“Kurasa
semua ini takkan bisa jadi lebih parah lagi.”
Randolph
Selwyn, Duke of Hawkhurst kelima. Memindahkan gelas berisi brendi dari bibirnya
dan mengangkat alis kepada Alexander Wentworth, Earl of Ravensley keenam, yang
tengah berdiri memandangi api dengan muram, satu lengannya bertengger di rak
marmer di atas tungku. “Kau memang selalu kurang bisa berimajinasi.”
Di
kursi empuk di sebelahnya, Michael Tremayne, Marquess of Falconridge keempat
menggelengkan kepalanya yang berambut gelap dan tertawa.
Ravensley
menoleh untuk menatap dua sahabat lamanya, rupanya tidak menyukai komentar
sinis atau tawa sahabatnya yang lain. “Kurasa situasi kita ini tidak lucu.”
“Hanya
karena kau tidak bisa melihat sisi lucunya,” sahut Falconridge. “Jadi kau
kurang bisa berimajinasi dan tidak humoris.” Ia berhenti sejenak untuk
menekankan hal itu, matanya yang hijau menatap tajam saat tidak ragu lagi ia
mencapai pokok permasalahan yang tepat. “Dan tidak punya uang.”
“Aku
bisa saja hidup tanpa rasa humor atau imajinasi, tapi aku merasa makin
kesulitan hidup tanpa uang. Aku makin kesulitan menyuruh orang-orang
memperpanjang utangku. Bagaimana dengan kalian?”
Falconridge
mengangkat gelasnya, memutar cairan di dalamnya, seolah terpesona oleh cairan
berwarna kuning keemasan itu. “Aku tidak. Wanita simpananku meninggalkanku
pekan ini. Dia mengemasi semua barang-barangnya dan pergi. Rupanya dia
menemukan seorang pria yang bisa membelikan barang-barang tak berguna yang tak
bisa kubelikan untuknya.”
“Turut
berduka mendengarnya.”
“Tidak
seberduka aku. Dia sungguh luar biasa di ranjang. Malah, yang terbaik yang
pernah kumiliki.”
Hawk
tahu mereka takkan menanyakan situasi mengegnai wanita simpanannya, karena
mereka cukup mengenalnya untuk tahu ia tak pernah mengambil seorang wanita
simpanan. Ia terlalu cepat bosan dengan wanita, tidak pernah bertemu dengan
seseorang yang bisa mempertahankan perhatiannya begitu masa-masa pengejaran
berlalu. Itulah salah satu alasan ia tak pernah mempertimbangkan pernikahan
dengan serius. Bagaimana bisa seorang pria memaksa dirinya sendiri untuk
mengunjungi ranjang istrinya, malam demi malam, tahun demi tahun, sampai ia
mengaruniainya seorang ahli waris dan cadangannya. Tugas untuk memproduksi
melenyapkan semua kenikmatan, harapan untuk spontanitas, juga rasa familier. Ia
menyukai pengalaman baru. Pernikahan sama dengan kebosanan.
“Sudah
cukup lama kita berada dalam posisi sulit ini,” kata Hawk. “Kenapa mendadak kau
merasa direpotkan oleh hal itu?”
Ravensley
menghempaskan tubuhnya ke kursi seolah ia tidak lagi punya kekuatan untuk tetap
berdiri, seolah beban yang dibawanya mendadak terasa terlalu berat. “Louisa.”
Perut
Hawk bergejolak mendengar nama gadis itu –gadis paling menjengkelkan yang
pernah ditemuinya. Delapan tahun lebih muda darinya. Gadis itu sudah merepotkan
sajak Hawk, di umur empat belas tahun, pertama kali bertemu dengannya saat
mengunjungi rumah keluarga Ravensley untuk pertama kalinya. Lady Louisa
memergoki Hawk dan kakaknya di kandang kuda mencoba pipa Earl Ravensley. Di
umur lima belas tahun, minuman keras Earl Ravensley yang mereka coba.
Di
umur enam belas tahun, yang dipergoki Louisa adalah putri dari pelayan Lord
Ravensley –wanita yang enam tahun lebih tua dari Hawk yang jelas-jelas senang
memperkenalkan pemuda-pemuda pada nikmatnya masa muda ketika tidak tengah
mengasuh Lady Louisa. Di sebuah bilik di sudut kandang kuda, bersama wanita itu
dan setumpuk jerami di bawahnya, Hawk tengah melayang-leyang dalam kenikmatan
ketika Lady Louisa mendadak memergoki mereka dan menjerit bahwa Hawk tengah
membunuh pengasuhnya. Lady Louisa mencoba menarik Hawk, meraih bahunya, dan
mengguncangnya. Hawk selalu bersyukur sampai sekarang bahwa saat itu ia tengah
menikmati saat-saat awal dan tidak terburu-buru membuka celana panjangnya,
hanya sedang berbaring di atas wanita itu, tapi napas wanita itu yang
terengah-engah memang tidak diragukan lagi kelihatan seolah-olah tengah
berjuang bernapas. Hawk kemudian berteriak memanggil Ravensley dan Falconridge
–keduanya sudah mencicipi bakat wanita itu lebih dulu –membuat keduanya datang
tergopoh-gopoh dan membawa Lady Louisa pergi, dan gadis itu sama sekali tidak
tahu apa yang sebenarnya terjadi sore itu. Sejak pertemuan yang kurang
mengenakkan itu, Hawk selalu berusaha untuk menghindari adik Ravensley.
“Adikmu?
Kenapa dia?” tanya Hawk.
“Pagi
ini dia menerima pekerjaan sebagai pendamping sosial.” Ravensley menghabiskan
sisa isi gelasnya. “Dia bekerja, demi Tuhan.”
Falconridge
mengangkat bahu. “Pekerjaan yang terhormat untuk wanita berpendidikan.”
“Tunggu
sebentar,” kata Hawk. “Aku tidak sadar adikmu sudah setua itu.”
“Memang
belum. Dia baru dua puluh enam tahun, tapi sudah memutuskan takkan ada pria
yang menginginkannya dan karena itu umurnya adalah isu yang sensitif.”
“Tentunya,
seseorang...”
“Tidak,”
sela Ravensley. “Tak seorang pun. Dia tak punya mas kawin. Dan dia benar. Tanpa
kemampuan finansial untuk ditawarkan kepada seorang pria, bisa dibilang dia
nyaris tanpa harapan. Dan akulah yang harus dipersalahkan. Sebagai kepala
keluarga, seharusnya aku bertindak sejak dulu untuk memastikan keadaan tidak
menjadi seburuk ini.”
“Memangnya
tindakan macam apa yang bisa kau ambil?” tanya Falconridge.
“Menikahi
salah satu ahli waris berkebangsaan Amerika yang ingin mendapatkan gelar untuk
diri mereka.”
Hawk
bangkit berdiri dan menggantikan posisi Ravensley di depan perapian, suasana
hatinya mendadak terjun ke jurang keputusasaan memikirkan seorang wanita
Inggris terhormat, terutama yang ia kenal, sekarang melayani orang lain...
orang Amerika pula. “Kepada siapa dia bekerja?”
“Keluarga
Rose.”
Hawk
memutar tubuhnya. “Dari New York?”
Ravensley
meringis. “Reaksiku juga seperti itu. Kaya raya dengan dua putri yang sangat
menarik, dari apa yang kudengar. Aku sudah memutuskan hal terbaik yang bisa
kulakukan untuk Louisa adalah memastikan gadis-gadis ini cepat menikah dan
salah satunya menikah denganku. Tanpa perlu mengawasi mereka lagi, Louisa akan
berhenti menjadi pendamping mereka, lalu aku akan bisa mempunyai uang untuk
menghidupinya dengan layak. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
“Dan
dengan adanya Louisa dalam rumah keluarga Rose, aku cukup beruntung. Dia bisa
menjadi mata-mataku, memberiku nasihat mengenai bagaimana memikat gadis
pilihanku sekaligus juga memberitahukan perkembangan menyedihkan bangsawan-bangsawan
yang lain. Aku sedang berpikir apakah salah satu dari kalian mau dengan putri
lainnya.”
Tatapan
Ravensley berpindah-pindah antara Hawk dan Falconrdge, yang perlahan-lahan
menggelengkan kepala.
“Kau
tak pernah mahir dalam berhitung,” sahut Falconridge. “Mereka berdua dan kita
bertiga. Takkan bisa, Sobat.”
Kuakui
memang tidak sempurna, tapi terasa menantang, bukan, dan akhir-akhir ini aku
jarang merasakan tantangan. Apakah kalian tertarik?”
“Harus
kuakui aku cukup tertarik dengan kemungkinannya,” sahut Hawk. “Kurasa tidak ada
salahnya kalau kita dengarkan pendapat Lady Louisa mengenai gadis-gadis ini.”
***
Neraka
dan kutukan. Pria tanpa uang terjebak dalam posisi yang tidak mengenakkan sama
seperti wanita tanpa uang maskawin.
Hawk
membenci leluhurnya yang berpikiran dangkal dan menolak untuk memperlebar sayap
ke bidang lain selain agrikultur. Ayahnya sendiri gagal menyadari bahwa para
penyewa meninggalkan tanah untuk bekerja di pabrik-pabrik di kota dan makin
sedikit uang masuk ke kotak penyimpanan mereka padahal di luar ada bisnis
menguntungkan tengah berlangsung. Hawk tidak punya apa-apa untuk ditawarkan
pada seorang wanita kecuali gelarnya dan karena itu ia terpaksa harus membuat
pilihan berdasarkan apa yang bisa ditawarkan wanita itu kepadanya dari segi
finansial. Sungguh beruntung ia tidak percaya pada cinta.
Ia
sudah lama mempertimbangkan mencari ahli waris berkewarganegaraan Amerika, jadi
saran Ravensley cukup membuatnya berpikir lagi. Dan temannya cukup benar:
mereka akan punya keuntungan dengan Lady Louisa membagi pengetahuan dan
pengamatannya.
Seandainya
saja Hawk memfokuskan diri pada kata-kata Louisa dan bukan lekukan lehernya
yang jenjang, yang memberikan ruang luas bagi para pria untuk menggigitinya.
Sejak kapan leher gadis itu menjadi jenjang dan begitu menggoda? Ia menghadiri
pesta debut Louisa, tapi seperti biasa ia memilih untuk menghindari Louisa.
Seorang gadis yang takkan pernah bisa dimiliki Hawk memberikan godaan yang tak
tertahankan. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan dilakukan sahabat Hawk kalau
sampai tahu ke mana arah pikirannya yang melayang-layang tak tentu arah ini.
Bersama
Falconridge dan Ravensley di mana Lady Louisa tengah memilih-milih buku
kesukaannya untuk dibawa saat ia pindah ke keluarga Rose besok pagi. Sekarang
ia duduk di kursi, jemari Louisa menelusuri punggung buku dari kulit di
pangkuan dan Hawk tidak bisa menahan rasa penasarannya mengenai bagaimana
rasanya bila jemari itu menelusuri bahunya, turun ke dadanya, melewati
perutnya, turun ke...
“...Your
Grace?”
Hawk
mengarahkan tatapan kepada Louisa. Apakah selama ini wanita itu selalu memiliki
mata sebiru itu? Begitu besar, begitu bulat, begitu polos? Dan warna rambutnya
keemasan seperti gandum yang dulu pernah tumbuh menutupi tanahnya. Kalau ia
bisa menenun tiap helainya menjadi emas, ia takkan perlu mengalami kondisi yang
mengharuskannya mencari wanita kaya untuk dijadikan istri. Dan bila uang
bukanlah syarat utama, kemungkinannya akan menjadi tak terbatas.
Hawk
berdeham. “Maaf. Pikiranku agak terpecah.”
“Aku
tidak bermaksud membuatmu bosan.”
Hawk
sama sekali tidak bosan, tapi ia jelas tidak bisa membeberkan hal itu tanpa
khawatir bahwa Louisa akan bertanya hal apa yang mengalihkan perhatiannya kalau
bukan kata-kata itu. Lalu apa yang akan ia katakan? Bahwa ia tengah
membayangkan menggesekkan bibirnya ke leher Louisa?
Pernyataan
itu bukan saja akan ditanggapi dengan salah oleh Louisa, tapi jga hal itu bisa
mengakhiri persahabatannya dengan Ravensley.
“Aku
minta maaf, lagi. Aku agak lelah sore ini.”
“Karena
begadang hingga larus malam?”
“Pola
tidur Hawk bukanlah urusanmu, Louisa,” sahut Ravensley tegas. Ia menoleh kepada
Hawk. “Dia tadi bertanya apa yang kau ketahui mengenai keluarga Rose.”
“Ah.
Tidak banyak sebenarnya. Bahwa mereka kaya raya dan punya dua putri yang ingin
suami bergelar.” Hawk menatap Louisa. Mata Louisa sama birunya dengan kakaknya
namun mata itu lebih menarik, lebih memesona. “Kukira alasan kedatangan kami ke
sini adalah supaya kau bisa memberitahu apa yang kau ketahui soal keluarga itu.”
“Supaya
kau bisa mendekati putri-putri mereka?”
Apakah
kekecewaan yang Hawk dengar itu, yang ia lihat terpancar dalam mata Louisa itu?
“Jadi
aku mungkin bisa memikirkan kemungkinan-kemungkinannya, mengetahui peluang
salah satu dari gadis-gadis itu cocok untukku dan mungkin memintamu mengucapkan
hal-hal baik tentangku... tentang kami. Kakakmu, Falconridge, dan aku.”
Falconridge
tengah duduk di sisi lain Ravensley, tapi ia tampak tidak terlalu memperhatikan
sama seperti Hawk. Apakah mereka mau menikah?
“Kau
cukup perhitungan juga,” sahut Louissa, tidak berusaha menyembunyikan kecemasan
dalam suaranya.
“Kami
semua, sebenarnya. Seorang pria tidak boleh meremehkan urusan pernikahan. Jadi
apa yang kau ketahui mengenai Rose bersaudara?” tanya Hawk.
Louisa
membuka buku kemudian menutupnya. “Ibu mereka menunjukku untuk mencarikan
mereka suami yang cocok.”
“Itu
dia! Lihat!” Ravensley memukulkan tangannya ke lengan kursi. “kau akan membantu
kami, Louisa, dan dalam melakukannya, kau akan membantu dirimu sendiri. Kami
ini tangkapan yang bagus, kau tahu. Jadi ceritakan kepada kami semua yang kau
ketahui mengenai putri-putri keluarga Rose dan jangan lupakan apa pun. Kami
akan menganalisis informasi itu untuk detail-detail yang tepat.”
Tatapan
Louisa berpindah-pindah di antara ketiga pria itu dan Hawk bertanya-tanya
mengapa Louisa tampak ragu-ragu, seolah gadis itu khawatir akan mengecewakan
seseorang.”
“Jenny
yang sulung. Umurnya dua puluh dua, sementara Kate berumur dua puluh,” kata Louisa
akhirnya dengan antusiame seseorang yang sedang membacakan sepotong bagian
literatur yang dihafalkannya.
“Apakah
mereka cantik?” tanya Falconridge.
“Aku
tidak bisa menjawab. Karena aku yakin kalian semua tahu, kecantikan itu
tergantung yang melihat.”
Pernyataan
itu dirasa kurang tepat. Tidak seperti Ravensley, Hawk tidak kekurangan
imajinasi. Malah, di saat-saat tertentu, imajinasinya terasa begitu nyata.
Kata-kata Louisa membuatnya membayangkan wanita-wanita dengan hidung besar,
gigi runcing dan rambut kusam mencuat dari kutil di dagu mereka. “Apakah kau
akan menggolongkan mereka cantik?” tanyanya.
Louisa
menunduk memandangi bukunya. “Ya.”
“Memesona?”
Louisa
mengangkat tatapannya. “Mereka berdua adalah dua gadis yang sangat berbeda.
Tidak adil kalau memasangkan deskripsi yang sama pada mereka masing-masing.”
Hawk
berjuang untuk menahan rasa tidak sabarannya. “Kalau begitu deskripsikanlah
mereka satu per satu, yang aku yakin itulah yang diminta kakakmu tadi.”
Louisa
meraih buku itu, meletakkan buku di pangkuan, dan Hawk bertanya-tanya apakah
wanita itu tergoda untuk melemparkan buku itu ke kepalanya. Kenapa louisa tidak
terus terang saja mengenai informasi yang ia miliki? Memangnya ada apa dengan
gadis-gadis itu sampai ia tidak ingin mereka tahu? Kalau ia mengetahui ada
sesuatu yang buruk, apakah itu akan mengubah rencananya? Hawk yakin tidak.
Lagi-lagi
Louisa mengangkat buku itu, meletakkannya, memandangi buku-buku itu, kemudian
berkata, “Mereka tidak bisa dideskripsikan. Kalian harus bertemu mereka untuk
bisa memahami, mengenal, untuk bisa benar-benar menghargai mereka.”
“Demi
Tuhan, Louisa, bukankah kau menghabiskan sepagian bersama mereka?” sela
Ravensley gusar. “Tentunya kau bisa memberi kami informasi yang jauh lebih
konkret.”
“Alex,
aku dipekerjakan untuk mencarikan mereka suami yang cocok,” ulang Louisa.
“Tiga
kandidat dengan sukarela berjalan ke perpustakaanmu, domba-domba yang siap
disembelih. Aku tidak bisa mengerti kenapa kau tidak lebih terus terang,” sahut
Hawk.
“Kelihatannya
kau punya pendapat yang sangat rendah mengenai pernikahan,” kata Louisa.
“Sebutkan
seorang pria yang berpendapat tinggi mengenainya. Pria menikah dalam kondisi
tersudut dan mereka tidak punya pilihan lain.”
“Apakah
maksudmu kau juga tengah tersudut?”
Sialan!
Bagaimana bisa percakapan ini berubah menjadi obrolan mengenai Hawk dan
pendapatnya mengenai pernikahan?
“Kurasa
kau sudah melenceng dari tujuan semula,” sahut Hawk. “Kau dipekerjakan untuk
menemukan suami yang cocok untuk mereka dan inilah kami.”
Louisa
menarik napas dalam-dalam, mengangkat dagunya sedikit, dan melipat tangannya di
atas buku seolah ia melakukan hal itu untuk mengumpulkan kekuatan. “Ya, well, sayangnya, aku tidak merasa kalian
bertiga akan cocok.”
Falconridge
mendengus; Ravensley menggelengkan kepala. Hawk tidak bisa melakukan hal lain
selain memandangi Louisa dengan tidak percaya. Hawk seorang duke, sudah menjadi
duke sejak umur dua belas tahun. Tentu saja ia cocok.
“Maafkan
aku, Alex,” kata Louisa perlahan, “tapi bukan pada tempatku untuk meyakinkanmu
bahwa gadis-gadis itu cocok untukmu, tapi kau harus meyakinkanku bahwa kau
cocok untuk diperkenalkan kepada mereka.”
“Aku
kakakmu!”
“Aku
sadar benar akan fakta itu dan sungguh menyakitkan bagiku bahwa aku tidak bisa
merekomendasikanmu tanpa ragu-ragu.” Louisa menghela napas. “Tapi aku tidak
bisa.”
“Ini
konyol sekali,” Falconridge menyatakan, bangkit berdiri. “Aku takkan
merendahkan diri...”
“Duduk,”
sahut Ravensley. “Louisa Cuma sedang emosi.”
“Aku
menolak untuk merendahkan diriku sampai harus membuktikan diriku layak untuk seseorang, apalagi seorang
asing.” Falconridge mencemooh. “Atau seorang pendamping.”
Hawk
melihat Louisa tersentak dan hatinya bersimpati kepada gadis itu. Jelas ini
tidak mudah bagi mereka semua. “Dengar Falconridge,” sahutnya, “tidak perlu
melampiaskan rasa frustasimu kepada Lady Louisa.”
Falconridge
sedikit membungkuk. “Maafkan, My Lady. Sudah sering orang menyebutku terlalu
gengsi, tapi, bersama dengan gelarku, hanya itu yang tersisa untukku, jadi aku akan
mempertahankannya sedikit lebih lama lagi, kalau kau tidak keberatan. Kuucapkan
selamat malam untuk kalian semua dan aku akan keluar sendiri.”
Falconridge
memutar tubuh dan sudah berjalan menyeberangi separuh ruangan saat Ravensley
memanggilnya, “Falcon...”
“Biarkan
dia pergi,” sahut Hawk. “Lebih sedikit persaingan untuk kita.”
Ravensley
memutar tubuh dan memelototi adiknya. “Semuanya tidak berjalan baik, kan? Kau
berhasil menghina sahabatku...”
“Dan
kau juga menghinaku. Aku tidak temperamental.”
Ah,
tapi Louisa memang sudah emosi. Hal itu ada di sana, dalam mata yang
menyala-nyala, membuat warna biru mata sedikit menggelap hingga mirip lidah api
paling ganas. Ya Tuhan, Hawk merasakan tubuhnya menegang karena gairah melihat
emosi yang begitu nyata. Pernahkan ia melihat seorang wanita marah
terang-terangan? Wanita yang biasanya dihiburnya sudah cukup senang bisa
mendapatkan perhatiannya. Mereka jelas takkan pernah mendebatnya, menolak atau
mempertanyakannya. Ia sungguh berharap Louisa akan melemparkan buku itu pada
Ravensley. Wanita itu menggenggam buku itu begitu keras hingga ruas-ruas
jarinya berubah putih.
“Semua
wanita temperamental,” Ravensley menyatakan dengan datar. “Kau juga seorang
wanita dan karenanya kau juga temperamental.”
“Itu
asumsi yang konyol sekali, sama saja dengan berkata semua pria itu tolol.”
“Dengar,
ya...”
“Kau
yang harus dengar.”
Louisa
bangkit berdiri. Napasnya terengah-engah, payudaranya kencang mendorong kain
gaunnya, dan tubuh Hawk semakin menegang. Hawk akan ada dalam keadaan yang
cukup memalukan kalau ia sampai mendadak berdiri. Ia mencoba menfokuskan diri
membaca judul buku yang dipegang Lady Louisa, apa saja, apa saja untuk
mengalihkan perhatiannya dari Louisa secara langsung.
Louisa
adalah putri seorang earl, adik sahabat tepercayanya, bukan wanita sembarangan.
Reaksi Hawk sungguh tidak pantas, selain juga sangat memalukan.
“Ini
karena wanita simpananku, kan?” kata Ravensley dan Hawk bertanya-tanya apa lagi
yang ia lewatkan dari percakapan ini, yang membawa ke asumsi itu. “Kau tidak
setuju, tidak pernah setuju, tapi kau harus tahu semua pria terhormat punya
wanita simpanan.”
“Aku
tidak,” sahut Hawk singkat, yang membuat dua pasang mata biru memandanginya. Ia
tidak yakin kenapa ia perlu membela dirinya sendiri, mengatakan sesuatu yang
membuat dirinya naik di depan Louisa. Ia tengah mencoba untuk mengejar tujuan
pernikahannya dan Louisa akan menjadi jalur paling pendek dan mudah ke
tujuannya itu. Atau setidaknya itulah yang ada di pikirannya sebelum pertemuan
yang gagal ini.
“Lady
Louisa, tadi kau mengatakan, sebelum emosimu mulai naik, bahwa kau menganggap
kami tidak pantas untuk diperkenalkan. Apakah kau mau menjelaskan kenapa kau
berkesimpulan demikian? Karena, bisa saja kau salah paham mengenai kami.”
Louisa
memeluk buku itu ke dadanya seolah buku itu bisa menjadi tameng. “Ketika
kakakku pulang ke rumah pada saat fajar, setelah melewatkan semalaman
bersamamu, dia berbau alkohol dan parfum murahan. Dia perlu dibantu menaiki
tangga dan mengoceh tidak karuan. Kurasa aku tidak perlu mempermalukan kita
semua dengan mengulangi kata-katanya itu. Cukup dikatakan aku tahu tak ada
wanita yang aman dekat-dekat dengan kalian, kalian hanya menghargai
pengejarannya, tapi bukan hadiahnya, dan biasanya cepat mencampakkan apa yang
sudah kalian menangkan. Bagaimana bisa aku memperkenalkan kalian pada wanita
yang ibunya telah memberikan tanggung jawab kepadaku untuk memastikan
kebahagiaan mereka seumur hidup?”
Sambil
menggosok-gosokkan telunjuk ke bibir bawahnya, Hawk mengamati Louisa. Wanita
itu tahu lebih banyak mengenai diri Hawk daripada yang ia sadari. Pantas saja
Louisa tidak mau memperkenalkan mereka. “Kukira kebahagiaan mereka tergantung
dari apakah dia mendapatkan gelar. Wanita mana yang takkan senang membayangkan
akan menjadi duchess?”
“Dan
kegembiraan menjadi duchess itu sudah lenyap?”
“Semoga
saja saat itu terjadi, aku sudah memiliki pewaris dan cadangannya, dan aku
tidak akan menyalahkannya kalau dia mencari kebahagiaan di tempat lain.”
“Dan
kepuasannya?”
Hawk
terkejut mendengar pertanyaan itu. Apa yang diketahui wanita terhormat mengenai
kepuasan? Lebih tepatnya, apa yang diketahui Louisa? Apakah pengetahuan wanita
itu didapat melalui pengalaman atau hanya desas-desus? Apa yang sebenarnya
digumamkan Ravensley saat dipapah menaiki ranjang tempat tidur dan apa
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Louisa pada kakaknya dalam kondisi yang
lemah itu di mana lidah Ravensley jelas lebih longgar dari biasa? Terlalu
longgar kelihatannya, Hawk kaget lidah itu tidak jatuh.
Hawk
berdeham. “Tentu saja. Aku takkan pernah melenyapkan kesempatan wanita untuk
mendapatkan kepuasan.”
Louisa
memandangi Hawk dengan cermat seolah hendak memutuskan apa kata-kata pria itu
tadi harus diterimanya begitu saja ataukah memiliki makna lain di balik itu.
Kalau Louisa ini wanita lain, kata-kata pria itu tadi pasti bermakna ganda.
Hawk tengah berjalan di sebuah papan titian di sini, merasa seolah ia baru
pertama kali bertemu dengan Louisa, dan tidak bisa menyangkal bahwa ia
tertarik... ia nyaris menggoda wanita ini, ingin membujuk wanita ini untuk
melihat segalanya dari sudut pandangnya. Rayuan merupakan hal paling tepat
untuk meyakinkan seseorang.
“Betapa
baiknya kau,” Louisa akhirnya berkata.
“Kurasa
begitu.”
“Maafkan
aku, Your Grace, tapi kau tidak mengatakan apa-apa yang bisa meyakinkanku bahwa
aku harus merekomendasikanmu. Malah, kau memperkuat pendapatku bahwa kau sama
sekali tidak cocok.”
“Pendapatmu
rasanya agak kasar.”
“Meskipun
demikian, itulah pendapatku. Tapi, bila aku sampai salah menilai kepantasanmu,
aku takkan melakukan apa-apa untuk memperburuk namamu... atau kakakku... dalam
usaha untuk memikat gadis-gadis itu, tapi aku tidak akan mendorongmu untuk
berusaha memikat mereka, juga aku takkan mendorong mereka untuk menyukaimu.”
“Louisa...”
“Pendapatku
tidak bisa diubah lagi, Alex,” kata Louisa, dengan efektif memotong permohonan
apa pun yang hendak disampaikan Ravensley. “Sekarang aku mohon diri dulu. Aku punya
banyak urusan yang harus kuselesaikan sebelum aku pergi besok.”
Keberhasilan
Louisa menemukan kekurangan Hawk langsung memadamkan gairahnya dengan efektif.
Ia bangkit berdiri, dan membungkuk memberi hormat. “Aku menghargai
keterusteranganmu, Lady Louisa.”
“Aku
tidak bermaksud jahat.”
“Aku
tidak percaya kau bisa jahat bahkan kalau kau mencoba. Aku juga sangat
menghargai kau memperlakukan tanggung jawabmu dengan serius.”
“Kalau
aku boleh kurang ajar, Your Grace, mungkin sudah waktunya kau melakukan hal
yang sama.”
“Aku
sedang mencoba, My Lady.”
“Ada
orang-orang Amerika lain yang bukan menjadi tanggung jawabku...”
“Tapi
tidak ada yang sekaya mereka. Dan meski kau menemukan kekuranganku, izinkan aku
untuk meyakinkanmu bahwa aku tidak mau menerima yang kurang kalau aku bisa
mendapatkan yang lebih.”
Hawk
sungguh tergoda untuk meraih buku dari tangan Louisa dan melemparkan buku itu
ke kakak gadis itu. Ia sangat jarang kehilangan kata-kata.
“Kurasa
apa yang ingin kusampaikan sudah dipahami,” kata Louisa perlahan. “Selamat
malam.” Tanpa menunggu jawaban mereka, ia melangkah anggun keluar dari ruangan
itu.
“Aku
sungguh tidak percaya dia menolak membantu kita,” sahut Ravensley, begitu pintu
tertutup di belakang Louisa.
“Aku
harus bertanya-tanya apa yang sebenarnya kau katakan saat kau dipapah menaiki
tangga itu,” balas Hawk.
“Tidak
ada yang penting, aku berani jamin. Larut malam, minum-minum, mabuk-mabukan...
kurasa aku tidak bisa menyalahkannya karena berpendapat buruk tentang kita.
Tapi tidak penting. Kita masih merupakan yang terbaik di sini dan kita takkan
kesulitan memenangkan hati Rose bersaudara. Brendi untuk tos akan tantangan
yang menunggu kita?”
“Tentu
saja.”
Hawk
melirik kembali pintu itu. Ia khawatir tantangan yang lebih besar dari
mendapatkan perhatian seorang putri keluarga Rose ada di cakrawala sana. Baginya,
tantangan itu mungkin berati harus mengabaikan pendamping kedua gadis rose.
Synopsis
lanjot ka
BalasHapus