“Yang Mulia, yang ada di leher anakku itu bukan tanda lahir,” Brianna berbohong. “Dia terkena percikan minyak panas ketika masih bayi. Itu bekas luka, tidak lebih, dan kukatakan kepadamu kalau mungkin saja pria ini menjiplak tanda itu di lehernya sendiri dengan menggunakan semir sepatu!”
David memutar bola matanya. “Ada air dan sabun?” Matanya bertemu dengan mata Brianna dengan tatapan yang menyala-nyala. “Atau kalau perlu, cairan pemutih. Dengan senang hati aku akan menggosoknya. Kalau kau bisa menghapus tanda ini dari leherku, aku akan memakan topiku sendiri.”
Brianna ingin sekali menarik benda kotor itu dari kepala
David dan mendorongnya ke dalam mulut pria itu. Keadaan berbalik melawannya. Ia
merasakan pergeseran itu, dan dalam kepanikan yang meningkat iapun berteriak.
“Yang Mulia, aku memohon agar kau menahan keputusan apa pun sampai besok
setelah kau sadar dan bisa berpikir dengan lebih jernih.”
Hakim Afton duduk lebih tegak. “Apa kau mengatakan kalau aku
mabuk, Mrs. Paxton?”
“Tidak. Ya.” Brianna menunjuk gelas sang hakim. “Kau minum,
Dir. Dan kalau boleh kutambahkan, cukup banyak.”
“Aku masih memiliki semua kecukupanku.” Afton berhenti,
mengerutkan keningnya, dan mengoreksi. “Kecakapanku, maksudku.”
“Kalau begitu aku memohon kepadamu, Sir. Dengan pertimbangan
anakku, aku memohon agar pertemuan ini sebaiknya ditangguhkan dan dilanjutkan
lagi ketika dia tidak ada. Ada hal-hal yang terlalu dewasa untuk telinganya
yang rapuh.”
“Telingaku tidak rapuh, Mama,” Daphne menimpali. “Telingaku
tidak pernah sakit.”
Afton mengayunkan tangannya. Pada titik ini, Brianna tahu ia
akan kalah dan hampir mengatakan yang sebenarnya. Rasa takut menahan lidahnya.
Apa pun keputusan sang hakim, ia masih punya hak sebagai ibu, dan ia tidak
yakin akan tetap memilikinya kalau ia mengaku bahwa dirinya hanyalah bibi
Daphne. Selain itu, kalau pernyataannya bahwa ia tidak menikah dengan iblis ini
saja tidak mau mereka terima, kenapa mereka akan memercayai yang sebenarnya,
yang terdengar mustahil bahkan bagi dirinya sendiri? Bahkan kalau ia bisa
meyakinkan sang hakim tentang hal itu dan David Paxton disuruh pulang, ia harus
menghadapi konsekwensinya: satu kota yang penuh dengan orang-orang yang
lebih-suci-daripada-Tuhan, yang siap untuk menghakiminya. Ia akan merasa seperti
hidup di neraka, begitu juga dengan Daphne.
Benak Brianna dipenuhi dengan berbagai pikiran yang
terpisah-pisah, memutuskan kalau jalan terbaiknya adalah bertahan dengan cerita
awalnya –bahwa ia menikah dengan pria lain yang bernama David Paxton. “Mungkin
dia meninggal dunia, Yang Mulia, dan aku tidak pernah diberitahu. Hal seperti
itu bisa terjadi. Mungkin dia tewas dalam kecelakaan di tambang beberapa waktu
yang lalu! Itu akan menjelaskan kenapa Mr. Paxton ini dan sheriff
Denver tidak bisa menemukan bukti keberadaannya.”
David mendengus, ekspresinya penuh dengan rasa jijik.
“Maafkan aku, tapi baru beberapa menit yang lalu kau bilang kau baru-baru ini
menerima surat dari pria itu. Bagaimana orang yang sudah mati bisa menulis
surat?
***
David sudah muak. Ia ingin menyumpal telinga putrinya dengan
kapas sehingga anak itu tidak perlu mendengar apapun lagi. Lebih baik lagi, ia
ingin sekali keluar dari tempat itu dengan putrinya, langsung menuju istal
untuk mengambil kuda dan keledainya. Ia tidak peduli. Sekarang wanita bodoh ini
mengatakan pria itu telah meninggal dunia? Cerita Brianna berubah-ubah. Selama
bertahun-tahun menjadi penegak hukum, ia sudah melihat orang0orang terperangkap
dalam kebohongan mereka sendiri, tapi wanita ini juaranya inkonsistensi.
David baru akan bersiap untuk pergi ketika sang hakim
memukul palu ke meja, mengejutkannya dan membuat Daphne takut sehingga anak itu
tersentak.
“Cukup sudah omong kosong ini!” tukas Afton. “Jelas sekali
kalau tidak ada David Paxton lain di sekitar Denver, dan oleh karena itu,
penyelesaian masalah ini cukup sederhana. David Paxton ini jelas sekali
merupakan ayah dari anak itu. Berhubung Mrs. Paxton tidak bisa menunjukkan
dokumen pernikahan yang menyatakan sebaliknya, aku akan menikahkannya dan
masalah ini pun selesai sehingga aku bisa menikmati malam pokerku.”
David masih setengah berputar untuk pergi. Kata-kata itu
menyentakkannya kembali sehingga ia berhadapan dengan sang hakim. Ia memandang
pria tua itu dengan tidak percaya. Hakim mabuk dan bodoh itu itu berseru,
“Dengan kuasa yang diberikan padaku oleh negara bagian Colorado, aku menyatakan
kalian berdua sebagai suami istri.”
David tidak bisa memercayai telinganya. Jelas sekali seorang
hakim belum bisa memukul palunya di meja begitu saja dan menikahkan orang.
“Ini lelucon!” seru Brianna. “Dan ini tidak sah! Aku tidak
menyetujuinya, dan aku tidak berkata ‘aku ber’edia'!”
Sang hakim kembali menegak wiskinya. “Sudah jelas sekali,
Nona Muda, bahwa kau telah melakukan lebih dari sekedar ‘aku bersedia’.” Sambil
memandang penuh arti pada Daphne, ia mengulurkan tangannya kepada Bingham. “Aku
butuh kertas, Barron.”
Marshal itu mengeluarkan dua lembar kertas. Sang
hakim menuliskan surat nikah sementara di masing-masing kertas itu. Ketika
selesai menulis, ia mendorong keduanya ke arah David dan Brianna, lalu berkata,
“Tandatangani saja kertas sialan itu.”
“Apakah surat itu menyatakan kalau aku menikah dengan…
bandit ini?” Brianna menunjuk ke arah David. “Aku tidak akan mau!”
“Tunggu dulu, Yang Mulia,” David memotong. “Ada hukum-hukum
tertentu yang tidak bisa kita abaikan. Kurasa kita membutuhkan pikiran yang
jernih di sini.”
“Kubilang, tanda tangan!” Sang hakim membanting kedua kertas
itu. “Menolak berarti menghina mengadilan.”
Mulut Brianna komat-kamit seperti ikan yang berada di darat.
“Pengadilan apa?”
Hakim Afton mencibir. “Akulah pengadilannya, Nak, dan aku
sudah capek mendengar omong kosong ini. Kalian berdua harus menandatangani
surat ini atau menginap di penjara.”
“Berapa lama?” tanya Brianna.
Afton menyeringai. “Tergantung suasana hatiku.”
“Kau akan memasukkan kami berdua ke penjara karena tidak mau
menyetujui pernikahan yang sama-sama tidak kami inginkan?”
“Kaulah yang sepertinya tidak menginginkan pernikahan ini,
Mrs. Paxton,” cetus sang hakim. “Aku bertaruh Mr. Paxton akan setuju untuk
tanda tangan. Kalau dia tanda tangan, dan kau masih memaksakan pertunjukan ini,
aku akan memenjarakanmu dan membiarkan dia pergi ke No Name bersama anaknya
sementara kau tinggal di balik jeruji besi.”
David membuka mulutnya untuk memprotes, lalu menutupnya.
Tapi Brianna benar. Ini tidak sah. Ia tidak berencana untuk memaksa Brianna
menikah dengannya. Ia hanya ingin menjadi bagian dalam hidup putrinya dan
memastikan baik sang ibu maupun anaknya hidup berkecukupan.
Sebelum David bisa memutuskan apa yang akan dilakukannya,
Brianna mendekati meja, mengambil pena, dan dengan penuih amarah menuliskan
namanya di bagian bawah masing-masing dokumen itu. Ketika menegakkan badan,
Brianna melemparkan tatapan yang membara kepada David, tatapan yang bisa
menyulut kayu lembap sekalipun. David hanya ragu sebentar, lalu, dengan
menggeser Daphne di pinggulnya, ia membungkuk untuk membubuhkan tanda tangannya
di bawah tanda tangan Brianna. Bingham menambahkan tanda tangannya sebagai saksi.
Hakim Afton menepukkan capnya ke atas bantalan tinta dan menepukkan cap negara
ke atas kedua kertas itu, membuat pernikahan mereka resmi. Kemudian ia juga
menandatanganinya. Mulutnya melengkung membentuk seringai puas, lalu ia
melambaikan dokumen itu untuk mengeringkan tintanya, melipatnya, dan
menyerahkan satu kepada David.
“Untuk berjaga-jaga, Mr. Paxton,” kata Afton sambil
bersendawa. “Kusarankan kau menjaga dokumen itu dengan baik. Kalau Mrs. Paxton
mendapatkannya, dia pasti akan menghancurkannya.” Ia memandang Brianna dengan
mata yang disipitkan. “Itu akan menjadi tindakan yang bodoh, Madam, karena aku
akan mendaftarkan pernikahan kalian pada senin pagi.” Ia menyimpan dokumen yang
satu lagi di dalam jaketnya. “Sekarang kalian sudah benar-benar menikah. Semua
kesalahan di masa lalu sudah dihapuskan. Bersukacilatah karena pria terhormat
ini telah menjadikanmu istrinya.”
David mengambil semua kertas miliknya dari meja dan
menyimpannya, bersama dengan dokumen pernikahan serta foto tadi, ke dalam tas.
Ia memindahkan Daphne ke pinggulnya yang satu lagi dan menyampirkan tali tas
dari kulit itu ke bahunya. Sebelum David dan Brianna sepenuhnya berputar
meninggalkan meja itu, sang hakim telah menuangkan wiski lagi ke dalam gelasnya
dan mengundang sang marshal untuk bergabung dengannya untuk memainkan beberapa
ronde poker lagi.
David tak bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Dengan
perasaan tidak percaya, ia membawa pengantin wanitanya keluar dari kantor
marshal. Senja telah tiba. Ketika mereka berjalan di serambi kayu, angin dingin
menerjang mereka, membuat Daphne menggigil. Brianna menarik syalnya semakin
erat, bahunya kaku, wajahnya putih pucat dalam cahaya temaram. David
mengharapkan Brianna menghadapinya dan meneriakinya dengan berbagai tuduhan. Ia
pernah mendengar beberapa cerita gila tentang pengadilan yang curang, tapi
tidak pernah mendengar ada hakim yang mengumumkan pernikahan tanpa mengadakan
upacara sama sekali. Sudah pasti pernikahan mereka ini tidak sah. Hell,
Afton bahkan tidak mau susah payah memanggil saksi kedua dari jalan. Tapi ia
tidak akan memberitahu Brianna tentang hal itu.
Yang membuat David takjub, Brianna tidak mengatakan apa-apa.
Tidak sepatah kata pun. David sedang bertanya-tanya tentang hal itu ketika ia
kemudian sadar kebungkaman Brianna mungkin karena kehadiran Daphne. Brianna
tidak ingin membuat anak itu sedih. David menerima isyarat tersebut. Ada
beberapa hal yang juga ingin dikatakannya, yang paling utama adalah Brianna
tidak menyuarakan satu-satunya keberatan yang mungkin akan memiliki kekuatan –bahwa
Brianna tidak bisa menyetujui pernikahan ini, karena kalau Brianna
menyetujuinya, artinya wanita itu melakukan bigami. Menurut perkiraan David,
bungkamnya Brianna adalah bukti terkuat kalau tidak ada David Paxton lain dan
bahwa wanita itu belum pernah menikah sampai beberapa menit yang lalu.
Jadi, sekarang apa? David memiliki perasaan yang sangat aneh
kalau ia telah melewati sebuah garis yang tak kasatmata, meninggalkan kenyataan
di belakangnya. Sah atau tidak, pernikahan ini tetap terjadi, memberinya hak
yang tak bisa diganggu gugat lagi, bukan hanya sebagai ayah Daphne, tapi juga
sebagai suami Brianna. Setidak suka apa pun ia dengan kejadian ini, ia tidak
akan menolak hasilnya. Ia bertekad untuk memperoleh hak asuh putrinya, dan
sekarang hal itu telah diberikan kepadanya.
***
“Mama?” ujar Daphne sedih. “Apakah ini artinya aku tidak
perlu pergi ke pertunjukan di gereka?”
Pertanyaan Daphne menyentakkan Brianna kembali ke saat itu. Pertunjukan
Daphnei. Ia benar-benar lupa. “Tidak, Sayang, tidak!” Ia mengulurkan tangan
untuk menggendong putrinya. “Kita akan kembali ke toko secepatnya dan
bersiap-siap.”
“Aku akan menggendongnya,” kata David. “Kau kelihatannya
sudah mau tumbang.”
Brianna ingin menarik Daphne dari David. Lengkungan puas
bibir David memberitahu Brianna bahwa pria itu yakin sudah menang dan sekarang
punya kendali penuh, tidak hanya terhadap Daphne, tapi atas dirinya juga. Hah!
Masalah ini belum selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar