Sabtu, 22 Juni 2019

The Duke and I #4

Hari-hari ini di London dibanjiri para ibu ambisius. Di pesta dansa Lady Worth minggu lalu, Penulis melihat tidak kurang dari sebelas Pria Lajang Bertekad Baja meringkuk di sudut dan akhirnya kabur dari tempat itu di bawah kejaran para Ibu Ambisius tersebut.

Sulit menentukan siapa tepatnya yang paling parah dari semua Ibu itu, walaupun Penulis curiga hasil kontes ini mungkin nyaris seri antara Lady Bridgerton and Mrs. Featherington, dengan Mrs. F berada sedikit di depan Lady B. Lagi pula, ada tiga nona Featherington yang dijajakan saat ini, sementara Lady Bridgerton perlu mengkhawatirkan satu saja.
 
Namun Penulis merekomendasikan supaya semua orang yang mementingkan keselamatan mereka berada jauh-jauh dari kumpulan pria lajang terkini ketika ketiga putri E, F, dan H, mencapai usia yang cukup. Lady B kemungkinan takkan melihat kiri-kanan ketika menerabas ruang dansa bersama ketiga putrinya, dan semoga Tuhan membantu kita semua jika Lady B memutuskan untuk menggunakan sepatu bot berujung besi.

LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN
28 APRIL 1813


Malam ini mustahil lebih buruk lagi, putus Simon. Dulu ia takkan memercayainya, tapi pertemuan anehnya dengan Daphne Bridgerton jelas menjadi peristiwa paling menyenangkan malam ini. Ya, ia kaget setengah mati mengetahui dirinya mendambakan –meski hanya sesaat- adik perempuan sobatnya. Ya, upaya kikuk Nigel Berbrook dalam merayu gadis itu menyinggung segenap harga diri playboy-nya. Dan ya, Daphne akhirnya membuatnya kesal setengah mati dengan keragu-raguannya untuk memperlakukan Nigel seperti penjahat atau merawat pemuda itu seperti yang akan dilakukan dilakukan gadis itu kepada teman baiknya. Tapi tak satu pun dari semua itu –tidak satu pun –bisa dibandingkan dengan siksaan yang hendak dijalaninya.

Rencana oh-sangat-cerdiknya menyelinap ke dalam ruang dansa, menyapa Lady Danbury, lalu pergi tanpa ketahuan langsung hancur berantakan. Ia baru mengambil dua langkah ke dalam ruang dansa ketika dirinya dikenali oleh teman lama dari Oxford, yang amat disayangkan oleh Simon, baru saja menikah. Istri temannya wanita muda yang sangat menarik, tapi sayangnya memiliki aspirasi sosial yang lumayan tinggi, dan dengan cepat memutuskan bahwa jalan menuju kebahagiaannya tergantung pada posisinya sebagai orang yang memperkenalkan sang duke kepada kaum bangsawan. Dan Simon, walaupun menganggap dirinya tipe pria pesimis dan sinis, mendapati ia tidak cukup kasar untuk menghina secara langsung istri teman kuliahnya.

Maka dari itu, dua jam kemudian, ia diperkenalkan kepada seluruh wanita yang belum menikah dalam pesta itu, semua ibu seluruh wanita yang belum menikah dalam pesta itu, dan tentu saja, setiap kakak perempuan yang sudah menikah dari seluruh wanita yang belum menikah dalam pesta itu. Simon tidak dapat memutuskan kelompok wanita mana yang paling parah. Para wanita yang belum menikah sudah pasti membosankan, para ibu menyebalkan dan ambisius, sementara para kakak perempuan? Yah, para kakak perempuan itu sangat berani sehingga Simon mulai bertanya-tanya apah dirinya salah masuk dan kini berada di dalam rumah bordil. Enam di antaranya melontarkan komentar yang amat sugesif, dua orang menyelipkan memo mengundangnya ke kamar tidur mereka, dan satu orang bahkan membelai paha Simon.

Setelah dipikir-pikir lagi, Daphne Bridgerton mulai terlihat sangat menarik, sungguh.

Dan omong-omong tentang Daphne, di mana sih dia? Simon pikir ia sempat melihat sekilas gadis itu sekita sejam yang lalu, dikelilingi kakak-kakak lelakinya yang agak besar dan menakutkan. (Walaupun Simon tidak menganggap mereka masing-masing mengerikan tapi ia segera memutuskan pria mana pun pasti bodoh jika memprovokasi ketiga orang itu sebagai satu keloompok).

Tapi sejak itu tampakn ya Daphne menghilang. Malah Simon pikir mungkin gadis itulah satu-satunya wanita lajang di pesta ini yang tidak diperkenalkan kepadanya.

Simon tidak terlalu khawatir Daphne akan direcoki Berbrook setelah meninggalkan mereka di koridor. Ia sudah melayangkan pukulan kuat ke rahang Berbrook dan sangat yakin pemuda tersebut akan pingsan setidaknya beberapa menit. Mungkin lebih lama, mengingat banyaknya alkohol yang dikonsumsi Berbrook sebelum menemui Daphne malam ini. Bahkan jika Daphne dengan bodohnya masih berbaik hati kepada pengagum kikuknya, gadis itu tidak cukup tolol untuk tetap berada di koridor sampai pemuda itu tersadar.

Simon kembali melirik ke sudut tempat tiga kakak beradik lelaki Bridgerton berkumpul, terlihat seolah bersukaria. Mereka dikerumuni para gadis muda dan ibu tua, hampir sebanyak yang mengerubungi Simon, tapi paling tidak dirinya sedikit aman di antara banyak orang. Simon mencermati bahwa para debutan muda tidak menghabiskan terlalu banyak waktu bersama para lelaki Bridgerton dibanding ketika bersamanya.

Simon memandang mereka sambil mengerutkan dahi dengan kesal.

Anthony, yang bersandar malas ke dinding, melihat ekspresi Simon dan tersenyum puas, mengangkat gelas anggur merah ke arah sahabatnya. Kemudian pria itu menelengkan kepalanya sedikit, menunjuk ke kiri Simon. Simon berbalik, tepat pada waktunya untuk diganggu oleh ibu lain lagi, kali ini dengan tiga putri, semuanya mengenakan pakaian yang amat sangat ramai, penuh dengan lipatan dan pita, dan tentu saja, deret demi deret renda.

Simon membayangkan Daphne, dengan gaun hijau keabuan sederhananya. Daphne, dengan mata coklat cerdas dan senyum lebar...

“Your Grace!” seru si ibu melengking. “Your Grace!” Simon berkedip untuk menjernihkan pandangannya. Keluarga berselimut renda itu berhasil mengepungnya dengan sangat efisien hingga ia bahkan tidak bisa melotot ke arah Anthony.

“Your Grace,” ulang si ibu, “saya merasa sangat terhormat bisa berkenalan dengan Anda.”

Simon berhasil mengangguk dengan dingin. Ia tidak bisa berkata-kata. Kawanan wanita ini mengepungnya sangat erat hingga ia takut dirinya bakal sesak napas.

“Georgiana Huxley menyuruh kami kemari,” tutur wanita itu keras kepala. “Dia bilang saya harus memperkenalkan putri-putri saya kepada Anda.”

Simon tidak ingat siapa itu Georgiana Huxley, tapi berpikir ia mungkin ingin mencekik wanita tersebut.

“Biasanya saya tidak selancang ini,” lanjut wanita itu, “tapi ayah Anda yang sangat pengasih itu telah banyak membantu saya.” Simon menegang. “Beliau sungguh luar biasa,” lanjut wanita itu, suaranya laksana paku di tengkorak Simon, “sangat menyadari kewajiban terhadap gelarnya. Beliau pasti ayah yang luar biasa.”

“Saya tidak tahu,” balas Simon ketus.

“Oh!” Wanita itu harus berdeham beberapa kali sebelum mampu berkata, “Oh, begitu. Wah. Ya ampun.”

Simon tidak berkata apa-apa, berharap sikap pongahnya akan mendorong wanita itu untuk minta diri. Sialan, di mana sih Anthony? Sudah cukup buruk menghadapi para wanita yang bersikap seolah dirinya kuda pejantan yang hendak dikawinkan, tapi harus berdiri di sini dan mendengarkan wanita itu berkata bagaimana sang duke sebelumnya merupakan ayah yang baik... Simon tidak mungkin tahan.

“Your Grace! Your Grace!”

Simon memaksakan tatapan dinginnya kembali kepada wanita di hadapannya dan menyuruh dirinya lebih sabar menghadapi wanita itu. Lagi pula, wanita itu mungkin hanya memuji ayahku karena dia pikir itulah yang ingin kudengar.

“Saya hanya ingin mengingatkan Anda,” ujar wanita itu, “bahwa kita pernah diperkenalkan beberapa tahun lalu, ketika Anda masih bergelar Clyvedon.”

“Ya,” gumam Simon, mencari-cari celah dalam barikade wanita yang bisa menjadi jalan keluarnya.

“Ini putri-putri saya,” ucap wanita itu, menunjuk ketiga gadis muda tersebut. Dua di antaranya berpenampilan menarik, namun yang ketiga masih agak gemuk dan mengenakan gaun jingga yang tidak mempercantik penampilannya. Gadis itu tidak tampak menikmati malam ini.

“Tidakkah mereka manis sekali?” lanjut wanita itu. “Putri-putri kebanggaan saya. Dan dengan temperamen yang sangat sabar.”

Simon agak mual karena pernah mendengar kata-kata yang sama ketika hendak membeli seekor anjing.

“Your Grace, izinkan saya memperkenalkan Prudence, Philipa, dan Penelope.”

Ketiga gadis itu menekukkan kaki dengan hormat, tak seorang pun berani menatap mata Simon.

“Saya punya seorang putri lagi di rumah,” lanjut wanita itu. “Namanya Felicity. Tapi usianya baru sepuluh tahun, jadi saya tidak membawanya ke acara semacam ini.”

Simon tidak bisa memikirkan alasan wanita itu perlu membagi informasi ini dengannya, tapi ia mempertahankan suaranya terdengar bosan (sudah sejak lama ia belajar inilah cara terbaik untuk tidak menampakkan kemarahan) dan bertanya, “Dan Anda siapa...?”

“Oh, maafkan saya! Saya Mrs. Featherington. Suami saya sudah berpulang tiga tahun lalu, tapi dia sahabat baik, eh, ayah Anda.” Suaranya melirih pada akhir kalimat, begitu ia mengingat reaksi Simon barusan ketika menyinggung soal ayahnya.

Simon mengangguk dingin.

“Prudence lumayan mahir memainkan piano,” tutur Mrs. Featherington, pura-pura ceria.

Simon mencermati ekspresi getir gadis tertua itu dan langsung memutuskan untuk tidak pernah menghadiri konser musik di kediaman Featherington.

“Dan Philipa sayangku ini pelukis cat air yang sangat ahli.” Philipa berseri-seri.

“Dan Penelope?” Bisikan jail di dalam hati Simon memaksanya untuk melontarkan pertanyaan itu.

Mrs. Featherington melirik panik kepada putri mudanya, yang terlihat lumayan menderita. Penelope tidak terlalu atraktif, dan sosoknya yang agak montok tidak diperindah oleh pakaian pilihan ibunya. Tapi mata gadis itu terlihat baik hati.

“Penelope?” ulang Mrs. Featherington, suaranya sedikit melengking. “Penelope... ah... dia ya Penelope!” Bibirnya bergetar membentuk cengiran yang jelas-jelas palsu.

Penelope seolah ingin menyelinap ke bawah permadani. Simon memutuskan jika dipaksa berdansa, ia akan memilih Penelope.

“Mrs. Featherington,” terdengar suara tajam dan angkuh yang tidak lain dan tidak bukan adalah suara Lady Danbury, “kau menganggu sang duke ya?”

Simon ingin mengiyakan, tapi bayangan ekspresi malu Penelope Featherington mendorongnya bergumam, “Tentu saja tidak.”

Lady Danbury mengangkat alis sembari perlahan menoleh kepada Simon. “Bohong.”

Ia berbalik menatap Mrs. Featherington yang kini terlihat pucat. Mrs. Featherington tidak berkata apa-apa. Lady Danbury membisu. Akhirnya Mrs. Featherington menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti melihat sepupunya, menggandenga ketiga putrinya, dan buru-buru pergi.

Simon menyilangkan lengannya, tapi tidak berhasil menyembunyikan rasa geli di wajahnya. “Kau jahat sekali,” komentarnya.

“Bah, Dia kan berotak udang, anak-anaknya juga, kecuali mungkin si bungsu yang penampilannya tidak terlalu menarik itu.” Lady Danbury menggeleng. “Andai saja mereka memilih warna lain untuknya...”

Simon berupaya untuk tidak terkekeh namun gagal. “Kau tidak pernah belajar untuk tidak ikut campur urusan orang, ya?”

“Tentu saja. Itu kan tidak menyenangkan!” Lady Danbury tersenyum. Simon bisa tahu wanita itu tidak menginginkannya, tapi dia tetap tersenyum. “Dan kau,” lanjut Lady Danbury. “Kau itu tamu kurang ajar. Orang pikir kau tahu sopan santun, makanya sudah menyapa nyonya rumahmu terlebih dahulu.”

“Kau selalu dikelilingi terlalu banyak pengagum hingga aku tak berani mendekatimu.”

“Dasar bermulut manis,” ledek Lady Danbury.

Simon tidak berkomentar, tidak yakin bagaimana ia harus mengartikan kata-kata wanita itu. Sejak dulu ia curiga Lady Danbury mengetahui rahasianya, tapi tidak pernah benar-benar yakin.

“Temanmu Bridgerton datang,” ujar Lady Danbury.

Mata Simon mengikuti arah anggukan wanita itu. Anthony melenggang menghampiri mereka, dan baru berdiri setengah detik di depan mereka ketika Lady Danbury menyebutnya pengecut.

Anthony berkedip. “Apa?”

“Kau kan bisa sejak taadi kemari dan menyelamatkan temanmu dari kwartet Featherington itu.”

“Tapi aku sangat menikmati kegelisahannya.”

“Hmmph.” Dan tanpa berkata-kata lagi (atau gerutuan lain), Lady Danbury melangkah pergi.

“Wanita tua yang sangat aneh,” komentar Anthony. “Aku takkan terkejut jika ternyata dialah si Whistledown terkutuk itu.”

“Maksudmu si penulis koran gosip itu?” Anthony mengangguk sembari mengajak Simon ke balik pot tanaman di sudut ruangan tempat kedua adiknya menunggu. Sembari bercakap-cakap, anthony menyengir dan berkata, “Aku melihatmu berbicara dengan sejumlah gadis muda yang sangat santun.” Simon menggumamkan sesuatu yang agak kasar dan menghina dengan lirih.

Tapi Anthony hanya tertawa. “Kau tidak bisa bilang aku tidak memperingatkanmu, bukan?”

“Aku tidak suka mengakui kau mungkin benar tentang apa pun juga, jadi jangan suruh aku melakukannya.”

Anthony terbahak lagi. “Untuk membalas komentar itu, aku sendiri yang akan mulai memperkenalkanmu kepada para debutan.”

“Kalau berani melakukannya,” Simon memperingatkan, “Kau akan mendapati dirimu sekarat lalu mati dalam waktu yang sangat lama dan menyakitkan.”

Anthony menyengir. “Pedang atau pistol?”

“Oh, racun. Sudah pasti racun.”

“Aduh.” Anthony menghentikan langkahnya menyeberangi ruang dansa di depan kedua pria Bridgerton lainnya, keduanya jelas ditandai oleh rambut coklat, tubuh jangkung, dan wajah yang sangat tampan. Simon mencermati salah satunya bermata hijau sementara yang lain coklat seperti Anthony, tapi selain itu, cahaya malam yang suram membuat ketiga pria tersebut bisa di bilang seperti kembar identik.

“Kau ingat adikku?” tanya Anthony sopan. “Benedict dan Colin. Aku yakin kau ingat Benedict dari masa sekolah kita di Eton. Dialah yang mengikuti kita ke mana-mana selama tiga bulan ketika baru datang.

“Bohong!” tukas Benedict sambil tergelak.

“Aku tidak tahu apa kau pernah bertemu Colin,” lanjut Anthony. “Dia mungkin terlalu muda untuk pernah berpapasan denganmu.”

“Senang bertemu denganmu,” tutur Colin riang.

Simon melihat kilatan jail di mata hijau pemuda itu dan tidak bisa menahan diri untuk membalasnya dengan senyuman.

“Andthony sudah menceritakan banyak hal merendahkan tentangmu,” lanjut Colin, cengirannya terlihat semakin jail, “makanya aku tahu kita pasti akan berteman baik.”

Anthony memutar bola matanya. “Aku yakin kau bisa mengerti mengapa ibuku percaya Colin akan menjadi anak pertama yang membuatnya gila.”

Colin berkata, “Sebenarnya aku malah membanggakan hal itu.”

“Untungnya ibu bisa beristirahat sejenak dari daya tarik menawan Colin,” lanjut Anthony. “Sebenarnya, dia baru saja pulang sehabis berkeliling Eropa.”

“Baru sampai malam ini,” sahut Colin sambil menyengir polos. Pemuda itu memiliki penampilan mirip berandalan. Simon memutuskan usia pemuda itu tidak mungkin terlalu jauh daripada Daphne.

“Aku juga baru pulang sehabis berkeliling,” tutur Simon.

“Ya, tapi kudengar perjalananmu mengitari bumi,” jawab Colin. “Aku ingin sekali mendengar tentang hal itu suatu hari nanti.”

Simon mengangguk sopan. “Tentu saja.”

“Kau sudah bertemu Daphne?” tanya Benedict. “Dialah satu-satunya Bridgerton yang hadir di sini yang masih menghilang.”

Simon sedang mempertimbangkan cara terbaik menjawab pertanyaan itu ketika Colin mendengus keras dan berkata, “Oh, Daphne tidak menghilang kok. Sengsara, tapi tidak menghilang.”

Simon mengikuti pandangan pemuda itu ke seberang ruang dansa, tempat Daphne berdiri di sebelah wanita yang pasti adalah ibunya, dan terlihat, seperti yang dijanjikan Colin, amat sangat sengsara.

Kemudian ia tersadar –Daphne itu salah satu gadis muda lajang yang ia takuti, yang diperkenalkan ke mana-mana oleh ibunya. Sepertinya gadis itu jauh terlalu logis dan blakblakan sebagai makhluk seperti itu, tapi tentu saja demikianlah kenyataannya. Gadis itu tidak mungkin berumur lebih dari dua puluh tahun, dan karena namanya masih Bridgerton, jelas dia masih lajang. Dan karena dia punya ibu –yah, tentu saja dia tertangkap dalam lingkaran perkenalan tanpa henti.

Daphne terlihat sangat tersiksa oleh hal ini, sama seperti yang dirasakan Simon. Entah kenapa hal itu membuatnya merasa jauh lebih baik.

“Salah satu dari kita sebaiknya menyelamatkannya,” renung Benedict. “Nggak usah,” bantah Colin sambil menyengir. “Ibu baru sepuluh menit menyeretnya ke sana bersama Macclesfield.”

“Macclesfield?” tanya Simon.

“Si earl,” balas Benedict.

“Putra Castleford.”

“Sepuluh menit?” tanya Anthony. “Macclesfield yang malang,” Simon meliriknya dengan penasaran. “Bukannya Daphne itu membosankan,” Anthony cepat-cepat menambahkan, “tetapi ketika ibu sudah bertekad untuk, ah...”

“Mengejar,” timpal Benedict riang.

“ –calon suami,” lanjut Anthony sambil mengangguk berterima kasih ke arah adiknya, “Dia bisa, ah...”

“Tidak kenal lelah,” sambung Colin.

Anthony tersenyum kecil. “Ya. Tepat sekali.”

Simon kembali memandang ke balik trio di hadapannya. Benar saja, Daphne terlihat sengsara, Macclesfield mengamati sekeliling ruangan, mungkin mencari jalan keluar terdekat, dan mata Lady Bridgerton memancarkan kilatan ambisius yang membuat Simon mengernyit bersimpati pada earl muda itu.

“Sebaiknya kita menyelamatkan Daphne,” ujar Anthony.

“Sebaiknya begitu,” timpal Benedict.

“Dan Macclesfield,” imbuh Anthony.

“Oh, itu pasti,” tambah Benedict.

Tapi Simon mencermati tidak seorang pun yang bertindak.

“Kalian Cuma omong besar, ya?” ledek Colin.

“Aku tidak melihat kau pergi ke sana untuk menyelamatkannya,” sembur Anthony.

“Tentu saja tidak. Aku kan tidak pernah mengusulkan supaya kita menyelamatkannya. Tapi kau...”

“Ada apa sih sebenarnya?” akhirnya Simon bertanya. Ketiga kakak-beradik Bridgerton menatapnya dengan mimik bersalah yang identik.

“Sebaiknya kita menyelamatkan Daff,” usul Benedict.

“Betul sekali,” tambah Anthony.

“Apa yang terlalu takut diucapkan oleh kakak-kakakku,” ejek colin, “adalah bahwa mereka takut sekali pada ibuku.”

“Itu benar,” sahut Anthony sambil mengangkat bahu tanpa daya.

Benedict mengangguk. “Aku tidak perlu dipaksa untuk mengakuinya.”

Simon pikir ia tidak pernah melihat pemandangan yang lebih konyol. Lagi pula, ini kakak-beradik lelaki Bridgerton. Jangkung, tampan, atletis, dan menjadi sasaran semua gadis muda di negeri ini, namun di sinilah mereka, benar-benar takluk oleh wanita mungil semata.

Tentu saja, wanita itu ibu mereka. Simon berasumsi ia harus membuat pengecualian untuk itu.

“Kalau aku menyelamatkan Daff,” jelas Anthony. “Ibu mungkin akan ganti menyeretku ke mana-mana, dan aku sudah tidak bisa berkutik.”

Simon menahan tawa manakala benaknya penuh dengan bayangan Anthony diseret ke mana-mana oleh ibunya, pindah dari satu wanita lajang ke wanita lajang lainnya.

“Sekarang kau tahu mengapa aku amat sangat menghindari acara semacam ini,” tutur Anthony muram. “Aku diserang dari dua arah. Jika para debutan dan ibu mereka tidak menemukanku, ibuku memastika aku menemukan mereka.”

“Hei!” seru Benedict. “Bagaimana kalau kau yang menyelamatkan Hastings?”

Simon melirik sekilas ke arah Lady Bridgerton (yang pada saat itu menggenggam lengan atas Macclesfield dengan mantap) dan memutuskan ia lebih suka dicap sebagai pengecut seumur hidup. “Aku yakin itu tidak pantas, karena kami kan belum diperkenalkan,” ia beralasan.

“aku yakin itu tidak masalah,” balas Anthony. “Kau kan duke.”

“Jadi?”

“Jadi?” tiru Anthony. “Ibu akan memaafkan kelancangan apa pun jika itu berarti bisa memperkenalkan Daphne dengan seorang duke.”

“Hei, dengar ya,” tukas Simon panas, “aku bukanlah domba kurban yang akan disembelih di alltar ibumu.”

“Kau pernah tinggal lama di Afrika, bukan?” kutip Colin.

Simon mengabaikan pemuda itu. “Lagi pula, Daphne bilang–”

Ketiga kepala Bridgerton menoleh ke arahnya. Simon langsung menyadari kekeliruannya. Yang sangat besar.

“Kau sudah bertemu Daphne?” tanya Anthony, suaranya sedikit terlalu sopan hingga membuat Simon resah.

Sebelum simon bahkan bisa menjawabnya, Benedict mencondongkan badan sedikit lebih dekat dan bertanya,  “Kenapa kau tidak menyebut-nyebut soal ini?”

“Ya,” tutur Colin, bibirnya terlihat sangat serius untuk pertama kalinya malam ini. “Kenapa?”

Simon melirik dari satu saudara ke saudara lainnya dan mengerti dengan jelas mengapa Daphne masih belum menikah. Trio keras kepala ini menakut-nakuti semua pelamar, kecuali mereka yang paling bertekad –atau paling bodoh.

Itu mungkin mejelaskan kondisi Nigel Berbrooke.

“Sebenarnya,” jawab Simon, “aku bertemu dengannya di koridor ketika berjalan menuju ruang dansa. Sudah jelas” –ia melirik penuh arti ke arah kakak-beradik Bridgerton –“dia anggota keluargamu, maka aku memperkenalkan diriku kepadanya.”

Anthony menoleh kepada Benedict. “Pasti waktu dia kabur dari Berbrook.”


Benedict menoleh kepada Colin. “Apa yang terjadi pada Berbrook? Tahukah kau?”

Colin mengangkat bahu. “Aku sama sekali tidak tahu. Mungkin sudah pulang untuk mengobati patah hatinya.” Atau sakit kepalanya, batin Simon sinis.

“Yah, aku yakin itu menjelaskan segalanya,” ujar anthony, menanggalkan ekspresi kakak lelaki yang terlalu melindungi dan sekali lagi terlihat seperti sesama playboy dan sahabat baik Simon.

“Tapi,” tukas Benedict curiga, “kenapa dia tidak menceritakannya.”

“Karena aku tidak sempat,” balas Simon ketus, nyaris mengangkat tangan karena gemas. “Kalau kau belum menyadarinya, Anthony, kau punya banyak sekali adik, dan butuh banyak sekali waktu untuk memperkenalkan kepada semuanya.”

“Hanya ada dua adik yang ada di sini,” sahut Colin.

“Aku mau pulang,” Simon mengumumkan. “Kalian bertiga gila.”

Benedict, yang tampak seperti kakak lelaki yang paling protektif, mendadak menyengir. “Kau tidak punya adik perempuan, ya?”

“Kalau kau punya anak perempuan nanti, kau pasti mengerti.”

Simon cukup yakin ia takkan punya anak perempuan, tetapi tetap menutup mulutnya.

“Itu bisa menjadi cobaan,” jelas Anthony.

“Walaupun Daff lebih baik dibanding kebanyakan gadis,” imbuh Benedict. “Sebenarnya, dia tidak punya banyak pelamar.”

Simon tidak bisa membayangkan alasannya.

“Aku tidak benar-benar yakin kenapa,” renung anthony. “Menurutku dia gadis yang sangat baik.”

Simon memutuskan ini bukan saatnya memberitahu bahwa dirinya nyaris saja mendorong Daphne ke dinding, menekan pinggulnya ke pinggul gadis itu, lalu menciumnya sampai puas. Sejujurnya, jika tidak mengetahui gadis itu anggota keluarga Bridgerton, mungkin ia akan melakukannya.

“Daff yang paling hebat,” Benedict mengiyakan.

Colin mengangguk. “Gadis baik. Benar-benar sportif.”

Terdengar kebisuan canggung, kemudian Simon berkata, “Yah, sportif atau tidak, aku tidak mau pergi ke sana untuk menyelamatkannya, karena dia memberitahuku dengan cukup jelas bahwa ibumu melarangnya terlihat bersamaku kapan pun juga.”

“Ibu bilang begitu?” tanya Colin. “Reputasimu pasti jelek sekali.”

“Sebagian besarnya tidak benar,” gerutu Simon, tidak benar-benar yakin mengapa ia membela diri.

“Sayang sekali,” gumam Colin. “Tadinya aku berencana memintamu untuk mengajakku ke tempat-tempat kesukaanmu.”

Simon meramalkan masa depan yang panjang dan luar biasa liar bagi pemuda itu.

Anthony menempelkan kepalan tangannya ke bagian bawah punggung Simon, lalu mulai mendorong sahabatnya maju. “Aku yakin ibu akan berubah pikiran asalkan mendapat dorongan yang tepat. Ayo.”

Simon tidak punya pilihan selain berjalan menghampiri Daphne. Alternatifnya adalah melakukan keributan yang luar biasa besar, dan sudah sejak lama ia belajar bahwa dirinya tidak bisa menghadapi keributan dengan baik. Lagi pula, jika berada dalam posisi anthony, mungkin ia akan melakukan hal yang persis sama.

Dan setelah semalam dengan kakak-beradik Featherington dan semacamnya, Daphne tidak terdrngar terlalu buruk.

“Ibu!” seru Anthony dengan suara riang manakala mereka mendekati sang viscountess. “aku belum melihatmu semalaman ini.”

Simon mengamati bagaimana mata biru Lady Bridgerton berseri-seri ketika wanita itu melihat putranya berjalan mendekat. Entah dia Ibu ambisius atau bukan, Lady Bridgerton jelas mencintai anak-anaknya.

“Anthony!” balas Lady Bridgerton. “Senang sekali bertemu denganmu. Aku dan Daphne sedang berbincang-bincang dengan Lord Macclesfield.”

Anthony melirik Lord Macclesfield dengan tatapan bersimpati. “Ya, aku bisa melihatnya.”

Simon memandang mata Daphne sejenak dan menggeleng amat sangat tidak kentara. Gadis itu merspon dengan anggukan yang bahkan lebih tidak kentara, menunjukkan akal sehatnya.

“Dan siapa ini?” tanya Lady Bridgerton, matanya tertuju ke wajah Simon.

“Duke of Hastings yang baru,” jawab Anthony. “Ibu pasti ingat dia dari masa sekolahku di Eton dan Oxford.”

“Tentu saja,” ucap Lady Bridgerton sopan.

Macclesfield, yang selama ini terus membisu, segera menemukan jeda pertama dalam pembicaraan ini, dan langsung berkata, “Kurasa aku melihat ayahku.”

Anthony melirik earl muda itu dengan tatapan geli sekaligus penuh pengertian. “Kalau begitu, silahkan pergi menemuinya.”

Earl muda itu pun menuruti usul Anthony dengan segera.

“Kupikir dia membenci ayahnya,” tutur Lady Bridgerton dengan mimik bingung.

“Itu betul,” jawab Daphne bakbalkan.

Simon menahan tawa. Daphne mengangkat alisnya tanpa kata-kata menantang pria itu berkomentar.

“Yah, lagi pula, reputasinya kan buruk,” ujar Lady Bridgerton.

“Sepertin ya ada cukup banyak yan g seperti itu akhir-akhir ini,” gumam Simon.

Mata Daphne terbelalak, dan kali ini simonlah yang mengangkat alisnya, tanpa kata-kata menantang Daphne untuk berkomentar.

Tentu saja Daphne tidak berkomentar, tapi ibu gadis itu menatapnya dengan tajam, dan Simon mendapat kesan wanita itu berusaha memutuskan apakah gelas duke yang baru diwarisinya mengalahkan reputasi buruknya.

“Kurasa aku belum sempat berkenalan dengan Anda sebelum pergi dari negara ini, Lady Bridgerton,” tutur Simon sopan, “tapi aku sangat senang bisa berkenalan dengan Anda sekarang.”

“Aku juga begitu,” Lady Bridgerton menunjuk Daphne. “Putriku Daphne.”

Simon meraih tangan Daphne yang terbungkus sarung tangan dan mencium buku jari gadis itu dengan amat sangat sopan. “Aku merasa terhormat akhirnya bisa berkenalan secara resmi dengan Anda, Miss Bridgerton.”

“Secara resmi?” tanya Lady Bridgerton. Daphne membuka mulut, tapi Simon menyelanya sebelum ia bisa berkata apa-apa. “Aku sudah memberitahu kakakmu tentang pertemuan singkat kita tadi.”

Lady Bridgerton menoleh agak tajam kepada Daphne. “Kau sudah diperkenalkan kepada sang duke malam ini? Kenapa kau tak bilang apa-apa?”

Daphne tersenyum getir. “Kita agak sibuk dengan sang earl. Dan sebelumnya, dengan Lord Westborough. Dan sebelumnya, dengan–”

“Aku mengerti maksudmu, Daphne,” gerutu Lady Bridgerton.

Simon bertanya-tanya betapa tidak sopan dirinya jika ia sampai tertawa.

Kemudian Lady Bridgerton mengarahkan senyum cerahnya kepada Simon –dan Simon langsung tahu dari mana Daphne mewarisi senyum lebarnya –dan Simon menyadari Lady Bridgerton telah memutuskan reputasi buruknya dapat disisihkan.

Cahaya aneh muncul di mata wanita itu, dan tatapannya berpindah-pindah antara Daphne dan Simon.

Kemudian wanita itu tersenyum kembali.

Simon melawan desakan untuk kabur.

Anthony mencondongkan badan sedikit, dan berbisik di telinga Simon, “Aku sungguh-sungguh minta maaf.”

Simon berkata dengan gigi terkatup, “Aku mungkin harus membunuhmu.”

Tatapan dingin Daphne mengatakan bahwa ia mendengar percakapan mereka dan sama sekali tidak senang dengan itu.

Tetapi Lady Bridgerton sama sekali tidak menyadarinya, benaknya mungkin sudah dipenuhi dengan bayangan pernikahan besar-besaran.

Kemudian matanya menyipit manakala ia memusatkan perhatian pada sesuatu di balik para pria. Wanita itu terlihat amat sangat kesal hingga Simon, Anthony, dan Daphne menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi.

Mrs. Featherington berderap penuh tekad ke arah mereka, Prudence dan Philipa tepat di belakangnya. Simon tak melihat keberadaan Penelope di mana pun juga.

Simon segera menyadari bahwa saat-saat mendesak membutuhkan tindakan drastis. “Miss Bridgerton,” ujarnya, dengan cepat menoleh kepada Daphne, “maukah kau berdansa denganku?”





2 komentar: