Jumat, 10 Januari 2020

The Reluctant Viking #1


 Apakah ada yang bisa menyebutkan Norman Vincent Pealesson?...

“Ini adalah ceramah pertama dalam seri ‘Mind Over Matter.’ Sebelum kita mulai, bersihkan kepala Anda dari semua hal-hal yang tidak perlu. Bayangkan diri Anda melayang di awan, jauh dari bumi... melayang... melayang...”


“Dasar CD bodoh!” maki Ruby Jordan dengan keras sambil menderapkan kakinya ke dalam ruang kerja suaminya untuk mematikan mesin itu. Rhoda, tukang bersih-bersihnya yang konyol, kemungkinan telah menyentuh tombol-tombol di mesin yang rumit itu ketika ia membersihkan ruangan itu.

Sakit kepala terasa memukul-mukul di belakang mata Ruby, dan ia tahu rasa sakit itu akan semakin parah sebelum Jack pulang ke rumah. Apakah akan ada pertengkaran lagi?

Ruby langsung berhenti ketika ia melihat Jack sedang memilih beberapa CD motivasi bisnisnya dan memasukkannya ke dalam koper.

“Aku tidak tahu kau sudah pulang. Kenapa kau tidak...”

“Jangan memulainya lagi, Rube,” Jack Gordon memotong kata-kata istrinya dengan peringatan tersirat dalam suaranya yang dalam. Aku sudah muak dengan semua pertengkaran kita.” Jack membuat gerakan menggorok leher dengan telunjuknya untuk menekankan maksudnya.

“Aku juga,” bisik Ruby, kemudian menyadari koper-koper suaminya telah berjejer di samping pintu. Jadi, Jack benar-benar akan pergi. Ia sudah meramalkan hal itu selama berminggu-minggu, tapi tetap saja air mata mulai menggenang di matanya.

“Jack, apakah kau yakin ini yang kau inginkan?” Sudah berapa kali ia menanyakan pertanyaan itu selama dua minggu terakhir ini? Bodoh sekali ia karena berpikir jawaban yang didapatkannya kali ini akan berbeda!

Jack menegakkan badannya yang awalnya membungkuk di atas pemutar CD, mematikan mesin itu dan mengucek matanya sebelum melemparkan tatapan tidak sabar kepada Ruby. Ia masih mengenakan setelan jas biru tua yang dipakainya tadi pagi.

Ruby tahu kalau hantaman resesi terhadap pasar real-estate telah membuat suaminya melalui masa-masa sulit setahun belakangan ini. Bahkan, mereka pernah harus menggunakan gaji Ruby untuk membayar semua tagihan mereka di bulan itu –sebuah pukulan telak bagi ego suaminya. Sekarang bahu lebar Jack merosot dengan kesedihan dan rasa lelah. Pria itu mungkin belum makan seharian ini. Sejenak, hati Ruby melembut dan ia hampir saja menawarkan diri untuk menyiapkan makan malam. Hampir.

“Rube, pernikahan kita kacau. Sudah lama kita saling menyakiti satu sama lain, dan aku sudah lelah untuk mencoba lagi. Aku harus melanjutkan hidupku... kita berdua harus melakukannya. Semua pertengkaran kita membuatku hancur... dan itu memengaruhi pekerjaanku.”

Ruby mendengarkan dengan kegelisahan yang semakin memuncak, dan sebuah firasat yang dingin mengunci bibirnya. Ketika ia tidak mengatakan apa pun, Jack melanjutkan dengan suara serak yang dipenuhi rasa sakit, “Umurku tiga puluh delapan tahun, dan aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku dengan seorang wanita yang lebih terangsang oleh pekerjaan dan klien-kliennya dibandingkan aku.”

“Oh!” Ruby terkesiap, terkejut mendengar keterusterangan Jack. “Itu tidak benar. Kau selalu saja mengait-ngaitkan segala sesuatu dengan seks.”

“Hei, hanya itu yang masih berjalan untuk kita, dan bahkan itu pun sudah jarang kita lakukan belakangan ini,” jawab Jack dengan seringai masam dan kedikan bahunya.

Senyum pria itu, sama intimnya dengan sebuah ciuman, masih bisa membuat jantung Ruby berdetak tak karuan, dan Ruby harus mengeraskan hatinya terhadap pesona pria itu sebelum bertanya dengan suara gemetar, “maksudmu kau akan meninggalkanku karena masalah seks?”

“Kau tahu lebih baik dari itu,” senyum Jack memudar ketika mata biru yang muram menusuk Ruby dengan tuduhan. “Kita bisa ke atas sekarang juga, berhubungan seks gila-gilaan, dan itu tidak akan menyelesaikan apa pun.”

“Kau sangat kasar!”

Well, kau tidak harus mendengarnya lebih lama lagi,” balas Jack dengan panas. Rahangnya terlihat tegang, tapi ia kemudian melunak, menyentuh lembut bibir Ruby yang gemetar dengan jari-jarinya. “Maafkan aku, Babe. Aku tidak ingin hubungan kita berakhir seperti ini. Tidak bisakah kita berpisah dengan damai?”

Hati Ruby layu mendengar ucapan pria itu. Ia berusaha membayangkan sebuah masa depan tanpa Jack di dalamnya. Kesedihan merobek-robek jantungnya, dan ia harus menempelkan tangannya yang mengepal ke mulutnya untuk menahan rasa sakit itu.

“Apakah... ada wanita lain?” Ruby bertanya pelan dengan suara yang pecah akibat emosi yang tak bisa disembunyikannya.

Jack berbalik dan memandangnya dengan marah. “Tidak ada! Aku sudah mengatakannya kepadamu berkali-kali.” Matanya yang berkilat-kilat menantang Ruby. “Tapi kau bisa yakin mengenai satu hal, aku bermaksud untuk mencari seorang wanita yang tidak akan menganggap diriku sebagai laki-laki chauvinis hanya karena aku ingin mengurusnya.” Kegetiran mewarnai suaranya ketika ia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan kalimatnya. “Aku akan memberitahu satu hal lagi. Anak-anak kita membutuhkan seorang ibu. Demi Tuhan! Berapa banyak waktu yang kau habiskan bersama mereka belakangan ini? Mereka merasa diabaikan, sama seperti aku.”

Tekanan dari jawaban Jack yang berapi-api itu mengejutkan Ruby. Ia mendorong kembali histeria yang membuatnya merasa ingin menjerit dan bertanya, lebih tenang dari yang dirasakannya. “Kenapa laki-laki merasa terancam ketika wanita menjadi sukses? Kenapa mereka tidak bisa menerima wanita profesional yang mengombinasikan antara karier dan keluarganya?”

“Aku tidak mau terlibat dalam debat mengenai masalah kebebasan wanita ini denganmu,” kata Jack tegas, memasukkan lebih banyak lagi CD ke dalam kopernya dan membantingnya hingga tertutup.

“Kurasa kau akan berakhir dengan perempuan-murahan-berumur-dua-puluh-tahun yang memakai baju ketat, yang akan membujukmu untuk membeli motor atau Corvette atau sesuatu seperti itu,” Ruby mengejek dengan sinis sambil menggigit bibir bawahnya untuk mencegah air matanya tumpah.

Seulas senyum sedih membayang di sudut bibir Jack. Ia membalasnya dengan pembawaan yang santai, yang muncul karena bertahun-tahun tinggal bersama. “Tidak, kupikir aku akan lebih memilih wanita berumur tiga puluhan dengan tubuh seperti Jessica Alba, dengan otak seperti Barbara Walters dan selera humor milik Tina Fey.” Mata Jack yang muram mengingkari candaannya.

Ruby tak bisa menyangkal rasa sakit dan kecemburuan yang merasuk di dalam  dirinya. “Jessica Alba! Yang benas saja! Mungkin aku bisa terima kalau kau mengatakan Angelina Jolie, tapi Jessica Alba!”

Jack masih menyeringai sambil menggodanya, yang memberi Ruby keberanian untuk menawarkan, “Kecuali untuk tubuh Jessica Alba, aku bisa mengisi dua kriteria lainnya... kupikir.”

Kilatan humor di wajah Jack memudar ketika ia bertanya dengan serius. “Laki-laki seperti apa yang akan kau cari?”

Ruby menunduk, untuk sesaat merasa lemah atas kegagalan Jack dalam merespon tawarannya. Dan apakah Jack sungguh-sungguh berpikir ia menginginkan laki-laki lain?

Harga diri yang terluka membuat leher Ruby menegang, tapi rasa malu dengan capat berubah menjadi rasa jengkel. Ia memandang mata Jack dengan keras kepala. “Tampang bintang film memang bagus tapi bukan hal itu yang paling penting. Selain itu, kurasa aku harus realistis. Aku tidak cantik, dan diumurku sekarang ini, laki-laki tidak akan memandangku. Mereka selalu memandang wanita yang lebih muda.”

“Oh, Rube, itu tidak benar. Kau bisa mendapatkan laki-laki mana pun yang kau mau.” Dengan lembut, mata suaminya memandang tubuh Ruby yang sudah sangat akrab itu.

Lelaki mana pun kecuali satu-satunya yang ia butuhkan, pikir Ruby, tapi bukannya mengeluarkan isi hatinya, ia menelan ludah dengan susah payah dan dengan lembut memarahi pria itu. “Jack, lepaskan kacamatamu dan jujurlah. Laki-laki tiga puluh delapan tahun tidak akan melirik wanita tiga puluh delapan tahun.”

“Mereka akan melirik jika wanita itu terlihat seperti kau.” Jack mengamati sebentar, kemudian melanjutkan, “Kau masih belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau cari dalam seorang lelaki? Jelas sekali aku bukan orang yang kau cari.”

Rasa sakit yang luar biasa membuat tenggorokan Ruby tersumbat, dan Jack menanyakan pertanyaan konyol padanya. Tetap saja, ia melanjutkan dengan definisinya yang dangkal tentang seorang pasangan yang ideal. “Dia harus cerdas. Ya, kepintaran itu penting. Dan sukses... oh, bukan sukses secara keuangan, tapi hebat dalam apa pun yang dilakukannya...”

Suaranya menghilang dan sejenak, keberaniannya len yap. Ketika mendapati kembali ketenangannya, Ruby menguatkan dirinya untuk melanjutkan. “Sebenarnya tak satu pun dari hal itu penting. Aku hanya menginginkan seorang laki-laki yang mencintaiku. Kau tahu, seperti kau...”

Suara Ruby pecah dan ia tak bisa melanjutkan.

Jack berusaha menyentuh bahunya, tapi Ruby menghalau tangan itu dengan marah. “Jangan merasa kasihan padaku. Aku tidak ingin rasa kasihanmu. Pergi saja kalau kau mau pergi. Kau benar. Kita tidak bisa menunda-nunda hal yang tak terelakkan lagi. Pergi!”

Setelah beberap detik, Ruby mendengar Jack berjalan ke arah pintu. “Aku tinggal di rumah danau sampai aku menemukan apartemen,” Jack memberitahunya dengan suara serak. “Aku akan menelepon anak-anak malam ini.”

Ruby melupakan harga dirinya ketika harus menghadapi akhir dari dua puluh tahun pernikahannya. Ya Tuhan, sudah berapa kali ia bersumpah tidak akan menenyakan pertanyaan bodoh itu, yang ditanyakan oleh sebagian wanita pada titik tertentu dalam kehidupan mereka.

“Apakah kau tidak mencintaiku lagi?”

Jack membeku di pintu, kemudian berbalik.

Jantung Ruby tiba-tiba berhenti. Pria tampan ini masih bisa membuat denyut nadinya tidak karuan hanya dengan sebuah lirikan –bahkan setelah dua puluh tahun pernikahan dan uban yang sudah mulai terlihat di di rambut pirang gelapnya. Tahun-tahun belakangan ini penuh dengan stres telah menorehkan garis-garis yang dalam di wajahnya yang matang, tapi tahun-tahun disiplin melakukan joging dan racquetball telah menjaga tubuh seratus delapan puluh tujuh sentimeternya untuk tetap ramping dan dalam kondisi prima. Jack tidak akan menemui kesulitan dalam menarik perhatian wanita. Ruby memejamkan matanya sebentar sambil membayangkan hal yang menyakitkan itu sebelum memandang wajah suaminya sekali lagi. Ke mana perginya selera humor dan sensualitas yang dulu pernah membuatnya tergila-gila pada laki-laki itu di SMU dan membujuknya untuk menikah muda, di mana ia dengan sukarela dan dengan sukacita bersedia tinggal di rumah selama dua tahun awal pernikahan mereka untuk mengandung anak pria itu? Bagaimana mereka membiarkan pernikahan mereka memburuk sampai sejauh ini?

Keheningan panjang mengikuti pertanyaan itu, yang mengungkapkan jawaban Jack, bahkan sebelum ia mendesah dan akhirnya menjawab dengan suara parau, “Aku tidak tahu. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kurasakan. Aku tidak yakin itu penting.”

Kata-kata itu mengiris hati Ruby.

“Kita hanya butuh waktu...”

“Tidak! Apa yang kita butuhkan adalah lebih banyak waktu. Aku sudah berulang kali memintamu untuk memotong jam kerjamu di perusahaan lingerie itu agar kita bisa memperbaiki pernikahan kita. Kau menolaknya.”

“Aku tidak menolak. Aku hanya tidak bisa melakukannya dengan mendadak. Sweet Nothings sudah penuh dengan orderan. Aku harus mempekerjakan seseorang untuk mengambil alih sebagian tanggung jawabku. Bulan depan, paling lama dua bulan lagi, mungkin aku bisa...”

Jack memandang Ruby dengan tidak percaya dan melemparkan tangannya ke atas. “Aku menyerah! Sudah berbulan-bulan aku mendengar cerita yang sama. Telepon aku ketika kau bisa punya waktu untukku.”

Sesaat, Jack terlihat ragu-ragu –hampir menyesal. Waktu berhenti berputar untuk mereka berdua, membekukan mereka di dalam selubung nostalgia. Ekspresi pilu Jack menyentuh Ruby dengan lembut, memberinya harapan.

Tapi pria itu berputar dan pergi.

Ruby memandang pintu yang tertutup itu melalui air matanya yang menggenang. Kenapa Jack tidak bisa mengerti sekeras apa ia berjuang untuk membangun perusahaannya, seberat apa rasanya untuk melepaskan hal itu? Ia mencintai Jack. Ya, ia mencintainya. Mengapa ia tidak bisa memiliki Jack dan kariernya?

Air mata yang hangat menuruni pipinya. Rasa penyesalan meremas hati Ruby ketika ia memikirkan Jack dan semua yang telah lepas dari tangannya. Kenangan menghanguskan pikirannya. Akhirnya, ia menyerah pada kesedihan yang mengguncangnya.

Ruby menangis untuk cukup lama hingga gelombang kelelahan menelannya. Kemudian ia terduduk di kursi bersandaran yang sudah usang itu, yang menjadi favorit Jack sejak masa kuliahnya, dan membiarkan matanya memeriksa ruangan itu. Ia mengambil Walkman milik putranya yang berumur lima belas tahun, membutuhkan sesuatu untuk mengisi kesunyian. Belum sanggup menghadapi rasa kehilangan yang memenuhinya itu sekarang, tanpa sadar Ruby memasukkan CD yang sebelumnya didengarkan jack, memakai headset dan bersandar dengan lelah. Mungkin salah satu dari CD motivasi itu akan bisa menginspirasinya dengan beberapa pesan ajaib tentang bagaimana memperbaiki pernikahannya hingga kembali seperti semula.

Ya Tuhan, aku telah mengacaukan kehidupanku!

...

Ruby menyeka air matanya dengan tisu, memencet tombol play pemutar CD-nya, berusaha untuk melupakan semua kecemasan dan keputusan yang harus diambilnya.

Air mata yang panas sekali lagi menggenangi mata Ruby ketika suara yang menyihir itu mengumumkan, “Kau bisa mengendalikan hidupmu sendiri.”

Hah!

Si pembicara itu melanjutkan, “Sebelum kita mulai, jernihkan pikiranmu. Bayangkan dirimu melayang keluar dari tubuhmu... melayang... melayang... melayang....”

Suara pembicara itu terus saja terdengar sementara Ruby membiarkan pikirannya melayang. Sepenuhnya merasa rileks, Ruby merasa melayang di atas tubuhnya sendiri. Sebuah perasaan yang luar biasa! Lebih ringan daripada bulu, tubuhnya melompat dari satu awan ke awan lainnya di langit biru yang jernih.

Semua masalahnya lenyap. Dua kilogram beban stres yang selama berbulan-bulan dipikulnya ini juga lenyap. Ia merasa dua puluh tahun lebih muda. Bahkan di dalam tidurnya, Ruby tersenyum.

***

Berhati-hatilah pada apa yang kau harapkan...

Baulah yang pertama kali menarik Ruby keluar dari tidur nyenyaknya –bau tubuh manusia. “Okay, Ruby sayang,” ia bergumam pada dirinya sendiri. “Jangan melawan, ikuti arus saja.” Ia bisa merasakan sesuatu di dalam mimpinya! Ia harus memberitahu terapisnya tentang hal ini nanti –itu juga kalau ia berhasil menemukan terapis.

Ruby membuka matanya dengan malas, kemudian dengan ngeri, cepat-cepat menututpnya kembali. Ketika mengintip lagi, ia sadar kalau dirinya pasti masih tertidur, terapung-apung dalam mimpi paling realistis yang pernah dialaminya. Sekitar selusin orang yang terlihat sangat buruk, mengenakan baju aneh dari karung goni, mengerumuninya di atas sebuah perahu panjang yang bergerak pelan menuju pantai. Dari bau mereka, orang-orang ini sepertinya sudah berminggu-minggu tidak mandi.

Ruby mengerutkan hidungnya dengan jijik dan menjauh dari seorang wanita tua ompong, yang mirip sekali dengan Rodha, tukang bersih-bersih di rumahnya. Ia tertawa mengikik dengan keras. Coba bayangkan! Sekali-kalinya ia bermimpi seperti ini dan ia harus membawa-bawa pembantunya. Beberapa wanita akan mendapatkan aktor tampan seperti Kevin Costner dalam fantasi mereka dengan “ciuman yang lama, lambat, dalam, lembut, dan basah yang bertahan hingga tiga hari” seperti dalam film Bull Durham; ia mendapatkan Rhoda. Bagaimana Rhoda akan bertahan hidup tanpa tabloid-tabloidnya?

“Ya Tuhan, kau ini laki-laki atau perempuan?” tanya wanita tua mirip Rhoda.

Kemudian Ruby sadar kalau semua orang yang ada di kapal itu sedang memandangnya –seakan-akan dirinyalah yang aneh. Ruby menunduk untuk memandang dirinya sendiri. Ia tidak melihat ada yang aneh pada kakinya yang memakai sepatu Nike, celana jins serta kaus Brass Balls Saloon kebesaran milik anak laki-lakinya. Oh, mungkin itu masalahnya. Logo kaus itu menyinggung beberapa orang.

Ia sudah hendak menjelaskan kalau kaus yang dipakainya benar-benar milik anaknya yang berumur lima belas tahun, Eddie, yang membeli kaus itu di pantai tanpa persetujuan dari Ruby, tapi menghentikan dirinya. Yang benar saja! Ia tidak harus membela dirinya di dalam mimpi.

Ruby mengusap kaus di atas pinggang dan pinggulnya yang ramping, kemudian tersentak. Ramping! Oh Tuhan, ia belum pernah seramping ini sejak sebelum kehamilan pertamanya. Bukannya ia pernah gemuk, tapi ini tubuh seseorang yang masih muda, bukan tubuh wanita yang pernah melahirkan dan menjalani kehidupan santai selama tiga puluh delapan tahun.

Diam-diam Ruby mengangkat kausnya, menarik pinggang celana jinsnya yang longgar dan mengintip kulit yang ada tepat di atas pusarnya. Haleluya! Tidak ada lagi gurat-gurat putih itu! Impiannya menjadi kenyataan. Ia dua puluh tahun lebih muda.

Sambil tersenyum lebar Ruby menoleh ke belakang dari balik bahunya... kemudian terkesiap. Tiga kapal-naga Viking berlabuh di tempat yang semestinya merupakan pertemuan dari dua sungai besar. Beratus-ratus kapal lainnya tersebar di sepanjang pantai atau berlayar keluar masuk dari sebuah sungai yang lebih lebar, yang pastilah mengarah ke laut. Ia belum pernah melihat susuatu yang sespektakuler ini sejak acara Tall Ships diselenggarakan di sungai Hudson, New York, beberapa tahun yang lalu. Semua kapal-kapal itu menakjubkan.

Sebuah suara keras membuatnya tersentak. Kapal mereka telah menyentuh dok dan sedang diikat ke daratan. Beratus-ratus orang berkumpul di dermaga, semuanya mengenakan pakaian yang aneh.

Beberapa pria memakai tunik yang panjangnya beberapa sentimeter di atas lutut mereka dan membiarkan lengan mereka telanjang. Sementara yang lainnya memakai kemeja lengan panjang polos dan tak berkerah dan panjangnya hingga ke pinggul, sebagai bawahannya mereka memakai celana panjang ketat. Ikat pinggang yang bervariasi, mulai dari yang terbuat dari kulit hingga rantai emas, melingkar di pinggang mereka. Pedang-pedang pendek dan pisau bersarung, berdentang di sisi mereka.

Para wanitanya memakai tunik panjang bermodel lebar, kebanyakan kedua sisinya tidak dijahit, melapisi baju dalam berlipit-lipit mereka yang panjangnya hingga menyentuh tanah. Hiasan berupa bross, dengan kunci, gunting atau pisau kecil yang tergantung di bros itu, menyatukan tunik itu di bahu mereka.

Ruby menyadari ada banyak sekali rambut pirang yang berkilauan diterpa sinar matahari sore di hadapannya, dari hampir putih hingga kemerahan, dan semua warna di antaranya. Wanita yang lebih tua mengikat rambut di tengkuk mereka dan menutupinya dengan scarf atau penutup kepala, sementara yang lainnya mengepang rambut panjang mereka atau membiarkan tergerai begitu saja di punggung mereka. Rambut para prianya bergantung hingga sepanjang bahu, bahkan lebih, dan tak jarang dalam kepangan juga, membingkai wajah mulai dari yang bersih sampai berjanggut tebal dan berkumis.

Gelang-gelang tempaan yang berat dari emas atau perak, serta bertakhtahkan batu mulia, melingkari lengan dan pergelangan tangan para pria dan wanita yang berpakaian lebih indah. Beberapa bahkan terlihat memiliki kwalitas museum. Wow!

Terpesona, Ruby bertanya kepada Rhoda, yang masih meliriknya dengan curiga, “Kita ada di mana?”

“Jorvik.”

“Jorvik? Di mana itu?”

“Bagi orang Saxon, itu adalah Eoforwic, tapi bangsa Viking yang menyembah berhala ini memanggilnya Jorvik. Apa kau orang Saxon?”

Karena bingung, Ruby hanya menjawab “Huh?” Kemudian ia mencerna kata-kata Rhoda. Jorvik? Sesuatu mengena di otaknya. Bukankah baru-baru ini ia membaca tentang penggalian arkeologi di sana, sesuatu yang melibatkan Viking? Tiba-tiba saja, ingatan itu membuatnya tersentak.

“Ya Tuhan! Maksudmu York, seperti di Inggris? Dan kapal-kapal di sana itu... apakah itu kapal Viking?”

Rhoda hanya menatapnya dengan mulut menganga. Kemudian sebuah pikiran gila memasuki otak Ruby. Pertama-tama, ia mengabaikannya, tapi, akhirnya bertanya dengan takut-takut, “Ini tahun berapa?”

Sekarang Rhoda benar-benar memandang Rub y dengan tatapan seolah-olah ia baru saja melarikan diri dari rumah sakit jiwa. “Sembilan ratus dua puluh lima. Apakah kau selama ini dikurung? Di sel bawah tanah mungkin? Atau biara? Para biarawati itu terkadang bisa menjadi gila. Aku pernah dengar tentang perempuan yang terlalu suka dengan laki-laki, jadi ibunya memasukannya ke biara dan perempuan itu jadi gila hanya karena tak ada laki-laki yang menyentuhnya selama setahun.”

Ya Tuhan! Ternyata Rhoda sama sekali tak membutuhkan tabloidnya. Bahkan  di zaman primitif seperti ini pun wanita itu bisa menemukan sumber-sumber untuk gosip sensasional yang disukainya.

Ruby mulai tertawa histeris, yang hanya semakin membenarkan asumsi Rhoda kalau dirinya sakit jiwa. Ini benar-benar mimpi yang tidak masuk akal! Kenapa ia tidak bisa memimpikan tentang koboi atau ksatria berbaju zirah? Mengapa harus orang-orang Viking di Inggris pada zaman pra-Medieval? Well, apa lagi yang diharapkannya, melihat bagaimana hidupnya berjalan?

Ia tak sabar untuk segera kembali dan memberitahu Jack kalau CD “Mind Over Matter”-nya berhasil. Tunggu. Ia lupa. Jack tidak ada di sana ketika ia kembali. Iya, kan?

Rasa sakit mulai memukul-mukul hebat di belakang matanya, terutama ketika seorang laki-laki raksasa, yang baunya mirip dengan seekor beruang yang pernah diciumnya di kebun binatang, menariknya bersama dengan yang lainnya keluar dari kapal dan mendorong mereka dengan kasar ke dalam sebuah kelompok di salah satu sisi dermaga itu.

“Hei,” protes Ruby dengan nyaring. “Pelan-pelan, Buster!” Budak lain yang ada di dalam rombongannya terperanjat melihat keberaniannya, seakan-akan ia lebih gila dari yang mereka sangka. Sang Goliat itu memandangnya dengan marah.

“Siapa namamu?” Ruby tidak mau menyerah, mengucapkannya sambil mencemooh. “Aku akan melaporkanmu pada... atasanmu.”

“Olaf,’ pria itu menggeram dan sekali lagi mendorong dengan kasar.

“Olaf. Seharusnya aku bisa menebaknya. Nama itu sesuai dengan mukamu.”

Rhoda menariknya ke belakang dan memperingatkannya, “Shhhh! Kau tidak takut? Apa kau mau dibunuh?”

Kemudian Ruby melihat Jack.

Oh, rambut pirang kecoklatannya lebih terang dan bergantung hingga ke bahunya, sementara itu tunik hitamnya melapisi tubuh yang lebih muda dan lebih kuat –tubuh yang bisa membuat model di sampul majalah malu –tapi wajah itu tak salah lagi adalah wajah laki-laki yang telah berbaring di sampingnya selama dua puluh tahun ini. Terima kasih Tuhan! Mimpi ini sudah mulai membosankan. Ia ingin terbangun.

Pada saat yang bersamaan, jantung Ruby berdegup liar ketika untuk pertama kalinya memandang tubuh baru suaminya yang keras dan berwarna coklat keemasan. Ia merasa seperti seorang remaja delapan belas tahun lagi.

“Jack,” Ruby memanggil dengan riang, sementara itu Rhoda berusaha untuk menahannya. Si bodoh ini! Jack tidak memedulikannya. Jack marah padanya, tentu saja. Bukankah pria ia itu baru saja keluar dari pernikahan mereka?

Sepertinya Jack tiba dalan salah satu kapal besar itu, dan perhatian yang ditimbulkannya mengindikasikan kalau ia adalah seorang laki-laki penting. Ketika Jack berhenti untuk mengobrol dengan seseorang, Ruby menyadari kalau lengan kanannya melingkari bahu seorang wanita viking pirang bertubuh montok dengan tunik sutra hijau, dengan emas dan batu mulia di leher serta lengannya yang setara dengan kekayaan seorang raja.

Rasa sakit akibat diabaikan itu segera saja berubah menjadi kecemburuan, kemudian menjadi amarah. Dengan murka, Ruby berteriak memanggil “Jack” lagi, tapi pria itu masih tetap melihat ke arah lain. Dasar pembohong! Ia bilang tidak ada wanita lain.

“Kau bajingan tukang selingkuh...” Ruby bergumam dalam isak tangisnya, melepaskan dirinya dari Rhoda dan Olaf untuk mendekati Jack. Ia akan menunjukkan kepada pria itu. Ruby memungut segumpal lumpur seukuran buah cantaloupe, dengan hati-hati mengarahkannya kepada pria itu dan melemparkan gumpalan tanah itu, yang menghantam tepat di wajah jack. Ia tersenyum lebar penuh kepuasan. Tidak sia-sia menjadi bintang pelempar sofbol di SMU!

Sososk tinggi itu berputar, mata sebiru langit itu melebar, tapi sebelum pria itu sempat bereaksi, Ruby sudah menunjuk wanita yang terperanjat itu dan mengancam, “menjauhlah dari suamiku kalau kau tidak mau celaka.”

Seolah-olah sedang melihat hantu, wanita itu mundur, kemudian terpeleset di lumpur dan jatuh terduduk di pantatnya. Ruby tertawa melihat adegan menggelikkan itu sampai Olaf muncul di belakangnya, mengangkat, lalu mengungkung Ruby dengan lengannya yang besar seperti jeruji besi, dan meremasnya sampai Ruby mengira tulang rusuknya akan remuk.

“Turunkan aku, dasar kau oaf,” Ruby menjerit. Kemudian ia berpaling pada suaminya. “Jack, beritahu orang bodoh ini untuk menurunkanku. Dia menyakitiku.”

“Bukan Oaf. Olaf,” raksasa itu mengoreksi Ruby.

Ruby menyeringai dengan tidak sabar dan menoleh ke balik bahunya. “Turunkan aku, Oaf.” Olaf bereaksi dengan mengangkatnya semakin tinggi ke udara, seakan-akan berat tubuh Ruby tak lebih dari sehelai bulu.

Jack memandang Ruby dengan dingin, rahangnya mengatup dengan amarah yang tertahan. Dengan gerakan lambat jack mengelap lumpur di wajahnya dengan secarik kain linen persegi. Teman wanitanya meraung keras di sampingnya hingga salah satu rekan Jack menarik wanita itu dengan tangan berotot dan membakep mulutnya agar diam.

Keheningan mengelilingi Ruby. Orang-orang disekitarnya menghentikan aktivitas mereka untuk menyaksikan tontonan itu.

Well, oke, mungkin ia seharusnya tidak melempar ke pria itu, terutama di depan umum seperti ini, tapi Jack tidak berhak memandangnya dengan marah seperti itu. Bagaimanapun juga, Jack-lah yang salah. Perselingkuhan adalah perselingkuhan –meskipun di dalam mimpi sekalipun.

Dengan penuh wibawa, pria Viking itu berjalan ke tempat Olaf yang masih memegang tubuh Ruby dengan kakinya bergelantungan di udara. Tubuh pria yang besar dan berotot itu bergerak dengan anggun, mirip dengan suaminya di zaman modern. Ketika pria itu berdiri sangat dekat dengannya sehingga ia bisa mencium bau maskulin yang sudah tidak asing lagi, jack mengulurkan telunjuk untuk mengangkat dagu Ruby dengan lembut. Dengan refleks Ruby memiringkan kepalanya menyambut sentuhan itu, tapi tiba-tiba saja kepalanya tersentak ke belakang akibat sengatan panas yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Kerutan di kening Jack serta matanya yang kebingungan mengungkapkan kepada Ruby kalau pria itu juga telah terpengaruh oleh sentuhan ringan itu.

Namun, kemarahan segera mengubah wajah Jack, dan tak butuh waktu lama bagi Ruby untuk tahu alasannya. Sambil memegang dagunya dengan keras, Jack menggeram. “Apakah kau bodoh, Boy, sehingga berani-beraninya kau menyerang Thork, putra Harald, penguasa Norwegia?”

Boy? Jack mengira ia anak laki-laki, pikir Ruby. Tak heran pria itu gusar ketika merasakan getaran seksual di antara mereka. Well, kalau dibandingkan dengan cara orang-orang ini berpakaian, ia rasa ia memang lebih mirip dengan laki-laki muda dalam celana panjang dan rambut pendeknya. Dan, hei, bukankah belakangan ini jack memang berangan-angan cukup tinggi –putra dari seorang raja? Haruskah ia membungkuk atau apa?

“Siapa kau?” Jack menggeram lagi, membuat dagu Ruby memar dengan jari-jarinya. “Apakah kau mata-mata Ivar?”

“Ivar? Siapa itu Ivar?”

“Lidahmu yang kurang ajar itu sungguh berani, Nak.”

“Jack, tidakkah kau mengenaliku? Aku Ruby... istrimu.”

“Tidak, aku tidak punya istri,” pria itu mengumumkan dengan suara tegas, dengan marah bergeser dari satu kaki ke kaki lainnya. “Dan aku juga tidak menyukai laki-laki,” ia menambahkan dengan jijik sambil memandang pakaian Ruby yang seperti laki-laki. Kemudian ia melepaskan dagu Ruby dan memiringkan kepalanya dengan heran.

Apa lagi sekarang? Ruby bertanya-tanya. Apa karena sesuatu yang dikatakannya?

Olaf membiarkan Ruby meluncur turun dari tubuhnya hingga berdiri di atas kakinya sendiri, tapi pria raksasa itu menarik kedua lengannya ke belakang dan emnahannya di sana. Jack memandang tulisan di dada Ruby dan matanya membelalak. Logo Brass Balls bodoh itu lagi!

Jack mengulurkan tangannya. Telunjuk pria itu menelusuri lengannya yang telanjang dengan sensual, seakan-akan sedang menanyakan sesuatu, kemudian menyentuh bibir Ruby yang gemetar sebagai penegasan. Pria itu kemudian tersenyum nakal dan mengangguk, seakan-akan menjawab pertanyaannya sendiri, di saat yang bersamaan senang melihat Ruby menggigil hanya dengan sentuhan ringan.

Suaminya itu kemudian melakukan sesuatu yang tak bisa dipercaya. Secepat kilat, pria itu mengulurkan tangannya menyentuh puncak payudaranya. Jack benar-benar menyentuh dadanya di depan semua orang ini! Ia akan membunuh pria itu karena telah mempermalukannya. Dengan murka, Ruby menggeliat, berusaha melepaskan dirinya dari cengkraman Olaf.

“Demi Thor! Dia seorang wanita,” seru Jack, berbalik untuk memberikan konfirmasi kepada rekan-rekannya dengan senyum yang lebar menghiasi wajahnya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar