum persis saat Crispen berlari-lari di halaman seraya berteriak “Paman
Caelen” keras-keras. Caelen menjadi pucat dan terhuyung ke belakang sebelum
kembali berdiri kokoh dan menangkap anak yang menggeliat-geliat itu, yang
menghambur ke pelukan Caelen.
“Syukurlah,”
kata Caelen dengan terengah-engah. “Kau masih hidup.”
Crispen
mengalungkan lengan ke leher Caelen dan memeluk Caelen erat-erat. “Maafkan aku,
Paman Caelen. Aku tidak bermaksud membuat kau dan Papa takut. Tapi jangan
khawatir, mairin mengurusku dengan baik.”
Ewan
mengangkat alis. Di sampingnya, Alaric juga mendegar ketika Crispen tidak
sengaja membocorkan rahasia.
Caelen
mengerutkan wajah kepada Ewan dari atas kepala Crispen. “Siapa Mairin ini?”
Crispen
langsung membeku dalam pelukan Caelen, lalu meronta-ronta sampai Caelen
menurunkannya. Setelah itu dengan terpukul Crispen menatap Ewan, perasaan
bersalah jelas terpancar dari matanya.
“Oh
tidak, Papa, aku sudah melanggar janjiku. Aku melanggarnya!”
Ewan
mengulurkan tangan kepada putranya dan meremas bahu anak itu untuk
menenangkannya. “Kau tidak sengaja, Nak. Untuk membuat perasaanmu lebih tenang,
aku akan suruh Alaric dan Caelen supaya melupakan nama itu sekarang juga.”
“Dan
kau, Papa?” tanya Crispen dengan gelisah. “Apakah kau akan melupakannya juga?”
Ewan
menahan rasa geli lalu menoleh kepada dua adiknya. “Kami bertiga akan berusaha
keras melupakannya.”
“Demi
Tuhan, bisakah seseorang memberitahuku apa yang terjadi?” tanya Caelen dengan
kesal. “Dan apakah ini ada kaitannya dengan wanita aneh yang duduk di lereng
itu?”
Ewan
mengikuti tatapan Caelen, ke tempat Mairin duduk di bukit yang menghadap ke
kastel. Mata Caelen memang tajam. Jika ada orang asing di tanah mereka, Caelen
langsung melihatnya. Caelen luar biasa hati-hati tentang siapa yang boleh masuk
ke tanah mereka. Pelajaran yang diperolehnya dari pengalaman pahit di masa
silam.
“Dia
tidak mau tinggal di sini,” kata Crispen dengan murung.
Ewan
langsung menoleh ke arah putranya. “Mengapa kau berkata begitu?”
“Dia
bilang tidak bisa melakukannya.”
“Ewan?
Apakah aku harus memukulimu dulu untuk mendapat informasi darimu?” tanya
Caelen.
Ewan
mengangkat tangan untuk menyuruh Caelen diam. “Apa lagi yang dikatakannya,
Crispen?”
Crispen
mengerutkan kening dan membuka mulut, tapi segera menutupnya lagi. Dia
mengatupkan bibir rapat-rapat dengan sikap melawan. “Aku sudah melanggar
janji,” katanya dengan kesal. “Aku tidak boleh mengatakan apa-apa lagi.”
Ewan
menghela napas dan menggeleng. Semua masalah ini membuatnya amat pusing. Semoga
Tuhan menyelamatkannya dari wanita keras kepala dan tidak mau membuka mulut
itu. Tapi parahnya, setelah membuat putra Ewan benar-benar terpikat, wanita itu
malah ingin segera meninggalkan kastel ini.
Kening
Ewan berkerut memikirkan hal itu. Sebenarnya Ewan tidak ingin menahan wanita
itu. Ia hanya tidak mau Crispen menjadi sedih. Namun ia juga tidak mau mengurus
wanita yang merepotkan atau menghadapi masalah yang dibawanya.
“Baiklah,
kau boleh pergi, Crispen, supaya aku bisa menyambut kedatangan pamanmu dulu.
Aku perlu membicarakan banyak hal dengan Caelen dan Alaric.”
Mendengarnya,
Crispen tidak tampak tersinggung, matanya malah bersinar lega. Dia memutar
tubuh dan langsung kembali mendaki bukit tempat Mairin duduk. Hanya saja Mairin
sudah pergi dari sana sekarang. Ewan memandang ke sekeliling untuk melihat ke
mana Mairin pergi, tapi tidak menemukan wanita itu di mana pun.
“Mairin?
Siapa Mairin ini dan apa hubungannya dengan Crispen? Lagi pula, apa yang dia
lakukan di sini?”
Ewan
menunjuk Alaric. “Dia yang membawa wanita itu.”
Seperti
yang diduga Ewan. Alaric segera menyangkal peran dalam seluruh masalah ini.
Ewan harus menahan tawa ketika mendengar nada tertekan dalam suara Alaric.
Caelen
sudah hampir kehilangan kesabaran, dan ia bukan orang yang penyabar, jadi Ewan
akhirnya menceritakan semua yang diketahui kepada Caelen. Alaric memberikan
beberapa informasi tambahan, dan setelah mereka selesai bercerita, Caelen
memandang Ewan dengan tidak percaya.
“Dia
tidak mau memberitahumu apa pun? Dan kau membiarkannya?”
Ewan
menghela napas. “Kau mau aku berbuat apa, memukulinya seperti yang Cameron
lakukan? Wanita itu pasti akan menuruti permintaanku nanti. Aku memberinya
waktu sampai besok untuk memutuskan bahwa dia bisa percaya kepadaku.”
“Dan
apa yang akan kau lakukan jika dia menolak besok?” alaric menyeringai.
“Dia
tidak akan menolak permintaanku.”
“Yang
penting Crispen sudah kembali kepada kita,” kata Caelen. “Aku tidak peduli
dengan apa yang dilakukan atau dikatakan wanita itu. Jika Cameron datang dan
ingin berperang, dengan senang hati aku akan melayaninya. Lalu, biarkan wanita
itu pergi.
“Ayo,
hari semakin gelap dan Gertie pasti sudah memasak makan malam. Kalian tahu
benar dia tidak suka menyajikan makanan dingin,” kata Ewan. “Serahkanlah
masalah Mairin kepadaku. Kalian berdua tidak perlu memikirkannya.”
“Kami
juga tidak mau,” gumam Caelen dengan jengkel, ketika melewati Ewan.
***
Bab
7
Mairin
merapatkan syal ke tubuh dan berjalan mengendap-endap di sepanjang dinding batu
kastel yang retak di sana sini. Ia memilih jalan yang paling dekat dengan danau
karena lebih sedikit penjaga yang ditugaskan di sisi itu. Karena sulit bagi
musuh untuk masuk dan menyerang kastel lewat jalur air.
Udara
musim semi dingin menusuk, dan tiba-tiba Mairin merasa bukan keputusan yang
bagus untuk meninggalkan kehangatan kamar kecilnya tadi.
Mairin
merasa tertekan ketika makan malam tadi. Ketika melihat adik bungsu lang laird,
ia jadi enggan memenuhi janji untuk duduk di sebelah Crispen di meja. Pria itu
cemberut kepada Mairin, dan meski kedua pria McCabe yang lain suka cemberut
kepadanya, ada sesuatu yang gelap di balik wajah merengut Caelen. Yang membuat
Mairin takut.
Karena
itu Mairin berdalih tidak enak badan dan langsung naik. Namun kepergiannya dari
meja makan tidak menghalangi Crispen untuk membawakan sepiring makanan ke pintu
kamar Mairin. Lalu mereka berdua duduk bersila di depan perapian untuk makan.
Setelah
itu, dengan alasan dirinya sangat lelah, Mairin meminta Crispen pergi. Lalu ia
menunggu selama berjam-jam. Sampai suara-suara di kastel itu lenyap. Ketika
Mairin yakin semua orang tidur, atau setidaknya sudah di kamar masing-masing.
Ia menyelinap turun dan pergi ke jalan masuk kastel yang menghadap ke danau.
Mairin
bernapas lebih tenang ketika sampai di bawah naungan pohon-pohon yang
memisahkan sebagian danau dari kastel. Di sini, Mairin bisa bergerak relatif
bebas tanpa ada orang yang melihatnya dan menyusuri danau sampai ia pergi jauh
dari tempat ini.
Percikan
keras membuat Mairin terkejut, lalu ia menoleh ke arah air. Mairin membeku,
menahan napas ketika melihat ke air yang sehitam tinta dari sela-sela
pepohonan. Nyaris tidak ada bulan malam ini, dan hanya ada seberkas cahaya yang
menyoroti riak-riak air danau.
Namun
penerangan itu cukup bagi Mairin untuk melihat bahwa ada tiga pria yang
berenang pada larut malam. Juga untuk melihat siapa yang berenang. Ewan McCabe dan kedua adiknya menyelam ke
danau dan semoga Tuhan mengampuninya, tetapi mereka bertiga tidak mengenakan
pakaian selembar pun.
Mairin
langsung menutupi mata dengan kedua tangan. Ia malu sekali karena sadar melihat
bokong tiga pria dewasa. Apakah mereka sudah gila? Danau itu pasti luar biasa
dingin. Mairin menggigil ketika membayangkan betapa dinginnya berenang di danau
itu sekarang.
Selama
beberapa menit Mairin duduk berjongkok di samping sebatang pohon, tangannya
menutupi mata. Ketika mairin akhirnya menyingkirkan tangan dari mata, ia malah
melihat Ewan McCabe berjalan keluar dari air. Mata Mairin menjadi bundar karena
shock, dan tangannya terkulai ke
samping kala ia menatap lurus ke depan, terpaku memandang pria yang telanjang
bulat. Sang laird berdiri, mengeringkan tubuh dengan handuk. Setiap gerakan
tangan sang laird hanya menarik perhatian Mairin kepada tubuh berotot pria itu.
Dan... Dan... Mairin bahkan tidak sanggup memikirkan daerah di antara kedua
paha sang laird.
Ketika
sadar bahwa ia tanpa malu-malu menatap ke... ke... bukit gairah sang laird,
mairin buru-buru menutupi mata lagi dan menggigit bibir bawah untuk menahan pekikan
yang siap keluar dari mulut.
Satu-satunya
harapan Mairin adalah semoga acara renang mereka cepat selesai lalu mereka akan
kembali ke kastel. Ia tidak mau mengambil risiko dengan bergerak di sekita pepohonan
dan menarik perhatian mereka. Namun ia juga tidak mau duduk di sini dan dengan
kurang ajar memelototi ketiga pria itu.
Pipi
Mairin menjadi panas, dan meski ia memejamkan mata rapat-rapat, sosok telanjang
Ewan McCabe tercetak jelas di benak. Apa pun yang Mairin lakukan, ia tetap saja
tidak bisa melupakan pemandangan ketika sang lair berjalan keluar dari air –telanjang
bulat, tanpa sehelai benang pun.
Paling
tidak Mairin harus mengaku dosa tiga kali untuk memohon ampun atas dosa sebesar
itu.
“Kau
boleh melihat sekarang. Tenang saja, aku sudah berpakaian lengkap.”
Suara
kering sang laird terdengar sangat dekat dengan teling Mairin. Mairin merasa
malu sekali, sehingga pipinya terasa sangat tegang sampai ia hanya bisa duduk
di sana, dengan tangan yang masih menutupi mata. Mungkin jika benar-benar
mengharapkannya, ketika ia membuka mata, sang laird akan berada jauh, jauh
sekali dari sini.
“Itu
tidak akan terjadi,” jawab sebuah suara dengan nada geli.
Mairin
menurunkan satu tangan ke mulut, tempat ia seharusnya meletakkan tangan sejak
awal, supaya ia tidak mengatakan sesuatu yang bodoh. Seperti tadi, ketika ia
menyatakan kalau saja sang laird berada jauh dari sini.
Sekarang,
setelah menurunkan satu tangan dari satu mata, Mairin dengan takut-takut
menatap sang laird untuk mengecek apakah pria itu memang sudah memakai baju.
Setelah memastikan, Mairin menurunkan tangan yang lain saat ia melihat dengan
gelisah kepada sang laird.
Sang
laird berdiri, kakinya terentang lebar, lengannya dilipat di depan dada, dan
tentu saja, cemberut kepada Mairin.
“Mau
memberitahuku mengapa kau mengendap-endap dalam gelap di sini?”
Pundak
Mairin merosot turun. Rupanya melarikan diri dengan baik saja ia tak mampu.
Tapi, mana mungkin Mairin tahu bahwa sang laird dan kedua adiknya setolol itu,
senang berenang begitu larut?
“apakah
aku harus menjawabnya?” tanya Mairin dengan suara tak jelas.
Sang
laird menghela napas. “Aku sudah memberitahumu bahwa kau tidak boleh
meninggalkan perlingunganku. Bagian mana dari perintah itu yang tidak kau
mengerti? Aku tidak suka melihat orang yang ada di bawah kekuasaanku
terang-terangan melanggar perintahku. Jika kau salah satu prajuritku, aku akan
membunuhmu.”
Kalimat
terakhir sang laird kedengarannya bukan ancaman kosong. Bahkan tidak ada nada
angkuh dalam suara sang laird ketika mengucapkannya. Jadi Mairin yakin sang
laird tidak mengatakannya hanya untuk membuat ia hormat kepada pria itu. Tidak,
sang laird Cuma bersikap jujur, dan itu malah membuat Mairin semakin ketakutan.
Tapi
iblis mendorong Mairin untuk menentang sang laird. “Aku tidak berada di bawah
kekuasaanmu, Laird. Aku tidak tahu mengapa kau bisa berpikir seperti itu, tapi
itu sama sekali tidak benar. Aku tidak berada di bawah kekuasaan siapa pun,
selain Tuhan dan diriku sendiri.”
Sang
laird balas menyeringai kepada Mairin, giginya berkilat-kilat di bawah cahaya
bulan yang redup. “Untuk wanita yang bertekad hidup mandiri, kau melakukannya
dengan buruk.”
Mairin
menarik napas dengan kesal. “Sungguh lancang kau.”
“Tapi
bukan berarti perkataanku tidak benar. Nah, jika percakapan kita sudah selesai,
bagaimana kalau kita kembali ke kastel? Idealnya, sebelum putraku keluar dari
kamarku dan pergi ke kamarmu untuk mencarimu. Kelihatannya dia senang tidur di
sisimu. Aku tidak mau membayangkan reaksinya ketika melihat ranjangmu kosong.”
Oh,
itu benar-benar tidak adil, dan sang laird sangat menyadarinya. Pria itu
mengeksploitasi emosi Mairin dan berusaha membuat Mairin merasa bersalah
meninggalkan Crispen. Mairin mengerut kesal kepada laird untuk menunjukkan
perasaan tidak senangnya, tapi pria itu tidak peduli dan malah meraih lengan
Mairin dengan jemarinya yang kuat.
Mairin
tidak punya pilihan selain membiarkan sang laird menggiringnya kembali ke arah
kastel. Pria itu menyeret Mairin mengelilingi tempbok batu dan melintasi
halaman. Di sana dia berhenti sejenak untuk memberikan perintah tegas kepada
penjaga agar tidak membiarkan Mairin sampai kabur lagi. Lalu dia meneruskan
langkah ke kastel. Mairin semakin tertekan ketika sang laird berkeras untuk
mengantarnya sampai ke kamar.
Sang
laird membuka pintu kamar Mairin lalu mendorongnya ke dalam. Kemudian dia
berdiri di depan pintu dan melotot galak kepada Mairin.
“Kau
tidak akan bisa menakutiku dengan menunjukkan wajah yang menyeramkan,” kata
Mairin dengan ringan.
Mata
sang laird menengadah ke langit untuk sesaat, dan mairin berani bersumpah pria
itu menghitung dengan suara pelan. Sang laird mengambil waktu sejenak, seolah
berusaha mengumpulkan kembali kesabaran. Pemandangan itu membuat Mairin geli,
mengingat pria itu tampaknya tidak punya kesabaran sedikit pun.
“Jika
harus memalang pintumu, aku akan melakukannya. Aku bisa bersikap sangat baik
kepadamu, lass, tapi kau benar-benar
menguji kesabaranku. Aku sudah memberimu waktu sampai besok untuk memercayakan
apa pun rahasiamu padaku. Setelah itu, aku yakin kau tidak akan menyukai
sikapku lagi.”
“Sekarang
saja aku tidak menyukainya,” sahut Mairin dengan jengkel. Ia melambaikan tangan
ke arah sang laird. “Pergilah. Aku hanya ingin tidur sekarang.”
Rahang
sang laird bergerak sedikit, lalu ia meregangkan jemarinya di samping tubuh.
Mairin ingin tahu apakah sang laird membayangkan jemarinya mencekik leher
Mairin. Kelihatannya sang laird memikirkan hal yang sama pada saat itu.
Lalu,
seolah hendak melawan perintah Mairin, sang laird melangkah maju sampai
sosoknya menjulang menakutkan di atas Mairin. Rahang pria itu masih
bergerak-gerak, dan matanya menyipit saat dia menunduk menatap Mairin.
Ujung
jari sang laird menyentuh ujung hidung Mairin. “Bukan kau yang membuat
peraturan di sini, lass. Tapi aku.
Ingat itu, demi kebaikanmu sendiri.”
Mairin
menelan ludah, tiba-tiba merasa amat kecil dibandingkan dengan sang laird. “Aku
akan berusaha keras mengingatnya.”
Sang
laird mengangguk singkat lalu berbalik dan meninggalkan ruangan, membanting
pintu dengan keras.
Mairin
mengempaskan tubuh ke kasur jerami dan menghela napas dengan kesal. Ini tidak
berjalan sesuai rencana. Seharusnya ia sudah pergi jauh dari tanah McCabe
sekarang, atau paling tidak sudah sampai di perbatasan. Rencananya ia akan
pergi ke utara, karena tidak ada apa-apa baginya di selatan.
Tapi
sekarang ia malah terperangkap di kastel dengan seorang laird angkuh. Yang
mengira dia bisa dengan mudah menyuruh Mairin percaya kepadanya, sama seperti
dia memerintah para prajurit. Besok sang laird akan melihat, bahwa Mairin tidak
akan tunduk begitu saja kepada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar