Home

Rabu, 31 Januari 2024

Lucky Penny #5

Sinar matahari telah menyerah kepada senja ketika Brianna keluar dari toko di belakang David Paxton. Sambil menggendong Daphne di lengannya, David berhenti sementara Brianna berbalik untuk mengunci pintu, kemudian berjalan di sampingnya ketika mereka menyeberangi jalan. Jam makan malam telah tiba dan aroma makanan melayang di udara dingin. Biasanya Brianna akan merasakan kerinduan yang pahit pada saat-saat ini, berharap ia dan Daphne bisa mengakhiri kegiatan mereka setiap hari dengan duduk di meja yang ditata dengan indah, berbagi makanan lezat yang telah disiapkan dengan sungguh-sungguh. Tapi malam ini pikirnya terlalu teralihkan dan cemas untuk merasa iri pada tirai-tirai jendela yang berwarna ceria atau dapur yang wangi dan hangat. Sebaliknya, ia sangat menyedari keberadaan pria yang menjulang di sampingnya. 

Pria ini memiliki gaya berjalan yang santai, yang dengan sengaja dipendekkan agar sesuai dengan langkahnya. Spur berdenting setiap kali David melangkah, dan setiap kali lengan duster David bergesekan dengan sikunya, Brianna merinding. Ia tidak berani memikirkan buku tadi serta kecurigaan mengerikan yang telah terbentuk di kepalanya. Ia takut akan hancur berkeping-keping saat ini juga. Ia ingin menarik Daphne yang sedang tertidur di tangan David Pxton dan berlari secepat mungkin. Tapi itu akan menjadi tindakan yang bodoh. Untuk bisa membawa Daphne dengan selamat, ia harus menyewa kuda.

Ketika Brianna melangkah ke atas serambi kayu yang berada di seberang jalan, David menggeser Daphne ke dalam lekukan satu lengannya dan menangkap tangan kiri Brianna, menarik Brianna agar berhenti ketika ia memeriksa cicin kawin yang melingkari jari wanita itu. Dengan satu alisnya yang melengkung, David berkata, “Aku tidak ingat pernah menyematkan cicin itu di jarimu, jadi kurasa aku tidak melakukannya.”

Kaki Brianna terasa seperti tunggul kayu, dan beban yang tak terlihat mendiami bahunya. Ia merasa tidak akan mendapat apa-apa bila membuang tenaganya untuk bertengkar lagi dengan pria ini.

Dengan sentakan kepalanya, David menunjuk pintu kantor marshal. “Sebelum kita masuk, kau perlu mengerti kalau aku tahu dia adalah putriku, dan aku tidak akan meninggalkan Glory Ridge tanpanya. Kau boleh memilih untuk tidak pergi bersama kami. Kau yang memutuskannya. Tapi aku tidak akan membiarkan Daphne hidup seperti ini, terkadang memakan makanan yang kau temukan di tong sampah. Putriku berhak mendapatkan yang lebih baik, dan aku bermaksud untuk memastikan hal itu.”

Balasan tajam sudah terbentuk di kepala Brianna dan sudah akan terlontar dari lidahnya. Namun ia sadar David Paxton tidak akan bisa tahu tentang dirinya yang mengorek-ngorek tong sampah kalau bukan dari Daphne, dan ia tidak akan menyebut anaknya pembohong ketika hal itu memang benar-benar terjadi. Ia tenggelam semakin dalam. Tidak ada pria yang menyemarkan cincin ini di jarinya. Paxton bukan nama belakangnya yang sebenarnya. Daphne bahkan bukan anaknya. Tapi ia masih memiliki garis yang tidak mau dilewatinya.

Brianna menarik tangannya dari cengkraman David Paxton. Sentuhan jari David yang keras telah membakar kulitnya seperti stempel panas. Ia mencari di dalam mata pria itu, namun tidak melihat simpati, yang ada hanya kebulatan tekad, dan saat itu juga ia tahu kalau David Paxton bermaksud untuk melakukan tepat seperti yang dikatakan pria itu tadi: mengesahkan status sebagai ayah Daphne lalu pergi membawa anak itu.

Brianna bertekad tidak akan pernah membiarkan itu terjadi. Tidak akan pernah.

***

 

Dengan Brianna yang berjalan cepat agar tidak tertinggal, David membuka pintu dan membawa Daphne ke dalam kantor Marshal Bingham yang kotor. Lentera yang telah dinyalakan tergantung dari langit-langit di salah satu sudut kantor itu. Ruangan itu hanya berisikan satu sel berjeruji yang berisi dua ranjang sempit, di mana keduanya kosong. Sang penegak hukum, laki-laki berperut gendut dengan rambut dan mata coklat yang David tebak sebelumnya berumur sekitar lima puluh tahun, duduk di belakang meja reyot dan berseberangan dari seorang pria yang ditebak David sebagai Hakim Afton. Paling tidak sepuluh tahun lebih tua dariang marshal, dengan puncak kepala botak namun dikelilingi rambut yang hampir putih, sang hakim mengenakan setelah wol lusuh berwarna hitam yang penuh dengan ketombe di bagian bahu. Asap dari pipa rokok membentuk lingkaran di kepalanya dan melayang menjauh dalam lapisan kelabu yang ebrgantung di ruangan seperti kabut musim dingin yang tebal.

David mengatupkan rahangnya ketika melihat kedua pria itu sedang bermain poker. Setumpuk koin dan sertifikat perak tergeletak di antara mereka. Sebuah botol wiski yang isinya tinggal setengah diletakkan agak jauh di samping, dan masing-masing pria itu memiliki gelas tinggi berisikan cairan berwarna kuning tua, yang mengindikasikan kalau mereka tidak mencampurnya dengan apa pun. Dengan hati-hati David menurunkan Daphne yang masih lelap ke atas bangku yang terletak tapat di samping pintu masuk, meletakkan tasnya di samping anak itu, lalu berjalan ke meja. Kedua pria itu sudah mabuk meski sekarang baru jam setengah enam. Kalau ada satu saja anak buahnya yang seperti ini, orang itu akan kehilangan pekerjaan secepat kilat, pikir David. Ia bukan orang yang sok suci, tapi ia tidak pernah minum selama masih bertugas. Rupanya Bingham tidak punya bawahan untuk mengambil alih pekerjaannya selama ia minum –atau Glory Ridge sebegitu kecilnya sehingga masalah hampir tak pernah terjadi. Melihat dari ekspresi tegang dan defensif di wajah Brianna, David merasa malam ini akan menjadi pengecualian. Wanita ini akan bertarung mati-matian. Sial, tapi ia harus mengagumi hal itu dari Brianna. Ia menghargai keberanian dan ketabahan hati, bahkan ketika keduanya terbungkus di dalam tubuh seorang wanita yang selalu menyulut emosinya. Afton mendongakkan kepalanya dan tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Kau pasti Mr. Paxton.”

David mengulurkan tangannya. “Benar. Dan kau pasti Hakim Afton.”

Pria yang lebih tua itu menurunkan kartunya dan meletakkan pipanya di atas piring kecil berwarna hijau yang sudah tertutup lapisan tebal abu untuk menyalami Devid dengan tangan yang basah dan lemah. Kemudian ia bersendawa dan menyeringai lagi ketika mengambil palu di sikunya dan memukul meja dengan keras. Suara itu langsung membangunkan Daphne. Dari sudut matanya, David melihat Brianna bergegas untuk menenangkan gadis kecil itu agar tidur lagi.

“Itulah aku, Yang Mulia Hakim Afton, siap melayani Anda… Dan seperti yang bisa kau lihat, aku telah siap untuk mendengar masalahmu dan membuat keputusan.” Afton menurunkan palunya untuk mengambil stempel dari atas kotak kaleng yang kotor terkena tinta serta penyok, yang menurut dugaan David berisikan bantalan tinta. “Aku tidak ingat apa masalahmu, tapi kalau kau mau menunggu satu menit, aku akan membiarkanmu menyegarkan ingatanku.” Ia mengumpulkan kartunya, melirik kepada sang marshal, dan melemparkan lembaran satu dolar ke atas tumpukan itu. “Aku akan menambah taruhanku, Barton. Menurutku kau hanya menggertak.”

David melirik dari atas bahu sang hakim dan melihat pria itu punya dua kartu bernilai sama. Menurut David, kartunya lumayan, tapi tidak cukup bagus sampai membuat Afton berani bertaruh sebesar itu. Marshal Bringham menambah taruhannya, lalu menunjukkan kartunya dan sang hakim memaki, bahkan tidak bersusah payah untuk memelankan suaranya ketika ia meneriakkannya. “Three of a kind? Kau sudah semakin jago sejak terakhir kali kita bermain Jumat yang lalu, Sobat.”

Sang marshal menenggak wiskinya sebelum meraup hasil kemenangannya. “Aku juga menjadi sedikit lebih kaya, Daniel.”

David baru hendak mengingatkan kedua pria ini bahwa mereka setuju untuk bertemu dengannya dan Brianna ketika jelas sekali kedua orang itu berencana untuk melanjutkan permainan mereka dan mabuk. Menilai dari percakapan keduanya, Jumat adalah malam poker mereka. Sebelum mengatakan apa pun, David mengubah pikirannya, memutuskan kalau ia bisa menggunakan situasi ini agar menguntungkannya. Ia memberi tanda ke arah Brianna.

“Sekarang karena kalian sudah selesai,” kata David kepada sang hakim. “Kuharap kalian mau beristirahat sebentar dari permainan kalian untuk memberi perhatian penuh kepadaku dan wanita ini.”

Sang hakim bersandar di kursinya, berusaha untuk memandang Brianna, dan mengerjapkan matanya. Apakah pria ini sudah semabuk itu hanya dalam beberapa menit atau ia sudah minum sepanjang sore ini? “Selamat malam, Mrs. Paxton. Bagaimana kabarmu?”

Brianna melangkah ke depan. “Aku sangat sedih saat ini, Yang Mulia. Pria ini muncul entah dari mana, mengaku-ngaku sebagai ayah dari putriku… dan percayalah padaku, dia bukan ayah putriku.”

Sang hakim mengedipkan matanya lagi dan menggosok batang hidungnya yang besar. “Benarkah?”

“Benar Yang Mulia, sama sekali bukan. Aku belum pernah bertemu dengannya sepanjang hidupku!”

Sang hakim menarik bagian depan jaketnya, dagunya yang berlipat menggelantung ke satu sisi ketika ia memiringkan kepalanya. “Itu sama sekali tidak masuk akal, Madam. Kalau kau tidak pernah melihat orang ini sebelumnya, bagaimana kau bisa menikah dengannya?”

Itu jelas sekali tidak masuk akal, pikir David. Satu angka untuknya. Ia akan tetap menutup mulut dan membiarkan Brianna menggantung dirinya sendiri. Brianna mulai mengulangi kisahnya yang tak masuk akal itu dengan berapi-api, tentang adanya David Paxton lain di Denver. “Suamiku seorang penambang di sana, Yang Mulia, bukan marshal di sebuah kota kecil.”

Keninghakin itu berkerut. “Sekarang sudah tidak ada kegiatan menambang lagi yang berlangsung di Denver. Apa yang ditambangnya? Emas palsu? Apa kau yakin suamimu ini bekerja di sana?”

Muka Brianna memucat dan ia mendekap tangannya, sementara tubuhnya kaku. “Aku telah menerima surat darinya baru-baru ini, Yang Mulia, dan sama seperti sebelumnya, surat itu datang dari Denver.”

Sang hakim mengulurkan tangannya. “Baiklah biar kulihat surat itu, please.”

Mata hijau Brianna menyala mendengar permintaan itu. “Kata-kataku seharusnya sudah cukup!”

“Jadi, kau tidak bisa menunjukkan salah satu dari surat-surat itu?” David menimpali.

“Aku sudah membuang semuanya!” sergah Brianna.

Afton menenggak wiskinya lagi dan dengan penuh kerinduan memandang kartu-kartu yang terabaikan itu. “Nak, kau sudah tinggal di Glory Ridge selama… berapa lama? Enam tahun. Kau selalu memakai nama Mrs. David Paxton. Kalau kau tidak bisa menunjukkan surat dari suami lainnya yang kau bilang barusan, paling tidak bisakah kau menunjukkan dokumen pernikahan kalian untuk membuktikan kalau dia benar-benar ada?”

Untuk kedua kalinya dalam hari itu, Brianna merasa lantai di bawah kakinya seakan-akan telah lenyap. Ia mencengkram tepi meja agar tidak jatuh, dan menyentakkan tangannya ketika David Paxton meraih sikunya. Dasar ular berbisa!Ia tak bisa memahami kenapa hakim dan marshal ini mempertanyakan kata-katanya. Ia memutar otaknya mencari jawaban sebelum akhirnya berkata, “Aku punya dokumen pernikahan, Yang Mulia, tapi sewaktu meninggalkan rumah Mr. Ricker, dokumen itu hilang ketika aku pindah.”

Dengan kata-kata yang agak tidak jelas, Afton berkata, “Aku harus membuat keputusan berdasarkan bukti yang di bawa ke hadapanku, Mrs. Paxton.” Matanya yang berkaca-kaca memandang David, yang dengan cepat menjadi sumber kekesalannya. “Rupanya Mrs. Paxton tidak punya bukti untuk menguatkan ceritanyaMr. Paxton.”

Marshal Bingham menggumamkan makian pelan, lalu berkata, “Mrs. Paxton dan Mr. Paxton, dan keduanya tidak menikah? Ini terlalu memusingkan.”

Brianna ingin menendang laki-laki itu. “Mungkin sebagian dari kebingunganmu disebabkan terlalu banyaknya alkohol yang kau konsumsi, Marshal.” Setelahnya ia kembali memandang sang hakim. “Dan ini bukan cerita yang kukarang-karang!” Brianna mengangkat tangannya. “Untuk apa aku berbohong tentang hal seperti itu?” Ia menunjuk David Paxton. “Aku tidak pernah melihat orang ini seumur hidupku! Dia bukan suamiku, dan dia jelas sekali bukan ayah putriku.”

Hakim Afton memberi isyarat agar semua diam. “Kau bukan wanita pertama yang mendapati dirinya berada dalam pernikahan yang tidak bahagia dan berusaha untuk mengakhirinya dengan melarikan diri. Kalau memang itu kasusnya, berarti kau sial karena suamimu menemukanmu. Aku sungguh-sungguh bersimpati terhadap dilema yang kau hadapi, Ma’am, tapi hukum adalah hukum. Kau seharusnya tidak lari dengan anak itu.”

“Aku tidak lari dengan anakku!” Brianna mendengar suaranya mulai melengking. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. “Kau membuat keputusan yang dangkal, didasarkan pada fakta kalau aku kehilangan dokumen pernikahanku dan tidak cukup bijaksana untuk menyimpan surat-surat suamiku. Aku tidak bermaksud untuk tidak menghormatimu, Yang Mulia, tapi kenapa beban pembuktian itu hanya ditimpakan kepadaku? Aku belum mendengar kau bertanya kepada Mr. Paxton bukti apa yang bisa ditunjukkannya untuk memverifikasi ceritanya.”

Hakim Afton melengkungkan satu alisnya. “Itu benar, Mr. Paxton.” Perut buncitnya tersentak ketika ia bersendawa lagi, yang gagal dibungkamnya dengan berusaha menennya. “Apa kau punya bukti yang  isa kau hadirkan?”

Marshal Bingham memotong dengan berkata. “Sejauh ini, dia belum memberitahu kita ceritanya. Mrs. Paxton yang dari tadi bicara.”

Brianna ingin sekali menyuruh sang marshal untuk menutup mulut. Alih-alih, ia berkata kepada sang marshal, “Dan memang sudah seharusnya begitu. Seperti yang dikatakan sang hakim, aku sudah tinggal di sini selama hampir enam tahun, dan reputasiku tak bercela. Pria ini orang asing. Kau tak punya alasan untuk memercayai satu kata pun yang diucapkannya.” Brianna menarik napas lagi dan mengeluarkannya sambil memuntahkan kata-kata, “Bahkan aku punya alasan untuk percaya kalau mungkin dia penjahat dari Deadwood di Dakota selatan, yang ingin menculik putriku agar bisa dijual ke pria tua kaya raya di perbatasan Meksiko sana! Anak berambut pirang bisa dijual dengan harga yang sangat tinggi, dan anak perempuan seumuran Daphni sangat dicara!”

Bingham mendengus, lalu tertawa dan terguncang di kursinya dengan sangat sembrono sehingga ia hampir saja terjungkal ke belakang. Ia menempelkan satu tangannya ke dinding belakang untuk menahan tubuhnya. Di tengah gelak tawa Hakim Afton, sang marshal berhasil berkata, “Demi Tuhan, pasti kau telah membaca sampah yang sangat disukai istriku! Aku melihat buku tentang perdagangan budak itu, yang isinya hanya omong kosong. Penduduk Deadwood sekarang sudah tidak liar lagi. Kejahatan masih terjadi di sana, tentu saja, tapi kota itu sudah bukan tempat persembunyian para bajingan rendahan lagi, yang melarikan diri dari jeratan hukum.”

Brianna membungkuk lebih dekat untuk menusuk marshal itu dengan tatapannya. “Aku sudah membaca buku itu, Sir, dan buku itu baru diterbitkan. Aku yakin pengarangnya diwajibkan oleh penerbit untuk memastikan fakta-fakta yang ada di dalam buku itu benar. Para penjahat masih menculik anak-anak perempuan dan menjual mereka ke dalam perbudakan di Meksiko. Dan aku yakin kakau itu adalah rencana pria ini. Kurasa namanya sama sekali bukan David Paxton, dan kurasa dia bukan penegak hukum. Bisa saja dia mencuri lencana itu. Bagaimana bisa kau lebih memercayai kata-katanya daripada kata-kataku?” Ia mengayunkan tangannya ke arah pria yang sedang mereka bicarakan. “Lihat saja dia. Penegak hukum terhormat mana yang berpakaian seperti… seperti bandit?”

Hakim Afton terkekeh. “Nak, perdagangan budak sudah berakhir di tahun tujuh puluhan. Mari kita hentikan tuduhan yang mengerikan ini.”

Brianna mengepalkan tangannya, kukunya yang tajam menusuk ke dalam dagingnya dengan begitu keras hingga ia merasa sakit. “Well, kalau begitu… andaikan saja itu benar… tetap saja itu tidak menghapus kemungkinan kalau kedatangan orang ini ke Glory Ridge adalah untuk alasan-alasan yang jahat. Kecuali, tentu saja, kalian berdua sudah ketinggalan berita mengenai kejahatan masa kini sehingga kalian telah meyakinkan diri kalian kalau hal semacam itu tidak ada.” Ia menunjuk sekumpulan poster buronan di dinding di belakang meja. “Apa itu, kalau bukan peringatan bahwa mereka berbahaya dan sedang dicari?”

“Mrs. Paxton, pria ini tidak ada di poster manapun,” ujar Afton. “Dan aku bukannya mengatakan kejahatan tidak ada lagi. Aku hanya mengatakan sangat tidak mungkin pria ini bermaksud untuk menculik anakmu dan melintai perbatasan untuk menjualnya. Aku percaya kedatangannya diikuti dengan niat yang jujur. Tersesat, mungkin. Kalau kau mau menghentikan ocehanmu dan membiarkan aku menanyainya, aku akan lebih bisa memutuskan keabsahan klaimnya.”

Ocehannya? “Tidak adda yang absah dari klaimnya,” sergah Brianna. “Dia muncul begitu saja, mengatakan bahwa Daphne putrinya, dan aku di sini mengatakan kepadamu bahwa dia berbohong!”

Bingham mendesah dan menggaruk dagunya. “Untuk apa seorang pria waras mengklai anak yang bukan miliknya?” Ia mengedipkan matanya kepada David.“Aku punya enam anak, lima masih harus ku biayai. Kalau kau sebegitu inginnya menjadi seorang ayah, aku akan memberikan beberapa anakku untukmu.”

Hakim Afton mengeringkan gelasnya dan mengisinya lagi dengan wiski dari botol. “Tertib dalam pengadilan!” Ia menghentakkan tangannya ke meja, membuat kartu-kartu beterbangan. “Bukti apa yang bisa kau berikan, Mr. Paxton?”

David mengambil tasnya. “Aku tidak bisa menunjukkan bukti resmi yang menunjukkan aku ini ayahnya, Yang Mulia, tapi aku bisa menghadirkan bebetapa dokumen untuk menunjukkan kalau aku seorang penegak hukum dan bukti yang tak terbantahkan kalau tidak ada David Paxton lain di wilayah Denver.”

Brianna menyaksikan dengan rasa takut yang memuncak ketika David menarik surat-surat, dokumen, serta dua telegram dari tas dan melemparkannya ke atas meja. Menggunakan jari telunjuk, David memisahkan kertas-kertas itu, pertama-tama menunjukkan surat. Jantung Brianna rasanya seperti meluncur ke perutnya ketika ia mengenali tulisan tangannya sendiri di amplop-amplop itu.

“Surat-surat ini dari Mrs. Paxton,” ujar David. “Dialamatkan kepadaku di kantor pos Denver. Tolong perhatikan yang satu ini,” ia mendorong surat itu semakin dekat kepada sang hakim, “ini diposkan hampir enam tahun lalu.” Ia mendorong surat yang kedua. “Dan yang ini hanya lima bulan yang lalu. Suratnya banyak sekali… terlalu banyak untuk kubawa semua… tapi aku tidak pernah menerimanya lagi sejak hampir sebulan yang lalu karena aku tidak pernah tinggal di Denver atau mengambil suratku di sana.”

Hakim itu menggosok pelipisnya. “Untuk apa Mrs. Paxton mengirim surat kepadamu dengan alamat di Denver kalau kau tidak pernah tinggal di sana?”

David mengabaikan pertanyaan itu dan memberikan kedua telegram yang dibawanya kepada sang hakim. “Kedua telegram ini dikirimkan oleh sheriff di Denver kepadaku.”

Hakim Afton menyipitkan matanya untuk membaca pesan-pesan tersebut. “Dia bilang tidak ada David Paxton yang pernah tinggal di Denver atau di pertambangan mana pun di sekitar sana.”

“Tepat sekali,” sahut David. “Aku mengirim telegram kepada sheriff itu ketika aku menerima surat-surat Mrs. Paxton, yang meminta lagi dan lagi agar aku datang ke Glory Ridge untuk menjemput dirinya dan putriku.” Ia melempar tatapan meminta maaf kepada Brianna. “Aku tidak mau menyinggung Mrs. Paxton, Yang Mulia, jadi aku hanya akan mengatakan kalau aku cenderung untuk mabuk berat sewaktu masih muda ketika aku mengunjungi Denver, dan aku tidak ingat pernah bertemu dengan wanita ini, apalagi menikahinya. Meskipun begitu, aku bukan seorang pria yang mengelak dari tanggung jawab, jadi aku tidak hanya meminta sheriff di Denver untuk memeriksa hal itu, tapi aku sendiri pergi ke sana, melakukan penyelidikanku sendiri, dan tidak menemukan jejak adanya David Paxton lain dalam radius seratus lima puluh kilometer dari kota Denver. Aku akhirnya menyimpulkan… dan dengan tidak senang, kalau boleh kutambahkan, karena aku punya kehidupan yang menyenangkan di No Name… bahwa aku telah melakukan perbuatan yang tercela selama aku aku mabuk dan mengambil keuntungan dari seorang gadis muda yang sedang sial, lalu meninggalkannya begitu saja. Ketika aku mabuk berat, aku sering tidak ingat apa yang terjadi pada malam sebelumnya. Aku yakin aku menghabiskan malam bersama Mrs. Paxton, terbangun keesokan paginya, dan kembali ke No Name. Pendeknya aku meninggalkannya begitu saja, tanpa memberitahukan bagaimana caranya menghubungiku ketika dia sadar sedang mengandung anakku.”

“Bukan itu yang terjadi!” Brianna bisa dibilang berteriak. Ia merasa matanya mau melompat keluar dan sempat berpikir selama sedetik akan benar-benar menyerang David Paxton. “Aku menikah dengan pria lain. Kau mengenalku, Hakin Afton.” Tatapan permohonannya berpindah ke Bingham. “Begitu juga denganmu, Marshal! Apa aku pernah melakukan kesalahan? Aku tidak pernah bergaul dengan orang asing yang mabuk, dan tidak akan pernah.”

Sang hakim membuka salah satu surat itu. Berhubung ia dulu menulisnya di bawah tekanan, Brianna menjafanya isinya tetap pendek. Ricker yang waktu itu mendiktekan semua isi suratnya sementara Brianna menuliskannya, dan ia tidak bisa ingat dengan jelas apa yang dikatakannya di masing-masing surat itu. Dengan cepat Afton membacanya dan melemparkan kembali ke meja. “Kita semua pernah membuat kesalahan, Dear.”

Brianna merasa pusing. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ini seperti salah satu mimpi yang mengerikan itu, di mana semuanya berubah dari buruk menjadi lebih buruk lagi, dan ia tak bisa bangun. “Aku tidak pernah membuat kesalahan itu. Pria ini gila.”

Setelah Brianna mengucapkan itu, David menarik sesuatu dari dompetnya dan melemparkannya ke meja. Benda itu adalah selembar foto lusuh berukuran kecil yang berisikan gambar seorang ewanita cantik yang dalam warna abu-abu dan putih, sepertinya berambut pirang. Brianna menarik napas. Orang yang ada di dalam gambar itu bisa saja Daphne kalau bukan karena perbedaan usia yang jauh. Bahkan, kemiripannya begitu luar biasa sehingga Brianna membungkuk semakin dekat. Saat itu juga otaknya berubah menjadi bubur.

Sang hakim mempelajari gambar itu dengan kening yang berkerut. “Mrs. Paxton, bukan rahasia lagi di Glory Ridge kalau kau berjuang u ntuk memenuhi kebutuhanmu,” katanya pelan. “Kau seharusnya merasa bersyukur karena dia pria terhormat yang memiliki integritas sehingga datang ke sini dan menawarkan untuk memikul jawaban.” Wajahnya cemberut. “Tanggung jawab, maksudku. Aku tidak mengerti kenapa kau tidak melompat-lompat bahagia.”

“Aku akan melompat bahagia ketika suamiku yang sesungguhnya datang!”

Hakim Afton mengambil telegram dari sheriff di Denvr. “Foto itu memperlihatkan kemiripan keluarga yang luar biasa, Mrs. Paxton. Telegram ini juga membuktikan kalau pria ini bernama David Paxton, dan dia adalah marshal di No Name.”

“Telegram itu tidak membuktikan apa pun!” Brianna hampir meneriakkan kata-katanya. “Bisa saja dia mengirimkan telegram itu kepada dirinya sendiri, sejak awal sudah membuat rencana akan menggunakan hal itu untuk membuktikan identitasnya!”

Seakan-akan Briana tak berbicara sama sekali, Afton menjentikkan ujung jarinya ke tepi meja, menyisirkan tangannya ke rambutnya, dan mendesah. “Ini adalah situasi yang paling aneh. Kau tidak punya bukti menikah dengan pria lain, Mrs. Paxton.” Mengarahkan pandangan simpati kepada David, ia menambahkan, “Dan cerita versimu hanyalah asum…” hakim itu bersendawa, “asumsi. Tak satu pun dari kalian menunjukkan bukti nyata pada kasus ini, walaupun harus kuakui foto itu agak mengejutkan.” Ia menghabiskan wiskinya dengan rakus. “Kemiripan yang sangat luar biasa. Ya, menakjubkan.”

“Itu foto ibuku,” kata David.

Tepat pada saat itu Daphne terbangun. “Mama? Papa?” ia duduk dan menggosok matanya. “Kenapa semua orang berteriak?”

Sebelum Brianna sempat bereaksi, David sudah mengangkat Daphne dari bangku itu. Dengan menahan anak itu di pinggulnya, ia kembali ke meja. Kepada sang hakim, ia berkata dalam suara tertahan, “Kau bilang aku tak punya bukti? Lihatlah dia. Yang Mulia. Lalu lihatlah aku. Bisakkah kau menyangkal kemiripan kami?”

Hakim Afton melalukan seperti yang diminta dan kemudian memalingkan matanya yang tidak fokus dan setengah tertutup itu kepada Brianna. “Anak itu memang sangat mirip dengannya, dan bahkan lebih mirip dengan wanita yang ada di foto itu.” Ia minum lagi. “Bahkan, anak itu lebih mirip dengan pria ini daripada denganmu. Bagaimana kau bisa menjelaskan itu?”

Oh, Tuhan. Hakim ini sudah sebegitu mabuknya sehingga ia tidak bisa mengeluarkan kata-kata dengan benar apalagi berpikir secara rasional, pikir Brianna. Brianna ingin berteriak kalau anak kecil mana pun dengan rambut pirang dan wajah lembut mungkin akan mirip dengan wanita yang lebih tua dengan warna rambut yang sama dan bentuk wajah yang sama pula. Tapi sekarang karena Daphne sudah bangun, Brianna merasa seakan-akan lidahnya terbelenggu. Putrinya masih belum cukup besar untuk mengerti bagaimana tepatnya bayi dibuat, dan ia tidak mau Daphne diajari oleh dua orang mabuk dan satu orang gila ini. “Kemiripan itu hanya sebuah kebetulan, Yang Mulia.”

“Kebetulan?” David semakin mendekati sang hakim dan mengangkat rambut ikal pirang Daphne untuk memperlihatkan bagian samping leher anak itu. “Apa kau lihat noda merah muda ini, Yang Mulia? Ini adalah tanda lahir yang menurun di keluargaku. Bisa dibilang setiap anak dilahirkan dengan tanda itu.” Ia menarik bagian depan dusternya dan menarik turun kerah bajunya. “Aku lahir dengan tanda ini.” Ia membungkuk agar hakim bisa memeriksa buktinya. “Punyaku sudah menjadi gelap karena sinar matahari, bersama dengan kulitku, tapi tanda itu masih terlihat.”

 Ia melemparkan tatapan yang membakar kepada Brianna. “Jelaskan itu, Mrs. Paxton. Bagaimana anak ini bisa begitu mirip dengan ibuku dan mempunyai tanda lahir yang sama dengan yang ada di leherku.”

Brianna ingin memeriksa tanda di leher David Paxton dengan lebih dekat. Tandanya gelap, seperti yang diucapkan David, dan bisa saja halnya noda yang dioleskan pria itu ke kulitnya setelah melihat noda milik Daphne. Pria ini adalah seorang penyusun siasat yang laihai dan sangat pintar. Bahkan kalau David Paxton tidak berencana untuk membawa Daphne ke perbatasan Meksiko, pria itu pasti punya niat yang sama buruknya. Pasti.


Synopsis

Sebelumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar