Rabu, 03 Juli 2019

Lucky Penny #3

Brianna mendengar suara kertakan dan melirik dengan cemas ke pintu tertutup yang mengarah ke tempat tinggal mejikannya. Abigail suka masuk tiba-tiba tanpa peringatan, berharap menangkap basah dirinya sedang “bermalas-malasan.” Kemunculan yang tiba-tiba itu akan mengejutkan Brianna ketika ia sedang berkonsentrasi penuh, dan ia membenci rasa dag-dig dug di dadanya. Dan saat ini ia takut sekali kalau penyihir tua itu mengendap-endap di belakangnya sebab ia sedang pusing karena kurang tidur. Ia tidak butuh Abigai menungguinya untuk mencari-cari kesalahan dalam pekerjaannya.


Brianna menggerak-gerakkan bahunya yang sakit. Pekerjaannya di restoran baru selesai jam dua, mencuci bertumpuk-tumpuk piring yang diikuti dengan menyiapkan restoran itu untuk jam sarapan. Jam lima tiga puluh datang sangat cepat, dan ia hampir akan memberikan apa pun untuk bisa melanjutkan tidurnya. Yang terjadi, ia hampir tak punya waktu untuk berjalan ke rumah Mrs. Dawson, menyelesaikan setrikaan di rumah wanita itu, dan kembali ke kamar sewaannya pada jam tujuh untuk membangunkan Daphne agar berangkat ke sekolah. Setelah anak itu pergi, sambil membawa roti dan keju di tas untuk makan siang, Brianna berlari menyusuri Glory Ridge untuk menghabiskan pagi itu dengan menyetrika di kediaman keluarga Wilson. Tujuh anak mereka, enam di antaranya laki-laki, secara teratur menghasilkan gunungan cucian, dan sang ibu, Charlotte, yang masih lemah setelah melahirkan putrinya, tidak bisa mengerjakan semuanya, sebuah anugerah untuk Brianna, tapi penderitaan bagi Mac Wilson, yang kesulitan membayar tenaga tambahan itu.

Brianna tadinya berharap bisa mencuri waktu untuk tidur beberapa jam sebelum memulai jadwalnya di toko pakaian, tapi tidak ada waktu. Sekolah selesai tak lama setelah makan siang karena hari itu adalah May Day dan akan ada pertunjukan di gereja malam ini. Daphne telah terpilih, bersama seorang gadis lainnya, untuk melakukan deklamasi. Abigail tidak memberi izin kepada Brianna untuk menghadiri pertunjukan itu, jadi Daphne bersikeras melakukan pertunjukan pribadi di kamar mereka untuk mamanya. Anak itu tampak begitu menawan, berdiri di kursi bulat dalam baju baru dan sepatu kulitnya yang mengilat. Walau ingin sekali tidur siang, Brianna tak tega mengecewakan putrinya dengan mengatakan tidak. Lalu, seolah untuk membuat keadaan lebih buruk, Daphne lupa bagiannya, jadi diperlukan sesi latihan karena anak itu terkena demam panggung di detik-detik terakhir, dan selama itu Brianna berjuang untuk mencegah matanya tertutup.

Sambil mengerjap-kerjapkan mata untuk mengusir rasa lelah dari matanya, Brianna kembali mengayuh pedal mesin jahitnya, bertanya-tanya bagaimana bisa ada orang yang bekerja sekeras dirinya namun masih tidak bisa memenuhi semua kebutuhan mereka. Sewa kamar akan jatuh tempo pada senin pagi. Kamar loteng itu harganya tiga dolar seminggu, dan ia hanya punya dua dolar, yang seperempatnya ia temukan di lantai restoran pada malam rabu ketika sedang menyapu ruang makan.

Mrs. Brighton menagih uang sewanya pagi-pagi, dan ia berharap dibayar penuh. Brianna merasa harga untuk kamar seukuran lemari itu terlalu tinggi, tapi janda berambut perak itu tidak mau menurunkan harganya. Sejauh ini, Brianna selalu berhasil mengumpulkan uang karena orang-orang yang tidak bisa membayar langsung diusir. Tanpa basa-basi dan permintaan maaf, penghuni mana pun yang menunggak diberi waktu setengah jam untuk mengumpulkan barang-barang mereka dan keluar. Brianna sudah pernah melihat itu terjadi, dan karenanya sangat takut apabila itu terjadi pada Daphne. Brianna telah berjanji kepada anaknya kalau hal itu tidak akan pernah terjadi kepada mereka. Kata-kata yang berani, dan mungkin ia akan menyesalinya.

Masih ada uang pakaian Daphne, pikir Brianna dengan lelah. Tapi, oh, betapa ia tidak suka harus mengambil uang yang dikirim David Paxton untuk putrinya. Hampir setengah dari hadiah yang dermawan itu masih belum tersentuh. Brianna menyimpannya dengan aman di saku dalam roknya, tapi uang itu tidak akan bertahan lama di sana kalau ia mengambilnya.

Ia harus memikirkan musim dingin berikutnya, ketika bisnis di toko pakaian akan melambat lagi. Ia mulai bekerja untuk Abigail tiga bulan yang lalu, di awal Februari, ketika pelanggan sangat sedikit sehingga tenaganya hanya dibutuhkan beberapa jam setiap harinya. Sekarang, dengan musim semi di depan mata, para wanita memesan gaun musim panas baru atau merombak pakaian lama mereka, yang memberinya tambahan jam kerja. Tapi musim semi akan segera beralih menjadi musim panas, musim panas menjadi musim gugur, dan kemudian musim dingin akan tiba lagi dan mengetatkan dompet semua orang. Kalau uangn ya habis di pertengahan bulan Januari, ia dan Daphne akan tinggal di jalan dalam cuaca membeku. Bayangan itu membuatnya panik.

Uang Daphne harus disimpan untuk situasi yang benar-benar sulit –untuk membayar uang sewa selama bulan-bulan sepi, untuk membawa anak itu ke dokter kalau sakit, dan untuk membelikan Daphne makanan. Kumohon, Tuhan, bantu aku. Aku tidak meminta mukjizat besar, hanya yang kecil saja. Aku akan sangat berterima kasih. Aku tidak akan pernah memiliki pikiran yang jahat lagi, bahkan terhadap Abigail. Kumohon, dengarkan doaku dan kirimkan aku sedikit keajaiban.

Air matanya mengancam akan jatuh. Brianna mengerjapkan mata untuk mengusir air mata itu, marah pada dirinya sendiri karena menyerah pada kelemahan. Air mata tidak pernah menyelesaikan apa pun. Ia sudah mempelajarinya bertahun-tahun yang lalu ketika ia menangisi tubuh saudara kembarnya yang sudah tak bernyawa lagi.

Aroma sedap sup sayuran menguar dari ruangan Abigail. Perut Brianna bergolak. Oh, ia ingin sekali mencicipinya. Ia sudah mengurangi porsi makannya sebisa mungkin untuk memotong pengeluaran. Tidak ada sarapan, diikuti sebongkah roti dan secangkir teh hangat untuk makan siang. Ah, ia akan menyelundupkan sedikit keju ketika membersihkan dapur restoran malam ini. Itu akan cukup untuknya. Kehilangan lebih banyak lagi berat tubuhnya tidak menjadi masalah. Semua pakaiannya, yang dibuat para biarawati untuknya ketika ia berusia delapan belas, yang sekarang sudah ketinggalan zaman bahkan dalam komunitas terisolasi ini, sudah menjadi terlalu ketat. Mungkin dengan makan semakin sedikit, badannya akan cukup kurus untuk bisa menarik napas tanpa membuat jahitan di ketiaknya sobek.

Hari ini Brianna sedang merombak gaun Mrs. Pauder, istri seorang peternak domba yang berat badannya bertambah selama musim dingin dan tidak sanggup membuat baju baru. Biasanya Brianna tidak suka merombak pakaian, yang dalam kasus ini melibatkan membuka jahitan dan merekonstruksi ulang kain itu untuk menggunakan kelebihan di bagian dalam jahitannya. Kain yang selama ini tertutup itu tidak memudar secepat yang di luar, yang membuat baju rombakan memiliki garis di sekitar jahitannya. Itu adalah pekerjaan yang membosankan, tidak membutuhkan imajinasi sama sekali, tapi untuk kali ini ia bersyukur. Ia terlalu capek untuk mengeluarkan kreativitasnya.

Dari belakang tempat kerjanya yang tertutup gorden, Brianna mendengar bunyi lonceng berdentang ketika seseorang memasuki toko. Bosnya yang super hemat itu menugaskannya untuk melayani pelanggan demi mengurangi biaya menyewa penjaga toko. Sambil mendesah, Brianna berhenti mengayuh, mendorong baju Mrs. Pauder ke atas permukaan mesin jahit agar gaun itu tidak meluncur ke lantai, dan bangkit dari kursi. Ketika mendengar suara sepatu bot pria di lantai kayu, ia menyeringai. Biasanya seorang laki-laki brhenti untuk membeli topi, perhiasan, atau pita untuk istrinya. Laki-laki membutuhkan waktu dua kali lebih lama daripada yang diperlukan kebanyakan wanita untuk memutuskan apa yang akan dibeli. Alis Brianna melengkung ketika mendengar dentingan spur. Para petani dan peternak di sekitas Glory Ridge biasanya tidak memakai benda itu.

Brianna berusaha untuk merapikan rambutnya lalu menghilangkan kusut di roknya. Kenapa ia bersusah payah melakukan itu, ia sama sekali tidak tahu. Suara langkah kaki pria di dalam toko akan membuat Abigail berlari, dan kehadiran Brianna tidak diperlukan. Entah pria yang malang itu sudah menikah atau tidak, Abigail akan memainkan bulu matanya yang tipis, mengoceh tidak jelas, dan terkikik seperti anak sekolahan. Kalau ada wanita yang haus akan perhatian laki-laki, itu adalah Abigail Martin. Hmph. Kalau ia bisa menjalani hidupnya tanpa pernah menarik perhatian pria lagi, ia akan sangat bersyukur, pikir Brianna. Ia sudah cukup kesulitan menghindari tangan Adam Parks, si pemilik restoran.

Ketika Brianna membuka tirai untuk menyapa sang tamu, gerakannya terhenti. Pria yang berdiri di tengah ruangan itu sedang menggendong Daphne. Apa yang dilakukan orang asing itu dengan anaknya? Sekilas, Brianna tahu pria itu bukan penduduk kota ini. Ia telah tinggal di atau dekat Glory Ridge selama bertahun-tahun dan mengenali hampir setiap orang. Pikiran pertamanya adalah gadis kecilnya mengalami kecelakaan. Daphne menyukai kuda dan kadang-kadang berlari ke jalan ketika para peternak masuk ke kota. Sekali, anak itu pernah tertabrak. Brianna mengulurkan tangannya ke arah Daphne, tapi sebelum ia sempat mengucapkan satu kata pun, ia menyadari cara Daphne memeluk leher pria itu. Binar kebahagiaan di wajah Daphne menggantikan kata-kata.

Oh, Tuhan. Bagian depan duster kulit berminyak pria itu disampirkan ke belakang gagang pistolnya, dan kilauan perak menarik tatapan Brianna ke saku di dada kiri kemeja birunya. Sebuah lencana. Lantai di bawah kaki Brianna seakan-akan berubah menjadi air, dan ia memegang konter agar tidak jatuh. Rasa dingin merayap di punggungnya. Sesaat jantungnya berhenti berdetak. David Paxton. Seyakin dirinya hidup dan bernapas, Brianna tahu orang itu adalah David Paxton. Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Kenapa pria itu datang? Apa yang diinginkan David Paxton? . Seyakin dirinya hidup dan bernapas, Brianna tahu orang itu adalah David Paxton. Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya. Kenapa pria itu datang? Apa yang diinginkan David Paxton? Berani-beraninya pria itu muncul di sini setelah ia memberitahu di surat terakhirnya kalau pria itu bukan ayah Daphne?

Maskipun ramping dan tidak terlalu tinggi, pria itu mengeluarkan aura “pria besar”, cara berdirinya tidak mengancam tapi menunjukkan kalau ia telah hidup dalam bahaya dan selalu siaga. Rambut emasnya yang menyembul dari bawah tepian topi kulitnya yang berwarna coklat muda dan hanya sedikit lebih tua dari warna rambut Daphne, tergantung selurus penggaris ke bahunya yang lebar. Pria itu mengenakan sabuk pistolnya rendah di pinggulnya agar bisa menarik pistol dengan cepat. Kecuali lencananya, tampilan keseluruhan pria itu lebih cocok sebagai seorang bandit ketimbang penegak hukum. Celana panjang kuning kecoklatan, sepatu bot yang lecet, dan spur yang kotor melengkapi pakaiannya. Aroma samat-samar bay rum dan kilauan di rahang bawahnya mengindikasikan kalau pria itu baru-baru ini bercukur, dan pakaian terlihat cukup bersih, tapi David Paxton adalah salah satu pria yang akan memberikan kesan buruk bahkan dalam balutan pakaian mewah.

Ketika pria itu mengangkat satu lengannya yang menggendong Daphne untuk melepas topinya, Brianna bisa melihat dengan jelas mata birunya yang tajam, yang sepertinya tidak melewatkan apa pun. Mata itu menegaskan wajahnya yang seperti dipahat, rahang persegi, dan mulut penuh yang mungkin akan melembutkan sudut-sudut keras di wajah itu kalau ia tidak cemberut.

Dengan satu lengan kurus menguci leher pria itu, Daphne memutar badannya untuk melemparkan senyum bahagia pada Brianna. “Lihat, Mama! Papa akhirnya datang untuk menemui kita!”

Ruangan itu rasanya miring. Bercak-bercak hitam menari-nari di depan mata Brianna. Kakinya tak bergerak dan mulutnya sekering kulit yang dijemur di bawah matahari. Ia sedang bermimpi. Pasti. Hal seburuk ini tidak mungkin terjadi, bahkan kepadanya. Ia memejamkan mata dan membukanya lagi. Pria itu masih di situ. Ia tidak bisa memikirkan apa yang harus dilakukannya.

“Halo, Brianna,” sapa pria itu dengan suara yang dalam. “Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi.”

Lagi? Ia tidak pernah bertemu dengan pria ini seumur hidupnya, pikir Brianna.

“Bukankah ini hebat, Mama?” Daphne terkekeh kegirangan. “Tidakkah kau senang? Kenapa kau diam saja?”

Brianna tidak tahu apa yang harus dikatakannya, dan senang berada sangat jauh dalam daftar perasaannya, jauh di bawah takut, tak percaya, dan terkejut. Ia merasa seperti seekor kelinci tak berdaya yang tertangkap di alam terbuka oleh predator bertaring panjang, sementara satu-satunya hal yang diinginkannya adalah berlari ke lubang persembunyian terdekat. Hanya dua hal yang menahannya dari melakukan itu: kehadiran anaknya dan larangan yang dilihatnya di mata David Paxton. Butuh pengendalian diri agar bisa mengumpulkan akalnya.

Jangan panik. Brianna mengingatkan dirinya sendiri. Tenanglah, karena surat yang dikirimnya untuk seorang laki-laki bernama David Paxton di Denver, entah bagaimana pria ini mendapat kesan kalau Daphne adalah anaknya. Bagaimana David Paxton yang ini bisa berpikir memiliki anak dengan wanita yang tak pernah pria itu temui akan dipikirkannya di lain waktu, pikir Brianna. Sekarang ini, ia harus membawa Daphne menjauh dari mereka, dan dengan cepat, sehingga ia bisa menjelaskan kepada David Paxton ini kalau pria itu adalah orang yang salah.

***

Brianna Paxton tidak seperti yang diharapkan David. Walau sudah berusaha mengenali Brianna, bahkan hanya samar-samar, ia sadar kalau tidak ada satu pun tentang wanita itu yang terasa akrab. Sejauh yang bisa dilihatnya dalam cahaya yang buruk ini, Brianna Paxton memiliki rambut yang tak mungkin dilupakan, dengan warna mencolok di antara coklat tua dan merah menyala, mata sehijau daun semanggi, kulit putih yang mulus, dan tubuh yang lembut. Kalau semua itu digabungkan, wanita ini bukan jenis wanita yang akan dilupakan dalam kondisi normal. Masalahnya adalah, ia punya firasat kalau pertmuan mereka dulu jauh dari normal.

Ia telah diajari tata krama yang baik untuk tidak memandangi tubuh wanita itu, kecuali ketika ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, tapi dalam situasi ini, ia mendapati matanya menatap dada Brianna yang penuh, lekukan pinggang Brianna yang ramping serta pinggul Brianna yang berisi, berharap ada sesuatu tentang wanita itu bisa menarik ingatannya. Apakah ia mabuk berat waktu itu sampai-sampai tak bisa mengingat apa pun tentang wanita ini? Pertanyaan bodoh. Ia sedang menggendong bukti perbuatannya, seorang anak cantik yang tak diragukan lagi seorang Paxton. Entah ingat atau tidak, ia telah meniduri Brianna.

Dan Brianna tidak melewatkan “pujiannya” yang tak ditutup-tutupinya itu. Dagu Brianna yang terangkat serta kilau menantang di mata wanita itu memberitahu David tentang hal itu. Itu adalah tatapan seorang yang harga dirinya terluka, penuh perhitungan untuk mencabik-cabik korbannya. David pernah melihat ibunya melakukan hal yang sama.

Pembandingan itu juga hal lain tentang Brianna yang menganggu David. Penampilan bisa menipu; sebagai seorang marshal, ia tahu hal itu lebih baik daripada kebanyakan orang. Tapi, kecuali wanita ini pernah mengalami peristiwa bertemu-dengan-Tuhan dan mengubah dirinya seratus delapan puluh derajat, Brianna tidak mungkin pernah menjadi pelacur baik di Denver maupun di tempat lain. Kalau kerah baju abu-abunya lebih tinggi lagi, kerah itu pasti akan menutupi dagunya. Rambutnya yang menawan dan menawan ditata dalam sanggul yang sederhana. Beberapa helai rambutnya terlepas dari jepitan untuk membingkai wajahnya dan menempel di tengkuknya, tapi David mendapat firasat kalau wanita itu akan segera merapikannya apabila ia memandang dirinya di cermin. Brianna sangat cantik, jenis wanita yang bisa kaya dengan menjajakan tubuhnya di bar gaduh atau rumah bordil. Tapi terdapat keangkuhan dalam postur tubuhnya yang kaku dan mengatakan kepada David kalau wanita itu tidak akan mau merendahkan diri dengan melompat ke dalam pelukan lelaki kasar, tak peduli seberapa tebal gulungan uang mereka. Brianna memiliki kualitas yang tak bisa dijelaskan.

Jadi, di mana ia bertemu dengan wanita ini? Di sebuah acara sosial di Denver mungkin, atau di cattlement’s potluck? Di pesta-pesta seperti itu, selalu ada beberapa mangkuk minuman yang dicampur dengan alkohol. David tak bisa percaya ia akan menawarkan alkohol pada seorang wanita baik-baik di acara yang tidak terlalu diingatnya seperti potluck itu.Para pria Paxton tidak mengejar gadis polos. Ace sudah mulai menanamkan itu ke dalam kepalanya sejak ia memasuki usia remaja. Sayangnya, ketika mengunjungi Denver pada awal usia dua puluhan, ia seringkali mabuk berat sehingga garis antara benar dan salam menjadi sangat kabur.

Brianna berdiri dengan satu tangan rampingnya menempel ke pinggang, seakan-akan ia sakit perut atau apa. Selama ini, David telah menerima berbagai reaksi berbeda dari para wanita, tapi tak pernah sekali pun ia mengira kehadirannya saja akan cukup untuk membuat seorang wanita sakit. Mengabaikan dirinya, Brianna memandang putri mereka. “Daphne, Sayang, bisakah kau pergi keluar dan bermain sebentar? Atau lebih baik lagi, mungkin ini waktu yang tepat untuk berlatih deklamasi. Kami orang dewasa butuh waktu untuk bicara berdua saja, please.”

David menepuk bahu Daphne dan berbisik di telinganya. “Ingat uang jajan itu? Sekarang akan menjadi waktu yang tepat untuk membeli permen peppermint.”

David menurunkan Daphne ke lantai dan merapikan pita berwarna bunga mawar di rambut anak itu. Daphne tidak mengatakan apa pun, tapi dari ekspresi yang tampak di mata anak itu, David tahu kalau Daphne masih khawatir ia akan pergi. “Apa kau suka  sarsaparilla?”

“Aku suka sekali!” seru Daphne.

“Well, aku juga menyukainya. Nanti kita akan pergi ke restoran dan aku akan membelikan sarsaparilla untuk kita berdua.”

Teryakinkan oleh janji David, bocah itu melompat-lompat melintasi lantai kayu. Pintu toko mengayun dengan kuat dan menimbulkan suara keras ketika Daphne berlari ke luar. Pandangan David sekarang terpaku pada ibu sang anak. Sial, tapi wanita ini cantik. David tak bisa menyangkalnya. Namun ia masih belum bisa menyingkirkan kemungkinan menerima kemarahan wanita ini.

“Sir,” mulai Brianna dengan suara yang gemetar, sementara tangannya masih bertahan di pinggangnya. “Tampaknya anda telah melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk sesuatu yang tidak perlu. Jelas sekali kita belum pernah bertemu, dan Anda tidak punya kewajiban apa pun di sini.”

Ketika Brianna mengucapkan sie, kata itu terdengar seperti suh. Orang Selatan, mungkin? Tidak, simpul David. Ia sendiri lahir di Virginia, dan ia tidak mendeteksi gaya bicara yang dipanjang-panjangkan. Orang Timur, putusnya. Bagaimana ia bisa berhubungan dengan wanita ini, ia tidak tahu, tapi itu tidak penting. Setelah melihat Daphne, ia yakin seratus persen kalau dirinya adalah ayah anak itu.

Tepat pada saat itu, pintu yang terletak di bagian belakang toko mengayun terbuka dan seorang wanita kurus dalam balutan gaun merah tua muncul, ditemani oleh aroma samar-samar sup sayuran. David sudah pernah bertemu dengan orang yang kulitnya pucat, tapi wanita ini terlihat seperti dicelupkan berulang kali ke dalam cairan pemutih; kulit, rambut, bulu mata, dan bibirnya begitu putih sehingga warna terang pakaiannya sangat mencolok. Hanya matanya –yang kecil dan berwarna coklat –yang membuatnya tidak disangka sebagai albino. Mulutnya melengkung ke dalam senyum yang terlalu bersemangat ketika menyapa David.

“Wah, tidak setiap hari ada orang asing tampan yang singgah ke sini.” Abigail melangkah ke depan, menawarkan tangannya yang seperti cakar kepada David. “Saya pemilik tempat ini, Miss Abigail. Saya akan senang sekali bila bisa membantu Anda dalam hal apa pun.”

David menjabat tangan wanita itu dan menahan dorongan untuk melap telapak tangannya ke celana jins setelah sentuhan itu berakhir. Abigail berkeringat seperti kuda yang berlari terlalu kencang selama berkilo-kilometer. Gairah yang tertahan, atau mungkin wanita ini sakit? Yang mana pun, ia tidak ingin menjadi bagian dari hal itu. Dengan sengaja ia tidak mau memperkenalkan dirinya, David berkata, “Terima kasih atas keramahan Anda, Miss Abigail. Tapi saya ke sini untuk berbicara dengan Mrs. Paxton.”

Senyum lebar Abigail menipis menjadi cibiran tidak suka. Ia melemparkan lirikan benci ke arah Brianna. “Oh, begitu.” Bahunya yang kurus terangkat sedikit. Kemudian ia menusukkan jarinya yang kaku ke arah anak buahnya. “Kau tidak boleh menghibur laki-laki dalam tokoku, Mrs. Paxton. Kau boleh pergi sampai urusanmu dengan pria ini selesai, dan aku akan memotong gajimu sesuai dengan waktu yang terbuang.”

Brianna menyalahkan David dengan tatapannya, kemudian mengangguk dengan patuh pada bosnya. “Aku akan pergi setengah jam, tidak lebih.”

“Terima kasih, dan aku pasti menghitung waktumu.” Abigail berputar. Kemudian, sambil mendengus, wanita itu menghilang dan membanting pintu di belakangnya.

David memandang Brianna dengan penuh simpati. “Well, dia sama sekali tidak menyenangkan. Bekerja untuk wanita cerewet seperti dia pasti berat sekali.”

“Pekerjaan terhormat untuk wanita sangat sedikit di Glory Ridge, Mr. Paton.”

“Aku tahu. Kau menyebutkannya di suratmu.”

Brianna memandang David dengan cemas sebelum berjalan melewati tirai yang terbuka untuk mengambil syalnya. Ketika Brianna membungkuk, David merasa heran melihat cara wanita itu bergerak. Punggung Brianna tidak melengkung, kepalanya tetap tegak, dan ia agak membengkokkan lututnya agar bokongnya tidak menonjol. Sayang sekali. Rok Brianna yang usang tidak terlalu berhasil menyembunyikan bentuk tubuhnya, dan menurut perkiraan David, wanita itu memiliki bagian belakang yang sangat menarik.

Ketika kembali ke ruang utama, Brianna menyampirkan syal hitam lusuhnya ke sekeliling bahu. Dinilai dari warna kulit, mata hijau, serta nama Brianna, David menebak wanita itu keturunan Irlandia, dan mendapati dirinya bertanya-tanya apakah Brianna juga memiliki emosi yang sama menyala-nyalanya seperti rambut merah wanita itu.

“Mari,” kata Brianna.

David melihat bayang-bayang keletihan yang samar-samar di bawah mata Brianna yang indah, dengan warna hijau paling tua yang pernah dilihatnya. David tahu dari surat Daphne kalau Brianna mengambil pekerjaan apa pun yang bisa didapatkan agar bisa menghidupi putri mereka, tapi dinilai dari penampilannya, Brianna hanya menggunakan sedikit sekali dari penghasilannya untuk dirinya sendiri. Selain tubuhnya yang kurus, Brianna mengenakan gaun yang pudar dan sangat usang, dan terlalu ketat di bagian dada. Sepatu bot Brianna sudah terlalu tua dan penuh goresan. David juga curiga kalau wanita itu kurang tidur, jarang makan, dan jarang memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Pemikiran itu membuatnya merasa seperti bajingan rendahan. Kalau bukan karena dirinya, Brianna tidak akan berada dalam kondisi seperti ini.

Ketika mereka keluar dari toko pakaian, angin bertiup semakin kencang, dan sedikit terasa menggigit. Brianna mengeratkan syalnya dan memimpin David di sepanjang serambi kayu yang reyot dan tak rata itu hingga mereka mencapai gang sempit di antara bangunan dan menghilang ke dalamnya. David mengikuti brianna ke dalam lorong yang gelap itu, di mana bangunan bobrok masing-masing sisinya berfungsi sebagai penahan angin. Serta suara. Tidak ada orang yang lalu lalang untuk mendengar pembicaraan mereka, dan David curiga karena itulah Brianna memilih tempat yang tersembunyi ini, walaupun kewaspadaan wanita itu terhadapnya terpampang sangat jelas.

Brianna berbalik untuk menghadapi David, wajahnya pucat, matanya berkilat. “Anda telah membuat kesalahan besar dengan datang ke sini, Mr. Paxton. Saya sudah bilang dalam surat terakhir saya kalau Daphne bukan putri Andan.”

David berusaha untuk menahan amarahnya. Ia telah melihat Daphne, dan kalau anak itu bukan seorang Paxton, ia akan memakan sepatu botnya, sedangkan untuk makanan penutup, ia akan melahap topinya. Tetap saja, ia ingin mendengar apa yang akan diucapkan Brianna. Kemunculannya yang tak diharapkan pasti membuat wanita itu bingung. Hubungan satu malam yang berujung pada kehamilan serta bertahun-tahun tak bertemu tidak menjadikan mereka kekasih, teman dekat, atau bahkan kenalan. Apa pun niat dan tujuannya, ia adalah orang asing.

“Begini,” ucap David, berusaha agar suaranya terdengar lembut. “Kedatanganku ke sini bukan untuk memberimu masalah. Aku hanya ingin melakukan hal yang benar untukmu dan anak itu.”

Brianna mengerjapkan matanya dan, seolah bulu matanya tersambung dengan sumbat saluran pembuangan, seluruh warna di wajahnya mengalir turun. “Apa kau tidak mendengarku, Mr. Paxton? Ini bukan tentang kau melakukan hal yang benar. Ini mengenai kesalahan identitas. Kau memiliki nama suamiku, tapi kau bukan suamiku, dan kau bukan ayah Daphne. Tak bisakah kau lihat itu? Kau pasti tidak bisa berkata bahwa kau pernah bertemu denganku.”

David menunukkan kepalanya dan menusuk-tusuk tanah dengan tumit sepatunya, kebiasaan yang dilakukannya ketika sedang marah atau tegang. Hal itu memberinya kesempatan untuk berpikir sebelum bertindak. Brianna terlihat ketakutan setengah mati, dan ia tidak ingin terlalu cepat mengakhiri percakapan mereka dengan mendorong wanita itu ke dalam kepanikan. Dari sudut pandang Brianna, ini jelas situasi yang menakutkan. Dalam perebutan hak asuh, sang ayah, yang punya pendapatan lebih besar, biasanya akan menang di pengadilan. Mungkin Brianna takut ia bermaksud untuk mengambil Daphne. Ia tidak datang ke tempat ini untuk memisahkan ibu dan anak. Baginya, ia memiliki tanggung jawab yang sama besarnya terhadap Brianna seperti ia bertanggung jawab terhadap Daphne. Daya tarik Hazel Wright sepertinya memudar kalau dibandingkan dengan situasi yang ada di depan mata. Ia akan melakukan apa pun untuk memperbaiki kesalahannya, dan kalau itu artinya menikah dengan seorang wanita yang tidak dicintainya, maka itulah yang akan terjadi. Paling tidak Brianna sedap dipandang, dan dalam kondisi yang lebih baik, wanita itu mungkin menyenangkan.

“Seperti yang kukatakan, aku datang ke sini bukan untuk memberimu masalah.”

Brianna memejamkan matanya erat-erat. Ketika Brianna membuka matanya lagi, David melihat bayang-bayang kecemasan dan ketakutan telah menggelapkan pupil matanya. David menyesali hal itu, tapi pilihan apa lagi yang dimilikinya? Setelah melihat Daphne, ia tidak bisa pergi begitu saja hanya karena tidak ingin membuat wanita ini bersedih.

“Sepertinya yang kukatakan di surat terima kasihku, Mr. Paxton, suamiku adalah seorang penambang di Denver, bukan seorang marshal di sebuah kota terpencil.”

David menggali lubang yang lebih dalam di tanah, berharap ia lebih pintar dengan kata-kata. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu, Ma’am, tapi aku sudah mencari laki-laki lain bernama David Paxton ke seluruh penjuru Denver dan daerah sekitarnya, aku sudah mengunjungi berbagai bar, kantor pos, juru kir, dan semua toko, mencari bukti transaksi atas nama itu. Aku juga telah menanyai orang-orang, berharap menemukan satu orang saja yang mungkin mengingatnya. Hasilnya... tidak ada David Paxton lain di daerah itu.”

Brianna terlihat seperti akan pingsan. Bibirnya terkatup membentuk garis tipis. Tubuhnya lunglai. David mencengkram bahu Brianna untuk menahan wanita itu, hanya untuk melihat wanita itu tersentak dan menjauh dari sentuhannya.

“Mustahil,” kata Brianna. “Aku menikah dengan pria itu. Aku punya anak dengannya. Kurang dari satu bulan yang lalu, aku menerima surat darinya, dengan stempel pos dari Denver! Dia ada di sana, sedang menambang emas. Hanya karena kau tidak menemukannya bukan berarti dia tidak ada. Untuk apa aku berbohong mengenai hal seperti itu?”

David tidak tahu untuk apa Brianna berbohong; ia hanya tahu kalau wanita di hadapannya ini berbohong. Sekitar sebulan lalu, ia telah bicara panjang lebar dengan kepala kantor pos Denver. Pria itu memiliki ingatan setajam pisau, secara pribadi memperhatikan semua pelanggannya, dan tidk pernah melupakan satu nama pun. Kalau David Paxton yang lain pernah mengeposkan surat dari tempatnya dalam kurun waktu enam tahun ini, pria itu pasti akan ingat.

Seakan-akan bisa merasa kalau David tidak percaya padanya, Brianna mencondongkan badan ke depan dan menjulurkan lehernya. “Dia menambang di Denver. Di tambang emas! Semua suratnya dikirim dari sana!”

David tidak ingin percakapan mereka ini berkembang ke arah yang buruk, tapi wajah manis Daphne terus melintas di benaknya. Kemiripan anak itu dengan ibunya sangat luar biasa, dan tanda lahir di leher Daphne adalah bukti tak terbantahkan kalau darahnya mengalir di tubuh anak itu.

Berusaha untuk memilih kata-katanya dengan berhati-hati, David berujar, “Emas di Denver sudah habis bertahun-tahun yang lalu. Hanya orang bodoh yang terus menggali di sana sekarang.”

“Apa kau menyebut suamiku bodoh, Sir?”

Well, tidak... paling tidak, tidak persis begitu. Yang dimaksud David, dengan sesopan mungkin, adalah bahwa suami yang dikatakan Brianna tidak pernah ada. Ia memandang jauh ke dalam gang itu, berharap bisa menemukan jawaban di sana. “Yang kumaksud adalah... tidak ada David Paxton lain yang tinggal di wilayah Denver.”

“Kalau begitu mungkin dia menambang di tempat lain! Mungkin dia pindah!” teriak Brianna. “Mungkin dia pergi ke Denver untuk beristirahat, untuk mandi air panas, makan makanan yang enak, dan bermalam di hotel. Dari dulu dia senang bermain kartu, dan kadang-kadang minum juga. Seorang pria tidak bisa bekerja sepanjang hidupnya tanpa sesekali bersenang-senang.”

Yang tampak di mata David adalah Brianna melakukan hal yang bertolak belakang dengan ucapannya barusan. “Kota-kota pertambangan yang terletak di pegunungan di bagian barat Denver sudah memiliki hotel, bar, pemandian umum, dan kantor pos mereka sendiri,” ujar David. “Untuk apa seseorang pergi ke Denver ketika semua hal yang kau sebutkan sudah tersedia di kota tempatnya bekerja? Aku juga akan menambahkan kalau aku sudah memeriksa tempat-tempat itu. Leadville, Central City. Aku bahkan pergi sampai sejauh Summitville. Tidak ada catatan tentang David Paxton yang pernah tinggal di sana. Sederhana saja, pria itu tidak ada. Kalau dia ada, apakah menurutmu aku akan berada di sini? Apa kau pikir aku suka melakukannya? Aku punya kehidupan yang nyaman di No Name, pekerjaan sebagai marshal dan menjadi pemilik peternakan yang sukses.”

“Kalau begitu kembalilah ke sana!” jerit Brianna. “Aku tidak mengundangmu ke sini.”

“Salah,” koreksi David, “Kau mengundangku. Dalam berlusin-lusin surat yang ditulis selama enam tahun terakhir ini, kau tidak hanya mengundangku ke sini, tapi kau memohon kepadaku agar aku datang.”

Brianna bersandar dengan lunglai ke dinding kayu di belakangnya. “Kumohon, pergilah. Jangan lakukan ini.”

“Aku tidak punya pilihan lain,” balas David.

“Kenapa?” tanya Brianna, suaranya meninggi menjadi lengkingan. “Apa kau sudah gila? Aku tahu siapa ayah anakku, Sir, dan orang itu bukan kau!”

“Kalau begitu kenapa kau mengirimku surat-surat itu?”

“Aku tidak melakukannya!” Bisa dibilang brianna meneriakkan kata-kata itu, kemudian menarik napas untuk mengendalikan dirinya.

David sudah tidak berusaha untuk berdiplomasi lagi. “Aku sudah melihat Daphne. Anak itu jiplakan ibuku. Dia bahkan punya tanda lahir Paxton di lehernya. Jangan berdiri di sana dan mengatakan bahwa dia bukan anakku. Aku tahu itu tidak benar.”

Brianna tertawa –suara yang rapuh dan kalut, lalu ia menelan ludah yang terasa menyumbat tenggorokannya. “Kau berkhayal. Noda di leher anakku bukan tanda lahir.” Ia berhenti dan tatapannya berpindah dengan gugup. “Sewaktu dia masih bayi, aku tidak sengaja menumpahkan minyak panas dari kuali, minyak itu mengenainya. Luka bakar itu meninggalkan bekas.”

David sudah terlalu sering menginterogasi orang untuk bisa ditipu semudah itu. Buku-buku hari di tangan yang digunakan Brianna untuk mencengkram syalnya memutih. Bukannya memandang David langsung ke matanya, Brianna memusatkan perhatian pada bangunan di belakang David. David tidak memercayai satu kata pun yang diucapkan wanita ini. Mungkin dugaannya tentang pria lain dalam kehidupan Brianna serta rencana pernikahan mereka benar. Kemunculan ayah Daphne yang tidak diharapkan sudah pasti akan menghancurkan rencana Brianna.

Bullshit,” sergah David.

Brianna tersentak mendengar kata itu, yang memberitahu David kalau wanita itu tidak terbiasa dengan kata-kata kasar. Well, ia sudah tidak lagi peduli untuk menyortir kata-katanya.

“Aku mengenali seorang Paxton ketika aku melihatnya,” tambah David. “Demi Tuhan, dia anakku! Dan sekarang kau berharap aku pergi begitu saja? Pikirkan lagi. Kau terlihat seperti sudah tidak makan selama satu minggu. Bajumu sudah sangat tipis. Putriku akan memakai karung kalau aku tidak mengirim uang. Tapi kau masih saja berdiri di sana, menyangkal hakku untuk merawat dirinya, juga dirimu?”

“Aku sudah melakukan yang terbaik untuknya! Kau tidak berhak mengkritikku atau caraku menyediakan kebutuhan anakku. Kau sudah kelewatan.”

“Aku tidak bermaksud mengkritik. Dalam kondisimu, kurasa kau sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Tapi dengan bantuanku kau bisa melakukan yang lebih baik lagi.”

“Aku tidak menginginkan bantuanmu.”

“Bahkan kal;au itu bisa membuat keadaan lebih baik untuk Daphne?” David menyodorkan fakta itu kepada brianna dan melihat wanita itu mengernyit. Ia berada di atas angin dan terus menekan, karena ia mendapat firasat ia tidak akan sering mendapatkannya. “entah kau menginginkan bantuanku atau tidak, pria-pria Paxton tidak memiliki anak lalu meninggalkan mereka begitu saja. Kami memiliki kewajiban untuk melakukan hal yang benar terhadap anak itu dan ibunya. Pahami itu. Sekarang karena aku sudah di sini, aku tidak akan pergi tanpa putriku.”

Brianna memandang David seakan-akan David adalah seekor ular derik berkepala lima. “Apa kau mengancamku?”

“Silahkan artikan seperti itu kalau kau mau. Aku tidak akan mengulangi kata-kataku.”

Bahkan dalam cahaya yang redup, air mata tampak berkilauan seperti berlian di mata Brianna, “Kau harus mendengarkan aku,” katanya dengan terbata-bata. “Kubilang padamu, kau salah. Suamiku, David, pernah menjadi seorang peternak di Colorado.”

“Di bagian mana Colorado?” sergah David.

Brianna memandang David dengan tatapan kosong. “Itu... emm... kota yang kecil. Aku yakin kau tidak pernah mendengarnya.”

“Coba saja.”

Brianna menjentikan ujung lidahnya di atas bibir bawahnya yang penuh. “Taffeta Falls,” semburnya.

David hampir terkekeh. Taffeta Falls? Brianna seorang penjahit, jadi ia rasa masuk akal kalau ketika berbohong, Brianna akan mengambil dari hal-hal yang dikenalnya. “Kau benar. Aku tidak pernah mendengarnya.” Tak diragukan lagi karena tempat itu tidak ada. David memberi isyarat dengan tangannya. “Silahkan, lanjutkan.”

Brianna mengangkat bahunya, menarik napas dengan dalam melalui hidungnya, dan jelas sekali berusaha mengumpulkan ketenangan. “Sampai di mana tadi?”

“Suamimu dulu pernah menjadi seorang peternak di Colorado, di dekat kota kecil bernama Taffeta Falls.”

“Oh, ya, benar.” Brianna menarik napas lagi sebelum melanjutkan, “aku bertemu David di Boston ketika dia ke sana untuk mengunjungi saudaranya. Setelah kami menikah, aku kembali ke Colorado bersamanya. Tak lama kemudian, dia mendengar kalau di Denver ditemukan emas, dan dia pergi ke sana untuk mencari keberuntungannya. Tidak lama setelah dia pergi, aku sadar kalau aku sedang mengandung, dan tak bisa melakukan pekerjaan yang kuperlukan untuk menjalankan peternakan. Bank menyitanya. David tidak menjawab surat-suratku atau kembali untuk menjemputku. Saat itu, aku tidak punya rumah, jadi aku kembali ke Boston, memohon kepada keluarga David untuk membantuku.”

“Bagaimana dengan keluargamu sendiri?” potong David.

David menyimpan informasi kecil itu untuk nanti.

“Setelah Daphne lahir, aku mendapati kalau aku merindukan ruang terbuka yang luas di Colorado dan menjawab iklan yang dipasang di koran Boston, melamar pekerjaan sebagai pelayan dan guru di rumah seorang duda di luar Glory Ridge. Aku bekerja untuknya sampai tiga bulan yang lalu, ketika dia menikah lagi.”

David hampir memutar bola matanya. Cerita Brianna bisa diterima, tapi sepertinya mendengar hafalan anak-anak tentang pidato Gettysburg Address, yang membutuhkan ingatan bagus, tapi diceritakan dengan terlalu sempurna dan tanpa perasaan.

“Kenapa, setelah sadar kau hamil, kau tidak tinggal di Denver sampai kau bisa menemukan aku?” cetus David.

“Menemukanmu? Apa kau sama sekali tidak mendengar apa yang baru saja kukatakan?”

“Aku mendengarmu, tapi aku lebih percaya pada bukti yang ada di depan mataku. Anak itu jelas seorang Paxton.”

“Dia bukan seorang Paxton!” seru Brianna. “maksudku, dia memang seorang Paxton... tapi dia bukan anakmu! Lihat aku,” jeritnya. “Lihat aku dengan sungguh-sungguh. Apa kau ingat, sedikit saja, pernah bertemu denganku sebelum ini?”

David sudah mempertimbangkan kalau Brianna kemungkinan akan tersinggung apabila ia mengakui yang sebenarnya, jadi ia memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang memuji ketimbang menjawab pertanyaan tersebut. “Bagaimana seorang pria yang masih bernapas bisa melupakan wanita cantik seperti dirimu?”

Mulut Brianna menganga memandangnya. David merasa seperti kecoak yang hinggap di piring makanan wanita itu. “Kau benar-benar sudah gila, Sir. Kita tidak pernah bertemu. Kau bukan ayah anakku. Mungkin, saking seringnya kau menaklukkan wanita, kau sudah tidak bisa ingat lagi setiap wanita yang berhasil kau dekati, tapi aku ingat dengan jelas satu-satunya pria yang pernah bersamaku, yaitu ayah Daphne. Aku akan menambahkan dengan jelas sekali, paling tidak untukku, kalau aku tidak akan pernah berhubungan dengan laki-laki dari strata sosialmu.”

Strata sosialnya? Orang tua David suka mengucapkan kata-kata rumit, tapi ia belum pernah mendengar yang satu itu. Tapi ia tahu sebuah hinaan ketika mendengarnya. Oke, ini akan menjadi buruk, entah ia menginginkannya atau tidak. Ia menarik napas dan mencari kata muluk-muluk apa pun yang diketahuinya. Otaknya sama kosongnya dengan papan tulis yang baru dibersihkan. “Apa yang salah dengan strata sosialku?” Ketika bertanya, David berharap ia tahu apa tepatnya arti dari kata itu karena ia akan melemparkan kembali kata itu kepada wanita ini. “Aku berasal dari keluarga baik-baik, keluarga terhormat. Dan kau jelas sekali tidak tahu kau sedang berurusan dengan siapa. Kau tidak bisa menjauhkanku dari putriku atau mengingkari hakku untuk memenuhi kewajibanku padanya. Apakah kita sudah sepaham tentang itu? Tawaranku masih sama, aku akan mengurus kalian berdua, tapi sebaiknya kau sadar kalau kau tidak berurusan dengan pria pesolek Boston yang manja, yang langsung kabur ketika melihat bahaya. Aku tidak akan meninggalkan putri kecilku, dan tidak ada seorang pun yang bisa menghentikanku. Kalau kau tidak suka, silahkan kumpulkan sepasukan prajurit untuk membantumu, dan selama kau melakukan itu, beritahu para bajingan itu untuk bersiap menghadapi pertarungan yang panjang.”

“Tak diragukan lagi, ini adalah percakapan paling tidak masuk akal yang pernah kulakukan. Dia bukan anakmu! Untuk apa aku berbohong padamu?”

“Aku tidak tahu,” David mengakui. “Tapi jelas sekali kau punya alasan. Dan yah, aku mungkin tidak masuk akal, tapi kau akan tahu siapa aku, Lady. Aku sudah memutuskan kalau perdebatan kita tidak akan bisa terselesaikan di gang sempit ini. Kita harus membawa membawa masalah ini ke pihak berwenang.” David harus menggigit lidah untuk mencegahnya mengeluarkan makian keras. Dengan cepat wanita itu menjadi wanita paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Aksen Timur Brianna yang angkuh bisa membuat kulitnya gatal-gatal lebih cepat daripada kutu Oklahoma. “Sejauh yang kulihat, bicara denganmu tak ada gunanya lagi.”

Brianna mencoba untuk tenang dan melemaskan bahunya. “Mungkin kita berdua harus menenangkan diri dulu, Mr. Paxton. Kita sama-sama dewasa, bukan? Tentunya kita bisa mendiskusikan masalah ini dan mencapai hasil yang memuaskan kita berdua tanpa harus melibatkan orang lain.”

Sudah pasti David menganggap dirinya dewasa, tapi pada saat ini, strata sosialnya sepertinya menjadi masalah. Meskipun begitu, ia memaksa dirinya untuk meredakan amarahnya –dan, yah, perasaannya yang tersinggung. Jelas sekali Brianna merasa tidak nyaman untuk membicarakan masalah mereka di hadapan pihak berwenang, dan kalau mereka berdua bisa menyelesaikannya tanpa harus melibatkan orang lain, ia setuju-setuju saja.

“Baiklah,” David menyetujuinya. “Mari kita mulai.”

Brianna membalikkan kedua telapak tangannya ke atas untuk memberi isyarat bingung dan pasrah. “Aku mengalah, Sir. Silakan kau duluan.”

“Baiklah, aku akan memulai dengan bagaimana ini terjadi.”

“Menurutmu apa yang terjadi?”

“Apa yang terjadi di antara kita berdua, kurasa akan kau sebut sebagai hubungan intim.”

Kedua pipi Brianna memerah. “Kita tidak pernah  bersama dalam pengertian apa pun, Mr. Paxton, hubungan intim atau yang lain.”

“Kau mulai lagi, tidak mau membiarkanku bicara. Mungkin insting awalku benar, dan kita membutuhkan wasit.”

“Penengah, maksudmu?”

David mengatupkan giginya. Rupanya Brianna sadar karena wanita itu mengayunkan tangannya , menggumamkan sesuatu dengan pelan, dan berkata, “Aku minta maaf. Kumohon, lanjutkanlah.”

“Terima kasih,” cetus David agak sarkatis. “Begini menurutku apa yang terjadi.” David menarik lepas topinya, menyisir rambutnya dengan tangannya, dan memasang kembali topi itu ke kepalanya. “Kupikir kau dan aku(me) bertemu...”

“Aku(I),” potong Brianna. “Itu adalah bentuk yang tepat untuk kata ganti orang pertama di dalam kalimat itu.

David melengkungkan satu alisnya. Wanita ini benar-benar membuatnya emosi. “Apa?”

“Maafkan aku.” Brianna mengibaskan tangannya lagi. David tidak pernah melihat orang yang pergelangan tangannya selentur itu, membuatnya bertanya-tanya apakah tulang Brianna terbuat dari agar-agar. “Penggunaan kata gantimu yang tidak tepat sangat tidak penting. Hanya saja me digunakan sebagai objek dalam sebuah kalimat. Contohnya, kau tidak akan pernah mengatakan, ‘Tell I what you mean by that.’ Itu sama sekali tidak masuk akal.”

“Kurasa caraku mengatakannya membuatnya masuk akal. Kalau kau menginginkan seorang mediator, tidak apa-apa, tapi kalau tidak, tolong berhentilah mencari kesalahan dari bahasa Inggrisku.” Dalam hati David menyelamati dirinya sendiri karena berhasil mengucapkan kata yang terdengar hebat. Mediator. Tidak buruk untuk seorang laki-laki dengan strata sosial yang dipertanyakan.

“Maafkan aku,” sahut Brianna. “Sungguh, aku menyesal. Tidak ada koreksi lagi, aku janji. Aku hanya sedang kesal sekarang. Tiba-tiba saja itu kelaur dari mulutku.”

Mungkin seperti halnya mengatakan kalau peternakan sang suami ada di dekat Taffeta Falls? David menyentakkan bagian depan duster-nya, meregangkan bahunya, dan berusaha untuk mengingat apa yang tadi sudah hendak dikatakannya. Oh, ya. Strata sosialnya mungkin kurang meyakinkan, tapi ingatannya bagus –kecuali yang berkaitan dengan berguling di atas jerami dengan wanita ini.

“Kupikir kau dan aku, bertemu di Denver beberapa tahun yang lalu, menjalin hubungan satu...” David berhenti karena semua deskripsi yang ada di benaknya terlalu kasar untuk diucapkan kepada seorang wanita. “Romansa satu malam, kurasa kau bisa menyebutnya seperti itu. Kurasa kita bertemu, kita bersenang-senang, dan ... well, lupakan saja. Dulu, aku sering mabuk berat ketika aku pergi ke Denver, tidak hanya di bar, tapi bahkan di acara kumpul-kumpul bersama peternak lainnya, yang kemungkinan besar menjadi tempat pertemuan kita.”

“Kita tidak pernah bertemu di mana pun, apalagi di acara seperti itu.”

David mengangkat tangannya agar Brianna diam. “Biarkan aku menyelesaikannya. Kurasa kita bertemu dengan cara itu... atau dalam situasi yang mirip dengan itu. Kau tidak punya tampang wanita yang senang bermain dengan laki-laki.”

Brianna menaikkan dagunya. “Terima kasih.”

David mengangguk. “Aksenmu itu menunjukkan kalau kau adalah seorang lady dari wilayah Timur. Aku tidak mengatakan kau pergi untuk mencari masalah, ataupun aku yang mencari masalah. Tapi... halo, Honey, kecabulan sering terjadi.” Menyaksikan raut wajah Brianna yang tersinggung, David berharap ia bisa menelan kembali kata-kata itu. “Hal-hal buruk terjadi. Hal-hal yang tidak pernah kita rencanakan untuk terjadi. Kalau kau kehilangan orang tuamu sewaktu kau masih kecil, mungkin kau pergi ke Barat untuk tinggal dengan keluargamu yang tidak mengurusmu dengan baik. Aku selalu tertarik pada wanita cantik. Aku mungkin mendekatimu dan memulai percakapan, dan selama kita berbincang, kta minum terlalu banyak.”

“Ketika kita berdua mabuk, dan mungkin pergi untuk berjalan di bawah cahaya bulan, situasi menjadi lepas kendali. Aku mengenal diriku sendiri... aku mungkin mabuk berat dan sudah tidak berpikir jernih lagi bahkan sebelum datang ke acara itu. Pada masa-masa itu aku cenderung terlibat dalam masalah, dan aku jelas sekali menemukannya malam itu. Setelah aku meninggalkan acara itu, tak diragukan lagi aku pergi ke bar dan menjadi semakin mabuk. Bukan hal yang tidak lazim bagiku untuk bangun keesokan paginya tanpa ingat apa yang terjadi malam sebelumnya, jadi aku tidak akan ingat pertemuanku denganmu. Selanjutnya aku kembali ke peternakanku yang terletak di luar No Name. Beberapa bulan kemudian, kau sadar kalau dirimu hamil, dan kau tidak tahu bagaimana caranya untuk menemukanku. Kau putus asa, lalu meminjam namaku, mungkin satu-satunya yang bisa kau ingat dengan jelas tentang diriku, kecuali kau mengira aku tinggal di Denver, dan memutuskan untuk membesarkan anak yang lahir di luar pernikahan dengan sedikit martabat.”

David berhenti dan menelan agar suaranya tetap tenang. “Seorang wanita terhormat seharusnya tidak berada dalam posisi itu. Kalau kita mabuk, seharusnya aku menjagamu, bukan mengambil keuntungan darimu. Semua kesulitan dan penderitaan yang telah menimpamu sejak saat itu sepenuhnya kesalahanku. Situasi yang kau alami bersama putriku sekarang ini adalah kesalahanku. Kenapa kau tidak bisa memahami kalau aku tidak bisa pergi begitu saja dan melupakan semua ini, atau bahwa aku datang ke sini bukan untuk membuatmu bersedih? Dan... sial, kenapa kau tidak mau mengakui apa yang sudah sangat jelas sekali , bahwa Daphne adalah putriku?”

“Karena dia bukan putrimu!”

David tidak bisa mengerti respon Brianna. Ia telah menerima semua kesalahan itu sebagai tanggung jawabnya, tapi masih saja wanita ini menyangkalnya. “Aku di sini untuk membetulkan yang salah. Kau tidak bisa berdiri di sana dan memberitahuku kalau kau tidak membutuhkan bantuan. Jelas sekali kau membutuhkannya, dan aku menawarkannya. Kalau kau memilih untuk tidak menikah denganku, tidak masalah. Tapi paling tidak biarkan aku membawamu dan anakku keluar dari neraka ini, membelikan rumah yang bagus untuk kalian, membiayai kehidupan kalian... dan biarkan aku mengambil bagian dalam kehidupan putriku.”

“Tidak akan pernah. Aku tidak akan menerima bantuan sebesar itu dari orang asing. Kau bukan ayahnya. Kurasa ceritamu masuk akal, tapi hanya sebatas itu, sebuah cerita yang kau karang, yang tidak ada hubungannya dengan kebenaran. Tidak alasan kenapa aku bahkan harus mengizinkanmu untuk bertemu dengan Daphne lagi.”

David telah melakukan yang terbaik untuk meredam emosinya. Sekarang Brianna mulai menyulutnya lagi. Ia tidak berniat untuk bersikap kasar terhadap wanita ini, tapi terkutuklah dirinya kalau memb iarkan Brianna mengambil haknya untuk menjadi ayah yang baik bagi anaknya. “Jangan menggigit lebih banyak daripada yang bisa kau kunyah,” katanya dengan pelan. Aku pasti akan bertemu dengan putriku lagi... percayalah padaku mengenai hal itu... dan kau akan menyesal karena berusaha menghentikanku.”

Brianna mendorong badannya dari dinding dan maju satu langkah ke arah David. Seperti yang dicurigai David, sifat Irlandia Brianna yang meledak-ledak, yang sedari tadi bersembunyi di balik penampilan lady itu akhirnya menampakkan diri. Brianna memuntahkan kata-kata seperti peluru, dan ekspresi di matanya memberitahu David dengan cukup jelas kalau wanita itu berharap kata-katanya adalah peluru sungguhan. “Setelah mendengar ceritamu, Mr. Paxton, aku setuju denganmu. Jelas sekali ini adalah masalah yang harus dibawa ke hadapan marshal. Kau, Sir, benar-benar sudah gila. Aku tidak akan bergaul dengan seorang pria seperti dirimu bahkan kalau aku mabuk. Kita tidak pernah bertemu di Potluck. Kita tidak pernah minum alkohol bersama-sama. Kita tidak pernah punya anak. Intinya, kita bahkan tidak pernah bertemu.”

David tidak terintimidasi oleh amukan emosi Brianna. Bahkan dengan lebih banyak daging dan lemak yang menempel di tulang-tulang Brianna, ukuran tubuh wanita itu tetap kecil. Lalu, yang membuat David takjub, Brianna berani menusuk dadanya dengan jari –tusukan tajam yang mungkin akan mendorongnya kalau ia berdiri di tanah yang tidak rata. Para jago tembak, yang mahir dengan senjata mereka, menghindari konfrontasi dengannya, tapi wanita mungil ini berpikir bisa menghadapinya? David hampir tertawa. Untung saja ia dibesarkan untuk menghormati lawan jenisnya dan tidak akan pernah memukul wanita, tak peduli apa pun yang dilakukan wanita itu untuk memprovokasinya.

Tapi bukan berarti ia harus berdiri saja dan membiarkan wanita ini menusuknya. Ia menangkap pergelangan tangan Brianna. Tulang yang menekan jari-jarinya terasa serapuh tulang burung. “Aku tidak akan bertengkar denganmu lagi. Jelas sekali kalau masalah ini harus dibawa ke pihak berwenang, tapi aku tidak akan puas kalau mengajukannya hanya kepada seorang marshal. Apakah ada hakim yang bisa dipercaya di kota yang menyedihkan ini?”

Brianna menarik tangannya hingga terlepas dari tangan David. “Sudah pasti ada! Kau tidak punya bukti apa pun kalau Daphne adalah putrimu. Kau tidak bisa begitu saja masuk ke dalam kehidupan kami dan mengaku-aku sebagai ayahnya, didasarkan pada bukti lemah bahwa kita memiliki nama keluarga yang sama. Langkahi dulu mayatku kalau mau membawa anakku!”

“Kita lihat saja nanti. Aku akan mengatur pertemuan dengan hakim dan marshal.”

Brianna berusaha untuk mendorong David ketika berjalan keluar dari gang sempit itu. David, karena marah, menahan bahunya sehingga membuat Brianna terdorong mundur. Brianna kehilangan keseimbangan dan terhuyung, lalu mendelik pada David, yang membuat wajah David panas. Apa yang baru saja dilakukannya tak bisa diterima, dan ia tahu kalau seharusnya ia meminta maaf, tapi ketika ia berusaha untuk mendorong kata-kata maaf itu keluar dari mulutnya, ia hampir tersedak.

“Aku sudah tinggal di kota ini selama enam tahun,” jelas brianna. “Daphne masih bayi ketika aku tiba di sini. Hakim itu mengenalku. Begitu juga dengan sang marshal. Apa kau sungguh-sungguh berpikir mereka akan lebih memercayai kata-kata orang asing ketimbang kata-kataku?” Brianna mengangkat kepalanya tinggi-tinggi untuk berjalan dengan anggun ketika melewati David, roknya terangkat tinggi. “Omong kosong! Mungkin kau memakai lencana, tapi kau bisa saja membelinya entah dari mana. Kau lebih terlihat seperti seorang penjahat daripada seorang penegak hukum. Mererka akan tertawa dan menendangmu keluar dari kota ini.”

David tak bisa menahan dirinya untuk tidak mengagumi keberanian Brianna. Ia menyenderkan bahunya ke sudut bangunan dan memanggil Brianna. “Mrs. Paxton.”

Mendengar panggilan itu, Brianna berhenti seakan-akan menabrak tembok dan berputar untuk memandang David.

David sudah sering menghadapi pertengkaran, dan pada detik itu juga, ia tahu kalau dirinya sudah memenangi pertarungan itu. Tidak butuh kata-kata rumit dan aksen tingkat tinggi untuk menyampaikan maksudnya. “Ada pertunjukan yang harus kita hadiri di sekolah malam ini. Kupikir Daphne pantas untuk ditonton oleh ibu dan ayahnya. Aku akan kembali denganmu dan memberitahu wanita tua itu kalau kau akan ikut denganku. Dan aku akan mengatur pertemuan dengan hakim malam ini, kalau memungkinkan. Aku punya pekerjaan dan peternakan yang harus kuurus di kotaku, jadi semakin cepat masalah ini selesai, semakin baik.”

Brianna mendelik, pipinya berwarna merah tua, “Aku punya pekerjaan, Sir. Aku sudah meminta izin hari ini, dan aku tidak bisa meminta lebih banyak lagi. Aku sama sekali tidak mungkin menghadiri pertunjukan di sekolah malam ini... ataupun pertemuan itu. Aturlah untuk besok.”

“Mulai saat ini, aku akan mengambil alih tanggung jawab untuk membiayai anak kita. Karena itu, kau bisa saja bolos kerja. Lagi pula, tak lama lagi kau akan meninggalkan tempat ini.”

Sejenak, David setengah berharap wanita itu akan memukulnya. Sebaliknya, Brianna menegakkan badan dan berputar memunggunginya. Walau masih marah, David tak bisa menahan senyum yang terbentuk di bibirnya. Wanita ini benar-benar luar biasa. Ia harus mengakui itu. Dan bahkan ketika sedang marah, Brianna adalah wanita paling cantik yang pernah ditemuinya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar