Rabu, 10 Oktober 2018

One Good Earl Deserves a Lover 7


“Guna menghasilkan sutra yang berkualitas, pembuat sutra (NB: serikulturis) memastikan dedaunan mulberi yang dimakan ulat-ulatnya baik. Setelah ada makanan asing (atau bahkan aroma asing) yang bersentuhan dengan makhluk-makhluk itu. Setelah puas makan, ulat-ulat itu membungkus diri, memintal kepompong mereka dan, setelah beberapa hari berselang, sang serikulturis menggagalkan inkubasi mereka dan mencegah munculnya kupu-kupu lalu menambang sutra dari kepompong.

Aku tidak berniat membiarkan ini terjadi kepadaku.

Puji Tuhan untuk celah pemikiran logis.”

Jurnal Ilmiah Lady Philippa Marbury
25 Maret 1831; sebelas hari sebelum pernikahannya

Tawa Temple membahana di ruangan kecil yang dikunci itu. “Your Grace?” desak Pippa.


Tawa Temple terhenti, secepat dimulainya. Ia tidak menanggapi, malah melewati Pippa dan beranjak ke rak buku yang mendominasi ujung seberang ruangan. Temple mengganti buku-buku selama beberapa saat.

Temple pasti akan menyuruhnya pulang, pikir Pippa. Mungkin pria itu sedang mencari buku untuk menyibukkan Philippa Marbury yang aneh dan ilmiah sampai bisa memberitahukan keberadaannya kepada seseorang. “Aku tidak butuh buku,” ujar Pippa. “Aku bisa menghibur diriku sendiri.” Temple tidak menimpali. “Kumohon, jangan beritahu Bourne. Atau ayahku.”

Temple menarik sebuah buku bersampul kulit merah dari rak atas. “Beritahu apa?”

Pertanyaan itu terlupakan begitu dinding bergerak, mengayun ke dalam dan memperlihatkan ruang gelap yang menganga.

Pippa terkesiap, lalu mnendekat untuk mengamati. “Aku belum pernah...” ia mengulurkan tangan ke rak buku, melihat apa yang kelihatannya berupa koridor tak berujung. Ia menoleh kepada Temple, tidak bisa menahan senyum di wajahnya. “Ini jalan rahasia.”

Temple tersenyum. “Benar.” Ia menyodorkan sebatang lilin kepada Pippa lalu meletakkan bukunya kembali, melambaikan tangan untuk mengajak Pippa masuk ke ruangan misterius itu. Tapi Pippa sudah sempat melihat buku yang menyingkapkan rahasia mengesankan ini.

Paradise Lost.

Pippa melangkah masuk ke kegelapan.

Pas sekali.

Temple berjalan lebih dulu menyusuri lorong, dan jantung Pippa berdebar kencang, semangatnya kian menjadi sewaktu mereka masuk semakin dalam. Tidak ada pintu yang terlihat, dan rasanya dindingnya melengkung membentuk sebuah lingkaran besar. “Apa yang ada di balik dinding ini?”

Temple tidak berhenti. “Tidak penting.”

“Hmm... aku yakin begitu.”

Temple tertawa. “Mungkin Cross akan menunjukkannya kepadamu suatu hari nanti. Atau Lady Bourne.”

Alis Pippa terangkat. “Penelope tahu?” sulit rasanya membayangkan kakaknya yang santun menjelajahi jalan rahasia di sebuah klub pria yang terkenal. Tapi kalau dipikir lagi Penelope sudah menikah dengan salah seorang pemiliknya. “Kurasa begitu.” Sayang sekali ia tidak bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaannya kepada Penelope tanpa membangkitkan rasa penasaran.

Bukan penasaran. Kepanikan total.

Bukan berarti kepanikan bisa dianggap respons yang wajar, renung Pippa. Bagaimanapun juga, kalau Penelope boleh mengetahui rahasia-rahasia klub ini, mengapa ia tidak?

Karena ia tidak punya pelindung di sini.

Tidak benar-benar punya.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti satu keabadian, Temple berhenti lalu meletakkan tangannya di dinding luar koridor. Seperti sihir, sebuah pintu terbuka seolah berasal entah dari mana.

Temple mempersilahkan Pippa masuk ke sebuah ceruk di arena utama The Angel, menutup pintu di belakang mereka dengan lembut. Pippa berbalik untuk mengamati dinding itu, menyapukan jemarinya di sutra yang bertekstur. Hanya karena ia ketahui keberadaannya ia bisa menemukan pinggirannya. Ia memandang lawan bicaranya dengan mata terbelalak. “Luar biasa.”

Temple tidak langsung menimpali, malah memandangi dinding dengan mata menerawang selama beberapa saat, seperti melihatnya untuk yang pertama kalinya dan memahami bahwa tempat lain di dunia tidak memiliki jalan-jalan rahasia, dinding-dinding melengkung dan pria-pria misterius. Saat kesadaran terbersit, Temple tersenyum. “Begitu, ya?”

“Siapa yang merancangnya?”

Temple tersenyum lebar, gigi putihnya mengilat di tengah keremangan. “Cross.”

Tangan Pippa kembali ke pinggiran tak kasatmata di dinding. Tentu saja Cross yang merancangnya.

“Temple!”

Teriakan itu mengejutkan Pippa, tapi kelihatannya Temple sudah siap menghadapinya, dan pria itu pun melewati tirai di celah ceruk. Temple menampakkan dirinya di hadapan ruangan... dan semburan kata-kata berbahasa Prancis yang penuh semangat. Pria kekar itu mengangkat tangan seolah menyerah lalu berjalan menyeberangi lantai kasino, menghilang dari pandangan. Pippa menjulurkan kepala untuk melihat.

Ada seorang wanita di seberang ruangan, pipinya merah, rambutnya berantakan, mengenakan celemek hitam dan... apa itu ikan di tangannya? Yang jelas, wanita itu sedang mengumpat seperti seorang pelaut. Seorang pelaut Prancis.

Wanita itu beralih ke bahasa Inggris. “Si dungu Irvington mengirim pesan kalau dia mau membawa sekelompok temannya yang juga dungu untuk makan malam. Dan dia ingin mengajariku cara menggelolah ikan! Aku memasak untuk Charles Kedua! Seharusnya dia berlutut dan bersyukur kepada Tuhan karena aku bersedia memasak untuk Irvington Idiot Pertama!”

“Ah, Didier...,” Temple mulai dengan bahasa Prancis yang sempurna, suaranya rendah dan lembut, seolah ia sedang berbicara dengan binatang buas.

Dan mungkin itu benar. “Kau harus mengirim pesan untuk memberitahu si kerdil itu bahwa kalau dia tidak mau memakan ikannya sebagaimana aku hendak memasaknya, dia boleh mencari ikan lain... dan koki lain... dan klub lain!” Kata-kata yang terakhir membuat kasau ruangan besar itu berguncang.

Tidak sampai tiga meter dari tempat di mana wanita aneh itu berdiri, pintu kantor Cross dibuka. “Apa sebenarnya yang sedang terjadi?”

Napas Pippa tertahan begitu pria itu keluar, jangkung, ramping, dan belum bercukur. Cross mengenakan kemeja lengannya digulung, lalu pandangan Pippa tertuju ke lengan atas yang ramping dan panjang itu, di mana otot melengkung dan membungkus tulang. Mulut Pippa terasa kering. Ia tidak pernah menganggap lengan atas semenarik itu, tapi toh tidak setiap hati ia melihat spesimen sebagus itu.

Ya. Itulah anatomi yang menarik perhatiannya. Tulang.

Tulang lengan. Tulang hasta.

Memikirkan tulang cukup membantu.

Si koki melambai-lambaikan ikannya. “Irvington mau mengkritik sausku! Si dungu itu tidak akan bisa mengenali saus yang bagus bahkan kalau ada seliter susu di kantongnya!”

Cross memutar bola matanya. “Didier... kembalilah ke dapurmu dan masaklah ikanmu. Irvington akan memakan apa yang kita perintahkan untuk dia makan.”

Si koki membuka mulutnya.

“Dia akan memakan apa yang kita sajikan untuknya dan menikmatinya.”

“Selera pria itu seperti kambing,” gerutu si koki.

Temple tersenyum lebar, tangannya direntangkan. “Yah, demi kebaikan kita semua, kuharap kau tidak menyajikan poisson en papier maché  untuknya.”

Si koki tersenyum mendengarnya. Begitu pula dengan Pippa. “Aku tidak menyukainya.”

“Aku juga tidak, tapi dia dan teman-temannya suka kalah. Jadi kita tetap mempertahankannya.”

Perlawanan si koki seolah buyar. “Baiklah,” katanya, memegangi ikan dengan sebelah tangan. “Akan kumasak ikan untuknya.”

“Sebaiknya bukan ikan yang itu,” tukas Cross.

Pippa tertawa, lupa diri, lupa kalau suaranya bisa merambat –cepat dan keras ke seberang ruangan yang besar. Mata kelabu Cross tertuju ke lokasinya. Pippa memundurkan kepalanya ke ceruk, merapatkan punggungnya ke dinding, jantungnya berdebar kencang.

“Nah, Cross,” Pippa mendengar Temple memanggil dari tempatnya di arena kasino.

Tidak ada tanggapan. Pippa memasang telinga untuk mendengarkan apa yang terjadi selanjutnya, beringsut-ingsut ke pintu keluar, tidak sabar menantikan tanda yang mengindikasikan bahwa Cross sudah melihatnya, bahwa Cross sudah menyadari keberadaannya.

Senyap.

Selama beberapa saat yang terasa seperti satu keabadian.

Akhirnya, tidak kuasa menahan diri, Pippa mengintip dengan berhati-hati dari samping ruangan.

Dan mendapati Cross berdiri tidak sampai lima belas sentimeter jauhnya, bersedekap, menunggunya.

Pippa tersentak karena kedekatan Cross, dan mengucapkan hal pertama yang tebersit di benaknya. “Halo.”

Salah satu alis coklat kemerahan diangkat. “Halo.”

Pippa melangkah keluar untuk menghadapi Cross, tangannya digenggam erat-erat di depan tubuhnya. Si koki dan Temple berbalik ke arah mereka, mata keduanya memancarkan sorot penasaran. Seolah entah bagaimana konfrontasi ini lebih aneh daripada seorang wanita Prancis yang melambai-lambaikan ikan trout di arena sebuah kasino.

Yah, ini tidak lebih aneh.

Pippa tahu pasti.

Ia menatap mata kelabu Cross yang tenang, dan menunggu pria itu mengucapkan seseuatu lagi.

Cross tidak melakukannya.

Baiklah ia bisa menunggu, pikir Pippa. Ia sudah pernah menunggu sebelumnya.

Tapi, setelah rasanya seperempat jam berlalu, ia tidak tahan lagi. “Kurasa kau sedang bertanya-tanya bagaimana aku bisa berada di sini.”

“Kau ternyata seorang penyusup, Lady Philippa.”

Pippa menegakkan badan. “Aku bukan penyusup.”

“Oh ya? Di kantorku? Di balkonmu? Sekarang di sini... di klubku... di ceruk yang gelap? Itu namanya penyusup.”

“Balkonnya ada di rumahku,” Pippa tidak dapat menahan diri untuk tidak mengingatkan. “Kalau ada yang menyusup, kaulah orangnya.”

“Hmm,” Cross menyipitkan matanya. “Mungkin kau mau menjelaskan lokasimu sekarang.”

“Aku sedang ada di dekat sini tadi,” Pippa menjelaskan. “Di dekat klub. Bukan ceruk ini. Walaupun kurasa dekat bagi seseorang, tidak dekat bagi orang lain. Tapi menurutku kedekatan konseptual bagi setiap orang relatif.”

Temple mendengus dari tempatnya berdiri.

“Sebaiknya kau meninggalkan kami,” kata Cross kepada mitranya, tidak mengalihkan pandangannya dari Pippa. “Sebelum aku menghukummu karena sudah mengizinkannya masuk.”

“Aku harus bagaimana, meninggalkannya di gang sambil menggedor pintu, sampai seseorang menemukannya?” Nada suara Temple ringan dan menggoda. Tidak pada tempatnya. “Lagi pula, dia ke sini bukan untuk menemuimu.”

Mata kelabu Cross menggelap sewaktu ia mendengar kata-kata itu, jantung Pippa mulai berdebar kencang. Cross marah. Pippa menjauh, tidak dapat menahan diri, masuk ke ceruk. Cross menyusul, memojokkannya, membiarkan tirai terjatuh di belakang mereka, menyelubungi mereka dengan kegelapan. Mereka berjarak beberapa puluh sentimeter dari yang lain –yang tahu mereka ada di sini, namun nadi Pippa mulai berdenyut kencang saat Cross bicara, suara pria itu menjadi rendah dan mengancam. “Mau apa kau ke sini?”

Pippa mengangkat dagunya. “Itu bukan...” Ia berdeham. “Itu bukan urusanmu.”

Terjadi keheningan sejenak, napas Cross tertahan, seolah Pippa membuatnya terkejut. “Kita sudah bertaruh, kan?”

“Ya, memang.”

Cross mengulurkan tangan, menopangkan sebelah tangan di dinding belakang Pippa, lengan itu, yang hanya berselubung lengan kemeja, lebih dari sekadar menarik. “Dan apa aku salah kalau mengingat bahwa taruhan kita mencakup komitmenmu untuk menjauh dari pria yang  bukan tunanganmu?”

Pippa tidak menghiraukan nada suara Cross. “Kau tidak salah.”

Cross mencondongkan badannya, sangat dekat. Pandangan Pippa tertuju ke arah kemejanya yang terbuka, di mana semestinya ia memakai carvat tapi tidak. Secara irasional perhatian Pippa tertarik ke segitiga kulit di sana, diramaikan oleh bulu. Pippa ingin menyentuhnya.

“Kalau begitu, jelaskan kepadaku, apa yang kau lakukan dengan Temple?” Amarah Cross menyadarkan Pippa ke momen itu. Ia bisa mendengarnya dalam suara Cross, rendah dan meresahkan.

Pippa berusaha memulihkan ketenangannya –nyaris mustahil di tempat gelap ini dengan Cross yang berada sangat dekat. “Dia mempersilahkanku masuk.”

“Kalau kau bermimpi ingin mengingkari taruhan kita, aku akan meminta Tuhan, Bourne, dan ayahmu untuk mengendalikanmu. Dengan urutan itu.”

“Semestinya aku tidak kaget kau yakin kau memiliki kendali atas Yang Mahakuasa,” timpal Pippa.

Cross tampak seperti ingin membunuh seseorang.

“Cross.” Dari balik tirai Temple datang membantu Pippa.

Selamat. Pippa melepaskan napas yang tidak ia sadari sudah ia tahan.

Cross menoleh tapi tidak beranjak dari tempat di mana ia menyudutkan Pippa. “Tinggalkan kami.”

Temple menarik tirai, membuat cahaya menyoroti ruang sempit itu. “Menurutku itu bukan ide yang bagus. Lady ini ke sini bukan untuk menemuimu.”

Cross menyeberangi ceruk dalam hitungan detik. “Yang pasti dia ke sini bukan untuk menemuimu.”

Sambaran semangat melanda Pippa karena kata-kata itu. Seolah Cross sedang membelanya. Seolah Cross bersedia berjuang baginya.

Mengagumkan sekali. Pippa menarik napas karena cara Cross bergerak, cepat dan tangkas. Mereka berjarak beberapa sentimeter dari satu sama lain sekarang –Cross tinggi dan ramping, ototnya kencang dan keras. Temple beberapa sentimeter lebih pendek, tapi lebih lebar sampai separuh badan... dan sedang menyeringai.

“Yah, memang,” ujar Temple. “Dia ke sini untuk sesuatu yang lain.”

Cross kembali menoleh kepada Pippa, ke balik bahunya, mata kelabunya berkilat.

“Aku hanya punya sebelas hari,” kata Pippa sudah siap untuk menjelaskan tujuannya. Pasti Cross bisa mengerti, ia berada dalam situasi genting.

Temple menyela. “Mungkin kau ingin mendampinginya?”

Mendengar kata-kata santai itu, mata Cross menjadi hampa, dan Pippa langsung merasakan keinginan irasional untuk mengulurkan tangan, seolah Cross bisa menghadirkan emosinya kembali. Bukan berarti Pippa ingin melakukannya. Emosi bukanlah tujuannya.

Tujuannya adalah wawasan.

Tapi Toh Pippa tidak akan melakukannya, karena Cross sudah berbalik, melewati Temple dan berjalan ke kantornya.

Pippa menyusul, seperti diikat. “Begitu saja?”

Sesampainya di kantornya, Cross berbalik menghadap Pippa. “Kau bukan urusanku.”

Hunjaman sesuatu yang menyerupai rasa sakit melanda Pippa karena kata-kata itu. Dengan sambil lalu ia mengusap dadanya. “Kau benar. Memang bukan urusanmu.”

Cross mengabaikan kata-kata yang terakhir. “Aku tidak akan menjadi penjagamu. Ada urusan lebih penting yang harus kutangani.”

Cross membuka pintu kantornya, tidak berusaha menyembunyikan wanita yang ada di dalam.

Wanita cantik berambut hitam dengan mata gelap, bibir merah, dan seulas senyum yang sudah menyerupai skandal. Pippa mundur selangkah, pandangannya tertuju ke wanita yang satu lagi sementara ia memutar ulang peristiwa-peristiwa yang terjadi selama beberapa menit terakhir di benaknya –rahang Cross yang belum dicukur dan lengan kemejanya yang kusut, bagaimana Cross membuka pintu dengan kesal, seolah si koki sudah menganggu sesuatu yang sangat penting.

Cross berada di dalam kantor bersama wanita ini tadi, wanita yang tersenyum seolah Cross adalah satu-satunya pria yang ada di dunia. Seolah ia adalah satu-satunya wanita yang ada di dunia.

Seolah mereka mengemban tugas repopulasi.

Pippa menelan ludah. “Aku mengerti.”

Cross menyeringai. “Aku yakin kau mengerti.”

Pippa mundur selangkah lagi sewaktu Cross menutup pintu.


“Aku belum pernah melihatmu memperlakukan seorang wanita seperti itu,” ujar Sally Tasser, menarik kaki ke bawah tubuhnya di kursi berlengan besar agar Cross bisa lewat.

Cross mengabaikan kata-kata itu dan hunjaman rasa bersalah yang menyertainya. “Sampai di mana kita tadi?”

Mengapa Pippa ke sini? Bagaimana mungkin Pippa mengubah taruhan mereka –satu siang bersama– menjadi undangan untuk menyerbu tempatnya kapan pun gadis itu mau?

Si pelacur mengangkat alis hitamnya karena ketidakpercayaan tersirat lalu membaca catatannya. “Aku punya tiga belas gadis, semuanya bekerja sesuai daftar.” Ia terdiam sejenak. “Siapa dia?”

Gadis itu titisan godaan. Diutus untuk menghancurkannya, renung Cross.

“Apa mereka bisa dipercaya?”

Dan apa sebenarnya yang sedang Pippa lakukan dengan Temple?

“Mereka tahu kau selalu menepati janji.” Hening lagi. “Setidaknya janji yang dibuat kepada pelacur.”

Cross berbalik menghadap Sally. “Apa maksudnya?”

Yah, kau selalu bersikap layaknya pria sejati di depan wanita-wanitaku. Namun siang ini kelihatannya kau sudah memperlakukan seorang lady dengan sangat buruk.

Cross menyangkal kebenaran yang terkandung dalam kata-kata itu. “Sejak kapan kau bersimpati kepada bangsawan?”

“Sejak bangsawan yang satu itu kelihatan seolah kau habis menendang anjingnya.”

Acuan terhadap anjing Pippa itu mengingatkan Cross kepada percakapan mereka semalam –kepada permintaan Castleton –kepada keraguan Pippa untuk menamai anjing pria itu. Kepada bagaimana bibir Pippa melengkung saat bicara dengannya.

Kepada bagaimana seluruh percakapan membuatnya ingin membawa Pippa kabur dan meyakinkan sang lady kalau menikah dengan Castleton sangat keliru bagi gadis itu.

Tentu saja, Cross tidak memberitahukan semua itu kepada Sally. Alih-alih ia berkata, “Aku menginginkan lima puluh penjudi terbesar di klub itu. Jangan sampai ada yang terlewatkan.”

Sally menatap Cross dengan sorot tajam. “Kau akan mendapatkannya. Kapan aku pernah mengecewakanmu?”

“Tidak pernah. Tapi selalu ada waktu untuk memulai.”

“Apa yang Digger Knight lakukan padamu?”

Cross menggelengkan kepala. “Itu tidak penting.”

Sally tersenyum, nyaris datar. “Kurasa kau ada hubungannya dengan bagaimana dia berkoar-koar tentang menikahkan putrinya dengan seorang earl.

Cross memasang ekspresi termuramnya. “Aku tidak akan menikahi putrinya.”

“Itu menurutmu. Dia akan datang lima hari lagi, dan begitu dia sampai di sini, Knight tidak akan menyerah sebelum menikahkan kalian.” Waktu Cross tidak menimpali, Sally menambahkan, “Kau tidak percaya? Dia itu Knight.”

“Aku tidak akan menikahi gadis itu,” ulang Cross.

Sally memperhatikan Cross selama beberapa saat sebelum berkata, “Aku akan bekerja di arena malam itu. Kalau ada kantong tebal yang melewati pintu, aku akan memberinya undangan Pandemonium sendiri.” Ia mendongakkan kepala ke arah pintu. “Sekarang ceritakan tentang gadis itu.”

Cross memaksakan diri untuk duduk, dan sengaja salah menafsirkan pertanyaan barusan. “Aku belum pernah bertemu dengan Meghan. Tanyakan saja kepada Knight.”

Sally tersenyum datar. “Jangan pura-pura bodoh, Cross.”

Cross menahan keinginan untuk mengacak-acak rambut dengan tangan, malah bersandar ke kursinya, dengan sangat terkendali. Pippa Marbury lebih dari yang bisa ditangani oleh pria baik-baik mana pun. Dan ia sama sekali bukan pria baik-baik. “Dia seorang yang seharusnya tidak datang ke sini.”

Seharusnya ia melarang gadis itu masuk.

Sally tertawa. “Kau tidak perlu memberitahukan itu kepadaku. Yang jelas, dia sudah datang.”

“Dia menyukai petualangan.”

“Wah, dia mencarinya dari orang yang salah.”

Cross tidak menimpali, lebih cerdas dari itu.

“Kau berusaha menjauhkannya darimu?”

Demi Tuhan, ya. Cross tidak menginginkan Pippa di sini. Ia tidak ingin Pippa menyentuh barang-barangnya, meninggalkan jejak, menggodanya. Tidak ingin Pippa mengancam tempat keramatnya. Tidak ingin Pippa menodai tempat gelap ini dengan cahaya gadis itu. “Aku berusaha menjauhkannya secara umum.”

Sally mencondongkan badan ke depan. “Dia bukan kekasihmu.”

“Tentu saja bukan.”

Salah satu alis Sally diangkat. “Tidak ada tentu saja dalam hal ini. Mungkin ada kalau aku tidak melihat wajahnya tadi.”

“Mungkin aku berutang permintaan maaf pada gadis itu, tapi bukan berarti dia mendekati kekasih bagiku.”

Sally tersenyum waktu mendengarnya. “Apa kau tidak mengerti, Cross? Fakta bahwa kau berutang permintaan maaf kepadanya justru membuatnya mendekati kekasih bagimu.” Ia terdiam selama beberapa saat sebelum menambahkan, “Dan kalaupun kau tidak merasa seperti itu, wajah gadis itu saja sudah cukup.”

“Dia datang untuk meminta bantuanku dalam suatu masalah.” Masalah yang konyol, tapi Sally tidak perlu tahu.

“Dia mungkin meminta bantuanmu dalam satu masalah,” ujar si pelacur sambil tertawa pelan dengan penuh pengertian, “tapi dia menginginkan bantuanmu dalam masalah yang jauh berbeda.”

Mata Cross disipitkan. “Aku tidak tahu apa maksudmu.”

“Seks,” kata sally blak-blakan, seolah ia sedang berbicara dengan seorang anak kecil. Anak kecil yang matang sebelum waktunya. “Gadis itu tahu siapa aku, apa pekerjaanku. Dan dia cemburu.”

Cross menatap mata gelap Sally, hanya melihat mata biru Pippa yang besar dan memancarkan kekagetan, tampak semakin besar karena lensa kacamatanya. “Tidak ada alasan baginya untuk cemburu.”

“Sayangnya itu benar.” Mulut Sally dikerucutkan dengan cibiran yang sempurna, lalu ia bersandar di kursinya. “Tapi dia tidak tahu itu.”

Rasa frustasi meliputi Cross. “Maksudku, dia tidak cemburu.”

Sally tersenyum. “Tentu saja dia cemburu. Dia menginginkanmu.”

“Tidak. Dia menginginkan bantuanku untuk sesuatu...,” Cross ragu mengucapkan kata itu, “riset.”

Sally tertawa, panjang dan keras. “Aku yakin itu.”

Cross memalingkan wajahnya, dengan sambil lalu mengambil sebuah arsip yang tidak ia butuhkan. “Kita sudah selesai.”

Sally menghela napas lalu lalu berdiri, menghampiri meja. “Katakan padaku, apa dia tahu?”

Cross memejamkan mata, frustasi. “Tahu apa?”

“Apa dia tahu kalau dia tidak akan pernah mendapatkanmu?”

“Dia akan menikah dengan seorang bangsawan sekitar seminggu lagi.” Dan kalaupun tidak, gadis itu terlalu baik untukku.

“Pertunangan dibuat untuk dibatalkan.”

“Aku lupa betapa sinisnya kau.”

“Itu risiko pekerjaan.” Sally beranjak ke pintu, membalikkan badan sebelum membukanya. “Kau harus memberitahunya. Sebelum gadis malang itu merana karena cinta yang tak berbalas.”

Cross tidak menimpali.

Setelah beberapa saat, Sally berkata, “Aku akan menemuimu besok dengan daftarmu.”

“Terima kasih.”

Sally mengangguk sekali lalu membuka pintu, berbalik untuk pergi sebelum ia menoleh ke belakang, seulas senyum mengembang di bibirnya yang kelewat merah. “Apa aku perlu mempersilahkan janjimu yang berikutnya masuk?”

Sebelum menoleh, Cross sudah tahu apa yang akan dia temukan begitu Sally melangkah keluar dari ambang pintu.

Philippa Marbury duduk di sebuah bangku bandar yang tinggi, tidak sampai satu setengah meter jauhnya, sedang menggigiti pinggiran sepotong roti isi.

Cross tidak bermaksud untuk berdiri, tapi ia tetap berdiri, mengitari meja seolah ia sedang dikejar. “Apa seseorang memberimu makan?”

Tentu saja seseorang memberi Pippa makan. Pasti Didier, yang selalu lemah kalau dihadapkan dengan pelacur mana pun yang masuk ke dapur The Angel.

Tapi Philippa Marbury bukan pelacur.

Belum.

Dan sang lady tidak akan  menjadi seperti itu kalau ia boleh menentukan, pikir Cross.

“Kokimu cukup baik sehingga menyajikan sepiring makanan untukku selagi aku menunggu.” Pippa berdiri, menyodorkan piring yang dimaksud kepada Cross. “Rasanya lezat sekali. Kau mau?”

Oh Tuhan, ya, ia mau.

“Tidak. Mengapa dia memberimu makan?”

“Aku sedang berinkubasi.”

Cross mengarahkan pandangannya ke langit-langit, memohon kesabaran. “Dalam berapa banyak cara aku harus memberitahumu kalau aku tidak mau membantumu keluar dari kepompong yang satu ini?”

Mulut Pippa menganga. “Kau merujuk kepada metamorfosis.”

Gadis ini membuatnya gila. “Kau yang lebih dulu merujuk kepadanya. Nah, aku sudah menyuruhmu pulang, kan?”

Pippa tersenyum, senyum lebar nan cantik yang seharusnya tidak sangat disukai oleh Cross. “Sebenarnya kau tidak menyuruhku pulang. Malah kau sudah mencuci tangan dariku.”

Cross ingin mengguncang tubuh gadis menjengkelkan itu. “Kalau begitu, katakan mengapa kau masih ada di sini. Menungguku?”

Pippa memiringkan kepala seolah Cross adalah spesimen aneh yang dipajang di Royal Entomological Society. “Oh, kau salah paham. Aku tidak menunggumu.”

Apa-apaan ini? Tentu saja Pippa menunggunya, pikir Cross.

Tapi ternyata tidak. Pippa berdiri, menjejalkan piringnya –serta roti isinya yang sudah dimakan setengah– ke tangan Cross lalu mengalihkan segenap perhatiannya kepada Sally. “Aku menunggumu.

Sally melirik Cross sekilas, jelas tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Agaknya Pippa tidak menyadari kalau ia sudah membuat mereka semua kebingungan, malah melangkah maju dan mengulurkan tangannya untuk menyapa. “Aku Lady Philippa Marbury.”

Sial.

Cross rela menyerahkan separuh hartanya demi mengulangi kembali momen ketika Pippa memberitahukan nama gadis itu kepada Sally. Tidak ada yang tahu kapan kesetiaan si pelacur akan berubah arah, dari pengetahuan menghasilkan kekuasaan yang memabukkan.

Tapi sekarang, Sally mengesampingkan kekagetannya lalu meraih tangan Pippa, membungkuk sekilas. “Sally Tasser.”

“Senang bertemu denganmu, Miss Tasser,” ujar Pippa, seolah ia sedang bertemu dengan seorang debutan baru pada perjamuan minum teh, bukannya salah seorang pelacur yang paling terkenal di London di sebuah klub judi. “Aku ingin tahu apa kau punya waktu sebentar untuk menjawab beberapa pertanyaan.”

Sally tampak sangat terhibur. “Saya rasa saya punya sedikit waktu, My Lady.”

Pippa menggelengkan kepala. “Oh, tidak. Tidak perlu ada formalitas. Kau harus memanggilku Pippa.”

Langkahi dulu mayatku, tukas Cross dalam hati.

“Ada banyak alasan untuk mempertahankan formalitas,” ujar Cross, menoleh kepada Sally. “Kau hanya boleh memanggil lady ini dengan sebutan itu. Lady.

Alis Pippa menyambung. “Maaf, Mr. Cross, tapi dalam percakapan ini, kau berlebihan.”

Cross menatap Pippa dengan sorot matanya yang paling menakutkan. “Percayalah, aku sama sekali tidak berlebihan.”

“Apa aku benar kalau menarik kesimpulan bahwa kau tidak punya waktu ataupun keinginan untuk bicara denganku saat ini?”

Pippa sudah menyudutkan Cross. “Benar.”

Pippa tersenyum. “Baiklah, kalau begitu. Karena aku memiliki keduanya, kurasa aku akan memulai risetku sekarang. Tanpamu,” ia berbalik memunggungi Cross. “Nah, Miss Tasser. Apa aku benar kalau menebak bahwa kau ini... seorang pelacur?”

Kata itu terucap dari bibir Pippa seolah ia mengucapkannya lusinan kali sehari. “Oh, Tuhan.” Cross melirik Sally dengan tajam. “Jangan dijawab.”

“Mengapa jangan?” Pippa tersenyum kepada Sally. “Tidak ada yang memalukan dalam pertanyaan itu.”

Alis Sally pun diangkat sewaktu mendengarnya.

Ini tidak mungkin terjadi.

Pippa melanjutkan, “Tidak ada. Malah, aku sudah melakukan riset, dan kata itu disebutkan di Alkitab. Kitab Imamat. Dan, sejujurnya, kalau sesuatu dicantumkan di dalam kitab suci, menurutku sangat masuk akal jika seseorang mengulanginya di depan lawan bicara yang terhormat.”

“Saya bukan lawan bicara yang terhormat,” timpal Sally, dengan brilian, menurut Cross.

Pippa tersenyum. “Tidak masalah.. kau lawan bicara yang sempurna untuk tujuanku. Nah, aku hanya bisa berasumsi kalau kariermu sesuai dengan bayanganku, karena kau sangat cantik dan sepertinya tahu persis cara menatap seorang pria dan membuatnya terkesan seolah kau sangat mencintainya. Kau... panas.”

Cross tahu ia harus menghentikan ini. Sekarang. “Dari mana kau tahu kalau dia tidak benar-benar mencintaiku?”

Bukan dengan cara itu Cross ingin menghentikannya. Sama sekali bukan. Brengsek.

Pippa menoleh ke balik bahunya untuk melihat Cross, kemudian memandang Sally lagi. “Apa kau benar-benar  mencintainya?”

Sally mengarahkan sorot matanya yang paling panas kepada Pippa, yang tergelak lalu berkata, “Menurutku tidak.”

Sally membalas tatapan Cross dari atas bahu Pippa, matanya berbinar geli. “Terima kasih, My Lady.”

Yah. Setidaknya Sally menggunakan sebutan kehormatan itu.

“Boleh aku bicara blak-blakan?” tanya Pippa, seolah ia belum bicara blak-blakan selama empat hari terakhir. Di sepanjang hidupnya.

“Silahkan,” sahut Sally.

Momen itu terlepas dari genggaman Cross. Ada yang harus dilakukan.

“Tidak,” sela Cross, memosisikan diri di tengah, kedua wanita itu. “Tidak boleh ada yang bicara blak-blakan. Apalagi kepada Sally.”

“Aku mau bicara dengan lady ini, Cross,” ujar Sally, dan Cross tidak melewatkan nada geli pada suara si pelacur.

“Aku tidak meragukannya,” kata Cross. “Namun kau tidak akan bicara dengannya. Karena kau harus ke suatu tempat. Sekarang.”

“Omong kosong,” protes Pippa, menyingkirkan Cross dengan menyikut kuat-kuat pinggangnya. Benar-benar menggerakkannya secara fisik. “Miss Tasser sudah bilang dia punya waktu untukku.” Pippa mengerjap kepada Cross dari balik lensa yang tebal. “Kau boleh pergi, Mr. Cross.”

Sally tertawa terbahak-bahak.

Pippa kembali mengalihkan perhatiannya ke Sally, meraih lengan si pelacur dan membawa wanita itu menjauh dari Cross, menuju pintu utama klub. Ia akan meninggalkan kasino, ke St. James’s pada tengah hari bolong sambil bergandengan dengan seorang pelacur. “Aku ingin tahu apa kau bersedia mengajariku cara melakukannya.”

“Melakukan apa?” Cross tidak bermaksud untuk mengucapkannya keras-keras.

Pippa tidak menggubris Cross, tapi menjawab pertanyaan itu. “Menatap dengan sorot panas. Aku akan menikah sebelas hari lagi. Kurang sedikit dari itu sekarang, dan aku harus...”

“Menaklukan suami anda?” tanya Sally.

Pippa mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Aku juga membutuhkan wawasanmu yang sudah pasti banyak dalam masalah-masalah... pernikahan.”

“Masalah-masalah apa?”

“Yang berkaitan dengan prokreasi. Aku mendapati bahwa apa yang kusangka kuketahui tentang mekanisme aktivitas itu... yah, tidak benar.”

“Tidak benar bagaimana?”

“Jujur saja, kupikir itu sama seperti perkawinan binatang.”

Nada suara Sally berubah menjadi datar. “My Lady, sayangnya terkadang keduanya tidak berbeda jauh.”

Pippa tertegun, mencerna kata-kata itu. “Benarkah?”

“Pria tidak rumit, pada umumnya begitu,” kata Sally dengan sangat bijaksana. “Mereka seperti binatang kalau sedang ingin.”

“Binatang buas!”

“Ah, jadi Anda mengerti.”

Pippa memiringkan kepalanya ke samping. “Aku pernah membacanya.”

Sally mengangguk. “Bacaan erotis?”

“Buku Doa Umum. Tapi mungkin ada bacaan erotis yang bisa kau rekomendasikan?”

Dan habislah sudah kesabaran Cross.

“Kau sudah kalah dalam taruhan denganku yang melarang intaraksi semacam ini.” Kata-kata Cross terdengar kasar dan kejam. Bukan berarti ia peduli. Ia menoleh kepada Sally. “Pergi sekarang Sally.”

Pippa mengangkat dagunya dengan apa yang mulai Cross anggap sebagai gayanya yang paling menjengkelkan. “Aku berjanji tidak akan bertanya kepada pria lain. Tidak ada satu hal pun yang berkaitan dengan wanita dalam taruhan kita.”

Cross membuka mulut untuk merespon. Menutupnya.

Pippa mengangguk sekali, sarat akan rasa bangga terhadap diri sendiri, lalu kembali menglaihkan perhatiannya kepada Sally. “Miss Tasser, aku berasumsi dari apa yang kau saksikan bahwa kau sangat ahli... setidaknya, Mr. Cross yakin begitu.”

Apa Pippa sudah gila?

“Cross dan aku sayangnya belum pernah... berbisnis,” kata Sally.

Mulut Pippa membentuk huruf O yang sempurna. “Aku mengerti,” katanya, padahal sudah jelas ia tidak mengerti. “Kau jelas harus berhati-hati. Kuhargai itu. Dan aku bersedia membayar untuk instruksimu,” ia menambahkan. “Apa kau bersedia mengunjungiku di rumahku?”

Cross salah; kesabarannya baru habis sekarang.

Pippa tidak boleh belajar apa-apa dari Sally. Atau dari Temple. Atau dari Castleton, sial –tidak penting kalau pria itu tunangannya.

Cross tidak mau siapa pun menyentuh Pippa.

Cross mengulurkan tangan ke arah Pippa, meraih lengannya, menariknya menjauh dari Sally, menjauh dari jalur penuh skandal apa pun yang ingin gadis itu tempuh. Cross mengabaikan engahan marah Pippa dan bagaimana jemarinya bersorak sorai karena kontak mereka. “Sally, sudah waktunya kau pergi.” Cross kembali menoleh kepada Pippa. “Dan kau. Masuk ke kantorku, sebelum seseorang melihatmu di sini.”

“Klubnya tutup. Siapa yang bisa melihatku?”

“Mungkin kakak iparmu?”

Pippa tetap bergeming. “Bourne dan Penelope pergi memancing hari ini. Mereka berangkat ke Falconwell tadi pagi. Baru kembali besok.”

“Untuk memancing.” Bahkan jika ia punya waktu di sepanjang keabadian untuk mencoba, Cross tidak dapat membayangkan Bourne duduk di pinggir danau, memancing.

“Ya. Mereka sudah sering memancing bersama di sepanjang hidup mereka. Aku tidak mengerti mengapa itu mengejutkan.”

Sally menggelengkan kepala. “Tragis kalau seorang bajingan sekaliber Bourne menjadi lembek.”

Pippa menatap mata pelacur itu. “Kurasa begitu bagi sebagian besar orang... tapi sepertinya kakakku senang dengan hasilnya.”

“Tentu saja. Bourne selalu bisa menyenangkan seorang lady.”

Pippa mencerna kata-kata tersebut selama beberapa saat. “Apa maksudmu kau pernah... dengan Bourne?”

“Dia tidak bermaksud begitu.” Cross menatap Sally dengan tajam. “Keluar.”

Sally memiringkan kepala, matanya berkilat usil. “Sayangnya aku tidak bisa pergi, Cross. Tidak sebelum memberikan informasi yang diminta lady ini.”

Pippa sepertinya melupakan pertanyaannya tentang Bourne. Puji Tuhan. “Baik sekali kau mau membelaku.”

Sally Tasser sudah terlalu lama hidup di jalanan untuk bersikap baik. Pelacur itu tidak akan melakukan apa pun yang tidak menguntungkannya. Satu-satunya alasan mengapa ia mau mengkhianati Digger Knight adalah karena the Angel menawarinya bayaran tiga kali lipat dari yang ia terima dari majikannya saat ini.

Cross memastikan wanita itu memahami pemikirannya hanya dengan satu tatapan.

“Sally mau pergi, Lady Philippa.” Kata-kata itu terucap dengan lebih kasar daripada yang Cross inginkan. Tapi kesabaran seorang pria ada batasnya.

Selama sesaat, Cross mengira kedua wanita itu akan melawannya. Kemudian, Sally tersenyum, memiringkan mata lalu mengulas senyumnya yang paling genit. “Yah, harus ada yang menjawab pertanyaan lady ini.”

Pippa mengangguk. “Itu benar. Aku tidak akan pergi sebelum mendapatkan jawabannya.”

Kata-kata itu sudah terucap sebelum Cross bisa menghentikannya. “Akan kujawab.”

Sally tampak sangat puas.

Brengsek.

Tidak ada yang lebih tidak Cross inginkan dari menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah Philippa Marbury kumpulkan sebagai persiapan untuk pelajaran bersama seorang pelacur.

Mata Pippa disipitkan. “Hmm... aku jadi ragu.”

“Cross sangat mahir,” ucap Sally, melepaskan diri dari cengkraman Pippa, membisikkan kelanjutannya. “Dia pasti mengetahui semua jawaban yang anda butuhkan.”

Pippa melirik Cross dengan sorot ragu yang membuat Cross ingin membuktikan si pelacur benar saat ini juga.

Sally memahami apa yang terselubung lalu mengulas senyum riang dan penuh pemahaman kepada Cross. “Bukan begitu, Cross? Aku yakin kau tidak membutuhkan bantuanku. Iya, kan?”

“Aku yakin.” Cross seragu ekspresi Pippa.

“Bagus. Kalau begitu... sampai jumpa besok, sesuai rencana.”

Cross mengangguk sekali.

Sally menoleh kepada Pippa. “Senang berjumpa dengan Anda, Lady Philippa. Kuharap kita punya kesempatan untuk bertemu lagi.”

Tidak kalau ia boleh menentukan, benak Cross.

Setelah Sally menghilang ke jalan gelap yang mengarah ke pintu belakang klub Cross mengitari Pippa. “Apa yang merasukimu hingga kau menunggu seorang pelacur di dalam sebuah kasino?”

Terjadi keheningan selama beberapa saat, dan Cross bertanya-tanya apa Pippa tidak akan menjawab, dan itu tidak buruk, karena ia sudah muak dengan ketidakwarasan gadis itu.

Tapi ternyata Pippa menjawab, matanya membelalak, suaranya kuat, menghampiri Cross, menyusul Cross menyeberangi arena kasino. “Sepertinya kau tidak memahami masalahku, Mr. Cross. Aku punya waktu sebelas hari sebelum aku harus berjanji di hadapan Tuhan dan manusia tentang setengah lusin persoalan yang belum kupahami. Kau dan anggota gereja lainnya... termasuk saudari-saudariku... tidak akan memedulikan semua itu barang sedikit pun, tapi aku mencemaskannya. Bagaimana mungkin aku membuat janji yang tidak kupahami? Bagaimana mungkin aku menikah tanpa mengetahui semua tetek-bengek pernikahan? Bagaimana mungkin aku berjanji akan menjadi istri yang baik bagi Castleton dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kalau aku tidak memiliki pengetahuan dasar mengenai tindakan yang dimaksud?”

Pippa terdiam sejenak, menambahkan dengan berbisik, “Yah, aku punya mengalaman dengan sapi jantan di Coldharbour, tapi... itu sama sekali bukan pengetahuan yang relevan, seperti yang sudah Penelope dan kau sendiri tegaskan. Apa kau tidak juga mengerti? Aku hanya punya waktu sebelas hari. Dan aku membutuhkan semuanya.”

Cross mundur ke meja permainan dadu, dan Pippa terus mendekat. “Aku membutuhkannya. Aku membutuhkan wawasan yang bisa hari-hari itu dapatkan. Aku membutuhkan semua informasi yang bisa kukumpulkan... kalau bukan darimu, maka dari Miss Tasser. Atau yang lain. Aku sudah bertekad akan menjadi seorang istri dan ibu. Dan aku sudah melakukan banyak riset mengenai hal itu.

Napas Pippa terengah-engah sewaktu ia berhenti, matanya berbinar, pipinya merah, dan kulit payudaranya yang pucat mengencang di pinggiran gaunnya yang berwarna merah mawar. Cross terpesona oleh Pippa, oleh kecemasan menggebunya dan komitmennya terhadap solusi konyolnya –seolah memahami mekanisme seks dapat mengubah segalanya. Dapat membuat sebelas hari lagi, dan sebelas tahun lagi menjadi semakin mudah. Tentu saja itu tidak akan terjadi.

Wawasan tidaklah cukup.

Cross mengetahuinya lebih daripada siapa pun.

“Kau tidak bisa mengetahui segalanya, Pippa.”

“Aku bisa mengetahui lebih daripada yang sudah kuketahui,” balas Pippa.

Cross tersenyum sewaktu mendengarnya, dan Pippa mundur selangkah, mendongak menatap Cross, kemudian menunduk memandangi tangannya yang direntangkan. Ada sesuatu yang terkesan sangat rapuh dalam diri Pippa. Sesuatu yang tidak Cross sukai.

Ketika Pippa kembali mengalihkan pandangan mantapnya ke mata Cross dan berkata, “Aku akan menjadi seorang istri,” Cross merasakan keinginan menggebu untuk membawa gadis itu ke salah satu ruangan rahasia klub dan menahannya di sana.

Mungkin selamanya.

Seorang istri. Cross tidak suka membayangkan Pippa sebagai seorang istri. Sebagai istri Castleton. Sebagai istri siapa pun.

“Dan seorang ibu.”

Sebuah fantasi melintas. Pippa dikelilingi oleh anak-anak. Anak-anak yang berseri-seri dan berkacamata, masing-masing terpesona oleh suatu aspek dari dunia, mendengarkan dengan cermat sementara Pippa menjelaskan ilmu pengetahuan tentang Bumi dan langit kepada mereka.

Pippa akan menjadi ibu yang hebat.

Tidak. Cross bertekad tidak akan memikirkannya. Ia tidak suka membayangkannya.

“Sebagian besar istri tidak menemui pelacur untuk mengembangkan kemampuan mereka. Dan kau punya waktu nanti untuk riset tentang bagaimana menjadi ibu.”

“Sepertinya Miss Tasser merupakan mitra riset yang baik, mengingat kau sudah menghilangkan separuh peluangku. Bagaimanapun juga, kau tidak membantu. Apa dia kekasihmu?”

Cross tidak menggubris pertanyaan itu. “Pelacur menjadi langkah berikutnya dalam rencanamu?”

“Yang menarik, tidak begitu hingga semalam. Tapi waktu Penelope menyiratkan bahwa mungkin ada pelacur di sini...”

Lady Bourne tahu tentang rencana konyolmu dan belum mengikatmu ke kursi?” Istri Bourne atau bukan, wanita itu harus dimaki habis-habisan karena mengizinkan adiknya yang belum menikah dan tidak dilindungi berpetualang ke sudut-sudut kelam London tanpa penjagaan.

“Tidak. Dia hanya menjawab beberapa pertanyaan mengenai The Angel.”

Mengenai dirinya? Cross tidak mau bertanya. Ia tidak mau tahu.

“Pertanyaan macam apa?”

Pippa menghela napas. “Jenis pertanyaan yang membuatku tahu bahwa mungkin ada satu atau dua orang pelacur di sini. Apa dia sangat hebat?”

Pertanyaan itu sangat blak-blakan, kepala Cross pun berputar-putar. Pippa tidak perlu tahu kalau Sally Tasser mungkin merupakan wanita yang paling hebat di sisi Montmartre sebelah sini.

“Apa yang ingin kau ketahui?”

Pippa mengerjap kepada Cross dengan mata biru besar itu lalu berkata, seolah ucapannya adalah sesuatu yang sangat masuk akal, “Semuanya.”

Selama beberapa saat yang menggoda, Cross terhilang dalam fantasi tentang apa yang tercakup dalam segalanya. Dalam bagaimana tubuh Pippa akan pas di tubuhnya, seperti apa rasa Pippa, lembut dan manis di lidahnya, dalam hal-hal cabul nan nikmat yang akan Pippa izinkan untuk ia lakukan kepada gadis itu.

Cross ingin menunjukkan segalanya kepada Pippa.

Dan ia ingin memulainya sekarang.

“Apa menurutmu Miss Tasser bersedia memberiku pelajaran?”

Bernapas terasa semakin sulit. “Tidak.”

Pippa memiringkan kepala. “Apa kau yakin? Seperti yang kubilang, aku bersedia membayarnya.”

Membayangkan Pippa Marbury membayar untuk belajar dari Sally Tasser membuat Cross ingin menghancurkan seseorang. Pertama Bourne, yang sudah membiarkan adik iparnya berkeliaran tanpa penjagaan di London, kemudian Marquess of Needham and Dolby, yang sudah membesarkan seorang wanita muda yang tidak berakal sehat, kemudian Castleton, yang tidak menyibukkan tunangannya selama beberapa minggu sebelum pernikahan mereka.

Tidak tahu-menahu tentang arah dari pemikiran-pemikiran Cross yang berkecamuk, Pippa berkata, “Lord Castleton tidak pernah berusaha untuk meniduriku.”

Entah pria itu idiot atau orang suci.

Jika menjadi Castleton, Cross pasti sudah menaklukan Pippa dengan lusinan cara yang berbeda begitu gadis itu bersedia menjadi istrinya. Di lorong-lorong yang gelap dan ceruk-ceruk yang remang-remang, dalam perjalanan kereta kuda yang panjang dan tersendat-sendat di tengah padatnya lalu lintas tenah hari, dan di luar, dengan cepat, di dekat sebatang pohon yang kuat dan kokoh, tanpa siapa pun selain alam yang mendengar jerit kenikmatan Pippa.

Mendengar jerit kenikmatan mereka.

Tapi ia bukan Castleton.

Ia Cross.

Dan ini benar-benar keliru.

Cross mundur selangkah, pemikiran-pemikirannya membuatnya merasa bersalah –membuatnya memandang ke sekeliling arena kasino yang temaram dengan rasa takut yang mendadak melanda kalau-kalau ada yang melihat mereka. Mendengar mereka.

Mengapa Pippa selalu berada di tempat-tempat yang seharusnya tidak didatangi oleh wanita baik-baik?

“Semalam, aku berusaha memberi isyarat kepadanya kalau aku ingin dia menyentuhku. Bahkan menciumku.”

Cross membenci sang earl dengan intensitas yang dahsyat dan mendalam.

Pippa masih bicara. “Tapi sepertinya dia bahkan tidak memahamiku. Memang itu hanya sentuhan di tangan, tapi...”

Cross bersedia membayar mahal agar Pippa menyentuhnya dengan sesederhana itu.

Mata biru Pippa yang besar tertuju ke mata Cross lagi. “Apa kau tahu mengapa dia tidak mencoba menggodaku?”

“Tidak.”Lagi-lagi kesucian tampaknya menjadi satu-satunya jawaban yang logis.

“Kau tidak perlu merasa kalau kau harus melindungiku dari kebenaran.”

“Aku tidak merasa begitu.” Tapi Cross merasa begitu. Ia tidak mau Pippa mengetahui pemikirannya yang sebenarnya. Kecabulannya.

“Pasti karena aku aneh.” Kemudian Pippa mendongak memandang Cross dengan mata biru besar itu, lalu berkata, “Aku tidak tahan lagi.”

Semoga Tuhan menolongnya, Cross ingin mencium Pippa secara menggebu, aneh ataupun tidak. Ia ingin mencium Pippa secara menggebu karena Pippa aneh.

“Pippa...,” kata Cross, tahu semesinya tidak bicara.

Pippa menyelanya. “Jangan bilang itu tidak benar. Aku tahu itu benar. Aku aneh.”

“Kau memang aneh.”

Alis Pippa menyambung. “Yah, kau juga tidak perlu memberitahuku kalau itu memang benar.”

Cross tidak tahan lagi. Ia tersenyum. “Itu bukan sesuatu yang buruk.”

Pippa memandang Cross seolah Cross-lah –bukan dirinya– yang gila. “Tentu saja itu buruk.”

“Tidak. Tidak buruk.”

“Kau pria yang baik.”

Cross tahu kalau ia sama sekali tidak seperti itu. Dan ada beberapa bagian penting dari tubuhnya yang ingin membuktikannya kepada Pippa.

“Tidak masalah kalau dia tidak ingin menggodaku,” lanjut Pippa, “tapi ini tidak b oleh berlangsung selamanya.”

“Mungkin dia berusaha untuk bersikap layaknya pria sejati.”

Pippa tidak percaya. “Sikap itu tidak mencagah Tottenham.”

Api menyambar Cross. “Tottenham pernah berusaha menggodamu?” ia akan membunuh pria itu, calon perdana menteri atau bukan.

Pippa memandangi Cross seolah kepala Cross ada dua. “Tidak. Untuk apa Tottenham menggodaku?”

“Kau bilang begitu.”

“Tidak. Aku bilang dia sudah mencoba menggoda Olivia.”

Pippa tidak berkata seperti itu, tapi Cross mengalah.

“Bukan mencoba,” ralat Pippa, “dia sudah berhasil melakukannya.” Pippa memejamkan mata. “Aku satu-satunya putri Marbury yang belum pernah digoda.”

Ia bisa meralat kesalahan tragis ini, batin Cross.

Tapi ia tidak akan melakukannya.

Pippa mendongak memandang Cross. “Bisa kau percaya?”

Cross tidak tahu apa yang harus ia katakan. Maka ia tidak berkata apa-apa.

“Sepertinya bisa.” Pippa menarik napas dalam-dalam. “Karena inilah aku membutuhkan bantuanmu sedari awal, Mr. Cross. Aku membutuhkanmu untuk mengajariku cara melakukannya.”

Bagus.

Cross menelan kata itu. Ia pasti salah paham. “Cara melakukan apa?”

Pippa menghela napas, frustrasi. “Cara menarik perhatiannya.”

“Siapa?”

“Apa kau tidak mendengarkan? Castleton!” Pippa membalikkan badan, berjalan ke meja yang paling dekat di mana sebuah roda rolet membeku di dudukan kayu ek yang tebal. Ia bicara kepada roda itu. “Aku tidak tahu kalau seharusnya ia sudah berusaha menggodaku sekarang. Sebelum pernikahan kami. Aku tidak tahu kalau itu menjadi bagiannya.”

“Memang bukan. Seharusnya dia tidak melakukan perbuatan seperti itu.”

“Yah, kau sendiri belum pernah bertunangan. Sepertinya itulah yang terjadi di antara pasangan yang akan segera menikah. Kupikir aku punya waktu dua minggu. Ternyata tidak.”

Terdengar raungan di telinga Cross yang membuatnya sulit memahami Pippa, tapi ketika gadis itu berbalik menghadapnya lagi, dengan bahu ditegakkan, seolah sudah siap untuk berperang, ia tahu ia sudah diluluhkan. “Risetku harus dimulai secepatnya.”

Cross yakin dirinya sedang dihukum. Itulah satu-satunya penjelasan yang ada.

“Aku membutuhkan seseorang...” Pippa terdiam sebentar, kemudian meralat pernyataannya. “Aku membutuhkanmu untuk mengajariku cara menjadi normal.”

Menggelikan sekali.

“Normal.”

“Ya. Norman.” Pippa mengangkat tangannya dengan tak berdaya. “Aku sadar sekarang kalau permintaan awalku... akan pengalaman bermaksiat?” tanyanya seolah entah bagaimana Cross telah melupakannya. Tapi Cross tetap mengangguk. “Yah, aku sadar sekarang kalau itu sama sekali bukan permintaan yang aneh.”

“Oh, ya?”

Pippa tersenyum. “Bukan sama sekali. Malah, sepertinya ada banyak wanita di London yang mengalami sepenuhnya semua hal yang membuatku penasaran sebelum malam pengantin mereka... termasuk saudari-saudariku. Ini di antara kita saja, ya?”

Akhirnya, pertanyaan yang Cross ketahui jawabannya. “Tentu saja.”

Pippa sudah beranjak. “Kau tahu, tadinya kupikir aku membutuhkan sejumlah wawasan mengenai malam yang dimaksud karena Lord Castleton mungkin tidak memiliki wawasan itu sendiri. Tapi sekarang, aku sadar... yah... aku membutuhkannya karena itu wajar.”

“Wajar.”

Pippa memiringkan kepalanya dan memandangi Cross dengan penasaran. “Kau sering mengulangi perkataanku,Mr. Cross.”

Karena mendengarkan Pippa terasa seperti mempelajari bahasa asing. Bahasa Arab. Atau bahasa Hindi.

Pippa masih bicara. “Itu wajar. Bagaimanapun juga, kalau Olivia memilikinya, dan Lord Tottenham merupakan pria sejati... yah, pastinya banyak yang memilikinya, kan?”

“Memiliki...?”

“Wawasan mengenai cara kerja proses...” Pippa ragu. “Pernikahan.”

Cross menarik napas panjang lalu menghembuskannya. “Aku masih belum mengerti mengapa kau membutuhkan seorang pelacur untuk mengajarimu... cara kerja itu.”

“Sebenarnya, tidak ada bedanya. Aku masih membutuhkan seorang mitra riset. Hanya saja, sekarang rasanya aku membutuhkan riset mengenai kenormalan. Aku perlu tahu seperti apa biasanya wanita berperilaku. Aku butuh bantuan. Secepatnya. Karena kau menolak, Miss Tasser dapat melakukannya.”

Pippa membunuh Cross. Secara perlahan. Secara menyakitkan.

“Sally Tasser bukan wanita biasa.”

“Yah, aku tahu dia seorang pelacur, tapi kurasa dia memiliki semua... bagian tubuh yang penting, kan?”

Cross tersedak. “Ya.”

Pippa ragu, lalu sesuatu melintas di wajahnya. Kekecewaan? “Kau sudah pernah melihatnya?”

“Belum.” Kebenaran.

“Hmm.” Sepertinya Pippa tidak percaya kepada Cross. “Kau tidak pernah berhubungan dengan pelacur?”

“Tidak pernah.”

“Aku tidak terlalu yakin aku mendukung profesi itu.”

“Oh, ya?” Puji Tuhan. Cross tidak akan kaget kalau Pippa mengumumkan hasrat barunya untuk menjelajahi semua aspek dari profesi tertua di dunia itu.

“Iya.” Pippa menggelengkan kepala. “Aku khawatir wanita-wanita itu diperlakukan dengan buruk.”

“Para wanita yang datang ke The Fallen Angel tidak perlakukan dengan buruk.”

“Para wanita yang datang ke The Fallen Angel tidak diperlakukan dengan buruk.”

Alis Pippa menyambung. “Dari mana kau tahu?”

“Karena mereka berada di bawah perlindunganku.”

Pippa membeku. “Benarkah?”

Tiba-tiba Cross merasa hangat. “Benar. Kami berusaha semampu mungkin untuk memastikan mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan layak saat berada di bawah atap kami. Kalau diperlakukan dengan buruk, mereka tinggal memanggil salah seorang petugas keamanan. Mereka mengajukan keluhan kepadaku. Dan kalau aku mendapati seorang anggota memperlakukan wanita dengan buruk di bawah atap ini, keanggotaannya akan dicabut.”

Pippa terdiam selama beberapa saat, mencerna kata-kata itu, dan akhirnya berkata, “Aku menyukai hortikultura.”

Cross tidak tahu bagaimana tanaman bisa berhubungan dengan pelacur, tapi ia tahu sebaiknya ia tidak menyela.

Pippa melanjutkan, kata-katanya cepat dan blak-blakan, seolah masuk akal sepenuhnya. “Aku mendapat penemuan yang sangat mengejutkan akhir-akhir ini,” katanya, dan perhatian Cross tertuju kepada napasnya yang terengah selagi ia mengucapkan kata-kata itu. Kepada bagaimana bibirnya melengkung mengulas senyum simpul yang misterius. Pippa bangga akan dirinya sendiri, dan Cross mendapati bahwa ia bangga akan gadis itu. Memang aneh. “Ternyata kita bisa memotong tangkai semak mawar lalu melekatkan ke semak yang lain. Dan setelah prosesnya terselesaikan dengan baik... katakanlah, tangkai mawar putih pada tangkai mawar merah... mawar yang baru tumbuh...” Pippa terdiam sejenak, dan kelanjutan dari kata-katanya berhamburan keluar, seolah ia hampir takut mengucapkannya. “Mawar merah muda.”

Cross tidak tahu banyak tentang hortikultura, tapi ia tahu cukup banyak tentang ilmu pengetahuan sehingga tahu bahwa penemuan tersebut pasti menggemparkan. “Bagaimana caranya kau...”

Pippa mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan pertanyaan itu. “Dengan senang hati aku akan menunjukkannya kepadamu. Menarik sekali. Tapi bukan itu intinya.”

Cross menunggu Pippa menguraikan inti yang dimaksud.

Pippa melakukannya. “Karier tersebut... itu bukan pilihan mereka. Mereka sudah tidak berwarna merah ataupun putih. Mereka berwarna merah muda. Dan kalianlah alasannya.”

Entah bagaimana, rasanya masuk akal bila Pippa membandingkan wanita-wanita The Angel dengan eksperimen mawar ini. Entah bagaimana, otak aneh dan tajam Pippabekerja dengan cara yang Cross pahami sepenuhnya.

Dan selagi Cross mempertimbangkan kebenaran ganjil dan luar biasa itu, Pippa mendesak, “Iya, kan?”

Itu bukan pertanyaan yang sederhana. Jawabannya juga tidak mudah. “Itu memang bukan selalu pilihan mereka. Dalam banyak kasus, gadis-gadis itu jatuh terjerumus. Tapi di sini, mereka diperlakukan dengan baik. Diberi makan. Dibayar dengan layak. Dan begitu mereka hendak berhenti bekerja, kami akan mencarikan tempat lain untuk mereka.”

Alis Pippa diangkat. “Di mana?”

Cross tersenyum. “Kami pria yang sangat berkuasa, Pippa. Anggota kami membutuhkan pelayan, pemasok kami membutuhkan pelayan toko. Dan, kalau bukan itu, selalu ada tempat berlindung yang terletak jauh dari London, di mana para wanita itu bisa memulai dari awal.” Setelah keheningan panjang, ia menambahkan. “Aku tidak akan memaksa seorang wanita menjalani kehidupan ini.”

“Tapi sebagian dari mereka memilihnya?”

Kebenaran tersebut tidak bisa dipahami oleh sebagian orang. “Tangkai yang putih.”

Pippa mengangguk. “Seperti Miss Tasser.”

“Seperti Sally.”

“Yah, semakin banyak alasan bagiku untuk mempelajari kepiawaiannya.” Pippa menaikkan kacamata di hidungnya. “Kalau dia memilih profesinya, dia pasti sangat menikmatinya. Dan tidak ada orang lain lagi. Toh, Castleton tidak menawarkan bimbingannya.”

Memang seharusnya begitu.

Tidak. Tidak seharusnya begitu. Tentu saja Castleton seharusnya menawarkan bimbingan. Seharusnya Castleton berbuat lebih jauh dari itu.

Gagasan tersebut membuat Cross gusar.

Pippa mengerucutkan bibirnya. “Menurutmu aku harus memintanya? Mungkin semestinya begitu?”

Tidak. “Ya.”

Wajah Pippa merona. “Aku tidak yakin aku bisa melakukannya.”

“Tapi kau bisa memintaku?”

Pippa mengerjap kepada Cross. “Kau berbeda. Kau bukan jenis pria yang dinikahi oleh seorang wanita. Rasanya lebih mudah... yah... berdiskusi santai mengenai risetku bersamamu.” Ia tersenyum. “Toh, kau pria terpelajar.”

Itu lagi, pikir Cross. Keyakinan dirinya akan menjaga Pippa.

Bahwa dia terkendali. Selalu.

Kau harus memberitahunya.

Kata-kata Sally terngiang di benak Cross, mengejek dan tepat.

Seharusnya Cross memberitahu Pippa. Tapi itu bukan sesuatu yang bisa disampaikan kepada seorang wanita muda nan cantik yang berdiri dan memohon meminta pelajaran mengenai maksiat.

Setidaknya, bukan wanita muda biasa yang sedang berada dalam situasi pelik.

Tapi Philippa Marbury sama sekali tidak biasa.

Mengatakan yang sebenarnya akan membuat Pippa menjauh. Dan itu yang terbaik. Bagi semua orang yang terlibat.

Terutama bagi dirinya, simpul Cross.

Pippa menggelengkan kepala. “Dia pasti menolak. Apa kau tidak mengerti? Tidak ada orang lain. Selain Miss Tasser.”

Pippa keliru.

“Ada aku,” ujar Cross, kata-kata tersebut sudah terucap sebelum ia sadar ia akan mengucapkannya. Mata Pippa membelalak, dan ia menatap mata Cross.

Terjadi keheningan sesaat selagi Pippa mencerna kata-kata itu. Maknanya. “Ada aku...,” gumamnya.

Cross tersenyum. “Sekarang kau yang mengulang perkataanku.”

Pippa membalas senyum Cross, dan Cross merasakan ekspresi itu sampai ke lubuk hatinya. “Benar.”

Mungkin ia bisa melakukan ini.

Tuhan pun tahu ia berutang kepada Pippa, berutang kepada Pippa karena sudah membiarkan gadis itu jatuh ke cengkraman Knight, Sally, Temple, dan hanya Tuhan yang tahu siapa lagi yang sudah Pippa jumpai di dalam kasino. Ia berutang kepada Bourne untuk menjaga keselamatan Pippa.

Dalih.

Cross tertegun karena pemikiran tersebut. Mungkin semua itu dalih. Mungkin ia hanya menginginkan alasan untuk berdekatan dengan Pippa. Untuk bicara dengan Pippa, gadis aneh dan brilian yang membuatnya kewalahan pada setiap kesempatan yang ada.

Itu akan menyiksa, pasti.

Tapi Tuhan pun tahu ia pantas disiksa.

Ia harus bergerak. Menjauh dari Pippa.

Cross beranjak ke meja permaian dadu, mengambil sepasang dadu lalu menimbang beratnya dengan tangan. Pippa menyusul tanpa disuruh, melewati Cross dengan awan kelembutan yang diharumkan oleh linen bersih. Bagaimana mungkin bau Pippa seperti sinar mentari dan udara segar bahkan di tengah kegelapan ini? Dikelilingi oleh dosa dan maksiat?

Pippa harus pergi, simpul Cross. Godaan yang Pippa hadirkan terlalu kuat untuk ia tolak.

Tidak tahu-menahu tentang pemikiran Cross, Pippa menoleh kepadanya dengan wajah ceria dan terbuka. “Aku punya banyak pertanyaan. Misalnya, Mademe Hebert sudah bertekad untuk membuatkanku pakaian tidur yang dia yakin akan memancing Castleton untuk menggodaku. Memangnya pakaian tidur bisa melakukan trik seperti itu?”

Kata-kata itu merupakan serangan, meliputi Cross dengan fantasi tentang Pippa yang ramping dan berambut pirang dalam sebuah kreasi dari sutra dan renda yang dirancang untuk membuat pria kehilangan kendali. Sesuatu dengan banyak pita, masing-masing berbentuk mungil dan diikat sempurna sehingga, begitu dibuka, akan menyingkapkan sedikit kulit hangat yang lembut –hadiah mewah yang tidak mungkin ditolak.

Hadiah yang patut dibungkus.

“Menurutku itu tidak cukup,” kata Pippa, perhatiannya terpecah.

Cross yakin itu sudah lebih dari cukup.

“Dan bagaimana dengan sorot panas Miss Tasser? Apa kau bisa mengajariku cara melakukannya? Sepertinya itu bisa membantu.”

Cross tidak melihat Pippa. Ia tidak mampu. Tapi ia juga tidak mampu menahan diri untuk tidak berkata, “kau tidak membutuhkan sorot panas itu.”

Pippa tertegun. “Oh, ya?”

“Ya. Kau menggoda dengan cara yang berbeda.”

“Benarkah?”

Kau harus memberitahunya.

Sebelum Pippa semakin menggodanya.

Tapi ia tidak bisa.

Cross menatap mata Pippa. “Benar.”

Mata Pippa membelalak di balik kacamata yang membuat Cross gila itu. “Benar?”

Cross tersenyum. “Kau mengulangi perkataanku lagi.”

Pippa terdiam sejenak. “Kau tidak akan berubah pikiran, kan?”

“Tidak.” Gagasan bahwa Pippa akan mencari orang lain tidak bisa diterima.

Tidak kalau ia bisa menjadi orang itu. Tidak kalau ia bisa menunjukkan kenikmatan yang akan diluluhlantakkan keluguan Puppa serta menodai gadis itu secara menyeluruh dan habis-habisan. Cross ingin memberikan semua yang Pippa minta.

Dan yang lebih lagi.

Dengan begitu, keputusan dibuat. “Tidak. Aku tidak akan mengingkari janjiku.”

Pippa menghela napas panjang, dan suaranya meliputi Cross di ruangan senyap itu, membuat Cross bertanya-tanya apa lagi yang dapat memancing helaan napas pelan itu.

“Seharusnya aku sudah tahu. Pria sejati tidak akan pernah ingkar janji.”

“Dalam kasus ini, begitu pula dengan bajingan.”

“Aku tidak mengerti.”

“Peraturan pria sejati menegaskan bahwa martabat melarang mereka mengingkari janji mereka, bahkan dalam pertaruhan yang buruk sekalipu,” Cross menjelaskan, tergoda untuk menghapus kerutan di kening Pippa, melawan godaan itu. “Peraturan bajingan menegaskan bahwa seseorang hanya boleh bertaruh kalau yakin dia bisa menang.”

“Kau...” Pippa ragu. “Kau yang mana?”

Cross bisa memberi Pippa wawasan tanpa menyerah kepada hasratnya sendiri. Tanpa melupakan komitmennya sendiri. Tanpa melepaskan pengendalian dirinya sendiri.

Cross melangkah maju, memojokkan Pippa. “menurutmu yang mana?”

Pippa melangkah mundur. “Pria sejati.”

Tanpa menyentuh Pippa.

Karena Cross tahu, tanpa keraguan bahwa setelah berselibat selama enam tahun, jika ia menyentuh Philippa Marbury, ia tidak akan tahan lagi.

Bajingan.

“Besok. Jam sembilan.”



Sinopsis                   
Back
Next

2 komentar: