Ruby melanjutkan dengan cepat, merasa lebih yakin dengan dirinya
sekarang. "Dan kau mengertakkan gigimu ketika tidur. Dan kau suka memakan
rotimu dengan madu. Dan buah persik, kalau sedang musimnya. Kau kidal tapi bisa
melempar sama baiknya dengan tangan kananmu. Dan... dan ciuman panjang yang
kukatakan padamu sebelumnya... well, kau menyukainya. Sangat."
Ruby bertolak pinggang dan mendelik pada Thork, menantang pria itu
untuk menyanggahnya.
Mata Thork melebar dalam ketidakpercayaan sebelum ia berseru.
"Penyihir! Seharusnya aku sudah tahu. Tunggu sampai Sigtrygg mendengar
ini. Tak ada yang lebih disukainya daripada membakar penyihir. Dia menyalahkan
kutukan penyihir atas matanya yang hilang. Sayang sekali besok aku akan pergi
ke Ravenshire, rumah kakekku di Notrhumbria. Kemungkinan besar Sigtrygg akan
mengumumkan besok adalah hari lubur untuk merayakan kematianmu. Menurutku,
pasti akan menyenangkan untuk melemparkan satu atau dua ranting ke api
itu."
"Kau membuatku takut. Aku bukan penyihir," Ruby mengerang.
"Kalau begitu apa?" tanya Thork dengan dingin.
"Seorang penyihir, atau mata-mata? Salah satu dari itu, aku yakin. Tapi,
kalau kau memang mata-mata, seseorang, kemungkinan besar Ivar, sudah bersusah
payah untuk mencekokimu informasi tentang diriku. Untuk tujuan apa?" Pria
itu memandangnya dengan bingung. "Entah kau penyihir... atau mata-mata...
kau tetap bersalah. Nasibmu sudah ditentukan."
Ruby hendak membantah, tapi pria itu menggeleng dengan ketegasan
yang membuat Ruby merasa kali ini pria itu tidak akan menelorirnya.
"Cukup! Kita pergi ke tempat Sigtrygg."
Sikap dingin Thork dengan cepat memadamkan percikan harapan yang
sempat dimiliki Ruby. Tak lama kemudian ia berlari, berusaha untuk mengikuti
langkah kaki Thork yang cepat. Ia hampir tak menyadari keadaan sekelilingnya
yang aneh ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan menembus kota Viking yang
besar itu.
Rasa takut membekukan darah Ruby, ia merasa seluruh tubuhnya mati
rasa, dari pembuluh darahnya yang merayap hingga ke ujung jarinya, turun ke
jari kakinya dan naik lagi hingga ke otaknya, yang sudah tak bisa lagi memahami
apa pun. Mimpi-yang-berubah-menjadi-mimpi-buruk ini membuat Ruby ketakutan
setengah mati, tapi yang paling mencemaskan dari semuanya, Ruby mulai
menyadari, sebuah kecurigaan yang menganggunya kalau ini sama sekali bukan
mimpi.
Bagaimana kalau ia benar-benar telah kembali ke masa lalu?
Bagaimana kalau ia tidak pernah kembali ke masa depan –kepada Jack, kepada
putranya Eddie dan David, kepada bisnis lingerie yang dengan susah payah
dibangunnya dari hobi menjahit hingga menjadi pemesanan lewat pos yang sukses?
Yang paling buruk adalah, kalau ia tersesat, ia tidak akan pernah
mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungannya dengan Jack.
Kesedihan memenuhi diri Ruby.
Ia dan Thork telah mendaki jalan yang agak menanjak ke sebuah
wilayah yang dikelilingi benteng dan melewati sebuah gerbang yang dijaga dengan
ketat. Di sekeliling halaman depan, laki-laki dan wanita Viking yang berpakaian
mewah menepi untuk memberi mereka jalan. Thork menganggukkan kepala kepada
orang-orang yang menyapanya. Tatapan penasaran jatuh pada Ruby.
Mereka menaiki tangga ke sebuah bagunan raksasa dari kayu dan
batu, pinggiran atapnya terbuat dari kayu yang diukir dengan simbol-simbol
Nordik yang rumit. Istana King Sigtrygg! Di puncak tangga, Olaf berdiri,
menahan daun pintu berat dari kayu ek agar tetap terbuka bagi Ruby dan tuannya.
Ketika melewati pintu itu, Ruby mendongakkan kepalanya ke arah raksasa itu dan
melihat kelembutan di sana. Untuknya! Kesadaran yang mengerikan dan membuatnya
mati rasa.
Rasa takut yang sebelumnya telah mengalir di dalam pembuluh
darahnya sekarang telah berubah menjadi kepingan-kepingan es yang tajam.
***
Di manakah kesatria berbaju zirah ketika kau
membutuhkannya?...
Seperti Alice di negeri Wonderland jatuh melalui lubang di taman,
Ruby merasa seolah-olah ia terjun ke dunia lain. Dan, memang itulah yang
terjadi.
Olaf menahan pinggang Ruby dengan tangannya ketika mereka memasuki
aula besar Istana Norse itu, sebuah ruangan besar yang dinding-dinding batunya
dihiasi berbagai permadani dinding yang menakjubkan serta senjata-senjata
primitif. Selik dan Cnut bergabung dengan kelompok Viking berpakaian indah yang
menyambut mereka dengan teriakan keras dan dengan hangat menepuk punggung
mereka. Ia dan Olaf mengekor beberapa meter di belakang Thork, menginjak rushes
wangi dalam perjalanan mereka. Thork pergi ke arah podium.
“Thork! Selamat datang ke
Jorvik.”
“Terima kasih, Sigtrygg. Senang bisa kembali ke rumah.”
Seorang laki-laki berbadan besar penuh bulu berdiri dan berjalan
dengan susah payah ke arah Thork, membuat tubuhnya yang tinggi seratus delapan
puluh tujuh sentimeter lebih itu terlihat kerdil, paling tidak sekepala lebih
pendek. Sebuah ikat pinggang lebar dari rantai bergantung dengan ribut di
pinggang tunik selututnya yang berwarna ungu, yang dibordir sangat indah dengan
benang emas dan dihiasi tiga buah bros bertabur permata di salah satu bahunya.
Sepatu dari kulit lembut dan celana hitam ketat menutupi tungkai sebesar batang
pohon.
Terlepas dari pakaian yang indah, laki-laki Viking yang mirip
beruang itu sangat jelek, dengan kulit berkertu-kerut dan penuh bekas luka,
dengan alis dan bulu mata gundul yang mengelilingi satu matanya yang hilang
yang tidak selalu memandang lurus ke depan. Bekas luka pertempuran lain merusak
wajah, leher, dan setiap jengkal kulitnya yang terbuka. Kasihan sekali nasib
adik Athelstan, pikir Ruby.
Gelang emas gtebal mengelilingi otot di lengan atas Sigtrygg yang
mengembang, berkilau ditimpa cahaya lampu ketika pria itu menyambut Thork dan
menariknya ke kursi kosong di sampingnya, di mana Thork mengangguk kepada para
laki-laki dan wanita yang sudah duduk di sana.
“Sudah lama kami menunggu kedatanganmu, Thork,” raja itu mengeluh.
“Berita apa yang kau bawa?”
“Berterimakasihlah pada Gthor atas keterlambatanku dan mungkin
juga Loki yang licik,” Thork menjawab dengan cepat, tidak tunduk di bawah
pertanyaan dingin sang raja, dan tidak mau meminta maaf.
“Aku lebih curiga itu karena wanita yang membuka kaki mereka mulai
dari sini sampai ke Hedeby,” sang raja itu menyindir dengan dengusan tak
percaya.
Wajah Thork mengeras, tapi dengan bijaksana ia memilih untuk tidak
terpancing ucapan Sigtrygg.
“Aku membawa salam untukmu dari ayahku Harald, termasuk sebuah
pesan penting dari King Athelstan di Wessex.”
Sigtrygg dan orang-orang yang ada di sana mencondongkan badan
mereka, tampak tertarik.
“Tak ada hal penting apa pun yang bisa disampaikan oleh orang
Saxon itu padaku,” ujar Sigtrygg menyombong, dengan sekali teguk menghabiskan
minumannya, kemudian memegang gelasnya untuk diisi kembali oleh seorang
pelayan.
“Dia menawarkan adik perempuannya dalam pernikahan untuk
memperkuat aliansi antara Wessex dan Northumbria,” Thork menyampaikan berita
itu.
Terperanjat, raja itu hanya menganga dengan bodoh pada Thork. Kemudian
ia melolong geli dan mulai tertawa dengan suara yang cukup keras untuk bisa
mengangkat atap di atas kepala mereka, diikuti oleh para Viking lainnya. Ketika
akhirnya ia berhenti, matanya yang masih bagus berkilauan akibat air mata, dan
kedua tangannya memegang pinggangnya.
“Demi Freya, bocah Saxon itu sudah kelewatan! Dia pikir orang
Viking kekurangan wanita di tempat tidur sampai-sampai kita berliur
menginginkan keperawanan wanita-wanita mereka yang kurus itu?” Komentar raja
yang kasar membuat para pria di ruangan itu tertawa terbahak-bahak, sedangkan
yang wanita bersemu sebelum ia melanjutkan, “Aku sudah punya tiga istri. Untuk
apa aku menambah satu lagi?”
“Bukan begitu, Sigtrygg. Coba pikirkan lagi. Bodoh sekali kalau
kau menolak tawaran ini tanpa memikirkannya terlebih dahulu,” Thork
memperingatkan. “Ada banyak yang kau bisa dapatkan dari pernikahan ini.”
Sigtrygg terlihat sudah siap untuk berdebat, tapi ia
mengurungkannya dan bertanya pada Thork. “Jelaskan maksud kata-katamu.
Keuntungan apa yang akan kudapatkan dari meniduri wanita Inggris?”
“Bahkan ketika orang-orang Saxon itu menjabat tangan kita dalam
perjanjian, mereka sudah merencanakan kejatuhan kita,” ujar Thork. “Alfred
menyetujui Danelaw sekitar lima puluh tahun yang lalu, tapi, pada saat yang
bersamaan dia meluncurkan sebuah rencana untuk membentengi kota-kotanya
sehingga tidak ada bagian dari Wessex yang akan berada lebih dari tiga puluh
kilometer dari pusat militer.”
“Kita semua tahu itu,” Sigtrygg meremehkan informasi dari Thork
dengan lambaian tangannya.
“Apakah kau tahu kalau putra Alfred, King Edward, dan sekarang
putranya Athelstan melanjutkan rencana pembentengan itu? Apakah kau tahu sudah
ada lebih dari tiga puluh burhs militer yang tersebar di daerah pedesaan Wessex
dan ada lebih banyak lagi yang sedang direncanakan?” suara marah Thork bergema
dengan keras ke seluruh penjuru aula yang sekarang sunyi itu. Dengan berani ia
memandang Sigtrygg tepat di matanya yang masih utuh dan memberitahu pria itu,
“Aku tidak suka menjadi bahan ejekan siapa pun, apalagi orang-orang Saxon
terkutuk itu. Dari semuanya, yang paling mereka sukai belakangan ini adalah.
‘Edward mematahkan punggung orang Norse. Athelstan akan memotong buah zakar
mereka.”
Setelah mengatakannya, Thork memandang logo di kaus Ruby dan
keningnya berkerut, seolah-olah untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya apakah
mungkin orang Saxon, bukan Ivar, yang telah mengirim wanita itu. Sambil
termenung, ia mengamati Ruby.
“Kau sudah kelewatan!” Sigtrygg meraung, berdiri tegak seperti
seekor beruang madu yang sedang murka. Air liur terciprat ke janggutnya yang
tebal dan kemerahan.
“Tidak, aku tidak kelewatan.” Thork berdiri untuk menghadapi
pemimpinnya yang sedang murka itu. “Kali ini seseorang mengatakan kebenaran
tentang kelemahan posisimu dan…”
Sigtrygg mengeluarkan teriakan seperti kerbau yang sedang marah,
yang menggema ke seluruh aula itu, dan wajahnya berubah menjadi warna ungu
akibat kemurkaannya. Hebatnya, Thork sama sekali tidak takut.
“Berani-beraninya kau menyebutku lemah? Kau orang baru tapi sudah
keterlaluan! Anggota Jomsviking atau putra King Harald tidak ada artinya
untukku. Akan kupotong lidahmu yang kurang ajar itu.”
Ruby tak bisa memercayai mata dan telinganya. King Sigtrygg dengan
suasana hatinya yang labil itu jelas sekali adalah seorang laki-laki yang
berbahaya, tapi tiba-tiba saja raja itu mulai tertawa dengan berisik dan
menepuk bahu Thork dengan sangat keras sehingga pria itu hampir saja tersungkur
ke depan.
“Temanku, kau baik sekali karena telah memperingatkanku. Sudah pasti
itu karena kau hanya memikirkan apa yang terbaik untukku dan Jorvik. Ayo.
Ceritakan lebih banyak lagi padaku.”
Kejadian itu terjadi begitu cepat sehingga Ruby
mengerjap-ngerjapkan matanya dengan tidak percaya. Bagaimana bisa emosi
Sigtrygg berubah semudah itu? Semoga Tuhan menolong pria manapun yang menderita
akibat amarah sang raja sebelum suasana hatinya membaik kembali. Atau wanita?
Pikir Ruby dan ia mengernyit.
Sementara Thork dan sang raja mendiskusikan pro dan kontra dari
persetujuan pernikahan itu, Ruby menyadari para pelayan menarik
batangan-batangan berat dari papan besar untuk dijadikan meja. Bangku-bangku
lebar dari kayu yang berderet di sepanjang dinding sekarang akan digunakan
sebagai kursi untuk makan malam dan nanti akan digunakan sebagai tempat tidur
bagi orang-orang dari golongan rendah.
Para pelayan itu, kemungkinan budak, mengenakan pakaian dari kain
wol yang tidak diwarnai dengan model ponco dan tali dari kulit yang diikat di
pinggang –untuk laki-laki, dewasa dan anak-anak, sepanjang lutut, sementara
yang perempuan tergantung hingga pergelangan kaki mereka. Pakaian mereka sangat
kontras dengan kain halus yang dipakai para bangsawan Viking berkedudukan
tinggi. Ruby, dengan latar belakangnya dalam dunia lingerie, mengenali keindahan
kain yang berwarna-warni dan keahlian si pembuatnya.
Tubuh orang-orang Viking itu tinggi sekali, bahkan untuk yang
wanita, dan yang mengejutkan, bersih dengan gigi putih berkilau dan rambut yang
terawat. Beberapa dari prianya bahkan memiliki janggut yang dikepang dengan
rumit dan hampir terkesan feminin, yang bisa dibilang tidak sesuai dengan
otot-otot besar di lengan dan kaki mereka. Beberapa dari wanitanya terlihat
seolah-olah bisa mengangkat kempak perang.
Aliran pelayan yang tak habis-habisanya meletakkan piring-piring
besar berisikan makanan menggoda di atas meja sementara para laki-laki dan
wanita duduk dengan urutan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Para pelayan
menaruh tempat garam berukuran besar di tengah masing-masing meja panjang itu;
dari hal inilah muncul sebutan duduk “below the salt,” Ruby menerka. Ruby
memperhatikan semakin baik pakaiannya, semakin dekat posisi duduk orang itu ke
podium. Rupanya Olaf termasuk salah satu orang kesukaan raja di istana itu, di
mana pria itu duduk di meja pertama yang paling dekat dengan podium, dan, yang
membuat Ruby kecewa, pria itu memberitahunya untuk berdiri di belakangnya.
Kapan ia boleh duduk dan makan?
Rhoda berjalan dengan lambat ke arahnya, bersama dengan para budak
lain yang ikut bersama mereka di kapal.
“Kulihat kepalamu masih ada,” sapa Rodha bercanda.
“Ya, tapi aku tidak tahu untuk berapa lama. Si Sigtrygg itu orang
yang kejam.”
“Sudah kubilang, bukan?”
“Kapan kita akan makan?”
Rhoda mengangkat bahunya dengan tidak tertarik. “Kalau aku jadi kau,
aku akan lebih mengkhawatirkan di mana aku akan tidur malam ini… kalau kau
masih hidup sampai saat iut… bukannya kau makan atau tidak.”
Ruby baru hendak menjawab ketika Olaf berbalik dan memandangnya
dengan marah dan memberitahunya untuk diam. Thork dan Sigtrygg sudah
menyelesaikan pembicaraan mereka.
“Kalau begitu, pernikahan akan dilangsungkan,” Sigtrygg
menyetujui, mengangkat gelasnya untuk bersulang di hadapan para tamunya. “Kita
akan mendiskusikan detailnya di Althing yang akan diadalan sebulan lagi, tapi
berita ini akan disampaikan kepada Althestan hari ini. Aku akan mengawini adik
perempuannya.” Dengan tawa penuh nafsu dan gerakan vulgar di alat kelaminnya,
ia menambahkan, “Mungkin tubuh tua ini masih bisa menghasilkan anak laki-laki
untuk Odin.” Para pria Viking ikut tertawa cabul bersamanya.
Ruby menyadari satu hal aneh. Tak sekalipun Sigtrygg menayakan
nama wanita yang akan dinikahinya, apakah wanita itu masih muda atau sudah tua,
bagaimana rupanya, apakah ia terpaksa atau dengan sukarela menikah. Tepat
seperti yang sudah diprediksi Thork tadi, Sigtrygg bersedia menikahi seekor
babi kalau itu berguna untuknya.
Sang raja dan semua orang yang berkumpul kemudian menikmati jamuan
yang telah disediakan di hadapan mereka. Piring-piring saji raksasa itu
berisikan setiap jenis ikan yang bisa dibayangkan – cod, haddock, hering,
bahkan sesuatu yang terlihat seperti ular dalam saus krim. Mungkin belut. Rubi
mengenali ayam dan bebek tapi tak bisa mengidentifikasi jenis unggas lainnya,
karena belum pernah memakan burung merpati atau burung kuau atau unggas apa pun
yang diburu orang-orang pra-Medieval ini. Tentu saja, paha sapi raksasa yang
menjadi makanan wajib diletakkan di tengah panggung dengan darah masih menetes
dari pinggiran piring raksasa itu.
Di meja-meja yang lebih rendah, orang-orang berpasangan dan
berbagi satu piring kayu dengan menggunakan sendok atau pisau pribadi, tapi di
meja yang lebih tinggi dibagikan irisan roti mancher bulat dan besar, cukup
tebal untuk menyerap kuah dan dimakan. Rhoda berbisik kalau sisa-sisa mancher
yang lembek itu akan diberikan kepada pengemis di gerbang istana. Ruby merasa
ia sendiri juga akan mengemis roti itu untuk dirinya sendiri.
Makanan pendamping yang tak terhitung jumlahnya menemani makanan
utama, seperti bawang, kubis, bit dan kacang polong, belum lagi roti datar dan
hangat serta mentega, custards, pastries, madu, keju, kacang dan berbagai macam
buah-buah segar. Mereka meminum semacam bir atau ale dalam gelas berbagai
ukuran mulai dari tanduk binatang, gelas kayu yang dipahat serta yang terbuat
dari perak.
Tak heran orang-orang viking ini begitu besar kalau mereka makan
seperti ini setiap hari, pikir Ruby. Ia bertanya-tanya apa pendapat mereka
tentang bahaya kolesterol, kemudian memutuskan mereka mungkin tidak hidup cukup
lama untuk mengkhawatirkan penyebab kematian alami.
Ruby mencolek punggung Olaf. “Berikan aku sesuatu untuk dimakan,
dasar kau egois.”
Olaf memandang Ruby seakan pria itu tidak memercayai telinganya,
kemudian menggelengkan kepalanya. “Kurasa Thork punya lebih banyak kesulitan
dari yang disadarinya.” Pria itu berbalik dan memunggungi Ruby lagi, setelah
memberi ruby sebuah apel dan sebongkah keju, yang keduanya dibaginya dengan
Rodha.
Sambil mengunyah, Ruby memandang ke podium tempat Thork sedang
makan dengan rakus. Dasar babi! Mata mereka bertemu tepat ketika pria itu
memegang sepotong roti di tangan kanannya dan akan menuang madu ke atas roti
itu dengan tangan kirinya.
Madu! Tangan kirinya!
Ruby tersenyum penuh kemenangan, dan Thork menjauhkan sendok madu
itu seperti besi panas. Ia memalingkan kepalanya dengan cemberut, tidak ingin
diingatkan pada pengetahuan wanita itu mengenai tubuh dan seleranya.
Setelah para pelayan membersihkan sisa-sisa makanan dan meja,
orang-orang itu bergerak lebih dekat ke arah podium, ingin mendengar lebih
banyak lagi berita dari Thork. Mereka membersihkan gigi mereka dengan sepotong
kecil kayu. Ale dan anggur mengalir dengan bebas.
“Jadi, kudengar kau pergi ke Dublin,” kata Thork pada Sigtrygg.
“Ya. Kakekku, Ivar the Boneless, semoga dia beristirahat dengan
tenang di Valhalla, menghasilkan terlalu banyak anak dan cucu. Sepupu-sepupuku
dan aku saling mencurigai satu sama lain. Aku meninggalkan takhtaku di Dublin
kepada sepupuku Godfred ketika aku datang ke Northumbria empat tahun yang lalu
setelah sepupuku, King Rognvald meninggal. Tapi sekarang aku cemas si Godfred
yang haus kekuasaan itu terlalu keenakan dengan tempatku.”
Thork mengangguk mengerti.
“Dan ayahmu?” Sigtrygg bertanya dengan ramah. “Kalau ada orang
yang tahu arti dari haus kekuasaan itu adalah Harard Fairhair. Aku tidak
bermaksud menyinggungmu.”
“Tidak apa-apa. Ayahku memang seperti itu. Orang-orang Viking
kabur dari Norwegia untuk melepaskan diri mereka dari tiraninya. Bahkan banyak
yang tinggal di Islandia.”
“Apakah kau masih tidak mau menjadi jarl di salah satu
wilayahnya?”
“Ya. Aku lebih menyukai kerasnya Jomsviking daripada kekejaman
tiraninya. Walaupun begitu, aku memujinya. Dia telah menyatukan semua Norwegia
dan itu bukan hal yang mudah.”
Sigtrygg setuju. “Aku tahu kau baru saja mengantarkan adik tirimu
Haakon ke istana Athelstan untuk diasuh di sana.” Pria itu menggeleng heran.
“Ayahmu menghasilkan anak laki-laki seperti kelinci, bahkan diumurnya yang
sudah tua, dan dia tahu menfaat dari membangun hubungan yang baik dengan
orang-orang Saxon itu, bahkan kalau itu artinya harus menggunakan anaknya yang
paling kecil.”
“Jelas sekali. Apakah kau tahu hadiah apakah yang dikirimkannya
kepada Athelstan?
“Tidak.”
“Ayahku mengirimkan sebuah kapal perang besar dengan haluan dari
emas dan layar ungu, yang dipenuhi dengan rak-rak perisai sepuhan.”
Orang-orang di sekirat raja terkesiap, menyadari kekayaan King
Harald yang dinyatakan dari hadian mewah itu.
KemudianSigtrygg mengucapkan kata-kata yang ditakutkan Ruby. “Para
budak di sebelah sana… apakah mereka tangkapan yang rencananya akan kau gunakan
untuk dirimu sendiri atau kau akan menjual mereka?”
Oh oh!
Thork memandang Ruby dan budak lainnya. Ekspresi datarnya tidak
mengungkapkan perasaan sedikit pun.
“Mereka akan dijual… kecuali satu. Kurasa kau harus bicara
dengannya. Budak yang ini mungkin mata-mata Ivar.”
“Apa!” Sigtrygg meraung dan melompat dari tempat duduknya.
“Maksudmu si ular Ivar itu mengirim seorang mata-mata ke dalam Jorvik? Bawa
laki-laki itu ke sini agar aku bisa menyiksanya dan memeras rahasia darinya.”
“Well, sebenarnya dia bukan laki-laki,” Thork mengakui dengan
enggan, memberi tanda kepada Olaf untuk membawa Ruby maju ke depan.
“Sebenarnya, dia perempuan.”
Sigtrygg menandang Thork dengan dingin. “Apakah kau berusaha
membodohiku?”
“Tidak. Kau harus melihatnya sendiri untuk memercayainya,”
komentar Thork dengan muram.
Olaf membawa Ruby ke dasar tangga di mana ia menunggu hingga Thork
dan sang raja turun. Orang-orang Viking lain di aula besar itu mendekatinya
juga, bahkan mereka yang ada di podium, semuanya berharap bisa terhibur dengan
tontonan itu. Kemudian Olaf bergeser, meninggalkannya di sana.
Ruby merasa tidak aman dengan tidak adanya si raksasa itu
disampingnya.
Sigtrygg menandangnya dengan mulut terbuka, terperanjat melihat
penampilan yang aneh. “Kau bilang dia perempuan?” tanya sang raja kepada Thork
dengan skeptis.
“Ya.”
Sang raja memandang Ruby dari atas ke bawah, berputar
mengelilinginya, kemudian berdiri di depannya. Pertama, ia menyentuh rambut
pendek Ruby, mengelus kausnya, kemudian telapak tangannya yang besar terjulur
ke depan dan ia memegang payudara Ruby.”
Ruby baru hendak memprotes, tapi melihat Olaf memberi tanda
kepadanya untuk diam. Sebenarnya, ia terlalu takut untuk bergerak.
Sigtrygg menyeringai dengan cabul. Dari dekat, pria itu bahkan
lebih jelek dari yang Ruby bayangkan. Ketika pria itu tersenyum, ia melihat
kalau satu gigi depannya hilang. Kemudian Sigtrygg menyadari kata-kata di kaus
Ruby dan mengucapkannya dengan keras: “Brass Balls.”
“Kau pikir Ivar mengirimkan pesan ini untukku? Beritahu aku
menurutmu apa ini artinya,” Sigtrygg mendesak Thork, tak lagi terhibur dengan
penampilan Ruby.
Ruby mencubit lengannya, berharap untuk yang terakhir kalinya
kalau ia bisa mengakhiri mimpi buruk ini dan kembali ke masa depan. Ternyata
tidak! Yang didapatinya hanya lengan yang memar dan pandangan benci Thork.
“Tidak diketahui bagaimana dia bisa sampai di sini,” ujar Thork
dengan lambat, mengucapkan masing-masing kata dengan hati-hati. “Mungkin dalam
kapalku. Ini sulit untuk dipercaya, tapi bukannya tidak mungkin, kalau Ivar
mengirimkan seorang wanita untuk menjadi mata-mata.”
Sigtrygg sudah akan melampiaskan amarahnya pada kata-kata Thork,
tapi Thork mengangkat tangannya dan melanjutkan, “Dan pesan itu, well, kupikir
pesan itu secara tidak langsung mengatakan kalau laki-laki di wilayah Ivar
memiliki alat kelamin yang lebih unggul, yang terbuat dari besi. Kau tahu Ivar
membenci reputasimu dan selalu mencari cara untuk mendorongmu ke dalam
peperangan. Apa lagi artinya?”
Ruby mendengus dan berbicara untuk pertama kalinya, kepada Thork.
“Jangan konyol. Anak laki-lakimulah yang membeli kaus bodoh ini di Ocean City.”
Kedua pria itu berputar untuk menatap Ruby dengan tidak percaya.
“Anak laki-laki! Aku tidak punya anak,” Thork membantah dengan
emosi. “Ucapkan kebohonganmu di tempat lain, Wench.”
“Anakmu Eddie membelinya tahun lalu di pantai. Dan lupakan tentang
si Ivar ini. Aku tidak pernah mendengar tentang si pria itu.”
Thdork dan Sigtrygg bertukar pandang bingung, seakan-akan mereka
tidak mengerti ucapannya. Kemudian Thork berkata dengan panas, “Aku tidak punya
anak laki-laki, dan terutama sekali tidak ada satu orang pun yang bernama Eddie
yang bekerja sebagai mata-mata Ivar.”
“Ya, kau punya. Kita punya dua anak… Eddie yang berumur lima belas
tahun dan David dua belas tahun.”
“Kata wanita ini kau punya anak dengannya?” tanya Sigtrygg pada
Thork. “Beraninya dia mengatakan hal seperti itu dan…”
“Dia suamiku, dan kami punya dua anak,” Ruby memotong raja itu dan
mendengar beberapa orang menarik napas kaget di belakangnya.
Sigtrygg melemparkan pandangan penuh tanya pada Thork. “Kau
bersedia membuang Jomsviking-mu untuk menikah dengan… wanita setengah laki-laki
ini?”
“Tidak!” Thork menyangkal dengan berapi-api. “Dia bohong. Aku
tidak punya istri.”
Sigtrygg memandang Ruby dengan marah dan menantangnya. “Siapa
kau?”
“Namaku Ruby Jordan. Aku tinggal di Amerika. Aku datang dari masa
depan, bukan Ivar, dan…”
Sigtrygg menampar wajah Ruby dengan punggung tangannya begitu
keras sehingga lututnya goyah dan ia terjatuh ke lantai. Air mata menggenang di
matanya dan tumpah menuruni pipinya. Tulang pipinya terasa seperti patah. Ia
meminta Thork untuk meminta bantuan, tapi pria itu hanya balik menatapnya tanpa
belas kasihan sedikit pun.
“Berdiri,” perintah Sigtrygg.
Setelah dengan canggung Ruby berhasil berdiri dengan berpegangan
pada salah satu tangga, Sigtrygg memperingatkannya, “Jangan pernah berbohong
kepadaku dengan cerita dari masa depan, atau anak dan pernikahan yang tidak
nyata. Sekarang lepaskan itu.”
“Apa? Apa yang dilepaskan?”
“Bajumu. Lepaskan.”
“Apakah kau akan memenggal kepalanya dan mengirimkannya kepada
Ivar dalam baju itu?” seorang pria berteriak dari bagian belakang aula, dan
yang lainnya bergumam setuju.
Awalnya, Sigtrygg merenungkan saran yang tak dimintanya itu tapi
tak lama kemudian bibirnya berkerut. “Mungkin. Mungkin.” Ia kembali memandang
Ruby dan mengulang kata-katanya dengan dingin, “Lepaskan bajumu.”
Ruby menyadari dengan ngeri, kalau raja Viking itu mengharapkannya
untuk melepaskan kausnya di depan semua orang. Ia melirik Olaf yang
menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah dengan penuh semangat. Sepertinya
ia tak punya pilihan lain.
Dengan wajah panas, Ruby mengangkat kaus itu melewati kepalanya
dan melemparkannya ke tangan Sigtrigg yang terlulur, mengabaikan geraman kasar
pria itu karena sikapnya yang kurang ajar. Walaupun ketakutan, Ruby menegakkan
kepalanya dengan angkuh, tidak merasa perlu bersusah payah menyembunyikan
dadanya yang tertutup bra dengan tangannya. Entah bagaimana ia tahu dirinya
tidak akan diizinkan untuk melakukan itu.
Gumamam teredam dan suara kaki yang bergerak dengan gelisah
menyebar di antara kerumunan orang di belakangnya, sementara Thork dan sang raja
melongo melihat bra hitamnya yang berenda. Satu-satunya mata Sygtrygg yang
masih utuh hampir melompat keluar, dan Thork sepertinya kesulitan untuk menelan
ludah. Humph! Pikir Ruby. Pria itu suedah cukup sering melihat lingerinya di
masa lalu!
Dengan enggan, mata Thork yang penuh dengan tanda tanya terkunci
dengan mata Ruby. Terlepas dari kondisinya yang berbahaya, kobaran api di dalam
diri mereka menyulut sebuah sumbu yang menghubungkan mereka berdua dalam cara
yang aneh dan menyalakan api di bagian-bagian paling rahasia di tubuh Ruby.
Tanpa menyentuh. Thork mengelus tubuhnya dengan matanya. Tanpa berbicara, pria
itu mengucapkan semua yang ingin diketahui oelh hatinya. Ruby ingin sekali
menyentuh pria itu, yang merupakan suaminya, sekaligus orang asing. Ia harus
berhubungan dengan pria itu dengan cara yang paling mendasar dan intim yang
diketahui pria dan wanita sejak manusia diciptakan. Mungkinsetelah itu ia bisa
memuaskan rasa lapar yang telah dibangunkan pria itu di dalam dirinya. Mungkin
setelah itu ia bisa menyelamatkan pernikahannya. Mungkin ia akan bisa memahami
perjalanan waktunya yang tidak masuk akal ini.
Lamunan mereka dipecahkan oleh Olaf yang berdehem dengan nyaring.
Melihat ekspresi wajah mereka yang bingung, Olaf melemparkan kepalanya ke
belakang dan tertawa keras. “Tongkat Odin! Kalian berdua sudah membuat ruangan
ini panas seperti tungku. Sebaiknya kalian segera mencari pojokan yang sepi
sebelum kalian menelanjangi diri kalian di depan kami.”
Thork menggeleng untuk menjernihkan kepalanya, jelas sekali pria
itu malu oleh reaksinya yang begitu kuat terhadap Ruby, kemudian ia mendelik
kepada Ruby seakan-akan wanita itu telah menyihirnya. Dan Olaf langsung mengakhiri
ejekannya ketika Thork memandangnya dengan jengkel.
Lalu celana jins ruby yang menarik perhatian Sigtrygg. “Lepaskan
itu juga.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar