Rabu, 05 Juni 2019

Beyond the Highland Mist #4

“Dia setinggi Janet.”

“Tingginya jauh berbeda.”

“Hus! Dia memang Janet! Atau kepala kita akan dipancung.”

“Apa yang terjadi pada Janet?” Adrienne bertanya dengan lembut. Ia tak heran saat mulut keenam gadis pelayan itu langsung tertutup rapat dan segera menaruh perhatian penuh mendandani Adrienne sambil terus membisu.


Adrienne memutar bola matanya. Jika mereka tak mau bercerita apapun tentang Janet, mungkin mereka tak mau membuka mulut tentang calon suaminya.

“Jadi, siapa pria yang akan kunikahi ini?” Sidhawk Douglas. Nama macam apa itu, Sidhawk?

Para pelayan terkikik seperti suara burung puyuh terkejut.

“Sejujurnya, nyonya, kami hanya pernah mendengar kisah tentangnya. Pernikahan ini diperintahkan sendiri oleh Raja James.”

“Apa ceritanya?” Adrienne bertanya dengan masam.

“Harta rampasannya legendaris!”

“Taklukannya ribuan. Kabarnya ia berkeliling di dunia hanya ditemani oleh gadis-gadis yang paling cantik.”

“Konon tak ada gadis cantik di seluruh Skotlandia yang belum pernah ia tiduri –”

“– di Inggris juga!”

“– dan ia tak bisa mengingat semua nama mereka.”

“Konon ia memiliki paras rupawan seperti dewa, dan tangan yang lihai dalam seni menggoda.”

“Ia kaya-raya dan kabarnya istana miliknya mewah tiada tara.”

Adrienne mengerjapkan mata. “Bagus. Lelaki mata keranjang yang tampan, materialistis, tukang selingkuh, congkak, tak peduli perasaan orang lain dan punya ingatan buruk. Dan dia milikku. Oh Tuhan, apa salahku harus menanggung semua ini?” ujarnya.

Dua kali, ia membatin.

Lisbelle menatapnya penasaran. “Tapi kabarnya ia adalah pecinta ulung dan berwajah sangat tampan, nyonya. Apa salahnya dengan itu semua?”

Kurasa kau tak mengerti dunia ini, Janet Comyn. Mungkin Red Comyn benar. “Apakah ia suka memukuli wanitanya?”

“Ia tak pernah cukup lama bersama wanita, begitu kata orang.”

“Tapi, aku mendengar kabar ada wanitanya yang mencoba membunuhnya baru-baru ini. Aku tak tahu mengapa,” sang pelayan menambahkan, terlihat benar-benar bingung. “Kata orang, ia dermawan sekali pada wanita-wanita yang selesai bersamanya.”

“Bisa kubayangkan,” Adrienne menggerutu jengkel, seketika menjadi tak sabar dengan segala kegiatan mencabut, mengencangkan, menghias, dan mengatur yang terjadi di tubuhnya. “Stop, stop.” Ia menepis tangan Lisbelle dari rambutnya, yang sebelumnya sudah dicuci, disisir dengan ganas dan disiksa lama seolah-olah bertahun-tahun.

“Tapi nyonya, kita harus lakukan sesuatu dengan rambut ini. Ini lurus sekali! Nyonya harus terlihat cantik –”

“Sebenarnya, aku lebih suka terlihat seperti habis digondol kucing. Basah, kusut dan berbau seperti tumpukan tinja.”

Terdengar suara-suara menarik napas. “Nona, ia akan jadi suamimu, dan kau bisa saja mendapatkan yang jauh lebih buruk,” terdengar suara yang tegas bergema di seluruh ruangan. Adrienne menoleh pelan-pelan dan menatap sorot mata bijak milik seorang wanita yang seketika itu juga ia rasa memiliki ikatan dengannya. “Seperti misalnya suamiku.”

Adrienne menarik napas. “Laird Comyn?”

Ayahmu, putriku sayang,” Lady Althea Comyn berkata sambil tersenyum kecut. “Pergilah –kalian semua.” Ia mengusir para pelayan keluar dari ruangan dengan kibasan anggun, matanya menatap Bess lebih lama. “Ia akan membunuh gadis itu suatu hari nanti, pasti,” ia berkata lembut. Ia memejamkan matanya dalam waktu lama.

“Dia sudah menjelaskan apa yang harus dilakukan?”

Adrienne mengangguk.

“Dan kau akan mematuhinya?”

Sekali lagi Adrienne mengangguk. Lady Comyn menghela napas lega.

“Jika ada waktunya kelak aku bisa membalas kebaikan –”

“Ini bukan kebaikan. Ini untuk menyelamatkan hidupku.”

“ –kau hanya perlu meminta. Karena itu menyelamatkan hidupku.”


***


Adrienne berdiri tegak di hadapan pendeta, memenuhi perannya dalam sandiwara ini. “Aku Janet Comyn,” ia berkata lantang. Pendeta itu pucat dan terlihat mencengkram kitab sucinya dengan ketat sampai buku jarinya seolah akan patah di sambungkan kitab suci yang ia pegang. Jadi ia tahu aku bukan Janet, pikir Adrienne. Apa yang sesungguhnya terjadi di sini?

Ia merasa ada yang berdiri di samping bahu kirinya, lalu dengan ogah-ogahan menengok ke arah pria yang akan ia nikahi. Matanya memandang ke daerah dadanya dan setiap jengkal bagian itu tertutup baja.

Adrienne mengangkat wajahnya dan menatap wajah tunangannya, saat ia menyadari bahwa ia tidak sedang berlutut. Dengan perasaan galau, ia mendongakkan kepalanya dan berusaha menelan ribuan protes yang menggumpal di tenggorokannya.

Raksasa lelaki itu memandangnya dengan ekspresi tak terlukiskan, bara api berkilau dari mata birunya yang bercahaya.

Aku tak bisa menikahinya, Adrienne menjerit dalam hati. Tak bisa!

Pandangan Adrienne beralih dari wajah lelaki itu dan menyapu ke para hadirin di ruangan itu, mencari seseorang yang bisa menyelamatkannya dari bencana ini. Bess duduk di barisan terdekat dengan mata terpejam berdoa.

Adrienne tersentak dan memejamkan matanya. Ya Tuhan, jika aku sudah gila, kembalikanlah kewarasanku. Dan jika aku tidak gila dan semua ini benar terjadi –ampuni aku karena tak pernah bersyukur atas abad dua puluh. Ampunilah aku atas semua yang kulakukan pada Eberhard. Ampuni aku atas segalanya, dan aku berjanji aku akan jadi orang yang lebih baik jika Kau KELUARKAN AKU DARI SINI!

Saat ia membuka matanya lagi, ia yakin sang pendeta mengetahui apa yang terjadi dan Adrienne melihat kilau senang di matanya.

“Tolong aku,” Adrienne berkata ke arahnya tanpa suara.

Dengan segera, sang pendeta menurunkan pandangannya ke arah lantai, dan tak lagi mengangkat pandangannya.

Adrienne menyeret pandangannya ke bagian tengah tubuh mempelai prianya, lalu ke atas, ke arah wajahnya yang tampan.

Ia mengangkat sebelah alisnya sambil memandang ke arah Adrienne, saat suara suling terdengar, irama musik naik menjadi riang dan cepat.

Adrienne terselamatkan dari tatapan mempelainya saat ia mendengar keributan terjadi dan suara “ayahnya” yang penuh amarah menggema.

“Kenapa ia tak bisa datang sendiri ke sini?” Red Comyn berteriak ke arah seorang prajurit.

“Ada sedikit masalah di North Uster. Hawk harus segera mengendarai kuda ke sana, tapi ia tak pernah melupakan sumpahnya. Ia tidak menghina keluarga.” Sang prajurit mengucapkan kata-kata yang telah dilatih sebelumnya.

“Ia menghina pernikahan ini dengan tak menghadirinya!” Lord Comyn meraung. Lalu ia menoleh pada pria yang berada di samping Adrienne. “Lalu kau siapa, yang menggantikannya?”

“Grimm Roderick, Kepal Pengawal Hawk. Aku diberi kuasa untuk datang menikahi putimu-”  

“Omong kosong! Beraninya ia tak datang sendiri meminang putriku?”

“Ini sesuatu yang resmi. Sang Raja akan mengetahui hal ini dan pernikahan ini sudah terlaksana.”

Adrienne tak bisa menyembunyikan rasa bahagia di wajahnya. Orang ini bukan suaminya!

“Apakah aku seburuk itu?” pria itu bertanya dengan senyuman mengejek, memergoki kelegaan Adrienne.

Sama jeleknya dengan sepiring stroberi yang dicelup coklat dan dibubuhi krim, pikirnya masam.

“Aku akan segera menikahi seekor kodok,” ujar Adrienne.

Lelaki itu tertawa dan membuat Adrienne tersenyum.

“Kalau begitu kau tidak beruntung, nyonya. Karena Hawk sama sekali tidak seperti kodok. Tapi jika aku yang sedang berada di sampingnya, aku akan terlihat seperti kodok. Bukan –seperti tuyul. Atau lebih parah, seperti kadal berkutil dan bertanduk. Seperti –”

“Aku tahu maksudmu.” Ya Tuhan, selamatkanlah aku dari kesempurnaan. “Lalu di mana ia, suamiku yang enggan itu?”

“Sedang menangani akibat dari suatu masalah serius.”

“Masalah apa?”

“Pemberontakan yang menyeramkan.”

“Di North Uster?”

“Dekat dari situ.” Bibir lelaki itu bergetar.

Adrienne dilingkupi perasaan terdesak. Bagaimanapun enggannya, hal ini akan tetap terjadi. Jika ia memang harus menghadapi hal yang tak ia ketahui, ia ingin menghadapinya sekarang. Menunggu hanya akan membuat segalanya lebih buruk, dan teriakan Lord Comyn yang tercampur dengan suara suling mulai mengganggu syarafnya. Aku gila, Janet? Tak apa. Sambil berdiri tegak, ia mengarahkan tubuhnya ke arah “ayah”nya yang masih berteriak dan berseru nyaring.

“Oh, diamlah, Ayah, dan teruskan saja acara ini! Aku punya pernikahan yang harus dijalani, dan ayah Cuma memperlambatnya. Memang kenapa kalau dia tak datang? Aku tak menyalahkannya.”

Seisi kapel sekonyong-konyong sunyi. Adrienne yakin ia merasakan pria di sampingnya bergetar menahan tawa, tapi ia tak berani menatap matanya lagi.

Bisikan-bisikan “Janet gila” bergema di seantero kapel, dan Adrienne mendadak merasa lega. Reputasi bahwa ia hilang ingatan ternyata bisa berguna. Asalkan ia menuruti kehendak Comyn untuk hari ini, ia bisa bersikap segila mungkin dan tak akan ada seorang pun yang menganggap itu aneh.

Adrienne kuatir ia tak bisa mengingat semua rincian yang diberitahu Comyn; khawatir ia akan keceplosan sesuatu dan seseorang dari keluarga suaminya akan menyadari bahwa ia bukan Janet yang asli. Jika samarannya terungkap, maka Comyn pasti akan memenuhi ancamannya untuk membunuhnya.

Tiba-tiba tekanan itu sirna begitu saja. Saat ini (jika ia memang berada di sini) ia adalah Janet Comyn yang gila. Bagaimana mungkin ia bisa bertanggung jawab atas segala hal tak masuk akal yang ia katakan atau perbuat? Status gilanya ini adalah jaminan untuk kebebasannya.

Jaminan untuk bersikap dan mengatakan apapun yang ia mau –tanpa ada akibat buruk kelak.

Tak ada Eberhard, tak ada senjata api, tak ada kenangan buruk.

Mungkin tempat ini tidak jelek-jelek amat.

***

Adrienne telah menginjakkan kakinya di tanah Dalkeith selama beberapa jam sampai akhirnya ia menemukan sebuah bengkel pandai besi. Setelah dua hari perjalanan dari Benteng Comyn ke tempat tinggalnya yang baru –Dalkeith-upon-the-Sea– dengan mengendarai kuda, ia berencana akan pingsan di ranjang lembut terdekat, tidur berhari-hari, dan saat ia bangun (jika ia masih ada di sini) mencari sebotol scotch dan minum sampai tak sadarkan diri. Lalu memeriksa kembali apakah ia masih ada di sini.

Bukan hanya ia tak bisa menemukan ranjang lembut di dalam istana yang hiruk-pikuk ini, tapi juga tak ada scotch, tak ada suami, dan semua orang mengacuhkannya. Sulit sekali untuk merasa betah. Grimm segera menjauhkan diri darinya sesampainya mereka di benteng Douglas yang berdinding batu granit merah muda, walaupun sepanjang jalan ia cukup baik.

Tapi Adrienne bukan orang bodoh. Ia tak perlu dipukul kepalanya untuk menyadari bahwa ia bukanlah istri yang diinginkan. Dinikahkan dengan perwakilan, tak ada penyambutan, tak ada tanda-tanda keberadaan suami. Benar-benar tak diinginkan.

Adrienne menyerah mencari suaminya, ranjang dan botol minuman dan pergi berjalan-jalan untuk lebih mengenal tempat tinggal barunya.

Lalu tanpa sengaja ia berjalan melewati pepohonan Rowan dan menemui tempat pandai besi di pinggir hutan. Ia melihat lelaki itu, hanya mengenakan kilt, memompa dan membentuk baja dalam bentuk sepatu kuda.

Adrienne mendengar dari perwakilan suaminya, bahwa suaminya itu terlalu rupawan, tapi lelaki satu ini memang membuat Grimm yang tampan itu terlihat seperti kodok.

Di abad dua puluh, sudah jarang ditemui lelaki yang terlihat kasar dan jantan seperti ini, ujar Adrienne dalam hati sambil mengamati lelaki itu bekerja. Jika melihat lelaki begini di abad dua puluh, seorang wanita akan melihat dibaliknya terdapat serangkaian peralatan angkat berat dan kebugaran, yang sebenarnya ditujukan untuk memuja diri sendiri. Tapi di abad ini, lelaki seperti ini ada semata-mata secara alamiah.

Dunia yang mereka diami menuntut pria menjadi kuat untuk hidup, untuk memerintah, untuk bertahan.

Saat sang pandai besi berputar untuk bertukar palu, Adrienne melihat tetesan keringat dari alisnya turun ke pipinya, lalu menetes ke dadanya, lalu mengalir kembali dengan perlahan ke otot perutnya yang liat. Lalu menuju pusarnya, dan ke pinggirin kiltnya, terus ke bawah. Adrienne memandangi kakinya dengan kagum, menunggu aliran keringat itu muncul kembali mengaliri paha yang kuat, lalu kemudian membayangkan apa yang dilewati di antaranya.

Hawa panas dari pembakaran serta perasaan yang Adrienne rasakan begitu intens sampai ia tak menyadari lelaki itu sudah berhenti bekerja selama beberapa saat.

Sampai akhirnya Adrienne mengangkat tatapannya dari dada sampai menatap mata lelaki itu tanpa senyuman.

Adrienne menarik napas.

Lelaki itu mendekat dan Adrienne sadar ia harus melarikan diri. Tapi ia juga menyadari ia tak bisa melakukan hal itu. Ada sesuatu tentang mata lelaki itu...

Tangannya dengan kasar mencengkram dagu Adrienne, memaksa kepalanya terdorong ke belakang sehingga mata Adrienne menatap matanya yang berwarna keperakan.

“Adakah sesuatu yang bisa aku lakukan untuk Anda, paduka ratu? Mungkin ada sesuatu yang ingin ditempa? Atau mungkin bisakah hamba menempa baja hamba di panasnya tempaan paduka?”

Mata Adrienne menyapu wajah lelaki itu dengan panik. Tenang, ia berkata pada dirinya sendiri.

Lelaki itu mengguncang Adrienne dengan kasar. “Anda menginginkan sesuatu dari saya?”

“Hawa pana, itu saja,” Adrienne menyahut.

“Ya, pasti hanya karena hawa panasnya, cantik.” Mata lelaki itu berkilau licik. “Ayo.” Ia menggamit tangan Adrienne dan mulai melangkah cepat.

“Tidak!” Adrienne menyentak tangannya.

“Ayo,” ia memerintah, dan Adrienne merasakan sensasi aneh yang merasuk ke dalam tubuhnya dari sepasang mata pria itu, dan segera ia menguatkan tekad untuk melawan kehendaknya. Hal itu membuatnya takut.

“Lepaskan aku!” ia berseru.

Mata lelaki itu menatap lebih dalam, dan walaupun mustahil, Adrienne merasakan bahwa ia sedang berjuang mempertahankan sesuatu yang penting. Ia tahu ia tak boleh ikut dengan lelaki ini, tapi ia tak tahu mengapa. Ia mencium adanya bahaya yang kelam dan purba. Bahaya yang ganjil dan kuno yang tak bisa ia kendalikan. Jika lelaki itu membuka mulut sekali lagi dan berkata “ayo”, ia mungkin akan patuh.

Lelaki itu membuka mulutnya sekali lagi. Adrienne mempersiapkan diri untuk perintah yang ia tahu akan ia patuhi.

“Lepaskan istriku,” sebuah suara berat terdengar memerintah dari belakang mereka.

***

Jadi pria si pandai besi ini bukan suaminya. Oh Tuhan, apa yang akan ia lihat jika ia membalikkan badannya? Benarkah ia?

Adrienne menoleh sedikit, seolah mengintip sedikit saja akan lebih aman. Mungkin dapat meminimalisasi dampaknya. Adrienne segera mendapati bahwa ia salah besar. Tak ada yang bisa meminimalisasi dampak yang diberikan lelaki itu.

Valhalla (surga bagi para prajurit dan ksatria viking) di sebelah kanan. Surga dunia di sebelah kiri.

Terperangkap di antara coklat Godiva dan kue sus coklat.

Di antara batu karang dan suatu tempat keras. Dua tempat yang sangat keras tampaknya. Aku benci lelaki tampan, ia berkata dalam hati. Benci. Benci. Benci. Tapi untuk menolaknya...

Sepasang tangan mencengkram pinggangnya dari belakang sambil sang pandai besi menarik Adrienne ke arah tubuhnya yang kekar.

“Lepaskan aku!” Adrienne menjerit, kabut tipis yang tadi menyelimuti otaknya kini terangkat.

Sang pandai besi melepaskannya.

Dan lelaki yang besar dan sangat tampan itu berdiri menghadap Adrienne –Hawk yang legendaris– melotot ke arah Adrienne seperti Odin yang siap menyambarkan halilintar ke arahnya. Adrienne mendengus.

“Jangan melotot padaku. Kau bahkan tak muncul di pernikahan kita.” Adrienne mulai memacu langkahnya. Jika ia adalah Janet, bagaimana perasaan Janet? Betapa buruknya dinikahi seperti barang dan diperlakukan buruk oleh keluarga besan! “Aku menghabiskan dua hari yang basah, apa di sini hujan pernah berhenti? Butuh dua hari untuk sampai ke sini! Grimm yang baik hati mencampakkan aku begitu kami tiba di Dalkeith. Kau bahkan tak ingin menyambutku. Tak ada yang menunjukkan kamarku. Tak ada yang menawarkan makan. Atau bahkan minum.” Adrienne menghentikan ocehannya sejenak dan bersandar pada sebatang pohon, berkacak pinggang sambil mengetuk-ngetukkan jari sebelah kakinya. “Lalu, karena aku tak bisa menemukan tempat untuk tidur karena takut aku tak dianggap oleh orang lain, aku bergentayangan sampai akhirnya kau bersedia muncul, dan sekarang kau melotot padaku? Wah, biar kuberitahu –”

“Diamlah.”

“Bahwa aku bukanlah perempuan yang bisa dikesampingkan dan duduk manis menerimanya. Aku tahu jika aku tak diinginkan –”

“Dijamin kau pasti diinginkan,” ujar sang pandai besi.

“Aku tak perlu dipukul dengan satu ton batu –”

“Kubilang diam!”

 “Dan aku bahkan tak menerima kado perkawinan!” Adrienne menambahkan, bangga bahwa ia terpikir akan hal itu. Ya, Janet pasti akan tersinggung.

“Diam!” Hawk meraung.

“Dan aku tak suka diperintah! Hmmpphh!” Adrienne menggerutu saat suaminya memisahkan mereka dan menjatuhkan Adrienne ke tanah. Saat tubuhnya menyentuh tanah dan serasa ada badak kecil menimpanya, Hawk menggulingkannya beberapa kali sambil menguci Adrienne dalam dekapannya. Adrienne bisa mendengar sang pandai besi bersumpah serapah lirih, lalu terdrngar suara sepasang kaki berlari.

“Jangan bergerak!” Hawk menggeram, napasnya hangat di telinga Adrienne. Baru beberapa saat kemudian Adrienne tersadar bahwa Hawk memeluknya sambil melindunginya, seakan menjadikan dirinya perisai. Adrienne mendongak melihat mata Hawk yang berwarna gelap mengawasi sekeliling dengan seksama.

“Sedang apa kau?” Adrienne berbisik, jantungnya berdegup kencang, karena dijatuhkan dengan kasar, Adrienne meyakinkan dirinya sendiri, bukan karena berada dalam pelukan lelaki kuat ini. Ia menggeliat.

“Kubilang jangan bergerak.”

Adrienne meronta, setengah menunjukkan kebenciannya, juga untuk membebaskan kedua kakinya dari tindihan Hawk di antara kedua kakinya, tapi hal itu malah membuat bokong Adrienne berada tepat di bawah – astaga – tak mungkin lelaki ini berjalan dengan itu ke mana-mana! Adrienne menyentakkan tubuhnya dengan kuat saat bersentuhan dan dengar suara benturan tulang bertemu tulang saat kepalanya membentur rahang Hawk. Hawk bersumpah serapah sambil berbisik, lalu terdengarlah tawa baritonnya menggema sambil kedua tangannya memeluk lebih erat.

“Kucing yang tak bisa diam, sepertinya?”

Adrienne meronta kasar. “Lepaskan aku!”

Tapi ia tak melepaskannya. Hawk hanya melonggarkan pelukannya untuk memutar Adrienne sehingga kini terlentang di atas Hawk, saling menghadap. Salah besar, Adrienne berkata dalam hati. Ini menimbulkan serangkaian masalah baru, mulai dari payudaranya yang terhimpit tubuh hawk, kakinya yang tersangkut di antara kaki Hawk, dan kedua tangan yang berada di dada Hawk. Pakaiannya yang terbuat dari kain linen putih terbuka dan hawa panas lelaki menguap dari dadanya yang bidang. Ada darah yang mengalir turun dari bibir bawahnya, dan untuk sesaat, Adrienne sempat berpikiran gila untuk menjilatnya. Dengan sebuah gerakan yang cepat dan anggun, Hawk memindahkan Adrienne ke bawahnya dan Adrienne pun kehabisan napas. Mulutnya terbuka. Ia menatap terkesima dan menyadari bahwa lelaki yang meminta diwakilkan untuk menikahinya ini akan menciumnya, dan ia pun tahu pasti hidupnya akan tak sama lagi jika hal itu terjadi.

Adrienne menggeram. Hawk tersenyum dan menurunkan kepalanya. Saat itu juga sang pandai besi kembali. “Tak ada apa-apa!” ia berseru. “Siapa pun itu, ia sudah pergi.”

Hawk menjauh dengan kaget dan Adrienne mengambil kesempatan itu untuk mendorongnya. Ia seperti sedang mencoba mendorong patung Sphinx ke sungai Nil.

Saat itulah Adrienne melihat anak panah yang masih bergetar tertancap di pohon tempat ia berdiri tadi, saat ia mengomeli suami barunya. Matanya membelalak lalu memandang Hawk tak mengerti. Ini semua terlalu aneh.

“Siapa yang sudah kau bikin kesal?” Suaminya mengguncangnya. “Siapa yang ingin membunuhmu?”

“Siapa bilang mereka bukan ingin membunuhmu, bahwa itu tadi tembakan yang meleset?”

“Tak ada yang ingin membunuhku.”

“Dari yang kudengar, kekasihmu yang terakhir mencoba melakukan itu,” Adrienne menyambar.

Hawk terlihat sedikit memucat di bawah kulitnya yang seperti tembaga.

Si pandai besi tertawa.

Leher Adrienne merasa kaku karena menatap ke atas. “Beranjak dariku,” ia menggerutu ke arah suaminya.

Adrienne tak siap saat pandangan mata Hawk menjadi suram dan ia berguling menjauh darinya.

“Walaupun kau terus-menerus menolakku, istriku, kurasa kau mungkin membutuhkanku,” Hawk berkata lembut.

“Kurasa tidak,” Adrienne menyambar.

“Aku ada di sini, kalau kau berubah pikiran.”

“Aku akan hadapi resikonya. Tak ada siapa-siapa yang menembakku sebelum kau muncul. Itu artinya ada dua percobaan atasmu, dan nol untukku.” Adrienne berdiri, menepis kotoran dari gaunnya. Debu dan kotoran menempel di bahan gaunnya yang berat. Ia mencabut beberapa helai daun dari rambutnya dan menepis debu dari bokongnya saat ia meraakan sebuah sensasi tidak nyaman. Pelan-pelan ia mengangkat pandangannya dari pakaiannya dan mendapati kedua lelaki itu sedang memandanginya dengan pandangan serigala. Serigala besar yang lapar.

“Apa?” Adrienne menukas.

Si pandai besi tertawa lagi. Suaranya dalam, gelap dan misterius. “Kurasa sang nona tak tahu betapa manisnya kekejaman yang tertarik atas kecantikannya.”

“Sudahlah,” Adrienne menjawab malas.

“Betapa indahnya semu sipu sang nona, begitu ranum, kaya dan teramat subur,” sahut suaminya tak mau kalah.

Adrienne menghentakkan kaki dan melotot ke arah mereka berdua. Mengapa ia tak ingat sajak-sajak Shakespeare saat ia butuh? “Betapa kukira engkau begitu rupawan dan cemerlang, namun ternyata segelap neraka sekelam malam,” Adrienne menggumam.

Kepala sang pandai besi terlempar ke belakang dan suara tertawanya menggema. Bibir suaminya mengulas senyum pertanda kagum akan kecerdasan Adrienne.

Hawk berdiri dan mengulurkan tangannya. “Berdamailah denganku.”

Damai. Lelaki ini bisa membuat bidadari menangis. Tapi Adrienne lapar, haus. Ia menggamit tangan Hawk, diam-diam bersumpah hanya itu yang ia akan ambil. Bukan yang lain.

Sambil suaminya membimbingnya pergi dari tempat itu, suara sang pandai besi terdengar terbawa oleh angin beraroma melati, dan Adrienne terkejut suaminya tak bereaksi. Itu artinya suaminya bukan orang yang posesif, atau ia memang tak mendengar. Tapi Adrienne mendengar dengan jelas kata-kata si pandai besi, “Wahai wanita yang bisa membuat lelaki lemah bagai kucing disuguhi susu, aku akan membawamu ke tempat yang hanya kau jumpai dalam mimpimu.”

“Mi mpi buruk,” Adrienne menggerutu, dan ia mendengar suaminya tertawa pelan di belakangnya.

Suaminya memandanginya penuh rasa ingin tahu. “Apa?”

Adrienne menghela napas. “Aku letih sekali. Aku harus segera tidur.”

Suaminya mengangguk. “Lalu kita akan bicara.”

Tentu. Jika aku terbangun dan masih ada di tempat terkutuk ini.



Synopsis

2 komentar: