Orangtua adalah semak mawar merah...
anak-anak adalah cabang putihnya.”
Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
28 Maret 1831; delapan hari sebelum
pernikahannya
“Aku
datang guna memintamu untuk tidak mengganggu kami.”
Cross
berdiri tepat di pintu kantornya yang tertutup dan terkunci, di belakangnya dua
ratus pria yang paling berkuasa di Inggris sedang bertaruh. Dalam perjalanan ke
sini, ia memikirkan setengah lusin hal yang dapat ia sampaikan kepada adiknya,
seluruh variasi dari “Apa yang merasukimu hingga datang ke sini?”
Tapi
Cross tidak memiliki kesempatan untuk mengatakan semua itu. Lavinia langsung
bicara begitu pintu dikunci, seolah tidak ada satu hal pun di dunia ini yang
perlu Lavinia khawatirkan selain satu kalimat yang tenang dan jelas itu.
“Lavinia...”
Cross memulai, tapi adiknya memotong, sorot mata serius Lavinia tetap teguh.
“Aku
ke sini bukan untuk mendiskusikannya, “Ujar Lavinia, kata-katanya laksana baja.
“Aku datang dari Knight’s, tapi dia tidak bersedia menemuiku. Karenamu.”
Amarah
tersulut. “Memang harus begitu. Seharusnya kau tidak menemuinya. Dan kalau tahu
apa yang terbaik untuknya, dia tidak akan menemuimu lagi.”
Lavinia
kelihatan lelah –pucat, kurus, dan gelisah, dengan lingkaran gelap di bawah
matanya serta pipi yang cekung, seolah ia sudah tidak tidur atau makan selama
berhari-hari. Tapi bukan hanya waktu berhari-hari yang membuatnya seperti ini
–yang merenggut gadis tujuh belas tahun yang bahagia dengan mata yang berbinar
lalu meninggalkan wanita dua puluh empat tahun yang dingin dan tampak
bertahun-tahun lebih dewasa serta berpuluh-puluh tahun lebih bijaksana ini.
Terlalu
bijaksana. Lavinia tidak menyerah. “Ini bukan urusanmu.”
“Tentu
saja ini urusanku. Kau adikku.”
“Kau
pikir menyatakan kata-kata itu akan menjadikannya nyata?”
Cross
menghampiri adiknya, ragu waktu Lavinia mundur, berpegangan ke pinggir mejanya
seolah Lavinia bisa mendapatkan kekuatan dari papan ebony tebal itu. “Tidak ada
yang perlu dijadikan nyata. Fakta itu memang nyata.”
Bibir
Lavinia berkedut mengulas senyum getir dan hambar. “Kau membuatnya terdengar
sangat sederhana. Seolah kau tidak pernah berbuat salah. Seolah kami semua
harus melupakan kalau kau meninggalkan kami. Seolah kami harus berpura-pura
kalau semua baik-baik saja, dan tidak ada yang berubah. Seolah kami harus
menyembelih anak lembu gemuk dan menyambutmu kembali ke dalam kehidupan kami...
bak anak yang hilang.”
Kata-kata
itu memilukan, bahkan sewaktu Cross mengingatkan dirinya bahwa Lavinia masih sangat
muda kala Baine meninggal. Tujuh belas tahun dan baru melakukan debutnya,
Lavinia terlalu memusatkan perhatian kepada kepedihan dan tragedinya sendiri
sehingga tidak bisa memahami kebenaran dari apa yang telah terjadi. Tidak bisa
mengerti kalau Cross tidak punya pilihan selain meninggalkan keluarganya.
Tidak
bisa mengerti kalau Cross didesak untuk pergi.
Tidak
bisa mengerti kalau mereka tidak akan pernah memaafkan Cross. Bahwa, di mata
mereka, Cross tidak akan pernah menjadi cukup baik, cukup kuat. Cukup Baine.
Bukan
hanya di mata mereka. Di mata Cross sendiri juga.
Cross
tidak meralat Lavinia –tidak memberitahu adiknya. Alih-alih, ia membiarkan
kata-kata itu melukainya. Karena ia pantas diperlakukan seperti itu.
Ia
akan selalu pantas diperlakukan seperti itu.
Saat
Cross tidak menimpali, Lavinia menambahkan, “Aku datang untuk memberitahumu
kalau kesepakatan apa pun yang sudah kau buat, transaksi apa pun yang sudah kau
lakukan dengan Mr. Knight... aku tidak menginginkannya. Aku mau kau membatalkannya.
Aku akan bertanggung jawab atas keluargaku.”
Kata-kata
tersebut membuat Cross marah. “Kau
seharusnya tidak mengambil alih tanggung jawab itu. Kau punya suami. Ini
tugasnya. Perannya. Dia yang seharusnya melindungi masa depan anak-anaknya.
Reputasi istrinya.”
Mata
coklat Lavinia berkilat. “Itu bukan urusanmu.”
“Itu
urusanku kalau kau membutuhkan perlindungan, dan dia tidak bisa memberikannya.”
“Sekarang
kau menjadi pakar dalam soal perlindungan keluarga? Kakak yang sem purna?
Sekarang, setelah meninggalkanku selama tujuh tahun? Setelah menghilang selama
tujuh tahun? Di mana kau berada saat mereka menikahkanku dengan Dunblade?”
Cross
sedang memperhitungkan kartu di sebuah kasino, berusaha berpura-pura kalau ia
tidak tahu di mana adinya berada. Apa yang sedang adiknya lakukan. Siapa yang
menikah dengan adiknya. Mengapa.
Ironisnya, mungkin kasino itu Knight’s. “Lavinia,” Cross berusaha menjelaskan,
“ada begitu banyak hal yang terjadi ketika Baine meninggal. Begitu banyak hal
yang tidak kau ketahui.”
Lavinia
menyipitkan matanya kepada Cross. “Kau masih menganggapku anak kecil. Kau pikir
aku tidak tahu? Kau pikir aku tidak ingat malam itu? Apa perlu kuingatkan kalau
aku yang ada di sana? Bukan kau. Aku. Akulah yang menyandang bekas lukanya.
Kenangannya. Aku yang menganggungnya setiap hari. Dan entah bagaimana, kau yang
mengambil hak milik atas malam itu.”
Lavinia
bergeser, dan Cross melihat ketidaknyamanan melintas di wajah Lavinia sewaktu
adiknya menopangkan berat badan ke tongkat yang ditempa dengan baik. Cross
beranjak ke sebuah kursi yang ada di dekat situ, meninggalkan setumpuk buku
dari dudukannya. “Kumohon, duduklah.”
Lavinia
menegang, dan waktu ia bicara, kata-katanya laksana es. “Aku mampu berdiri. Aku
memang pincang, tapi aku tidak lumpuh.”
Sial,
umpat Cross dalam hati. Apa ia tidak bisa melakukan sesuatu yang benar? “Aku
tidak bermaksud... Tentu saja kau mampu berdiri. Aku hanya berpikir bahwa kau
bisa lebih nyaman...”
“Aku
tidak membutuhkanmu untuk membuatku nyaman atau memudahkan kehidupanku. Aku
membutuhkanmu untuk enyah dari kehidupanku. Aku datang untuk menyampaikannya
kepadamu. Dan untuk memberitahumu kalau aku tidak akan membiarkanmu melibatkan
diri dengan Knight demi diriku.”
Amarah
tersulut, juga rasa frustasi. “Sayangnya keputusan itu tidak terletak di
tanganmu. Tidak akan kubiarkan kau mengorbankan dirimu kepada Knight. Tidak
kalau aku bisa membantu.”
“Kau
tidak berhak ikut campur.”
“aku
sangat berhak. Suka atau tidak, ini duniaku, dan kau adikku.” Cross terdiam
sebenar, ragu dengan kata-katanya yang selanjutnya, enggan mengucapkannya, tapi
ia tahu ia berutang kepada Lavinia. “Knight memanfaatkan kalian untuk
mengendalikanku.”
Alis
Lavinia menyambung. “Apa?”
Cross
membenci dirinya saat itu, hampir sebagaimana ia membenci sorot mata Lavinia,
curiga dan tidak percaya. “Dia menginginkanku, Lavinia. Bukan kau. Bukan
Dunblade. Dia tahu bahwa mengancam kalian akan menjadi cara tercepat untuk
mendapatkan apa yang diinginkan dariku.”
“Mengapa
dia berpikir seperti itu?” Lavinia mendengus. “Kau tidak pernah memikirkan kami
barang sedetik pun.”
Kata-kata
itu memilukan. “Itu tidak benar.”
Lavinia
kembali bergeser, dan Cross tidak dapat menahan diri untuk tidak melihat
tongkat itu lagi, untuk tidak berharap agar ia bisa melihat kaki Lavinia. Cross
tahu betapa kesakitannya Lavinia; Ia membayar mahal dokter-dokter Lavinia untuk
memberitahunya tentang cedera yang sudah berusia tujuh tahun itu.
Cross
mendongak memandang adiknya. “Lavinia,” mulainya. “Kumohon. Duduklah. Kita akan
mendiskusikan masalah ini.”
Lavinia
tidak duduk. “Kami menderita karenamu?”
Tidak
penting kalau mereka menderita karena suami Lavinia lembek. Kalau Cross bukan
Cross... kalau ia tidak punya masa lalu dengan Knight... mereka pasti aman.
“Dia mengancammu untuk mengendalikanku. Untuk mendapatkan apa yang dia inginkan
dariku. Menjauhlah darinya. Aku akan mengenyahkannya. Aku butuh empat hari.”
“Apa
maunya?”
Gelarku. Namaku. Warisan anak-anakmu. “Itu tidak
penting.”
“Tentu
saja itu penting.”
“Tidak.
Itu tidak penting karena dia tidak akan mendapatkannya. Dan dia juga tidak akan
mendapatkan kalian.”
Sesuatu
melintas di mata coklat Lavinia, sesuatu yang menyerupai kebencian, dan ia
tertawa hambar. “Kurasa semestinya aku tidak kaget. Toh, sejak dulu kesakitanku
selalu diakibatkan oleh tindakan-tindakanmu... iya, kan?”
Kesunyian
terentang di tengah mereka, kata-kata itu menggantung di ruangan, bebannya
familier dan tak tertahankan, menggemakan tuduhan dingin ayah Cross malam itu,
tujuh tahun yang lalu. Seharusnya kau.
Dalam
ratapan lirih ibunya. Andai saja kau
orangnya.
Dan
jerit-jerit kesakitan Lavinia saat para dokter
melakukan apa yang mampu mereka lakukan untuk memulihkan tulang dan
membersihkan luka-luka, membebaskan tubuh rapuh dan mudanya dari demam yang
meningkat, mengancam nyawa belianya.
Cross
ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Lavinia, bahwa ia diliputi oleh rasa
bersalah malam itu, dan rasa takut pada malam-malam setelahnya, bahwa ia
berharap berkali-kali, lagi dan lagi, selama bertahun-tahun, agar ia yang berada
di kereta kuda itu. Agar Baine yang berada di rumah –Baine yang kuat, teguh,
dan kompeten, yang tidak akan meninggalkan mereka. Yang tidak akan membiarkan
Lavinia menikah dengan Dunblade.
Agar
dirinyalah yang mati –supaya ia tidak akan mengecewakan mereka.
Tapi
kata-kata itu tak kunjung terucap.
Alih-alih,
Cross berkata, “Aku akan mengatasi akibatnya. Dia tidak akan mengganggu kalian
lagi.”
Tawa
itu lagi, penuh luka dan kebencian, dengan lebih banyak pengalaman dari yang
seharusnya ada. “Kumohon, jangan. Kau terlalu mahir untuk menimbulkan akibat
ketimbang mengatasinya.” Lavinia menambahkan, “Aku tidak menginginkanmu dalam
hidupku. Aku yang akan menghadapinya.”
“Dia
tidak akan menemuimu,” kata Cross. “Itu bagian dari kesepakatan kami.”
“Berani-beraninya
kau bernegosiasi dengan Knight demi diriku?”
Cross
menggelengkan kepala dan mengatakan yang sebenarnya, sudah lelah
menyembunyikannya. “Dia yang menemuiku, Lavinia. Dan meskipun kau ingin
meyakini yang sebaliknya, aku tidak bisa membiarkannya menyakitimu. Tidak akan
kubiarkan dia menyakitimu.”
Kata-kata
tersebut mungkin berdampak sesautu, tapi Cross tidak akan tahu, karena saat
itu, sewaktu kata-katanya sirna di udara sekelilingnya, suara buk keras terdengar dari balik lukisan
besar yang tergantung di salah satu dinding kantornya, dan suatu kesadaran yang
mengerikan muncul serta meresahkan di dalam dirinya. Ia tahu apa yang ada di
balik lukisan itu, tahu ke mana arahnya.
Juga
tahu, dengan keyakinan mutlak, siapa yang berdiri beberapa sentimeter jauhnya
dari kantornya.
Mengangkat
sebelah tangan untuk mencegah adiknya bicara lebih lanjut, Cross mengitari meja
lalu meraih salah satu sudut bingkai yang besar, menarik lukisan besar itu
kuat-kuat, membuka pintu rahasia dan melihat Philippa Marbury yang terbelalak,
terjatuh keluar dari lorong di balik lukisan, hampir tidak sempat berpegangan
ke sebuah meja di dekat situ sebelum menegakkan badan dan menghadap orang-orang
yang ada di dalam ruangan.
Pippa
memperbaiki posisi kacamatanya lalu melewati Cross, memasuki kantor Cross,
kemudian berkata, “Halo, Lady Dunblade,” sebelum mengarahkan tatapan mata
birunya yang dingin kepada Cross, dengan penuh kemenangan meletakkan sepasang
dadu gading di pinggir meja hitam Cross yang besar, dan menambahkan, “Sir, kau
seorang pembohong dan penipu. Dan aku tidak mau diperintah-perintah seperti
seekor anjing peliharaan.”
Terjadilah
keheningan sesaat, sementara mulut Lavinia menganga dan Cross bertanya-tanya
bagaimana hidupnya yang tenang dan terkendali bisa terlepas dari kendalinya
sepenuhnya.
Lavinia-nya
Cross ternyata Baroness Dunblade. Seorang lady.
Menakjubkan
rasanya betapa mudahnya para bangsawan memandang sebelah mata mereka yang
pernah mengalami kejadian nahas. Lady Dunblade memang membutuhkan sebuah
tongkat untuk membantunya dengan kepincangan yang tak bisa dipungkiri lagi,
tapi sekarang, selagi sang lady berdiri di salah satu sisi kantor Cross yang
berantakan, Pippa bertanya-tanya bagaimana mungkin wanita itu bisa tidak
diperhatikan. Terlepas dari kekurangannya, Lavinia tinggi dan cantik, dengan
rambut merah indah dan mata coklat yang tidak mungkin tak dikagumi oleh Pippa.
Rupanya,
bukan hanya dirinya yang mengagumi mata itu, pikir Pippa. Rupanya, Cross juga
menganggap mata itu patut dikagumi. Semestinya ia tidak kaget. Toh, Cross
merupakan pria flamboyan yang sudah tersohor –walaupun Cross tidak
memperlihatkan perilaku flamboyan di dekatnya –dan lady Dunblade sangat jarang
diperhatikan, sehingga bisa dengan mudah datang dan pergi dari The Fallen Angel
tanpa menimbulkan skandal.
Tapi
Lady Dunblade ternyata merupakan skandal, kerena ia ada di sini, berdiri di
kantor Cross, tegak dan angkuh, layaknya seorang ratu Yunani.
Tapi
wajar saja Lavinia angkuh, toh wanita itu sudah memenangi perhatian dari salah
seorang pria yang paling berkuasa di London.
Ia juga akan sangat angkuh kalau bisa
mewujudkan hal serupa.
Pippa mengenyahkan pemikiran itu dan suatu emosi baru yang tidak menyenangkan
yang meliputinya karena pemikiran tersebut, lalu berbalik untuk menutup pintu
jalan rahasia. Seharusnya ia sudah menduga kalau Cross memilih ruangan dengan
jalan yang mengarah ke ruang kantor –Cross bukan jenis pria yang mengandalkan
kebetulan.
Dan
mungkin Cross bukan jenis pria yang senang kalau ia terjatuh dari dinding ke
dalam kantor... dan kalau apa yang tanpa disengaja telah ia dengar dapat
dipercaya... ke dalam percapakan yang sangat pribadi.
Tidak akan kubiarkan dia menyakitimu.
Dari
balik dinding sekalipun Pippa mendengar ketegasan pada nada suara Cross.
Komitmen. Dari balik dinding sekalipun, ia merasakan kata-kata itu seperti
pukulan. Jelas sekali Cross peduli kepada wanita itu. Cukup peduli sehingga
bisa meninggalkannya di sebuah ruangan yang terkunci demi menemui sang lady.
Semestinya
Pippa tidak kecewa. Toh, yang ada di antara mereka merupakan suatu kemitraan,
bukan hubungan istimewa.
Ini
bukan waktu yang tepat untuk merasa cemburu. Bukan tempat yang tepat untuk itu.
Tidak ada kecemburuan dalam ilmu pengetahuan.
Tapi ternyata... kecemburuan itu ada.
Pippa
tahu seharusnya ia tidak cemburu. Seharusnya ia marah. Cross telah menodai
kesepakatan mereka dengan mencuranginya dengan dadu yang dipasangi beban serta
kebohongan-kebophongan yang licik. Ya. Malah, karena itulah ia datang ke sini
dalam keadaan berang, kan? Kalau ia kecewa, itu karena alasannya, tidak lebih.
Yang
pasti bukan karena Cross meninggalkannya untuk wanita ini.
Seharusnya
ia sama sekali tidak kecewa dalam masalah itu.
Namun,
rasanya itulah yang membuatnya kecewa.
Aneh.
Setelah
lorong ditutup, Pippa berbalik menghadap Cross dan Lady Dunblade. Melihat
amarah di wajah Cross dan keterkejutan di wajah Lady Dunblade, Pippa
mengucapkan hal pertama yang terbesit di benaknya. “Maaf kalau aku mengganggu.”
Terjadi
keheningan sesaat, selagi mereka mendengarkan kata-kata itu, sebelum keduanya
bicara.
“Kami
sudah selesai,” ujar Lavinia, bahunya ditegakkan ketika sepertinya ia teringat
kepada di mana ia berada, mundur ke arah pintu. “Aku mau pergi.”
“Apa
yang kau lakukan di lorong itu? Sudah kubilang jangan tinggalkan ruangan tadi,”
kata Cross pada waktu yang bersamaan.
“Kau
meninggalkanku di ruangan yang dikunci dan berharap aku tidak akan berusaha
meloloskan diri?” sergah Pippa, tidak bisa menghapus nada frustasi dari
suaranya.
“Aku
berharap kau akan menjauhkan dirimu sendiri dari bahaya.”
Mata
Pippa membelalak. “Bahaya apa yang bisa menimpaku?”
“Di
lorong rahasia yang gelap di sebuah klub judi? Kau benar. Tidak ada bahaya sama
sekali.”
Pippa
mundur selangkah. “Sarkasme tidak cocok untukmu, Mr. Cross.”
Cross
menggelengkan kepala saking frustasinya lalu menoleh kepada Lavinia, yang sudah
sampai di pintu. “Kau tidak boleh pergi.”
Mata
wanita itu disipitkan. “Kita sudah selesai. Aku sudah menyampaikan pesanku. Dan
jelas aku akan pergi.”
Pippa
bersandar ke lukisan dari mana ia keluar, sementara Cross melangkah ke arah
Lavinia, emosi yang terkandung dalam kata-katanya terdengar jelas.
“Lavinia...,” mulainya sebelum wanita itu mengangkat sebelah tangan dan
menghentikannya.
“Tidak.
Kau yang membuat keputusan. Kau tidak bisa mengubah masa lalu.”
“Sial,
bukan masa lalu yang hendak kuubah. Melainkan masa depan.”
Lavinia
membalikkan badan dan beranjak ke pintu yang mengarah ke arena kasino. “Masa
depan tidak berada dalam kendalimu.”
Pippa
memperhatikan mereka, kepalanya dipalingkan dari yang satu ke yang satu lagi,
seolah mereka sedang bertanding bulutangkis, pertanyaan bermunculan, menuntut
fakta. Apa yang telah terjadi di masa lalu mereka? Apa yang sedang terjadi
sekarang sehingga mengancam masa depan mereka? Apa hubungan mereka?
Dan
di sana, mencari jawaban, Pippa melihat kesedihan mendalam Cross.
Cross menyayangi Lavinia.
Pippa
menegang karena pemikiran yang terakhir, pemikiran itu meresahkan dan tidak
menyenangkan.
Tangan
Lavinia meraih gagang pintu dan Cross mengumpat. “Sial, Lavinia. Separuh London
ada di luar sana. Kalau terlihat, kau akan hancur.”
Lavinia
menoleh ke balik bahunya. “Bukankah aku sudah berada di jalan itu?”
Apa maksudnya?
Mata
Cross disipitkan. Tidak kalau aku bisa menghentikannya. Biar kuantar kau
pulang.”
Lavinia
menoleh kepada Pippa. “Bagaimana dengan Lady Philippa?”
Cross
menoleh kepada Pippa, keterkejutan terpancar dari matanya, seolah ia sudah lupa
Pippa ada di sana. Pippa tidak menggubris kekecewaan yang tersulut oleh
pemikiran tersebut. “Biar kuantar kalian berdua pulang.”
Pippa
menggelengkan kepala. Apa pun yang terjadi di sini bersama Lady Dunblade, itu
tidak mengubah rencananya untuk malam ini. Mangabaikan rasa sesak di dadanya
yang diakibatkan oleh penemuan sebelumnya –hunjaman yang sudah mulai familier
–ia berkata, “Aku tidak mau pulang.”
Pada
saat yang bersamaan, Lavinia berkata, “Aku tidak mau ke mana pun bersamamu.”
Cross
meraih salah satu tuas yang ada di dinding di belakangnya. Menariknya dengan
lebih kuat daripada yang dibutuhkan. “Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di
sini, tapi aku juga tidak akan membiarkanmu menghancurkan dirimu sendiri. Kau
harus diantar pulang.”
Kengerian
menyertai nada suara sang baroness. “Lagi-lagi, kau menyerahkanku ke tangan
orang lain.”
Cross
memucat sewaktu mendengar kata-kata itu, tiba-tiba ruangan terasa terlalu
kecil, dan Pippa merasa canggung. Ada sesuatu yang sangat erat di antara kedua
orang ini, di dalam bagaimana mereka saling berhadapan, keduanya tidak mau
mundur. Ada kemiripan di dalam diri mereka –di dalam cara mereka berdiri tegak
dan menolak untuk menyerah.
Tidak
diragukan lagi kalau mereka punya masa lalu. Tidak diragukan lagi kalau mereka
sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Tidak
diragukan lagi kalau pada suatu masa mereka saling menyayangi.
Mungkin masih.
Pemikiran
tersebut membuat Pippa berharap ia bisa merangkak kembali ke balik lukisan dan
mencari cara lain untuk keluar dari klub. Ia berbalik untuk melakukannya,
menarik bingkai yang berat, lebih memilih ruang permainan dadu yang kosong dan
terkunci ketimbang ruangan ini.
Tapi
kali ini, waktu lukisan mengayun terbuka, ada seorang pria di lorong. Pria
berkulit coklat dan berbadan besar itu tampak keget begitu melihat Pippa
sebagaimana Pippa kaget begitu melihatnya. Mereka saling berpandangan selama
beberapa saat sebelum Pippa berkata, “Permisi. Aku mau lewat.”
Dahi
pria itu dikerutkan lalu ia menoleh dengan ekspresi bingung kepada Cross, yang
mengumpat kasar dan berkata, “Dia tidak akan ke mana-mana.”
Pippa
kembali menoleh kepada Cross. “Aku akan baik-baik saja.”
Cross
menatap Pippa , mata kelabunya serius. “Kau mau ke mana?”
Pippa
tidak terlalu yakin. “Ke...” Ia melambaikan tangan ke kegelapan di belakang
pria besar yang menghalangi jalannya. “Dinding.”
Cross
tidak menghiraukan Pippa, perhatiannya dialihkan ke pria di dinding. “Antar
Lady Dunblade pulang. Pastikan dia tidak terlihat.”
Pippa
menjulurkan kepalanya untuk memandang pria besar itu –lebih besar daripada pria
mana pun yang pernah ia jumpai. Sulit rasanya membayangkan pria itu pandai
melarikan wanita dari suatu pertemuan tengah malam, tapi Cross pria flamboyan
yang legendaris, jadi mungkin ini bukan pertama kalinya pria itu diminta
melakukannya.
“Aku
tidak akan ikut dengannya,” tukas Lavinia dengan tegas.
“Kau
tidak punya pilihan,” kata Cross, “kecuali kalau kau mau aku yang mengantarmu.”
Pippa
mendapati bahwa ia tidak menyukai gagasan tersebut, tapi tetap diam.
“Dari
mana aku tahu aku bisa memercayainya?”
Cross
mengarahkan pandangannya ke langit-langit, lalu kembali ke Lavinia. “Kau tidak
tahu. Tapi menurutku pilihanmu tentang siapa yang bisa dipercaya atau
tidak sangat mudah berubah, jadi mengapa
tidak memasukkannya ke kolom bisa dipercaya?”
Mereka
saling bertatapan, dan Pippa bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Ia tidak
akan kaget kalau Lavinia membuka pintu utama kantor Cross lalu berderap angkuh
dan anggun ke arah kasino, hanya untuk membuat Cross kesal.
Apa
yang telah Cross lakukan kepada Lavinia?
Apa yang telah Lavinia lakukan kepada
Cross?
Setelah
beberapa saat, Pippa tidak kuasa menahan diri. “Lady Dunblade?”
Lavinia
menatap matanya, dan Pippa bertanya-tanya apa ia pernah bercakap-cakap dengan
wanita ini. Rasanya belum. Sekarang, saat ini, ia yakin bahwa kalau pernah, ia
pasti mengingat pejuang angkuh bermata coklat dengan rambut yang seperti lidah
api ini. “Ya?”
“Apa
pun masalahnya,” kata Pippa, bimbang mengucapkan kata-katanya, “itu tidak
sepadan dengan reputasimu.”
Terjadi
kesunyian sejenak selagi kata-kata itu menyelimuti ruangan, dan selama sesaat,
Pippa mengira sang baroness tidak akan bereaksi. Tapi wanita itu bereaksi,
menopangkan berat badannya ke tongkatnya, lalu menyeberangi ruangan untuk
membiarkan si pria besar, yang masih ada di dalam, membantunya naik ke lorong yang
gelap.
Sesampainya
di sana, Lavinia menoleh ke belakang, menatap mata Pippa. “Aku bisa mengatakan
hal yang sama kepadamu,” ujarnya. “Apa kau mau bergabung denganku?”
Pertanyaan
itu menggantung di tengah mereka, dan entah bagaimana Pippa tahu bahwa jawabannya
bukan hanya berdampak terhadap aktivitas malam itu. Ia tahu bahwa ya akan menjauhkannya dari Cross
selamanya. Dan tidak akan
mempertahankannya di dekat pria itu untuk waktu yang sangat lama.
Lebih
lama daripada yang ia rencanakan.
Pippa
menoleh kepada Cross, mata kelabu pria itu menatap matanya, tak terbaca namun
tetap sangat kuat –bisa membuat napasnya bertambah cepat dan membuatnya
kewalahan. Ia menggelengkan kepala, tidak bisa memalingkan wajahnya. “Tidak.
Aku mau tetap di sini.”
Cross
bergeming.
Lavinia
bicara. “Aku tidak tahu mengapa kau ada di sini, Lady Philippa, tapi aku bisa
memberitahukan ini kepadamu... apa pun yang sudah pria ini janjikan kepadamu,
apa pun yang menurutmu bisa kau dapatkan dari hubungan kalian, jangan harap kau
akan menerimanya.” Pippa tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Ia tidak
harus melakukannya. “Reputasimu
sedang dipertaruhkan.”
“Aku
akan berhati-hati,” kata Pippa.
Salah
satu alis coklat kemerahan sang baroness diangkat saking tidak percayanya ia,
dan sesuatu melintas, familier, ada lalu sirna sebelum Pippa bisa memahaminya.
“Pastikan itu.”
Sang
baroness menghilang ke dalam kegelapan jalan rahasia, si pria besar mengekor di
belakangnya. Pippa memperhatikan mereka pergi, cahaya dari lentera si pengawal
bertambah redup di sudut sebelum ia menutup lukisan itu kembali lalu berbalik
menghadap Cross.
Cross
tampak lelah. Bahunya terkulai, nyaris terkesan seperti menyerah, dan bahkan
Pippa –yang rasanya tidak pernah bisa membaca emosi orang-orang di
sekelilingnya dengan tepat –mengerti kalau Cross telah terluka dalam
pertempuran yang berlangsung di ruangan ini barusan.
Tidak
kuasa menahan diri, Pippa menghampiri Cross, roknya menyapu sempoa besar yang
terdapat di salah satu sisi ruangan, dan suara yang ditimbulkan menyadarkan
Cross dari lamunan. Cross mendongak, mata kelabunya menatap mata Pippa,
menghentikan langkah Pippa.
“Seharusnya
kau ikut dengannya.”
Pippa
menggelengkan kepala, kata-katanya tertahan di tenggorokan sewaktu ia berkata,
“Kau sudah berjanji akan membantuku.”
“Bagaimana
kalau aku bilang aku ingin membatalkan kesepakatan kita?”
Pippa
memaksakan diri untuk mengulas senyum. “Keinginan itu tidak berbalas.”
Mata
Cross bertambah gelap, satu-satunya bagian dari dirinya yang bergerak.
“Nantinya akan berbalas.”
Pippa
tidak bisa menahan diri. “Siapa dia?”
Pertanyaan
tersebut bak membuyarkan mantra, dan Cross memalingkan wajahnya, mengitari tepi
mejanya, menempatkan permukaan eboni lebar itu di tengah mereka lalu berkutat
dengan kertas-kertas yang ada di meja. “Kau tahu dia siapa.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Aku tahu dia Baroness Dunblade. Siapa dia bagimu?”
“Itu
tidak penting.”
“Justru
sebaliknya, itu sangat penting.”
“Seharusnya
tidak bagimu.”
Betapa
pentingnya hal itu terasa agak meresahkan. “Namun itu penting bagiku.” Pippa
berhenti sebentar, berharap Cross akan memberitahunya, tahu bahwa permintaannya
sia-sia, tapi tetap tidak mampu mencegah dirinya bertanya. “Apa kau sangat
menyayanginya?”
Jangan katakan. Aku tidak mau tahu.
Tapi
Pippa mau tahu. Mau sekali.
Saat
Cross tidak menjawab, Pippa menambahkan, “Aku bertanya hanya karena aku
penasaran mengapa kunjungannya bisa membuatmu mengurungku di ruang permainan
dadu untuk waktu yang tak bisa ditentukan.”
Cross
mendongak. “Waktunya bisa ditentukan.”
Pippa
beranjak untuk berdiri di seberang meja. “Bukan olehmu.”
“Bagaimana
caranya kau bisa menemukan jalan itu?”
“Kau
pasti kaget kalau mengetahui apa yang bisa dilakukan oleh kejengkelan untuk
membantu komitmen seseorang dalam mencapai tujuan.”
Salah
satu ujung bibir Cross berkedut. “Kurasa yang kau maksud mengurunganmu?”
“Dan
kecuranganmu,” Pippa menambahkan.
Pandangan
Cross tertuju ke dadu yang Pippa letakkan di pinggir meja. “Itu dadu
kemenangan.”
“Kau
pikir aku peduli ketidakjujurannya ditujukan untuk menang atau kalah? Namanya
tetap curang.”
Cross
tertawa, suaranya datar. “Tentu saja kau tidak peduli. Itu demi kebaikanmu
sendiri.”
“Dan
jumlah tujuhnya?”
“Juga
dipasang beban.”
Pippa
mengangguk. “Sembilan yang kudapatkan pada siang yang pertama itu? Taruhan yang
membuatku pulang, berjanji tidak akan menemui pria lain?”
Cross
menuang segelas scotch untuk dirinya
sendiri. “Itu juga.”
Pippa
mengangguk sekali. “sudah kubilang aku tidak suka pembohong, Mr. Cross.”
“Dan
sudah kubilang, bajingan berbohong. Sudah waktunya kau belajar.”
Pria
itu menjengkelkan. “Kalau semua kebohongan yang bisa diungkapkan dengan mudah
seperti dadu konyolmu yang dipasangi beban, kurasa aku akan baik-baik saja di
dunia ini.”
“Aku
kaget kau menyadarinya.”
“Mungkin
wanitamu yang lain tidak akan memperhatikan enam dan tiga yang muncul
berturut-turut,” ujar Pippa, tidak sanggup menghapus nada kesal dari
kata-katanya, “tapi aku ilmuwan. Aku memahami hukum probabilitas.”
“Wanitaku
yang lain?” tanya Cross.
“Miss
Tasser... Lady Dunblade... wanita mana saja yang sudah kau bohongi,” sahut
Pippa, berhenti sebentar karena gambaran yang diciptakan oleh kata-katanya dan
tidak menyukainya. “Bagaimanapun juga, aku tidak seperti mereka.”
“Kau
tidak seperti wanita mana pun yang pernah kukenal.”
Kata-kata
itu menyakitkan. “Apa maksudnya.”
“Yah,
sebagian besar wanita tidak membuatku kesal sampai sesering ini.”
“Menarik
sekali, karena aku belum pernah berjumpa dengan pria yang membuatku jengkel
sampai sesering ini.” Pippa menunjuk lukisan. “Seharusnya kau tidak mengurungku
di ruangan itu.”
Cross
menenggak minumannya banyak-banyak lalu mengembalikan gelas ke tempatnya di
bufet. “Percayalah, kau sangat aman di sana.”
Pippa
tidak merasa tak aman, tapi bukan itu intinya. “Bagaimana kalau aku fobia?”
Kepala
Cross terangkat, matanya langsung menatap mata Pippa. “Apa kau fobia?”
“Tidak.
Tapi bisa saja.” Pippa ragu. “Bagaimana kalau terjadi kebakaran?”
Tatapan
Cross tidak goyah. “Aku akan menjemputmu.”
Keyakinan
Cross membuat Pippa tertegun sesaat. Setelah pulih, ia bertanya. “Lewat jalan
ajaibmu?”
“Ya.”
“Kalau
api sudah menghancurkannya?”
“Aku
akan mencari cara untuk menjemputmu.”
“Aku
harus memercayainya?”
“Ya.”
Cross terdengar sangat yakin, seolah tidak ada yang dapat menghentikannya.
“Mengapa?”
“Karena
itu benar.” Kata-kata tersebut terdengar sangat pelan di ruangan yang kecil dan
tertutup, dan Pippa menyadari dua hal saat itu. Pertama, bahwa mereka berdua
sudah mencondongan badan ke depan, di atas papan eboni yang lebar, hingga
mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
Dan
kedua, bahwa ia percaya kepada Cross.
Pria itu pasti menjemputnya.
Pippa
menghela napas panjang, lalu berkata, “Tapi malah aku yang datang mencarimu.”
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat mengulas senyum tanggung. “Kau tidak tahu ke
mana jalan itu mengarah.”
Segala
sesuatu di dalam diri Cross, matanya, suaranya, aroma cendana dari tubuhnya
menggoda Pippa, dan Pippa mencondongkan badan di tepi meja sambil memejamkan
mata dan mereswapi momen itu, menikmati keberadaan Cross. Ketika Pippa bicara,
kata-katanya tidak lebih dari sekedar bisikan. “Aku berharap jalan itu akan
mengarah ke tempat yang menyenangkan.”
Mengarah kepadamu.
Cross
langsung mundur, seolah Pippa mengucapkan kata-kata itu keras-keras,
menyadarkan Pippa dari lamunannya. “Kalau begitu, aku menyesal jalan itu
membawamu ke sini.”
Pippa
ikut menegakkan badan, mengalihkan perhatiannya ke lukisan dari mana ia datang
–lukisan yang tidak terlalu ia perhatikan pada kedua kesempatan pertama yang ia
habiskan di ruangan ini dan sekarang seolah menelan ruangan, membuat salah satu
dinding kantor tampak kerdil, lebarnya satu setengah meter dan tingginya dua
kali lipat, eksentrik sekaligus indah dan sangat menarik.
Di
tengah lukisan itu, seorang wanita yang berselubung linen putih berbaring
telentang dengan pasrah, lengannya terentang di atas kepala, rambut pirangnya
terurai sampai ke lantai, tergerai bebas. Kulitnya pucat dan sempurna, dan
merupakan satu-satunya sumber cahaya yang ada di lukisan itu, sangat terang
sehingga dibutuhkan waktu sesaat untuk melihat apa yang mengintai di balik
kegelapan kamar tidurnya.
Di
salah satu sisi, di balik tirai beludru merah, seekor kuda hitam besar
mengintip, dengan mata liar yang menyeramkan dan mulut yang terbuka lebar serta
dipenuhi oleh gigi putih yang besar. Binatang itu tampaknya sedang
memperhatikan sosok yang sedang tidur, seolah ia bisa merasakan mimpi-mimpi si
wanita dan hanya sedang menunggu waktu sebelum ia menyerang.
Tapi
kuda jantan itu harus menunggu, karena di tubuh panjang si wanita, pada
rentangan gelap di tengah payudara dan paha, terdapat sosok mungil yang buruk
rupa, separuh binatang, separuh pria. Makhluk itu seolah sedang memandang ke
luar lukisan, menatap mata siapa pun yang berani melihat. Ekspresi di wajah
goblin itu sabar sekaligus posesif, seolah ia rela menunggu selamanya sampai
sang lady terbangun –dan berjuang mati-matian demi mempertahankan wanita itu.
Itu
merupakan benda paling menarik yang pernah Pippa lihat, penuh skandal dan cabul.
Ia mendekat. “Lukisan ini... lukisan ini luar biasa.”
“kau
menyukainya?” Pippa mendengar nada kaget pada suara Cross.
“Menurutku
orang tidak menyukainya. Menurutku orang terpukau olehnya.” Pippa ingin
mengulurkan tangan dan membangunkan wanita yang ada di dalam lukisan, dan
memperingatkan tentang apa yang pasti merupakan awal dari suatu kematian yang
mengerikan. “Di mana kau menemukannya?”
“Lukisan
itu digunakan untuk membayar utang,” ujar Cross, lebih dekat, lalu Pippa
menoleh ke balik bahunya dan mendapati pria itu berada di pinggir meja, sebelah
tangan ditopangkan di atas permukaan eboni, memperhatikannya menghampiri
lukisan minyak itu.
“Pasti
utang yang sangat besar.”
Cross
menganggukkan kepala. “Aku sangat menyukai lukisan ini sehingga mengizinkan
utangnya dihapus dari buku... bebas dan bersih.”
Pippa
tidak kaget kalau Cross tertarik kepada lukisan ini –kepada kecabulan yang
terdapat dalam setiap sapuan kuasnya, kepada kebejatan dari kisah yang
dituturkan olehnya. Pippa menoleh lagi, kembali tertarik kepada makhluk aneh
yang duduk di atas wanita yang sedang tidur. “Apa ini?” tanyanya, menyulurkan
tangan ke pria kecil itu, takut menyentuhnya.
“Itu
incubus.” Cross terdiam sebentar. “Mimpi buruk. Iblis yang muncul pada malam
hari dan menyakiti orang-orang yang tengah terlelap. Yang pria memangsa wanita
cantik.”
Ada
sesuatu dalam cara Cross berbicara, pertanda dari... kenangan? Pippa pun
menoleh kepadanya. “Mengapa kau memajangnya?”
Cross
sudah tidak memperhatikan Pippa, alih-alih, ia menunduk memandangi meja,
mengangkat dadu yang Pippa letakkan di sana, menggenggamnya. “Aku tidak terlalu
suka tidur,” sahut Cross, seolah itu jawaban yang masuk akal.
Mengapa tidak?
Pippa
ingin bertanya, tapi tahu bahwa Cross tidak akan memberitahunya. “Aku tidak
kaget, mengingat kau menghabiskan sebagian besar siangmu di bawah bayangan
lukisan ini.”
“Lama-lama
akan terasa nyaman.”
“Aku
meragukannya,” ujar Pippa. “Seberapa sering kau menggunakan lorong yang tadi?”
“Rasanya
aku tidak terlalu membutuhkannya.”
Pippa
tersenyum. “Jadi aku boleh memanfaatkannya?”
“Kau
tidak menggunakannya dengan baik. Aku langsung dengar begitu kau mendekat.”
“Tidak
mungkin.”
“Sungguh.
Kau pasti terkejut kalau mengetahui bahwa kau tidak terlalu pandai menyalip,
lady Philippa.”
“Aku
tidak punya banyak alasan untuk melakukannya, Mr. Cross.”
Salah
satu ujung bibir Cross terangkat membentuk sesuatu yang menyerupai senyum.
“Hingga baru-baru ini.”
“Tempat
ini mengharuskanku menyelinap, bukan begitu menurutmu?”
“Yah,
menurutku begitu.”
Cross
mengembalikan dadu ke meja dengan suara pelan, dan kubus-kubus putih itu
menarik perhatian Pippa. “Nah, kalau tidak salah, kau berutang jawaban untuk
tiga pertanyaan kepadaku. Empat, kalau kau menghitung pertanyaan yang belum kau
jawab.”
Di
tengah kesenyapan yang menyusul pernyataan tersebut, Pippa tidak dapat mencegah
dirinya mengangkat pandangan ke mata Cross. Pria itu sedang menunggunya. “Semua
dadunya dipasangi beban. Aku tidak berutang apa-apa kepadamu.”
Alis
Pippa menyambung. “Justru sebaliknya, kau berutang banyak padaku. Aku percaya
kau mengatakan yang sebenarnya.”
“Salahmu,
bukan salahku.”
“Kau
tidak malu sudah berbuat curang?”
“Aku
malu aku ketahuan.”
Pippa
merengut. “Kau menganggapku remeh.”
“Agaknya
begitu. Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Aku tidak akan memiliki
kesempatan untuk melakukannya.”
Pippa
langsung mengangkat kepalanya. “Kau mau mengingkari janjimu?”
Cross
mengangguk. “Benar. Aku mau kau keluar dari tempat ini. Selamanya. Kau tidak
pantas berada di sini.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Kau bilang kau tidak akan mengingkari janjimu.”
“Aku
bohong.”
Kata-kata
yang tak terduga itu mengejutkan Pippa, sampai-sampai ia mengucapkan
satu-satunya hal yang terbersit di benaknya. “Tidak mau.”
Kekagetan
terpancar dari mata Cross. “Tidak mau?”
Pippa
menggelengkan kepala, beranjak maju lalu berhenti sekitar tiga puluh sentimeter
di depan Cross. “Aku tidak mau pergi.”
Cross
mengangkat dadunya lagi, dan Pippa mendengar suara gading yang berbenturan
dengan gading sewaktu pria itu memainkannya di telapak tangan. “Atas dasar apa
kau menolak pergi?”
“Atas
dasar bahwa kau berutang padaku.”
“Apa
kau berencana untuk menyeretku ke pengadilan?” tanya Cross dengan datar.
“Aku
tidak perlu melakukannya,” sahut Pippa, memainkan kartu terakhirnya yang paling
kuat. “Aku hanya perlu membawamu ke hadapan kakak iparku.”
Terjadi
kesunyian sesaat selagi kata-kata tersebut dicerna, dan mata Cross membelalak,
sedikit, sudah cukup untuk dilihat oleh Pippa sebelum pria itu menghilangkan
jarak di antara mereka dan berkata, “Ide bagus. Ayo, ceritakan semuanya kepada
Bourne. Menurutmu dia akan memaksaku memenuhi kesepakatan kita?”
Pippa
tidak sudi digertak. “Tidak. Menurutku dia akan membunuhmu karena bersedia
membuat kesepakatan itu. Apalagi begitu dia tahu kalau itu dinegosiasikan oleh
seorang pelacur.”
Emosi
membara di mata kelabu Cross yang serius, kekesalan dan... kekaguman? Apa pun
itu, emosi itu hampir langsung sirna seperti lentera di salah satu jalan
rahasia Cross yang gelap. “Cerdik sekali, Lady Philippa.” Kata-kata tersebut
terasa sangat lembut sewaktu meluncur di kulit Pippa.
“Kurasa
begitu.”
Cross
berada sangat dekat. “Kau mau mulai dari mana?”
Pippa
mau mulai dari mana mereka berhenti. Cross tidak bisa meloloskan diri sekarang,
tidak selagi mereka berdiri di sini... di sebuah klub judi, hanya beberapa
puluh sentimeter jauhnya jari dosa, maksiat, dan separuh penduduk London yang
pasti akan menjatuhkan Pippa habis-habisan kalau mereka sampai menemukannya.
Dan
beberapa sentimeter jauhnya dari satu sama lain.
Inilah
risiko yang Pippa berjanji akan ia tanggung; wawasan Cross adalah imbalannya.
Semangat
meliputi Pippa, menjanjikan lebih dari yang ia harapkan saat ia meninggalkan
rumah malam ini. “Aku mau memulai dari berciuman.”
Halo kak, penasaran banget sm kelanjutan ceritanya si cross ama pippa ini.
BalasHapus