Rabu, 19 Februari 2020

A Duke of Her Own #2


 “Kurasa semua ini takkan bisa jadi lebih parah lagi.”

Randolph Selwyn, Duke of Hawkhurst kelima. Memindahkan gelas berisi brendi dari bibirnya dan mengangkat alis kepada Alexander Wentworth, Earl of Ravensley keenam, yang tengah berdiri memandangi api dengan muram, satu lengannya bertengger di rak marmer di atas tungku. “Kau memang selalu kurang bisa berimajinasi.”

Di kursi empuk di sebelahnya, Michael Tremayne, Marquess of Falconridge keempat menggelengkan kepalanya yang berambut gelap dan tertawa.

Ravensley menoleh untuk menatap dua sahabat lamanya, rupanya tidak menyukai komentar sinis atau tawa sahabatnya yang lain. “Kurasa situasi kita ini tidak lucu.”

“Hanya karena kau tidak bisa melihat sisi lucunya,” sahut Falconridge. “Jadi kau kurang bisa berimajinasi dan tidak humoris.” Ia berhenti sejenak untuk menekankan hal itu, matanya yang hijau menatap tajam saat tidak ragu lagi ia mencapai pokok permasalahan yang tepat. “Dan tidak punya uang.”

“Aku bisa saja hidup tanpa rasa humor atau imajinasi, tapi aku merasa makin kesulitan hidup tanpa uang. Aku makin kesulitan menyuruh orang-orang memperpanjang utangku. Bagaimana dengan kalian?”

Falconridge mengangkat gelasnya, memutar cairan di dalamnya, seolah terpesona oleh cairan berwarna kuning keemasan itu. “Aku tidak. Wanita simpananku meninggalkanku pekan ini. Dia mengemasi semua barang-barangnya dan pergi. Rupanya dia menemukan seorang pria yang bisa membelikan barang-barang tak berguna yang tak bisa kubelikan untuknya.”

“Turut berduka mendengarnya.”

“Tidak seberduka aku. Dia sungguh luar biasa di ranjang. Malah, yang terbaik yang pernah kumiliki.”

Hawk tahu mereka takkan menanyakan situasi mengegnai wanita simpanannya, karena mereka cukup mengenalnya untuk tahu ia tak pernah mengambil seorang wanita simpanan. Ia terlalu cepat bosan dengan wanita, tidak pernah bertemu dengan seseorang yang bisa mempertahankan perhatiannya begitu masa-masa pengejaran berlalu. Itulah salah satu alasan ia tak pernah mempertimbangkan pernikahan dengan serius. Bagaimana bisa seorang pria memaksa dirinya sendiri untuk mengunjungi ranjang istrinya, malam demi malam, tahun demi tahun, sampai ia mengaruniainya seorang ahli waris dan cadangannya. Tugas untuk memproduksi melenyapkan semua kenikmatan, harapan untuk spontanitas, juga rasa familier. Ia menyukai pengalaman baru. Pernikahan sama dengan kebosanan.

“Sudah cukup lama kita berada dalam posisi sulit ini,” kata Hawk. “Kenapa mendadak kau merasa direpotkan oleh hal itu?”

Ravensley menghempaskan tubuhnya ke kursi seolah ia tidak lagi punya kekuatan untuk tetap berdiri, seolah beban yang dibawanya mendadak terasa terlalu berat. “Louisa.”

Perut Hawk bergejolak mendengar nama gadis itu –gadis paling menjengkelkan yang pernah ditemuinya. Delapan tahun lebih muda darinya. Gadis itu sudah merepotkan sajak Hawk, di umur empat belas tahun, pertama kali bertemu dengannya saat mengunjungi rumah keluarga Ravensley untuk pertama kalinya. Lady Louisa memergoki Hawk dan kakaknya di kandang kuda mencoba pipa Earl Ravensley. Di umur lima belas tahun, minuman keras Earl Ravensley yang mereka coba.

Di umur enam belas tahun, yang dipergoki Louisa adalah putri dari pelayan Lord Ravensley –wanita yang enam tahun lebih tua dari Hawk yang jelas-jelas senang memperkenalkan pemuda-pemuda pada nikmatnya masa muda ketika tidak tengah mengasuh Lady Louisa. Di sebuah bilik di sudut kandang kuda, bersama wanita itu dan setumpuk jerami di bawahnya, Hawk tengah melayang-leyang dalam kenikmatan ketika Lady Louisa mendadak memergoki mereka dan menjerit bahwa Hawk tengah membunuh pengasuhnya. Lady Louisa mencoba menarik Hawk, meraih bahunya, dan mengguncangnya. Hawk selalu bersyukur sampai sekarang bahwa saat itu ia tengah menikmati saat-saat awal dan tidak terburu-buru membuka celana panjangnya, hanya sedang berbaring di atas wanita itu, tapi napas wanita itu yang terengah-engah memang tidak diragukan lagi kelihatan seolah-olah tengah berjuang bernapas. Hawk kemudian berteriak memanggil Ravensley dan Falconridge –keduanya sudah mencicipi bakat wanita itu lebih dulu –membuat keduanya datang tergopoh-gopoh dan membawa Lady Louisa pergi, dan gadis itu sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sore itu. Sejak pertemuan yang kurang mengenakkan itu, Hawk selalu berusaha untuk menghindari adik Ravensley.

“Adikmu? Kenapa dia?” tanya Hawk.

“Pagi ini dia menerima pekerjaan sebagai pendamping sosial.” Ravensley menghabiskan sisa isi gelasnya. “Dia bekerja, demi Tuhan.”

Falconridge mengangkat bahu. “Pekerjaan yang terhormat untuk wanita berpendidikan.”

“Tunggu sebentar,” kata Hawk. “Aku tidak sadar adikmu sudah setua itu.”

“Memang belum. Dia baru dua puluh enam tahun, tapi sudah memutuskan takkan ada pria yang menginginkannya dan karena itu umurnya adalah isu yang sensitif.”

“Tentunya, seseorang...”

“Tidak,” sela Ravensley. “Tak seorang pun. Dia tak punya mas kawin. Dan dia benar. Tanpa kemampuan finansial untuk ditawarkan kepada seorang pria, bisa dibilang dia nyaris tanpa harapan. Dan akulah yang harus dipersalahkan. Sebagai kepala keluarga, seharusnya aku bertindak sejak dulu untuk memastikan keadaan tidak menjadi seburuk ini.”

“Memangnya tindakan macam apa yang bisa kau ambil?” tanya Falconridge.

“Menikahi salah satu ahli waris berkebangsaan Amerika yang ingin mendapatkan gelar untuk diri mereka.”

Hawk bangkit berdiri dan menggantikan posisi Ravensley di depan perapian, suasana hatinya mendadak terjun ke jurang keputusasaan memikirkan seorang wanita Inggris terhormat, terutama yang ia kenal, sekarang melayani orang lain... orang Amerika pula. “Kepada siapa dia bekerja?”

“Keluarga Rose.”

Hawk memutar tubuhnya. “Dari New York?”

Ravensley meringis. “Reaksiku juga seperti itu. Kaya raya dengan dua putri yang sangat menarik, dari apa yang kudengar. Aku sudah memutuskan hal terbaik yang bisa kulakukan untuk Louisa adalah memastikan gadis-gadis ini cepat menikah dan salah satunya menikah denganku. Tanpa perlu mengawasi mereka lagi, Louisa akan berhenti menjadi pendamping mereka, lalu aku akan bisa mempunyai uang untuk menghidupinya dengan layak. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

“Dan dengan adanya Louisa dalam rumah keluarga Rose, aku cukup beruntung. Dia bisa menjadi mata-mataku, memberiku nasihat mengenai bagaimana memikat gadis pilihanku sekaligus juga memberitahukan perkembangan menyedihkan bangsawan-bangsawan yang lain. Aku sedang berpikir apakah salah satu dari kalian mau dengan putri lainnya.”

Tatapan Ravensley berpindah-pindah antara Hawk dan Falconrdge, yang perlahan-lahan menggelengkan kepala.

“Kau tak pernah mahir dalam berhitung,” sahut Falconridge. “Mereka berdua dan kita bertiga. Takkan bisa, Sobat.”

Kuakui memang tidak sempurna, tapi terasa menantang, bukan, dan akhir-akhir ini aku jarang merasakan tantangan. Apakah kalian tertarik?”

“Harus kuakui aku cukup tertarik dengan kemungkinannya,” sahut Hawk. “Kurasa tidak ada salahnya kalau kita dengarkan pendapat Lady Louisa mengenai gadis-gadis ini.”


***


Neraka dan kutukan. Pria tanpa uang terjebak dalam posisi yang tidak mengenakkan sama seperti wanita tanpa uang maskawin.

Hawk membenci leluhurnya yang berpikiran dangkal dan menolak untuk memperlebar sayap ke bidang lain selain agrikultur. Ayahnya sendiri gagal menyadari bahwa para penyewa meninggalkan tanah untuk bekerja di pabrik-pabrik di kota dan makin sedikit uang masuk ke kotak penyimpanan mereka padahal di luar ada bisnis menguntungkan tengah berlangsung. Hawk tidak punya apa-apa untuk ditawarkan pada seorang wanita kecuali gelarnya dan karena itu ia terpaksa harus membuat pilihan berdasarkan apa yang bisa ditawarkan wanita itu kepadanya dari segi finansial. Sungguh beruntung ia tidak percaya pada cinta.

Ia sudah lama mempertimbangkan mencari ahli waris berkewarganegaraan Amerika, jadi saran Ravensley cukup membuatnya berpikir lagi. Dan temannya cukup benar: mereka akan punya keuntungan dengan Lady Louisa membagi pengetahuan dan pengamatannya.

Seandainya saja Hawk memfokuskan diri pada kata-kata Louisa dan bukan lekukan lehernya yang jenjang, yang memberikan ruang luas bagi para pria untuk menggigitinya. Sejak kapan leher gadis itu menjadi jenjang dan begitu menggoda? Ia menghadiri pesta debut Louisa, tapi seperti biasa ia memilih untuk menghindari Louisa. Seorang gadis yang takkan pernah bisa dimiliki Hawk memberikan godaan yang tak tertahankan. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan dilakukan sahabat Hawk kalau sampai tahu ke mana arah pikirannya yang melayang-layang tak tentu arah ini.

Bersama Falconridge dan Ravensley di mana Lady Louisa tengah memilih-milih buku kesukaannya untuk dibawa saat ia pindah ke keluarga Rose besok pagi. Sekarang ia duduk di kursi, jemari Louisa menelusuri punggung buku dari kulit di pangkuan dan Hawk tidak bisa menahan rasa penasarannya mengenai bagaimana rasanya bila jemari itu menelusuri bahunya, turun ke dadanya, melewati perutnya, turun ke...

“...Your Grace?”

Hawk mengarahkan tatapan kepada Louisa. Apakah selama ini wanita itu selalu memiliki mata sebiru itu? Begitu besar, begitu bulat, begitu polos? Dan warna rambutnya keemasan seperti gandum yang dulu pernah tumbuh menutupi tanahnya. Kalau ia bisa menenun tiap helainya menjadi emas, ia takkan perlu mengalami kondisi yang mengharuskannya mencari wanita kaya untuk dijadikan istri. Dan bila uang bukanlah syarat utama, kemungkinannya akan menjadi tak terbatas.

Hawk berdeham. “Maaf. Pikiranku agak terpecah.”

“Aku tidak bermaksud membuatmu bosan.”

Hawk sama sekali tidak bosan, tapi ia jelas tidak bisa membeberkan hal itu tanpa khawatir bahwa Louisa akan bertanya hal apa yang mengalihkan perhatiannya kalau bukan kata-kata itu. Lalu apa yang akan ia katakan? Bahwa ia tengah membayangkan menggesekkan bibirnya ke leher Louisa?

Pernyataan itu bukan saja akan ditanggapi dengan salah oleh Louisa, tapi jga hal itu bisa mengakhiri persahabatannya dengan Ravensley.

“Aku minta maaf, lagi. Aku agak lelah sore ini.”

“Karena begadang hingga larus malam?”

“Pola tidur Hawk bukanlah urusanmu, Louisa,” sahut Ravensley tegas. Ia menoleh kepada Hawk. “Dia tadi bertanya apa yang kau ketahui mengenai keluarga Rose.”

“Ah. Tidak banyak sebenarnya. Bahwa mereka kaya raya dan punya dua putri yang ingin suami bergelar.” Hawk menatap Louisa. Mata Louisa sama birunya dengan kakaknya namun mata itu lebih menarik, lebih memesona. “Kukira alasan kedatangan kami ke sini adalah supaya kau bisa memberitahu apa yang kau ketahui soal keluarga itu.”

“Supaya kau bisa mendekati putri-putri mereka?”

Apakah kekecewaan yang Hawk dengar itu, yang ia lihat terpancar dalam mata Louisa itu?

“Jadi aku mungkin bisa memikirkan kemungkinan-kemungkinannya, mengetahui peluang salah satu dari gadis-gadis itu cocok untukku dan mungkin memintamu mengucapkan hal-hal baik tentangku... tentang kami. Kakakmu, Falconridge, dan aku.”

Falconridge tengah duduk di sisi lain Ravensley, tapi ia tampak tidak terlalu memperhatikan sama seperti Hawk. Apakah mereka mau menikah?

“Kau cukup perhitungan juga,” sahut Louissa, tidak berusaha menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.

“Kami semua, sebenarnya. Seorang pria tidak boleh meremehkan urusan pernikahan. Jadi apa yang kau ketahui mengenai Rose bersaudara?” tanya Hawk.

Louisa membuka buku kemudian menutupnya. “Ibu mereka menunjukku untuk mencarikan mereka suami yang cocok.”

“Itu dia! Lihat!” Ravensley memukulkan tangannya ke lengan kursi. “kau akan membantu kami, Louisa, dan dalam melakukannya, kau akan membantu dirimu sendiri. Kami ini tangkapan yang bagus, kau tahu. Jadi ceritakan kepada kami semua yang kau ketahui mengenai putri-putri keluarga Rose dan jangan lupakan apa pun. Kami akan menganalisis informasi itu untuk detail-detail yang tepat.”

Tatapan Louisa berpindah-pindah di antara ketiga pria itu dan Hawk bertanya-tanya mengapa Louisa tampak ragu-ragu, seolah gadis itu khawatir akan mengecewakan seseorang.”

“Jenny yang sulung. Umurnya dua puluh dua, sementara Kate berumur dua puluh,” kata Louisa akhirnya dengan antusiame seseorang yang sedang membacakan sepotong bagian literatur yang dihafalkannya.

“Apakah mereka cantik?” tanya Falconridge.

“Aku tidak bisa menjawab. Karena aku yakin kalian semua tahu, kecantikan itu tergantung yang melihat.”

Pernyataan itu dirasa kurang tepat. Tidak seperti Ravensley, Hawk tidak kekurangan imajinasi. Malah, di saat-saat tertentu, imajinasinya terasa begitu nyata. Kata-kata Louisa membuatnya membayangkan wanita-wanita dengan hidung besar, gigi runcing dan rambut kusam mencuat dari kutil di dagu mereka. “Apakah kau akan menggolongkan mereka cantik?” tanyanya.

Louisa menunduk memandangi bukunya. “Ya.”

“Memesona?”

Louisa mengangkat tatapannya. “Mereka berdua adalah dua gadis yang sangat berbeda. Tidak adil kalau memasangkan deskripsi yang sama pada mereka masing-masing.”

Hawk berjuang untuk menahan rasa tidak sabarannya. “Kalau begitu deskripsikanlah mereka satu per satu, yang aku yakin itulah yang diminta kakakmu tadi.”

Louisa meraih buku itu, meletakkan buku di pangkuan, dan Hawk bertanya-tanya apakah wanita itu tergoda untuk melemparkan buku itu ke kepalanya. Kenapa louisa tidak terus terang saja mengenai informasi yang ia miliki? Memangnya ada apa dengan gadis-gadis itu sampai ia tidak ingin mereka tahu? Kalau ia mengetahui ada sesuatu yang buruk, apakah itu akan mengubah rencananya? Hawk yakin tidak.

Lagi-lagi Louisa mengangkat buku itu, meletakkannya, memandangi buku-buku itu, kemudian berkata, “Mereka tidak bisa dideskripsikan. Kalian harus bertemu mereka untuk bisa memahami, mengenal, untuk bisa benar-benar menghargai mereka.”

“Demi Tuhan, Louisa, bukankah kau menghabiskan sepagian bersama mereka?” sela Ravensley gusar. “Tentunya kau bisa memberi kami informasi yang jauh lebih konkret.”

“Alex, aku dipekerjakan untuk mencarikan mereka suami yang cocok,” ulang Louisa.

“Tiga kandidat dengan sukarela berjalan ke perpustakaanmu, domba-domba yang siap disembelih. Aku tidak bisa mengerti kenapa kau tidak lebih terus terang,” sahut Hawk.

“Kelihatannya kau punya pendapat yang sangat rendah mengenai pernikahan,” kata Louisa.

“Sebutkan seorang pria yang berpendapat tinggi mengenainya. Pria menikah dalam kondisi tersudut dan mereka tidak punya pilihan lain.”

“Apakah maksudmu kau juga tengah tersudut?”

Sialan! Bagaimana bisa percakapan ini berubah menjadi obrolan mengenai Hawk dan pendapatnya mengenai pernikahan?

“Kurasa kau sudah melenceng dari tujuan semula,” sahut Hawk. “Kau dipekerjakan untuk menemukan suami yang cocok untuk mereka dan inilah kami.”

Louisa menarik napas dalam-dalam, mengangkat dagunya sedikit, dan melipat tangannya di atas buku seolah ia melakukan hal itu untuk mengumpulkan kekuatan. “Ya, well, sayangnya, aku tidak merasa kalian bertiga akan cocok.”

Falconridge mendengus; Ravensley menggelengkan kepala. Hawk tidak bisa melakukan hal lain selain memandangi Louisa dengan tidak percaya. Hawk seorang duke, sudah menjadi duke sejak umur dua belas tahun. Tentu saja ia cocok.

“Maafkan aku, Alex,” kata Louisa perlahan, “tapi bukan pada tempatku untuk meyakinkanmu bahwa gadis-gadis itu cocok untukmu, tapi kau harus meyakinkanku bahwa kau cocok untuk diperkenalkan kepada mereka.”

“Aku kakakmu!”

“Aku sadar benar akan fakta itu dan sungguh menyakitkan bagiku bahwa aku tidak bisa merekomendasikanmu tanpa ragu-ragu.” Louisa menghela napas. “Tapi aku tidak bisa.”

“Ini konyol sekali,” Falconridge menyatakan, bangkit berdiri. “Aku takkan merendahkan diri...”

“Duduk,” sahut Ravensley. “Louisa Cuma sedang emosi.”

“Aku menolak untuk merendahkan diriku sampai harus membuktikan  diriku layak untuk seseorang, apalagi seorang asing.” Falconridge mencemooh. “Atau seorang pendamping.”

Hawk melihat Louisa tersentak dan hatinya bersimpati kepada gadis itu. Jelas ini tidak mudah bagi mereka semua. “Dengar Falconridge,” sahutnya, “tidak perlu melampiaskan rasa frustasimu kepada Lady Louisa.”

Falconridge sedikit membungkuk. “Maafkan, My Lady. Sudah sering orang menyebutku terlalu gengsi, tapi, bersama dengan gelarku, hanya itu yang tersisa untukku, jadi aku akan mempertahankannya sedikit lebih lama lagi, kalau kau tidak keberatan. Kuucapkan selamat malam untuk kalian semua dan aku akan keluar sendiri.”

Falconridge memutar tubuh dan sudah berjalan menyeberangi separuh ruangan saat Ravensley memanggilnya, “Falcon...”

“Biarkan dia pergi,” sahut Hawk. “Lebih sedikit persaingan untuk kita.”

Ravensley memutar tubuh dan memelototi adiknya. “Semuanya tidak berjalan baik, kan? Kau berhasil menghina sahabatku...”

“Dan kau juga menghinaku. Aku tidak temperamental.”

Ah, tapi Louisa memang sudah emosi. Hal itu ada di sana, dalam mata yang menyala-nyala, membuat warna biru mata sedikit menggelap hingga mirip lidah api paling ganas. Ya Tuhan, Hawk merasakan tubuhnya menegang karena gairah melihat emosi yang begitu nyata. Pernahkan ia melihat seorang wanita marah terang-terangan? Wanita yang biasanya dihiburnya sudah cukup senang bisa mendapatkan perhatiannya. Mereka jelas takkan pernah mendebatnya, menolak atau mempertanyakannya. Ia sungguh berharap Louisa akan melemparkan buku itu pada Ravensley. Wanita itu menggenggam buku itu begitu keras hingga ruas-ruas jarinya berubah putih.

“Semua wanita temperamental,” Ravensley menyatakan dengan datar. “Kau juga seorang wanita dan karenanya kau juga temperamental.”

“Itu asumsi yang konyol sekali, sama saja dengan berkata semua pria itu tolol.”

“Dengar, ya...”

“Kau yang harus dengar.”

Louisa bangkit berdiri. Napasnya terengah-engah, payudaranya kencang mendorong kain gaunnya, dan tubuh Hawk semakin menegang. Hawk akan ada dalam keadaan yang cukup memalukan kalau ia sampai mendadak berdiri. Ia mencoba menfokuskan diri membaca judul buku yang dipegang Lady Louisa, apa saja, apa saja untuk mengalihkan perhatiannya dari Louisa secara langsung.

Louisa adalah putri seorang earl, adik sahabat tepercayanya, bukan wanita sembarangan. Reaksi Hawk sungguh tidak pantas, selain juga sangat memalukan.

“Ini karena wanita simpananku, kan?” kata Ravensley dan Hawk bertanya-tanya apa lagi yang ia lewatkan dari percakapan ini, yang membawa ke asumsi itu. “Kau tidak setuju, tidak pernah setuju, tapi kau harus tahu semua pria terhormat punya wanita simpanan.”

“Aku tidak,” sahut Hawk singkat, yang membuat dua pasang mata biru memandanginya. Ia tidak yakin kenapa ia perlu membela dirinya sendiri, mengatakan sesuatu yang membuat dirinya naik di depan Louisa. Ia tengah mencoba untuk mengejar tujuan pernikahannya dan Louisa akan menjadi jalur paling pendek dan mudah ke tujuannya itu. Atau setidaknya itulah yang ada di pikirannya sebelum pertemuan yang gagal ini.

“Lady Louisa, tadi kau mengatakan, sebelum emosimu mulai naik, bahwa kau menganggap kami tidak pantas untuk diperkenalkan. Apakah kau mau menjelaskan kenapa kau berkesimpulan demikian? Karena, bisa saja kau salah paham mengenai kami.”

Louisa memeluk buku itu ke dadanya seolah buku itu bisa menjadi tameng. “Ketika kakakku pulang ke rumah pada saat fajar, setelah melewatkan semalaman bersamamu, dia berbau alkohol dan parfum murahan. Dia perlu dibantu menaiki tangga dan mengoceh tidak karuan. Kurasa aku tidak perlu mempermalukan kita semua dengan mengulangi kata-katanya itu. Cukup dikatakan aku tahu tak ada wanita yang aman dekat-dekat dengan kalian, kalian hanya menghargai pengejarannya, tapi bukan hadiahnya, dan biasanya cepat mencampakkan apa yang sudah kalian menangkan. Bagaimana bisa aku memperkenalkan kalian pada wanita yang ibunya telah memberikan tanggung jawab kepadaku untuk memastikan kebahagiaan mereka seumur hidup?”

Sambil menggosok-gosokkan telunjuk ke bibir bawahnya, Hawk mengamati Louisa. Wanita itu tahu lebih banyak mengenai diri Hawk daripada yang ia sadari. Pantas saja Louisa tidak mau memperkenalkan mereka. “Kukira kebahagiaan mereka tergantung dari apakah dia mendapatkan gelar. Wanita mana yang takkan senang membayangkan akan menjadi duchess?”

“Dan kegembiraan menjadi duchess itu sudah lenyap?”

“Semoga saja saat itu terjadi, aku sudah memiliki pewaris dan cadangannya, dan aku tidak akan menyalahkannya kalau dia mencari kebahagiaan di tempat lain.”

“Dan kepuasannya?”

Hawk terkejut mendengar pertanyaan itu. Apa yang diketahui wanita terhormat mengenai kepuasan? Lebih tepatnya, apa yang diketahui Louisa? Apakah pengetahuan wanita itu didapat melalui pengalaman atau hanya desas-desus? Apa yang sebenarnya digumamkan Ravensley saat dipapah menaiki ranjang tempat tidur dan apa pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Louisa pada kakaknya dalam kondisi yang lemah itu di mana lidah Ravensley jelas lebih longgar dari biasa? Terlalu longgar kelihatannya, Hawk kaget lidah itu tidak jatuh.

Hawk berdeham. “Tentu saja. Aku takkan pernah melenyapkan kesempatan wanita untuk mendapatkan kepuasan.”

Louisa memandangi Hawk dengan cermat seolah hendak memutuskan apa kata-kata pria itu tadi harus diterimanya begitu saja ataukah memiliki makna lain di balik itu. Kalau Louisa ini wanita lain, kata-kata pria itu tadi pasti bermakna ganda. Hawk tengah berjalan di sebuah papan titian di sini, merasa seolah ia baru pertama kali bertemu dengan Louisa, dan tidak bisa menyangkal bahwa ia tertarik... ia nyaris menggoda wanita ini, ingin membujuk wanita ini untuk melihat segalanya dari sudut pandangnya. Rayuan merupakan hal paling tepat untuk meyakinkan seseorang.

“Betapa baiknya kau,” Louisa akhirnya berkata.

“Kurasa begitu.”

“Maafkan aku, Your Grace, tapi kau tidak mengatakan apa-apa yang bisa meyakinkanku bahwa aku harus merekomendasikanmu. Malah, kau memperkuat pendapatku bahwa kau sama sekali tidak cocok.”

“Pendapatmu rasanya agak kasar.”

“Meskipun demikian, itulah pendapatku. Tapi, bila aku sampai salah menilai kepantasanmu, aku takkan melakukan apa-apa untuk memperburuk namamu... atau kakakku... dalam usaha untuk memikat gadis-gadis itu, tapi aku tidak akan mendorongmu untuk berusaha memikat mereka, juga aku takkan mendorong mereka untuk menyukaimu.”

“Louisa...”

“Pendapatku tidak bisa diubah lagi, Alex,” kata Louisa, dengan efektif memotong permohonan apa pun yang hendak disampaikan Ravensley. “Sekarang aku mohon diri dulu. Aku punya banyak urusan yang harus kuselesaikan sebelum aku pergi besok.”

Keberhasilan Louisa menemukan kekurangan Hawk langsung memadamkan gairahnya dengan efektif. Ia bangkit berdiri, dan membungkuk memberi hormat. “Aku menghargai keterusteranganmu, Lady Louisa.”

“Aku tidak bermaksud jahat.”

“Aku tidak percaya kau bisa jahat bahkan kalau kau mencoba. Aku juga sangat menghargai kau memperlakukan tanggung jawabmu dengan serius.”

“Kalau aku boleh kurang ajar, Your Grace, mungkin sudah waktunya kau melakukan hal yang sama.”

“Aku sedang mencoba, My Lady.”

“Ada orang-orang Amerika lain yang bukan menjadi tanggung jawabku...”

“Tapi tidak ada yang sekaya mereka. Dan meski kau menemukan kekuranganku, izinkan aku untuk meyakinkanmu bahwa aku tidak mau menerima yang kurang kalau aku bisa mendapatkan yang lebih.”

Hawk sungguh tergoda untuk meraih buku dari tangan Louisa dan melemparkan buku itu ke kakak gadis itu. Ia sangat jarang kehilangan kata-kata.

“Kurasa apa yang ingin kusampaikan sudah dipahami,” kata Louisa perlahan. “Selamat malam.” Tanpa menunggu jawaban mereka, ia melangkah anggun keluar dari ruangan itu.

“Aku sungguh tidak percaya dia menolak membantu kita,” sahut Ravensley, begitu pintu tertutup di belakang Louisa.

“Aku harus bertanya-tanya apa yang sebenarnya kau katakan saat kau dipapah menaiki tangga itu,” balas Hawk.

“Tidak ada yang penting, aku berani jamin. Larut malam, minum-minum, mabuk-mabukan... kurasa aku tidak bisa menyalahkannya karena berpendapat buruk tentang kita. Tapi tidak penting. Kita masih merupakan yang terbaik di sini dan kita takkan kesulitan memenangkan hati Rose bersaudara. Brendi untuk tos akan tantangan yang menunggu kita?”

“Tentu saja.”

Hawk melirik kembali pintu itu. Ia khawatir tantangan yang lebih besar dari mendapatkan perhatian seorang putri keluarga Rose ada di cakrawala sana. Baginya, tantangan itu mungkin berati harus mengabaikan pendamping kedua gadis rose.




Synopsis


1 komentar: