Sulit menentukan siapa tepatnya yang
paling parah dari semua Ibu itu, walaupun Penulis curiga hasil kontes ini
mungkin nyaris seri antara Lady Bridgerton and Mrs. Featherington, dengan Mrs.
F berada sedikit di depan Lady B. Lagi pula, ada tiga nona Featherington yang
dijajakan saat ini, sementara Lady Bridgerton perlu mengkhawatirkan satu saja.
Namun Penulis merekomendasikan supaya
semua orang yang mementingkan keselamatan mereka berada jauh-jauh dari kumpulan
pria lajang terkini ketika ketiga putri E, F, dan H, mencapai usia yang cukup.
Lady B kemungkinan takkan melihat kiri-kanan ketika menerabas ruang dansa
bersama ketiga putrinya, dan semoga Tuhan membantu kita semua jika Lady B
memutuskan untuk menggunakan sepatu bot berujung besi.
LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN
28
APRIL 1813
Malam
ini mustahil lebih buruk lagi, putus Simon. Dulu ia takkan memercayainya, tapi
pertemuan anehnya dengan Daphne Bridgerton jelas menjadi peristiwa paling
menyenangkan malam ini. Ya, ia kaget setengah mati mengetahui dirinya mendambakan
–meski hanya sesaat- adik perempuan sobatnya. Ya, upaya kikuk Nigel Berbrook
dalam merayu gadis itu menyinggung segenap harga diri playboy-nya. Dan ya, Daphne akhirnya membuatnya kesal setengah mati
dengan keragu-raguannya untuk memperlakukan Nigel seperti penjahat atau merawat
pemuda itu seperti yang akan dilakukan dilakukan gadis itu kepada teman
baiknya. Tapi tak satu pun dari semua itu –tidak satu pun –bisa dibandingkan
dengan siksaan yang hendak dijalaninya.
Rencana
oh-sangat-cerdiknya menyelinap ke dalam ruang dansa, menyapa Lady Danbury, lalu
pergi tanpa ketahuan langsung hancur berantakan. Ia baru mengambil dua langkah
ke dalam ruang dansa ketika dirinya dikenali oleh teman lama dari Oxford, yang
amat disayangkan oleh Simon, baru saja menikah. Istri temannya wanita muda yang
sangat menarik, tapi sayangnya memiliki aspirasi sosial yang lumayan tinggi,
dan dengan cepat memutuskan bahwa jalan menuju kebahagiaannya tergantung pada
posisinya sebagai orang yang memperkenalkan sang duke kepada kaum bangsawan.
Dan Simon, walaupun menganggap dirinya tipe pria pesimis dan sinis, mendapati
ia tidak cukup kasar untuk menghina secara langsung istri teman kuliahnya.
Maka
dari itu, dua jam kemudian, ia diperkenalkan kepada seluruh wanita yang belum
menikah dalam pesta itu, semua ibu
seluruh wanita yang belum menikah dalam pesta itu, dan tentu saja, setiap kakak
perempuan yang sudah menikah dari seluruh wanita yang belum menikah dalam pesta
itu. Simon tidak dapat memutuskan kelompok wanita mana yang paling parah. Para
wanita yang belum menikah sudah pasti membosankan, para ibu menyebalkan dan
ambisius, sementara para kakak perempuan?
Yah, para kakak perempuan itu sangat berani sehingga Simon mulai bertanya-tanya
apah dirinya salah masuk dan kini berada di dalam rumah bordil. Enam di
antaranya melontarkan komentar yang amat sugesif, dua orang menyelipkan memo
mengundangnya ke kamar tidur mereka, dan satu orang bahkan membelai paha Simon.
Setelah
dipikir-pikir lagi, Daphne Bridgerton mulai terlihat sangat menarik, sungguh.
Dan
omong-omong tentang Daphne, di mana sih dia? Simon pikir ia sempat melihat
sekilas gadis itu sekita sejam yang lalu, dikelilingi kakak-kakak lelakinya
yang agak besar dan menakutkan. (Walaupun Simon tidak menganggap mereka
masing-masing mengerikan tapi ia segera memutuskan pria mana pun pasti bodoh
jika memprovokasi ketiga orang itu sebagai satu keloompok).
Tapi
sejak itu tampakn ya Daphne menghilang. Malah Simon pikir mungkin gadis itulah
satu-satunya wanita lajang di pesta ini yang tidak diperkenalkan kepadanya.
Simon
tidak terlalu khawatir Daphne akan direcoki Berbrook setelah meninggalkan
mereka di koridor. Ia sudah melayangkan pukulan kuat ke rahang Berbrook dan
sangat yakin pemuda tersebut akan pingsan setidaknya beberapa menit. Mungkin lebih
lama, mengingat banyaknya alkohol yang dikonsumsi Berbrook sebelum menemui
Daphne malam ini. Bahkan jika Daphne dengan bodohnya masih berbaik hati kepada
pengagum kikuknya, gadis itu tidak cukup tolol untuk tetap berada di koridor
sampai pemuda itu tersadar.
Simon
kembali melirik ke sudut tempat tiga kakak beradik lelaki Bridgerton berkumpul,
terlihat seolah bersukaria. Mereka dikerumuni para gadis muda dan ibu tua,
hampir sebanyak yang mengerubungi Simon, tapi paling tidak dirinya sedikit aman
di antara banyak orang. Simon mencermati bahwa para debutan muda tidak
menghabiskan terlalu banyak waktu bersama para lelaki Bridgerton dibanding
ketika bersamanya.
Simon
memandang mereka sambil mengerutkan dahi dengan kesal.
Anthony,
yang bersandar malas ke dinding, melihat ekspresi Simon dan tersenyum puas,
mengangkat gelas anggur merah ke arah sahabatnya. Kemudian pria itu menelengkan
kepalanya sedikit, menunjuk ke kiri Simon. Simon berbalik, tepat pada waktunya
untuk diganggu oleh ibu lain lagi, kali ini dengan tiga putri, semuanya
mengenakan pakaian yang amat sangat ramai, penuh dengan lipatan dan pita, dan
tentu saja, deret demi deret renda.
Simon
membayangkan Daphne, dengan gaun hijau keabuan sederhananya. Daphne, dengan
mata coklat cerdas dan senyum lebar...
“Your
Grace!” seru si ibu melengking. “Your Grace!” Simon berkedip untuk menjernihkan
pandangannya. Keluarga berselimut renda itu berhasil mengepungnya dengan sangat
efisien hingga ia bahkan tidak bisa melotot ke arah Anthony.
“Your
Grace,” ulang si ibu, “saya merasa sangat terhormat bisa berkenalan dengan
Anda.”
Simon
berhasil mengangguk dengan dingin. Ia tidak bisa berkata-kata. Kawanan wanita
ini mengepungnya sangat erat hingga ia takut dirinya bakal sesak napas.
“Georgiana
Huxley menyuruh kami kemari,” tutur wanita itu keras kepala. “Dia bilang saya
harus memperkenalkan putri-putri saya kepada Anda.”
Simon
tidak ingat siapa itu Georgiana Huxley, tapi berpikir ia mungkin ingin mencekik
wanita tersebut.
“Biasanya
saya tidak selancang ini,” lanjut wanita itu, “tapi ayah Anda yang sangat
pengasih itu telah banyak membantu saya.” Simon menegang. “Beliau sungguh luar
biasa,” lanjut wanita itu, suaranya laksana paku di tengkorak Simon, “sangat
menyadari kewajiban terhadap gelarnya. Beliau pasti ayah yang luar biasa.”
“Saya
tidak tahu,” balas Simon ketus.
“Oh!”
Wanita itu harus berdeham beberapa kali sebelum mampu berkata, “Oh, begitu.
Wah. Ya ampun.”
Simon
tidak berkata apa-apa, berharap sikap pongahnya akan mendorong wanita itu untuk
minta diri. Sialan, di mana sih Anthony? Sudah cukup buruk menghadapi para
wanita yang bersikap seolah dirinya kuda pejantan yang hendak dikawinkan, tapi
harus berdiri di sini dan mendengarkan wanita itu berkata bagaimana sang duke
sebelumnya merupakan ayah yang baik...
Simon tidak mungkin tahan.
“Your
Grace! Your Grace!”
Simon
memaksakan tatapan dinginnya kembali kepada wanita di hadapannya dan menyuruh
dirinya lebih sabar menghadapi wanita itu. Lagi pula, wanita itu mungkin hanya
memuji ayahku karena dia pikir itulah yang ingin kudengar.
“Saya
hanya ingin mengingatkan Anda,” ujar wanita itu, “bahwa kita pernah
diperkenalkan beberapa tahun lalu, ketika Anda masih bergelar Clyvedon.”
“Ya,”
gumam Simon, mencari-cari celah dalam barikade wanita yang bisa menjadi jalan keluarnya.
“Ini
putri-putri saya,” ucap wanita itu, menunjuk ketiga gadis muda tersebut. Dua di
antaranya berpenampilan menarik, namun yang ketiga masih agak gemuk dan
mengenakan gaun jingga yang tidak mempercantik penampilannya. Gadis itu tidak
tampak menikmati malam ini.
“Tidakkah
mereka manis sekali?” lanjut wanita itu. “Putri-putri kebanggaan saya. Dan
dengan temperamen yang sangat sabar.”
Simon
agak mual karena pernah mendengar kata-kata yang sama ketika hendak membeli
seekor anjing.
“Your
Grace, izinkan saya memperkenalkan Prudence, Philipa, dan Penelope.”
Ketiga
gadis itu menekukkan kaki dengan hormat, tak seorang pun berani menatap mata
Simon.
“Saya
punya seorang putri lagi di rumah,” lanjut wanita itu. “Namanya Felicity. Tapi
usianya baru sepuluh tahun, jadi saya tidak membawanya ke acara semacam ini.”
Simon
tidak bisa memikirkan alasan wanita itu perlu membagi informasi ini dengannya,
tapi ia mempertahankan suaranya terdengar bosan (sudah sejak lama ia belajar
inilah cara terbaik untuk tidak menampakkan kemarahan) dan bertanya, “Dan Anda
siapa...?”
“Oh,
maafkan saya! Saya Mrs. Featherington. Suami saya sudah berpulang tiga tahun
lalu, tapi dia sahabat baik, eh, ayah Anda.” Suaranya melirih pada akhir
kalimat, begitu ia mengingat reaksi Simon barusan ketika menyinggung soal
ayahnya.
Simon
mengangguk dingin.
“Prudence
lumayan mahir memainkan piano,” tutur Mrs. Featherington, pura-pura ceria.
Simon
mencermati ekspresi getir gadis tertua itu dan langsung memutuskan untuk tidak
pernah menghadiri konser musik di kediaman Featherington.
“Dan
Philipa sayangku ini pelukis cat air yang sangat ahli.” Philipa berseri-seri.
“Dan
Penelope?” Bisikan jail di dalam hati Simon memaksanya untuk melontarkan
pertanyaan itu.
Mrs.
Featherington melirik panik kepada putri mudanya, yang terlihat lumayan
menderita. Penelope tidak terlalu atraktif, dan sosoknya yang agak montok tidak
diperindah oleh pakaian pilihan ibunya. Tapi mata gadis itu terlihat baik hati.
“Penelope?”
ulang Mrs. Featherington, suaranya sedikit melengking. “Penelope... ah... dia
ya Penelope!” Bibirnya bergetar membentuk cengiran yang jelas-jelas palsu.
Penelope
seolah ingin menyelinap ke bawah permadani. Simon memutuskan jika dipaksa
berdansa, ia akan memilih Penelope.
“Mrs.
Featherington,” terdengar suara tajam dan angkuh yang tidak lain dan tidak
bukan adalah suara Lady Danbury, “kau menganggu sang duke ya?”
Simon
ingin mengiyakan, tapi bayangan ekspresi malu Penelope Featherington
mendorongnya bergumam, “Tentu saja tidak.”
Lady
Danbury mengangkat alis sembari perlahan menoleh kepada Simon. “Bohong.”
Ia
berbalik menatap Mrs. Featherington yang kini terlihat pucat. Mrs.
Featherington tidak berkata apa-apa. Lady Danbury membisu. Akhirnya Mrs.
Featherington menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti melihat
sepupunya, menggandenga ketiga putrinya, dan buru-buru pergi.
Simon
menyilangkan lengannya, tapi tidak berhasil menyembunyikan rasa geli di
wajahnya. “Kau jahat sekali,” komentarnya.
“Bah,
Dia kan berotak udang, anak-anaknya juga, kecuali mungkin si bungsu yang
penampilannya tidak terlalu menarik itu.” Lady Danbury menggeleng. “Andai saja
mereka memilih warna lain untuknya...”
Simon
berupaya untuk tidak terkekeh namun gagal. “Kau tidak pernah belajar untuk
tidak ikut campur urusan orang, ya?”
“Tentu
saja. Itu kan tidak menyenangkan!” Lady Danbury tersenyum. Simon bisa tahu
wanita itu tidak menginginkannya, tapi dia tetap tersenyum. “Dan kau,” lanjut
Lady Danbury. “Kau itu tamu kurang ajar. Orang pikir kau tahu sopan santun,
makanya sudah menyapa nyonya rumahmu terlebih dahulu.”
“Kau
selalu dikelilingi terlalu banyak pengagum hingga aku tak berani mendekatimu.”
“Dasar
bermulut manis,” ledek Lady Danbury.
Simon
tidak berkomentar, tidak yakin bagaimana ia harus mengartikan kata-kata wanita
itu. Sejak dulu ia curiga Lady Danbury mengetahui rahasianya, tapi tidak pernah
benar-benar yakin.
“Temanmu
Bridgerton datang,” ujar Lady Danbury.
Mata
Simon mengikuti arah anggukan wanita itu. Anthony melenggang menghampiri mereka,
dan baru berdiri setengah detik di depan mereka ketika Lady Danbury menyebutnya
pengecut.
Anthony
berkedip. “Apa?”
“Kau
kan bisa sejak taadi kemari dan menyelamatkan temanmu dari kwartet
Featherington itu.”
“Tapi
aku sangat menikmati kegelisahannya.”
“Hmmph.”
Dan tanpa berkata-kata lagi (atau gerutuan lain), Lady Danbury melangkah pergi.
“Wanita
tua yang sangat aneh,” komentar Anthony. “Aku takkan terkejut jika ternyata
dialah si Whistledown terkutuk itu.”
“Maksudmu
si penulis koran gosip itu?” Anthony mengangguk sembari mengajak Simon ke balik
pot tanaman di sudut ruangan tempat kedua adiknya menunggu. Sembari
bercakap-cakap, anthony menyengir dan berkata, “Aku melihatmu berbicara dengan
sejumlah gadis muda yang sangat santun.” Simon menggumamkan sesuatu yang agak kasar
dan menghina dengan lirih.
Tapi
Anthony hanya tertawa. “Kau tidak bisa bilang aku tidak memperingatkanmu,
bukan?”
“Aku
tidak suka mengakui kau mungkin benar tentang apa pun juga, jadi jangan suruh
aku melakukannya.”
Anthony
terbahak lagi. “Untuk membalas komentar itu, aku sendiri yang akan mulai
memperkenalkanmu kepada para debutan.”
“Kalau
berani melakukannya,” Simon memperingatkan, “Kau akan mendapati dirimu sekarat
lalu mati dalam waktu yang sangat lama dan menyakitkan.”
Anthony
menyengir. “Pedang atau pistol?”
“Oh,
racun. Sudah pasti racun.”
“Aduh.”
Anthony menghentikan langkahnya menyeberangi ruang dansa di depan kedua pria
Bridgerton lainnya, keduanya jelas ditandai oleh rambut coklat, tubuh jangkung,
dan wajah yang sangat tampan. Simon mencermati salah satunya bermata hijau
sementara yang lain coklat seperti Anthony, tapi selain itu, cahaya malam yang
suram membuat ketiga pria tersebut bisa di bilang seperti kembar identik.
“Kau
ingat adikku?” tanya Anthony sopan. “Benedict dan Colin. Aku yakin kau ingat
Benedict dari masa sekolah kita di Eton. Dialah yang mengikuti kita ke
mana-mana selama tiga bulan ketika baru datang.
“Bohong!”
tukas Benedict sambil tergelak.
“Aku
tidak tahu apa kau pernah bertemu Colin,” lanjut Anthony. “Dia mungkin terlalu
muda untuk pernah berpapasan denganmu.”
“Senang
bertemu denganmu,” tutur Colin riang.
Simon
melihat kilatan jail di mata hijau pemuda itu dan tidak bisa menahan diri untuk
membalasnya dengan senyuman.
“Andthony
sudah menceritakan banyak hal merendahkan tentangmu,” lanjut Colin, cengirannya
terlihat semakin jail, “makanya aku tahu kita pasti akan berteman baik.”
Anthony
memutar bola matanya. “Aku yakin kau bisa mengerti mengapa ibuku percaya Colin
akan menjadi anak pertama yang membuatnya gila.”
Colin
berkata, “Sebenarnya aku malah membanggakan hal itu.”
“Untungnya
ibu bisa beristirahat sejenak dari daya tarik menawan Colin,” lanjut Anthony.
“Sebenarnya, dia baru saja pulang sehabis berkeliling Eropa.”
“Baru
sampai malam ini,” sahut Colin sambil menyengir polos. Pemuda itu memiliki
penampilan mirip berandalan. Simon memutuskan usia pemuda itu tidak mungkin
terlalu jauh daripada Daphne.
“Aku
juga baru pulang sehabis berkeliling,” tutur Simon.
“Ya,
tapi kudengar perjalananmu mengitari bumi,” jawab Colin. “Aku ingin sekali
mendengar tentang hal itu suatu hari nanti.”
Simon
mengangguk sopan. “Tentu saja.”
“Kau
sudah bertemu Daphne?” tanya Benedict. “Dialah satu-satunya Bridgerton yang
hadir di sini yang masih menghilang.”
Simon
sedang mempertimbangkan cara terbaik menjawab pertanyaan itu ketika Colin
mendengus keras dan berkata, “Oh, Daphne tidak menghilang kok. Sengsara, tapi
tidak menghilang.”
Simon
mengikuti pandangan pemuda itu ke seberang ruang dansa, tempat Daphne berdiri
di sebelah wanita yang pasti adalah ibunya, dan terlihat, seperti yang
dijanjikan Colin, amat sangat sengsara.
Kemudian
ia tersadar –Daphne itu salah satu gadis muda lajang yang ia takuti, yang
diperkenalkan ke mana-mana oleh ibunya. Sepertinya gadis itu jauh terlalu logis
dan blakblakan sebagai makhluk seperti itu, tapi tentu saja demikianlah
kenyataannya. Gadis itu tidak mungkin berumur lebih dari dua puluh tahun, dan
karena namanya masih Bridgerton, jelas dia masih lajang. Dan karena dia punya
ibu –yah, tentu saja dia tertangkap dalam lingkaran perkenalan tanpa henti.
Daphne
terlihat sangat tersiksa oleh hal ini, sama seperti yang dirasakan Simon. Entah
kenapa hal itu membuatnya merasa jauh lebih baik.
“Salah
satu dari kita sebaiknya menyelamatkannya,” renung Benedict. “Nggak usah,”
bantah Colin sambil menyengir. “Ibu baru sepuluh menit menyeretnya ke sana
bersama Macclesfield.”
“Macclesfield?”
tanya Simon.
“Si
earl,” balas Benedict.
“Putra
Castleford.”
“Sepuluh
menit?” tanya Anthony. “Macclesfield yang malang,” Simon meliriknya dengan
penasaran. “Bukannya Daphne itu membosankan,” Anthony cepat-cepat menambahkan,
“tetapi ketika ibu sudah bertekad untuk, ah...”
“Mengejar,”
timpal Benedict riang.
“
–calon suami,” lanjut Anthony sambil mengangguk berterima kasih ke arah
adiknya, “Dia bisa, ah...”
“Tidak
kenal lelah,” sambung Colin.
Anthony
tersenyum kecil. “Ya. Tepat sekali.”
Simon
kembali memandang ke balik trio di hadapannya. Benar saja, Daphne terlihat
sengsara, Macclesfield mengamati sekeliling ruangan, mungkin mencari jalan
keluar terdekat, dan mata Lady Bridgerton memancarkan kilatan ambisius yang
membuat Simon mengernyit bersimpati pada earl muda itu.
“Sebaiknya
kita menyelamatkan Daphne,” ujar Anthony.
“Sebaiknya
begitu,” timpal Benedict.
“Dan
Macclesfield,” imbuh Anthony.
“Oh,
itu pasti,” tambah Benedict.
Tapi
Simon mencermati tidak seorang pun yang bertindak.
“Kalian
Cuma omong besar, ya?” ledek Colin.
“Aku
tidak melihat kau pergi ke sana untuk menyelamatkannya,” sembur Anthony.
“Tentu
saja tidak. Aku kan tidak pernah mengusulkan supaya kita menyelamatkannya. Tapi
kau...”
“Ada
apa sih sebenarnya?” akhirnya Simon bertanya. Ketiga kakak-beradik Bridgerton
menatapnya dengan mimik bersalah yang identik.
“Sebaiknya
kita menyelamatkan Daff,” usul Benedict.
“Betul
sekali,” tambah Anthony.
“Apa
yang terlalu takut diucapkan oleh kakak-kakakku,” ejek colin, “adalah bahwa
mereka takut sekali pada ibuku.”
“Itu
benar,” sahut Anthony sambil mengangkat bahu tanpa daya.
Benedict
mengangguk. “Aku tidak perlu dipaksa untuk mengakuinya.”
Simon
pikir ia tidak pernah melihat pemandangan yang lebih konyol. Lagi pula, ini
kakak-beradik lelaki Bridgerton. Jangkung, tampan, atletis, dan menjadi sasaran
semua gadis muda di negeri ini, namun di sinilah mereka, benar-benar takluk
oleh wanita mungil semata.
Tentu
saja, wanita itu ibu mereka. Simon berasumsi ia harus membuat pengecualian
untuk itu.
“Kalau
aku menyelamatkan Daff,” jelas Anthony. “Ibu mungkin akan ganti menyeretku ke
mana-mana, dan aku sudah tidak bisa berkutik.”
Simon
menahan tawa manakala benaknya penuh dengan bayangan Anthony diseret ke
mana-mana oleh ibunya, pindah dari satu wanita lajang ke wanita lajang lainnya.
“Sekarang
kau tahu mengapa aku amat sangat menghindari acara semacam ini,” tutur Anthony
muram. “Aku diserang dari dua arah. Jika para debutan dan ibu mereka tidak
menemukanku, ibuku memastika aku
menemukan mereka.”
“Hei!”
seru Benedict. “Bagaimana kalau kau yang menyelamatkan Hastings?”
Simon
melirik sekilas ke arah Lady Bridgerton (yang pada saat itu menggenggam lengan
atas Macclesfield dengan mantap) dan memutuskan ia lebih suka dicap sebagai
pengecut seumur hidup. “Aku yakin itu tidak pantas, karena kami kan belum
diperkenalkan,” ia beralasan.
“aku
yakin itu tidak masalah,” balas Anthony. “Kau kan duke.”
“Jadi?”
“Jadi?”
tiru Anthony. “Ibu akan memaafkan kelancangan apa pun jika itu berarti bisa
memperkenalkan Daphne dengan seorang duke.”
“Hei,
dengar ya,” tukas Simon panas, “aku bukanlah domba kurban yang akan disembelih
di alltar ibumu.”
“Kau
pernah tinggal lama di Afrika, bukan?” kutip Colin.
Simon
mengabaikan pemuda itu. “Lagi pula, Daphne bilang–”
Ketiga
kepala Bridgerton menoleh ke arahnya. Simon langsung menyadari kekeliruannya.
Yang sangat besar.
“Kau
sudah bertemu Daphne?” tanya Anthony, suaranya sedikit terlalu sopan hingga
membuat Simon resah.
Sebelum
simon bahkan bisa menjawabnya, Benedict mencondongkan badan sedikit lebih dekat
dan bertanya, “Kenapa kau tidak
menyebut-nyebut soal ini?”
“Ya,”
tutur Colin, bibirnya terlihat sangat serius untuk pertama kalinya malam ini.
“Kenapa?”
Simon
melirik dari satu saudara ke saudara lainnya dan mengerti dengan jelas mengapa
Daphne masih belum menikah. Trio keras kepala ini menakut-nakuti semua pelamar,
kecuali mereka yang paling bertekad –atau paling bodoh.
Itu
mungkin mejelaskan kondisi Nigel Berbrooke.
“Sebenarnya,”
jawab Simon, “aku bertemu dengannya di koridor ketika berjalan menuju ruang
dansa. Sudah jelas” –ia melirik penuh arti ke arah kakak-beradik Bridgerton
–“dia anggota keluargamu, maka aku memperkenalkan diriku kepadanya.”
Anthony
menoleh kepada Benedict. “Pasti waktu dia kabur dari Berbrook.”
Benedict
menoleh kepada Colin. “Apa yang terjadi pada Berbrook? Tahukah kau?”
Colin
mengangkat bahu. “Aku sama sekali tidak tahu. Mungkin sudah pulang untuk
mengobati patah hatinya.” Atau sakit
kepalanya, batin Simon sinis.
“Yah,
aku yakin itu menjelaskan segalanya,” ujar anthony, menanggalkan ekspresi kakak
lelaki yang terlalu melindungi dan sekali lagi terlihat seperti sesama playboy dan sahabat baik Simon.
“Tapi,”
tukas Benedict curiga, “kenapa dia tidak menceritakannya.”
“Karena
aku tidak sempat,” balas Simon ketus, nyaris mengangkat tangan karena gemas.
“Kalau kau belum menyadarinya, Anthony, kau punya banyak sekali adik, dan butuh
banyak sekali waktu untuk memperkenalkan kepada semuanya.”
“Hanya
ada dua adik yang ada di sini,” sahut Colin.
“Aku
mau pulang,” Simon mengumumkan. “Kalian bertiga gila.”
Benedict,
yang tampak seperti kakak lelaki yang paling protektif, mendadak menyengir.
“Kau tidak punya adik perempuan, ya?”
“Kalau
kau punya anak perempuan nanti, kau pasti mengerti.”
Simon
cukup yakin ia takkan punya anak perempuan, tetapi tetap menutup mulutnya.
“Itu
bisa menjadi cobaan,” jelas Anthony.
“Walaupun
Daff lebih baik dibanding kebanyakan gadis,” imbuh Benedict. “Sebenarnya, dia
tidak punya banyak pelamar.”
Simon
tidak bisa membayangkan alasannya.
“Aku
tidak benar-benar yakin kenapa,” renung anthony. “Menurutku dia gadis yang
sangat baik.”
Simon
memutuskan ini bukan saatnya memberitahu bahwa dirinya nyaris saja mendorong
Daphne ke dinding, menekan pinggulnya ke pinggul gadis itu, lalu menciumnya
sampai puas. Sejujurnya, jika tidak mengetahui gadis itu anggota keluarga
Bridgerton, mungkin ia akan melakukannya.
“Daff
yang paling hebat,” Benedict mengiyakan.
Colin
mengangguk. “Gadis baik. Benar-benar sportif.”
Terdengar
kebisuan canggung, kemudian Simon berkata, “Yah, sportif atau tidak, aku tidak
mau pergi ke sana untuk menyelamatkannya, karena dia memberitahuku dengan cukup
jelas bahwa ibumu melarangnya terlihat bersamaku kapan pun juga.”
“Ibu
bilang begitu?” tanya Colin. “Reputasimu pasti jelek sekali.”
“Sebagian
besarnya tidak benar,” gerutu Simon, tidak benar-benar yakin mengapa ia membela
diri.
“Sayang
sekali,” gumam Colin. “Tadinya aku berencana memintamu untuk mengajakku ke
tempat-tempat kesukaanmu.”
Simon
meramalkan masa depan yang panjang dan luar biasa liar bagi pemuda itu.
Anthony
menempelkan kepalan tangannya ke bagian bawah punggung Simon, lalu mulai
mendorong sahabatnya maju. “Aku yakin ibu akan berubah pikiran asalkan mendapat
dorongan yang tepat. Ayo.”
Simon
tidak punya pilihan selain berjalan menghampiri Daphne. Alternatifnya adalah
melakukan keributan yang luar biasa besar, dan sudah sejak lama ia belajar
bahwa dirinya tidak bisa menghadapi keributan dengan baik. Lagi pula, jika
berada dalam posisi anthony, mungkin ia akan melakukan hal yang persis sama.
Dan
setelah semalam dengan kakak-beradik Featherington dan semacamnya, Daphne tidak
terdrngar terlalu buruk.
“Ibu!”
seru Anthony dengan suara riang manakala mereka mendekati sang viscountess.
“aku belum melihatmu semalaman ini.”
Simon
mengamati bagaimana mata biru Lady Bridgerton berseri-seri ketika wanita itu
melihat putranya berjalan mendekat. Entah dia Ibu ambisius atau bukan, Lady
Bridgerton jelas mencintai anak-anaknya.
“Anthony!”
balas Lady Bridgerton. “Senang sekali bertemu denganmu. Aku dan Daphne sedang
berbincang-bincang dengan Lord Macclesfield.”
Anthony
melirik Lord Macclesfield dengan tatapan bersimpati. “Ya, aku bisa melihatnya.”
Simon
memandang mata Daphne sejenak dan menggeleng amat sangat tidak kentara. Gadis
itu merspon dengan anggukan yang bahkan lebih tidak kentara, menunjukkan akal
sehatnya.
“Dan
siapa ini?” tanya Lady Bridgerton, matanya tertuju ke wajah Simon.
“Duke
of Hastings yang baru,” jawab Anthony. “Ibu pasti ingat dia dari masa sekolahku
di Eton dan Oxford.”
“Tentu
saja,” ucap Lady Bridgerton sopan.
Macclesfield,
yang selama ini terus membisu, segera menemukan jeda pertama dalam pembicaraan
ini, dan langsung berkata, “Kurasa aku melihat ayahku.”
Anthony
melirik earl muda itu dengan tatapan geli sekaligus penuh pengertian. “Kalau
begitu, silahkan pergi menemuinya.”
Earl
muda itu pun menuruti usul Anthony dengan segera.
“Kupikir
dia membenci ayahnya,” tutur Lady Bridgerton dengan mimik bingung.
“Itu
betul,” jawab Daphne bakbalkan.
Simon
menahan tawa. Daphne mengangkat alisnya tanpa kata-kata menantang pria itu
berkomentar.
“Yah,
lagi pula, reputasinya kan buruk,” ujar Lady Bridgerton.
“Sepertin
ya ada cukup banyak yan g seperti itu akhir-akhir ini,” gumam Simon.
Mata
Daphne terbelalak, dan kali ini simonlah yang mengangkat alisnya, tanpa
kata-kata menantang Daphne untuk berkomentar.
Tentu
saja Daphne tidak berkomentar, tapi ibu gadis itu menatapnya dengan tajam, dan
Simon mendapat kesan wanita itu berusaha memutuskan apakah gelas duke yang baru diwarisinya mengalahkan
reputasi buruknya.
“Kurasa
aku belum sempat berkenalan dengan Anda sebelum pergi dari negara ini, Lady
Bridgerton,” tutur Simon sopan, “tapi aku sangat senang bisa berkenalan dengan
Anda sekarang.”
“Aku
juga begitu,” Lady Bridgerton menunjuk Daphne. “Putriku Daphne.”
Simon
meraih tangan Daphne yang terbungkus sarung tangan dan mencium buku jari gadis
itu dengan amat sangat sopan. “Aku merasa terhormat akhirnya bisa berkenalan
secara resmi dengan Anda, Miss Bridgerton.”
“Secara
resmi?” tanya Lady Bridgerton. Daphne membuka mulut, tapi Simon menyelanya
sebelum ia bisa berkata apa-apa. “Aku sudah memberitahu kakakmu tentang pertemuan singkat kita tadi.”
Lady
Bridgerton menoleh agak tajam kepada Daphne. “Kau sudah diperkenalkan kepada
sang duke malam ini? Kenapa kau tak bilang apa-apa?”
Daphne
tersenyum getir. “Kita agak sibuk dengan sang earl. Dan sebelumnya, dengan Lord
Westborough. Dan sebelumnya, dengan–”
“Aku
mengerti maksudmu, Daphne,” gerutu Lady Bridgerton.
Simon
bertanya-tanya betapa tidak sopan dirinya jika ia sampai tertawa.
Kemudian
Lady Bridgerton mengarahkan senyum cerahnya kepada Simon –dan Simon langsung
tahu dari mana Daphne mewarisi senyum lebarnya –dan Simon menyadari Lady
Bridgerton telah memutuskan reputasi buruknya dapat disisihkan.
Cahaya
aneh muncul di mata wanita itu, dan tatapannya berpindah-pindah antara Daphne dan
Simon.
Kemudian
wanita itu tersenyum kembali.
Simon
melawan desakan untuk kabur.
Anthony
mencondongkan badan sedikit, dan berbisik di telinga Simon, “Aku
sungguh-sungguh minta maaf.”
Simon
berkata dengan gigi terkatup, “Aku mungkin harus membunuhmu.”
Tatapan
dingin Daphne mengatakan bahwa ia mendengar percakapan mereka dan sama sekali
tidak senang dengan itu.
Tetapi
Lady Bridgerton sama sekali tidak menyadarinya, benaknya mungkin sudah dipenuhi
dengan bayangan pernikahan besar-besaran.
Kemudian
matanya menyipit manakala ia memusatkan perhatian pada sesuatu di balik para
pria. Wanita itu terlihat amat sangat kesal hingga Simon, Anthony, dan Daphne
menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi.
Mrs.
Featherington berderap penuh tekad ke arah mereka, Prudence dan Philipa tepat
di belakangnya. Simon tak melihat keberadaan Penelope di mana pun juga.
Simon
segera menyadari bahwa saat-saat mendesak membutuhkan tindakan drastis. “Miss
Bridgerton,” ujarnya, dengan cepat menoleh kepada Daphne, “maukah kau berdansa
denganku?”
Lanjutannya mn kk....ayo donk...ditunggu selalu
BalasHapusLanjut please :(
BalasHapus