Mereka bilang pria itu membunuh istri pertamanya.
Papa mengatakan mungkin wanita itu memang harus di bunuh.
Itu merupakan komentar terburuk yang pernah diucapkan seorang ayah di hadapan
putrinya, dan Baron Jamison menyadari kekhilafannya itu begitu terucap dari
mulutnya. Tentu saja, ia langsung meminta maaf karena telah mengluarkan
komentar tidak baik ini.
Tiga anak perempuannya begitu serius dalam menanggapi gosip keji mengenai Alec Kincaid itu. Mereka juga tidak terlali peduli dengan sudut pandangnya terhadap kekejian tersebut. Anak kembar sang baron, Agnes dan Alice, meratap kencang sekali secara bersamaan, seperti kebiasaan menjengkelkan mereka lainnya, sementara saudara perempuan mereka, Mary yang biasanya manis, berderap cepat memutari meja di aula utama. Ayah mereka yang kebingungan sedang duduk di sana sambil menenggak segelas ale untuk meredakan rasa bersalahnya. Di tengah-tengah amukan si kembar yang berisik, Mary yang mungil dan lembut menambahkan cerita demi cerita yang ia dengar mengenai prajurit Skotlandia itu yang akan tiba di rumah mereka dalam waktu kurang dari seminggu.
Mary, sengaja ataupun tidak, semakin membuat si kembar
mendengus dan menjerit-jerit.
Papa habis-habisan berusaha membela si pria Skotlandia itu.
Tapi, karena belum pernah bertemu dengan prajurit itu, atau mendengar kabar
selain gosip buruk dan tidak perlu diulang mengenai sifat kejam pria tersebut,
sang baron terpaksa mengarang-ngarang komentar yang bagus.
Tapi semua itu tidak berguna.
Aye, usahanya sia-sia saja sebab putri-putrinya sama
sekali tidak memperhatikan ucapannya. Seharusnya ia tidak terkejut, pikir sang
baron sambil bersungut-sungut dan bersendawa; para malaikatnya itu memang tak
pernah mau mendengar pendapatnya.
Sang baron sama sekali tidak mampu menenangkan
putri-putrinya saat mereka sedang panik. Dan fakta ini tidak pernah mengusiknya
sebelumnya hingga hari ini. Bagaimanapun, saat ini ia mesti mengambil alih
kendali. Ia tidak mau tampak konyol di hadapan tamu-tamu tak diundang ini, tidak
peduli walau mereka orang Skotlandia, dan ia pasti akan dianggap bodoh kalau
putri-putrinya terus mengabaikan perintahnya.
Setelah menghabiskan ale-nya, sang baron mengumpulkan
kekuatan dan memukulkan tinju ke meja untuk menarik perhatian mereka, kemudian
mengumumkan bahwa semua pembicaraan tentang pria Skotlandia pembunuh itu
hanyalah omong kosong.
Saat pernyataannya tidak diperhatikan, rasa jengkel
menguasainya. Baiklah, kalau begitu, pikirnya, kalau gosip itu ternyata benar,
maka mungkin istri pria Skotlandia tersebut layak mendapatkan perlakuan keji
seperti itu. Mungkin awalnya hanya pukulan pelan yang wajar, duga sang baron,
tapi saat keadaan memanas, pukulan sang suami menjadi sedikit tak terkendali.
Bagi Baron Jamison, penjelasan itu masuk akal. Komentarnya
juga berhasil menarik perhatian putri-putrinya, tetapi ekspresi tidak percaya
di wajah mereka bukanlah hasil yang diharapkannya. Malaikat-malaikat kecilnya
menatap dengan ngeri seolah-olah mereka baru saja melihat lintah raksasa
bergelantungan di ujung hidungnya. Tiba-tiba sang baron menyadari bahwa mereka
menganggapnya gila. Pada saat itu, temperamen sang baron meledak sepenuhnya. Ia
berteriak bahwa wanita malang itu mungkin saja juga sering bertindak lancang
pada sang suami. Itu merupakan pelajaran yang harus dianggap serius oleh
putri-putrinya yang tidak sopan.
Sang baron hanya ingin menanamkan rasa takut akan Tuhan dan
orang tua pada ketiga putrinya. Tapi, ia sadar bahwa ia telah gagal total dalam
melakukannya saat si kembar mulai menjerit lagi. Suara mereka membuat kepalanya
pening. Tangannya menutupi kedua telinganya untuk menghalangi suara ribut itu,
lalu ia menutup mata guna menangkis tatapan tajam Mary kepadanya. Sang baron
semakin melesak ke dalam kursinya sampai-sampai lututnya yang menonjol
menyentuh lantai. Kepalanya tertunduk, kekuatannya lenyap, dan dalam
keputusasaan ia menoleh ke pelayannya yang setia, Herman, dan memerintahkan
untuk memanggil putri bungsunya.
Pelayan berambut kelabu itu tampak lega mendengar perintah
tuannya. Ia mengangguk beberapa kali sebelum bergegas keluar untuk melaksanakan
perintah. Sang baron bersumpah ia mendengar Herman bergumam bahwa sudah saatnya
perintah tersebut dikeluarkan.
Tidak sampai sepuluh menit berlalu saat putri bungsunya
memasuki kekacauan itu. Baron Jamison langsung menegakkan tubuh di kursinya.
Setelah menatap Herman untuk menyiratkan bahwa ia mendengar kritik pelayannya
itu, sang baron pun mendengus. Dan saat ia menoleh dan melihat putri bungsunya,
ia mengembuskan napas lega.
Jamie-nya yang akan mengambil alih.
Baron Jamison sadar bahwa ia kini tersenyum, lalu menyadari
bahwa mustahil untuk terus berwajah masam saat Jamie berada di dekatnya.
Jamie adalah sebuah pemandangan yang sangat memikat, begitu
menyenangkan untuk dilihat hingga seorang pria bisa menepiskan seluruh
kecemasannya. Kehadiran Jamie sekuat kecantikannya. Jamie mewarisi kecantikan
ibunya. Rambutnya panjang dan hitam kelam, mata lembayungnya mengingatkan sang
baron akan musim semi, dan kjlitnya sehalus dan sejernih hatinya.
Walau Baron Jamison menggembor-gemborkan bahwa ia mencintai
semua putrinya, tapi sebenarnya Jamie adalah kebanggaan dan sumber
kebahagiaannya. Itu fakta yang sangat menakjubkan mengingat ia bukanlah ayah
kandung Jamie. Ibu Jamie merupakan istri keduanya. Ibu Jamie mendatanginya saat
tengah hamil tua. Ayah biologis Jamie tewas dalam pertempuran satu bulan
setelah menikahi mempelai wanitanya.
Sang baron menerima bayi itu layaknya anaknya sendiri dan
melarang siapa saja menyebut Jamie anak tiri. Sejak saat pertama sang baron
merengkuh Jamie, ia sudah mencintai anak itu.
Jamie adalah malaikat bungsunya yang paling menawan. Si
kembar dan Mary diberkahi kecantikan yang bersahaja, jenis kecantikan yang
lambat laun akan mampu memikat seorang pria seiring dengn berjalannya waktu dan
tumbuhnya perhatian. Tapi, Jamie kecilnya yang tersayang bisa membuat pria mana
pun terpaku hanya dengan satu tatapan. Senyum Jamie bisa membuat seorang
prajurit terjungkir dari kuda, atau begitulah yang sering baron katakan kepada
teman-temannya.
Namun tidak ada kecemburuan di antara putri-putrinya. Secara
naluriah, Agnes, Alice dan Mary berpaling ke adik mereka untuk meminta
bimbingan dalam menghadapi hal-hal yang penting. Mereka bersandar pada Jamie
hampir sesering sang baron sendiri.
Saat ini, Jamie-lah nyonya rumah yang sebenarnya. Sejak
ibunya dimakamkan, Jamie telah mengambil alih beban itu. Jamie telah
membuktikan bahwa dirinya sangat berharga sejak awal, dan sang baron -yang
senang memerintah tapi tidak berbakat dalam menegakkan perintahnya sendiri-
merasa sangat lega bisa memberi tanggung jawab sepenuhnya pada Jamie.
Jamie tidak pernah mengecewakan. Jamie sangat bijak dan
tidak menyusahkan. Jamie juga tidak pernah menangis sejak ibunya meninggal
dunia. Alice dan Agnes bisa belajar banyak dari Jamie, pikir sang baron. Mereka
menangisi nyaris segala hal. Menurut sang baron, keelokan wajah mereka
menyelamatkan mereka, tapi ia tetap mengasihani lord yang suatu hari nanti akan
berdampingan dengan dua putrinya yang emosional itu.
Baron Jamison paling mengkhawatirkan Mary. Walau tidak
pernah mengucapkan kritiknya, ia tahu bahwa keegoisan Mary melebihi apa yang
dianggap wajar. Mary mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan
saudari-saudarinya. Tetapi, dosa terbesar Mary adalah mendahulukan kepentingannya
di atas kepentingan ayahnya.
Aye, Marry memang mencemaskan, sekaligus pembuat
onar. Marry senang memicu masalah hanya demi bersenang-senang. Sang baron
curiga kalau Jamie-lah yang memberi Mary ide untuk melakukan itu, tapi ia tidak
berani mengutarakan kecurigaannya, apalagi seandainya ia terbukti salah maka
harga dirinya turun di mata putri bungsunya.
Namun, walaupun Jamie merupakan putri favoritnya, Baron
Jamison tidaklah buta terhadap kekurang si bungsu. Temperamen Jamie, walau
jarang dilepaskan, bisa menyulut kebakaran hutan. Jamie juga keras kepala. Ia
mewarisi ketrampilan menyembuhkan ibunya, walau secara khusus sang baron telah
melarangnya untuk menerapkannhya. Baron Jamison tidak senang dengan
kecenderungan Jamie, karena para penggarap lahan dan pelayan rumah terus saja
membuat Jamie meninggalkan tugas utamanya, yaitu memastikan kemaslahatan sang
baron. Jamie sering turun dari tempat idurnya di tengah malam untuk mengobati
luka akibat pisau atau membantu persalinan. Sang baron tidak terlalu keberatan
dengan panggilan-panggilan tengah malam itu sebab biasanya ia sudah tertidur
nyenyak di ranjangnya sendiri sehingga tidak terganggu, tapi ia kesal sekali
pada gangguan-gangguan yang terjadi pada siang hari, terutama ketika ia harus
menunggu manakannya sebab putri bungsunya sibuk merawat orang yang terluka atau
sakit.
Pikiran itu membuat sang baron mendesah menyesal. Lalu, ia
sadar si kembar sudah berhenti melengking. Jamie telah menghentikan badainya.
Baron Jamison memberi isyarat pada pelayan untuk mengisi kembali gelasnya. Ia
menyandarkan tubuh dan mengamati putri bungsunya melanjutkan membuat keajaiban.
Agnes, Alice dan Mary bergegas menghampiri Jamie.
Masing-masing dari mereka berusaha menceritakan versi yang berbeda.
Jamie tidak bisa memahami kalimat mereka. “Ayo, duduk
bersama Papa di meja,” sarannya dengan suara parau. “Lalu kita akan menyelesaikan
masalah ini seperti layaknya keluarga.”
“Kali ini lebih dari sekadar masalah,’ ratap Alice, mengusap
sudut matanya. Kurasa ini tidak bisa diselesaikan, jamie. Sungguh.”
“Kali ini Papa-lah penyebabnya,” gerutu Agnes. Anak kembar
yang lebih mudda itu menyeret salah satu kursi keluar dari bawah meja, duduk
dan menatap tajam ke ayahnya. “Seperti biasanya, ini semua salah Papa.”
“Ini bukan kemauanku,” erang sang baron. “Jadi kau bisa
berhenti mengerutkan dahi kepadaku, Nona. Aku hanya mematuhi perintah rajaku,
titik.”
“Papa, kumohon, jangan kesal dulu,’ ujar Jamie berhati-hati.
Ia mengulurkan tangan dan menepuk tangan ayahnya, lalu menoleh ke Mary. “Kau
kelihatannya yang paling tenang. Agnes, hentikan isakanmu agar aku bisa
mendengar apa yang terjadi. Mary, bisakah kau menjelaskan?”
“Ini surat resmi dari King Henry,” ujar Mary. Ia berhenti
untuk menepiskan helaian rambut coklat muda dari bahunya, lalu melipat tangan
ke atas meja.
“Tampaknya raja kita jengkel lagi dengan Papa.”
“Jengkel? Dia mengamuk,” komentar Alice.
Mary mengangguk sebelum melanjutkan. “Papa tidak menyetorkan
pajaknya,” ujarnya sambil bersungut-sungut memandang ayahnya. “Raja ingin
menjadikan Papa sebagai contoh.”
Si kembar menoleh berbarengan dan ikut membelalak. Jamie
mengembuskan desahan letih. “Kumohon, lanjutkan Mary,” pintanya. “Aku ingin
mendengar keseluruhan ceritanya.”
“Yah, karena King Henry menikahi putri Skotlandia itu… siapa
namanya, Alice?”
“Matilda.”
“Ya, Matilda. Astaga, bagaimana mungkin aku lupa nama ratu
kita?”
“Mudah kupahami bagaimana kau bisa lupa,” sahut Agnes. “Papa
tidak pernah membawa kita ke istana dan kita tidak pernah kedatangan tamu yang
sangat penting. Kita ini terasing seperti penderita lepra.”
“Agnes, kau melantur,” Jamie mengingatkan. Suaranya tegang
karena tidak sabar. “mary, ayo lanjutkan.”
“Yah, kelihatannya King Henry menganggap kami semua harus
menikahi orang Skotlandia,” ujar Mary.
Alice menggeleng. “Bukan begitu, Mary. Dia tidak
mengharuskan kita semua menikahi orang Skotlandia. Hanya satu di antara kita.
Oh Tuhan, ini sangat memalukan.”
“Memalukan? Siapa pun yang terpilih sudah pasti mendekati
ajalnya, Alice. Kalau pria itu pernah membunuh istrinya, ia pasti akan membunuh
lagi. Dan itu lebih dari sekadar memalukan,” cetus Mary.
“Apa?” Jemie terkesiap, tertarik dengan kalimat Mary.
Alice tidak mengacuhkan Jamie. “Aku dengar istri pertamanya
bunuh diri,” tuturnya.
“Papa, mengapa kau tega?” seru Mary. Wajah Mary memerah dan
tangannya mengepal, seolah-olah hendap menyerang ayahnya. “Papa tahu sang raja
akan marah padamu kalau tidak membayar pajak. Apa saat itu kau tidak memikirkan
akibatnya?”
“Alice, tolong pelankan suaramu. Berteriak tidak akan mengubah
situasi ini,” ujar Jamie. “Kita semua tahu Papa sangat pelupa. Mungkin Papa
hanya lupa mengirimkan uang pajak itu. Bukankah begitu, Papa?”
“Semacam itulah, Malaikatku,” Sahut sang baron.
“Oh, Tuhan. Papa telah menghabiskan uangnya,” erang Alice.
Jamie mengangkat tangan agar mereka semua diam. “Mary,
selesaikan penjelasanmu sebelum aku berteriak.”
“Kau harus mengerti, Jamie, kami sulit sekali menanggapi
kekejaman ini dengan bijak. Bagaimanapun, aku harus berusaha untuk kuat dan
menjelaskan semua padamu sebab kulihat kau sangat bingung.”
Mary berlama-lama menegakkan bahunya. Rasanya Jamie ingin
mengguncang pundak Mary sebab kesabarannya sudah semakin tipis. Tapi, ia tahu
itu tidak akan berguna sebab Mary memang senang berlama-lama dalam mengutarakan
komentar, apa pun situasinya. “Dan?” desak Jamie.
“Yang kupahami adalah… seorang barbar dari Skotlandia akan
datang kemari minggu depan. Dia akan memilih salah satu di antara kami bertiga…
Alice, Agnes, dan aku… untuk menjadi istri keduanya. Kau tahu, dia membunuh
istri pertamanya. Kau tidak termasuk, Jamie. Papa bilang hanya kami bertiga
yang disebutkan dalam surat sang raja.”
“Aku yakin dia tidak membunuh istri pertamanya,” ujar Alice.
“Koki bilang wanita itu bunuh diri,” Alice bersedekap.
Agnes menggeleng. “Tidak, aku yakin wanita itu dibunuh. Dia
tentu tidak akan bunuh diri dan menghabiskan keabadian di neraka, sejahat apa
pun perilaku suaminya padanya.”
“Menurutmu, mungkinkah dia meninggal karena kecelakaan?”
tanya Alice.
“Orang Skotlandia memang dikenal ceroboh,” komentar Mary.
“Dan kau dikenal suka memercayai setiap gosip yang kau
dengar,” cetus Jamie dengan suara tajam. “Jelaskan maksudmu dengan ‘memilih’,
Mari,” lanjutnya, berusaha menahan ekspresinya agar tidak tampak ketakutan.
“Memilih mempelai wanitanya, tentu saja. Kau tidak menyimak
dari tadi, ya, Jamie? Kita tidak punya suara dalam hal ini, dan semua
perjanjian untuk pernikahan dikesampingkan hingga seleksinya selesai.”
“Kita akan dipamerkan di depan monster itu seperti kuda,”
rengek Agnes.
“Oh, aku hampir lupa,” Mary cepat-cepat melanjutkan. “Raja
Skotlandia, Edgar, juga mendukung pernikahan ini, Jamie. Begitulah kata Papa.”
“Jadi, mungkin lord itu hanya melaksanakan perintah rajanya
dan mungkin juga tidak menginginkan pernikahan ini,” kata Alice.
“Oh, Tuhan, aku tidak memikirkan itu,” cetus Agnes. “Kalau
dia tidak mau dinikahkan, mungkin dia akan membunuh mempelai wanitanya bahkan
sebelum sampai di rumahnya, di mana pun itu.”
“Agnes, tenangkan dirimu. Kau mulai menjerit lagi,” kata Jamie.
“Rambutmu akan copot kalau kau tarik sekuat itu. Lagi pula, kau tidak tahu
pasti apa penyebab kematian istri pertama pria itu.”
“Nama pria itu Kincaid, Jamie, dan dia seorang pembunuh,
Papa bilang dia memukul istri pertamanya sampai mati,” tutur Agnes.
“Aku tidak bilang seperti itu kejadiannya,’ tukas sang
baron. “Aku hanya memberikan pendapat.”
“Emmet bilang dia mendorong istrinya ke jurang,” kata Mary.
Ia mengetuk-ngetukan jari ke meja sementara menunggu reaksi Jemie.
“Emmet hanyalah pengurus kuda yang malas,” komentar Jamie.
“Kenapa kau mendengarkan ocehannya?”
Jamie manarik napas panjang, berharap bisa menenangkan
perutnya yang gelisah. Ia berjuang melawan kegelisahannya, tapi ketakutan
kakak-kakaknya semakin menular. Jamie bisa merasakan gelenyar menuruni
punggungnya. Tapi, ia tahu sebaliknya ia tidak mengungkapkan kecemasannya.
Kegemparan bisa meletus lagi.
Kakak-kakaknya yang mempercayainya menatapnya dengan penuh
harap. Mereka mencurahkan masalah ini kepadanya dan sekarang menunggunya untuk
memberikan solusi.
Jamie tidak ingin mengecewakan mereka. “Papa? Apa ada cara
agar kau bisa menyelesaikan masalah ini? Apa kau masih bisa menyetorkan pajakmu
pada sang raja, mungkin menambah sedikit untuk meredakan amarahnya?”
Baron Jamison menggeleng. “Itu berarti aku harus
mengumpulkan semua pajak itu sekali lagi. Kau tahu sebaik aku kalau punggung
para penggarap lahan sudah nyaris patah dengan masalah mereka sendiri. Panen
barli juga tidak bagus. Tidak, Jamie, aku tidak bisa meminta lagi.”
Jamie mengangguk. Ia berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Ia berharap masih ada sedikit uang yang tersisa, tapi jawaban ayahnya
menegaskan ketakutannya, yaitu bahwa semuanya sudah lenyap.
“Emmet bilang Papa sudah menghabiskan semua uangnya,” bisik
Mary.
“Emmet seperti wanita tua penyebar dongeng,” balas Jamie.
“Aye,” Sang baron sepakat. “Dia selalu mencemari cerita yang
sebenarnya. Tidak perlu mendengarkan omong kosongnya.”
“Papa, mengapa aku tidak termasuk?” tanya Jamie, “Apakah
sang raja lupa kalau kau memiliki empat anak perempuan?”
“Tidak, tidak,” sang baron cepat-cepat menjawab. Dengan
bimbang ia mengalihkan wajah ke gelasnya, khawatir putri bungsunya akan melihat
apa yang sebenarnya di matanya. King Henry tidak mengecualikan Jamie. Sang raja
menggunakan kata “putri-putri dalam suratnya. Tapi Baron Jamison tahu kalau ia
tidak bisa hidup tanpa Jamie, dan membuat keputusan sendiri untuk membuat
pengecualian. Ia pikir rencananya sangat licik. “Sang saja hanya menyebutkan
putri-putri Maudie,” katanya.
“Yah, itu jelas tidak masuk akal bagitu,” kata Agnes di
antara isakannya.
“Mungkin itu karena Jamie anak bungsu,” ujar Mary. Ia
mengangkat bahu lalu menambahkan, “Lagi pula siapa yang bisa menduga apa yang
ada di pikiran raja kita? Bersyukur saja. Jamie, kau tidak termasuk dalam perintahnya.
Kalau kau terpilih, kau tidak akan bisa menikahi Andrew-mu.”
“Itu pasti alasannya,” Agnes ikut-ikutan. “Baron Andrew
sangat berkuasa dan disukai pihak kerajaan. Dia sendiri yang bilang begitu. Dia
pasti telah memengaruhi keputusan raja kita. Semua orang tahu kalau Andrew
sangat menyukai Jamie.”
“Bisa jadi itu alasannya,” Jamie berbisik. “Kalau Andrew
sangat berkuasa seperti klaimnya.”
“Menurutku, Jamie tidak terlalu ingin menikahi Andrew,” ujar
Mary pada si kembar. “Kau tidak perlu mengernyit kepadaku, Jamie. Menurutku jau
juga tidak terlalu menyukainya.”
“Papa menyukainya,” kata Agnes. Ia menatap ayahnya lagi
sebelum menambahkan, “Aku bertaruh itu karena Andrew telah berjanji akan
tinggal di sini sehingga Jamie bisa terus bekerja untuk…”
“Agnes, tolong jangan mulai bicarakan itu lagi,” Jamie
memohon.
“Aku sama sekali tidak paham mengapa kalian pikir aku
bersalah karena ingin menahan Jamie di sini setelah dia menikah,” gumam sang
baron.
“Kelihatannya kau memang tidak bisa memahami segalanya,”
gumam Mary.
“Jaga lidahmu, Nona Muda,” sergah sang baron. “Aku tidak
akan mengizinkanmu bicara tidak sopan di hadapanku.”
“Aku tahu alasan yang sebenarnya,” ujar Alice, “dan aku akan
memberitahu Jamie. Andrew telah membayar maskawinmu pada Papa, dan dia…”
“Apa katamu?” pekik Jamie. Ianyaris melompat dari kursinya.
“Alice, kau salah paham. Papa, kau tidak menerima sepeser pun dari Andrew,
kan?”
Baron Jamison tidak menjawab. Ia terlihat sibuk mengaduk isi
gelasnya.
“Oh, Tuhan,” bisik Mary. “Alice, apa kau sadar dengan
ucapanmu? Kalau itu benar, artinya ayah kita telah menjual Jamie pada Baron
Andrew.”
“Mary, jangan buat Jamie gusar,” tukas ayah mereka.
“Aku tidak bilang Papa telah menjual Jamie pada Andrew,”
kilah Alice.
“Kau bilang begitu,” balas Mary.
“Aku melihat Andrew memberi sekantong penuh uang emas pada
Papa.”
Kepala Jamie berdentam-dentam. Ia bertekad untuk menyelidiki
urusan pemberian uang ini, sesakit apa pun kepalanya. Dijual! Gagasan itu
membuat perutnya mulas. “Papa, kau tidak benar-benar menerima uang sebagai mas
kawinku, kan?” tanyanya. Ia tidak bisa menghilangkan nada takut dalam suaranya.
“Tidak, tentu saja tidak, Malaikatku.”
“Papa? Apa kau sadar, kau hanya menjuluki kama sebagai
malaikat ketika kau telah melakukan sesuatu yang memalukan?” cetus Agnes.
“Tuhan tahu aku mulai tidak suka panggilan sayang itu.”
“Aku tegaskan sekali lagi, aku melihat Andrew memberikan
uang itu ke Papa,” seru Alice.
“Aku penasaran, bagaimana kau bisa tahu apa yang ada di
dalam kantong itu?” debat Mary.
“Papa menjatuhkan kantongnya,” sahut Alice. “Dan beberapa
keping uangnya keluar.”
“Itu hanya sedikit pinjaman,” seru ayah mereka untuk menarik
perhatian. “Sekarang hentikan omong kosong soal aku menjual anakku ini.”
Bahu Jamie merosot lega. “Nah, kau dengar kan, Alice? Itu
hanya pinjaman dari Andrew untuk Papa. Kau membuatku khawatir saja. Bisakah
kita kembali ke masalah awal kita?”
“Papa kembali memasang wajah bersalah lagi,” kata Mary.
“Tentu saja Papa tampak bersalah,” ujar Jamie. “Kau tidak
perlu menambah kepedihannya. Aku yakin Papa sudah cukup menyesal dengan keadaan
ini.”
Baron Jamison tersenyum pada Jamie yang sudah membelanya.
“Itu dia malaikat mungilku yang baik,” pujinya. “Kalau begitu, Jamie, aku ingin
kau tetap bersembunyi saat orang-orang Skotlandia itu tiba. Kita tidak perlu
menggoda mereka dengan apa yang tidak bisa mereka miliki.”
Baron Jamison baru menyadari kekhilafannya saat Alice
terpaku mendengar kalimatnya. “Orang-orang Skotlandia, Papa? Lebih dari
satu? Apa maksudmu iblis Kincaid itu membawa serta orang lain?”
“Dia mungkin hanya membawa keluarganya untuk menyaksikan
pernikahannya,” kata Agnes.
“Apa itu sudah keseluruhan ceritanya?” tanya Jamie pada
ayahnya. Ia berusaha berkonsentrasi pada masalah yang ada, tapi pikirannya
terus kembali ke uang emas Andrew. Kenapa ayah mau menerima pinjaman dari
Andrew?
Baron Jamison berlama-lama menjawabnya.
“Papa, aku merasa ada hal lain yang ingin Papa ceritakan
pada kami,” ujar Jamie.
“Oh Tuhan, maksudmu ada lagi?” pekik Mary.
“Papa, apa lagi yang kau sembunyikan dari kami?” seru Alice.
“Ceritakan, Papa,” pinta Agnes.
Jamie memberi isyarat lagi agar mereka diam. Dorongan untuk
mencengkram tunik abu-abu ayahnya dan mengguncang tubuh ayahnya agar bicara
nyaris menguasainya. Jamie bisa merasakan amarahnya mendidih. “Bolehkan aku
membaca surat resmi dari raja kita?” pintanya.
“Kita seharusnya belajar membaca dan menulis ketika mama
Jamie memulai pelajarannya,” kata Agnes sambil mendesah letih.
“Omong kosong,” dengus Alice. “Tidak ada lady yang butuh
pelajaran seperti itu. Yang seharusnya kita pelajari adalah cara bicara bahasa
Gael yang jelek itu seperti Jamie,” katanya. “Kau tahu aku tidak berniat
menyinggungmu, Jamie,” ia cepat-cepat menambahkan saat melihat Jamie
mengernyit. “Sungguh aku harap aku ikut belajar bersamamu dulu. Beak pernah
menawarkan diri untuk mengajari kita semua,” tandasnya.
“Kepala istal kita itu senang mengajariku,” kata Jamie. “Dan
mama juga senang ada yang menggantikannya. Dia terbaring lama sekali di tempat
tidur sebelum meninggal.”
“Maksudmu, monster dari Skotlandia itu tidak bisa bicara
bahasa kita?” erang Agnes sebelum menangis.
Jamie mungkin bisa mengendalikan amarahnya kalau saja Agnes
tidak mulai terisak-isak begini. “Apa bedanya, Agnes?” sergahnya. “Pria itu
akan membunuh sang mempelai wanita, bukan bicara padanya.”
“Jadi, kau memercayai gosip itu?” Mary terkesiap.
“Tidak,” jawab Jamie penuh sesal. “Aku tadi hanya bercanda.”
Ia menutup mata, mengucapkan doa singkat memohon kesabaran. Lalu menoleh ke
Agnes. “Kejam sekali aku karena telah membuatmu sedih. Maafkan aku.”
“Aku harap kau memang benar bercanda,” Agnes terisak.
“Papa, biarkan Jamie membaca surat itu,” Mary tiba-tiba
memaksa.
“Tidak,” sergah sang baron. Ia langsung melembutkan nada
suaranya saat melihat para malaikatnya malah semakin curiga. “Kau tidak perlu
repot-repot membacanya, Jamie, Situasinya sederhana. Akan ada dua orang
Skotlandia yang datang minggu depan, dan dua mempelai wanita yang akan ikut
pulang bersama mereka.”
Jelas sudah, putri-putri sang baron tidak bisa menerima
kabar ini dengan baik. Si kembar mulai meraung-raung dengan marah seperti bayi
yang tertidur kemudian dicubit.
“Aku akan kabur saja,” tukas Mary.
“Menurutku,” ujar Jamie dengan suara keras untuk mengatasi
keributan itu, “kita harus segera membuat rencana untuk menghalangi maksud
peminang kalian.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar