Cahaya
matahari mengintip melalui jendela, menembus celah-celah selimut dari bulu
binatang. Namun sinar itu entah bagaimana membuat Ewan tampak lebih
menyeramkan, daripada jika dia berdiri dalam kegelapan. Di bawah sinar
matahari, Mairin bisa melihat betapa besarnya pria itu. Ewan kelihatan
menakutkan, berdiri di bawah pintu yang lebarnya hampir sama dengan tubuhnya.
“Maaf
aku mengganggumu,” kata Ewan dengan suara serak. “Aku sedang mencari putraku.”
Saat
itu, ketika mengikuti tatapan Ewan ke buntalan di sampingnya, barulah Mairin
sadar bahwa Crispen sudah merangkak ke ranjangnya tadi malam. Anak itu
meringkuk di samping Mairin, menarik selimut sampai ke lehernya.
“Maafkan
aku. Aku tidak tahu...,” Mairin mulai menjelaskan.
“Karena
aku membawa putraku ke ranjangku semalam, aku yakin kau tidak menyadarinya,”
kata Ewan datar. “Rupanya dia pindah malam-malam.”
Mairin
mulai bergerak, tapi Ewan mengangkat satu satu tangan. “Tidak. Jangan bangunkan
dia. Aku yakin kalian berdua perlu istirahat. Aku akan menyuruh Gertie
menyiapkan makan pagi untuk kalian.”
“T
–Terima kasih.”
Mairin
mendongak dan mendapat sang laird dengan tak berdaya. Ia tidak tahu harus
bersikap bagaimana ketika sang laird tiba-tiba bersikap baik kepadanya. Kemarin
sang laird begitu garang, wajahnya yang cemberut saja sudah cukup membuat
seorang pria ketakutan. Setelah mengangguk singkat, sang laird keluar dari
kamar dan menutup pintu di belakangnya.
Mairin
mengerutkan kening. Ia tidak percaya pada perubahan drastis sikap sang laird.
Lalu ia memandang anak laki-laki yang terlelap di sebelahnya, dan kerutan di
dahinya mengendur. Dengan lembut, ia menyentuh rambut Crispen, terpesona
melihat ikal-ikal lemas rambut anak itu, yang membingkai wajahnya. Kelak,
rambut Crispen pasti akan sepanjang rambut ayahnya.
Mungkin
sang laird sudah lebih tenang sekarang, setelah putranya kembali dengan
selamat. Bahkan, mungkin kini ia merasa berterima kasih dan menyesali
kekasarannya kepada Mairin kemarin.
Harapan
membuat dada Mairin sesak. Sekarang sang laird mungkin mau memberikan seekor
kuda dan bekal kepadanya. Mairin tidak tahu ke mana ia harus melarikan diri.
Tapi mengingat Duncan Cameron tampaknya musuh bebuyutan Ewan McCabe, tidak baik
jika tetap berada di sini.
Pikiran
itu membuat Mairin menjadi sedih, lalu ia memeluk Crispen erat-erat. Ia tidak
mungkin kembali ke biara tempatnya tinggal selama bertahun-tahun, di sana ia
hidup damai di tengah para biarawati. Sekarang ia tidak punya rumah maupun
tempat perlindungan yang aman.
Mairin
memejamkan mata dan membisikkan doa khusyuk untuk meminta pengampunan dan
perlindungan Tuhan. Ia yakin Tuhan pasti akan memberikan apa yang dibutuhkannya
sekarang.
Ketika
Mairin bangun untuk kedua kalinya. Crispen sudah pergi dari ranjang. Mairin
meregangkan tangan dan kaki, dan langsung mengernyit ketika rasa sakit merayapi
tubuhnya. Tubuhnya masih belum pulih benar, walau ia sudah mandi air panas dan
tidur di ranjang yang nyaman. Meski begitu, sekarang Mairin dapat bergerak jauh
lebih baik daripada kemarin, dan jelas sudah cukup sehat untuk menunggangi
kuda.
Setelah
menyingkirkan selimut bulu binatang itu ke samping, Mairin dengan takut-takut
menginjakkan kaki ke lantai batu dan tersentak ketika merasakan dinginnya
lantai. Ia bangkit berdiri dan pergi ke jendela untuk membuka penutupnya,
supaya cahaya matahari bisa mengalir masuk ruangan.
Sinar
matahari menyelubungi Mairin seperti madu cair. Ia menutup mata dan memalingkan
wajah kepada matahari, membiarkan kehangatan sang surya menyirami tubuh.
Hari
itu hari musim semi yang sangat indah di dataran tinggi. Mairin memandang
lereng-lereng bukit, mesara senang melihat kampung halamannya untuk pertama
kali setelah bertahun-tahun. Dulu Mairin serring kali merasa putus asa dan
berpikir ia tidak akan pernah lagi melihat nirwana. Neamh Alainn. Nirwana yang
indah. Suatu hari ia akan memandang pusakanya –pusaka anaknya. Satu-satunya
harta peninggalan ayahnya yang pernah ia miliki.
Mairin
mengepalkan tangan erat-erat. “Aku tidak akan gagal,” bisiknya.
Mairin
tidak mau membuang lebih banyak waktu di atas, sehingga ia mengenakan gaun
sederhana yang ditinggalkan salah satu pelayan wanita untuknya. Leher gaun itu
dihiasi sulaman rangkaian bunga yang feminin. Sementara itu di bagian tengah
gaun, dengan warna hijau dan emas, terlihat sulaman gambar yang ia duga lambang
klan McCabe. Mairin merasa senang bisa mengenakan baju lain yang tidak
menunjukkan warna Duncan Cameron, lalu buru-buru berjalan ke pintu.
Ketika
hampir sampai di dasar tangga, Mairin majadi ragu, tiba-tiba merasa bingung
dengan diri sendiri. Untung ia tidak perlu masuk ke ruang depan dengan perasaan
canggung, karena salah satu wanita McCabe melihatnya. Wanita itu tersenyum lalu
bergegas datang untuk menyambutnya.
“Selamat
siang. Apakah kau sudah merasa lebih baik hari ini?”
Mairin
mengernyit. “Sudah siang ya? Oh, sebenarnya aku tidak berniat tidur seharian.”
“Kau
perlu beristirahat. Kau nyaris pingsan kemarin. Oh ya, namaku Christina. Namamu
sendiri siapa?”
Wajah
Mairin merah padam, tiba-tiba ia merasa tolol. Mairin sempat berpikir untuk
menyebutkan nama palsu, namun ia tidak suka berbohong.
“Aku
tidak bisa mengatakannya kepadamu,” gumamnya.
Alis
Christina langsung naik, tapi dia cukup baik hati untuk tidak bereaksi lebih
jauh. Lalu Christina meraih lengan Mairin dan menggandengnya.
“Kalau
begitu, Lady, ayo kita ke dapur sebelum Gertie memberikan makananmu kepada
anjing.”
Lega
Christina tidak mendesaknya, Mairin membiarkan gadis itu menariknya ke dapur
tempat seorang wanita tua berdiri dan mengaduk-aduk api. Awalnya Mairin mengira
akan melihat seorang wanita yang gemuk, entah mengapa ia berpikir begitu.
Bukankah wanita yang bertugas memasak seharusnya mempunyai perawakan seperti
seorang ibu?
Namun
Gertie bertubuh kurus kering. Rambut berubannya digelung ketat di tengkuk.
Beberapa helai rambut Gertie terjuntai di sekeliling wajah, membuatnya tampak
sedikit garang. Dia menatap tajam kepada Mairin, seolah ingin menguliti Mairin.
“Sudah
waktunya kau bangun dan keluar kamar, lass.
Tidak ada orang yang berbaring di ranjang selama itu di sini, kecuali dia
sekarant. Aku kira kau tidak sekarat, karena kau berdiri di depanku dan tampak
kuat serta sehat. Jangan sering-sering bangun siang, atau aku tidak akan
menyisihkan makanan pagi untukmu lagi.”
Mairin
tertegun dan awalnya ingin tertawa, namun takut wanita itu akan tersinggung.
Jadi sebaliknya, Mairin melipat kedua tangan dengan serius di depannya dan
berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi. Janji yang mudah, karena ia tidak
punya niat bermalam di kastel McCabe.
“Kalau
begitu, duduklah. Ada bangku di sudut. Kau bisa makan di sana. Tidak ada
gunanya membuat meja di aula berantakan lagi untuk satu orang.”
Mairin
dengan patuh menuruti Gertie dan segera mengambil sepiring makanan. Gertie dan
Christina mengamatinya selama ia makan. Mairin dapat mendengar mereka
berbisik-bisik ketika mereka mengira Mairin tidak melihat.
“Tidak
akan memberitahumu namanya?” seru Gertie keras-keras.
Gertie
menoleh ke arah Mairin dan mengeluarkan suara hmmph. “Ketika seseorang tidak mau menyebutkan namanya, itu pasti
karena ia menyembunyikan sesuatu. Apa yang kau sembunyikan,lass? Jangan pikir laird kami tidak akan menemukannya. Dia terlalu
pandai untuk diperdaya omong kosong seorang wanita mungil sepertimu.”
“Kalau
begitu akau hanya mau membahasnya dengan lairdmu saja,” sahut Mairin dengan
tegas. Ia berharap nada suaranya cukup kuat sehingga Gertie tidak akan mendesak
lagi. Gertie hanya memutar bola mata dan kembali mengaduk-aduk api.
“Bisakah
kau membawaku kepada sang lair?” tanya Mairin kepada Christina ketika bangkit
dari bangku. “Aku benar-benar harus bicara dengannya segera.”
“Tentu
saja, Lady,” jawab Christina dengan manis. “aku sudah disuruh mengantarkanmu
untuk menemuinya setelah kau selesai makan.”
Makanan
yang baru saja Mairin telan langsung teraduk-aduk di perut seperti bir basi.
“Apakah
kau gugup?” tanya Christina saat mereka menuruni tangga dari kastel. “Kau tidak
perlu merasa seperti itu. Meski sang laird kelihatan keras, dan galak jika ada
yang melawannya, dia pria yang adil dan sangat bijaksana dalam memimpin klan
kami.”
Yang
Christina tidak sebutkan adalah Mairin bukan bagian dari klan McCabe, itu
artinya kebijakan sang laird tentang bersikap adil dan bijaksana tidak berlaku
baginya. Namun Mairin sudah menyelamatkan Crispen, dan sang laird jelas
menyayangi putranya. Ia mengingat-ingat fakta itu ketika mereka berbelok ke
halaman.
Mata
Mairin terbelalak menyaksikan begitu banyak pria yang berlatih. Dentingan
pedang dan tameng nyaris membuatnya tuli. Dan matahari siang yang menyoroti
kedua benda logam itu membuatnya menyipitkan mata dan mengernyit. Mairin
mengerjap-ngerjapkan mata dan memalingkan tatapan dari pantulan pedang dan
tameng yang menari-nari di udara. Tapi ketika menyadari apa yang dilihatnya
sekarang, ia mengeluarkan suara terkejut.
Mairin
dengan gemetar memegangi dada, dan pandangannya menjadi kabur. Tanpa sadar ia
menahan napas, sampai paru-parunya yang tersiksa menjerit kepadanya. Mairin
menghirup udara banyak-banyak, tapi kepalanya masih tetap pening.
Sang
laird bertarung dengan prajurit lain, hanya memakai pepatu bot dan celana
panjang kotak-kotak. Dada telanjangnya berkilat-kilat oleh keringat, dan
setetes darah mengalir turun di samping tubuh.
Oh,
demi Tuhan.
Mmairin
mengamati dengan takjub. Ia tak bisa mengalihkan pandangan, meski sudah pasti
tidak pantas baginya untuk memelototi seorang pria seperti ini.
Sang
laird berbahu lebar. Dadanya yang bidang memiliki beberapa bekas luka. Setiap
pria seumurnya pasti mempunyai bekas luka akibat perang. Itu merupakan tanda
kehormatan bagi pria dataran tinggi. Tanpanya, seorang pria akan dianggap lemah
dan pengecut.
Rambut
sang laird basah dan menempel pada punggung. Kepang rambutnya bergoyang-goyang
saat ia berputar-putar di lumpur untuk menangkis serangan baru yang dilancarkan
lawan. Otot-ototnya meregang dan menonjol keluar ketika dia mengayunkan pedang
yang berat di atas kepala dan menghunjamkan pedang itu ke bawah. Pada saat
terakhir, lawan sang laird melemparkan tameng, namun pria itu tetap saja roboh
ke tanah akibat hantaman sang laird.
Pemuda
itu tergeletak, pedangnya sendiri jatuh berdenting ke tanah. Namun dia cukup
cerdik untuk melindungi diri dengan tameng ketika dia terbaring di sana dengan
sedikit terengah-engah.
Sang
laird mengerutkan kening, namun mengulurkan tangan ke bawah kepada prajurit
muda itu. “Kau bertahan lebih lama kali ini, Heath, tapi kau masih membiarkan
emosi mengatur tindakanmu. Kau harus belajar mengendalikan temperamen, kalau
tidak kau akan menjadi sasaran empuk dalam pertempuran.
Heath
cemberut dan tampak sebal mendengar kritik sang laird. Dia tak mengacuhkan
tangan Ewan yang terulur kepadanya dan bangkit berdiri, wajahnya merah padam
karena marah.
Saat
itulah sang laird mendongak dan melihat Mairin berdiri di sana dengan Christina.
Matanya menyipit dan membuat Mairin merasa terpaku oleh tatapan tajamnya. Sang
laird memberikan isyarat untuk meminta tunik yang dilemparkan Alaric kepadanya
dari samping. Setelah buru-buru memakai tunik itu untuk menutupi dada, sang
laird memberikan isyarat agar Mairin maju ke depan.
Anehnya,
Mairin merasa kecewa ketika sang laird kembali mengenakan tunik. Meski begitu,
ia beringsut mendekati pria itu, menyeret kaki melewati lumpur. Ini konyol. Ia
wanita dewasa, tapi di depan pria ini, Mairin merasa seperti anak nakal yang
sebentar lagi akan ditegur.
Ini
tentu karena perasaan bersalahnya. Jika ia mengaku, perasaan itu pasti akan
lenyap.
“Berjalanlah
denganku,lass. Ada banyak hal yang
harus kita bicarakan.”
Mairin
menelan ludah dan menoleh sekilas kepada Christina, yang membungkuk hormat ke
arah sang laird sebelum memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke arah mereka
datang.
Sang
laird menyeringai. “Ayo,” katanya lagi. “Aku tidak menggigit, sungguh.”
Gurauan
itu membuat Mairin terkejut dan tersenyum lebar, tanpa menyadari efeknya
terhadap para pria yang melihat.
“Baiklah,
Laird. Dengan jaminan seperti itu, aku akan mengambil risiko untuk berjalan
bersamamu.”
Mereka
berjalan meninggalkan halaman dan mendaki lereng bukit yang menghadap danau. Di
puncak lereng, sang laird berhenti dan menatap jauh ke danau.
“Kata
putraku, kau sudah melakukan banyak hal untuknya dan aku harus berterima kasih
kepadamu.”
Mairin
melipat kedua tangan di depan, memegangi sekelumit gaun. “Dia anak yang baik.
Dia menolongku sebanyak aku menolong dia.”
Sang
laird mengangguk. “Itulah yang dia ceritakan kepadaku. Lalu dia membawamu
kepadaku.”
Mairin
tidak suka cara sang laird mengucapkan kalimat terakhir. Nadanya terlalu
posesif.
“Laird,
aku harus pergi hari ini. Jika kau tidak bisa memberiku seekor kuda, aku
mengerti. Aku akan berjalan kaki saja, meski aku akan berterima kasih jika ada
orang yang bisa mengantarku sampai ke perbatasan.”
Sang
laird menoleh kepada Mairin dengan mengangkat satu alisnya. “Kau mau berjalan
kaki? Kau tidak akan bisa berjalan jauh, lass.
Seseorang akan melemparkanmu ke kudanya dan membawamu pergi begitu meninggalkan
tanahku.”
Mairin
mengerutkan dahi. “Tidak jika aku berhati-hati.”
“Seperti
yang kau lakukan ketika kau diculik anak buah Duncan Cameron?”
Pipi
Mairin memerah. “Itu berbeda. Waktu itu aku tidak mengira...”
Mata
sang laird berkilat-kilat jenaka. “Apakah ada orang yang bisa meramalkan bahwa
dia akan diculik?”
“Ya,”
bisik Mairin.
“Beritahu
aku sesuatu, lass. Tampaknya kau
orang yang sangat percaya kepada sebuah janji. Berani taruhan, kau pasti
mengharapkan orang lain menepati janji mereka.”
“Oh
ya,” kata Mairin dengan sungguh-sungguh.
“Dan
kau membuat putraku berjanji kepadamu, bukankah begitu?”
Mairin
menunduk. “Ya, benar.”
“Dan
kau berharap dia akan menepati janjinya, kan?”
Mairin
bergerak-gerak gelisah, namun ia mengangguk saat perasaan bersalah memenuhi
diri.
“Di
sisi lain, Crispen juga memintaku berjanji kepadanya.”
“Berjanji
apa?” tanya Mairin.
“Untuk
melindungimu.”
“Oh.”
Mairin
tidak tahu harus berkata apa. Entah bagaimana, ia tahu ia sudah terjebak.
“Menurutku,
sulit untuk melindungi seorang wanita jika ia berjalan kaki untuk berkeliaran
di dataran tinggi, bukan?”
Mairin
cemberut, tidak senang dengan arah pembicaraan mereka.
“Aku
lepaskan kau dari janjimu kepada Crispen,” kata Mairin tegas.
Sang
laird menggeleng, lalu dia tersenyum simpul. Senyuman itu membuat Mairin shock. Mairin hanya bisa terpaku melihat
betapa berubahnya wajah ang laird ketika pria itu tersenyum. Wow, ternyata sang
laird cukup tampan. Bahkan sangat tampan. Dan sang laird terlihat lebih muda,
tidak sekeras tadi. Meski setelah melihat bekas-bekas lukanya, Mairin tahu sang
laird bukan pria lembek. Tidak, laki-laki itu petarung. Entah sudah berapa
banyak pria yang dibunuhnya dalam perang. Bahkan, sang laird bisa mematahkan
batang leher orang lain dengan jemarinya. Atau sudah pasti, batang leher
Mairin.
Pikiran
itu membuat Mairin meraba leher.
“Hanya
Crispen yang bisa melepaskanku dari janji itu, lass. Aku yakin dia sudah memberitahumu, bahwa seorang McCabe
selalu menepati janji.”
Dengan
murung, Mairin ingat itulah yang dikatakan Crispen. Ia juga ingat janji Crispen
kepadanya, bahwa ayah anak itu akan melindunginya. Tapi waktu itu ia terlalu
sibuk untuk bertahan hidup sampai tidak terlalu memikirkan apa arti janji itu.
“Jadi
maksudmu, aku tidak bisa pergi dari sini?” bisik Mairin.
Sang
laird tampaknya mempertimbangkan pertanyaan Mairin untuk sesaat, tanpa pernah
mengalihkan pandangan dari Mairin. Dia terus menatap Mairin, sampai Mairin
merasa tidak enak diamati seperti itu.
“Jika
aku tahu kau akan pergi ke tempat yang aman, tentu saja aku akan mengizinkanmu
pergi. Ke tempat keluargamu, mungkin?”
Mairin
tidak mau berbohong dan berkata masih punya keluarga, jadi ia diam saja.
Sang
laird menghela napas. “Beritahu aku namamu, lass.
Beritahu aku mengapa Duncan Cameron berkeras agar kau menikah dengannya. Aku
sudah berjanji kepada Crispen akan melindungimu, dan akan menepatinya. Tapi aku
tidak bisa melakukannya, kecuali aku mengetahui semuanya.”
Oh,
oh, sang laird rupanya akan bersikap kasar lagi jika Mairin tidak mau mematuhi
perintah. Pria itu sudah siap mencekiknya kemarin. Meski sang laird tidur
nyenyak semalam, siapa tahu keinginan itu belum lenyap dari hatinya, walaupun
dia tampak amat sabar saat ini.
Namun
Mairin tidak menentang sang laird secara terbuka seperti kemarin. Sebaliknya,
ia berdiri membisu dengan masih melipat kedua tangan di depan tubuh.
“Kau
tentu sadar bahwa aku tidak butuh waktu lama untuk mengetahui semua itu. Lebih
baik beritahukan saja apa yang ingin kuketahui sekarang. Aku tidak suka
menunggu lama-lama. Aku bukan pria yang sabar. Khusunya ketika orang yang
berada di bawah perintahku menentangku.”
“Aku
tidak berada di bawah perintahmu,” bantah Mairin tanpa pikir panjang.
“Begitu
menginjak tanahku, kau berada di bawah perintahku. Janji putraku langsung
menaruhmu dalam penjagaan dan perlindunganku. Janjiku kepada putraku menegaskan
hal itu. Kau harus mematuhiku.”
Mairin
mengangkat dagu, menatap langsung sepasang mata hijau yang tajam itu. “Aku
berhasil meloloskan diri dari tangan Duncan Cameron. Aku juga akan meloloskan
diri darimu. Kau tidak bisa menyuruhku melakukan apa pun. Pukuli saja aku kalau
kau mau, tapi aku tidak akan memberitahumu apa yang ingin kau ketahui.”
Mendengar
ucapan Mairin, sang laird terperangah dan kemarahan berkobar di matanya. “Kau
pikir aku akan memukulimu? Apakah menurutmu aku sama dengan Cameron?”
Kegusaran
dalam suara sang larid membuat Mairin melangkah mundur. Rupanya ia sudah
menyinggung sang laird dan membuatnya benar-benar murka. Sampai pria itu
bertanya kepadanya dengan geram.
“Aku
tidak bermaksud menghinamu. Aku tidak tahu kau pria seperti apa. Aku baru
mengenalmu sebentar, dan harus kau akui, kita tidak bersikap terlalu ramah
terhadap satu sama lain.
Sang
laird memalingkan wajah, tangannya meraih rambut sendiri. Mairin tidak tahu
apakah sang laird ingin menarik rambut karena merasa frustasi atau supaya pria
itu tidak mencekik lehernya.
Ketika
sang laird menoleh kembali kepada Mairin, keteguhan hati pria itu terpancar
dari matanya. Dia berjalan maju mendekati Mairin, menutup jarak di antara
mereka. Mairin segera melangkah mundur, namun sang laird ada di sana, menjulang
di atasnya, siap mengamuk kepadanya.
“Tidak
pernah, tidak pernah aku memperlakukan pria atau wanita seperti Cameron
memperlakukan dirimu. Anjing saja diperlakukan lebih baik daripada itu. Jangan
pernah membuat kesalahan dengan membandingkan aku dan Cameron.”
“Y
–ya, Laird.”
Sang
laird mengangkat tangan, dan Mairin harus berusaha keras untuk tidak menyingkir
ketakutan dari hadapannya. Bagaimana ia mampu berdiri dengan begitu tegar di
sana, Mairin tidak tahu. Tapi Mairin merasa tidak boleh menunjukkan ia takut
sang laird akan memukulnya. Namun sang laird malah menyentuh sehelai rambut
Mairin yang menempel di pipi.
“Tak
seorang pun akan menyakitimu di sini. Percayalah padaku.”
“Kau
tak bisa menyuruh seseorang untuk percaya kepadamu!”
“Ya,
aku bisa, dan kau akan melakukannya. Aku memberimu waktu sampai besok untuk
memutuskan, apakah kau cukup percaya kepadaku dan akan memberitahukan apa yang
ingin kuketahui. Aku lairdmu, dan kau akan mematuhiku, seperti semua orang di
sini. Kau mengerti?”
“Itu...
menggelikan,” sahut Mairin dengan gagap. Ia sudah melupakan ketakutan untuk
membuat sang laird semakin marah. “Itu hal paling absurb yang pernah kudengar.”
Mairin
memutar tubuh, tanpa kata-kata memberitahu sang laind tentang pendapatnya
terhadap perintah pria itu. Saat pergi dengan mengentakkan kaki, ia tidak
melihat senyum geli muncul di wajah Ewan.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar