Home

Selasa, 02 Februari 2021

The Reluctant Viking #2

“Jangan bercanda! Ini sudah keterlaluan, Jack. Beritahu orang bodoh ini untuk melepaskanku. Lelucon ini... atau mimpi... atau apa pun ini, sudah terlalu jauh. Aku mau pulang.”

“Jelaskan tentang ‘Jack’ yang kau bicarakan itu.”

“Itu namamu, Jack. Jack Jordan. Dan aku istrimu, Ruby. Dan aku sudah bosan dengan mimpi sialan ini.”

Air mata membuat leher Ruby tercekat. Mengapa Jack bertingkah seperti ini? Ruby memejamkan matanya rapat-rapat. Ia pasti sudah akan mencubit pipinya sendiri, tapi Olaf masih menahan lengannya ke belakang; jadi, ia menggigit bibir bawahnya hingga merasakan darah, berharap hal itu akan untuk membangunkannya dari mimpi buruk ini.

Tidak berhasil.

Beberapa orang dari kerumunan itu melangkah ke depan untuk mendekati Ruby, memandang dengan takjub pada bibirnya yang berdarah seakan-akan ia memang benar-benar gila. Ia memang gila! Hanya orang gila yang akan berada dalam situasi seperti ini. Mungkin kepergian Jack telah mendorongnya ke tepi jurang kewarasan.

“Bukan, namaku Thork,” ujar pria tiruan Jack itu. “Dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku tidak punya istri, ataupun menginginkan istri. Aku adalah seorang Jomsviking.” Suara Jack yang dalam itu membahana dengan dingin, keras dan jernih kepada seluruh orang yang berkumpul di dermaga itu, yang mengangguk dan tersenyum setuju karena meletakkan wanita itu pada tempatnya.

Orang-orang berbicara dengan campuran aneh dari logat Anglo-Saxson Medieval yang pernah didengarnya di mata kuliah Literatur Inggris dan logat Norse Kuno. Kedua bahasa itu sangat mirip. Anehnya, ia bisa mengerti keduanya dengan baik. Tidak begitu aneh untuk sebuah mimpi, pikirnya.

Sebelum Ruby bisa merespons pernyataan Jack yang mengejutkan, pria itu sudah berjalan mendekatinya dan jari telunjuknya mengusap huruf-huruf di kaus Ruby. Pria itu mengucapkannya dengan lambat dan keras, “Brass Balls,” memandang pria yang berdiri di sampingnya dengan tanda tanya, kemudian kembali kepada Ruby dan menyeringai, rupanya mengerti apa yang dilambangkan oleh kata-kata itu. Beberapa laki-laki terkekeh di belakangnya. Walaupun begitu, rasa gelinya berubah menjadi kemarahan lagi.

“Jadi... kau membawa pesan dari Ivar untuk kami yang mengatakan kalau para laki-lakinya memiliki alat kelamin yang lebih hebat, yang terbuat dari besi?” Thork berbicara dengan cukup keras untuk bisa didengar oleh semua orang. Demi Tuhan! Rubi telah mendarat di tempat semacam Bedlam.

“Kau bisa tahu bagaimana alat kelamin anak buah Ivar dari pengalaman, Wench?” Thork memancingnya dengan sindiran.

“Diamlah, Jack. Kau mempermalukanku.”

Pria itu memegang kembali dagu Ruby yang memar dan meremas, matanya memandang tepat ke mata Ruby. “Thork. Camkan kata-kataku, Wench. Namaku adalah Thork.”

Ruby merengek karena sakit, tapi pria itu tetap tidak melepaskannya.

“Ucapkan namaku.”

Ketika ia menolak, pria itu meremas semakin keras, dan ruby terkesiap, “Thork, dasar kau Jerk! Thork! Thork!”

“Sebaiknya ‘Jerk’ itu sebuah gelar terhormat,” pria itu mengingatkannya.

“Oh, ya, itu artinya mirip seperti ‘lord dan master’.”

Jack terlihat tidak percaya, tapi pria itu melepaskan dagu Ruby dan berbicara kepada kerumunan orang-orang di sekeliling mereka. “Menurutku, Ivar mengirimkan wanita-laki-laki ini untuk menantang kita. Ya, dia memancing kita untuk berperang lagi. Sduah buruk dia mejajah tanah-tanah kita selama kita melakukan a-Viking atau berdagang. Sekarang dia mengirimkan pesan yang menghina ini. Brass Balls! Hah! Bagaimana kalau kita menunjukkan kepada Ivar siapa sebenarnya laki-laki yang paling hebat?”

Sebuah raungan yang terdengar seperti guntur membahana dari kerumunan itu. Ya ampun! Siapa yang pernah mendengar sebuah kaus bisa menyebabkan perang! Ruby berusaha memberitahu mereka kalau mereka salah, tapi tangan Olaf yang bau menutupi mulutnya. Ia menginjak kaki pria itu yang terbungkus sepatu kulit yang lembut, dan yang membuatnya kesal, pria itu bahkan tidak bergeming sedikit pun. Ruby memutar kepalanya dan melihat pria itu menyeringai sembari menyatakan dengan puas, “Bukan Oaf. Olaf.”

Mungkin pria ini tak sebodoh yang disangkanya.

“Kita harus membawa mata-mata ini ke hadapan King Sigtrygg,” ujar Thork. “Biar raja yang memutuskan nasib budak ini, dan apakah kita akan berperang atau tidak dengan Ivar.” Raungan persetujuan lainnya terdengar dari kerumunan.

“Sekarang kau kena batunya,” Rhoda berbisik di telinganya. “Si Mata-Satu Sigtrygg adalah laki-laki yang kejam. Mungkin dia akan memenggal kepalamu. Atau mencungkil matamu. Atau...”

“Berhentilah Rhoda. Kau sudah terlalu banyak membaca tabloid lagi.”

“Ayo, Thrall,” Jack memerintahkan. “Budak-budak yang lainnya tinggal.”

“Memangnya siapa yang kau panggil budak?” protes Ruby, akhirnya berhasil lepas dari cengkraman raksasa itu. “Aku bukan budak... sama seperti kau.”

Jack berani menyeringai padanya. Pria itu sungguh-sungguh menikmati ketidaknyamanan yang dirasakan Ruby. Kemudian pria itu mengejutkan Ruby dengan melingkarkan lengannya, dengan protektif ke bahu Ruby dan berkata, “Jaga lidahmu kalau kau masih senang dengan kepalamu, Sayang. Mereka ini haus darah.”

Sayang! Ruby tersenyum, untuk pertama kalinya dalam hari itu ia memiliki harapan bahwa mereka berdua akan berbaikan. Tapi ia hanya bisa menikmati rasa sayang Jack itu selama sedetik.

“Potong kepalanya sekarang juga,” seorang pria berteriak dengan pilihan waktu yang tepat. “Kirimkan kepalanya kepada Ivar dalam baju yang dipakainya itu.” Ruby memandang Rhoda yang sedang mengangguk, raut wajahnya mengatakan, “Sudah kubilang, kan.”

Orang lain berteriak, “Untuk apa menunggu? Potong kepalanya sekarang. Bisa jadi dia mata-mata. Bahkan, mungkin saja dia kekasih Ivar. Tidak ada cara yang lebih baik lagi untuk mengirimkan pesan!” Kalau gemuruh yang didengar Ruby dari kerumunan itu bisa dijadikan sebagai indikasi, maka banyak orang yang menyukai ide itu.

Mengikuti nalurinya, Ruby menempel lebih dekat dengan Jack. Mengapa pria itu tidak merasa jijik pada gagasan orang-orang itu untuk memancung kapalanya? Ia sudah cukup sering pergi berkenah dengan Jack untuk tahu kalau pria itu bahkan tidak bisa memotong seekor ikan trout tanpa merasa mau muntah. Pria itu seharusnya menjadi kesatria berbaju besinya. Jack seharusn ya menyelamatkannya dengan gagah berani dan membawanya berkuda menuju matahari terbenam. Bukankah seharusnya seperti itu yang terjadi di dalam mimpi?

Sebaliknya, Jack menegaskan dengan nyaring. “Tidak, rajalah yang harus memutuskannya. Mungkin dia akan menunggu pemungutan suara ketika Althing diadakan bulan depan.” Lalu, tanpa aba-aba ia berbalik dan berbicara dengan seorang laki-laki berpakaian mahal yang berdiri di sampingnya. “Selik, kita sudah membuang-buang waktu terlalu lama, padahal aku membawa pesan penting untuk Sigtrygg dari King Athelstan di Wessex... lebih penting dari seorang budak.”

Jack kemudian memandang Ruby sekali lagi dan memegang lengannya, menariknya melewati orang-orang yang mundur untuk memberi jalan bagi mereka. “Aku akan membawa mata-mata ini ke kamarku nanti untuk melakukan pemeriksaan,” katanya dengan tak senonoh sambil mengedipkan matanya kepada orang-orang yang berdiri paling dekat dengannya. “Mungkin wanita dari tempat Ivar ini juga punya bagian tubuh dari besi.”

Para lelaki itu tertawa mendengar lelucon Jack dan beberapa menyarankan dengan cabul agar ia melakukan pemeriksaannya di sana dan di sini. Jack berhenti, lengannya masih menempel dengan protektif di bahu Ruby, dan sepertinya ia benar-benar mempertimbangkan kemungkinan untuk menelanjanginya di tempat umum.

Merasa dipermalukan, Ruby berusaha menendang kaki Thork yang telanjang. Ia sudah tidak lagi memikirkan pria itu sebagai Jack. Jack tidak akan pernah sekejam itu.

Thork tertawa ketika Ruby memukuli dadanya dengan kedua tinjunya, kemudian pria itu mengangkat badan Ruby yang berteriak dan meronta-ronta, dengan ahlinya menggendong Ruby di bahunya, membuat kerumunan tertawa semakin keras. Thork memberi perintah pada seorang laki-laki untuk pergi mendahului mereka ke istana dan dan memberitahu King Sigtrygg tentang kedatangan mereka, lalu kepada seorang lagi untuk pergi ke rumah kakeknya di Northhumbria dan memberitahu kakeknya kalau ia baru akan ke sana besok. Ia memerintahkan satu laki-laki lagi untuk mengawasi pembongkaran muatan kapalnya dan untuk melaporkan kepadanya malam ini.

Ketika ia sudah meletakkan Ruby dengan aman di bahunya seperti sekarung tepung, Ruby menggigit bahu pria itu untuk untuk menarik perhatiannya. Sambil terkekeh senang, Thork memukul bokong Ruby yang melengkung dengan menggoda di bahunya, dan ia membiarkan tangannya di sana, menggosok bokong Ruby dengan gerakan memutar yang intim. Ruby bisa merasakan wajahnya bersemu, dan itu bukan hanya karena dirinya bergantung dengan kepala ke bawah.

Laki-laki kurang ajar itu mendapatkan teriakan persetujuan dari lagi ketika ia berkata kepada teman-temannya, “Mungkin perempuan dari tempat Ivar ini memang memiliki bagian-bagian tubuh yang terbuat dari besi. Bokongnya sama kurusnya dengan kelinci yang kelaparan di musim dingin.”

Pria itu akan membayarnya, Ruby bersumpah di dalam hati sementara Thork membawanya menjauh. Entah bagaimana, ia akan menemukan jalan untuk membalas perlakuan pria ini.

***

 

Yeah, tapi bisakah orang Viking mencium seperti Kevin Costner?...

“Ivar itu keji, tapi tidak bodoh. Dia tidak akan pernah mengirimkan seorang wanita tolol untuk menjadi mata-mata,” kata Thork dengan empati, melirik ke bahunya untuk memandang Ruby yang kepalanya membentur-bentur punggungnya seiring dengan setiap langkah panjangnya. “Demi nama Odin, siapa sebenarnya kau ini?”

“Tolol!” protes Ruby, tapi kata-katanya yang keluar terdengar tidak jelas, mengingat posisinya saat itu.

Sebuah benda tajam menekan pinggang Ruby dan ia agak bergeser, sebaik yang ia bisa, agar lepas dari tekanan itu. Ruby memutar kepalanya ke samping dan melihat ke atas dengan kikuk, dan ia melihat sebuah bros yang ditempa dengan rumit yang menyatukan kedua ujung dari sebuah mantel pundak pendek. Desain bros itu menggambarkan seekor binatang yang menggeliat dengan tungkai yang meliuk aneh. Sudah pasti itu bukan coyote. Karena kalau iya, akan ada banyak sekali kebetulan yang terjadi di sini. Bukan, mungkin itu serigala. Dan bros itu sepertinya terbuat dari emas murni! Karena tak bisa melihatnya lebih dekat lagi, Ruby menjatuhkan kepalanya ke bawah, menempelkan pipinya ke lekukan pinggang belakang Thork. Kulitnya meremang bahkan oleh sentuhan ringan itu. Keharuman musk dari kulit pria itu, yang sudah tak asing lagi, menenangkan perasaannya yang terguncang.

Olaf dan dua laki-laki lain berjalan di samping Thork, berbagi pendapat yang sama kalau Ruby tidak mungkin seorang mata-mata. Semua setuju kalau Sigtrygg haruslah menjadi penentu terakhir nasib ruby tapi mereka bertanya-tanya bagaimana pria itu akan bereaksi ketika mendengar, bahkan hanya kemungkinan, kalau Ivar, musuh bebuyutannya, memasuki Jorvik. Dalam suara pelan dan waspada, mereka juga memberitahu thork mengenai peristiwa-peristiwa terbaru Jorvik.

“Sigtrygg sudah mengharapkan kedatanganmu selama seminggu ini. Kami semua sudah menderita akibat kemarahannya,” keluh seorang laki-laki muda dengan rambut pirang perak yang tadi dipanggil Thork sebagai Selik. Bahkan dari posisinya, Ruby bisa melihat kalau pria yang teramat tampan itu, hampir cantik, menarik kekaguman dari para wanita yang mereka lewati.

Thork memaki dengan keras menggunakan bahasa Anglo-Saxson yang bertahan bahkan hingga ke abad dua puluh satu.

“Sigtrygg sudah tidak sabar lagi untuk pulang ke Dublin dan mengklaim kembali takhtanya dari sepupunya, Godfred,” Selik menambahkan. “Semua orang yang ada di istana itu terkena amukan kemarahannya sementara dia menunggumu.”

“Jadi Sigtrygg masih mengharapkan terbentuknya kerajaan Northumbrian-Irish?” tanya Thork.

“Ya, dan lebih lagi. Dia tidak bisa mengerti kenapa orang-orang Saxson menghancurkan tanah kita sementara dia dan sepupu-sepupunya ribut soal kekuatan di antara kedua negara itu,” jawab Selik.

Olaf menambahkan, “Dia berusaha untuk memaksakan pemerintahan pagan pada suku Dane Kristen yang sudah tinggal di sini selama beberapa generasi dan sudah tidak peduli lagi pada  cara-cara lama.”

“Kuberitahu padamu, Thork, ketika Viking bertempur melawan Viking, orang-orang Saxson sialan itu akan menjadi pemenangnya,” Selik menegaskan dengan berapi-api.

“Aku bisa mengerti sekarang kenapa Sigtrygg mendidih,” ujar Thork, “dan sepertinya ada banyak yang harus ditakuti oleh wanita yang ada bersama kita kalau raja kita semarah itu.” Ia memukul bokong Ruby dengan keras, mengembalikan semua perhatian orang kepadanya.

“Itu tergantung pada suasana hati Sigtrygg,” ujar Olaf terus terang, sambil mengangkat bahunya dengan tidak peduli. “Kalau suasana hatinya sedang kejam, dia tidak akan lama-lama berpikir, kemungkinan besar dia akan memenggalnya di tempat. Atau mungkin menguliti semuda kulit dari tubuhnya hanya untuk menghibur dirinya sendiri.”

Memenggalnya! Mengulitinya! Untuk menghibur dirinya sendiri! Perut Ruby bergolak.

“Atau membuatnya mengangkang dan menidurinya kalau dia menyukai wanita ini,” Selik menambahkan dengan kekehan tak senonoh, “atau memperlakukannya seperti laki-laki, seperti tampangnya itu.”

“Demi Thor! Perutnya terlalu gendut dan aku yakin, dia tidak peduli apakah wanita ini cantik atau jelek,” Thork menambahkan dengan blak-nlakan. Terdengar tawa dari suaranya yang dalam. “Sigtrygg bisa menjadi laki-laki meskipun saat menghadapi wanita aneh!”

“Kubulang itu karena dia pejuang yang liar. Liar di pertempuran, liar di tempat tidur, atau begitulah yang kudengar,” Selik memotong dengan cabul. “Tapi walaupun begitu, aku tidak bisa membayangkan Sigtrygg tertarik pada burung kurus ini.”

Thork tertawa dan mencubit bokong Ruby untuk menghentikan protes apa pun yang sedang dipikirkannya saat itu. “Tapi kau lupa, Selik, raja kita senang dengan hal yang aneh-aneh. Apa kau sudah dengar tentang malam itu, ketika Sigtrygg...”

Para pria itu tertawa berwama-sama ketika Thork selesai menceritakan hal itu, yang melibatkan seorang biarawati, tali dan berbagai macam bulu.

Ruby tidak tertawa. Bisa jadi Thork mengarang cerita cabul untuk memperingatkannya sebelum ia bertemu dengan sang raja. Ia meninju punggung pria itu dengan harapan akan menghentikan tawanya, hanya untuk menghadapi kegagalan. Rasanya seperti memukul dinding batu bata.

Kemudian Thork menjadi serius, berkata pelan dengan suara berbisik, “Sebenarnya, suasana hati Sigtrygg pasti akan membaik setelah dia mendengar berita dariku.” Ia sengaja berhenti untuk mendapatkan perhatian penuh dari teman-temannya. “King Althestan akan memperkuat aliansi antara Wessex dan Northumbria dengan mengawinkan adik perempuannya dengan pemimpin kita.”

Awalnya, pernyataan itu hanya dijawab dengan keheningan. Kemudian mereka semua memprotes bersama.

“Kurang ajar!”

“Berani orang Saxon itu!”

“Permintaannya itu pasti tipuan! Kenapa raja itu mau membiarkan darahnya bercampur darah anjing penyembah berhala? Seperti itulah orang-orang Saxon itu memanggil kita bangsa Viking, dan lebih buruk lagi.”

Setelah mereka semua mengeluarkan kekhawatiran mereka, Selik berkata, “Yang kudengar, raja Saxon itu sangat tampan. Kau sudah melihat adiknya? Menurutmu, apakah dia cantik... atau kurus dan berwajah-kuda seperti wanita-wanita Saxon lainnya?”

Thork tertawa mendengar alur pikir Selik yang sederhana. “Apa bedanya? Sigtrygg kita yang haus akan kekuasaan itu bahkan akan menikahi babi sekalipun jika babi itu bisa memberinya lebih banyak wilayah.”

“Jadi, menurutmu pernikahan antar kerajaan ini akan terjadi?”

“Itu masih belum pasti, Olaf, tapi aku tidak percaya kepada orang-orang Saxon itu... bahkan Athelstan yang bisa dibilang lebih jujur dibandingkan kebayakan orang-orang Saxon lain. Beberapa orang mengatakan kalau dia mengikuti jalan yang sama dengan kakeknya, yang dipanggil ‘Good Alfred.’ Tetap saja, akan lebih bijaksana kalau Sigtrygg tidak tergesa-gesa... dan lebih berhati-hati.”

Semuanya setuju. Kemudian Thork berpaling kepada seorang pria lain, yang belum berbicara sama sekali dari tadi. “Apa yang kau pikirkan, Cnut?”

Ruby menjulurkan lehernya untuk melihat orang itu.

Pria yang lebih tua itu berbicara dengan lambat, dengan otoritas. “Orang-orang Saxon itu mengajarkan pada kita tentang pengkhianatan. Para bajingan rakus itu telah mengingkari Danelaw. Dua puluh tahun yang lalu, aku ikut berdiri dengan Guthorm ketika King Alfred setuju pada batas antara Viking dan Inggris Saxon yang didasarkan pada Danelaw.”

Ketiga pria lainnya tidak mengatakan apa pun, membiarkan Cnut melanjutkan kata-katanya.

“Wilayah kita waktu itu sepanjang Sungai Thames hingga ke London, sepanjang Lea hingga ke sumbernya, berlanjut ke Bedford, lalu sepanjang Sungai Ouse hingga ke Wetl;ing Street,” Cnut melanjutkan, “tapi apa yang kita miliki sekarang? Hanya Northumbria, dengan Jorviks sebagai pusat kita! Sebesar kencing semut di tengah sarang lebah!”

Ruby mendengar pria itu menelan ludah untuk menekankan kata-katanya, kemudian menambahkan, “Bahkan setelah itu pun, mereka masih iri pada kita. “Lima Sektor’ yang kita buat... Lincoln, Nottingham, Derby, Leicester, dan Stamford... semuanya diambil. Mungkin kau sudah lupa dengan semua kebohongan dan kelicikan mereka, Thork, tapi camkan kata-kataku, tak lama lagi akan ada penumpahan darah... mereka menikah atau tidak.”

Ruby menginterupsi mereka; ia tak bisa menunggu lebih lama lagi.

“Thork, turunkan aku. Aku mau muntah.”

Thork mengabaikan permintaan Ruby dan terus mengobrol dengan rekan-rekannya sambil berjalan melalui kota tua yang dipagari itu, di sepanjang jalan-jalan sempit yang hiruk pikuk. Bahkan dari sudut pandangnya yang tebalik, Ruby melihat orang-orang Viking yang mereka lewati menoleh dari sekali melihat tontonan yang diberikannya kepada orang-orang itu. Kepangan rambut pirang yang panjang berayun ketika gadis-gadis muda berputar dengan cepat. Kumis-kumis berkedut di wajah para pria yang berjanggut.

Berbagai aroma dan suara dari pasar yang ramai itu menyerang indra-indra ruby. Lonceng gereja berdentang menunjukkan sekarang sudah tengah hari. Lonceng gereja? Di kota Viking? Aneh sekali!

Babi dan ayam mengeluarkan suara hiruk pikuk dari dalam kandang mereka. Kereta-kereta dengan roda dari kayu yang dipenuhi dengan hasil pertanian bergemuruh melewati mereka. Para penjaja berteriak menjual dagangan mereka. Bau kotoran, ikan, kulit yang dijemur dan kuda bercampur dengan angin sepoi-sepoi yang bertiup dari sungai. Ruby benar-benar merasa mual sekarang. Ia mulai mengeluarkan suara mau muntah.

“Jangan berani-beraninya kau muntah,” Thork yang tiba-tiba waspada memperingatkan dan dengan cepat membiarkannya untuk meluncur turun ke tanah. Lutut Ruby yang goyah tak mampu menahan berat tubuhnya, dan Thork menahannya dengan memegang bahunya.

“Demi Thor! Kau terlihat pucat. Apakah kau sakit?”

Ruby ingin mengatakan sesuatu yang terdengar sarkastik, tapi tenggorokannya tersumbat. Thork pasti melihat sesuatu yang salah di wajahnya karena pria itu menariknya ke tepi jalan agar orang-orang di belakang mereka bisa lewat. Kemudian ia menyuruh teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan mereka ke istana, memberitahu mereka kalau ia dan Ruby akan segera menyusul.

“Tarik napas dalam-dalam,” Thork menyarankan dengan suara, yang membuat Ruby terkejut, lembut, yang sangat aneh mengingat sikap pria itu sebelumnya. Thork memegang tangan Ruby dan membawanya menuju sungai yang mengalir di balik bangunan yang berbaris rapi di sepanjang jalan yang sibuk itu, begitu saling berdekatannya sampai-sampai pinggiran atap mereka hampir bertemu di tengah jalan yang sempit itu.

Atap jerami yang melapisi bangunan persegi yang terbuat dari wattle dan daub- ranting-ranting dijalin secara horizontal dan diisi dengan tanah liat, jerami dan rambut, kemudian diplester. Halaman belakang memanjang hingga ke sungai, dipisahkan dari tetangga mereka dengan tiang dan pagar. Para pengrajin bekerja dan menjual karya mereka di atas meja yang didirikan di bawah naungan di depan rumah mereka, seperti sebuah pasar loak raksasa.

“Apakah itu rumah atau toko?”

Thork menarik Ruby di sampingnya, dengan tangannya yang besar masih memegang tangan Ruby dengan erat, ketika mereka semakin mendekati sungai.

“Dua-duanya. Ada banyak seniman dan pedagang yang tinggal dan berjualan di Coppergate. Bangunan-bangunan ini adalah rumah, bengkel, sekaligus toko. Dari tempat asalmu... apakah tidak sama seperti ini?”

Ruby menyadari mata Thork yang menusuk sedikit menyipit ketika ia menanyakan hal itu dan tahu kalau ada motif di balik keramahannya. Pria itu menginginkan informasi darinya.

“Dan ini?” tanya Ruby, tidak mengacuhkan pertanyaan pria itu tentang rumahnya dan menunjuk ke sungai yang mengalir di dekat kaki mereka. Ia sudah merasa lebih baik sekarang walaupun perutnya masih bergolak karena gugup.

“sungai Ouse, sungai pasang surut. Air sungai ini berasal dari Laut Utara melalui Sungai Humber,” jelas Thork, menunjuk ke kapal-kapal yang bergerak dengan anggun ke arah pelabuhan. Pria itu menjawab pertanyaannya dengan ramah, tapi Ruby sudah mengenal pria ini terlalu lama untuk merasakan ketidaksabaran yang tersimpan di balik nada bicaranya yang datar.

Dengan gerakan anggun, Thork duduk di atas sebuah batu besar dan memberi tanda dengan sentakan kepalanya agar Ruby bergabung dengannya. Ruby berusaha keras untuk menelan ludahnya ketika kakinya bergesekan dengan paha pria itu yang berotot dan hangat. Kedekatan mereka menyulut perasaan yang sudah lama tertidur di dalam diri Ruby.

Mata pria itu menyipit, mengamatinya dengan penuh penilaian. Ruby hampir bisa melihat otak pria itu berputar. Kalau Ruby memang seorang mata-mata, apakah pria itu sungguh-sungguh berpikir kalau ia akan memuntahkan semua rahasianya dengan semudah itu? Mungkin.

“Apakah kau tidak tahu tentang Ouse? Sungai ini juga mengalir di wilayah Ivar, bukan?”

Thork menyelidiki terang-terangan.

Ruby memutuskan untuk bersenang-senang dengan orang Viking yang terlalu curiga ini. “Aku benar-benar tidak tahu. Satu-satunya sungai yang ada di dekatku adalah Mississippi.” Kemudian ia menutup mulut dengan tangannya seakan-akan ia baru saja menyingkapkan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakannya.

“Sungai Missi... Missis... terserah apa pun yang kau katakan!” seru Thork. “Ya Tuhan! Aku tidak pernah mendengarnya.”

“Benarkah? Itu salah satu sungai terbesar di dunia. Menurutku siapa pun pasti sudah pernah mendengarnya.” Ruby mengedip-ngedipkan bulu matanya dengan polos ke arah Thork.

Ya Tuhan, Thork laki-laki yang tampan –bahkan lebih tampan dari Jack ketika suaminya seusia pria ini! Selama beberapa detik Ruby tenggelam dalam lamunan manis dan ia mendesah. Berbagai bayangan berkelebat di benaknya. Jack mengenakan tuksedo putih di malam perpisahan SMU mereka. Jack dengan tuksedo hitam di hari pernikahan mereka. Jack telanjang pada malam pernikahan mereka.

Wajah Ruby memerah membayangkan semua itu. Ia masih belum bisa memikirkan Jack dan apa arti kepergian suaminya itu bagi hidupnya. Nanti. Ia akan memikirkan tentang Jack nanti ketika ia sudah lebih kuat, lebih bisa mengendalikan emosinya, lebih baik dalam mengatasi kesedihan yang dirasakannya.

Tapi kemiripan antara Thork dan Jack membuat Ruby bingung. Garis-garis tajam di wajah Thork yang coklat terbakar sinar matahari sama dengan milik suaminya, walaupun rambut Thork berkilauan seperti emas putih di bawah sinar matahari, tak diragukan lagi karena berhari-hari terpapar sinar matahari di atas kapal. Bahkan senyumnya yang meluluhkan, yang memperlihatkan gigi-gigi putih dan besar, sama sampai ke gigi serinya yang agak bengkok. Satu-satunya perbedaan adalah badan Thork yang lebih berotot, mungkin diperkuat oleh kebutuhannya untuk selalu siap bertempur, dan sebuah luka jelek yang memotong alis kanannya.

Jari-jari ruby terasa gatal ingin menyentuh tubuh pria itu yang sekeras batu, untuk memeriksa perbedaan itu –dengan intim. Tubuh Ruby menggigil nikmat membayangkan prospek yang menggoda itu, dan tanpa berpikir, ia mengeluarkannya dalam bisikan, “Kau membuatku tak bisa bernapas.”

Yang membuat Ruby takut, Thork mengangkat satu alisnya dengan ekspresi bertanya, sepenuhnya mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ruby. Ya Tuhan! Mulutnya menganga memandang pria itu, seperti gadis remaja dengan hormon berlimpah. Dengan angkuh, pria itu mengedip padanya. Sialan! Mungkin selama ini semua wanita pingsan melihat Thork.

Tepat ketika Ruby akan memalingkan wajahnya karena malu, Thork mengangkat tangan kirinya untuk menyingkirkan daun yang tertiup ke wajahnya, dan Ruby tersentak. Jari kelingking pria itu tidak ada.

Ruby memegang tangan itu dan dengan lembut menyentuh tempat di mana seharusnya jari kelingking itu berada. “Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa kehilangan jarimu?”

Thork mengangkat bahunya. “Saudara tiriku Eric yang memotongnya ketika aku berumur lima tahun. Sasarannya adalah alat kelaminku, tapi dari dulu dia memang bukan pemain pedang yang bagus.” Pria itu menyeringai melihat kekagetan di wajah Ruby tapi matanya mengatakan kisah lain yang sarat dengan kepedihan. “Eric Bloodaxe, begitu mereka menyebutnya. Tepat, bukan?”

“Oh, Thork, itu sungguh menyedihkan!”

Kepedulian Ruby membuatnya terkejut, dan Thork memandang wanita itu dengan curiga, lalu menyentuh luka di wajahnya. “Dia juga tidak berhasil dalam mencungkil mataku. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang itu sudah tidak penting lagi.”

Ruby mengamati Thork, dan hatinya terasa sakit oleh penderitaan yang ditanggung pria itu. Ia ingin sekali menghiburnya, menjauhkan kenangan masa kecilnya yang buruk. Terkurung dalam kenangan buruk itu, sesaat raut wajah Thork berubah menjadi suram. Sempat terpikir oleh Ruby kalau mungkin, hanya mungkin, ia telah diberikan kesempatan untuk membuka lembaran baru dengan Jack di dalam mimpi ini, atau khayalan, atau apa pun situasinya saat ini. Pasti akan sangat menyenangkan memulai kembali hubungannya dengan Jack, setelah mengetahui apa yang dilakukannya hari ini! Ia bisa menghindari semua kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi. Ia bisa menonjolkan semua hal baik dan memanfaatkannya.

Kesempatan kedua! Bukankah itu isi doanya sebelum ia kembali ke masa lalu?

Sambil memandang wajah Thork dengan bertanya-tanya, Ruby mempertimbangkan untuk merayu pria Viking galak ini untuk mencerahkan suasana hatinya, seperti yang biasa dilakukannya dengan Jack. Sebenarnya, sudah sangat lama sekali ia tidak menggoda Jack. Mungkin itu salah satu masalah mereka. Ia mengamati Thork melalui matanya yang setengah terpejam dan menyeringai nakal. Masalah mimpi ini mungkin bisa menjadi menarik.

“Apakah kau pernah mendengar tentang Kevin Costner?” tanya Ruby tiba-tiba dengan suara pelan, berharap ia tidak akan kehilangan keberaniannya.

“Siapa?”

“Lupakan saja. Itu tidak penting. Aku hanya bertanya-tanya... bagaimana pendapatmu tentang ciuman yang panjang, lambat, dalam, lembut dan basah yang bertahan selama tiga hari?” tanya Ruby dengan berani.

Ucapannya mendapatkan perhatian pria itu!

Ruby mengenali gairah yang menyala di mata biru Thork sebelum pria itu sempat menutupinya, tapi tidak bisa menyembunyikan matanya yang berkedip-kedip dengan cepat karena terkejut. Thork membuka mulutnya seolah-olah akan mengatakan sesuatu, menutupnya, menelan ludah, kemudian tiba-tiba saja berdiri. Ia dan Jack sudah pernah melihat film Kevin Costner bersama-sama. Kata-kata di film itu telah membuat mereka berdua terangsang. Dengan satu lirikan saja, Ruby melihat Thork tidak jauh berbeda.

Mata mereka terkunci. Sadar penuh akan pengamatan Thork, dengan tidak sadar Ruby membuka bibirnya sebagai unddangan yang tak terucapkan.

Tapi Thork mengabaikan godaan dari bibir itu ketika ia mendapatkan kembali ketenangannya dan berkata blak-blakan. “Kalimat yang bagus untuk seorang pelacur. Siapa kau sebenarnya, seoang pelacur? Kalau benar, sebutkan hargamu.” Pria itu berdiri dan berjalan mondar-mandir, tenggelam dalam pikirannya sebelum mengonfrontasi Ruby lagi. “Walaupun begitu, kau mungkin benar-benar seorang mata-mata,” ia menyimpulkan dengan mata menyipit. “Satu hal yang pasti, kurasa kau menganggap situasi ini terlalu ringan dan berharap bisa mengalihkan perhatianku. Hidupmu sedang dalam bahaya, Wench, dan kau membicarakan tentang... tentang...”

“Ciuman?” Ruby menyelesaikannya tanpa malu-malu. “Apakah kalian orang Viking tidak berciuman?”

Wajah Thork memerah. Pria itu benar-benar bersemu. Ruby menyukainya.

“Kamu suka berciuman,” bisik Thork dengan suara serak. Tiba-tiba sadar akan permainan Ruby, Thork melengkungkan bibirnya dengan sensual ketika menawarkan, “Mungkin kau mau sebuah demonstrasi?”

Jelas sekali pria itu mengira ia akan mundur. Sebaliknya, Ruby memutuskan untuk mengikuti permainan itu. “Mungkin. Tentu saja, pasti kau tidak akan tertarik mencium wanita dengan bokong-kurus seperti aku.Begitu, kan, kau menyebutku?”

Thork tersenyum mengundang, kemudian memandang dengan terpesona ketika dengan lambat Ruby membasahi bibirnya yang mendadak kering dengan ujung lidahnya. Thork mendekatinya, dan Ruby mengira Thork akan menciumnya, jadi, dengan refleks ia membuka bibirnya. Namun Thork hanya menahan bibirnya tepat di depan bibir Ruby, begitu dekat sehingga ia bisa merasakan napas pria itu, dan Thork meniup bibirnya, menjadikannya kering lagi.

Seluruh indra di tubuh Ruby tersentak. Sensualitas thork telah menyalakan api di tubuh bagian bawah Ruby, yang melompat-lompat ke bagian-bagian yang hanya pernah disentuh oleh Jack selama ini. Terbelenggu oleh kedekatan yang memabukkan itu dan aroma maskulin yang selama ini hanya dirasakannya dari Jack, Ruby mencondongkan badannya ke depan, jantungnya berdebar kencang, memainkan alunan nada yang mengiringi denyut nadi di leher Thork. Ruby mengenali gairah yang sudah berbulan-bulan tidak dirasakan dengan Jack.

Tapi thork dengan cepat menyentakkan Ruby keluar dari bayangan nakalnya ketika pria itu menyentuh pipi Ruby dengan bibir hangatnya, kemudian membisikkan jawaban atas komentar sebelumnya ke telinga Ruby, “Bukan bokong kurusmu yang membuatku tidak mau menciummu.”

Awalnya, otak Ruby yang kacau tidak memahami kata-kata yang menghina itu. Tiba-tiba Ruby mundur ketika kewarasannya kembali menyadarkannya.

Thork melanjutkan komentarnya yang menghina itu dengan mengedipkan matanya. Dasar kurang ajar!

Satu-satunya obat bagi harga diri Ruby yang terluka adalah fakta kalau Thork tak bisa menyembunyikan reaksi maskulinnya yang sangat nyata terhadap dirinya.

“Oh! Kau memang kasar.”

Thork memiringkan kepalanya dengan bingung. “Cara bicaramu... aneh. Bukan Saxon. Ataupun Norman.” Kebulatan tekad mengubah ekspresi serius di wajahnya, kemudian pria itu memperingatkan Ruby, “Sebelum hari ini berakhir, aku akan mengetahui keseluruhan ceritamu, kalau tidak...”

Ia menarik Ruby hingga berdiri dan mengakhiri percakapan mereka. “Sucah cukup kebodohan ini! Sudah terlalu banyak waktu yang kuhabiskan untuk ornag sepertimu. Aku punya urusan penting yang harus kusampaikan kepada rajaku. Ceritakan kisahmu kepadaku... atau beritahu Sigtrygg. Tak banyak bedanya untukku.”

“Aku akan memberitahumu, tapi aku tidak tahu apakah kau akan percaya kepadaku.”

Wajah pria itu memperlihatkan ketertarikan namun waspada, tapi hanya itu, tidak lebih.

“Thork, ini adalah mimpi,” Ruby menjelaskan dengan hati-hati.

Thork menatapnya, menunggu kelanjutannya. Ketika Ruby tetap diam, pria itu mendesis jijik dan berbalik untuk pergi. “Hanya itu? Itu penjelasanmu? Cukup! Kita pergi ke tempat Sigtrygg di mana aku akan menyingkirkanmu.”

“Thork, dengarkan aku,” Ruby memohon, menarik lengan pria itu ketika ia menyadari betapa pentingnya pengertian pria itu kalau mereka pergi ke istana. Tubuh Thork kaku, tidak bergeming sedikit pun, tapi Ruby tetap saja melanjutkan. “Thork, aku datang dari masa depan, tahun 2011. Aku tahu, aku tahu. Itu terdengar tak masuk akal. Itu memang tidak masuk akal. Tapi ini hanya mimpi.”

Mata Thork membelalak kaget mendengar ceritanya yang menyedihkan. Ketika Ruby tidak menjelaskan lebih lanjut, Thork berseru dengan gusar, “Kau sungguh-sungguh keterlaluan berusaha menipuku seperti itu. Apakah kau sebegitu bodohnya sampai-sampai alasan terbaik yang bisa kau sampaikan mengenai kehadiranmu di tanah kami adalah mimpi? Mimpi! Masa depan!” Thork melemparkan pandangan mencemooh dan tertawa mengejek. “Untung kau tidak mengatakan itu di pelabuhan tadi. Kalau tidak, kau pasti sudah menjadi makanan burung pemakan bangkai sekarang ini.”

“Kau harus percaya padaku, Thork,” ruby mendesaknya, berbicara dengan cepat untuk menahan pria itu dan memastikan ia mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan semuanya. “Di masa depan, namamu adalah Jack dan kau suamiku. Malahan, kita sudah menikah selama dua tahun... benar, kita dulu memiliki pernikahan yang bahagia sampai belakangan ini. Kau meninggalkanku hari ini. Dan karena itulah semua ini terjadi. Paling tidak, kupikir itulah alasannya kenapa ini terjadi.”

Awalnya, Thork terlihat meragukan cerita Ruby yang tak masuk akal itu, kemudian pipinya memerah karena amarah yang mendidih secara perlahan.

Ruby buru-buru menyelesaikan penjelasannya yang terbata-bata. “Aku sangat marah ketika kau pergi... memikirkan pernikahan yang sudah kita bina selama dua puluh tahun berakhir. Aku sedang menangis, berharap aku dua puluh tahun lebih muda dan bisa memulai segalanya dari awal lagi.” Ia mengangkat tangannya dengan tak berdaya. “Dan... dan kurasa harapanku terkabul, kecuali apakah aku sudah memberitahu? Aku dua puluh tahun lebih muda. Bagaimanapun juga, harapanku terkabul, tapi aku sama sekali tidak berharap untuk mundur lebih dari seribu tahun.

“Yang anehnya, walaupun semua ini terasa nyata; tapi aku tahu kalau ini pasti mimpi... atau sesuatu yang seperti itu.” Ruby mendongak untuk memandang Thork dengan penuh harap ketika menyelesaikan kata-katanya.

“Dua... dua puluh tahu pernikahan!” sembur Thork. Ruby bisa melihat ketidaksabaran laki-laki itu berkembang menjadi kemarahan. “Seumur hidupku, aku hanya pernah melihat dua puluh sembilan kali musim dingin. Kau mungkin bermimpi, tapi, percayalah padaku, aku tidak bermimpi. Aku bersumpah demi palu thor, Mjollnir, kalau aku hidup dan berdiri di sini, bukan  di dalam mimpi terkutuk. Jelaskan itu. Dan apa yang membuatmu berpikir aku akan percaya cerita seperti itu? Apakah aku kelihatan seperti orang bodoh bagimu?”

“Jack... Thork, itu yang sebenarnya. Kita sudah menikah. Kita punya dua anak yang tampan. Tak bisakah kau merasakan ikatan di antara kita?”

“Ikatan? Hah! Seutas benang pun tidak!”

Thork mencengkram lengan atas ruby, mengangkat ruby ke arahnya sehingga wajah ruby sejajar dengan wajahnya. “Kau benar-benar berani untuk mencoba membohongiku,” katanya melalui gigi yang terkatup. “Aku sudah memberitahumu satu jam yang lalu dan akan mengulanginya sekali lagi untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak punya istri. Tidak pernah melihatmu sebelum hari ini, ataupun peduli apakah aku akan pernah melihatmu lagi. Dengan sukarela, bukan, dengan senang hati aku akan meletakkan nasibmu ke tangan orang lain sebelum hari ini berakhir. Walaupun begitu, aku akan memperingatkanmu, Wench, sampaikan ceritamu ini kepada Sigtrygg dan yakinlah, hasilnya akan sangat buruk.” Rasa jijik di dalam suara Thork yang kasar mengatakan kepada Ruby kalau pria ini tidak menerima argumen apa pun.

Thork memegang tangan kiri Ruby dan menariknya menyusuri jalan yang masih ramai itu menuju Istana Norse. Bisa dibilang pria itu berasap karena marah. Ruby tahu ia telah merusak ceritanya tapi tak yakin bagaimana ia bisa melakukannya dengan lebih baik, mengingat keadaannya yang luar biasa. Tapi ia masih harus mencoba lagi.

“Bagaimana kalau aku bisa membuktikannya?”

Thork mengabaikan pertanyaan itu dan menarik ruby di belakangnya dengan langkah lebar.

“Bagaimana kalau aku bisa membuktikannya?” ulang Ruby dengan nyaring.

Thork mendadak menghentikan langkahnya dan Ruby tersandung. Tangan kanan pria itu masih memegang tangan kiri Ruby dengan kuat.

“Maafkan aku, Odin,” kata Thork sambil memandang ke langit, kemudian berpaling kepada ruby. “Aku membenci diriku sendiri karena bertanya padamu, tapi apa yang bisa kau buktikan?”

Well...wel...,” Ruby tergagap, belum memikirkannya sejauh itu. Kkamudian wajahnya menjadi cerah dan ia berkata, “...membuktikan kalau kau adalah suamiku.”

“Cobalah!” Thork mengembuskan napasnya dengan jijik, kemudian melepaskan Ruby dan meletakkan kedua tangannya di pinggulnya.

Ruby menahan napasnya dan bertanya dengan penuh harap, “Apakah kau masih punya tahi lalat di paha atasmu?” Thork menyipitkan matanya tapi tidak sebelum Ruby bisa melihat keterkejutan di matanya yang biru.

“Tahi lalat bukan hal yang aneh. Kata-katamu itu tidak dapat membuktikan apa pun.”

“Tidak? Well, kupikir tahi lalatmu seharusnya ada di sekitar sini,” kata Ruby menyentuh bagian dalam paha pria itu, hampir di selangkangannya.

Thork tampak terguncang oleh gerakan berani itu dan melirik dari paha ke wajah Ruby dengan bingung. Ekspresi tercengang pria itu membuktikan ketepatan kata-katanya. Tahi lalat itu berada tepat di tempat yang dikatakannya.


Sinopsis

 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar