“Guna menghasilkan sutra yang
berkualitas, pembuat sutra (NB: serikulturis) memastikan dedaunan mulberi yang
dimakan ulat-ulatnya baik. Setelah ada makanan asing (atau bahkan aroma asing)
yang bersentuhan dengan makhluk-makhluk itu. Setelah puas makan, ulat-ulat itu
membungkus diri, memintal kepompong mereka dan, setelah beberapa hari
berselang, sang serikulturis menggagalkan inkubasi mereka dan mencegah
munculnya kupu-kupu lalu menambang sutra dari kepompong.
Aku tidak berniat membiarkan ini terjadi
kepadaku.
Puji Tuhan untuk celah pemikiran
logis.”
Jurnal
Ilmiah Lady Philippa Marbury
25
Maret 1831; sebelas hari sebelum pernikahannya
Tawa
Temple membahana di ruangan kecil yang dikunci itu. “Your Grace?” desak Pippa.
Tawa
Temple terhenti, secepat dimulainya. Ia tidak menanggapi, malah melewati Pippa
dan beranjak ke rak buku yang mendominasi ujung seberang ruangan. Temple
mengganti buku-buku selama beberapa saat.
Temple
pasti akan menyuruhnya pulang, pikir Pippa. Mungkin pria itu sedang mencari
buku untuk menyibukkan Philippa Marbury yang aneh dan ilmiah sampai bisa
memberitahukan keberadaannya kepada seseorang. “Aku tidak butuh buku,” ujar
Pippa. “Aku bisa menghibur diriku sendiri.” Temple tidak menimpali. “Kumohon,
jangan beritahu Bourne. Atau ayahku.”
Temple
menarik sebuah buku bersampul kulit merah dari rak atas. “Beritahu apa?”
Pertanyaan
itu terlupakan begitu dinding bergerak, mengayun ke dalam dan memperlihatkan
ruang gelap yang menganga.
Pippa
terkesiap, lalu mnendekat untuk mengamati. “Aku belum pernah...” ia mengulurkan
tangan ke rak buku, melihat apa yang kelihatannya berupa koridor tak berujung.
Ia menoleh kepada Temple, tidak bisa menahan senyum di wajahnya. “Ini jalan rahasia.”
Temple
tersenyum. “Benar.” Ia menyodorkan sebatang lilin kepada Pippa lalu meletakkan
bukunya kembali, melambaikan tangan untuk mengajak Pippa masuk ke ruangan
misterius itu. Tapi Pippa sudah sempat melihat buku yang menyingkapkan rahasia
mengesankan ini.
Paradise Lost.
Pippa
melangkah masuk ke kegelapan.
Pas sekali.
Temple
berjalan lebih dulu menyusuri lorong, dan jantung Pippa berdebar kencang,
semangatnya kian menjadi sewaktu mereka masuk semakin dalam. Tidak ada pintu
yang terlihat, dan rasanya dindingnya melengkung membentuk sebuah lingkaran
besar. “Apa yang ada di balik dinding ini?”
Temple
tidak berhenti. “Tidak penting.”
“Hmm...
aku yakin begitu.”
Temple
tertawa. “Mungkin Cross akan menunjukkannya kepadamu suatu hari nanti. Atau Lady
Bourne.”
Alis
Pippa terangkat. “Penelope tahu?” sulit rasanya membayangkan kakaknya yang
santun menjelajahi jalan rahasia di sebuah klub pria yang terkenal. Tapi kalau
dipikir lagi Penelope sudah menikah dengan salah seorang pemiliknya. “Kurasa
begitu.” Sayang sekali ia tidak bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaannya kepada
Penelope tanpa membangkitkan rasa penasaran.
Bukan
penasaran. Kepanikan total.
Bukan
berarti kepanikan bisa dianggap respons yang wajar, renung Pippa. Bagaimanapun
juga, kalau Penelope boleh mengetahui rahasia-rahasia klub ini, mengapa ia
tidak?
Karena
ia tidak punya pelindung di sini.
Tidak benar-benar punya.
Setelah
beberapa saat yang terasa seperti satu keabadian, Temple berhenti lalu
meletakkan tangannya di dinding luar koridor. Seperti sihir, sebuah pintu
terbuka seolah berasal entah dari mana.
Temple
mempersilahkan Pippa masuk ke sebuah ceruk di arena utama The Angel, menutup
pintu di belakang mereka dengan lembut. Pippa berbalik untuk mengamati dinding
itu, menyapukan jemarinya di sutra yang bertekstur. Hanya karena ia ketahui
keberadaannya ia bisa menemukan pinggirannya. Ia memandang lawan bicaranya
dengan mata terbelalak. “Luar biasa.”
Temple
tidak langsung menimpali, malah memandangi dinding dengan mata menerawang
selama beberapa saat, seperti melihatnya untuk yang pertama kalinya dan
memahami bahwa tempat lain di dunia tidak memiliki jalan-jalan rahasia,
dinding-dinding melengkung dan pria-pria misterius. Saat kesadaran terbersit,
Temple tersenyum. “Begitu, ya?”
“Siapa
yang merancangnya?”
Temple
tersenyum lebar, gigi putihnya mengilat di tengah keremangan. “Cross.”
Tangan
Pippa kembali ke pinggiran tak kasatmata di dinding. Tentu saja Cross yang merancangnya.
“Temple!”
Teriakan
itu mengejutkan Pippa, tapi kelihatannya Temple sudah siap menghadapinya, dan
pria itu pun melewati tirai di celah ceruk. Temple menampakkan dirinya di
hadapan ruangan... dan semburan kata-kata berbahasa Prancis yang penuh
semangat. Pria kekar itu mengangkat tangan seolah menyerah lalu berjalan
menyeberangi lantai kasino, menghilang dari pandangan. Pippa menjulurkan kepala
untuk melihat.
Ada
seorang wanita di seberang ruangan, pipinya merah, rambutnya berantakan,
mengenakan celemek hitam dan... apa itu ikan di tangannya? Yang jelas, wanita
itu sedang mengumpat seperti seorang pelaut. Seorang pelaut Prancis.
Wanita
itu beralih ke bahasa Inggris. “Si dungu Irvington mengirim pesan kalau dia mau
membawa sekelompok temannya yang juga dungu untuk makan malam. Dan dia ingin
mengajariku cara menggelolah ikan! Aku memasak untuk Charles Kedua! Seharusnya
dia berlutut dan bersyukur kepada Tuhan karena aku bersedia memasak untuk
Irvington Idiot Pertama!”
“Ah,
Didier...,” Temple mulai dengan bahasa Prancis yang sempurna, suaranya rendah
dan lembut, seolah ia sedang berbicara dengan binatang buas.
Dan
mungkin itu benar. “Kau harus mengirim pesan untuk memberitahu si kerdil itu
bahwa kalau dia tidak mau memakan ikannya sebagaimana aku hendak memasaknya,
dia boleh mencari ikan lain... dan koki lain... dan klub lain!” Kata-kata yang
terakhir membuat kasau ruangan besar itu berguncang.
Tidak
sampai tiga meter dari tempat di mana wanita aneh itu berdiri, pintu kantor
Cross dibuka. “Apa sebenarnya yang sedang terjadi?”
Napas
Pippa tertahan begitu pria itu keluar, jangkung, ramping, dan belum bercukur.
Cross mengenakan kemeja lengannya digulung, lalu pandangan Pippa tertuju ke
lengan atas yang ramping dan panjang itu, di mana otot melengkung dan
membungkus tulang. Mulut Pippa terasa kering. Ia tidak pernah menganggap lengan
atas semenarik itu, tapi toh tidak setiap hati ia melihat spesimen sebagus itu.
Ya.
Itulah anatomi yang menarik perhatiannya. Tulang.
Tulang lengan. Tulang hasta.
Memikirkan
tulang cukup membantu.
Si
koki melambai-lambaikan ikannya. “Irvington mau mengkritik sausku! Si dungu itu
tidak akan bisa mengenali saus yang bagus bahkan kalau ada seliter susu di
kantongnya!”
Cross
memutar bola matanya. “Didier... kembalilah ke dapurmu dan masaklah ikanmu.
Irvington akan memakan apa yang kita perintahkan untuk dia makan.”
Si
koki membuka mulutnya.
“Dia
akan memakan apa yang kita sajikan untuknya dan menikmatinya.”
“Selera
pria itu seperti kambing,” gerutu si koki.
Temple
tersenyum lebar, tangannya direntangkan. “Yah, demi kebaikan kita semua, kuharap
kau tidak menyajikan poisson en papier
maché untuknya.”
Si
koki tersenyum mendengarnya. Begitu pula dengan Pippa. “Aku tidak menyukainya.”
“Aku
juga tidak, tapi dia dan teman-temannya suka kalah. Jadi kita tetap
mempertahankannya.”
Perlawanan
si koki seolah buyar. “Baiklah,” katanya, memegangi ikan dengan sebelah tangan.
“Akan kumasak ikan untuknya.”
“Sebaiknya
bukan ikan yang itu,” tukas Cross.
Pippa
tertawa, lupa diri, lupa kalau suaranya bisa merambat –cepat dan keras ke
seberang ruangan yang besar. Mata kelabu Cross tertuju ke lokasinya. Pippa
memundurkan kepalanya ke ceruk, merapatkan punggungnya ke dinding, jantungnya
berdebar kencang.
“Nah,
Cross,” Pippa mendengar Temple memanggil dari tempatnya di arena kasino.
Tidak
ada tanggapan. Pippa memasang telinga untuk mendengarkan apa yang terjadi
selanjutnya, beringsut-ingsut ke pintu keluar, tidak sabar menantikan tanda
yang mengindikasikan bahwa Cross sudah melihatnya, bahwa Cross sudah menyadari
keberadaannya.
Senyap.
Selama
beberapa saat yang terasa seperti satu keabadian.
Akhirnya,
tidak kuasa menahan diri, Pippa mengintip dengan berhati-hati dari samping
ruangan.
Dan
mendapati Cross berdiri tidak sampai lima belas sentimeter jauhnya, bersedekap,
menunggunya.
Pippa
tersentak karena kedekatan Cross, dan mengucapkan hal pertama yang tebersit di
benaknya. “Halo.”
Salah
satu alis coklat kemerahan diangkat. “Halo.”
Pippa
melangkah keluar untuk menghadapi Cross, tangannya digenggam erat-erat di depan
tubuhnya. Si koki dan Temple berbalik ke arah mereka, mata keduanya memancarkan
sorot penasaran. Seolah entah bagaimana konfrontasi ini lebih aneh daripada
seorang wanita Prancis yang melambai-lambaikan ikan trout di arena sebuah kasino.
Yah,
ini tidak lebih aneh.
Pippa
tahu pasti.
Ia
menatap mata kelabu Cross yang tenang, dan menunggu pria itu mengucapkan
seseuatu lagi.
Cross
tidak melakukannya.
Baiklah
ia bisa menunggu, pikir Pippa. Ia sudah pernah menunggu sebelumnya.
Tapi,
setelah rasanya seperempat jam berlalu, ia tidak tahan lagi. “Kurasa kau sedang
bertanya-tanya bagaimana aku bisa berada di sini.”
“Kau
ternyata seorang penyusup, Lady Philippa.”
Pippa
menegakkan badan. “Aku bukan penyusup.”
“Oh
ya? Di kantorku? Di balkonmu? Sekarang di sini... di klubku... di ceruk yang
gelap? Itu namanya penyusup.”
“Balkonnya
ada di rumahku,” Pippa tidak dapat menahan diri untuk tidak mengingatkan.
“Kalau ada yang menyusup, kaulah orangnya.”
“Hmm,”
Cross menyipitkan matanya. “Mungkin kau mau menjelaskan lokasimu sekarang.”
“Aku
sedang ada di dekat sini tadi,” Pippa menjelaskan. “Di dekat klub. Bukan ceruk
ini. Walaupun kurasa dekat bagi seseorang, tidak dekat bagi orang lain. Tapi
menurutku kedekatan konseptual bagi setiap orang relatif.”
Temple
mendengus dari tempatnya berdiri.
“Sebaiknya
kau meninggalkan kami,” kata Cross kepada mitranya, tidak mengalihkan
pandangannya dari Pippa. “Sebelum aku menghukummu karena sudah mengizinkannya
masuk.”
“Aku
harus bagaimana, meninggalkannya di gang sambil menggedor pintu, sampai
seseorang menemukannya?” Nada suara Temple ringan dan menggoda. Tidak pada
tempatnya. “Lagi pula, dia ke sini bukan untuk menemuimu.”
Mata
kelabu Cross menggelap sewaktu ia mendengar kata-kata itu, jantung Pippa mulai
berdebar kencang. Cross marah. Pippa menjauh, tidak dapat menahan diri, masuk
ke ceruk. Cross menyusul, memojokkannya, membiarkan tirai terjatuh di belakang
mereka, menyelubungi mereka dengan kegelapan. Mereka berjarak beberapa puluh
sentimeter dari yang lain –yang tahu mereka ada di sini, namun nadi Pippa mulai
berdenyut kencang saat Cross bicara, suara pria itu menjadi rendah dan
mengancam. “Mau apa kau ke sini?”
Pippa
mengangkat dagunya. “Itu bukan...” Ia berdeham. “Itu bukan urusanmu.”
Terjadi
keheningan sejenak, napas Cross tertahan, seolah Pippa membuatnya terkejut.
“Kita sudah bertaruh, kan?”
“Ya,
memang.”
Cross
mengulurkan tangan, menopangkan sebelah tangan di dinding belakang Pippa,
lengan itu, yang hanya berselubung lengan kemeja, lebih dari sekadar menarik.
“Dan apa aku salah kalau mengingat bahwa taruhan kita mencakup komitmenmu untuk
menjauh dari pria yang bukan
tunanganmu?”
Pippa
tidak menghiraukan nada suara Cross. “Kau tidak salah.”
Cross
mencondongkan badannya, sangat dekat. Pandangan Pippa tertuju ke arah kemejanya
yang terbuka, di mana semestinya ia memakai carvat
tapi tidak. Secara irasional perhatian Pippa tertarik ke segitiga kulit di
sana, diramaikan oleh bulu. Pippa ingin menyentuhnya.
“Kalau
begitu, jelaskan kepadaku, apa yang kau lakukan dengan Temple?” Amarah Cross
menyadarkan Pippa ke momen itu. Ia bisa mendengarnya dalam suara Cross, rendah
dan meresahkan.
Pippa
berusaha memulihkan ketenangannya –nyaris mustahil di tempat gelap ini dengan
Cross yang berada sangat dekat. “Dia mempersilahkanku masuk.”
“Kalau
kau bermimpi ingin mengingkari taruhan kita, aku akan meminta Tuhan, Bourne,
dan ayahmu untuk mengendalikanmu. Dengan urutan itu.”
“Semestinya
aku tidak kaget kau yakin kau memiliki kendali atas Yang Mahakuasa,” timpal
Pippa.
Cross
tampak seperti ingin membunuh seseorang.
“Cross.”
Dari balik tirai Temple datang membantu Pippa.
Selamat. Pippa
melepaskan napas yang tidak ia sadari sudah ia tahan.
Cross
menoleh tapi tidak beranjak dari tempat di mana ia menyudutkan Pippa.
“Tinggalkan kami.”
Temple
menarik tirai, membuat cahaya menyoroti ruang sempit itu. “Menurutku itu bukan
ide yang bagus. Lady ini ke sini bukan untuk menemuimu.”
Cross
menyeberangi ceruk dalam hitungan detik. “Yang pasti dia ke sini bukan untuk
menemuimu.”
Sambaran
semangat melanda Pippa karena kata-kata itu. Seolah Cross sedang membelanya.
Seolah Cross bersedia berjuang baginya.
Mengagumkan sekali. Pippa menarik
napas karena cara Cross bergerak, cepat dan tangkas. Mereka berjarak beberapa
sentimeter dari satu sama lain sekarang –Cross tinggi dan ramping, ototnya kencang
dan keras. Temple beberapa sentimeter lebih pendek, tapi lebih lebar sampai
separuh badan... dan sedang menyeringai.
“Yah,
memang,” ujar Temple. “Dia ke sini untuk sesuatu yang lain.”
Cross
kembali menoleh kepada Pippa, ke balik bahunya, mata kelabunya berkilat.
“Aku
hanya punya sebelas hari,” kata Pippa sudah siap untuk menjelaskan tujuannya.
Pasti Cross bisa mengerti, ia berada dalam situasi genting.
Temple
menyela. “Mungkin kau ingin mendampinginya?”
Mendengar
kata-kata santai itu, mata Cross menjadi hampa, dan Pippa langsung merasakan
keinginan irasional untuk mengulurkan tangan, seolah Cross bisa menghadirkan
emosinya kembali. Bukan berarti Pippa ingin melakukannya. Emosi bukanlah
tujuannya.
Tujuannya
adalah wawasan.
Tapi
Toh Pippa tidak akan melakukannya, karena Cross sudah berbalik, melewati Temple
dan berjalan ke kantornya.
Pippa
menyusul, seperti diikat. “Begitu saja?”
Sesampainya
di kantornya, Cross berbalik menghadap Pippa. “Kau bukan urusanku.”
Hunjaman
sesuatu yang menyerupai rasa sakit melanda Pippa karena kata-kata itu. Dengan
sambil lalu ia mengusap dadanya. “Kau benar. Memang bukan urusanmu.”
Cross
mengabaikan kata-kata yang terakhir. “Aku tidak akan menjadi penjagamu. Ada
urusan lebih penting yang harus kutangani.”
Cross
membuka pintu kantornya, tidak berusaha menyembunyikan wanita yang ada di
dalam.
Wanita
cantik berambut hitam dengan mata gelap, bibir merah, dan seulas senyum yang
sudah menyerupai skandal. Pippa mundur selangkah, pandangannya tertuju ke
wanita yang satu lagi sementara ia memutar ulang peristiwa-peristiwa yang
terjadi selama beberapa menit terakhir di benaknya –rahang Cross yang belum
dicukur dan lengan kemejanya yang kusut, bagaimana Cross membuka pintu dengan
kesal, seolah si koki sudah menganggu sesuatu yang sangat penting.
Cross
berada di dalam kantor bersama wanita ini tadi, wanita yang tersenyum seolah
Cross adalah satu-satunya pria yang ada di dunia. Seolah ia adalah satu-satunya
wanita yang ada di dunia.
Seolah
mereka mengemban tugas repopulasi.
Pippa
menelan ludah. “Aku mengerti.”
Cross
menyeringai. “Aku yakin kau mengerti.”
Pippa
mundur selangkah lagi sewaktu Cross menutup pintu.
“Aku
belum pernah melihatmu memperlakukan seorang wanita seperti itu,” ujar Sally
Tasser, menarik kaki ke bawah tubuhnya di kursi berlengan besar agar Cross bisa
lewat.
Cross
mengabaikan kata-kata itu dan hunjaman rasa bersalah yang menyertainya. “Sampai
di mana kita tadi?”
Mengapa Pippa ke sini? Bagaimana
mungkin Pippa mengubah taruhan mereka –satu siang bersama– menjadi undangan
untuk menyerbu tempatnya kapan pun gadis itu mau?
Si
pelacur mengangkat alis hitamnya karena ketidakpercayaan tersirat lalu membaca
catatannya. “Aku punya tiga belas gadis, semuanya bekerja sesuai daftar.” Ia
terdiam sejenak. “Siapa dia?”
Gadis itu titisan godaan. Diutus untuk
menghancurkannya, renung Cross.
“Apa
mereka bisa dipercaya?”
Dan apa sebenarnya yang sedang Pippa
lakukan dengan Temple?
“Mereka
tahu kau selalu menepati janji.” Hening lagi. “Setidaknya janji yang dibuat
kepada pelacur.”
Cross
berbalik menghadap Sally. “Apa maksudnya?”
Yah,
kau selalu bersikap layaknya pria sejati di depan wanita-wanitaku. Namun siang
ini kelihatannya kau sudah memperlakukan seorang lady dengan sangat buruk.
Cross
menyangkal kebenaran yang terkandung dalam kata-kata itu. “Sejak kapan kau
bersimpati kepada bangsawan?”
“Sejak
bangsawan yang satu itu kelihatan seolah kau habis menendang anjingnya.”
Acuan
terhadap anjing Pippa itu mengingatkan Cross kepada percakapan mereka semalam
–kepada permintaan Castleton –kepada keraguan Pippa untuk menamai anjing pria
itu. Kepada bagaimana bibir Pippa melengkung saat bicara dengannya.
Kepada
bagaimana seluruh percakapan membuatnya ingin membawa Pippa kabur dan
meyakinkan sang lady kalau menikah dengan Castleton sangat keliru bagi gadis
itu.
Tentu
saja, Cross tidak memberitahukan semua itu kepada Sally. Alih-alih ia berkata,
“Aku menginginkan lima puluh penjudi terbesar di klub itu. Jangan sampai ada
yang terlewatkan.”
Sally
menatap Cross dengan sorot tajam. “Kau akan mendapatkannya. Kapan aku pernah
mengecewakanmu?”
“Tidak
pernah. Tapi selalu ada waktu untuk memulai.”
“Apa
yang Digger Knight lakukan padamu?”
Cross
menggelengkan kepala. “Itu tidak penting.”
Sally
tersenyum, nyaris datar. “Kurasa kau ada hubungannya dengan bagaimana dia
berkoar-koar tentang menikahkan putrinya dengan seorang earl.
Cross
memasang ekspresi termuramnya. “Aku tidak akan menikahi putrinya.”
“Itu
menurutmu. Dia akan datang lima hari lagi, dan begitu dia sampai di sini, Knight
tidak akan menyerah sebelum menikahkan kalian.” Waktu Cross tidak menimpali,
Sally menambahkan, “Kau tidak percaya? Dia itu Knight.”
“Aku
tidak akan menikahi gadis itu,” ulang Cross.
Sally
memperhatikan Cross selama beberapa saat sebelum berkata, “Aku akan bekerja di
arena malam itu. Kalau ada kantong tebal yang melewati pintu, aku akan
memberinya undangan Pandemonium sendiri.” Ia mendongakkan kepala ke arah pintu.
“Sekarang ceritakan tentang gadis itu.”
Cross
memaksakan diri untuk duduk, dan sengaja salah menafsirkan pertanyaan barusan.
“Aku belum pernah bertemu dengan Meghan. Tanyakan saja kepada Knight.”
Sally
tersenyum datar. “Jangan pura-pura bodoh, Cross.”
Cross
menahan keinginan untuk mengacak-acak rambut dengan tangan, malah bersandar ke
kursinya, dengan sangat terkendali. Pippa Marbury lebih dari yang bisa
ditangani oleh pria baik-baik mana pun. Dan
ia sama sekali bukan pria baik-baik. “Dia seorang yang seharusnya tidak
datang ke sini.”
Seharusnya ia melarang gadis itu masuk.
Sally
tertawa. “Kau tidak perlu memberitahukan itu kepadaku. Yang jelas, dia sudah
datang.”
“Dia
menyukai petualangan.”
“Wah,
dia mencarinya dari orang yang salah.”
Cross
tidak menimpali, lebih cerdas dari itu.
“Kau
berusaha menjauhkannya darimu?”
Demi
Tuhan, ya. Cross tidak menginginkan Pippa di sini. Ia tidak ingin Pippa
menyentuh barang-barangnya, meninggalkan jejak, menggodanya. Tidak ingin Pippa
mengancam tempat keramatnya. Tidak ingin Pippa menodai tempat gelap ini dengan
cahaya gadis itu. “Aku berusaha menjauhkannya secara umum.”
Sally
mencondongkan badan ke depan. “Dia bukan kekasihmu.”
“Tentu
saja bukan.”
Salah
satu alis Sally diangkat. “Tidak ada tentu saja dalam hal ini. Mungkin ada
kalau aku tidak melihat wajahnya tadi.”
“Mungkin
aku berutang permintaan maaf pada gadis itu, tapi bukan berarti dia mendekati
kekasih bagiku.”
Sally
tersenyum waktu mendengarnya. “Apa kau tidak mengerti, Cross? Fakta bahwa kau
berutang permintaan maaf kepadanya justru membuatnya mendekati kekasih bagimu.”
Ia terdiam selama beberapa saat sebelum menambahkan, “Dan kalaupun kau tidak
merasa seperti itu, wajah gadis itu saja sudah cukup.”
“Dia
datang untuk meminta bantuanku dalam suatu masalah.” Masalah yang konyol, tapi
Sally tidak perlu tahu.
“Dia
mungkin meminta bantuanmu dalam satu
masalah,” ujar si pelacur sambil tertawa pelan dengan penuh pengertian, “tapi
dia menginginkan bantuanmu dalam
masalah yang jauh berbeda.”
Mata
Cross disipitkan. “Aku tidak tahu apa maksudmu.”
“Seks,”
kata sally blak-blakan, seolah ia sedang berbicara dengan seorang anak kecil.
Anak kecil yang matang sebelum waktunya. “Gadis itu tahu siapa aku, apa
pekerjaanku. Dan dia cemburu.”
Cross
menatap mata gelap Sally, hanya melihat mata biru Pippa yang besar dan
memancarkan kekagetan, tampak semakin besar karena lensa kacamatanya. “Tidak
ada alasan baginya untuk cemburu.”
“Sayangnya
itu benar.” Mulut Sally dikerucutkan dengan cibiran yang sempurna, lalu ia
bersandar di kursinya. “Tapi dia tidak tahu itu.”
Rasa
frustasi meliputi Cross. “Maksudku, dia tidak cemburu.”
Sally
tersenyum. “Tentu saja dia cemburu. Dia menginginkanmu.”
“Tidak.
Dia menginginkan bantuanku untuk sesuatu...,” Cross ragu mengucapkan kata itu,
“riset.”
Sally
tertawa, panjang dan keras. “Aku yakin itu.”
Cross
memalingkan wajahnya, dengan sambil lalu mengambil sebuah arsip yang tidak ia
butuhkan. “Kita sudah selesai.”
Sally
menghela napas lalu lalu berdiri, menghampiri meja. “Katakan padaku, apa dia
tahu?”
Cross
memejamkan mata, frustasi. “Tahu apa?”
“Apa
dia tahu kalau dia tidak akan pernah mendapatkanmu?”
“Dia
akan menikah dengan seorang bangsawan sekitar seminggu lagi.” Dan kalaupun tidak, gadis itu terlalu baik
untukku.
“Pertunangan
dibuat untuk dibatalkan.”
“Aku
lupa betapa sinisnya kau.”
“Itu
risiko pekerjaan.” Sally beranjak ke pintu, membalikkan badan sebelum
membukanya. “Kau harus memberitahunya. Sebelum gadis malang itu merana karena
cinta yang tak berbalas.”
Cross
tidak menimpali.
Setelah
beberapa saat, Sally berkata, “Aku akan menemuimu besok dengan daftarmu.”
“Terima
kasih.”
Sally
mengangguk sekali lalu membuka pintu, berbalik untuk pergi sebelum ia menoleh
ke belakang, seulas senyum mengembang di bibirnya yang kelewat merah. “Apa aku
perlu mempersilahkan janjimu yang berikutnya masuk?”
Sebelum
menoleh, Cross sudah tahu apa yang akan dia temukan begitu Sally melangkah
keluar dari ambang pintu.
Philippa
Marbury duduk di sebuah bangku bandar yang tinggi, tidak sampai satu setengah
meter jauhnya, sedang menggigiti pinggiran sepotong roti isi.
Cross
tidak bermaksud untuk berdiri, tapi ia tetap berdiri, mengitari meja seolah ia
sedang dikejar. “Apa seseorang memberimu
makan?”
Tentu
saja seseorang memberi Pippa makan. Pasti Didier, yang selalu lemah kalau
dihadapkan dengan pelacur mana pun yang masuk ke dapur The Angel.
Tapi
Philippa Marbury bukan pelacur.
Belum.
Dan
sang lady tidak akan menjadi seperti itu
kalau ia boleh menentukan, pikir Cross.
“Kokimu
cukup baik sehingga menyajikan sepiring makanan untukku selagi aku menunggu.”
Pippa berdiri, menyodorkan piring yang dimaksud kepada Cross. “Rasanya lezat
sekali. Kau mau?”
Oh Tuhan, ya, ia mau.
“Tidak.
Mengapa dia memberimu makan?”
“Aku
sedang berinkubasi.”
Cross
mengarahkan pandangannya ke langit-langit, memohon kesabaran. “Dalam berapa
banyak cara aku harus memberitahumu kalau aku tidak mau membantumu keluar dari
kepompong yang satu ini?”
Mulut
Pippa menganga. “Kau merujuk kepada metamorfosis.”
Gadis
ini membuatnya gila. “Kau yang lebih dulu merujuk kepadanya. Nah, aku sudah
menyuruhmu pulang, kan?”
Pippa
tersenyum, senyum lebar nan cantik yang seharusnya tidak sangat disukai oleh
Cross. “Sebenarnya kau tidak menyuruhku pulang. Malah kau sudah mencuci tangan
dariku.”
Cross
ingin mengguncang tubuh gadis menjengkelkan itu. “Kalau begitu, katakan mengapa
kau masih ada di sini. Menungguku?”
Pippa
memiringkan kepala seolah Cross adalah spesimen aneh yang dipajang di Royal
Entomological Society. “Oh, kau salah paham. Aku tidak menunggumu.”
Apa-apaan ini? Tentu saja
Pippa menunggunya, pikir Cross.
Tapi
ternyata tidak. Pippa berdiri, menjejalkan piringnya –serta roti isinya yang
sudah dimakan setengah– ke tangan Cross lalu mengalihkan segenap perhatiannya
kepada Sally. “Aku menunggumu.”
Sally
melirik Cross sekilas, jelas tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Agaknya
Pippa tidak menyadari kalau ia sudah membuat mereka semua kebingungan, malah
melangkah maju dan mengulurkan tangannya untuk menyapa. “Aku Lady Philippa
Marbury.”
Sial.
Cross
rela menyerahkan separuh hartanya demi mengulangi kembali momen ketika Pippa
memberitahukan nama gadis itu kepada Sally. Tidak ada yang tahu kapan kesetiaan
si pelacur akan berubah arah, dari pengetahuan menghasilkan kekuasaan yang
memabukkan.
Tapi
sekarang, Sally mengesampingkan kekagetannya lalu meraih tangan Pippa, membungkuk
sekilas. “Sally Tasser.”
“Senang
bertemu denganmu, Miss Tasser,” ujar Pippa, seolah ia sedang bertemu dengan
seorang debutan baru pada perjamuan minum teh, bukannya salah seorang pelacur
yang paling terkenal di London di sebuah klub judi. “Aku ingin tahu apa kau
punya waktu sebentar untuk menjawab beberapa pertanyaan.”
Sally
tampak sangat terhibur. “Saya rasa saya punya sedikit waktu, My Lady.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Oh, tidak. Tidak perlu ada formalitas. Kau harus
memanggilku Pippa.”
Langkahi
dulu mayatku, tukas Cross dalam hati.
“Ada
banyak alasan untuk mempertahankan formalitas,” ujar Cross, menoleh kepada
Sally. “Kau hanya boleh memanggil lady ini dengan sebutan itu. Lady.”
Alis
Pippa menyambung. “Maaf, Mr. Cross, tapi dalam percakapan ini, kau berlebihan.”
Cross
menatap Pippa dengan sorot matanya yang paling menakutkan. “Percayalah, aku
sama sekali tidak berlebihan.”
“Apa
aku benar kalau menarik kesimpulan bahwa kau tidak punya waktu ataupun
keinginan untuk bicara denganku saat ini?”
Pippa
sudah menyudutkan Cross. “Benar.”
Pippa
tersenyum. “Baiklah, kalau begitu. Karena aku memiliki keduanya, kurasa aku
akan memulai risetku sekarang. Tanpamu,” ia berbalik memunggungi Cross. “Nah,
Miss Tasser. Apa aku benar kalau menebak bahwa kau ini... seorang pelacur?”
Kata
itu terucap dari bibir Pippa seolah ia mengucapkannya lusinan kali sehari. “Oh,
Tuhan.” Cross melirik Sally dengan tajam. “Jangan dijawab.”
“Mengapa
jangan?” Pippa tersenyum kepada Sally. “Tidak ada yang memalukan dalam pertanyaan
itu.”
Alis
Sally pun diangkat sewaktu mendengarnya.
Ini tidak mungkin terjadi.
Pippa
melanjutkan, “Tidak ada. Malah, aku sudah melakukan riset, dan kata itu
disebutkan di Alkitab. Kitab Imamat. Dan, sejujurnya, kalau sesuatu dicantumkan
di dalam kitab suci, menurutku sangat masuk akal jika seseorang mengulanginya
di depan lawan bicara yang terhormat.”
“Saya
bukan lawan bicara yang terhormat,” timpal Sally, dengan brilian, menurut
Cross.
Pippa
tersenyum. “Tidak masalah.. kau lawan bicara yang sempurna untuk tujuanku. Nah,
aku hanya bisa berasumsi kalau kariermu sesuai dengan bayanganku, karena kau
sangat cantik dan sepertinya tahu persis cara menatap seorang pria dan
membuatnya terkesan seolah kau sangat mencintainya. Kau... panas.”
Cross
tahu ia harus menghentikan ini. Sekarang. “Dari mana kau tahu kalau dia tidak
benar-benar mencintaiku?”
Bukan
dengan cara itu Cross ingin menghentikannya. Sama sekali bukan. Brengsek.
Pippa
menoleh ke balik bahunya untuk melihat Cross, kemudian memandang Sally lagi.
“Apa kau benar-benar mencintainya?”
Sally
mengarahkan sorot matanya yang paling panas kepada Pippa, yang tergelak lalu
berkata, “Menurutku tidak.”
Sally
membalas tatapan Cross dari atas bahu Pippa, matanya berbinar geli. “Terima
kasih, My Lady.”
Yah.
Setidaknya Sally menggunakan sebutan kehormatan itu.
“Boleh
aku bicara blak-blakan?” tanya Pippa, seolah ia belum bicara blak-blakan selama
empat hari terakhir. Di sepanjang hidupnya.
“Silahkan,”
sahut Sally.
Momen
itu terlepas dari genggaman Cross. Ada yang harus dilakukan.
“Tidak,”
sela Cross, memosisikan diri di tengah, kedua wanita itu. “Tidak boleh ada yang
bicara blak-blakan. Apalagi kepada Sally.”
“Aku
mau bicara dengan lady ini, Cross,” ujar Sally, dan Cross tidak melewatkan nada
geli pada suara si pelacur.
“Aku
tidak meragukannya,” kata Cross. “Namun kau tidak akan bicara dengannya. Karena
kau harus ke suatu tempat. Sekarang.”
“Omong
kosong,” protes Pippa, menyingkirkan Cross dengan menyikut kuat-kuat
pinggangnya. Benar-benar menggerakkannya secara fisik. “Miss Tasser sudah
bilang dia punya waktu untukku.” Pippa mengerjap kepada Cross dari balik lensa
yang tebal. “Kau boleh pergi, Mr. Cross.”
Sally
tertawa terbahak-bahak.
Pippa
kembali mengalihkan perhatiannya ke Sally, meraih lengan si pelacur dan membawa
wanita itu menjauh dari Cross, menuju pintu utama klub. Ia akan meninggalkan
kasino, ke St. James’s pada tengah hari bolong sambil bergandengan dengan
seorang pelacur. “Aku ingin tahu apa kau bersedia mengajariku cara melakukannya.”
“Melakukan
apa?” Cross tidak bermaksud untuk mengucapkannya keras-keras.
Pippa
tidak menggubris Cross, tapi menjawab pertanyaan itu. “Menatap dengan sorot
panas. Aku akan menikah sebelas hari lagi. Kurang sedikit dari itu sekarang,
dan aku harus...”
“Menaklukan
suami anda?” tanya Sally.
Pippa
mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Aku juga membutuhkan wawasanmu yang sudah
pasti banyak dalam masalah-masalah... pernikahan.”
“Masalah-masalah
apa?”
“Yang
berkaitan dengan prokreasi. Aku mendapati bahwa apa yang kusangka kuketahui
tentang mekanisme aktivitas itu... yah, tidak benar.”
“Tidak
benar bagaimana?”
“Jujur
saja, kupikir itu sama seperti perkawinan binatang.”
Nada
suara Sally berubah menjadi datar. “My Lady, sayangnya terkadang keduanya tidak
berbeda jauh.”
Pippa
tertegun, mencerna kata-kata itu. “Benarkah?”
“Pria
tidak rumit, pada umumnya begitu,” kata Sally dengan sangat bijaksana. “Mereka
seperti binatang kalau sedang ingin.”
“Binatang
buas!”
“Ah,
jadi Anda mengerti.”
Pippa
memiringkan kepalanya ke samping. “Aku pernah membacanya.”
Sally
mengangguk. “Bacaan erotis?”
“Buku
Doa Umum. Tapi mungkin ada bacaan erotis yang bisa kau rekomendasikan?”
Dan
habislah sudah kesabaran Cross.
“Kau
sudah kalah dalam taruhan denganku yang melarang intaraksi semacam ini.”
Kata-kata Cross terdengar kasar dan kejam. Bukan berarti ia peduli. Ia menoleh
kepada Sally. “Pergi sekarang Sally.”
Pippa
mengangkat dagunya dengan apa yang mulai Cross anggap sebagai gayanya yang
paling menjengkelkan. “Aku berjanji tidak akan bertanya kepada pria lain. Tidak ada satu hal pun yang
berkaitan dengan wanita dalam taruhan kita.”
Cross
membuka mulut untuk merespon. Menutupnya.
Pippa
mengangguk sekali, sarat akan rasa bangga terhadap diri sendiri, lalu kembali
menglaihkan perhatiannya kepada Sally. “Miss Tasser, aku berasumsi dari apa
yang kau saksikan bahwa kau sangat ahli... setidaknya, Mr. Cross yakin begitu.”
Apa
Pippa sudah gila?
“Cross
dan aku sayangnya belum pernah... berbisnis,” kata Sally.
Mulut
Pippa membentuk huruf O yang sempurna. “Aku mengerti,” katanya, padahal sudah
jelas ia tidak mengerti. “Kau jelas harus berhati-hati. Kuhargai itu. Dan aku
bersedia membayar untuk instruksimu,” ia menambahkan. “Apa kau bersedia
mengunjungiku di rumahku?”
Cross
salah; kesabarannya baru habis sekarang.
Pippa
tidak boleh belajar apa-apa dari Sally. Atau dari Temple. Atau dari Castleton,
sial –tidak penting kalau pria itu tunangannya.
Cross
tidak mau siapa pun menyentuh Pippa.
Cross
mengulurkan tangan ke arah Pippa, meraih lengannya, menariknya menjauh dari
Sally, menjauh dari jalur penuh skandal apa pun yang ingin gadis itu tempuh.
Cross mengabaikan engahan marah Pippa dan bagaimana jemarinya bersorak sorai
karena kontak mereka. “Sally, sudah waktunya kau pergi.” Cross kembali menoleh
kepada Pippa. “Dan kau. Masuk ke kantorku, sebelum seseorang melihatmu di
sini.”
“Klubnya
tutup. Siapa yang bisa melihatku?”
“Mungkin
kakak iparmu?”
Pippa
tetap bergeming. “Bourne dan Penelope pergi memancing hari ini. Mereka
berangkat ke Falconwell tadi pagi. Baru kembali besok.”
“Untuk
memancing.” Bahkan jika ia punya waktu di sepanjang keabadian untuk mencoba,
Cross tidak dapat membayangkan Bourne duduk di pinggir danau, memancing.
“Ya.
Mereka sudah sering memancing bersama di sepanjang hidup mereka. Aku tidak
mengerti mengapa itu mengejutkan.”
Sally
menggelengkan kepala. “Tragis kalau seorang bajingan sekaliber Bourne menjadi
lembek.”
Pippa
menatap mata pelacur itu. “Kurasa begitu bagi sebagian besar orang... tapi
sepertinya kakakku senang dengan hasilnya.”
“Tentu
saja. Bourne selalu bisa menyenangkan seorang lady.”
Pippa
mencerna kata-kata tersebut selama beberapa saat. “Apa maksudmu kau pernah...
dengan Bourne?”
“Dia
tidak bermaksud begitu.” Cross menatap Sally dengan tajam. “Keluar.”
Sally
memiringkan kepala, matanya berkilat usil. “Sayangnya aku tidak bisa pergi,
Cross. Tidak sebelum memberikan informasi yang diminta lady ini.”
Pippa
sepertinya melupakan pertanyaannya tentang Bourne. Puji Tuhan. “Baik sekali kau
mau membelaku.”
Sally
Tasser sudah terlalu lama hidup di jalanan untuk bersikap baik. Pelacur itu
tidak akan melakukan apa pun yang tidak menguntungkannya. Satu-satunya alasan
mengapa ia mau mengkhianati Digger Knight adalah karena the Angel menawarinya
bayaran tiga kali lipat dari yang ia terima dari majikannya saat ini.
Cross
memastikan wanita itu memahami pemikirannya hanya dengan satu tatapan.
“Sally
mau pergi, Lady Philippa.” Kata-kata itu terucap dengan lebih kasar daripada
yang Cross inginkan. Tapi kesabaran seorang pria ada batasnya.
Selama
sesaat, Cross mengira kedua wanita itu akan melawannya. Kemudian, Sally
tersenyum, memiringkan mata lalu mengulas senyumnya yang paling genit. “Yah,
harus ada yang menjawab pertanyaan lady ini.”
Pippa
mengangguk. “Itu benar. Aku tidak akan pergi sebelum mendapatkan jawabannya.”
Kata-kata
itu sudah terucap sebelum Cross bisa menghentikannya. “Akan kujawab.”
Sally
tampak sangat puas.
Brengsek.
Tidak
ada yang lebih tidak Cross inginkan dari menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah
Philippa Marbury kumpulkan sebagai persiapan untuk pelajaran bersama seorang
pelacur.
Mata
Pippa disipitkan. “Hmm... aku jadi ragu.”
“Cross
sangat mahir,” ucap Sally, melepaskan diri dari cengkraman Pippa, membisikkan
kelanjutannya. “Dia pasti mengetahui semua jawaban yang anda butuhkan.”
Pippa
melirik Cross dengan sorot ragu yang membuat Cross ingin membuktikan si pelacur
benar saat ini juga.
Sally
memahami apa yang terselubung lalu mengulas senyum riang dan penuh pemahaman
kepada Cross. “Bukan begitu, Cross? Aku yakin kau tidak membutuhkan bantuanku.
Iya, kan?”
“Aku
yakin.” Cross seragu ekspresi Pippa.
“Bagus.
Kalau begitu... sampai jumpa besok, sesuai rencana.”
Cross
mengangguk sekali.
Sally
menoleh kepada Pippa. “Senang berjumpa dengan Anda, Lady Philippa. Kuharap kita
punya kesempatan untuk bertemu lagi.”
Tidak kalau ia boleh menentukan, benak
Cross.
Setelah
Sally menghilang ke jalan gelap yang mengarah ke pintu belakang klub Cross
mengitari Pippa. “Apa yang merasukimu hingga kau menunggu seorang pelacur di
dalam sebuah kasino?”
Terjadi
keheningan selama beberapa saat, dan Cross bertanya-tanya apa Pippa tidak akan
menjawab, dan itu tidak buruk, karena ia sudah muak dengan ketidakwarasan gadis
itu.
Tapi
ternyata Pippa menjawab, matanya membelalak, suaranya kuat, menghampiri Cross,
menyusul Cross menyeberangi arena kasino. “Sepertinya kau tidak memahami
masalahku, Mr. Cross. Aku punya waktu sebelas hari sebelum aku harus berjanji
di hadapan Tuhan dan manusia tentang setengah lusin persoalan yang belum
kupahami. Kau dan anggota gereja lainnya... termasuk saudari-saudariku... tidak
akan memedulikan semua itu barang sedikit pun, tapi aku mencemaskannya. Bagaimana mungkin aku membuat janji yang tidak
kupahami? Bagaimana mungkin aku menikah tanpa mengetahui semua tetek-bengek
pernikahan? Bagaimana mungkin aku berjanji akan menjadi istri yang baik bagi
Castleton dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kalau aku tidak memiliki
pengetahuan dasar mengenai tindakan yang dimaksud?”
Pippa
terdiam sejenak, menambahkan dengan berbisik, “Yah, aku punya mengalaman dengan
sapi jantan di Coldharbour, tapi... itu sama sekali bukan pengetahuan yang
relevan, seperti yang sudah Penelope dan kau sendiri tegaskan. Apa kau tidak
juga mengerti? Aku hanya punya waktu sebelas hari. Dan aku membutuhkan semuanya.”
Cross
mundur ke meja permainan dadu, dan Pippa terus mendekat. “Aku membutuhkannya.
Aku membutuhkan wawasan yang bisa hari-hari itu dapatkan. Aku membutuhkan semua
informasi yang bisa kukumpulkan... kalau bukan darimu, maka dari Miss Tasser.
Atau yang lain. Aku sudah bertekad akan menjadi seorang istri dan ibu. Dan aku
sudah melakukan banyak riset mengenai hal itu.
Napas
Pippa terengah-engah sewaktu ia berhenti, matanya berbinar, pipinya merah, dan
kulit payudaranya yang pucat mengencang di pinggiran gaunnya yang berwarna
merah mawar. Cross terpesona oleh Pippa, oleh kecemasan menggebunya dan
komitmennya terhadap solusi konyolnya –seolah memahami mekanisme seks dapat
mengubah segalanya. Dapat membuat sebelas hari lagi, dan sebelas tahun lagi
menjadi semakin mudah. Tentu saja itu tidak akan terjadi.
Wawasan
tidaklah cukup.
Cross
mengetahuinya lebih daripada siapa pun.
“Kau
tidak bisa mengetahui segalanya, Pippa.”
“Aku
bisa mengetahui lebih daripada yang sudah kuketahui,” balas Pippa.
Cross
tersenyum sewaktu mendengarnya, dan Pippa mundur selangkah, mendongak menatap
Cross, kemudian menunduk memandangi tangannya yang direntangkan. Ada sesuatu
yang terkesan sangat rapuh dalam diri Pippa. Sesuatu yang tidak Cross sukai.
Ketika
Pippa kembali mengalihkan pandangan mantapnya ke mata Cross dan berkata, “Aku
akan menjadi seorang istri,” Cross merasakan keinginan menggebu untuk membawa
gadis itu ke salah satu ruangan rahasia klub dan menahannya di sana.
Mungkin
selamanya.
Seorang istri. Cross tidak
suka membayangkan Pippa sebagai seorang istri. Sebagai istri Castleton. Sebagai
istri siapa pun.
“Dan
seorang ibu.”
Sebuah
fantasi melintas. Pippa dikelilingi oleh anak-anak. Anak-anak yang berseri-seri
dan berkacamata, masing-masing terpesona oleh suatu aspek dari dunia,
mendengarkan dengan cermat sementara Pippa menjelaskan ilmu pengetahuan tentang
Bumi dan langit kepada mereka.
Pippa akan menjadi ibu yang hebat.
Tidak.
Cross bertekad tidak akan memikirkannya. Ia tidak suka membayangkannya.
“Sebagian
besar istri tidak menemui pelacur untuk mengembangkan kemampuan mereka. Dan kau
punya waktu nanti untuk riset tentang bagaimana menjadi ibu.”
“Sepertinya
Miss Tasser merupakan mitra riset yang baik, mengingat kau sudah menghilangkan
separuh peluangku. Bagaimanapun juga, kau tidak membantu. Apa dia kekasihmu?”
Cross
tidak menggubris pertanyaan itu. “Pelacur menjadi langkah berikutnya dalam
rencanamu?”
“Yang
menarik, tidak begitu hingga semalam. Tapi waktu Penelope menyiratkan bahwa
mungkin ada pelacur di sini...”
“Lady Bourne tahu tentang rencana
konyolmu dan belum mengikatmu ke kursi?” Istri Bourne atau bukan, wanita itu
harus dimaki habis-habisan karena mengizinkan adiknya yang belum menikah dan
tidak dilindungi berpetualang ke sudut-sudut kelam London tanpa penjagaan.
“Tidak.
Dia hanya menjawab beberapa pertanyaan mengenai The Angel.”
Mengenai dirinya? Cross tidak
mau bertanya. Ia tidak mau tahu.
“Pertanyaan
macam apa?”
Pippa
menghela napas. “Jenis pertanyaan yang membuatku tahu bahwa mungkin ada satu
atau dua orang pelacur di sini. Apa dia sangat hebat?”
Pertanyaan
itu sangat blak-blakan, kepala Cross pun berputar-putar. Pippa tidak perlu tahu
kalau Sally Tasser mungkin merupakan wanita yang paling hebat di sisi
Montmartre sebelah sini.
“Apa
yang ingin kau ketahui?”
Pippa
mengerjap kepada Cross dengan mata biru besar itu lalu berkata, seolah
ucapannya adalah sesuatu yang sangat masuk akal, “Semuanya.”
Selama
beberapa saat yang menggoda, Cross terhilang dalam fantasi tentang apa yang
tercakup dalam segalanya. Dalam
bagaimana tubuh Pippa akan pas di tubuhnya, seperti apa rasa Pippa, lembut dan
manis di lidahnya, dalam hal-hal cabul nan nikmat yang akan Pippa izinkan untuk
ia lakukan kepada gadis itu.
Cross
ingin menunjukkan segalanya kepada Pippa.
Dan
ia ingin memulainya sekarang.
“Apa
menurutmu Miss Tasser bersedia memberiku pelajaran?”
Bernapas
terasa semakin sulit. “Tidak.”
Pippa
memiringkan kepala. “Apa kau yakin? Seperti yang kubilang, aku bersedia
membayarnya.”
Membayangkan
Pippa Marbury membayar untuk belajar dari Sally Tasser membuat Cross ingin
menghancurkan seseorang. Pertama Bourne, yang sudah membiarkan adik iparnya
berkeliaran tanpa penjagaan di London, kemudian Marquess of Needham and Dolby,
yang sudah membesarkan seorang wanita muda yang tidak berakal sehat, kemudian
Castleton, yang tidak menyibukkan tunangannya selama beberapa minggu sebelum
pernikahan mereka.
Tidak
tahu-menahu tentang arah dari pemikiran-pemikiran Cross yang berkecamuk, Pippa
berkata, “Lord Castleton tidak pernah berusaha untuk meniduriku.”
Entah
pria itu idiot atau orang suci.
Jika
menjadi Castleton, Cross pasti sudah menaklukan Pippa dengan lusinan cara yang
berbeda begitu gadis itu bersedia menjadi istrinya. Di lorong-lorong yang gelap
dan ceruk-ceruk yang remang-remang, dalam perjalanan kereta kuda yang panjang
dan tersendat-sendat di tengah padatnya lalu lintas tenah hari, dan di luar,
dengan cepat, di dekat sebatang pohon yang kuat dan kokoh, tanpa siapa pun
selain alam yang mendengar jerit kenikmatan Pippa.
Mendengar
jerit kenikmatan mereka.
Tapi
ia bukan Castleton.
Ia
Cross.
Dan
ini benar-benar keliru.
Cross
mundur selangkah, pemikiran-pemikirannya membuatnya merasa bersalah –membuatnya
memandang ke sekeliling arena kasino yang temaram dengan rasa takut yang
mendadak melanda kalau-kalau ada yang melihat mereka. Mendengar mereka.
Mengapa
Pippa selalu berada di tempat-tempat yang seharusnya tidak didatangi oleh
wanita baik-baik?
“Semalam,
aku berusaha memberi isyarat kepadanya kalau aku ingin dia menyentuhku. Bahkan
menciumku.”
Cross
membenci sang earl dengan intensitas yang dahsyat dan mendalam.
Pippa
masih bicara. “Tapi sepertinya dia bahkan tidak memahamiku. Memang itu hanya
sentuhan di tangan, tapi...”
Cross
bersedia membayar mahal agar Pippa menyentuhnya dengan sesederhana itu.
Mata
biru Pippa yang besar tertuju ke mata Cross lagi. “Apa kau tahu mengapa dia
tidak mencoba menggodaku?”
“Tidak.”Lagi-lagi
kesucian tampaknya menjadi satu-satunya jawaban yang logis.
“Kau
tidak perlu merasa kalau kau harus melindungiku dari kebenaran.”
“Aku
tidak merasa begitu.” Tapi Cross merasa begitu. Ia tidak mau Pippa mengetahui
pemikirannya yang sebenarnya. Kecabulannya.
“Pasti
karena aku aneh.” Kemudian Pippa mendongak memandang Cross dengan mata biru
besar itu, lalu berkata, “Aku tidak tahan lagi.”
Semoga
Tuhan menolongnya, Cross ingin mencium Pippa secara menggebu, aneh ataupun
tidak. Ia ingin mencium Pippa secara menggebu karena Pippa aneh.
“Pippa...,”
kata Cross, tahu semesinya tidak bicara.
Pippa
menyelanya. “Jangan bilang itu tidak benar. Aku tahu itu benar. Aku aneh.”
“Kau
memang aneh.”
Alis
Pippa menyambung. “Yah, kau juga tidak perlu memberitahuku kalau itu memang
benar.”
Cross
tidak tahan lagi. Ia tersenyum. “Itu bukan sesuatu yang buruk.”
Pippa
memandang Cross seolah Cross-lah –bukan dirinya– yang gila. “Tentu saja itu
buruk.”
“Tidak.
Tidak buruk.”
“Kau
pria yang baik.”
Cross
tahu kalau ia sama sekali tidak seperti itu. Dan ada beberapa bagian penting
dari tubuhnya yang ingin membuktikannya kepada Pippa.
“Tidak
masalah kalau dia tidak ingin menggodaku,” lanjut Pippa, “tapi ini tidak b oleh
berlangsung selamanya.”
“Mungkin
dia berusaha untuk bersikap layaknya pria sejati.”
Pippa
tidak percaya. “Sikap itu tidak mencagah Tottenham.”
Api
menyambar Cross. “Tottenham pernah berusaha menggodamu?” ia akan membunuh pria
itu, calon perdana menteri atau bukan.
Pippa
memandangi Cross seolah kepala Cross ada dua. “Tidak. Untuk apa Tottenham
menggodaku?”
“Kau
bilang begitu.”
“Tidak.
Aku bilang dia sudah mencoba menggoda Olivia.”
Pippa
tidak berkata seperti itu, tapi Cross mengalah.
“Bukan
mencoba,” ralat Pippa, “dia sudah berhasil
melakukannya.” Pippa memejamkan mata. “Aku satu-satunya putri Marbury yang
belum pernah digoda.”
Ia bisa meralat kesalahan tragis ini,
batin Cross.
Tapi
ia tidak akan melakukannya.
Pippa
mendongak memandang Cross. “Bisa kau percaya?”
Cross
tidak tahu apa yang harus ia katakan. Maka ia tidak berkata apa-apa.
“Sepertinya
bisa.” Pippa menarik napas dalam-dalam. “Karena inilah aku membutuhkan
bantuanmu sedari awal, Mr. Cross. Aku membutuhkanmu untuk mengajariku cara
melakukannya.”
Bagus.
Cross
menelan kata itu. Ia pasti salah paham. “Cara melakukan apa?”
Pippa
menghela napas, frustrasi. “Cara menarik perhatiannya.”
“Siapa?”
“Apa
kau tidak mendengarkan? Castleton!” Pippa membalikkan badan, berjalan ke meja
yang paling dekat di mana sebuah roda rolet membeku di dudukan kayu ek yang
tebal. Ia bicara kepada roda itu. “Aku tidak tahu kalau seharusnya ia sudah
berusaha menggodaku sekarang. Sebelum pernikahan kami. Aku tidak tahu kalau itu
menjadi bagiannya.”
“Memang
bukan. Seharusnya dia tidak melakukan perbuatan seperti itu.”
“Yah,
kau sendiri belum pernah bertunangan. Sepertinya itulah yang terjadi di antara
pasangan yang akan segera menikah. Kupikir aku punya waktu dua minggu. Ternyata
tidak.”
Terdengar
raungan di telinga Cross yang membuatnya sulit memahami Pippa, tapi ketika
gadis itu berbalik menghadapnya lagi, dengan bahu ditegakkan, seolah sudah siap
untuk berperang, ia tahu ia sudah diluluhkan. “Risetku harus dimulai
secepatnya.”
Cross
yakin dirinya sedang dihukum. Itulah satu-satunya penjelasan yang ada.
“Aku
membutuhkan seseorang...” Pippa terdiam sebentar, kemudian meralat
pernyataannya. “Aku membutuhkanmu
untuk mengajariku cara menjadi normal.”
Menggelikan sekali.
“Normal.”
“Ya.
Norman.” Pippa mengangkat tangannya dengan tak berdaya. “Aku sadar sekarang
kalau permintaan awalku... akan pengalaman bermaksiat?” tanyanya seolah entah
bagaimana Cross telah melupakannya. Tapi Cross tetap mengangguk. “Yah, aku
sadar sekarang kalau itu sama sekali bukan permintaan yang aneh.”
“Oh,
ya?”
Pippa
tersenyum. “Bukan sama sekali. Malah, sepertinya ada banyak wanita di London
yang mengalami sepenuhnya semua hal
yang membuatku penasaran sebelum malam pengantin mereka... termasuk
saudari-saudariku. Ini di antara kita saja, ya?”
Akhirnya,
pertanyaan yang Cross ketahui jawabannya. “Tentu saja.”
Pippa
sudah beranjak. “Kau tahu, tadinya kupikir aku membutuhkan sejumlah wawasan
mengenai malam yang dimaksud karena Lord Castleton mungkin tidak memiliki
wawasan itu sendiri. Tapi sekarang, aku sadar... yah... aku membutuhkannya
karena itu wajar.”
“Wajar.”
Pippa
memiringkan kepalanya dan memandangi Cross dengan penasaran. “Kau sering
mengulangi perkataanku,Mr. Cross.”
Karena
mendengarkan Pippa terasa seperti mempelajari bahasa asing. Bahasa Arab. Atau
bahasa Hindi.
Pippa
masih bicara. “Itu wajar. Bagaimanapun juga, kalau Olivia memilikinya, dan Lord
Tottenham merupakan pria sejati... yah, pastinya banyak yang memilikinya, kan?”
“Memiliki...?”
“Wawasan
mengenai cara kerja proses...” Pippa ragu. “Pernikahan.”
Cross
menarik napas panjang lalu menghembuskannya. “Aku masih belum mengerti mengapa
kau membutuhkan seorang pelacur untuk mengajarimu... cara kerja itu.”
“Sebenarnya,
tidak ada bedanya. Aku masih membutuhkan seorang mitra riset. Hanya saja,
sekarang rasanya aku membutuhkan riset mengenai kenormalan. Aku perlu tahu
seperti apa biasanya wanita berperilaku. Aku butuh bantuan. Secepatnya. Karena
kau menolak, Miss Tasser dapat melakukannya.”
Pippa
membunuh Cross. Secara perlahan. Secara menyakitkan.
“Sally
Tasser bukan wanita biasa.”
“Yah,
aku tahu dia seorang pelacur, tapi kurasa dia memiliki semua... bagian tubuh yang penting, kan?”
Cross
tersedak. “Ya.”
Pippa
ragu, lalu sesuatu melintas di wajahnya. Kekecewaan? “Kau sudah pernah
melihatnya?”
“Belum.”
Kebenaran.
“Hmm.”
Sepertinya Pippa tidak percaya kepada Cross. “Kau tidak pernah berhubungan
dengan pelacur?”
“Tidak
pernah.”
“Aku
tidak terlalu yakin aku mendukung profesi itu.”
“Oh,
ya?” Puji Tuhan. Cross tidak akan kaget kalau Pippa mengumumkan hasrat barunya
untuk menjelajahi semua aspek dari profesi tertua di dunia itu.
“Iya.”
Pippa menggelengkan kepala. “Aku khawatir wanita-wanita itu diperlakukan dengan
buruk.”
“Para
wanita yang datang ke The Fallen Angel tidak perlakukan dengan buruk.”
“Para
wanita yang datang ke The Fallen Angel tidak diperlakukan dengan buruk.”
Alis
Pippa menyambung. “Dari mana kau tahu?”
“Karena
mereka berada di bawah perlindunganku.”
Pippa
membeku. “Benarkah?”
Tiba-tiba
Cross merasa hangat. “Benar. Kami berusaha semampu mungkin untuk memastikan
mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan layak saat berada di bawah
atap kami. Kalau diperlakukan dengan buruk, mereka tinggal memanggil salah
seorang petugas keamanan. Mereka mengajukan keluhan kepadaku. Dan kalau aku
mendapati seorang anggota memperlakukan wanita dengan buruk di bawah atap ini,
keanggotaannya akan dicabut.”
Pippa
terdiam selama beberapa saat, mencerna kata-kata itu, dan akhirnya berkata, “Aku
menyukai hortikultura.”
Cross
tidak tahu bagaimana tanaman bisa berhubungan dengan pelacur, tapi ia tahu
sebaiknya ia tidak menyela.
Pippa
melanjutkan, kata-katanya cepat dan blak-blakan, seolah masuk akal sepenuhnya. “Aku
mendapat penemuan yang sangat mengejutkan akhir-akhir ini,” katanya, dan
perhatian Cross tertuju kepada napasnya yang terengah selagi ia mengucapkan
kata-kata itu. Kepada bagaimana bibirnya melengkung mengulas senyum simpul yang
misterius. Pippa bangga akan dirinya sendiri, dan Cross mendapati bahwa ia
bangga akan gadis itu. Memang aneh. “Ternyata kita bisa memotong tangkai semak
mawar lalu melekatkan ke semak yang lain. Dan setelah prosesnya terselesaikan
dengan baik... katakanlah, tangkai mawar putih pada tangkai mawar merah...
mawar yang baru tumbuh...” Pippa terdiam sejenak, dan kelanjutan dari
kata-katanya berhamburan keluar, seolah ia hampir takut mengucapkannya. “Mawar
merah muda.”
Cross
tidak tahu banyak tentang hortikultura, tapi ia tahu cukup banyak tentang ilmu
pengetahuan sehingga tahu bahwa penemuan tersebut pasti menggemparkan. “Bagaimana
caranya kau...”
Pippa
mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan pertanyaan itu. “Dengan senang
hati aku akan menunjukkannya kepadamu. Menarik sekali. Tapi bukan itu intinya.”
Cross
menunggu Pippa menguraikan inti yang dimaksud.
Pippa
melakukannya. “Karier tersebut... itu bukan pilihan mereka. Mereka sudah tidak
berwarna merah ataupun putih. Mereka berwarna merah muda. Dan kalianlah
alasannya.”
Entah
bagaimana, rasanya masuk akal bila Pippa membandingkan wanita-wanita The Angel
dengan eksperimen mawar ini. Entah bagaimana, otak aneh dan tajam Pippabekerja
dengan cara yang Cross pahami sepenuhnya.
Dan
selagi Cross mempertimbangkan kebenaran ganjil dan luar biasa itu, Pippa
mendesak, “Iya, kan?”
Itu
bukan pertanyaan yang sederhana. Jawabannya juga tidak mudah. “Itu memang bukan
selalu pilihan mereka. Dalam banyak kasus, gadis-gadis itu jatuh terjerumus.
Tapi di sini, mereka diperlakukan dengan baik. Diberi makan. Dibayar dengan
layak. Dan begitu mereka hendak berhenti bekerja, kami akan mencarikan tempat
lain untuk mereka.”
Alis
Pippa diangkat. “Di mana?”
Cross
tersenyum. “Kami pria yang sangat berkuasa, Pippa. Anggota kami membutuhkan
pelayan, pemasok kami membutuhkan pelayan toko. Dan, kalau bukan itu, selalu
ada tempat berlindung yang terletak jauh dari London, di mana para wanita itu
bisa memulai dari awal.” Setelah keheningan panjang, ia menambahkan. “Aku tidak
akan memaksa seorang wanita menjalani kehidupan ini.”
“Tapi
sebagian dari mereka memilihnya?”
Kebenaran
tersebut tidak bisa dipahami oleh sebagian orang. “Tangkai yang putih.”
Pippa
mengangguk. “Seperti Miss Tasser.”
“Seperti
Sally.”
“Yah,
semakin banyak alasan bagiku untuk mempelajari kepiawaiannya.” Pippa menaikkan
kacamata di hidungnya. “Kalau dia memilih profesinya, dia pasti sangat
menikmatinya. Dan tidak ada orang lain lagi. Toh, Castleton tidak menawarkan
bimbingannya.”
Memang seharusnya begitu.
Tidak.
Tidak seharusnya begitu. Tentu saja Castleton seharusnya menawarkan bimbingan.
Seharusnya Castleton berbuat lebih jauh dari itu.
Gagasan
tersebut membuat Cross gusar.
Pippa
mengerucutkan bibirnya. “Menurutmu aku harus memintanya? Mungkin semestinya
begitu?”
Tidak. “Ya.”
Wajah
Pippa merona. “Aku tidak yakin aku bisa melakukannya.”
“Tapi
kau bisa memintaku?”
Pippa
mengerjap kepada Cross. “Kau berbeda. Kau bukan jenis pria yang dinikahi oleh
seorang wanita. Rasanya lebih mudah... yah... berdiskusi santai mengenai
risetku bersamamu.” Ia tersenyum. “Toh, kau pria terpelajar.”
Itu
lagi, pikir Cross. Keyakinan dirinya akan menjaga Pippa.
Bahwa
dia terkendali. Selalu.
Kau harus memberitahunya.
Kata-kata
Sally terngiang di benak Cross, mengejek dan tepat.
Seharusnya
Cross memberitahu Pippa. Tapi itu bukan sesuatu yang bisa disampaikan kepada
seorang wanita muda nan cantik yang berdiri dan memohon meminta pelajaran
mengenai maksiat.
Setidaknya,
bukan wanita muda biasa yang sedang
berada dalam situasi pelik.
Tapi
Philippa Marbury sama sekali tidak biasa.
Mengatakan
yang sebenarnya akan membuat Pippa menjauh. Dan itu yang terbaik. Bagi semua
orang yang terlibat.
Terutama
bagi dirinya, simpul Cross.
Pippa
menggelengkan kepala. “Dia pasti menolak. Apa kau tidak mengerti? Tidak ada
orang lain. Selain Miss Tasser.”
Pippa keliru.
“Ada
aku,” ujar Cross, kata-kata tersebut sudah terucap sebelum ia sadar ia akan
mengucapkannya. Mata Pippa membelalak, dan ia menatap mata Cross.
Terjadi
keheningan sesaat selagi Pippa mencerna kata-kata itu. Maknanya. “Ada aku...,”
gumamnya.
Cross
tersenyum. “Sekarang kau yang mengulang perkataanku.”
Pippa
membalas senyum Cross, dan Cross merasakan ekspresi itu sampai ke lubuk hatinya.
“Benar.”
Mungkin
ia bisa melakukan ini.
Tuhan
pun tahu ia berutang kepada Pippa, berutang kepada Pippa karena sudah
membiarkan gadis itu jatuh ke cengkraman Knight, Sally, Temple, dan hanya Tuhan
yang tahu siapa lagi yang sudah Pippa jumpai di dalam kasino. Ia berutang
kepada Bourne untuk menjaga keselamatan Pippa.
Dalih.
Cross
tertegun karena pemikiran tersebut. Mungkin semua itu dalih. Mungkin ia hanya
menginginkan alasan untuk berdekatan dengan Pippa. Untuk bicara dengan Pippa,
gadis aneh dan brilian yang membuatnya kewalahan pada setiap kesempatan yang
ada.
Itu
akan menyiksa, pasti.
Tapi
Tuhan pun tahu ia pantas disiksa.
Ia
harus bergerak. Menjauh dari Pippa.
Cross
beranjak ke meja permaian dadu, mengambil sepasang dadu lalu menimbang beratnya
dengan tangan. Pippa menyusul tanpa disuruh, melewati Cross dengan awan
kelembutan yang diharumkan oleh linen bersih. Bagaimana mungkin bau Pippa
seperti sinar mentari dan udara segar bahkan di tengah kegelapan ini? Dikelilingi
oleh dosa dan maksiat?
Pippa
harus pergi, simpul Cross. Godaan yang Pippa hadirkan terlalu kuat untuk ia
tolak.
Tidak
tahu-menahu tentang pemikiran Cross, Pippa menoleh kepadanya dengan wajah ceria
dan terbuka. “Aku punya banyak pertanyaan. Misalnya, Mademe Hebert sudah bertekad
untuk membuatkanku pakaian tidur yang dia yakin akan memancing Castleton untuk
menggodaku. Memangnya pakaian tidur bisa melakukan trik seperti itu?”
Kata-kata
itu merupakan serangan, meliputi Cross dengan fantasi tentang Pippa yang
ramping dan berambut pirang dalam sebuah kreasi dari sutra dan renda yang
dirancang untuk membuat pria kehilangan kendali. Sesuatu dengan banyak pita,
masing-masing berbentuk mungil dan diikat sempurna sehingga, begitu dibuka,
akan menyingkapkan sedikit kulit hangat yang lembut –hadiah mewah yang tidak
mungkin ditolak.
Hadiah
yang patut dibungkus.
“Menurutku
itu tidak cukup,” kata Pippa, perhatiannya terpecah.
Cross
yakin itu sudah lebih dari cukup.
“Dan
bagaimana dengan sorot panas Miss Tasser? Apa kau bisa mengajariku cara
melakukannya? Sepertinya itu bisa membantu.”
Cross
tidak melihat Pippa. Ia tidak mampu. Tapi ia juga tidak mampu menahan diri
untuk tidak berkata, “kau tidak membutuhkan sorot panas itu.”
Pippa
tertegun. “Oh, ya?”
“Ya.
Kau menggoda dengan cara yang berbeda.”
“Benarkah?”
Kau harus memberitahunya.
Sebelum
Pippa semakin menggodanya.
Tapi
ia tidak bisa.
Cross
menatap mata Pippa. “Benar.”
Mata
Pippa membelalak di balik kacamata yang membuat Cross gila itu. “Benar?”
Cross
tersenyum. “Kau mengulangi perkataanku lagi.”
Pippa
terdiam sejenak. “Kau tidak akan berubah pikiran, kan?”
“Tidak.”
Gagasan bahwa Pippa akan mencari orang lain tidak bisa diterima.
Tidak
kalau ia bisa menjadi orang itu. Tidak kalau ia bisa menunjukkan kenikmatan
yang akan diluluhlantakkan keluguan Puppa serta menodai gadis itu secara
menyeluruh dan habis-habisan. Cross ingin memberikan semua yang Pippa minta.
Dan
yang lebih lagi.
Dengan
begitu, keputusan dibuat. “Tidak. Aku tidak akan mengingkari janjiku.”
Pippa
menghela napas panjang, dan suaranya meliputi Cross di ruangan senyap itu,
membuat Cross bertanya-tanya apa lagi yang dapat memancing helaan napas pelan
itu.
“Seharusnya
aku sudah tahu. Pria sejati tidak akan pernah ingkar janji.”
“Dalam
kasus ini, begitu pula dengan bajingan.”
“Aku
tidak mengerti.”
“Peraturan
pria sejati menegaskan bahwa martabat melarang mereka mengingkari janji mereka,
bahkan dalam pertaruhan yang buruk sekalipu,” Cross menjelaskan, tergoda untuk
menghapus kerutan di kening Pippa, melawan godaan itu. “Peraturan bajingan
menegaskan bahwa seseorang hanya boleh bertaruh kalau yakin dia bisa menang.”
“Kau...”
Pippa ragu. “Kau yang mana?”
Cross
bisa memberi Pippa wawasan tanpa menyerah kepada hasratnya sendiri. Tanpa
melupakan komitmennya sendiri. Tanpa melepaskan pengendalian dirinya sendiri.
Cross
melangkah maju, memojokkan Pippa. “menurutmu yang mana?”
Pippa
melangkah mundur. “Pria sejati.”
Tanpa menyentuh Pippa.
Karena
Cross tahu, tanpa keraguan bahwa setelah berselibat selama enam tahun, jika ia
menyentuh Philippa Marbury, ia tidak akan tahan lagi.
Bajingan.
“Besok.
Jam sembilan.”
Next
Senang menemukan blog ini. Terimakasih
BalasHapusAdakah kelanjutannya?
BalasHapus