“Tingginya
jauh berbeda.”
“Hus!
Dia memang Janet! Atau kepala kita
akan dipancung.”
“Apa
yang terjadi pada Janet?” Adrienne bertanya dengan lembut. Ia tak heran saat
mulut keenam gadis pelayan itu langsung tertutup rapat dan segera menaruh
perhatian penuh mendandani Adrienne sambil terus membisu.
Adrienne
memutar bola matanya. Jika mereka tak mau bercerita apapun tentang Janet,
mungkin mereka tak mau membuka mulut tentang calon suaminya.
“Jadi,
siapa pria yang akan kunikahi ini?” Sidhawk
Douglas. Nama macam apa itu, Sidhawk?
Para
pelayan terkikik seperti suara burung puyuh terkejut.
“Sejujurnya,
nyonya, kami hanya pernah mendengar kisah tentangnya. Pernikahan ini
diperintahkan sendiri oleh Raja James.”
“Apa
ceritanya?” Adrienne bertanya dengan masam.
“Harta
rampasannya legendaris!”
“Taklukannya
ribuan. Kabarnya ia berkeliling di dunia hanya ditemani oleh gadis-gadis yang
paling cantik.”
“Konon
tak ada gadis cantik di seluruh Skotlandia yang belum pernah ia tiduri –”
“–
di Inggris juga!”
“–
dan ia tak bisa mengingat semua nama mereka.”
“Konon
ia memiliki paras rupawan seperti dewa, dan tangan yang lihai dalam seni
menggoda.”
“Ia
kaya-raya dan kabarnya istana miliknya mewah tiada tara.”
Adrienne
mengerjapkan mata. “Bagus. Lelaki mata keranjang yang tampan, materialistis,
tukang selingkuh, congkak, tak peduli perasaan orang lain dan punya ingatan
buruk. Dan dia milikku. Oh Tuhan, apa salahku harus menanggung semua ini?”
ujarnya.
Dua kali, ia membatin.
Lisbelle
menatapnya penasaran. “Tapi kabarnya ia adalah pecinta ulung dan berwajah
sangat tampan, nyonya. Apa salahnya dengan itu semua?”
Kurasa kau tak mengerti dunia ini, Janet
Comyn.
Mungkin Red Comyn benar. “Apakah ia suka memukuli wanitanya?”
“Ia
tak pernah cukup lama bersama wanita, begitu kata orang.”
“Tapi,
aku mendengar kabar ada wanitanya yang mencoba membunuhnya baru-baru ini. Aku
tak tahu mengapa,” sang pelayan menambahkan, terlihat benar-benar bingung.
“Kata orang, ia dermawan sekali pada wanita-wanita yang selesai bersamanya.”
“Bisa
kubayangkan,” Adrienne menggerutu jengkel, seketika menjadi tak sabar dengan
segala kegiatan mencabut, mengencangkan, menghias, dan mengatur yang terjadi di
tubuhnya. “Stop, stop.” Ia menepis tangan Lisbelle dari rambutnya, yang
sebelumnya sudah dicuci, disisir dengan ganas dan disiksa lama seolah-olah
bertahun-tahun.
“Tapi
nyonya, kita harus lakukan sesuatu dengan rambut ini. Ini lurus sekali! Nyonya
harus terlihat cantik –”
“Sebenarnya,
aku lebih suka terlihat seperti habis digondol kucing. Basah, kusut dan berbau
seperti tumpukan tinja.”
Terdengar
suara-suara menarik napas. “Nona, ia akan jadi suamimu, dan kau bisa saja
mendapatkan yang jauh lebih buruk,” terdengar suara yang tegas bergema di
seluruh ruangan. Adrienne menoleh pelan-pelan dan menatap sorot mata bijak
milik seorang wanita yang seketika itu juga ia rasa memiliki ikatan dengannya.
“Seperti misalnya suamiku.”
Adrienne
menarik napas. “Laird Comyn?”
“Ayahmu, putriku sayang,” Lady Althea
Comyn berkata sambil tersenyum kecut. “Pergilah –kalian semua.” Ia mengusir
para pelayan keluar dari ruangan dengan kibasan anggun, matanya menatap Bess
lebih lama. “Ia akan membunuh gadis itu suatu hari nanti, pasti,” ia berkata
lembut. Ia memejamkan matanya dalam waktu lama.
“Dia
sudah menjelaskan apa yang harus dilakukan?”
Adrienne
mengangguk.
“Dan
kau akan mematuhinya?”
Sekali
lagi Adrienne mengangguk. Lady Comyn menghela napas lega.
“Jika
ada waktunya kelak aku bisa membalas kebaikan –”
“Ini
bukan kebaikan. Ini untuk menyelamatkan hidupku.”
“
–kau hanya perlu meminta. Karena itu menyelamatkan hidupku.”
***
Adrienne
berdiri tegak di hadapan pendeta, memenuhi perannya dalam sandiwara ini. “Aku
Janet Comyn,” ia berkata lantang. Pendeta itu pucat dan terlihat mencengkram
kitab sucinya dengan ketat sampai buku jarinya seolah akan patah di sambungkan
kitab suci yang ia pegang. Jadi ia tahu
aku bukan Janet, pikir Adrienne. Apa
yang sesungguhnya terjadi di sini?
Ia
merasa ada yang berdiri di samping bahu kirinya, lalu dengan ogah-ogahan
menengok ke arah pria yang akan ia nikahi. Matanya memandang ke daerah dadanya
dan setiap jengkal bagian itu tertutup baja.
Adrienne
mengangkat wajahnya dan menatap wajah tunangannya, saat ia menyadari bahwa ia
tidak sedang berlutut. Dengan perasaan galau, ia mendongakkan kepalanya dan
berusaha menelan ribuan protes yang menggumpal di tenggorokannya.
Raksasa
lelaki itu memandangnya dengan ekspresi tak terlukiskan, bara api berkilau dari
mata birunya yang bercahaya.
Aku tak bisa menikahinya, Adrienne
menjerit dalam hati. Tak bisa!
Pandangan
Adrienne beralih dari wajah lelaki itu dan menyapu ke para hadirin di ruangan
itu, mencari seseorang yang bisa menyelamatkannya dari bencana ini. Bess duduk
di barisan terdekat dengan mata terpejam berdoa.
Adrienne
tersentak dan memejamkan matanya. Ya
Tuhan, jika aku sudah gila, kembalikanlah kewarasanku. Dan jika aku tidak gila
dan semua ini benar terjadi –ampuni aku karena tak pernah bersyukur atas abad
dua puluh. Ampunilah aku atas semua yang kulakukan pada Eberhard. Ampuni aku
atas segalanya, dan aku berjanji aku akan jadi orang yang lebih baik jika Kau
KELUARKAN AKU DARI SINI!
Saat
ia membuka matanya lagi, ia yakin sang pendeta mengetahui apa yang terjadi dan
Adrienne melihat kilau senang di matanya.
“Tolong
aku,” Adrienne berkata ke arahnya tanpa suara.
Dengan
segera, sang pendeta menurunkan pandangannya ke arah lantai, dan tak lagi
mengangkat pandangannya.
Adrienne
menyeret pandangannya ke bagian tengah tubuh mempelai prianya, lalu ke atas, ke
arah wajahnya yang tampan.
Ia
mengangkat sebelah alisnya sambil memandang ke arah Adrienne, saat suara suling
terdengar, irama musik naik menjadi riang dan cepat.
Adrienne
terselamatkan dari tatapan mempelainya saat ia mendengar keributan terjadi dan
suara “ayahnya” yang penuh amarah menggema.
“Kenapa
ia tak bisa datang sendiri ke sini?” Red Comyn berteriak ke arah seorang
prajurit.
“Ada
sedikit masalah di North Uster. Hawk harus segera mengendarai kuda ke sana,
tapi ia tak pernah melupakan sumpahnya. Ia tidak menghina keluarga.” Sang
prajurit mengucapkan kata-kata yang telah dilatih sebelumnya.
“Ia
menghina pernikahan ini dengan tak menghadirinya!” Lord Comyn meraung. Lalu ia
menoleh pada pria yang berada di samping Adrienne. “Lalu kau siapa, yang
menggantikannya?”
“Grimm
Roderick, Kepal Pengawal Hawk. Aku diberi kuasa untuk datang menikahi putimu-”
“Omong
kosong! Beraninya ia tak datang sendiri meminang putriku?”
“Ini
sesuatu yang resmi. Sang Raja akan mengetahui hal ini dan pernikahan ini sudah
terlaksana.”
Adrienne
tak bisa menyembunyikan rasa bahagia di wajahnya. Orang ini bukan suaminya!
“Apakah
aku seburuk itu?” pria itu bertanya dengan senyuman mengejek, memergoki
kelegaan Adrienne.
Sama jeleknya dengan sepiring stroberi
yang dicelup coklat dan dibubuhi krim, pikirnya masam.
“Aku
akan segera menikahi seekor kodok,” ujar Adrienne.
Lelaki
itu tertawa dan membuat Adrienne tersenyum.
“Kalau
begitu kau tidak beruntung, nyonya. Karena Hawk sama sekali tidak seperti
kodok. Tapi jika aku yang sedang berada di sampingnya, aku akan terlihat
seperti kodok. Bukan –seperti tuyul. Atau lebih parah, seperti kadal berkutil
dan bertanduk. Seperti –”
“Aku
tahu maksudmu.” Ya Tuhan, selamatkanlah
aku dari kesempurnaan. “Lalu di mana ia, suamiku yang enggan itu?”
“Sedang
menangani akibat dari suatu masalah serius.”
“Masalah
apa?”
“Pemberontakan
yang menyeramkan.”
“Di
North Uster?”
“Dekat
dari situ.” Bibir lelaki itu bergetar.
Adrienne
dilingkupi perasaan terdesak. Bagaimanapun enggannya, hal ini akan tetap
terjadi. Jika ia memang harus menghadapi hal yang tak ia ketahui, ia ingin
menghadapinya sekarang. Menunggu hanya akan membuat segalanya lebih buruk, dan
teriakan Lord Comyn yang tercampur dengan suara suling mulai mengganggu
syarafnya. Aku gila, Janet? Tak apa.
Sambil berdiri tegak, ia mengarahkan tubuhnya ke arah “ayah”nya yang masih
berteriak dan berseru nyaring.
“Oh,
diamlah, Ayah, dan teruskan saja acara ini! Aku punya pernikahan yang harus
dijalani, dan ayah Cuma memperlambatnya. Memang kenapa kalau dia tak datang?
Aku tak menyalahkannya.”
Seisi
kapel sekonyong-konyong sunyi. Adrienne yakin ia merasakan pria di sampingnya
bergetar menahan tawa, tapi ia tak berani menatap matanya lagi.
Bisikan-bisikan
“Janet gila” bergema di seantero kapel, dan Adrienne mendadak merasa lega.
Reputasi bahwa ia hilang ingatan ternyata bisa berguna. Asalkan ia menuruti
kehendak Comyn untuk hari ini, ia bisa bersikap segila mungkin dan tak akan ada
seorang pun yang menganggap itu aneh.
Adrienne
kuatir ia tak bisa mengingat semua rincian yang diberitahu Comyn; khawatir ia
akan keceplosan sesuatu dan seseorang dari keluarga suaminya akan menyadari
bahwa ia bukan Janet yang asli. Jika samarannya terungkap, maka Comyn pasti
akan memenuhi ancamannya untuk membunuhnya.
Tiba-tiba
tekanan itu sirna begitu saja. Saat ini (jika ia memang berada di sini) ia
adalah Janet Comyn yang gila. Bagaimana mungkin ia bisa bertanggung jawab atas
segala hal tak masuk akal yang ia katakan atau perbuat? Status gilanya ini
adalah jaminan untuk kebebasannya.
Jaminan
untuk bersikap dan mengatakan apapun yang ia mau –tanpa ada akibat buruk kelak.
Tak
ada Eberhard, tak ada senjata api, tak ada kenangan buruk.
Mungkin
tempat ini tidak jelek-jelek amat.
***
Adrienne
telah menginjakkan kakinya di tanah Dalkeith selama beberapa jam sampai
akhirnya ia menemukan sebuah bengkel pandai besi. Setelah dua hari perjalanan
dari Benteng Comyn ke tempat tinggalnya yang baru –Dalkeith-upon-the-Sea– dengan mengendarai kuda, ia berencana akan
pingsan di ranjang lembut terdekat, tidur berhari-hari, dan saat ia bangun
(jika ia masih ada di sini) mencari sebotol scotch dan minum sampai tak
sadarkan diri. Lalu memeriksa kembali apakah ia masih ada di sini.
Bukan
hanya ia tak bisa menemukan ranjang lembut di dalam istana yang hiruk-pikuk ini,
tapi juga tak ada scotch, tak ada suami, dan semua orang mengacuhkannya. Sulit
sekali untuk merasa betah. Grimm segera menjauhkan diri darinya sesampainya
mereka di benteng Douglas yang berdinding batu granit merah muda, walaupun
sepanjang jalan ia cukup baik.
Tapi
Adrienne bukan orang bodoh. Ia tak perlu dipukul kepalanya untuk menyadari
bahwa ia bukanlah istri yang diinginkan. Dinikahkan dengan perwakilan, tak ada
penyambutan, tak ada tanda-tanda keberadaan suami. Benar-benar tak diinginkan.
Adrienne
menyerah mencari suaminya, ranjang dan botol minuman dan pergi berjalan-jalan
untuk lebih mengenal tempat tinggal barunya.
Lalu
tanpa sengaja ia berjalan melewati pepohonan Rowan dan menemui tempat pandai
besi di pinggir hutan. Ia melihat lelaki itu, hanya mengenakan kilt, memompa dan membentuk baja dalam
bentuk sepatu kuda.
Adrienne
mendengar dari perwakilan suaminya, bahwa suaminya itu terlalu rupawan, tapi
lelaki satu ini memang membuat Grimm yang tampan itu terlihat seperti kodok.
Di
abad dua puluh, sudah jarang ditemui lelaki yang terlihat kasar dan jantan
seperti ini, ujar Adrienne dalam hati sambil mengamati lelaki itu bekerja. Jika
melihat lelaki begini di abad dua puluh, seorang wanita akan melihat dibaliknya
terdapat serangkaian peralatan angkat berat dan kebugaran, yang sebenarnya
ditujukan untuk memuja diri sendiri. Tapi di abad ini, lelaki seperti ini ada
semata-mata secara alamiah.
Dunia
yang mereka diami menuntut pria menjadi kuat untuk hidup, untuk memerintah,
untuk bertahan.
Saat
sang pandai besi berputar untuk bertukar palu, Adrienne melihat tetesan
keringat dari alisnya turun ke pipinya, lalu menetes ke dadanya, lalu mengalir
kembali dengan perlahan ke otot perutnya yang liat. Lalu menuju pusarnya, dan
ke pinggirin kiltnya, terus ke bawah. Adrienne memandangi kakinya dengan kagum,
menunggu aliran keringat itu muncul kembali mengaliri paha yang kuat, lalu kemudian
membayangkan apa yang dilewati di antaranya.
Hawa
panas dari pembakaran serta perasaan yang Adrienne rasakan begitu intens sampai
ia tak menyadari lelaki itu sudah berhenti bekerja selama beberapa saat.
Sampai
akhirnya Adrienne mengangkat tatapannya dari dada sampai menatap mata lelaki
itu tanpa senyuman.
Adrienne
menarik napas.
Lelaki
itu mendekat dan Adrienne sadar ia harus melarikan diri. Tapi ia juga menyadari
ia tak bisa melakukan hal itu. Ada sesuatu tentang mata lelaki itu...
Tangannya
dengan kasar mencengkram dagu Adrienne, memaksa kepalanya terdorong ke belakang
sehingga mata Adrienne menatap matanya yang berwarna keperakan.
“Adakah
sesuatu yang bisa aku lakukan untuk Anda, paduka ratu? Mungkin ada sesuatu yang
ingin ditempa? Atau mungkin bisakah hamba menempa baja hamba di panasnya
tempaan paduka?”
Mata
Adrienne menyapu wajah lelaki itu dengan panik. Tenang, ia berkata pada dirinya sendiri.
Lelaki
itu mengguncang Adrienne dengan kasar. “Anda menginginkan sesuatu dari saya?”
“Hawa
pana, itu saja,” Adrienne menyahut.
“Ya,
pasti hanya karena hawa panasnya,
cantik.” Mata lelaki itu berkilau licik. “Ayo.” Ia menggamit tangan Adrienne
dan mulai melangkah cepat.
“Tidak!”
Adrienne menyentak tangannya.
“Ayo,”
ia memerintah, dan Adrienne merasakan sensasi aneh yang merasuk ke dalam
tubuhnya dari sepasang mata pria itu, dan segera ia menguatkan tekad untuk
melawan kehendaknya. Hal itu membuatnya takut.
“Lepaskan
aku!” ia berseru.
Mata
lelaki itu menatap lebih dalam, dan walaupun mustahil, Adrienne merasakan bahwa
ia sedang berjuang mempertahankan sesuatu yang penting. Ia tahu ia tak boleh
ikut dengan lelaki ini, tapi ia tak tahu mengapa. Ia mencium adanya bahaya yang
kelam dan purba. Bahaya yang ganjil dan kuno yang tak bisa ia kendalikan. Jika
lelaki itu membuka mulut sekali lagi dan berkata “ayo”, ia mungkin akan patuh.
Lelaki
itu membuka mulutnya sekali lagi. Adrienne mempersiapkan diri untuk perintah
yang ia tahu akan ia patuhi.
“Lepaskan
istriku,” sebuah suara berat terdengar memerintah dari belakang mereka.
***
Jadi
pria si pandai besi ini bukan suaminya. Oh Tuhan, apa yang akan ia lihat jika
ia membalikkan badannya? Benarkah ia?
Adrienne
menoleh sedikit, seolah mengintip sedikit saja akan lebih aman. Mungkin dapat
meminimalisasi dampaknya. Adrienne segera mendapati bahwa ia salah besar. Tak ada yang bisa meminimalisasi dampak
yang diberikan lelaki itu.
Valhalla (surga bagi
para prajurit dan ksatria viking) di sebelah kanan. Surga dunia di sebelah
kiri.
Terperangkap
di antara coklat Godiva dan kue sus coklat.
Di
antara batu karang dan suatu tempat keras. Dua tempat yang sangat keras
tampaknya. Aku benci lelaki tampan,
ia berkata dalam hati. Benci. Benci. Benci.
Tapi untuk menolaknya...
Sepasang
tangan mencengkram pinggangnya dari belakang sambil sang pandai besi menarik
Adrienne ke arah tubuhnya yang kekar.
“Lepaskan
aku!” Adrienne menjerit, kabut tipis yang tadi menyelimuti otaknya kini
terangkat.
Sang
pandai besi melepaskannya.
Dan
lelaki yang besar dan sangat tampan itu berdiri menghadap Adrienne –Hawk yang
legendaris– melotot ke arah Adrienne seperti Odin yang siap menyambarkan
halilintar ke arahnya. Adrienne mendengus.
“Jangan
melotot padaku. Kau bahkan tak muncul di pernikahan kita.” Adrienne mulai
memacu langkahnya. Jika ia adalah Janet, bagaimana perasaan Janet? Betapa
buruknya dinikahi seperti barang dan diperlakukan buruk oleh keluarga besan! “Aku
menghabiskan dua hari yang basah, apa di sini hujan pernah berhenti? Butuh dua
hari untuk sampai ke sini! Grimm yang baik hati mencampakkan aku begitu kami
tiba di Dalkeith. Kau bahkan tak ingin menyambutku. Tak ada yang menunjukkan
kamarku. Tak ada yang menawarkan makan. Atau bahkan minum.” Adrienne
menghentikan ocehannya sejenak dan bersandar pada sebatang pohon, berkacak
pinggang sambil mengetuk-ngetukkan jari sebelah kakinya. “Lalu, karena aku tak
bisa menemukan tempat untuk tidur karena takut aku tak dianggap oleh orang
lain, aku bergentayangan sampai akhirnya kau bersedia muncul, dan sekarang kau
melotot padaku? Wah, biar kuberitahu –”
“Diamlah.”
“Bahwa
aku bukanlah perempuan yang bisa dikesampingkan dan duduk manis menerimanya.
Aku tahu jika aku tak diinginkan –”
“Dijamin
kau pasti diinginkan,” ujar sang pandai besi.
“Aku
tak perlu dipukul dengan satu ton batu –”
“Kubilang
diam!”
“Dan aku bahkan tak menerima kado perkawinan!”
Adrienne menambahkan, bangga bahwa ia terpikir akan hal itu. Ya, Janet pasti
akan tersinggung.
“Diam!”
Hawk meraung.
“Dan
aku tak suka diperintah! Hmmpphh!” Adrienne menggerutu saat suaminya memisahkan
mereka dan menjatuhkan Adrienne ke tanah. Saat tubuhnya menyentuh tanah dan
serasa ada badak kecil menimpanya, Hawk menggulingkannya beberapa kali sambil
menguci Adrienne dalam dekapannya. Adrienne bisa mendengar sang pandai besi
bersumpah serapah lirih, lalu terdrngar suara sepasang kaki berlari.
“Jangan
bergerak!” Hawk menggeram, napasnya hangat di telinga Adrienne. Baru beberapa
saat kemudian Adrienne tersadar bahwa Hawk memeluknya sambil melindunginya,
seakan menjadikan dirinya perisai. Adrienne mendongak melihat mata Hawk yang
berwarna gelap mengawasi sekeliling dengan seksama.
“Sedang
apa kau?” Adrienne berbisik, jantungnya berdegup kencang, karena dijatuhkan
dengan kasar, Adrienne meyakinkan dirinya sendiri, bukan karena berada dalam
pelukan lelaki kuat ini. Ia menggeliat.
“Kubilang
jangan bergerak.”
Adrienne
meronta, setengah menunjukkan kebenciannya, juga untuk membebaskan kedua
kakinya dari tindihan Hawk di antara kedua kakinya, tapi hal itu malah membuat
bokong Adrienne berada tepat di bawah – astaga – tak mungkin lelaki ini
berjalan dengan itu ke mana-mana!
Adrienne menyentakkan tubuhnya dengan kuat saat bersentuhan dan dengar suara
benturan tulang bertemu tulang saat kepalanya membentur rahang Hawk. Hawk
bersumpah serapah sambil berbisik, lalu terdengarlah tawa baritonnya menggema
sambil kedua tangannya memeluk lebih erat.
“Kucing
yang tak bisa diam, sepertinya?”
Adrienne
meronta kasar. “Lepaskan aku!”
Tapi
ia tak melepaskannya. Hawk hanya melonggarkan pelukannya untuk memutar Adrienne
sehingga kini terlentang di atas Hawk, saling menghadap. Salah besar, Adrienne berkata dalam hati. Ini menimbulkan
serangkaian masalah baru, mulai dari payudaranya yang terhimpit tubuh hawk,
kakinya yang tersangkut di antara kaki Hawk, dan kedua tangan yang berada di
dada Hawk. Pakaiannya yang terbuat dari kain linen putih terbuka dan hawa panas
lelaki menguap dari dadanya yang bidang. Ada darah yang mengalir turun dari
bibir bawahnya, dan untuk sesaat, Adrienne sempat berpikiran gila untuk
menjilatnya. Dengan sebuah gerakan yang cepat dan anggun, Hawk memindahkan
Adrienne ke bawahnya dan Adrienne pun kehabisan napas. Mulutnya terbuka. Ia
menatap terkesima dan menyadari bahwa lelaki yang meminta diwakilkan untuk
menikahinya ini akan menciumnya, dan ia pun tahu pasti hidupnya akan tak sama
lagi jika hal itu terjadi.
Adrienne
menggeram. Hawk tersenyum dan menurunkan kepalanya. Saat itu juga sang pandai
besi kembali. “Tak ada apa-apa!” ia berseru. “Siapa pun itu, ia sudah pergi.”
Hawk
menjauh dengan kaget dan Adrienne mengambil kesempatan itu untuk mendorongnya.
Ia seperti sedang mencoba mendorong patung Sphinx ke sungai Nil.
Saat
itulah Adrienne melihat anak panah yang masih bergetar tertancap di pohon
tempat ia berdiri tadi, saat ia mengomeli suami barunya. Matanya membelalak
lalu memandang Hawk tak mengerti. Ini semua terlalu aneh.
“Siapa
yang sudah kau bikin kesal?” Suaminya mengguncangnya. “Siapa yang ingin
membunuhmu?”
“Siapa
bilang mereka bukan ingin membunuhmu, bahwa itu tadi tembakan yang meleset?”
“Tak
ada yang ingin membunuhku.”
“Dari
yang kudengar, kekasihmu yang terakhir mencoba melakukan itu,” Adrienne
menyambar.
Hawk
terlihat sedikit memucat di bawah kulitnya yang seperti tembaga.
Si
pandai besi tertawa.
Leher
Adrienne merasa kaku karena menatap ke atas. “Beranjak dariku,” ia menggerutu
ke arah suaminya.
Adrienne
tak siap saat pandangan mata Hawk menjadi suram dan ia berguling menjauh
darinya.
“Walaupun
kau terus-menerus menolakku, istriku,
kurasa kau mungkin membutuhkanku,” Hawk berkata lembut.
“Kurasa
tidak,” Adrienne menyambar.
“Aku
ada di sini, kalau kau berubah pikiran.”
“Aku
akan hadapi resikonya. Tak ada siapa-siapa yang menembakku sebelum kau muncul.
Itu artinya ada dua percobaan atasmu, dan nol untukku.” Adrienne berdiri,
menepis kotoran dari gaunnya. Debu dan kotoran menempel di bahan gaunnya yang
berat. Ia mencabut beberapa helai daun dari rambutnya dan menepis debu dari
bokongnya saat ia meraakan sebuah sensasi tidak nyaman. Pelan-pelan ia
mengangkat pandangannya dari pakaiannya dan mendapati kedua lelaki itu sedang
memandanginya dengan pandangan serigala. Serigala besar yang lapar.
“Apa?”
Adrienne menukas.
Si
pandai besi tertawa lagi. Suaranya dalam, gelap dan misterius. “Kurasa sang
nona tak tahu betapa manisnya kekejaman yang tertarik atas kecantikannya.”
“Sudahlah,”
Adrienne menjawab malas.
“Betapa
indahnya semu sipu sang nona, begitu ranum, kaya dan teramat subur,” sahut
suaminya tak mau kalah.
Adrienne
menghentakkan kaki dan melotot ke arah mereka berdua. Mengapa ia tak ingat
sajak-sajak Shakespeare saat ia butuh? “Betapa kukira engkau begitu rupawan dan
cemerlang, namun ternyata segelap neraka sekelam malam,” Adrienne menggumam.
Kepala
sang pandai besi terlempar ke belakang dan suara tertawanya menggema. Bibir
suaminya mengulas senyum pertanda kagum akan kecerdasan Adrienne.
Hawk
berdiri dan mengulurkan tangannya. “Berdamailah denganku.”
Damai.
Lelaki ini bisa membuat bidadari menangis. Tapi Adrienne lapar, haus. Ia
menggamit tangan Hawk, diam-diam bersumpah hanya itu yang ia akan ambil. Bukan
yang lain.
Sambil
suaminya membimbingnya pergi dari tempat itu, suara sang pandai besi terdengar
terbawa oleh angin beraroma melati, dan Adrienne terkejut suaminya tak
bereaksi. Itu artinya suaminya bukan orang yang posesif, atau ia memang tak
mendengar. Tapi Adrienne mendengar dengan jelas kata-kata si pandai besi, “Wahai
wanita yang bisa membuat lelaki lemah bagai kucing disuguhi susu, aku akan
membawamu ke tempat yang hanya kau jumpai dalam mimpimu.”
“Mi
mpi buruk,” Adrienne menggerutu, dan ia mendengar suaminya tertawa pelan di
belakangnya.
Suaminya
memandanginya penuh rasa ingin tahu. “Apa?”
Adrienne
menghela napas. “Aku letih sekali. Aku harus segera tidur.”
Suaminya
mengangguk. “Lalu kita akan bicara.”
Tentu. Jika aku terbangun dan masih ada
di tempat terkutuk ini.
Synopsis
Ceritanya menarik. Menunggu lanjutannya
BalasHapusCepat dong lanjutannya. Please....
BalasHapus