Senin, 19 Februari 2024

Lucky Penny #6

 “Yang Mulia, yang ada di leher anakku itu bukan tanda lahir,” Brianna berbohong. “Dia terkena percikan minyak panas ketika masih bayi. Itu bekas luka, tidak lebih, dan kukatakan kepadamu kalau mungkin saja pria ini menjiplak tanda itu di lehernya sendiri dengan menggunakan semir sepatu!”

David memutar bola matanya. “Ada air dan sabun?” Matanya bertemu dengan mata Brianna dengan tatapan yang menyala-nyala. “Atau kalau perlu, cairan pemutih. Dengan senang hati aku akan menggosoknya. Kalau kau bisa menghapus tanda ini dari leherku, aku akan memakan topiku sendiri.”

Brianna ingin sekali menarik benda kotor itu dari kepala David dan mendorongnya ke dalam mulut pria itu. Keadaan berbalik melawannya. Ia merasakan pergeseran itu, dan dalam kepanikan yang meningkat iapun berteriak. “Yang Mulia, aku memohon agar kau menahan keputusan apa pun sampai besok setelah kau sadar dan bisa berpikir dengan lebih jernih.”

Hakim Afton duduk lebih tegak. “Apa kau mengatakan kalau aku mabuk, Mrs. Paxton?”

“Tidak. Ya.” Brianna menunjuk gelas sang hakim. “Kau minum, Dir. Dan kalau boleh kutambahkan, cukup banyak.”

“Aku masih memiliki semua kecukupanku.” Afton berhenti, mengerutkan keningnya, dan mengoreksi. “Kecakapanku, maksudku.”

“Kalau begitu aku memohon kepadamu, Sir. Dengan pertimbangan anakku, aku memohon agar pertemuan ini sebaiknya ditangguhkan dan dilanjutkan lagi ketika dia tidak ada. Ada hal-hal yang terlalu dewasa untuk telinganya yang rapuh.”

“Telingaku tidak rapuh, Mama,” Daphne menimpali. “Telingaku tidak pernah sakit.”

Afton mengayunkan tangannya. Pada titik ini, Brianna tahu ia akan kalah dan hampir mengatakan yang sebenarnya. Rasa takut menahan lidahnya. Apa pun keputusan sang hakim, ia masih punya hak sebagai ibu, dan ia tidak yakin akan tetap memilikinya kalau ia mengaku bahwa dirinya hanyalah bibi Daphne. Selain itu, kalau pernyataannya bahwa ia tidak menikah dengan iblis ini saja tidak mau mereka terima, kenapa mereka akan memercayai yang sebenarnya, yang terdengar mustahil bahkan bagi dirinya sendiri? Bahkan kalau ia bisa meyakinkan sang hakim tentang hal itu dan David Paxton disuruh pulang, ia harus menghadapi konsekwensinya: satu kota yang penuh dengan orang-orang yang lebih-suci-daripada-Tuhan, yang siap untuk menghakiminya. Ia akan merasa seperti hidup di neraka, begitu juga dengan Daphne.

Benak Brianna dipenuhi dengan berbagai pikiran yang terpisah-pisah, memutuskan kalau jalan terbaiknya adalah bertahan dengan cerita awalnya –bahwa ia menikah dengan pria lain yang bernama David Paxton. “Mungkin dia meninggal dunia, Yang Mulia, dan aku tidak pernah diberitahu. Hal seperti itu bisa terjadi. Mungkin dia tewas dalam kecelakaan di tambang beberapa waktu yang lalu! Itu akan menjelaskan kenapa Mr. Paxton ini dan sheriff Denver tidak bisa menemukan bukti keberadaannya.”

David mendengus, ekspresinya penuh dengan rasa jijik. “Maafkan aku, tapi baru beberapa menit yang lalu kau bilang kau baru-baru ini menerima surat dari pria itu. Bagaimana orang yang sudah mati bisa menulis surat?

***

 

David sudah muak. Ia ingin menyumpal telinga putrinya dengan kapas sehingga anak itu tidak perlu mendengar apapun lagi. Lebih baik lagi, ia ingin sekali keluar dari tempat itu dengan putrinya, langsung menuju istal untuk mengambil kuda dan keledainya. Ia tidak peduli. Sekarang wanita bodoh ini mengatakan pria itu telah meninggal dunia? Cerita Brianna berubah-ubah. Selama bertahun-tahun menjadi penegak hukum, ia sudah melihat orang0orang terperangkap dalam kebohongan mereka sendiri, tapi wanita ini juaranya inkonsistensi.

David baru akan bersiap untuk pergi ketika sang hakim memukul palu ke meja, mengejutkannya dan membuat Daphne takut sehingga anak itu tersentak.

“Cukup sudah omong kosong ini!” tukas Afton. “Jelas sekali kalau tidak ada David Paxton lain di sekitar Denver, dan oleh karena itu, penyelesaian masalah ini cukup sederhana. David Paxton ini jelas sekali merupakan ayah dari anak itu. Berhubung Mrs. Paxton tidak bisa menunjukkan dokumen pernikahan yang menyatakan sebaliknya, aku akan menikahkannya dan masalah ini pun selesai sehingga aku bisa menikmati malam pokerku.”

David masih setengah berputar untuk pergi. Kata-kata itu menyentakkannya kembali sehingga ia berhadapan dengan sang hakim. Ia memandang pria tua itu dengan tidak percaya. Hakim mabuk dan bodoh itu itu berseru, “Dengan kuasa yang diberikan padaku oleh negara bagian Colorado, aku menyatakan kalian berdua sebagai suami istri.”

David tidak bisa memercayai telinganya. Jelas sekali seorang hakim belum bisa memukul palunya di meja begitu saja dan menikahkan orang.

“Ini lelucon!” seru Brianna. “Dan ini tidak sah! Aku tidak menyetujuinya, dan aku tidak berkata ‘aku ber’edia'!”

Sang hakim kembali menegak wiskinya. “Sudah jelas sekali, Nona Muda, bahwa kau telah melakukan lebih dari sekedar ‘aku bersedia’.” Sambil memandang penuh arti pada Daphne, ia mengulurkan tangannya kepada Bingham. “Aku butuh kertas, Barron.”

Marshal itu mengeluarkan dua lembar kertas. Sang hakim menuliskan surat nikah sementara di masing-masing kertas itu. Ketika selesai menulis, ia mendorong keduanya ke arah David dan Brianna, lalu berkata, “Tandatangani saja kertas sialan itu.”

“Apakah surat itu menyatakan kalau aku menikah dengan… bandit ini?” Brianna menunjuk ke arah David. “Aku tidak akan mau!”

“Tunggu dulu, Yang Mulia,” David memotong. “Ada hukum-hukum tertentu yang tidak bisa kita abaikan. Kurasa kita membutuhkan pikiran yang jernih di sini.”

“Kubilang, tanda tangan!” Sang hakim membanting kedua kertas itu. “Menolak berarti menghina mengadilan.”

Mulut Brianna komat-kamit seperti ikan yang berada di darat. “Pengadilan apa?”

Hakim Afton mencibir. “Akulah pengadilannya, Nak, dan aku sudah capek mendengar omong kosong ini. Kalian berdua harus menandatangani surat ini atau menginap di penjara.”

“Berapa lama?” tanya Brianna.

Afton menyeringai. “Tergantung suasana hatiku.”

“Kau akan memasukkan kami berdua ke penjara karena tidak mau menyetujui pernikahan yang sama-sama tidak kami inginkan?”

“Kaulah yang sepertinya tidak menginginkan pernikahan ini, Mrs. Paxton,” cetus sang hakim. “Aku bertaruh Mr. Paxton akan setuju untuk tanda tangan. Kalau dia tanda tangan, dan kau masih memaksakan pertunjukan ini, aku akan memenjarakanmu dan membiarkan dia pergi ke No Name bersama anaknya sementara kau tinggal di balik jeruji besi.”

David membuka mulutnya untuk memprotes, lalu menutupnya. Tapi Brianna benar. Ini tidak sah. Ia tidak berencana untuk memaksa Brianna menikah dengannya. Ia hanya ingin menjadi bagian dalam hidup putrinya dan memastikan baik sang ibu maupun anaknya hidup berkecukupan.

Sebelum David bisa memutuskan apa yang akan dilakukannya, Brianna mendekati meja, mengambil pena, dan dengan penuih amarah menuliskan namanya di bagian bawah masing-masing dokumen itu. Ketika menegakkan badan, Brianna melemparkan tatapan yang membara kepada David, tatapan yang bisa menyulut kayu lembap sekalipun. David hanya ragu sebentar, lalu, dengan menggeser Daphne di pinggulnya, ia membungkuk untuk membubuhkan tanda tangannya di bawah tanda tangan Brianna. Bingham menambahkan tanda tangannya sebagai saksi. Hakim Afton menepukkan capnya ke atas bantalan tinta dan menepukkan cap negara ke atas kedua kertas itu, membuat pernikahan mereka resmi. Kemudian ia juga menandatanganinya. Mulutnya melengkung membentuk seringai puas, lalu ia melambaikan dokumen itu untuk mengeringkan tintanya, melipatnya, dan menyerahkan satu kepada David.

“Untuk berjaga-jaga, Mr. Paxton,” kata Afton sambil bersendawa. “Kusarankan kau menjaga dokumen itu dengan baik. Kalau Mrs. Paxton mendapatkannya, dia pasti akan menghancurkannya.” Ia memandang Brianna dengan mata yang disipitkan. “Itu akan menjadi tindakan yang bodoh, Madam, karena aku akan mendaftarkan pernikahan kalian pada senin pagi.” Ia menyimpan dokumen yang satu lagi di dalam jaketnya. “Sekarang kalian sudah benar-benar menikah. Semua kesalahan di masa lalu sudah dihapuskan. Bersukacilatah karena pria terhormat ini telah menjadikanmu istrinya.”

David mengambil semua kertas miliknya dari meja dan menyimpannya, bersama dengan dokumen pernikahan serta foto tadi, ke dalam tas. Ia memindahkan Daphne ke pinggulnya yang satu lagi dan menyampirkan tali tas dari kulit itu ke bahunya. Sebelum David dan Brianna sepenuhnya berputar meninggalkan meja itu, sang hakim telah menuangkan wiski lagi ke dalam gelasnya dan mengundang sang marshal untuk bergabung dengannya untuk memainkan beberapa ronde poker lagi.

David tak bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Dengan perasaan tidak percaya, ia membawa pengantin wanitanya keluar dari kantor marshal. Senja telah tiba. Ketika mereka berjalan di serambi kayu, angin dingin menerjang mereka, membuat Daphne menggigil. Brianna menarik syalnya semakin erat, bahunya kaku, wajahnya putih pucat dalam cahaya temaram. David mengharapkan Brianna menghadapinya dan meneriakinya dengan berbagai tuduhan. Ia pernah mendengar beberapa cerita gila tentang pengadilan yang curang, tapi tidak pernah mendengar ada hakim yang mengumumkan pernikahan tanpa mengadakan upacara sama sekali. Sudah pasti pernikahan mereka ini tidak sah. Hell, Afton bahkan tidak mau susah payah memanggil saksi kedua dari jalan. Tapi ia tidak akan memberitahu Brianna tentang hal itu.

Yang membuat David takjub, Brianna tidak mengatakan apa-apa. Tidak sepatah kata pun. David sedang bertanya-tanya tentang hal itu ketika ia kemudian sadar kebungkaman Brianna mungkin karena kehadiran Daphne. Brianna tidak ingin membuat anak itu sedih. David menerima isyarat tersebut. Ada beberapa hal yang juga ingin dikatakannya, yang paling utama adalah Brianna tidak menyuarakan satu-satunya keberatan yang mungkin akan memiliki kekuatan –bahwa Brianna tidak bisa menyetujui pernikahan ini, karena kalau Brianna menyetujuinya, artinya wanita itu melakukan bigami. Menurut perkiraan David, bungkamnya Brianna adalah bukti terkuat kalau tidak ada David Paxton lain dan bahwa wanita itu belum pernah menikah sampai beberapa menit yang lalu.

Jadi, sekarang apa? David memiliki perasaan yang sangat aneh kalau ia telah melewati sebuah garis yang tak kasatmata, meninggalkan kenyataan di belakangnya. Sah atau tidak, pernikahan ini tetap terjadi, memberinya hak yang tak bisa diganggu gugat lagi, bukan hanya sebagai ayah Daphne, tapi juga sebagai suami Brianna. Setidak suka apa pun ia dengan kejadian ini, ia tidak akan menolak hasilnya. Ia bertekad untuk memperoleh hak asuh putrinya, dan sekarang hal itu telah diberikan kepadanya.

***

 Brianna merasa seperti seekor serangga yang terperangkap di dalam stoples yang bagian dalamnya lembap akibat embun. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Ia ingin memaki David Paxton, atau siapa pun nama pria itu sebenarnya, lalu menjambak rambut David sampai tak ada lagi yang tersisa. Tapi setiap kata yang berusaha untuk lekuar dari tenggorokannya terlalu buruk untuk diucapkan di depan Daphne. Nanti, setelah Daphne tak berada di sekitar mereka lagi, laki-laki kurang ajar itu akan merasakan kemarahannya. Ia hampir tak tahan untuk mengatakan betapa kurang ajar dan tak beretikanya pria itu.

“Mama?” ujar Daphne sedih. “Apakah ini artinya aku tidak perlu pergi ke pertunjukan di gereka?”

Pertanyaan Daphne menyentakkan Brianna kembali ke saat itu. Pertunjukan Daphnei. Ia benar-benar lupa. “Tidak, Sayang, tidak!” Ia mengulurkan tangan untuk menggendong putrinya. “Kita akan kembali ke toko secepatnya dan bersiap-siap.”

“Aku akan menggendongnya,” kata David. “Kau kelihatannya sudah mau tumbang.”

Brianna ingin menarik Daphne dari David. Lengkungan puas bibir David memberitahu Brianna bahwa pria itu yakin sudah menang dan sekarang punya kendali penuh, tidak hanya terhadap Daphne, tapi atas dirinya juga. Hah! Masalah ini belum selesai.


Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar