Minggu, 30 Juni 2019

In Bed with a Highlander #5

Mairin bangun dan sadar bahwa ia tidak sendirian di kamar kecil itu, di tempat ia tidur tadi. Bulu kuduknya berdiri dan dengan hati-hati ia membuka satu mata untuk melihat Ewan McCabe berdiri di pintu masuk.

Cahaya matahari mengintip melalui jendela, menembus celah-celah selimut dari bulu binatang. Namun sinar itu entah bagaimana membuat Ewan tampak lebih menyeramkan, daripada jika dia berdiri dalam kegelapan. Di bawah sinar matahari, Mairin bisa melihat betapa besarnya pria itu. Ewan kelihatan menakutkan, berdiri di bawah pintu yang lebarnya hampir sama dengan tubuhnya.

“Maaf aku mengganggumu,” kata Ewan dengan suara serak. “Aku sedang mencari putraku.”

Saat itu, ketika mengikuti tatapan Ewan ke buntalan di sampingnya, barulah Mairin sadar bahwa Crispen sudah merangkak ke ranjangnya tadi malam. Anak itu meringkuk di samping Mairin, menarik selimut sampai ke lehernya.

“Maafkan aku. Aku tidak tahu...,” Mairin mulai menjelaskan.

“Karena aku membawa putraku ke ranjangku semalam, aku yakin kau tidak menyadarinya,” kata Ewan datar. “Rupanya dia pindah malam-malam.”

Mairin mulai bergerak, tapi Ewan mengangkat satu satu tangan. “Tidak. Jangan bangunkan dia. Aku yakin kalian berdua perlu istirahat. Aku akan menyuruh Gertie menyiapkan makan pagi untuk kalian.”

“T –Terima kasih.”

Mairin mendongak dan mendapat sang laird dengan tak berdaya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana ketika sang laird tiba-tiba bersikap baik kepadanya. Kemarin sang laird begitu garang, wajahnya yang cemberut saja sudah cukup membuat seorang pria ketakutan. Setelah mengangguk singkat, sang laird keluar dari kamar dan menutup pintu di belakangnya.

Mairin mengerutkan kening. Ia tidak percaya pada perubahan drastis sikap sang laird. Lalu ia memandang anak laki-laki yang terlelap di sebelahnya, dan kerutan di dahinya mengendur. Dengan lembut, ia menyentuh rambut Crispen, terpesona melihat ikal-ikal lemas rambut anak itu, yang membingkai wajahnya. Kelak, rambut Crispen pasti akan sepanjang rambut ayahnya.

Mungkin sang laird sudah lebih tenang sekarang, setelah putranya kembali dengan selamat. Bahkan, mungkin kini ia merasa berterima kasih dan menyesali kekasarannya kepada Mairin kemarin.

Harapan membuat dada Mairin sesak. Sekarang sang laird mungkin mau memberikan seekor kuda dan bekal kepadanya. Mairin tidak tahu ke mana ia harus melarikan diri. Tapi mengingat Duncan Cameron tampaknya musuh bebuyutan Ewan McCabe, tidak baik jika tetap berada di sini.

Pikiran itu membuat Mairin menjadi sedih, lalu ia memeluk Crispen erat-erat. Ia tidak mungkin kembali ke biara tempatnya tinggal selama bertahun-tahun, di sana ia hidup damai di tengah para biarawati. Sekarang ia tidak punya rumah maupun tempat perlindungan yang aman.

Mairin memejamkan mata dan membisikkan doa khusyuk untuk meminta pengampunan dan perlindungan Tuhan. Ia yakin Tuhan pasti akan memberikan apa yang dibutuhkannya sekarang.


Ketika Mairin bangun untuk kedua kalinya. Crispen sudah pergi dari ranjang. Mairin meregangkan tangan dan kaki, dan langsung mengernyit ketika rasa sakit merayapi tubuhnya. Tubuhnya masih belum pulih benar, walau ia sudah mandi air panas dan tidur di ranjang yang nyaman. Meski begitu, sekarang Mairin dapat bergerak jauh lebih baik daripada kemarin, dan jelas sudah cukup sehat untuk menunggangi kuda.

Setelah menyingkirkan selimut bulu binatang itu ke samping, Mairin dengan takut-takut menginjakkan kaki ke lantai batu dan tersentak ketika merasakan dinginnya lantai. Ia bangkit berdiri dan pergi ke jendela untuk membuka penutupnya, supaya cahaya matahari bisa mengalir masuk ruangan.

Sinar matahari menyelubungi Mairin seperti madu cair. Ia menutup mata dan memalingkan wajah kepada matahari, membiarkan kehangatan sang surya menyirami tubuh.

Hari itu hari musim semi yang sangat indah di dataran tinggi. Mairin memandang lereng-lereng bukit, mesara senang melihat kampung halamannya untuk pertama kali setelah bertahun-tahun. Dulu Mairin serring kali merasa putus asa dan berpikir ia tidak akan pernah lagi melihat nirwana. Neamh Alainn. Nirwana yang indah. Suatu hari ia akan memandang pusakanya –pusaka anaknya. Satu-satunya harta peninggalan ayahnya yang pernah ia miliki.

Mairin mengepalkan tangan erat-erat. “Aku tidak akan gagal,” bisiknya.

Mairin tidak mau membuang lebih banyak waktu di atas, sehingga ia mengenakan gaun sederhana yang ditinggalkan salah satu pelayan wanita untuknya. Leher gaun itu dihiasi sulaman rangkaian bunga yang feminin. Sementara itu di bagian tengah gaun, dengan warna hijau dan emas, terlihat sulaman gambar yang ia duga lambang klan McCabe. Mairin merasa senang bisa mengenakan baju lain yang tidak menunjukkan warna Duncan Cameron, lalu buru-buru berjalan ke pintu.

Ketika hampir sampai di dasar tangga, Mairin majadi ragu, tiba-tiba merasa bingung dengan diri sendiri. Untung ia tidak perlu masuk ke ruang depan dengan perasaan canggung, karena salah satu wanita McCabe melihatnya. Wanita itu tersenyum lalu bergegas datang untuk menyambutnya.

“Selamat siang. Apakah kau sudah merasa lebih baik hari ini?”

Mairin mengernyit. “Sudah siang ya? Oh, sebenarnya aku tidak berniat tidur seharian.”

“Kau perlu beristirahat. Kau nyaris pingsan kemarin. Oh ya, namaku Christina. Namamu sendiri siapa?”

Wajah Mairin merah padam, tiba-tiba ia merasa tolol. Mairin sempat berpikir untuk menyebutkan nama palsu, namun ia tidak suka berbohong.

“Aku tidak bisa mengatakannya kepadamu,” gumamnya.

Alis Christina langsung naik, tapi dia cukup baik hati untuk tidak bereaksi lebih jauh. Lalu Christina meraih lengan Mairin dan menggandengnya.

“Kalau begitu, Lady, ayo kita ke dapur sebelum Gertie memberikan makananmu kepada anjing.”

Lega Christina tidak mendesaknya, Mairin membiarkan gadis itu menariknya ke dapur tempat seorang wanita tua berdiri dan mengaduk-aduk api. Awalnya Mairin mengira akan melihat seorang wanita yang gemuk, entah mengapa ia berpikir begitu. Bukankah wanita yang bertugas memasak seharusnya mempunyai perawakan seperti seorang ibu?

Namun Gertie bertubuh kurus kering. Rambut berubannya digelung ketat di tengkuk. Beberapa helai rambut Gertie terjuntai di sekeliling wajah, membuatnya tampak sedikit garang. Dia menatap tajam kepada Mairin, seolah ingin menguliti Mairin.

“Sudah waktunya kau bangun dan keluar kamar, lass. Tidak ada orang yang berbaring di ranjang selama itu di sini, kecuali dia sekarant. Aku kira kau tidak sekarat, karena kau berdiri di depanku dan tampak kuat serta sehat. Jangan sering-sering bangun siang, atau aku tidak akan menyisihkan makanan pagi untukmu lagi.”

Mairin tertegun dan awalnya ingin tertawa, namun takut wanita itu akan tersinggung. Jadi sebaliknya, Mairin melipat kedua tangan dengan serius di depannya dan berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi. Janji yang mudah, karena ia tidak punya niat bermalam di kastel McCabe.

“Kalau begitu, duduklah. Ada bangku di sudut. Kau bisa makan di sana. Tidak ada gunanya membuat meja di aula berantakan lagi untuk satu orang.”

Mairin dengan patuh menuruti Gertie dan segera mengambil sepiring makanan. Gertie dan Christina mengamatinya selama ia makan. Mairin dapat mendengar mereka berbisik-bisik ketika mereka mengira Mairin tidak melihat.

“Tidak akan memberitahumu namanya?” seru Gertie keras-keras.

Gertie menoleh ke arah Mairin dan mengeluarkan suara hmmph. “Ketika seseorang tidak mau menyebutkan namanya, itu pasti karena ia menyembunyikan sesuatu. Apa yang kau sembunyikan,lass? Jangan pikir laird kami tidak akan menemukannya. Dia terlalu pandai untuk diperdaya omong kosong seorang wanita mungil sepertimu.”

“Kalau begitu akau hanya mau membahasnya dengan lairdmu saja,” sahut Mairin dengan tegas. Ia berharap nada suaranya cukup kuat sehingga Gertie tidak akan mendesak lagi. Gertie hanya memutar bola mata dan kembali mengaduk-aduk api.

“Bisakah kau membawaku kepada sang lair?” tanya Mairin kepada Christina ketika bangkit dari bangku. “Aku benar-benar harus bicara dengannya segera.”

“Tentu saja, Lady,” jawab Christina dengan manis. “aku sudah disuruh mengantarkanmu untuk menemuinya setelah kau selesai makan.”

Makanan yang baru saja Mairin telan langsung teraduk-aduk di perut seperti bir basi.

“Apakah kau gugup?” tanya Christina saat mereka menuruni tangga dari kastel. “Kau tidak perlu merasa seperti itu. Meski sang laird kelihatan keras, dan galak jika ada yang melawannya, dia pria yang adil dan sangat bijaksana dalam memimpin klan kami.”

Yang Christina tidak sebutkan adalah Mairin bukan bagian dari klan McCabe, itu artinya kebijakan sang laird tentang bersikap adil dan bijaksana tidak berlaku baginya. Namun Mairin sudah menyelamatkan Crispen, dan sang laird jelas menyayangi putranya. Ia mengingat-ingat fakta itu ketika mereka berbelok ke halaman.

Mata Mairin terbelalak menyaksikan begitu banyak pria yang berlatih. Dentingan pedang dan tameng nyaris membuatnya tuli. Dan matahari siang yang menyoroti kedua benda logam itu membuatnya menyipitkan mata dan mengernyit. Mairin mengerjap-ngerjapkan mata dan memalingkan tatapan dari pantulan pedang dan tameng yang menari-nari di udara. Tapi ketika menyadari apa yang dilihatnya sekarang, ia mengeluarkan suara terkejut.

Mairin dengan gemetar memegangi dada, dan pandangannya menjadi kabur. Tanpa sadar ia menahan napas, sampai paru-parunya yang tersiksa menjerit kepadanya. Mairin menghirup udara banyak-banyak, tapi kepalanya masih tetap pening.

Sang laird bertarung dengan prajurit lain, hanya memakai pepatu bot dan celana panjang kotak-kotak. Dada telanjangnya berkilat-kilat oleh keringat, dan setetes darah mengalir turun di samping tubuh.

Oh, demi Tuhan.

Mmairin mengamati dengan takjub. Ia tak bisa mengalihkan pandangan, meski sudah pasti tidak pantas baginya untuk memelototi seorang pria seperti ini.

Sang laird berbahu lebar. Dadanya yang bidang memiliki beberapa bekas luka. Setiap pria seumurnya pasti mempunyai bekas luka akibat perang. Itu merupakan tanda kehormatan bagi pria dataran tinggi. Tanpanya, seorang pria akan dianggap lemah dan pengecut.

Rambut sang laird basah dan menempel pada punggung. Kepang rambutnya bergoyang-goyang saat ia berputar-putar di lumpur untuk menangkis serangan baru yang dilancarkan lawan. Otot-ototnya meregang dan menonjol keluar ketika dia mengayunkan pedang yang berat di atas kepala dan menghunjamkan pedang itu ke bawah. Pada saat terakhir, lawan sang laird melemparkan tameng, namun pria itu tetap saja roboh ke tanah akibat hantaman sang laird.

Pemuda itu tergeletak, pedangnya sendiri jatuh berdenting ke tanah. Namun dia cukup cerdik untuk melindungi diri dengan tameng ketika dia terbaring di sana dengan sedikit terengah-engah.

Sang laird mengerutkan kening, namun mengulurkan tangan ke bawah kepada prajurit muda itu. “Kau bertahan lebih lama kali ini, Heath, tapi kau masih membiarkan emosi mengatur tindakanmu. Kau harus belajar mengendalikan temperamen, kalau tidak kau akan menjadi sasaran empuk dalam pertempuran.

Heath cemberut dan tampak sebal mendengar kritik sang laird. Dia tak mengacuhkan tangan Ewan yang terulur kepadanya dan bangkit berdiri, wajahnya merah padam karena marah.

Saat itulah sang laird mendongak dan melihat Mairin berdiri di sana dengan Christina. Matanya menyipit dan membuat Mairin merasa terpaku oleh tatapan tajamnya. Sang laird memberikan isyarat untuk meminta tunik yang dilemparkan Alaric kepadanya dari samping. Setelah buru-buru memakai tunik itu untuk menutupi dada, sang laird memberikan isyarat agar Mairin maju ke depan.

Anehnya, Mairin merasa kecewa ketika sang laird kembali mengenakan tunik. Meski begitu, ia beringsut mendekati pria itu, menyeret kaki melewati lumpur. Ini konyol. Ia wanita dewasa, tapi di depan pria ini, Mairin merasa seperti anak nakal yang sebentar lagi akan ditegur.

Ini tentu karena perasaan bersalahnya. Jika ia mengaku, perasaan itu pasti akan lenyap.

“Berjalanlah denganku,lass. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan.”

Mairin menelan ludah dan menoleh sekilas kepada Christina, yang membungkuk hormat ke arah sang laird sebelum memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke arah mereka datang.

Sang laird menyeringai. “Ayo,” katanya lagi. “Aku tidak menggigit, sungguh.”

Gurauan itu membuat Mairin terkejut dan tersenyum lebar, tanpa menyadari efeknya terhadap para pria yang melihat.

“Baiklah, Laird. Dengan jaminan seperti itu, aku akan mengambil risiko untuk berjalan bersamamu.”

Mereka berjalan meninggalkan halaman dan mendaki lereng bukit yang menghadap danau. Di puncak lereng, sang laird berhenti dan menatap jauh ke danau.

“Kata putraku, kau sudah melakukan banyak hal untuknya dan aku harus berterima kasih kepadamu.”

Mairin melipat kedua tangan di depan, memegangi sekelumit gaun. “Dia anak yang baik. Dia menolongku sebanyak aku menolong dia.”

Sang laird mengangguk. “Itulah yang dia ceritakan kepadaku. Lalu dia membawamu kepadaku.”

Mairin tidak suka cara sang laird mengucapkan kalimat terakhir. Nadanya terlalu posesif.

“Laird, aku harus pergi hari ini. Jika kau tidak bisa memberiku seekor kuda, aku mengerti. Aku akan berjalan kaki saja, meski aku akan berterima kasih jika ada orang yang bisa mengantarku sampai ke perbatasan.”

Sang laird menoleh kepada Mairin dengan mengangkat satu alisnya. “Kau mau berjalan kaki? Kau tidak akan bisa berjalan jauh, lass. Seseorang akan melemparkanmu ke kudanya dan membawamu pergi begitu meninggalkan tanahku.”

Mairin mengerutkan dahi. “Tidak jika aku berhati-hati.”

“Seperti yang kau lakukan ketika kau diculik anak buah Duncan Cameron?”

Pipi Mairin memerah. “Itu berbeda. Waktu itu aku tidak mengira...”

Mata sang laird berkilat-kilat jenaka. “Apakah ada orang yang bisa meramalkan bahwa dia akan diculik?”

“Ya,” bisik Mairin.

“Beritahu aku sesuatu, lass. Tampaknya kau orang yang sangat percaya kepada sebuah janji. Berani taruhan, kau pasti mengharapkan orang lain menepati janji mereka.”

“Oh ya,” kata Mairin dengan sungguh-sungguh.

“Dan kau membuat putraku berjanji kepadamu, bukankah begitu?”

Mairin menunduk. “Ya, benar.”

“Dan kau berharap dia akan menepati janjinya, kan?”

Mairin bergerak-gerak gelisah, namun ia mengangguk saat perasaan bersalah memenuhi diri.

“Di sisi lain, Crispen juga memintaku berjanji kepadanya.”

“Berjanji apa?” tanya Mairin.

“Untuk melindungimu.”

“Oh.”

Mairin tidak tahu harus berkata apa. Entah bagaimana, ia tahu ia sudah terjebak.

“Menurutku, sulit untuk melindungi seorang wanita jika ia berjalan kaki untuk berkeliaran di dataran tinggi, bukan?”

Mairin cemberut, tidak senang dengan arah pembicaraan mereka.

“Aku lepaskan kau dari janjimu kepada Crispen,” kata Mairin tegas.

Sang laird menggeleng, lalu dia tersenyum simpul. Senyuman itu membuat Mairin shock. Mairin hanya bisa terpaku melihat betapa berubahnya wajah ang laird ketika pria itu tersenyum. Wow, ternyata sang laird cukup tampan. Bahkan sangat tampan. Dan sang laird terlihat lebih muda, tidak sekeras tadi. Meski setelah melihat bekas-bekas lukanya, Mairin tahu sang laird bukan pria lembek. Tidak, laki-laki itu petarung. Entah sudah berapa banyak pria yang dibunuhnya dalam perang. Bahkan, sang laird bisa mematahkan batang leher orang lain dengan jemarinya. Atau sudah pasti, batang leher Mairin.

Pikiran itu membuat Mairin meraba leher.

“Hanya Crispen yang bisa melepaskanku dari janji itu, lass. Aku yakin dia sudah memberitahumu, bahwa seorang McCabe selalu menepati janji.”

Dengan murung, Mairin ingat itulah yang dikatakan Crispen. Ia juga ingat janji Crispen kepadanya, bahwa ayah anak itu akan melindunginya. Tapi waktu itu ia terlalu sibuk untuk bertahan hidup sampai tidak terlalu memikirkan apa arti janji itu.

“Jadi maksudmu, aku tidak bisa pergi dari sini?” bisik Mairin.

Sang laird tampaknya mempertimbangkan pertanyaan Mairin untuk sesaat, tanpa pernah mengalihkan pandangan dari Mairin. Dia terus menatap Mairin, sampai Mairin merasa tidak enak diamati seperti itu.

“Jika aku tahu kau akan pergi ke tempat yang aman, tentu saja aku akan mengizinkanmu pergi. Ke tempat keluargamu, mungkin?”

Mairin tidak mau berbohong dan berkata masih punya keluarga, jadi ia diam saja.

Sang laird menghela napas. “Beritahu aku namamu, lass. Beritahu aku mengapa Duncan Cameron berkeras agar kau menikah dengannya. Aku sudah berjanji kepada Crispen akan melindungimu, dan akan menepatinya. Tapi aku tidak bisa melakukannya, kecuali aku mengetahui semuanya.”

Oh, oh, sang laird rupanya akan bersikap kasar lagi jika Mairin tidak mau mematuhi perintah. Pria itu sudah siap mencekiknya kemarin. Meski sang laird tidur nyenyak semalam, siapa tahu keinginan itu belum lenyap dari hatinya, walaupun dia tampak amat sabar saat ini.

Namun Mairin tidak menentang sang laird secara terbuka seperti kemarin. Sebaliknya, ia berdiri membisu dengan masih melipat kedua tangan di depan tubuh.

“Kau tentu sadar bahwa aku tidak butuh waktu lama untuk mengetahui semua itu. Lebih baik beritahukan saja apa yang ingin kuketahui sekarang. Aku tidak suka menunggu lama-lama. Aku bukan pria yang sabar. Khusunya ketika orang yang berada di bawah perintahku menentangku.”

“Aku tidak berada di bawah perintahmu,” bantah Mairin tanpa pikir panjang.

“Begitu menginjak tanahku, kau berada di bawah perintahku. Janji putraku langsung menaruhmu dalam penjagaan dan perlindunganku. Janjiku kepada putraku menegaskan hal itu. Kau harus mematuhiku.”

Mairin mengangkat dagu, menatap langsung sepasang mata hijau yang tajam itu. “Aku berhasil meloloskan diri dari tangan Duncan Cameron. Aku juga akan meloloskan diri darimu. Kau tidak bisa menyuruhku melakukan apa pun. Pukuli saja aku kalau kau mau, tapi aku tidak akan memberitahumu apa yang ingin kau ketahui.”

Mendengar ucapan Mairin, sang laird terperangah dan kemarahan berkobar di matanya. “Kau pikir aku akan memukulimu? Apakah menurutmu aku sama dengan Cameron?”

Kegusaran dalam suara sang larid membuat Mairin melangkah mundur. Rupanya ia sudah menyinggung sang laird dan membuatnya benar-benar murka. Sampai pria itu bertanya kepadanya dengan geram.

“Aku tidak bermaksud menghinamu. Aku tidak tahu kau pria seperti apa. Aku baru mengenalmu sebentar, dan harus kau akui, kita tidak bersikap terlalu ramah terhadap satu sama lain.

Sang laird memalingkan wajah, tangannya meraih rambut sendiri. Mairin tidak tahu apakah sang laird ingin menarik rambut karena merasa frustasi atau supaya pria itu tidak mencekik lehernya.

Ketika sang laird menoleh kembali kepada Mairin, keteguhan hati pria itu terpancar dari matanya. Dia berjalan maju mendekati Mairin, menutup jarak di antara mereka. Mairin segera melangkah mundur, namun sang laird ada di sana, menjulang di atasnya, siap mengamuk kepadanya.

“Tidak pernah, tidak pernah aku memperlakukan pria atau wanita seperti Cameron memperlakukan dirimu. Anjing saja diperlakukan lebih baik daripada itu. Jangan pernah membuat kesalahan dengan membandingkan aku dan Cameron.”

“Y –ya, Laird.”

Sang laird mengangkat tangan, dan Mairin harus berusaha keras untuk tidak menyingkir ketakutan dari hadapannya. Bagaimana ia mampu berdiri dengan begitu tegar di sana, Mairin tidak tahu. Tapi Mairin merasa tidak boleh menunjukkan ia takut sang laird akan memukulnya. Namun sang laird malah menyentuh sehelai rambut Mairin yang menempel di pipi.

“Tak seorang pun akan menyakitimu di sini. Percayalah padaku.”

“Kau tak bisa menyuruh seseorang untuk percaya kepadamu!”

“Ya, aku bisa, dan kau akan melakukannya. Aku memberimu waktu sampai besok untuk memutuskan, apakah kau cukup percaya kepadaku dan akan memberitahukan apa yang ingin kuketahui. Aku lairdmu, dan kau akan mematuhiku, seperti semua orang di sini. Kau mengerti?”

“Itu... menggelikan,” sahut Mairin dengan gagap. Ia sudah melupakan ketakutan untuk membuat sang laird semakin marah. “Itu hal paling absurb yang pernah kudengar.”

Mairin memutar tubuh, tanpa kata-kata memberitahu sang laind tentang pendapatnya terhadap perintah pria itu. Saat pergi dengan mengentakkan kaki, ia tidak melihat senyum geli muncul di wajah Ewan.




Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar