“Bagaimana bisa hidup seorang lelaki bisa terbalik tanpa ia diberi kesempatan untuk mengantisipasi dan kemudian mencoba mencegahnya, Grimm?”
Hawk mulai minum segera setelah pintu kamar tertutup. Ia mencoba dengan sengaja untuk mabuk, namun tak berhasil.
“Kau percaya ia bisa menyembuhkan istrimu, Hawk?”
Hawk bingung sejenak. “Ya, Grimm, Aku percaya. Ada sesuatu
yang tidak wajar tentang Adam Black, dan aku berniat mencari tahu.”
“Apa yang kau curigai?”
“Entahlah, Grimm, cari tahu semua tentang orang itu. Bicara
pada orang sampai kau mendapatkan beberapa jawaban. Dari mana asalnya, kapan ia
tiba di sini, siapa kerabatnya, apa pekerjaannya sehari-hari. Aku ingin tahu
tentang setiap tarikan napasnya, tentang setiap kali ia buang air.”
“Baik, Hawk.”
“Bagus.”
Mereka berdua menoleh ke arah pintu kamar. Berjam-jam telah
berlalu sejak sang pandai besi menutup pintu. Tak ada suara yang terdengar dari
dalam kamar sejak saat itu.
“Siapa yang menginginkan kematiannya, Hawk?” Grimm bertanya
dengan bingung. “Janet Gila ini sudah seperti pertapa. Menurut gosip di Comyn
Keep, tak lebih dari lima orang yang pernah melihatnya. Bagaimana mungkin
seorang wanita yang hidupnya saja terpencil bisa sebegitu menyakiti hati orang
lain sampai menimbulkan niat membunuh?”
Hawk mengusap kepalanya dengan lesu. Perutnya bergolak dan
minum Scotch yang ia teguk sama sekali tidak membantu. Secara refleks ia
menggulirkan botol minumannya ke arah Grimm. “Jangan biarkan aku minum lagi.
Aku perlu menjernihkan kepalaku. Aku tak bisa berpikir sekarang. Lelaki itu
sedang menyentuh istriku, Grimm. Saat ini ia bisa saja memandikannya,
memandangnya. Aku ingin membunuh lelaki itu.”
“Lakukanlah, jika ia selesai menyembuhkan istrimu,” Grimm
menyahut dengan santai.
“Tidak bisa!”
“Kalau begitu biar aku yang melakukannya,” ujar Grim dengan
setia.
“Jangan. Kami sudah sepakat.”
“Kau membuat kesepakatan dengan lelaki itu?” mata Grimm
membelalak marah. “Celaka! Kau kan tidak pernah melanggar perjanjian. Bagaimana
mungkin kau membuat kesepakatan dengan orang yang bahkan kau tak bisa tahan?”
“Sebab ia bisa menyembuhkan istriku.”
“Kapan tepatnya kau menumbuhkan perasaan macam ini pada
Janet Gila, sebelumnya kau bersumpah tak ingin memperistrinya?”
“Tutup mulutmu, Grimm.”
“apa kesepakatannya, Hawk?” Grimm mendesak.
“Ia menginginkan Adrienne.”
“Kau memberikan Adrienne untuknya?”
“Grimm, tak usah bertanya lagi. Cari saja semua informasi
yang bisa kau dapat tentang lelaki bernama Adam Black ini.”
“Pasti.”
***
“Kau memang sempurna, cantik,” ujar sang pandai besi sementara
bola matanya jelalatan ke tubuh Adrienne yang telanjang di balik seprei
lelmbab.
“Sempurna durhaka,” Adrienne meracau. Panasnya menyusut
pelan-pelan.
“Jelas-jelas melanggar hukum.”
Adam tak paham. “Apa maksudmu?” Adrienne berusaha mengucapkan
kalimatnya, tapi kemudian tak yakin apakah ia berhasil mengeluarkan suara.
“Mungkin seharusnya ada sesuatu yang kriminal tentang wanita
sebegini cantiknya,” Adam menimpali.
“Tak ada yang kriminal tentangku,” Adrienne memprotes
samar-samar.
“Oh, cantik, menurutku ada sesuatu yang kriminal tentangmu.”
“Ada sesuatu yang tidak normal tentangmu, Adam,” Adrienne
meracau sambil tubuhnya berbalik gelisah.
“Betul,” Adam menjawab, “tak ada yang normal tentangku.
Berikan tanganmu, cantik, akan kutunjukkan sesuatu yang tidak normal.”
Mendadak muncul sapuan air dingin, ombak berbusa di atas
pasir putih pantai. Ombak seakan berbisik lembut menerpa pasir, pasir yang
sejuk di antara jari kakinya. Tak ada semut, tak ada rak, tak ada api. Hanya
rasa damai yang ia temukan di tempat kesukaannya ini. Pinggiran pantai di Maui
tempat ia berlibur bersama teman-temannya. Hari-hari indah dan menyenangkan
yang mereka lalui dengan sari jeruk segar dan lari selama musim panas di
pantai, dengan bertelanjang kaki, menapaki ujung ombak yang menyapu pantai.
Lalu datanglah imaji yang aneh. Aroma melati dan cendana.
Pasir putih dihiasi sebaran tenda-tenda warna merah keunguan, dan kupu-kupu
yang berterbangan disetiap rimbunan serta ranting pohon rowan. Tempat yang
aneh. Dan Adrienne sedang berbaring di atas pasir yang sejuk dan sedang diobati
oleh riak gelombang berwarna biru.
“Sangku, dambakanlah aku. Rasakan aku, dahagalah akan
diriku dan aku akan memuaskanmu.”
“Hawk?”
Amarah Adam membumbung di angkasa.
Adrienne memaksa membuka matanya sedikit, dan menarik nafas.
Jika saja tubuhnya mengizinkan, pasti ia sudah terduduk tegak. Tapi tak bisa.
Tubuhnya hanya tergolek lemas di ranjang sementara amarahnya menaik. “Keluar
dari kamarku!” Adrienne berteriak. Setidaknya suaranya tak terdengar lemah.
“Aku hanya memeriksa apakah dahimu sudah tak panas lagi.”
Adam menyeringai licik.
“Bajingan! Aku tak peduli kenapa kau ada di sini, keluar!”
Akhirnya tubuhnya sedikit patuh dan ia berhasil menangkupkan
jemarinya ke sebuah gelas yang ada di meja kecil di samping tempat tidur.
Karena masih terlalu lemah untuk melemparnya, setidaknya ia mampu
menjatuhkannya ke lantai. Gelasnya pecah berantakan di lantai. Suaranya sedikit
meredakan amarah Adrienne.
“Kau sekarat. Aku yang menyembuhkanmu.” Adam mengingatkan.
“Terima kasih. Sekarang keluar.”
Adam mengerjapkan matanya. “Itu saja? Terima kasih, sekarang
keluar?
“Jangan kau kira aku bodoh ddan tak tahu kau menyentuh
payudaraku!” Adrienne mendesis dengan garang. Ekspresi terkejut di wajah Adam
membuat Adrienne menyadari bahwa Adam benar-benar mengira ia sedang tidak sadar
tadi. “Jadi, memang cuma itu tadi dan ucapan terima kasih yang kau terima,
tukang besi!” Adrienne menggeram. “Aku benci lelaki rupawan. Benci!”
“Aku tahu,” Adam tersenyum puas dan menerima pengusiran
Adrienne.
Adrienne memejamkan matanya erat-erat, tapi begitu bagian
dalam matanya yang berwarna merah muda makin menaik, bayangan bahwa ia sedang
berada di antara kedua paha Hawk yang kokoh, sambil di dekap kedua tangannya
yang sekeras baja. Suara Hawk membisikkan namanya berulang-ulang, memanggil
Adrienne, memintanya kembali. Menuntut agar ia hidup. Membisikkan kata-kata…
apa? Apa katanya?
***
“Ia hidup. Paduka Nazar – ”
“Hawk.” (Elang)
“Dua-duanya burung pemangsa. Apa bedanya?”
“Burung Nazar adalah pemakan bangkai. Sedangkan Hawk adalah
burung pemangsa yang memilih mansanya dengan seksama seperti burung rajawali.
Lalu mengintainya dengan keyakinan tak tergoyahkan. Dan tak pernah gagal.”
“Tak pernah gagal,” Adam tersenyum. “Tak ada yang pasti.
Paduka Hawk.”
“Di sini kau salah. Aku memilih, aku mematuhinya, aku
mengejarnya, aku berkomitmen, maka aku mendapatkannya. Itu. Itulah sobat – yang
disebut kepastian.”
Adam menggelengkan kepalanya dan mengamati Hawk dengan rasa
kagum. “Musuh yang setara. Mari kita mulai perburuan ini. Tak boleh curang. Tak
boleh menipu. Kau tak boleh melarangnya menemuiku. Aku tahu kau pernah
melakukan itu. Kau harus mencabut aturanmu.”
Hawk mencondongkan kepalanya. “Ia yang memilih.” Ia
meneruskan. “Aku tak akan melarangnya.”
Adam mengangguk puas sambil memasukkan tangannya ke saku
celananya dan menunggu.
“Jadi? Keluar dari istanaku, tukang besi. Kau punya tempatmu
sendiri, dan bukan di sini.”
“Kau setidaknya bilang terima kasih. Ia hidup.”
“Aku tak yakin semua ini bukan ulahmu.”
Mendengar itu, alis Adam berkerut. “Memang bukan. Tapi
mengingat itu, aku harus mengerjakan sesuatu. Aku heran, siapa yang
menginginkan kematian si cantik? Bukan aku. Sebab jika aku, ia pasti sudah
mati. Tak perlu racun yang membunuh perlahan dariku. Kematian yang cepat, atau
tidak sama sekali.”
“Kau orang aneh, pandai besi.”
“Tapi tak lama lagi aku akan menjadi orang paling dekat
dengannya.”
“Semoga ia lebih cerdas dari itu,” Grimm menggumam sambil
mengawasi Adam menghilang ke gelapnya lorong. Malam sudah turun dan sebagian
besar lampu istana belum dinyalakan.
Hawk menarik napas panjang.
“Kesepakatan macam apa yang kau ambil dengan iblis satu
itu?” Grimm bertanya dengan suara lirih.
“Menurutmu ia memang iblis?”
“Ada sesuatu yang tidak wajar tentang lelaki itu dan aku
akan menyelidikinya.”
“Bagus. Sebab ia menginginkan istriku, dan istriku tak
menginginkan aku. Aku melihat istriku mendambakannya dari matanya.”
Grimm memicingkan mata. “Kau yakin kau tak menginginkan
istrimu sebab istrimu tak menginginkanmu dan pandai besi itu menginginkan
istrimu?”
Hawk perlahan menggelengkan kepalanya. “Grimm aku tak punya
definisi tentang perasaan ini.”
“Kau selalu punya.”
“Tidak kali ini, dan hal ini pemperingatkanku bahwa aku
sedang berada dalam kesulitan dan akan menjadi makin parah. Dalam arti aku
harus merayu gadis itu. Menurutmu aku dipelet?”
“Hanya jika cinta dapat dimasukkan ke dalam botol, atau
ditembakkan dari busur dewa cinta, sobat.” Grimm berbisik kepada angin yang
menghembus seraya Hawk memasuki kamar Adrienne.
***
Dalam beberapa minggu setelahnya, Hawk bertanya-tanya
mengapa bangsa Rom, yang ia percayai dan hargai, yang ia kira juga merasakan
hal yang sama padanya, tak pernah datang membantu merawat istrinya selama
masa-masa suram ini. Saat ia bertanya pada pengawalnya, ia diberitahu bahwa
pesan kepada mereka telah disampaikan. Bukan saja bangsa Rom tidak datang, tapi
juga mereka secara mencurigakan tak tampak di Dalkeith. Mereka tak datang ke
istana untuk melakukan barter seperti biasanya. Atau berkumpul di Aula Utama
bercerita di depan gerombolan penonton yang terkagum-kagum riuh rendah. Tak
seorangpun dari bangsa Rom mendekati Dalkeith-Upon-the-Sea; mereka tetap
berada di ladang mereka, jauh di balik pepohonan rowan.
Kenyataan itu mengganggu benak Hawk sejenak, namun segera
tertimbun oleh hal-hal yang lebih berat lagi. Ia bertekad untuk memuaskan rasa
ingin tahunya itu dengan cara mendatangi pemukiman para orang gypsy tersebut
setelah istrinya pulih dan urusan dengan si pandai besi yang aneh itu selesai.
Tapi baru dalam waktu yang cukup lama ia baru dapat mengunjungi tempat
perkemahan bangsa Rom itu; dan saat tiba waktunya, semuanya sudah berubah.
***
Adrienne terjaga dari tidur dan mendapati suaminya sedang
mengamatinya dengan seksama.
“Kukira aku akan kehilanganmu.” Air mukanya suram, namun
berpendar memantulkan cahaya perapian; dan itulah yang pertama kali Adrienne
lihat begitu ia membuka kelopak matanya. Ia butuh waktu beberapa saat untuk membuat
otaknya jernih kembali.
Tapi kesadarannya datang berbarengan dengan amarah. Hanya
melihat wajah suaminya, amarah Adrienne meninggi.
“Kau tak bisa kehilangan sesuatu yang tak kau miliki. Kau
tak pernah memiliki aku, paduka Hawk,” Adrienne bergumam.
“Belum,’ Hawk mengoreksi. “Aku belum memilikimu. Setidaknya
bukan seperti yang kubayangkan. Terbaring di bawah tubuhku. Telanjang, kulitmu
basah oleh cintaku. Ciumanku. Gairahku.” Hawk mengusapkan ibu jarinya ke bibir
bawah Adrienne dan tersenyum.
“Tak akan pernah.”
“Jangan pernah bilang begitu. Nanti kau sendiri yang merasa
tolol jika harus menarik kembali ucapanmu itu. Aku tak ingin kau merasa tolol,
sanyang.”
“Tak akan pernah,” Adrienne bersikukuh. “Dan aku tak akan
pernah bilang begitu jika aku tidak seratus persen yakin.”
“Ada banyak ‘tak pernah’ di dalam sana, di hatiku.
Hati-hati.”
“Hatimu itu seperti buah masam yang keriput. Dan aku yakin
terhadap setiap ‘tak pernah’ yang ada di dalamnya.”
“Sesukamulah, sayang. Semua itu akan lebih membuatku senang
membuatmu berbalik kepadaku nanti.”
“Aku bukan seekor kuda yang bisa kau tunggangi.”
“Ah, tapi sama saja, bukan? Kau butuh tangan yang kuat,
Adrienne. Seorang pengendara yang percaya diri, yang tak mudah tunduk dengan
temperamenmu yang keras. Kau butuh seorang lelaki yang bisa mengendalikan
rontaanmu dan menikmati daya pacumu. Aku tak akan kasar dalam mengendaraimu.
Aku akan menguasaimu agar kau hanya merasakan tanganku semata. Seekor kuda yang
ditaklukkan dengan kasar dapat ditunggangi oleh banyak orang, tapi seekor kuda
liar yang dikuasai oleh satu tangan saja – tak akan kehilangan gairahnya, tapi
tak akan membiarkan seorangpun mengungganginya kecuali tuannya.”
“Tak ada seorang lelakipun yang pernah menjadi tuan bagiku,
dan tak akan pernah ada. Camkan itu di otakmu, Douglas.” Adrienne
menggemeretakkan giginya dengan geram sambil berusaha duduk tegak. Sulit untuk
bertahan membela diri dalam sebuah percakapan sambil telentang tak berdaya,
sambil menatap ke atas ke arah lelaki besar ini. “Dan soal menunggangiku…”
Sial bagi Adrienne, dan untung bagi Hawk, Adrienne kembali jatuh
tertidur tanpa menyelesaikan kalimatnya.
Tanpa diketahui Hawk, Adrienne sudah lebih dari sekedar
menyelesaikan kalimatnya itu di dalam mimpinya. Tak akan pernah! Benak dalam
mimpinya melihat, saat ia tertarik pada tubuh lelaki yang hitam dengan api
menyala di matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar