Minggu, 16 Juni 2019

One Good Earl Deserves a Lover #10

“Aku sudah mempelajari banyak spesies flora dan fauna selama bertahun-tahun ini, dan kalau ada satu kebenaran yang dapat ditemukan, itu adalah: baik anjing maupun manusia, saudara hampir selalu menunjukkan lebih banyak heterogenitas ketimbang homogenitas. Seseorang hanya perlu menatap Olivia dan aku untuk melihat buktinya.
Orangtua adalah semak mawar merah... anak-anak adalah cabang putihnya.”

Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
28 Maret 1831; delapan hari sebelum pernikahannya


“Aku datang guna memintamu untuk tidak mengganggu kami.”

Cross berdiri tepat di pintu kantornya yang tertutup dan terkunci, di belakangnya dua ratus pria yang paling berkuasa di Inggris sedang bertaruh. Dalam perjalanan ke sini, ia memikirkan setengah lusin hal yang dapat ia sampaikan kepada adiknya, seluruh variasi dari “Apa yang merasukimu hingga datang ke sini?”

Tapi Cross tidak memiliki kesempatan untuk mengatakan semua itu. Lavinia langsung bicara begitu pintu dikunci, seolah tidak ada satu hal pun di dunia ini yang perlu Lavinia khawatirkan selain satu kalimat yang tenang dan jelas itu.

“Lavinia...” Cross memulai, tapi adiknya memotong, sorot mata serius Lavinia tetap teguh.

“Aku ke sini bukan untuk mendiskusikannya, “Ujar Lavinia, kata-katanya laksana baja. “Aku datang dari Knight’s, tapi dia tidak bersedia menemuiku. Karenamu.”

Amarah tersulut. “Memang harus begitu. Seharusnya kau tidak menemuinya. Dan kalau tahu apa yang terbaik untuknya, dia tidak akan menemuimu lagi.”

Lavinia kelihatan lelah –pucat, kurus, dan gelisah, dengan lingkaran gelap di bawah matanya serta pipi yang cekung, seolah ia sudah tidak tidur atau makan selama berhari-hari. Tapi bukan hanya waktu berhari-hari yang membuatnya seperti ini –yang merenggut gadis tujuh belas tahun yang bahagia dengan mata yang berbinar lalu meninggalkan wanita dua puluh empat tahun yang dingin dan tampak bertahun-tahun lebih dewasa serta berpuluh-puluh tahun lebih bijaksana ini.

Terlalu bijaksana. Lavinia tidak menyerah. “Ini bukan urusanmu.”

“Tentu saja ini urusanku. Kau adikku.”

“Kau pikir menyatakan kata-kata itu akan menjadikannya nyata?”

Cross menghampiri adiknya, ragu waktu Lavinia mundur, berpegangan ke pinggir mejanya seolah Lavinia bisa mendapatkan kekuatan dari papan ebony tebal itu. “Tidak ada yang perlu dijadikan nyata. Fakta itu memang nyata.”

Bibir Lavinia berkedut mengulas senyum getir dan hambar. “Kau membuatnya terdengar sangat sederhana. Seolah kau tidak pernah berbuat salah. Seolah kami semua harus melupakan kalau kau meninggalkan kami. Seolah kami harus berpura-pura kalau semua baik-baik saja, dan tidak ada yang berubah. Seolah kami harus menyembelih anak lembu gemuk dan menyambutmu kembali ke dalam kehidupan kami... bak anak yang hilang.”

Kata-kata itu memilukan, bahkan sewaktu Cross mengingatkan dirinya bahwa Lavinia masih sangat muda kala Baine meninggal. Tujuh belas tahun dan baru melakukan debutnya, Lavinia terlalu memusatkan perhatian kepada kepedihan dan tragedinya sendiri sehingga tidak bisa memahami kebenaran dari apa yang telah terjadi. Tidak bisa mengerti kalau Cross tidak punya pilihan selain meninggalkan keluarganya.

Tidak bisa mengerti kalau Cross didesak untuk pergi.

Tidak bisa mengerti kalau mereka tidak akan pernah memaafkan Cross. Bahwa, di mata mereka, Cross tidak akan pernah menjadi cukup baik, cukup kuat. Cukup Baine.

Bukan hanya di mata mereka. Di mata Cross sendiri juga.

Cross tidak meralat Lavinia –tidak memberitahu adiknya. Alih-alih, ia membiarkan kata-kata itu melukainya. Karena ia pantas diperlakukan seperti itu.

Ia akan selalu pantas diperlakukan seperti itu.

Saat Cross tidak menimpali, Lavinia menambahkan, “Aku datang untuk memberitahumu kalau kesepakatan apa pun yang sudah kau buat, transaksi apa pun yang sudah kau lakukan dengan Mr. Knight... aku tidak menginginkannya. Aku mau kau membatalkannya. Aku akan bertanggung jawab atas keluargaku.”

Kata-kata tersebut membuat Cross marah. “Kau seharusnya tidak mengambil alih tanggung jawab itu. Kau punya suami. Ini tugasnya. Perannya. Dia yang seharusnya melindungi masa depan anak-anaknya. Reputasi istrinya.”

Mata coklat Lavinia berkilat. “Itu bukan urusanmu.”

“Itu urusanku kalau kau membutuhkan perlindungan, dan dia tidak bisa memberikannya.”

“Sekarang kau menjadi pakar dalam soal perlindungan keluarga? Kakak yang sem purna? Sekarang, setelah meninggalkanku selama tujuh tahun? Setelah menghilang selama tujuh tahun? Di mana kau berada saat mereka menikahkanku dengan Dunblade?”

Cross sedang memperhitungkan kartu di sebuah kasino, berusaha berpura-pura kalau ia tidak tahu di mana adinya berada. Apa yang sedang adiknya lakukan. Siapa yang menikah dengan adiknya. Mengapa. Ironisnya, mungkin kasino itu Knight’s. “Lavinia,” Cross berusaha menjelaskan, “ada begitu banyak hal yang terjadi ketika Baine meninggal. Begitu banyak hal yang tidak kau ketahui.”

Lavinia menyipitkan matanya kepada Cross. “Kau masih menganggapku anak kecil. Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir aku tidak ingat malam itu? Apa perlu kuingatkan kalau aku yang ada di sana? Bukan kau. Aku. Akulah yang menyandang bekas lukanya. Kenangannya. Aku yang menganggungnya setiap hari. Dan entah bagaimana, kau yang mengambil hak milik atas malam itu.”

Lavinia bergeser, dan Cross melihat ketidaknyamanan melintas di wajah Lavinia sewaktu adiknya menopangkan berat badan ke tongkat yang ditempa dengan baik. Cross beranjak ke sebuah kursi yang ada di dekat situ, meninggalkan setumpuk buku dari dudukannya. “Kumohon, duduklah.”

Lavinia menegang, dan waktu ia bicara, kata-katanya laksana es. “Aku mampu berdiri. Aku memang pincang, tapi aku tidak lumpuh.”

Sial, umpat Cross dalam hati. Apa ia tidak bisa melakukan sesuatu yang benar? “Aku tidak bermaksud... Tentu saja kau mampu berdiri. Aku hanya berpikir bahwa kau bisa lebih nyaman...”

“Aku tidak membutuhkanmu untuk membuatku nyaman atau memudahkan kehidupanku. Aku membutuhkanmu untuk enyah dari kehidupanku. Aku datang untuk menyampaikannya kepadamu. Dan untuk memberitahumu kalau aku tidak akan membiarkanmu melibatkan diri dengan Knight demi diriku.”

Amarah tersulut, juga rasa frustasi. “Sayangnya keputusan itu tidak terletak di tanganmu. Tidak akan kubiarkan kau mengorbankan dirimu kepada Knight. Tidak kalau aku bisa membantu.”

“Kau tidak berhak ikut campur.”

“aku sangat berhak. Suka atau tidak, ini duniaku, dan kau adikku.” Cross terdiam sebenar, ragu dengan kata-katanya yang selanjutnya, enggan mengucapkannya, tapi ia tahu ia berutang kepada Lavinia. “Knight memanfaatkan kalian untuk mengendalikanku.”

Alis Lavinia menyambung. “Apa?”

Cross membenci dirinya saat itu, hampir sebagaimana ia membenci sorot mata Lavinia, curiga dan tidak percaya. “Dia menginginkanku, Lavinia. Bukan kau. Bukan Dunblade. Dia tahu bahwa mengancam kalian akan menjadi cara tercepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan dariku.”

“Mengapa dia berpikir seperti itu?” Lavinia mendengus. “Kau tidak pernah memikirkan kami barang sedetik pun.”

Kata-kata itu memilukan. “Itu tidak benar.”

Lavinia kembali bergeser, dan Cross tidak dapat menahan diri untuk tidak melihat tongkat itu lagi, untuk tidak berharap agar ia bisa melihat kaki Lavinia. Cross tahu betapa kesakitannya Lavinia; Ia membayar mahal dokter-dokter Lavinia untuk memberitahunya tentang cedera yang sudah berusia tujuh tahun itu.

Cross mendongak memandang adiknya. “Lavinia,” mulainya. “Kumohon. Duduklah. Kita akan mendiskusikan masalah ini.”

Lavinia tidak duduk. “Kami menderita karenamu?”

Tidak penting kalau mereka menderita karena suami Lavinia lembek. Kalau Cross bukan Cross... kalau ia tidak punya masa lalu dengan Knight... mereka pasti aman. “Dia mengancammu untuk mengendalikanku. Untuk mendapatkan apa yang dia inginkan dariku. Menjauhlah darinya. Aku akan mengenyahkannya. Aku butuh empat hari.”

“Apa maunya?”

Gelarku. Namaku. Warisan anak-anakmu. “Itu tidak penting.”

“Tentu saja itu penting.”

“Tidak. Itu tidak penting karena dia tidak akan mendapatkannya. Dan dia juga tidak akan mendapatkan kalian.”

Sesuatu melintas di mata coklat Lavinia, sesuatu yang menyerupai kebencian, dan ia tertawa hambar. “Kurasa semestinya aku tidak kaget. Toh, sejak dulu kesakitanku selalu diakibatkan oleh tindakan-tindakanmu... iya, kan?”

Kesunyian terentang di tengah mereka, kata-kata itu menggantung di ruangan, bebannya familier dan tak tertahankan, menggemakan tuduhan dingin ayah Cross malam itu, tujuh tahun yang lalu. Seharusnya kau.
Dalam ratapan lirih ibunya. Andai saja kau orangnya.

Dan jerit-jerit kesakitan Lavinia saat para dokter  melakukan apa yang mampu mereka lakukan untuk memulihkan tulang dan membersihkan luka-luka, membebaskan tubuh rapuh dan mudanya dari demam yang meningkat, mengancam nyawa belianya.

Cross ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Lavinia, bahwa ia diliputi oleh rasa bersalah malam itu, dan rasa takut pada malam-malam setelahnya, bahwa ia berharap berkali-kali, lagi dan lagi, selama bertahun-tahun, agar ia yang berada di kereta kuda itu. Agar Baine yang berada di rumah –Baine yang kuat, teguh, dan kompeten, yang tidak akan meninggalkan mereka. Yang tidak akan membiarkan Lavinia menikah dengan Dunblade.

Agar dirinyalah yang mati –supaya ia tidak akan mengecewakan mereka.

Tapi kata-kata itu tak kunjung terucap.

Alih-alih, Cross berkata, “Aku akan mengatasi akibatnya. Dia tidak akan mengganggu kalian lagi.”

Tawa itu lagi, penuh luka dan kebencian, dengan lebih banyak pengalaman dari yang seharusnya ada. “Kumohon, jangan. Kau terlalu mahir untuk menimbulkan akibat ketimbang mengatasinya.” Lavinia menambahkan, “Aku tidak menginginkanmu dalam hidupku. Aku yang akan menghadapinya.”

“Dia tidak akan menemuimu,” kata Cross. “Itu bagian dari kesepakatan kami.”

“Berani-beraninya kau bernegosiasi dengan Knight demi diriku?”

Cross menggelengkan kepala dan mengatakan yang sebenarnya, sudah lelah menyembunyikannya. “Dia yang menemuiku, Lavinia. Dan meskipun kau ingin meyakini yang sebaliknya, aku tidak bisa membiarkannya menyakitimu. Tidak akan kubiarkan dia menyakitimu.”

Kata-kata tersebut mungkin berdampak sesautu, tapi Cross tidak akan tahu, karena saat itu, sewaktu kata-katanya sirna di udara sekelilingnya, suara buk keras terdengar dari balik lukisan besar yang tergantung di salah satu dinding kantornya, dan suatu kesadaran yang mengerikan muncul serta meresahkan di dalam dirinya. Ia tahu apa yang ada di balik lukisan itu, tahu ke mana arahnya.

Juga tahu, dengan keyakinan mutlak, siapa yang berdiri beberapa sentimeter jauhnya dari kantornya.

Mengangkat sebelah tangan untuk mencegah adiknya bicara lebih lanjut, Cross mengitari meja lalu meraih salah satu sudut bingkai yang besar, menarik lukisan besar itu kuat-kuat, membuka pintu rahasia dan melihat Philippa Marbury yang terbelalak, terjatuh keluar dari lorong di balik lukisan, hampir tidak sempat berpegangan ke sebuah meja di dekat situ sebelum menegakkan badan dan menghadap orang-orang yang ada di dalam ruangan.

Pippa memperbaiki posisi kacamatanya lalu melewati Cross, memasuki kantor Cross, kemudian berkata, “Halo, Lady Dunblade,” sebelum mengarahkan tatapan mata birunya yang dingin kepada Cross, dengan penuh kemenangan meletakkan sepasang dadu gading di pinggir meja hitam Cross yang besar, dan menambahkan, “Sir, kau seorang pembohong dan penipu. Dan aku tidak mau diperintah-perintah seperti seekor anjing peliharaan.”

Terjadilah keheningan sesaat, sementara mulut Lavinia menganga dan Cross bertanya-tanya bagaimana hidupnya yang tenang dan terkendali bisa terlepas dari kendalinya sepenuhnya.


Lavinia-nya Cross ternyata Baroness Dunblade. Seorang lady.

Menakjubkan rasanya betapa mudahnya para bangsawan memandang sebelah mata mereka yang pernah mengalami kejadian nahas. Lady Dunblade memang membutuhkan sebuah tongkat untuk membantunya dengan kepincangan yang tak bisa dipungkiri lagi, tapi sekarang, selagi sang lady berdiri di salah satu sisi kantor Cross yang berantakan, Pippa bertanya-tanya bagaimana mungkin wanita itu bisa tidak diperhatikan. Terlepas dari kekurangannya, Lavinia tinggi dan cantik, dengan rambut merah indah dan mata coklat yang tidak mungkin tak dikagumi oleh Pippa.

Rupanya, bukan hanya dirinya yang mengagumi mata itu, pikir Pippa. Rupanya, Cross juga menganggap mata itu patut dikagumi. Semestinya ia tidak kaget. Toh, Cross merupakan pria flamboyan yang sudah tersohor –walaupun Cross tidak memperlihatkan perilaku flamboyan di dekatnya –dan lady Dunblade sangat jarang diperhatikan, sehingga bisa dengan mudah datang dan pergi dari The Fallen Angel tanpa menimbulkan skandal.

Tapi Lady Dunblade ternyata merupakan skandal, kerena ia ada di sini, berdiri di kantor Cross, tegak dan angkuh, layaknya seorang ratu Yunani.

Tapi wajar saja Lavinia angkuh, toh wanita itu sudah memenangi perhatian dari salah seorang pria yang paling berkuasa di London.

Ia juga akan sangat angkuh kalau bisa mewujudkan hal serupa. Pippa mengenyahkan pemikiran itu dan suatu emosi baru yang tidak menyenangkan yang meliputinya karena pemikiran tersebut, lalu berbalik untuk menutup pintu jalan rahasia. Seharusnya ia sudah menduga kalau Cross memilih ruangan dengan jalan yang mengarah ke ruang kantor –Cross bukan jenis pria yang mengandalkan kebetulan.

Dan mungkin Cross bukan jenis pria yang senang kalau ia terjatuh dari dinding ke dalam kantor... dan kalau apa yang tanpa disengaja telah ia dengar dapat dipercaya... ke dalam percapakan yang sangat pribadi.

Tidak akan kubiarkan dia menyakitimu.

Dari balik dinding sekalipun Pippa mendengar ketegasan pada nada suara Cross. Komitmen. Dari balik dinding sekalipun, ia merasakan kata-kata itu seperti pukulan. Jelas sekali Cross peduli kepada wanita itu. Cukup peduli sehingga bisa meninggalkannya di sebuah ruangan yang terkunci demi menemui sang lady.

Semestinya Pippa tidak kecewa. Toh, yang ada di antara mereka merupakan suatu kemitraan, bukan hubungan istimewa.

Ini bukan waktu yang tepat untuk merasa cemburu. Bukan tempat yang tepat untuk itu. Tidak ada kecemburuan dalam ilmu pengetahuan.

Tapi ternyata... kecemburuan itu ada.

Pippa tahu seharusnya ia tidak cemburu. Seharusnya ia marah. Cross telah menodai kesepakatan mereka dengan mencuranginya dengan dadu yang dipasangi beban serta kebohongan-kebophongan yang licik. Ya. Malah, karena itulah ia datang ke sini dalam keadaan berang, kan? Kalau ia kecewa, itu karena alasannya, tidak lebih.

Yang pasti bukan karena Cross meninggalkannya untuk wanita ini.

Seharusnya ia sama sekali tidak kecewa dalam masalah itu.

Namun, rasanya itulah yang membuatnya kecewa.

Aneh.

Setelah lorong ditutup, Pippa berbalik menghadap Cross dan Lady Dunblade. Melihat amarah di wajah Cross dan keterkejutan di wajah Lady Dunblade, Pippa mengucapkan hal pertama yang terbesit di benaknya. “Maaf kalau aku mengganggu.”

Terjadi keheningan sesaat, selagi mereka mendengarkan kata-kata itu, sebelum keduanya bicara.

“Kami sudah selesai,” ujar Lavinia, bahunya ditegakkan ketika sepertinya ia teringat kepada di mana ia berada, mundur ke arah pintu. “Aku mau pergi.”

“Apa yang kau lakukan di lorong itu? Sudah kubilang jangan tinggalkan ruangan tadi,” kata Cross pada waktu yang bersamaan.

“Kau meninggalkanku di ruangan yang dikunci dan berharap aku tidak akan berusaha meloloskan diri?” sergah Pippa, tidak bisa menghapus nada frustasi dari suaranya.

“Aku berharap kau akan menjauhkan dirimu sendiri dari bahaya.”

Mata Pippa membelalak. “Bahaya apa yang bisa menimpaku?”

“Di lorong rahasia yang gelap di sebuah klub judi? Kau benar. Tidak ada bahaya sama sekali.”

Pippa mundur selangkah. “Sarkasme tidak cocok untukmu, Mr. Cross.”

Cross menggelengkan kepala saking frustasinya lalu menoleh kepada Lavinia, yang sudah sampai di pintu. “Kau tidak boleh pergi.”

Mata wanita itu disipitkan. “Kita sudah selesai. Aku sudah menyampaikan pesanku. Dan jelas aku akan pergi.”

Pippa bersandar ke lukisan dari mana ia keluar, sementara Cross melangkah ke arah Lavinia, emosi yang terkandung dalam kata-katanya terdengar jelas. “Lavinia...,” mulainya sebelum wanita itu mengangkat sebelah tangan dan menghentikannya.

“Tidak. Kau yang membuat keputusan. Kau tidak bisa mengubah masa lalu.”

“Sial, bukan masa lalu yang hendak kuubah. Melainkan masa depan.”

Lavinia membalikkan badan dan beranjak ke pintu yang mengarah ke arena kasino. “Masa depan tidak berada dalam kendalimu.”

Pippa memperhatikan mereka, kepalanya dipalingkan dari yang satu ke yang satu lagi, seolah mereka sedang bertanding bulutangkis, pertanyaan bermunculan, menuntut fakta. Apa yang telah terjadi di masa lalu mereka? Apa yang sedang terjadi sekarang sehingga mengancam masa depan mereka? Apa hubungan mereka?

Dan di sana, mencari jawaban, Pippa melihat kesedihan mendalam Cross.

Cross menyayangi Lavinia.

Pippa menegang karena pemikiran yang terakhir, pemikiran itu meresahkan dan tidak menyenangkan.

Tangan Lavinia meraih gagang pintu dan Cross mengumpat. “Sial, Lavinia. Separuh London ada di luar sana. Kalau terlihat, kau akan hancur.”

Lavinia menoleh ke balik bahunya. “Bukankah aku sudah berada di jalan itu?”

Apa maksudnya?

Mata Cross disipitkan. Tidak kalau aku bisa menghentikannya. Biar kuantar kau pulang.”

Lavinia menoleh kepada Pippa. “Bagaimana dengan Lady Philippa?”

Cross menoleh kepada Pippa, keterkejutan terpancar dari matanya, seolah ia sudah lupa Pippa ada di sana. Pippa tidak menggubris kekecewaan yang tersulut oleh pemikiran tersebut. “Biar kuantar kalian berdua pulang.”

Pippa menggelengkan kepala. Apa pun yang terjadi di sini bersama Lady Dunblade, itu tidak mengubah rencananya untuk malam ini. Mangabaikan rasa sesak di dadanya yang diakibatkan oleh penemuan sebelumnya –hunjaman yang sudah mulai familier –ia berkata, “Aku tidak mau pulang.”

Pada saat yang bersamaan, Lavinia berkata, “Aku tidak mau ke mana pun bersamamu.”

Cross meraih salah satu tuas yang ada di dinding di belakangnya. Menariknya dengan lebih kuat daripada yang dibutuhkan. “Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sini, tapi aku juga tidak akan membiarkanmu menghancurkan dirimu sendiri. Kau harus diantar pulang.”

Kengerian menyertai nada suara sang baroness. “Lagi-lagi, kau menyerahkanku ke tangan orang lain.”

Cross memucat sewaktu mendengar kata-kata itu, tiba-tiba ruangan terasa terlalu kecil, dan Pippa merasa canggung. Ada sesuatu yang sangat erat di antara kedua orang ini, di dalam bagaimana mereka saling berhadapan, keduanya tidak mau mundur. Ada kemiripan di dalam diri mereka –di dalam cara mereka berdiri tegak dan menolak untuk menyerah.

Tidak diragukan lagi kalau mereka punya masa lalu. Tidak diragukan lagi kalau mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.

Tidak diragukan lagi kalau pada suatu masa mereka saling menyayangi.

Mungkin masih.

Pemikiran tersebut membuat Pippa berharap ia bisa merangkak kembali ke balik lukisan dan mencari cara lain untuk keluar dari klub. Ia berbalik untuk melakukannya, menarik bingkai yang berat, lebih memilih ruang permainan dadu yang kosong dan terkunci ketimbang ruangan ini.

Tapi kali ini, waktu lukisan mengayun terbuka, ada seorang pria di lorong. Pria berkulit coklat dan berbadan besar itu tampak keget begitu melihat Pippa sebagaimana Pippa kaget begitu melihatnya. Mereka saling berpandangan selama beberapa saat sebelum Pippa berkata, “Permisi. Aku mau lewat.”

Dahi pria itu dikerutkan lalu ia menoleh dengan ekspresi bingung kepada Cross, yang mengumpat kasar dan berkata, “Dia tidak akan ke mana-mana.”

Pippa kembali menoleh kepada Cross. “Aku akan baik-baik saja.”

Cross menatap Pippa , mata kelabunya serius. “Kau mau ke mana?”

Pippa tidak terlalu yakin. “Ke...” Ia melambaikan tangan ke kegelapan di belakang pria besar yang menghalangi jalannya. “Dinding.”

Cross tidak menghiraukan Pippa, perhatiannya dialihkan ke pria di dinding. “Antar Lady Dunblade pulang. Pastikan dia tidak terlihat.”

Pippa menjulurkan kepalanya untuk memandang pria besar itu –lebih besar daripada pria mana pun yang pernah ia jumpai. Sulit rasanya membayangkan pria itu pandai melarikan wanita dari suatu pertemuan tengah malam, tapi Cross pria flamboyan yang legendaris, jadi mungkin ini bukan pertama kalinya pria itu diminta melakukannya.

“Aku tidak akan ikut dengannya,” tukas Lavinia dengan tegas.

“Kau tidak punya pilihan,” kata Cross, “kecuali kalau kau mau aku yang mengantarmu.”

Pippa mendapati bahwa ia tidak menyukai gagasan tersebut, tapi tetap diam.

“Dari mana aku tahu aku bisa memercayainya?”

Cross mengarahkan pandangannya ke langit-langit, lalu kembali ke Lavinia. “Kau tidak tahu. Tapi menurutku pilihanmu tentang siapa yang bisa dipercaya atau tidak  sangat mudah berubah, jadi mengapa tidak memasukkannya ke kolom bisa dipercaya?”

Mereka saling bertatapan, dan Pippa bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Ia tidak akan kaget kalau Lavinia membuka pintu utama kantor Cross lalu berderap angkuh dan anggun ke arah kasino, hanya untuk membuat Cross kesal.

Apa yang telah Cross lakukan kepada Lavinia?

Apa yang telah Lavinia lakukan kepada Cross?

Setelah beberapa saat, Pippa tidak kuasa menahan diri. “Lady Dunblade?”

Lavinia menatap matanya, dan Pippa bertanya-tanya apa ia pernah bercakap-cakap dengan wanita ini. Rasanya belum. Sekarang, saat ini, ia yakin bahwa kalau pernah, ia pasti mengingat pejuang angkuh bermata coklat dengan rambut yang seperti lidah api ini. “Ya?”

“Apa pun masalahnya,” kata Pippa, bimbang mengucapkan kata-katanya, “itu tidak sepadan dengan reputasimu.”

Terjadi kesunyian sejenak selagi kata-kata itu menyelimuti ruangan, dan selama sesaat, Pippa mengira sang baroness tidak akan bereaksi. Tapi wanita itu bereaksi, menopangkan berat badannya ke tongkatnya, lalu menyeberangi ruangan untuk membiarkan si pria besar, yang masih ada di dalam, membantunya naik ke lorong yang gelap.

Sesampainya di sana, Lavinia menoleh ke belakang, menatap mata Pippa. “Aku bisa mengatakan hal yang sama kepadamu,” ujarnya. “Apa kau mau bergabung denganku?”

Pertanyaan itu menggantung di tengah mereka, dan entah bagaimana Pippa tahu bahwa jawabannya bukan hanya berdampak terhadap aktivitas malam itu. Ia tahu bahwa ya akan menjauhkannya dari Cross selamanya. Dan tidak akan mempertahankannya di dekat pria itu untuk waktu yang sangat lama.

Lebih lama daripada yang ia rencanakan.

Pippa menoleh kepada Cross, mata kelabu pria itu menatap matanya, tak terbaca namun tetap sangat kuat –bisa membuat napasnya bertambah cepat dan membuatnya kewalahan. Ia menggelengkan kepala, tidak bisa memalingkan wajahnya. “Tidak. Aku mau tetap di sini.”

Cross bergeming.

Lavinia bicara. “Aku tidak tahu mengapa kau ada di sini, Lady Philippa, tapi aku bisa memberitahukan ini kepadamu... apa pun yang sudah pria ini janjikan kepadamu, apa pun yang menurutmu bisa kau dapatkan dari hubungan kalian, jangan harap kau akan menerimanya.” Pippa tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Ia tidak harus melakukannya. “Reputasimu sedang dipertaruhkan.”

“Aku akan berhati-hati,” kata Pippa.

Salah satu alis coklat kemerahan sang baroness diangkat saking tidak percayanya ia, dan sesuatu melintas, familier, ada lalu sirna sebelum Pippa bisa memahaminya. “Pastikan itu.”

Sang baroness menghilang ke dalam kegelapan jalan rahasia, si pria besar mengekor di belakangnya. Pippa memperhatikan mereka pergi, cahaya dari lentera si pengawal bertambah redup di sudut sebelum ia menutup lukisan itu kembali lalu berbalik menghadap Cross.

Cross tampak lelah. Bahunya terkulai, nyaris terkesan seperti menyerah, dan bahkan Pippa –yang rasanya tidak pernah bisa membaca emosi orang-orang di sekelilingnya dengan tepat –mengerti kalau Cross telah terluka dalam pertempuran yang berlangsung di ruangan ini barusan.

Tidak kuasa menahan diri, Pippa menghampiri Cross, roknya menyapu sempoa besar yang terdapat di salah satu sisi ruangan, dan suara yang ditimbulkan menyadarkan Cross dari lamunan. Cross mendongak, mata kelabunya menatap mata Pippa, menghentikan langkah Pippa.

“Seharusnya kau ikut dengannya.”

Pippa menggelengkan kepala, kata-katanya tertahan di tenggorokan sewaktu ia berkata, “Kau sudah berjanji akan membantuku.”

“Bagaimana kalau aku bilang aku ingin membatalkan kesepakatan kita?”

Pippa memaksakan diri untuk mengulas senyum. “Keinginan itu tidak berbalas.”

Mata Cross bertambah gelap, satu-satunya bagian dari dirinya yang bergerak. “Nantinya akan berbalas.”

Pippa tidak bisa menahan diri. “Siapa dia?”

Pertanyaan tersebut bak membuyarkan mantra, dan Cross memalingkan wajahnya, mengitari tepi mejanya, menempatkan permukaan eboni lebar itu di tengah mereka lalu berkutat dengan kertas-kertas yang ada di meja. “Kau tahu dia siapa.”

Pippa menggelengkan kepala. “Aku tahu dia Baroness Dunblade. Siapa dia bagimu?”

“Itu tidak penting.”

“Justru sebaliknya, itu sangat penting.”

“Seharusnya tidak bagimu.”

Betapa pentingnya hal itu terasa agak meresahkan. “Namun itu penting bagiku.” Pippa berhenti sebentar, berharap Cross akan memberitahunya, tahu bahwa permintaannya sia-sia, tapi tetap tidak mampu mencegah dirinya bertanya. “Apa kau sangat menyayanginya?”

Jangan katakan. Aku tidak mau tahu.

Tapi Pippa mau tahu. Mau sekali.

Saat Cross tidak menjawab, Pippa menambahkan, “Aku bertanya hanya karena aku penasaran mengapa kunjungannya bisa membuatmu mengurungku di ruang permainan dadu untuk waktu yang tak bisa ditentukan.”

Cross mendongak. “Waktunya bisa ditentukan.”

Pippa beranjak untuk berdiri di seberang meja. “Bukan olehmu.”

“Bagaimana caranya kau bisa menemukan jalan itu?”

“Kau pasti kaget kalau mengetahui apa yang bisa dilakukan oleh kejengkelan untuk membantu komitmen seseorang dalam mencapai tujuan.”

Salah satu ujung bibir Cross berkedut. “Kurasa yang kau maksud mengurunganmu?”

“Dan kecuranganmu,” Pippa menambahkan.

Pandangan Cross tertuju ke dadu yang Pippa letakkan di pinggir meja. “Itu dadu kemenangan.”

“Kau pikir aku peduli ketidakjujurannya ditujukan untuk menang atau kalah? Namanya tetap curang.”

Cross tertawa, suaranya datar. “Tentu saja kau tidak peduli. Itu demi kebaikanmu sendiri.”

“Dan jumlah tujuhnya?”

“Juga dipasang beban.”

Pippa mengangguk. “Sembilan yang kudapatkan pada siang yang pertama itu? Taruhan yang membuatku pulang, berjanji tidak akan menemui pria lain?”

Cross menuang segelas scotch untuk dirinya sendiri. “Itu juga.”

Pippa mengangguk sekali. “sudah kubilang aku tidak suka pembohong, Mr. Cross.”

“Dan sudah kubilang, bajingan berbohong. Sudah waktunya kau belajar.”

Pria itu menjengkelkan. “Kalau semua kebohongan yang bisa diungkapkan dengan mudah seperti dadu konyolmu yang dipasangi beban, kurasa aku akan baik-baik saja di dunia ini.”

“Aku kaget kau menyadarinya.”

“Mungkin wanitamu yang lain tidak akan memperhatikan enam dan tiga yang muncul berturut-turut,” ujar Pippa, tidak sanggup menghapus nada kesal dari kata-katanya, “tapi aku ilmuwan. Aku memahami hukum probabilitas.”

“Wanitaku yang lain?” tanya Cross.

“Miss Tasser... Lady Dunblade... wanita mana saja yang sudah kau bohongi,” sahut Pippa, berhenti sebentar karena gambaran yang diciptakan oleh kata-katanya dan tidak menyukainya. “Bagaimanapun juga, aku tidak seperti mereka.”

“Kau tidak seperti wanita mana pun yang pernah kukenal.”

Kata-kata itu menyakitkan. “Apa maksudnya.”

“Yah, sebagian besar wanita tidak membuatku kesal sampai sesering ini.”

“Menarik sekali, karena aku belum pernah berjumpa dengan pria yang membuatku jengkel sampai sesering ini.” Pippa menunjuk lukisan. “Seharusnya kau tidak mengurungku di ruangan itu.”

Cross menenggak minumannya banyak-banyak lalu mengembalikan gelas ke tempatnya di bufet. “Percayalah, kau sangat aman di sana.”

Pippa tidak merasa tak aman, tapi bukan itu intinya. “Bagaimana kalau aku fobia?”

Kepala Cross terangkat, matanya langsung menatap mata Pippa. “Apa kau fobia?”

“Tidak. Tapi bisa saja.” Pippa ragu. “Bagaimana kalau terjadi kebakaran?”

Tatapan Cross tidak goyah. “Aku akan menjemputmu.”

Keyakinan Cross membuat Pippa tertegun sesaat. Setelah pulih, ia bertanya. “Lewat jalan ajaibmu?”

“Ya.”

“Kalau api sudah menghancurkannya?”

“Aku akan mencari cara untuk menjemputmu.”

“Aku harus memercayainya?”

“Ya.” Cross terdengar sangat yakin, seolah tidak ada yang dapat menghentikannya.

“Mengapa?”

“Karena itu benar.” Kata-kata tersebut terdengar sangat pelan di ruangan yang kecil dan tertutup, dan Pippa menyadari dua hal saat itu. Pertama, bahwa mereka berdua sudah mencondongan badan ke depan, di atas papan eboni yang lebar, hingga mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.

Dan kedua, bahwa ia percaya kepada Cross.

Pria itu pasti menjemputnya.

Pippa menghela napas panjang, lalu berkata, “Tapi malah aku yang datang mencarimu.”

Salah satu ujung bibir Cross terangkat mengulas senyum tanggung. “Kau tidak tahu ke mana jalan itu mengarah.”

Segala sesuatu di dalam diri Cross, matanya, suaranya, aroma cendana dari tubuhnya menggoda Pippa, dan Pippa mencondongkan badan di tepi meja sambil memejamkan mata dan mereswapi momen itu, menikmati keberadaan Cross. Ketika Pippa bicara, kata-katanya tidak lebih dari sekedar bisikan. “Aku berharap jalan itu akan mengarah ke tempat yang menyenangkan.”

Mengarah kepadamu.

Cross langsung mundur, seolah Pippa mengucapkan kata-kata itu keras-keras, menyadarkan Pippa dari lamunannya. “Kalau begitu, aku menyesal jalan itu membawamu ke sini.”

Pippa ikut menegakkan badan, mengalihkan perhatiannya ke lukisan dari mana ia datang –lukisan yang tidak terlalu ia perhatikan pada kedua kesempatan pertama yang ia habiskan di ruangan ini dan sekarang seolah menelan ruangan, membuat salah satu dinding kantor tampak kerdil, lebarnya satu setengah meter dan tingginya dua kali lipat, eksentrik sekaligus indah dan sangat menarik.

Di tengah lukisan itu, seorang wanita yang berselubung linen putih berbaring telentang dengan pasrah, lengannya terentang di atas kepala, rambut pirangnya terurai sampai ke lantai, tergerai bebas. Kulitnya pucat dan sempurna, dan merupakan satu-satunya sumber cahaya yang ada di lukisan itu, sangat terang sehingga dibutuhkan waktu sesaat untuk melihat apa yang mengintai di balik kegelapan kamar tidurnya.

Di salah satu sisi, di balik tirai beludru merah, seekor kuda hitam besar mengintip, dengan mata liar yang menyeramkan dan mulut yang terbuka lebar serta dipenuhi oleh gigi putih yang besar. Binatang itu tampaknya sedang memperhatikan sosok yang sedang tidur, seolah ia bisa merasakan mimpi-mimpi si wanita dan hanya sedang menunggu waktu sebelum ia menyerang.

Tapi kuda jantan itu harus menunggu, karena di tubuh panjang si wanita, pada rentangan gelap di tengah payudara dan paha, terdapat sosok mungil yang buruk rupa, separuh binatang, separuh pria. Makhluk itu seolah sedang memandang ke luar lukisan, menatap mata siapa pun yang berani melihat. Ekspresi di wajah goblin itu sabar sekaligus posesif, seolah ia rela menunggu selamanya sampai sang lady terbangun –dan berjuang mati-matian demi mempertahankan wanita itu.

Itu merupakan benda paling menarik yang pernah Pippa lihat, penuh skandal dan cabul. Ia mendekat. “Lukisan ini... lukisan ini luar biasa.”

“kau menyukainya?” Pippa mendengar nada kaget pada suara Cross.

“Menurutku orang tidak menyukainya. Menurutku orang terpukau olehnya.” Pippa ingin mengulurkan tangan dan membangunkan wanita yang ada di dalam lukisan, dan memperingatkan tentang apa yang pasti merupakan awal dari suatu kematian yang mengerikan. “Di mana kau menemukannya?”

“Lukisan itu digunakan untuk membayar utang,” ujar Cross, lebih dekat, lalu Pippa menoleh ke balik bahunya dan mendapati pria itu berada di pinggir meja, sebelah tangan ditopangkan di atas permukaan eboni, memperhatikannya menghampiri lukisan minyak itu.

“Pasti utang yang sangat besar.”

Cross menganggukkan kepala. “Aku sangat menyukai lukisan ini sehingga mengizinkan utangnya dihapus dari buku... bebas dan bersih.”

Pippa tidak kaget kalau Cross tertarik kepada lukisan ini –kepada kecabulan yang terdapat dalam setiap sapuan kuasnya, kepada kebejatan dari kisah yang dituturkan olehnya. Pippa menoleh lagi, kembali tertarik kepada makhluk aneh yang duduk di atas wanita yang sedang tidur. “Apa ini?” tanyanya, menyulurkan tangan ke pria kecil itu, takut menyentuhnya.

“Itu incubus.” Cross terdiam sebentar. “Mimpi buruk. Iblis yang muncul pada malam hari dan menyakiti orang-orang yang tengah terlelap. Yang pria memangsa wanita cantik.”

Ada sesuatu dalam cara Cross berbicara, pertanda dari... kenangan? Pippa pun menoleh kepadanya. “Mengapa kau memajangnya?”

Cross sudah tidak memperhatikan Pippa, alih-alih, ia menunduk memandangi meja, mengangkat dadu yang Pippa letakkan di sana, menggenggamnya. “Aku tidak terlalu suka tidur,” sahut Cross, seolah itu jawaban yang masuk akal.

Mengapa tidak?

Pippa ingin bertanya, tapi tahu bahwa Cross tidak akan memberitahunya. “Aku tidak kaget, mengingat kau menghabiskan sebagian besar siangmu di bawah bayangan lukisan ini.”

“Lama-lama akan terasa nyaman.”

“Aku meragukannya,” ujar Pippa. “Seberapa sering kau menggunakan lorong yang tadi?”

“Rasanya aku tidak terlalu membutuhkannya.”

Pippa tersenyum. “Jadi aku boleh memanfaatkannya?”

“Kau tidak menggunakannya dengan baik. Aku langsung dengar begitu kau mendekat.”

“Tidak mungkin.”

“Sungguh. Kau pasti terkejut kalau mengetahui bahwa kau tidak terlalu pandai menyalip, lady Philippa.”

“Aku tidak punya banyak alasan untuk melakukannya, Mr. Cross.”

Salah satu ujung bibir Cross terangkat membentuk sesuatu yang menyerupai senyum. “Hingga baru-baru ini.”

“Tempat ini mengharuskanku menyelinap, bukan begitu menurutmu?”

“Yah, menurutku begitu.”

Cross mengembalikan dadu ke meja dengan suara pelan, dan kubus-kubus putih itu menarik perhatian Pippa. “Nah, kalau tidak salah, kau berutang jawaban untuk tiga pertanyaan kepadaku. Empat, kalau kau menghitung pertanyaan yang belum kau jawab.”

Di tengah kesenyapan yang menyusul pernyataan tersebut, Pippa tidak dapat mencegah dirinya mengangkat pandangan ke mata Cross. Pria itu sedang menunggunya. “Semua dadunya dipasangi beban. Aku tidak berutang apa-apa kepadamu.”

Alis Pippa menyambung. “Justru sebaliknya, kau berutang banyak padaku. Aku percaya kau mengatakan yang sebenarnya.”

“Salahmu, bukan salahku.”

“Kau tidak malu sudah berbuat curang?”

“Aku malu aku ketahuan.”

Pippa merengut. “Kau menganggapku remeh.”

“Agaknya begitu. Aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Aku tidak akan memiliki kesempatan untuk melakukannya.”

Pippa langsung mengangkat kepalanya. “Kau mau mengingkari janjimu?”

Cross mengangguk. “Benar. Aku mau kau keluar dari tempat ini. Selamanya. Kau tidak pantas berada di sini.”

Pippa menggelengkan kepala. “Kau bilang kau tidak akan mengingkari janjimu.”

“Aku bohong.”

Kata-kata yang tak terduga itu mengejutkan Pippa, sampai-sampai ia mengucapkan satu-satunya hal yang terbersit di benaknya. “Tidak mau.”

Kekagetan terpancar dari mata Cross. “Tidak mau?”

Pippa menggelengkan kepala, beranjak maju lalu berhenti sekitar tiga puluh sentimeter di depan Cross. “Aku tidak mau pergi.”

Cross mengangkat dadunya lagi, dan Pippa mendengar suara gading yang berbenturan dengan gading sewaktu pria itu memainkannya di telapak tangan. “Atas dasar apa kau menolak pergi?”

“Atas dasar bahwa kau berutang padaku.”

“Apa kau berencana untuk menyeretku ke pengadilan?” tanya Cross dengan datar.

“Aku tidak perlu melakukannya,” sahut Pippa, memainkan kartu terakhirnya yang paling kuat. “Aku hanya perlu membawamu ke hadapan kakak iparku.”

Terjadi kesunyian sesaat selagi kata-kata tersebut dicerna, dan mata Cross membelalak, sedikit, sudah cukup untuk dilihat oleh Pippa sebelum pria itu menghilangkan jarak di antara mereka dan berkata, “Ide bagus. Ayo, ceritakan semuanya kepada Bourne. Menurutmu dia akan memaksaku memenuhi kesepakatan kita?”

Pippa tidak sudi digertak. “Tidak. Menurutku dia akan membunuhmu karena bersedia membuat kesepakatan itu. Apalagi begitu dia tahu kalau itu dinegosiasikan oleh seorang pelacur.”

Emosi membara di mata kelabu Cross yang serius, kekesalan dan... kekaguman? Apa pun itu, emosi itu hampir langsung sirna seperti lentera di salah satu jalan rahasia Cross yang gelap. “Cerdik sekali, Lady Philippa.” Kata-kata tersebut terasa sangat lembut sewaktu meluncur di kulit Pippa.

“Kurasa begitu.”

Cross berada sangat dekat. “Kau mau mulai dari mana?”

Pippa mau mulai dari mana mereka berhenti. Cross tidak bisa meloloskan diri sekarang, tidak selagi mereka berdiri di sini... di sebuah klub judi, hanya beberapa puluh sentimeter jauhnya jari dosa, maksiat, dan separuh penduduk London yang pasti akan menjatuhkan Pippa habis-habisan kalau mereka sampai menemukannya.

Dan beberapa sentimeter jauhnya dari satu sama lain.

Inilah risiko yang Pippa berjanji akan ia tanggung; wawasan Cross adalah imbalannya.

Semangat meliputi Pippa, menjanjikan lebih dari yang ia harapkan saat ia meninggalkan rumah malam ini. “Aku mau memulai dari berciuman.”






1 komentar:

  1. Halo kak, penasaran banget sm kelanjutan ceritanya si cross ama pippa ini.

    BalasHapus