Senin, 17 Februari 2025

The Reluctant Viking #7

A… apa?"

“Jangan paksa aku untuk mengulanginya lagi. Kau tidak akan menyukai akibatnya.” Mata biru Thork, sangat mirip dengan mata lembut suami Ruby, namun juga sangat berbeda, berkilat kejam penuh kemarahan.

“Kenapa?”

“Apakah kau membantahku?” Thork mulai mendekatinya di dalam ruangan kecil yang hampir tak cukup untuk satu orang itu, yang hanya berisikan sebuah kasur dan pispot.

Ruby mundur. “Apa yang akan kau lakukan padaku?”

Mendadak Thork sepertinya mengerti arti ketakutan Ruby ketika mendengar perintahnya untuk melepaskan semua pakaian, dan bibir atasnya mencibir dengan jijik. “Aku sama sekali tidak berminat dengan tubuhmu. Kau membuatku jijik.”

Ruby mengernyit mendengar kekejian di dalam suara pria itu. “Kalau begitu kenapa kau ingin aku membuka pakaianku?”

“Agar kau tidak melarikan diri, dasar kau perempuan bodoh. Aku akan memastikan kau tinggal di kamar ini sampai aku bisa menyingkirkanmu.”

“Melarikan diri! Ke mana aku akan…”

“Hentikan! Aku sudah mendengar lebih dari cukup kebohonganmu. Buka pakaianmu atau aku akan mengembalikanmu ke istana. Dan, percayalah padaku, kau tidak akan suka dengan cara raja kami dalam memperlakukan budak yang merepotkannya ketika dia menyuruhmu telanjang.”

Tidak ingin menunjukkan rasa takutnya kepada pria itu, Ruby melepaskan semua pakaiannya, bahkan kaus kaki dan sepatunya, yang kemudian dikumpulkan Thork dan bersiap untuk meninggalkannya di ruangan itu. Wajah Ruby memerah dan panas akibat malu, namun dia tidak mau sembunyi. Ia ingin menutupi payudara dan selangkangannya dengan tangannya, tapi ia tidak melakukannya. Sebaliknya, ia mengangkat dagunya menantang.

Thork memandang Ruby. Pria itu tidak memperlihatkan penyesalan ataupun simpati atas tindakannya yang buruk itu. Hanya sebuah otot berkedut di dekat bibirnya yang menipis yang memperlihatkan emosi di wajahnya yang datar.

Melalui air mata, Ruby memandang Thork dan menyatakan dengan penuh emosi. “Aku membencimu.” Kemudian dengan rengekan tertahan, ia menambahkan dengan suara pecah dan serak. “Kupikir kau suamiku. Kupikir kau mencintaiku.”

Ruby melihat tangan pria itu mengepal sebelum berputar dan pergi, menutup pintu di belakangnya.

Ruby duduk di atas kasur dan menangis tanpa henti, untuk semua kehilangan yang dialaminya. Jack. Kehidupannya yang lama. Thork. Semuanya bercampur aduk di kepalanya dan menjadi satu.

Berjam-jam kemudian, ruby terbangun untuk menemukan dirinya berbaring telungkup di atas tempat tidur di kamar suram dan tak berjendela. Ia berputar dan melihat Gyda berjalan melewati pintu dengan diapit oleh semua anak perempuannya yang memandang Ruby dengan takjub.

Ruby melipat kakinya, sehingga lututnya menyentuh dadanya dan menutupi ketelanjangannya.

“Astrid, apakah kau membawa seprei?” tanya Gyda.

“Ya,” jawab Astrid dan menyerahkan setumpuk kain linen kepada ibunya dan sebuah selimut dari bulu. Astrid meletakkan semua itu di atas tempat tidur. Salah satu putrinya yang lain membawa nampan berisikan seteko air dan sepotong roti bulat. Sedangkan yang lain membawa pispot yang lama keluar dan meletakkan yang baru.

Dengan sentakan tangannya, Gyda menyuruh semua anak perempuan itu untuk pergi. Suara serta wajah tegang Gyda mengungkapkan kekecewaan dan ketikdakpercayaannya pada Ruby, dan ia tak bisa membiarkan wanita itu berpikir lebih buruk lagi.

“Gyda, aku tidak akan pernah dengan sengaja menyakiti Tyra… atau Tykir. Bagiku, Tykir adalah putraku. Dan Tyra, well, dia seperti anak perempuan yang tak pernah kumiliki. Aku mencintainya sama seperti aku akan mencintai putriku sendiri.

“Humph! Niat baikmu itu tak ada artinya. Entah kau benar-benar seorang mata-mata dan akan menculik anakku, aku tidak tahu. Tapi, kecerobohanmu telah menempatkan putriku, dan putra Thork, dalam bahaya, dan kami tidak akan bisa menoleransi itu. Aku tidak memercayaimu lagi.”

Setelah itu, setiap hari Gyda kembali ke kamar itu namun tidak bersama anak-anaknya lagi. Dalam keheningan yang menusuk, wanita itu akan memberikan nampan baru berisikan air dan roti, lalu mengganti pispotnya dengan yang baru, namun tidak mau menjawab semua pertanyaan Ruby.

Di akhir hari kelima, Ruby mengakui kepada dirinya sendiori kalau ia sudah bertindak ceroboh, tapi bukan hanya karena membawa anak-anak itu joging tanpa izin. Ia telah salah menilai kekejaman bangsa Viking dan seberbahaya apa situasi saat itu. Karena ia sudah pernah melihat sisi lembut Thork ketika ia sedang berkumpul dengan keluarga Olaf, ia membuat kesalahan dengan berpikir kalau Thork dan orang-orang Viking itu sama dengan manusia di masa depan.

Mereka tidak sama.

 

 

Meminta maaf adalah hal yang sangat sulit bagi seorang pria Viking yang angkuh…

Tak lama kemudian pada hari yang sama, thork berdiri sambil bersandar ke pintu kamar ruby. Sudah hampir satu jam ia menunggu wanita yang merepotkan itu untuk terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Ruby berbaring telungkup, selimut bulunya sudah jatuh ke lantai.

Thork tak bisa memercayai dirinya sendiri karena sudah menunda keberangkatannya ke Ravenshire sampai lima hari, mengirimkan satu demi satu pembawa pesan kepada kakeknya untuk menyampaikan alasan atas ketidakhadirannya. Yang bisa dipikirkannya hanya wanita yang sudah dipenjarakannya di ruangan menyedihkan ini. Sungguh, wanita itu telah menyihirnya dengan kata-kata yang diucapkan sambil berlinangan air mata, “Kupikir kau mencintaiku.”

Darah Thor! Ia tidak mencintai siapa pun, apalagi seorang wanita menyedihkan sepertinya.

Tetap saja, ia tak bisa lagi menolak godaan kembali untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau wanita ini tidak apa-apa. Untuk bisa mengerti kenapa ia begitu tertarik kepada wanita ini.

Ia memeriksa tubuh telanjang Ruby dengan matanya. Bagaimana ia bisa menyangka Ruby laki-laki? Pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang bulat, kakinya yang panjang dan menggoda itu jelas-jelas feminin. Jari-jarinya sakit ingin menyusuri pinggul Ruby yang berlekuk, bayangan tersembunyi yang bersemayam di antara kakinya. Demi Freya! Ia harus mengendalikan perasaannya–serta kejentanannya yang mengeras.

Merasakan kehadiran orang lain di kamar itu, Ruby mengangkat kepalanya dan melihat thork bersandar di pintu, memandangnya dengan tajam.

“Sudah berapa lama kau berdiri di situ?” tanya Ruby dengan mengantuk, sebelum ia tersentak ketika perintah pria itu untuk mengurungnya terngiang kembali. Tiba-tiba Ruby sadar akan ketelanjangannya dan ia meraih seprei di kaki tempat tidur, menarik kain itu hingga menutupi payudaranya yang telanjang sebelum berbalik dengan marah kepada pria itu.

Thork tak bisa menahan seringai di wajahnya melihat kejadian itu. Dan, demi mata Odin, menutupi sekarang sudah tidak ada gunanya lagi. Ia sudah melihat semuanya.

“Apa maumu?”

“Aku datang untuk melepaskanmu, untuk membawamu kembali ke rumah Olaf.”

“Kenapa? Apakah kau memutuskan kalau kau salah?”

Wajah Thork memanas akibat kecewa. Wanita ini seharusnya merasa bersyukur karena dilepaskan. “Tidak. Kau pantas mendapatkan semuanya ini. Aku sudah bersikap lunak padamu.”

“Hah! Dan bagaimana dengan Gudrod?”

Thork bisa saja mengatakan kepada Ruby kalau ia telah mengampuni budak itu dan mengirim orang itu untuk bekerja di ladang milik kakeknya, tapi ia tidak bersedia menjelaskan tindakannya. Terutama ketika ia benar.

Thork menegakkan badannya dan memutar-mutar bahunya yang tegang dengan letih. “Kalau bukan karena ketidakyakinan raja mengenai hubunganmu dengan Hrolf, kau juga pasti sudah dijual,” ia berbohong.

Ruby mengeluarkan suara terluka dari lehernya, dan menarik kain itu lebih tinggi lagi di tubuhnya, sambil melemparkan tatapan menuduh kepada Thork.

“Ah, baiklah! Thork mengangkat bahunya. Ia sudah melihat cukup banyak –untuk sekarang.

Tetap saja, ia tak bisa mengatasi perasaannya yang bertentangan mengenai wanita yang aneh ini. Ada sesuatu dari wanita itu yang menariknya. Ikatan aneh dan tak diinginkannya itu membuat perutnya melilit dan darahnya mengalir dengan deras. Thork menggeleng dengan jijik atas sikapnya yang tolol. Sialan! Ia membuang-buang waktunya seperti anak sapi yang bingung di kamar seorang wanita. Dengan bingung Thork memandang wajah Ruby dan tubuhnya yang terbungkus kain, mencari jawaban yang tidak ingin diberikan kepada wanita itu.

Kupikir kau mencintaiku, kata Ruby sambil menangis waktu itu, berpikir ia adalah suaminya. Di dalam hatinya, Thork merasa iri kepada pria itu.

Dengan maksud untuk melunakkan kemarahan Ruby, Thork berkomentar sambil bercanda dengan nada ringan. “Mungkin ketika rambutmu sudah sedikit lebih panjang dan badanmu lebih gemuk, kau tidak akan sejelek yang kupikirkan.”

Tak butuh waktu lama bagi Thork untuk bisa melihat kesalahannya. Mata abu-abu kehijauan wanita itu melebar dan berkedip-kedip dengan perasaan tersinggung.

“Menurutku kau tidak lucu,” sembur Ruby.

“Jangan cepat marah begitu.” Thork berjalan mendekati tempat tidur dan dengan satu jarinya, mengelus pinggiran kain di dekat pangkal leher Ruby, di mana denyut nadi wanita itu berdetak sangat cepat. “Dan usahamu yang sia-sia untuk menutupi tubuhmu itu tidak ada gunanya,” katanya dengan kurang jelas. “Kau sama sekali tidak berusaha menutupi badanmu ketika kau berdiri hampir telanjang di depan semua orang.”

“Waktu itu aku tidak talanjang,” sanggah Ruby dengan gusar. “Aku memakai lingerie yang kurancang untuk perusahaanku sendiri. Model-modelku memakainya di peragaan busana sepanjang waktu. Aku tidak telanjang.”

“Peragaan busana? Lingerie? Apakah begitu caramu menyebut pakaian dalam tipis yang kau pakai itu? Dan perusahaanmu sendiri! Demi semua orang suci dan dewa-dewa Norse, ceritamu semakin tak masuk akal saja.”

Ruby mengangkat kepalanya dengan angkuh dan memberitahu Thork, “Perusahaanku bernama Sweet Nothings. Kami menjual lingerie pesanan khusus di tujuh belas negara bagian. Majalah USA Tomorrow memasukkanku di antara dua puluh pengusaha wanita bermasa depan cerah tahun lalu.”

“Akan kukatakan ini padamu, Wench, ceritamu sangat indah. Aku hampir saja memercayaimu. Hampir!”

“Aku tak peculi apa lagi yang kau percayai. Yang kuinginkan hanyalah pulang ke rumahku.”

“Tidak! Itu tidak bisa!” Thork menggeram. Pemikiran Ruby meninggalkannya tiba-tiba membuat Thork merasakan sakit yang tak bisa dipahaminya. Awalnya ia tak bisa bicara karena tenggorokannya terasa tersumbat. Akhirnya ia berhasil mengeluarkan suaranya, “Kau tidak akan pernah meninggalkan rumah ini tanpa penjagaan lagi. Kau tidak boleh melakukan apa pun tanpa izin, termasuk berjalan ke sungai di ujung tanah Olaf. Apakah kau mengerti?”

Thork mencengkram lengan Ruby dan mengguncang badannya sebagai penekanan, hanya berhenti ketika kain itu meluncur dengan berbahaya ke ujung payudaranya. Thork menarik tangannya seakan-akan tangan itu terbakar dan berbalik membelakangi Ruby untuk mengendalikan napasnya yang terengah-engah sementata Ruby memperbaiki kain itu.

“Baiklah, aku mengerti, tapi biar kukatakan sesuatu padamu,” ruby menegaskan sambil menggosok lengannya dengan marah. “Di negaraku, dan di zamanku, kami tidak menghukum orang dengan semena-mena. Satu-satunya kesalahan yang aku dan Gudros lakukan adalah kecerobohan. Kejahatan itu tidak memerlukan hukuman.”

Thork membeku dan wajahnya memerah.

Tiba-tiba ia merasa letih terhadap semua kekacauan ini dan duduk di tempat tidur, di sebelah Ruby yang buru-buru menggeser badannya ke dinding dan mencengkram seprai itu dengan canggung. Ia meraih tangan kanan Ruby dan tidak akan membiarkan wanita iktu melepaskannya. Jari-jarinya terjalin dengan jari-jari Ruby, lalu ia memejamkan matanya sebentar merasakan betapa sempurna dan cocoknya tangan mungil itu di dalam genggaman tangannya. Ketika membuka mata, ia memandang wajah yang pucat dan gelisah itu. Ruby sudah tidak berusaha menarik tangannya lagi. Bisakah wanita itu merasakan denyut nadi mereka berdua yang berdetak selaras dalam telapak tangan mereka yang menempel?

“Aku tidak ingin menyakitimu, Manis,” Thork menjelaskan dengan suara pelan, “Tapi aku tidak akan minta maaf atas ledakan emosiku ketika keselamatan anakku terancam. Tapi ketahuilah ini, aku tidak senang menghukum perempuan terutama kau, walaupun hukuman yang kau terima biasa-biasa saja.”

Thork merasakan denyut nadi Ruby melonjak pada kata-kata terutama kau, tapi bukannya mempertanyakan kata-katanya yang lembut, Ruby memilih untuk mendengar kata-katanya yang lain. “Biasa-biasa saja? Dasar kau bajingan! Kau bahkan tidak bisa meminta maaf tanpa bersikap angkuh.”

Thork melepaskan tangan Ruby sebelum berdiri, tapi tidak sebelum mencium bagian dalam pergelangan tangannya dengan ringan, yang membuat wanita itu menarik napas dengan tajam. “Aku tidak sedang meminta maaf padamu, tapi memberi sebuah penjelasan. Kalau kau mematuhi perintah, maka tidak akan masalah.”

Well, akan kuberitahu kau satu hal, Sobat, ketika waktunya tepat, aku akan kembali ke rumahku… dengan gembira.”

Kemungkinan Ruby akan pergi –sebelum ia memiliki kesempatan untuk membongkar misteri serta jeratan gairah yang sudah dirajut wanita itu di sekelilingnya– membuat Thork gusar.dan menyesap  Tapi sudah cukup usahanya untuk menenangkan wanita ini! “Coba saja melarikan diri dan kau akan diikat sampai aku kembali. Dan camkan ini di kepalamu… mungkin kau menganggap dirimu sebagai tamu yang masih dipertanyakan statusnya, tapi kau adalah tawananku. Sebaiknya kau tidak membuatku lebih marah lagi.”

Setelah itu Thork membawa Ruby kembali ke rumah Gyda, lalu memutuskan untuk meninggalkan kota itu secepatnya dan mengeluarkan wanita menjengkelkan itu dari benaknya.

 

Banyak hal yang bisa dipelajarinya tentang hidup dari orang-orang Viking

Malam itu Ruby tidur di kamar tidurnya sendiri di rumah Gyda, di mana ia diperlakukan dengan dingin, tapi tetap dengan sopan. Ketika ia terbangun keesokan paginya, yang lain sudah lebih dulu bangun, dengan sibuk melakukan tugas mereka masing-masing ketika Ruby berjalan menuruni tangga.

“Silakan ambil sendiri,” Gyda menawarkan, mengindikasikan makanan dingin yang dihidangkan di meja samping. Ruby menaruh irisan tebal daging sapi panggang yang setengah matang ke atas roti putih tak beragi dan menyesap mead yang sudah diencerkan dengan air yang diserahkan oleh seorang pelayan, Adeleve, kepadanya.

Ruby menarik sebuah bangku untuk menyaksikan Gyda dan Adeleve bekerja di atas panci yang mendidih di tungku. Aroma manis dari buah persik, stroberi dan elderberry menguar memenuhi ruangan itu. Mereka akan mengisikannya ke dalam pastry renyah yang sekarang sedang diadon oleh Bodhil, pelayan lainnya, di meja yang tak jauh dari mereka.

Ruby berkomentar dengan serius, “Mengingat kesukaan Thork pada manakan manis, sayang sekali kau tidak bisa menyimpan beberapa buah persik ini ke kapalnya ketika dia melakukan a-Viking.”

“Bagaimana kau bisa tahu kalau dia suka buah persik?” tanya Gyda dengan kaget.

Ruby Bahunya. “Dia suamiku.”

Gyda dan Adeleve berhenti bekerja dan terperanjat memandangnya.

“Tidak,” ujar Gyda akhirnya. “Bagaimana mungkin dia menjadi suamimu?”

“Tidak ada yang percaya padaku. Aku bahkan tidak akan mencobanya denganmu, tapi percayalah padaku, di zamanku, kami menikah, dan kami punya dua anak laki-laki yang sangat mirip dengan Eirik dan Tykir.”

“Zamanmu?” Gyda bertanya dengan mata melebar.

“Sigtrygg dan Thork memperingatkanku untuk tidak membicarakannya lagi.”

Gyda meletakkan sendok masaknya yang terbuat dari kayu dan memandang langsung ke mata Ruby. “Apa yang mereka katakan untuk tidak didiskusikan?” Sepertinya Gyda bukan istri yang patuh seperti yang dipercayai semua orang.

“Bahwa aku datang dari masa depan, tahun 2011.”

“Ya, Tuhan!” Gyda berseru dan membuat tanda salib sampai tiga kali.

Ruby tersenyum. “Aku tahu itu sulit untuk dipercaya. Aku juga sangat sulit untuk menerimanya. Bahkan, yang le bih sulit lagi untuk dipercaya adalah aku dua puluh tahun lebih tua di kehidupanku yang lain, dan Jack… itu nama lain Thork… dan aku sudah dua puluh tahun menikah. Well, sampai dia meninggalkanku kemarin.”

Ruby mengerjap-ngerjapkan matanya untuk mengusir rasa sakit akibat pikiran itu.

Gyda meletakkan tangannya di lengan Ruby dan membawanya ke tempat yang kosong di sisi lain ruangan itu. “Ceritakan padaku,” Gyda menyemangatinya.

Ketika Ruby selesai bercerita, gyda menjatuhkan badannya. Tentu saja wanita itu tidak memercayainya. Bagaimana mungkin? Tapi Gyda menyukai gosip, dan kisah yang barusan diceritakan Ruby pastilah mengalahkan semua gosip.

“Omong-omong, di mana yang lainnya?” tanya Ruby, menyadari keheningan yang tak biasanya di aula itu.

“Tyra dan Tykir membersihkan kotoran kuda dan sapi di kandang. Astrid dan Gunnha pergi dengan ayah mereka ke pelabuhan, di mana dia menangani urusan Thork. Yang lainnya memetik sayur dan buah dengan Tostig di ladang. Thork pergi kemarin malam.” Gyda memiringkan kepalanya dengan penuh tanya. “Thork tinggal di sini sampai dia yakin kau baik-baik saja.” Jelas sekali kalau Gyda terkejut oleh kepedulian pria itu.

“Gyda, kurasa aku tidak akan pernah memaafkan Thork karena telah mengurungku seperti itu.”

“Kau pantas mendapatkannya.”

“Apa? Bagaimana kau, sebagai seorang wanita, bisa mengatakan kekejaman seperti itu sebagai sesuatu yang adil?”

Gyda menggeleng sedih. “Kau masih tidak mengerti, ya? Menjadi pria atau wanita tidak ada hubungannya dengan hukum Viking. Atau dengan seorang ayah yang melindungi anaknya sendiri. Itu adalah cara yang berlaku di sini.”

“Humph! Well, kalau begitu bagaimana dengan Olaf dan Thork yang menjual Gudrod?”

Gyda memandangnya dengan kaget. “Menjual? Tidak, budak bodoh itu mendapat kesempatan kedua. Dia di kirim ke Ravenshire, walaupun menurutku dia pantas untuk dijual.”

“Dia tidak dijual?” Ruby bertanya dengan heran. “Aku penasaran kenapa Thork tidak memberitahukannya kepadaku.” Kemudian Ruby memikirkan hal lain. “Gyda, kau tidak memukul Tyra dan Tykir karena pergi denganku, kan?” tanya Ruby dengan cemas.

“Tidak. Paling tidak, aku tidak menggunakan cambuk. Tapi aku membuat pantat mereka panas dengan telapak tanganku, dan ketika dibutuhkan, aku bisa mengangkat senjata yang berat. Mereka tidak bisa duduk dengan  nyaman selama beberapa hari.”

Gyda menganglkat dagunya dengan keras kepala, melihat apakah Ruby berani menantangnya karena memberikan hukuman itu. Kemudian menambahkan, “Anak-anak Viking tidak bisa melakukan kesalahan tanpa merasakan konsekuensinya. Kami dikelilingi oleh musuh. Kami tidak bisa dua puluh empat jam mengawasi anak-anak kami. Mereka harus belajar dari kecil untuk menuruti semua perintah tanpa banyak tanya.”

Ruby menggigit bibir bawahnya dengan perasaan bersalah, sadar kalau kecerobohannya entah bagaimana telah membahayakan kedua anak itu. Bagaimana perasaannya kalau ada orang asing membawa anaknya yang berumur lima dan delapan tahun pergi tanpa izin? Ruby memutuskan kalau banyak yang harus dipikirkannya.

“Bisakah aku membantumu?” tanya Ruby pada mereka, dan menghabiskan sisa pagi itu dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah yang menyenangkan, dan berakhir di gudang bawah tanah yang dingin, yang mereka masuki melalui pintu kayu miring di luar. Gyda menunjukkan dengan bangga deretan rak yang berkeriat-keriut dengan tempayan vat berlapis kayu berisikan acar, sayur-sayuran, selai, madu, mead, dan anggur yang tersusun rapi. Beberapa tong  berisikan bawang merah dan apel, sementara itu daging dan sayuran yang sudah diasinkan bergantungan di kaitan di langit-langit gudang itu.

Gyda memberitahu Ruby mengenai kesibukannya ketika sayur-sayuran musim panas dan buah-buahan akan dipetik dan disimpan untuk musim dingin yang akan datang.

“Aku mendapatkan kepuasan dari melakukan tugas-tugas rumah tangga ini,” Gyda mengakui dengan malu-malu, sambil memeriksa apakah ada jamur di dalam satu vat berisi keju. “Aku senang mengetahui kalau pekerjaan yang kulakukan membantu keluarga ini untuk bertahan, sama seperti Olaf yang menyediakan kebutuhan lainnya.”

Ruby tersenyum, berusaha untuk mengingat kapan terakhir kalinya ia merasakan hal yang sama. Ia bangga dengan kariernya, tapi yang dimaksudkan Gyda di sini adalah jenis kepuasan yang berbeda.

“Itu pasti sama seperti yang kurasakan ketika anak-anakku masih kecil dan bergantung padaku untuk memenuhi semua kebutuhan mereka… seperti ketika Jack dan aku bekerja bersama-sama di tahun-tahun awal pernikahan kami, ketika kami berjuang untuk bisa memenuhi kebutuhan kami.”

Gyda mengangguk, walaupun ia mungkin tidak mengerti setengah dari dikatakan Ruby.

Ruby mondar-mandir di kamarnya yang kecil dengan resah malam itu, tak bisa tidur di kamar yang panas itu. Kalau saja ia boleh berjalan menyusuri sungai sampai energinya habis, ia akan kecapekan dan terlelap, terlalu lelah untuk bermimpi, atau merasa cemas, atau memikirkan semua masalahnya.

Ruby merasa lebih kesepian dan depresi dari yang pernah dirasakannya sejak petualangan ini dimulai. Tidak ada – tak seorang pun – yang bisa dimintai tolong olehnya. Dan dia juga tidak bisa melarikan diri dari masalah, sama seperti ketika ia melarikan diri ke dalam pekerjaannya selama dua tahun terakhir ini.

Dari mana pemikiran itu muncul? Ruby bertanya-tanya.

Itu benar, tiba-tiba Ruby mengakuinya, sekali lagi menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Jack mungkin baru meninggalkannya beberapa hari yang lalu, tapi seharusnya itu bukan hal yang mengejutkan. Kalau ia benar-benar jujur pada dirinya sendiri, ia harus mengakui kalau sudah lebih dari satu tahun ia tahu mereka memiliki masalah yang serius.  Dan ia tidak melakukan apa pun kecuali mengubur dirinya ke dalam perusahaan barunya.

Pemikiran yang tiba-tiba muncul itu membuatnya gusar. Ia menyeringai. Bagaimana ia bisa begitu bodoh selama ini? Mengapa ia tidak bertindak lebih cepat untuk mencegah perpecahan dalam pernikahannya?

Jawabannya sangat jelas. Ia menginginkan semuanya –pernikahan, anak-anak dan karier– tanpa mau menyerahkan apa pun. Ruby sadar kalau gambaran wanita ideal dan tidak realistis yang dikejar oleh para wanita di zamannya adalah sebuah mitos. Wanita modern berlari di tempat. Tidak mungkin bagi seorang wanita –atau laki-laki, kalau itu penting– untuk memberikan seratus persen hidupnya untuk karier, pernikahan dan keluarga tanpa salah satu dari mereka menderita.

Dalam keegoisannya, ia tidak ingin menyerahkan satu pun. Ia berpura-pura kalau masalah ini tidak ada. Kemudian, lihat apa yang terjadi. Ia telah kehilangan semuanya.Ruby mengubur wajah di tangannya, tapi pikiran itu tidak mau pergi juga. Apakah Jack juga sedang mengalami penyesalan seperti ini juga? Apakah suaminya itu sedang duduk di ayunan di halaman belakang rumah danau mereka sambil merindukannya mengingat bagaimana bahagianya pernikahan mereka dulu sebelum semuanya mulai retak, sedikit demi sedikit?

“Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Gyda dari pintu, memotong kenangan menyakitkan yang sedang diingat Ruby. “Kami mendengarmu mondar-mandir.”

“Apakah bangsa Viking diizinkan untuk bercerai?” tanya Ruby tanpa embel-embel.

Gyda kelihatan kaget mendapat pertanyaan itu tapi menjawabnya, “Tentu saja. Itu bukan sesuatu yang sering terjadi, tapi, ya, perceraian diizinkan.”

Ruby memberi tanda agar wanita itu duduk di kursi. Di tengah cahaya lilin yang redup, Gyda terlihat jauh lebih muda dengan rambutnya yang dibiarkan tergerai menggantung lurus hingga ke pinggang gaun tidurnya yang longgar. Gyda duduk dengan diam, rupanya merasakan pikiran Ruby yang kacau, menuggu dengan sabar agar Ruby bicara.

“suamiku meninggalkanku. Dia menginginkan perceraian,” Ruby mengakui dengan sedih.

Bahu Gyda merosot dan ia memegang keningnya dengan tangannya. “Suami yang mana? Thork? Atau yang satunya lagi?”

“Jack. Setelah dua puluh tahun kami menikah, Jack meninggalkanku. Well, sebenarnya, Thork bisa dibilang juga pergi, ketika dia mengurungku, dan sekarang dia meninggalkanku di sini untuk pergi ke rumah kakeknya.”

“Apakah kau sungguh-sungguh memercayai semua yang kau katakan?”

“Tentu saja. Apa kau ragu kalau Jack menginginkan perceraian?”

“Tidak,” jawab Gyda dengan ragu-ragu. “Kenapa si Jack ini meninggalkanmu?”

“Dia bilang aku mengabaikan dirinya dan anak-anak kami, kalau aku lebih mencintai pekerjaanku dari pada dia.”

“Apakah dia benar?”

Ruby duduk sambil memandang Gyda dengan sedih sebelum menjawab sambil berbisik, “Ya. Ya, kurasa dia benar.”

Gyda menarik Ruby ke dalam pelukannya. Kemudian Ruby menangis, mengeluarkan semua rasa sakitnya di bahu wanita Viking itu.

 

Sinopsis

Next

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar