Home

Selasa, 13 Februari 2024

Beyond The Highland Mist #8

 “Bagaimana bisa hidup seorang lelaki bisa terbalik tanpa ia diberi kesempatan untuk mengantisipasi dan kemudian mencoba mencegahnya, Grimm?”

Hawk mulai minum segera setelah pintu kamar tertutup. Ia mencoba dengan sengaja untuk mabuk, namun tak berhasil.

“Kau percaya ia bisa menyembuhkan istrimu, Hawk?”

Hawk bingung sejenak. “Ya, Grimm, Aku percaya. Ada sesuatu yang tidak wajar tentang Adam Black, dan aku berniat mencari tahu.”

“Apa yang kau curigai?”

“Entahlah, Grimm, cari tahu semua tentang orang itu. Bicara pada orang sampai kau mendapatkan beberapa jawaban. Dari mana asalnya, kapan ia tiba di sini, siapa kerabatnya, apa pekerjaannya sehari-hari. Aku ingin tahu tentang setiap tarikan napasnya, tentang setiap kali ia buang air.”

“Baik, Hawk.”

“Bagus.”

Mereka berdua menoleh ke arah pintu kamar. Berjam-jam telah berlalu sejak sang pandai besi menutup pintu. Tak ada suara yang terdengar dari dalam kamar sejak saat itu.

“Siapa yang menginginkan kematiannya, Hawk?” Grimm bertanya dengan bingung. “Janet Gila ini sudah seperti pertapa. Menurut gosip di Comyn Keep, tak lebih dari lima orang yang pernah melihatnya. Bagaimana mungkin seorang wanita yang hidupnya saja terpencil bisa sebegitu menyakiti hati orang lain sampai menimbulkan niat membunuh?”

Hawk mengusap kepalanya dengan lesu. Perutnya bergolak dan minum Scotch yang ia teguk sama sekali tidak membantu. Secara refleks ia menggulirkan botol minumannya ke arah Grimm. “Jangan biarkan aku minum lagi. Aku perlu menjernihkan kepalaku. Aku tak bisa berpikir sekarang. Lelaki itu sedang menyentuh istriku, Grimm. Saat ini ia bisa saja memandikannya, memandangnya. Aku ingin membunuh lelaki itu.”

“Lakukanlah, jika ia selesai menyembuhkan istrimu,” Grimm menyahut dengan santai.

“Tidak bisa!”

“Kalau begitu biar aku yang melakukannya,” ujar Grim dengan setia.

“Jangan. Kami sudah sepakat.”

“Kau membuat kesepakatan dengan lelaki itu?” mata Grimm membelalak marah. “Celaka! Kau kan tidak pernah melanggar perjanjian. Bagaimana mungkin kau membuat kesepakatan dengan orang yang bahkan kau tak bisa tahan?”

“Sebab ia bisa menyembuhkan istriku.”

“Kapan tepatnya kau menumbuhkan perasaan macam ini pada Janet Gila, sebelumnya kau bersumpah tak ingin memperistrinya?”

“Tutup mulutmu, Grimm.”

“apa kesepakatannya, Hawk?” Grimm mendesak.

“Ia menginginkan Adrienne.”

“Kau memberikan Adrienne untuknya?”

“Grimm, tak usah bertanya lagi. Cari saja semua informasi yang bisa kau dapat tentang lelaki bernama Adam Black ini.”

“Pasti.”

***

 

“Kau memang sempurna, cantik,” ujar sang pandai besi sementara bola matanya jelalatan ke tubuh Adrienne yang telanjang di balik seprei lelmbab.

“Sempurna durhaka,” Adrienne meracau. Panasnya menyusut pelan-pelan.

“Jelas-jelas melanggar hukum.”

Adam tak paham. “Apa maksudmu?” Adrienne berusaha mengucapkan kalimatnya, tapi kemudian tak yakin apakah ia berhasil mengeluarkan suara.

“Mungkin seharusnya ada sesuatu yang kriminal tentang wanita sebegini cantiknya,” Adam menimpali.

“Tak ada yang kriminal tentangku,” Adrienne memprotes samar-samar.

“Oh, cantik, menurutku ada sesuatu yang kriminal tentangmu.”

“Ada sesuatu yang tidak normal tentangmu, Adam,” Adrienne meracau sambil tubuhnya berbalik gelisah.

“Betul,” Adam menjawab, “tak ada yang normal tentangku. Berikan tanganmu, cantik, akan kutunjukkan sesuatu yang tidak normal.”

Mendadak muncul sapuan air dingin, ombak berbusa di atas pasir putih pantai. Ombak seakan berbisik lembut menerpa pasir, pasir yang sejuk di antara jari kakinya. Tak ada semut, tak ada rak, tak ada api. Hanya rasa damai yang ia temukan di tempat kesukaannya ini. Pinggiran pantai di Maui tempat ia berlibur bersama teman-temannya. Hari-hari indah dan menyenangkan yang mereka lalui dengan sari jeruk segar dan lari selama musim panas di pantai, dengan bertelanjang kaki, menapaki ujung ombak yang menyapu pantai.

Lalu datanglah imaji yang aneh. Aroma melati dan cendana. Pasir putih dihiasi sebaran tenda-tenda warna merah keunguan, dan kupu-kupu yang berterbangan disetiap rimbunan serta ranting pohon rowan. Tempat yang aneh. Dan Adrienne sedang berbaring di atas pasir yang sejuk dan sedang diobati oleh riak gelombang berwarna biru.

“Sangku, dambakanlah aku. Rasakan aku, dahagalah akan diriku dan aku akan memuaskanmu.”

“Hawk?”

Amarah Adam membumbung di angkasa.

Adrienne memaksa membuka matanya sedikit, dan menarik nafas. Jika saja tubuhnya mengizinkan, pasti ia sudah terduduk tegak. Tapi tak bisa. Tubuhnya hanya tergolek lemas di ranjang sementara amarahnya menaik. “Keluar dari kamarku!” Adrienne berteriak. Setidaknya suaranya tak terdengar lemah.

“Aku hanya memeriksa apakah dahimu sudah tak panas lagi.” Adam menyeringai licik.

“Bajingan! Aku tak peduli kenapa kau ada di sini, keluar!”

Akhirnya tubuhnya sedikit patuh dan ia berhasil menangkupkan jemarinya ke sebuah gelas yang ada di meja kecil di samping tempat tidur. Karena masih terlalu lemah untuk melemparnya, setidaknya ia mampu menjatuhkannya ke lantai. Gelasnya pecah berantakan di lantai. Suaranya sedikit meredakan amarah Adrienne.

“Kau sekarat. Aku yang menyembuhkanmu.” Adam mengingatkan.

“Terima kasih. Sekarang keluar.”

Adam mengerjapkan matanya. “Itu saja? Terima kasih, sekarang keluar?

“Jangan kau kira aku bodoh ddan tak tahu kau menyentuh payudaraku!” Adrienne mendesis dengan garang. Ekspresi terkejut di wajah Adam membuat Adrienne menyadari bahwa Adam benar-benar mengira ia sedang tidak sadar tadi. “Jadi, memang cuma itu tadi dan ucapan terima kasih yang kau terima, tukang besi!” Adrienne menggeram. “Aku benci lelaki rupawan. Benci!

“Aku tahu,” Adam tersenyum puas dan menerima pengusiran Adrienne.

Adrienne memejamkan matanya erat-erat, tapi begitu bagian dalam matanya yang berwarna merah muda makin menaik, bayangan bahwa ia sedang berada di antara kedua paha Hawk yang kokoh, sambil di dekap kedua tangannya yang sekeras baja. Suara Hawk membisikkan namanya berulang-ulang, memanggil Adrienne, memintanya kembali. Menuntut agar ia hidup. Membisikkan kata-kata… apa? Apa katanya?

***

 

“Ia hidup. Paduka Nazar – ”

“Hawk.” (Elang)

“Dua-duanya burung pemangsa. Apa bedanya?”

“Burung Nazar adalah pemakan bangkai. Sedangkan Hawk adalah burung pemangsa yang memilih mansanya dengan seksama seperti burung rajawali. Lalu mengintainya dengan keyakinan tak tergoyahkan. Dan tak pernah gagal.”

“Tak pernah gagal,” Adam tersenyum. “Tak ada yang pasti. Paduka Hawk.”

“Di sini kau salah. Aku memilih, aku mematuhinya, aku mengejarnya, aku berkomitmen, maka aku mendapatkannya. Itu. Itulah sobat – yang disebut kepastian.”

Adam menggelengkan kepalanya dan mengamati Hawk dengan rasa kagum. “Musuh yang setara. Mari kita mulai perburuan ini. Tak boleh curang. Tak boleh menipu. Kau tak boleh melarangnya menemuiku. Aku tahu kau pernah melakukan itu. Kau harus mencabut aturanmu.”

Hawk mencondongkan kepalanya. “Ia yang memilih.” Ia meneruskan. “Aku tak akan melarangnya.”

Adam mengangguk puas sambil memasukkan tangannya ke saku celananya dan menunggu.

“Jadi? Keluar dari istanaku, tukang besi. Kau punya tempatmu sendiri, dan bukan di sini.”

“Kau setidaknya bilang terima kasih. Ia hidup.”

“Aku tak yakin semua ini bukan ulahmu.”

Mendengar itu, alis Adam berkerut. “Memang bukan. Tapi mengingat itu, aku harus mengerjakan sesuatu. Aku heran, siapa yang menginginkan kematian si cantik? Bukan aku. Sebab jika aku, ia pasti sudah mati. Tak perlu racun yang membunuh perlahan dariku. Kematian yang cepat, atau tidak sama sekali.”

“Kau orang aneh, pandai besi.”

“Tapi tak lama lagi aku akan menjadi orang paling dekat dengannya.”

“Semoga ia lebih cerdas dari itu,” Grimm menggumam sambil mengawasi Adam menghilang ke gelapnya lorong. Malam sudah turun dan sebagian besar lampu istana belum dinyalakan.

Hawk menarik napas panjang.

“Kesepakatan macam apa yang kau ambil dengan iblis satu itu?” Grimm bertanya dengan suara lirih.

“Menurutmu ia memang iblis?”

“Ada sesuatu yang tidak wajar tentang lelaki itu dan aku akan menyelidikinya.”

“Bagus. Sebab ia menginginkan istriku, dan istriku tak menginginkan aku. Aku melihat istriku mendambakannya dari matanya.”

Grimm memicingkan mata. “Kau yakin kau tak menginginkan istrimu sebab istrimu tak menginginkanmu dan pandai besi itu menginginkan istrimu?”

Hawk perlahan menggelengkan kepalanya. “Grimm aku tak punya definisi tentang perasaan ini.”

“Kau selalu punya.”

“Tidak kali ini, dan hal ini pemperingatkanku bahwa aku sedang berada dalam kesulitan dan akan menjadi makin parah. Dalam arti aku harus merayu gadis itu. Menurutmu aku dipelet?”

“Hanya jika cinta dapat dimasukkan ke dalam botol, atau ditembakkan dari busur dewa cinta, sobat.” Grimm berbisik kepada angin yang menghembus seraya Hawk memasuki kamar Adrienne.

***

 

Dalam beberapa minggu setelahnya, Hawk bertanya-tanya mengapa bangsa Rom, yang ia percayai dan hargai, yang ia kira juga merasakan hal yang sama padanya, tak pernah datang membantu merawat istrinya selama masa-masa suram ini. Saat ia bertanya pada pengawalnya, ia diberitahu bahwa pesan kepada mereka telah disampaikan. Bukan saja bangsa Rom tidak datang, tapi juga mereka secara mencurigakan tak tampak di Dalkeith. Mereka tak datang ke istana untuk melakukan barter seperti biasanya. Atau berkumpul di Aula Utama bercerita di depan gerombolan penonton yang terkagum-kagum riuh rendah. Tak seorangpun dari bangsa Rom mendekati Dalkeith-Upon-the-Sea; mereka tetap berada di ladang mereka, jauh di balik pepohonan rowan.

Kenyataan itu mengganggu benak Hawk sejenak, namun segera tertimbun oleh hal-hal yang lebih berat lagi. Ia bertekad untuk memuaskan rasa ingin tahunya itu dengan cara mendatangi pemukiman para orang gypsy tersebut setelah istrinya pulih dan urusan dengan si pandai besi yang aneh itu selesai. Tapi baru dalam waktu yang cukup lama ia baru dapat mengunjungi tempat perkemahan bangsa Rom itu; dan saat tiba waktunya, semuanya sudah berubah.

***

 

Adrienne terjaga dari tidur dan mendapati suaminya sedang mengamatinya dengan seksama.

“Kukira aku akan kehilanganmu.” Air mukanya suram, namun berpendar memantulkan cahaya perapian; dan itulah yang pertama kali Adrienne lihat begitu ia membuka kelopak matanya. Ia butuh waktu beberapa saat untuk membuat otaknya jernih kembali.

Tapi kesadarannya datang berbarengan dengan amarah. Hanya melihat wajah suaminya, amarah Adrienne meninggi.

“Kau tak bisa kehilangan sesuatu yang tak kau miliki. Kau tak pernah memiliki aku, paduka Hawk,” Adrienne bergumam.

“Belum,’ Hawk mengoreksi. “Aku belum memilikimu. Setidaknya bukan seperti yang kubayangkan. Terbaring di bawah tubuhku. Telanjang, kulitmu basah oleh cintaku. Ciumanku. Gairahku.” Hawk mengusapkan ibu jarinya ke bibir bawah Adrienne dan tersenyum.

“Tak akan pernah.”

“Jangan pernah bilang begitu. Nanti kau sendiri yang merasa tolol jika harus menarik kembali ucapanmu itu. Aku tak ingin kau merasa tolol, sanyang.”

“Tak akan pernah,” Adrienne bersikukuh. “Dan aku tak akan pernah bilang begitu jika aku tidak seratus persen yakin.”

“Ada banyak ‘tak pernah’ di dalam sana, di hatiku. Hati-hati.”

“Hatimu itu seperti buah masam yang keriput. Dan aku yakin terhadap setiap ‘tak pernah’ yang ada di dalamnya.”

“Sesukamulah, sayang. Semua itu akan lebih membuatku senang membuatmu berbalik kepadaku nanti.”

“Aku bukan seekor kuda yang bisa kau tunggangi.”

“Ah, tapi sama saja, bukan? Kau butuh tangan yang kuat, Adrienne. Seorang pengendara yang percaya diri, yang tak mudah tunduk dengan temperamenmu yang keras. Kau butuh seorang lelaki yang bisa mengendalikan rontaanmu dan menikmati daya pacumu. Aku tak akan kasar dalam mengendaraimu. Aku akan menguasaimu agar kau hanya merasakan tanganku semata. Seekor kuda yang ditaklukkan dengan kasar dapat ditunggangi oleh banyak orang, tapi seekor kuda liar yang dikuasai oleh satu tangan saja – tak akan kehilangan gairahnya, tapi tak akan membiarkan seorangpun mengungganginya kecuali tuannya.”

“Tak ada seorang lelakipun yang pernah menjadi tuan bagiku, dan tak akan pernah ada. Camkan itu di otakmu, Douglas.” Adrienne menggemeretakkan giginya dengan geram sambil berusaha duduk tegak. Sulit untuk bertahan membela diri dalam sebuah percakapan sambil telentang tak berdaya, sambil menatap ke atas ke arah lelaki besar ini. “Dan soal menunggangiku…”

Sial bagi Adrienne, dan untung bagi Hawk, Adrienne kembali jatuh tertidur tanpa menyelesaikan kalimatnya.

Tanpa diketahui Hawk, Adrienne sudah lebih dari sekedar menyelesaikan kalimatnya itu di dalam mimpinya. Tak akan pernah! Benak dalam mimpinya melihat, saat ia tertarik pada tubuh lelaki yang hitam dengan api menyala di matanya.


Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar