Apakah ada yang bisa menyebutkan Norman
Vincent Pealesson?...
“Ini
adalah ceramah pertama dalam seri ‘Mind Over Matter.’ Sebelum kita mulai,
bersihkan kepala Anda dari semua hal-hal yang tidak perlu. Bayangkan diri Anda
melayang di awan, jauh dari bumi... melayang... melayang...”
“Dasar
CD bodoh!” maki Ruby Jordan dengan keras sambil menderapkan kakinya ke dalam
ruang kerja suaminya untuk mematikan mesin itu. Rhoda, tukang bersih-bersihnya
yang konyol, kemungkinan telah menyentuh tombol-tombol di mesin yang rumit itu
ketika ia membersihkan ruangan itu.
Sakit
kepala terasa memukul-mukul di belakang mata Ruby, dan ia tahu rasa sakit itu
akan semakin parah sebelum Jack pulang ke rumah. Apakah akan ada pertengkaran
lagi?
Ruby
langsung berhenti ketika ia melihat Jack sedang memilih beberapa CD motivasi
bisnisnya dan memasukkannya ke dalam koper.
“Aku
tidak tahu kau sudah pulang. Kenapa kau tidak...”
“Jangan
memulainya lagi, Rube,” Jack Gordon memotong kata-kata istrinya dengan
peringatan tersirat dalam suaranya yang dalam. Aku sudah muak dengan semua
pertengkaran kita.” Jack membuat gerakan menggorok leher dengan telunjuknya
untuk menekankan maksudnya.
“Aku
juga,” bisik Ruby, kemudian menyadari koper-koper suaminya telah berjejer di
samping pintu. Jadi, Jack benar-benar akan pergi. Ia sudah meramalkan hal itu
selama berminggu-minggu, tapi tetap saja air mata mulai menggenang di matanya.
“Jack,
apakah kau yakin ini yang kau inginkan?” Sudah berapa kali ia menanyakan
pertanyaan itu selama dua minggu terakhir ini? Bodoh sekali ia karena berpikir
jawaban yang didapatkannya kali ini akan berbeda!
Jack
menegakkan badannya yang awalnya membungkuk di atas pemutar CD, mematikan mesin
itu dan mengucek matanya sebelum melemparkan tatapan tidak sabar kepada Ruby.
Ia masih mengenakan setelan jas biru tua yang dipakainya tadi pagi.
Ruby
tahu kalau hantaman resesi terhadap pasar real-estate telah membuat suaminya
melalui masa-masa sulit setahun belakangan ini. Bahkan, mereka pernah harus
menggunakan gaji Ruby untuk membayar semua tagihan mereka di bulan itu –sebuah
pukulan telak bagi ego suaminya. Sekarang bahu lebar Jack merosot dengan
kesedihan dan rasa lelah. Pria itu mungkin belum makan seharian ini. Sejenak,
hati Ruby melembut dan ia hampir saja menawarkan diri untuk menyiapkan makan
malam. Hampir.
“Rube,
pernikahan kita kacau. Sudah lama kita saling menyakiti satu sama lain, dan aku
sudah lelah untuk mencoba lagi. Aku harus melanjutkan hidupku... kita berdua
harus melakukannya. Semua pertengkaran kita membuatku hancur... dan itu
memengaruhi pekerjaanku.”
Ruby
mendengarkan dengan kegelisahan yang semakin memuncak, dan sebuah firasat yang
dingin mengunci bibirnya. Ketika ia tidak mengatakan apa pun, Jack melanjutkan
dengan suara serak yang dipenuhi rasa sakit, “Umurku tiga puluh delapan tahun,
dan aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku dengan seorang wanita yang lebih terangsang
oleh pekerjaan dan klien-kliennya dibandingkan aku.”
“Oh!”
Ruby terkesiap, terkejut mendengar keterusterangan Jack. “Itu tidak benar. Kau
selalu saja mengait-ngaitkan segala sesuatu dengan seks.”
“Hei,
hanya itu yang masih berjalan untuk kita, dan bahkan itu pun sudah jarang kita
lakukan belakangan ini,” jawab Jack dengan seringai masam dan kedikan bahunya.
Senyum
pria itu, sama intimnya dengan sebuah ciuman, masih bisa membuat jantung Ruby
berdetak tak karuan, dan Ruby harus mengeraskan hatinya terhadap pesona pria
itu sebelum bertanya dengan suara gemetar, “maksudmu kau akan meninggalkanku
karena masalah seks?”
“Kau
tahu lebih baik dari itu,” senyum Jack memudar ketika mata biru yang muram
menusuk Ruby dengan tuduhan. “Kita bisa ke atas sekarang juga, berhubungan seks
gila-gilaan, dan itu tidak akan menyelesaikan apa pun.”
“Kau
sangat kasar!”
“Well, kau tidak harus mendengarnya lebih
lama lagi,” balas Jack dengan panas. Rahangnya terlihat tegang, tapi ia
kemudian melunak, menyentuh lembut bibir Ruby yang gemetar dengan jari-jarinya.
“Maafkan aku, Babe. Aku tidak ingin hubungan kita berakhir seperti ini. Tidak
bisakah kita berpisah dengan damai?”
Hati
Ruby layu mendengar ucapan pria itu. Ia berusaha membayangkan sebuah masa depan
tanpa Jack di dalamnya. Kesedihan merobek-robek jantungnya, dan ia harus
menempelkan tangannya yang mengepal ke mulutnya untuk menahan rasa sakit itu.
“Apakah...
ada wanita lain?” Ruby bertanya pelan dengan suara yang pecah akibat emosi yang
tak bisa disembunyikannya.
Jack
berbalik dan memandangnya dengan marah. “Tidak ada! Aku sudah mengatakannya
kepadamu berkali-kali.” Matanya yang berkilat-kilat menantang Ruby. “Tapi kau
bisa yakin mengenai satu hal, aku bermaksud
untuk mencari seorang wanita yang tidak akan menganggap diriku sebagai
laki-laki chauvinis hanya karena aku ingin mengurusnya.” Kegetiran mewarnai
suaranya ketika ia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan kalimatnya. “Aku
akan memberitahu satu hal lagi. Anak-anak kita membutuhkan seorang ibu. Demi
Tuhan! Berapa banyak waktu yang kau habiskan bersama mereka belakangan ini?
Mereka merasa diabaikan, sama seperti aku.”
Tekanan
dari jawaban Jack yang berapi-api itu mengejutkan Ruby. Ia mendorong kembali histeria
yang membuatnya merasa ingin menjerit dan bertanya, lebih tenang dari yang
dirasakannya. “Kenapa laki-laki merasa terancam ketika wanita menjadi sukses?
Kenapa mereka tidak bisa menerima wanita profesional yang mengombinasikan
antara karier dan keluarganya?”
“Aku
tidak mau terlibat dalam debat mengenai masalah kebebasan wanita ini denganmu,”
kata Jack tegas, memasukkan lebih banyak lagi CD ke dalam kopernya dan
membantingnya hingga tertutup.
“Kurasa
kau akan berakhir dengan perempuan-murahan-berumur-dua-puluh-tahun yang memakai
baju ketat, yang akan membujukmu untuk membeli motor atau Corvette atau sesuatu
seperti itu,” Ruby mengejek dengan sinis sambil menggigit bibir bawahnya untuk
mencegah air matanya tumpah.
Seulas
senyum sedih membayang di sudut bibir Jack. Ia membalasnya dengan pembawaan
yang santai, yang muncul karena bertahun-tahun tinggal bersama. “Tidak, kupikir
aku akan lebih memilih wanita berumur tiga puluhan dengan tubuh seperti Jessica
Alba, dengan otak seperti Barbara Walters dan selera humor milik Tina Fey.”
Mata Jack yang muram mengingkari candaannya.
Ruby
tak bisa menyangkal rasa sakit dan kecemburuan yang merasuk di dalam dirinya. “Jessica Alba! Yang benas saja!
Mungkin aku bisa terima kalau kau mengatakan Angelina Jolie, tapi Jessica
Alba!”
Jack
masih menyeringai sambil menggodanya, yang memberi Ruby keberanian untuk
menawarkan, “Kecuali untuk tubuh Jessica Alba, aku bisa mengisi dua kriteria
lainnya... kupikir.”
Kilatan
humor di wajah Jack memudar ketika ia bertanya dengan serius. “Laki-laki
seperti apa yang akan kau cari?”
Ruby menunduk, untuk sesaat merasa lemah atas kegagalan Jack dalam merespon
tawarannya. Dan apakah Jack sungguh-sungguh berpikir ia menginginkan laki-laki
lain?
Harga
diri yang terluka membuat leher Ruby menegang, tapi rasa malu dengan capat
berubah menjadi rasa jengkel. Ia memandang mata Jack dengan keras kepala.
“Tampang bintang film memang bagus tapi bukan hal itu yang paling penting.
Selain itu, kurasa aku harus realistis. Aku tidak cantik, dan diumurku sekarang
ini, laki-laki tidak akan memandangku. Mereka selalu memandang wanita yang
lebih muda.”
“Oh,
Rube, itu tidak benar. Kau bisa mendapatkan laki-laki mana pun yang kau mau.”
Dengan lembut, mata suaminya memandang tubuh Ruby yang sudah sangat akrab itu.
Lelaki
mana pun kecuali satu-satunya yang ia butuhkan, pikir Ruby, tapi bukannya
mengeluarkan isi hatinya, ia menelan ludah dengan susah payah dan dengan lembut
memarahi pria itu. “Jack, lepaskan kacamatamu dan jujurlah. Laki-laki tiga
puluh delapan tahun tidak akan melirik wanita tiga puluh delapan tahun.”
“Mereka
akan melirik jika wanita itu terlihat seperti kau.” Jack mengamati sebentar,
kemudian melanjutkan, “Kau masih belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau cari
dalam seorang lelaki? Jelas sekali aku bukan orang yang kau cari.”
Rasa
sakit yang luar biasa membuat tenggorokan Ruby tersumbat, dan Jack menanyakan
pertanyaan konyol padanya. Tetap saja, ia melanjutkan dengan definisinya yang
dangkal tentang seorang pasangan yang ideal. “Dia harus cerdas. Ya, kepintaran
itu penting. Dan sukses... oh, bukan sukses secara keuangan, tapi hebat dalam
apa pun yang dilakukannya...”
Suaranya
menghilang dan sejenak, keberaniannya len yap. Ketika mendapati kembali
ketenangannya, Ruby menguatkan dirinya untuk melanjutkan. “Sebenarnya tak satu
pun dari hal itu penting. Aku hanya menginginkan seorang laki-laki yang
mencintaiku. Kau tahu, seperti kau...”
Suara
Ruby pecah dan ia tak bisa melanjutkan.
Jack
berusaha menyentuh bahunya, tapi Ruby menghalau tangan itu dengan marah.
“Jangan merasa kasihan padaku. Aku tidak ingin rasa kasihanmu. Pergi saja kalau
kau mau pergi. Kau benar. Kita tidak bisa menunda-nunda hal yang tak terelakkan
lagi. Pergi!”
Setelah
beberap detik, Ruby mendengar Jack berjalan ke arah pintu. “Aku tinggal di
rumah danau sampai aku menemukan apartemen,” Jack memberitahunya dengan suara
serak. “Aku akan menelepon anak-anak malam ini.”
Ruby
melupakan harga dirinya ketika harus menghadapi akhir dari dua puluh tahun
pernikahannya. Ya Tuhan, sudah berapa kali ia bersumpah tidak akan menenyakan
pertanyaan bodoh itu, yang ditanyakan oleh sebagian wanita pada titik tertentu
dalam kehidupan mereka.
“Apakah
kau tidak mencintaiku lagi?”
Jack
membeku di pintu, kemudian berbalik.
Jantung
Ruby tiba-tiba berhenti. Pria tampan ini masih bisa membuat denyut nadinya
tidak karuan hanya dengan sebuah lirikan –bahkan setelah dua puluh tahun
pernikahan dan uban yang sudah mulai terlihat di di rambut pirang gelapnya.
Tahun-tahun belakangan ini penuh dengan stres telah menorehkan garis-garis yang
dalam di wajahnya yang matang, tapi tahun-tahun disiplin melakukan joging dan racquetball telah menjaga tubuh seratus
delapan puluh tujuh sentimeternya untuk tetap ramping dan dalam kondisi prima.
Jack tidak akan menemui kesulitan dalam menarik perhatian wanita. Ruby
memejamkan matanya sebentar sambil membayangkan hal yang menyakitkan itu
sebelum memandang wajah suaminya sekali lagi. Ke mana perginya selera humor dan
sensualitas yang dulu pernah membuatnya tergila-gila pada laki-laki itu di SMU
dan membujuknya untuk menikah muda, di mana ia dengan sukarela dan dengan
sukacita bersedia tinggal di rumah selama dua tahun awal pernikahan mereka
untuk mengandung anak pria itu? Bagaimana mereka membiarkan pernikahan mereka
memburuk sampai sejauh ini?
Keheningan
panjang mengikuti pertanyaan itu, yang mengungkapkan jawaban Jack, bahkan
sebelum ia mendesah dan akhirnya menjawab dengan suara parau, “Aku tidak tahu.
Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kurasakan. Aku tidak yakin itu penting.”
Kata-kata
itu mengiris hati Ruby.
“Kita
hanya butuh waktu...”
“Tidak!
Apa yang kita butuhkan adalah lebih banyak waktu. Aku sudah berulang kali
memintamu untuk memotong jam kerjamu di perusahaan lingerie itu agar kita bisa memperbaiki pernikahan kita. Kau
menolaknya.”
“Aku
tidak menolak. Aku hanya tidak bisa melakukannya dengan mendadak. Sweet
Nothings sudah penuh dengan orderan. Aku harus mempekerjakan seseorang untuk
mengambil alih sebagian tanggung jawabku. Bulan depan, paling lama dua bulan
lagi, mungkin aku bisa...”
Jack
memandang Ruby dengan tidak percaya dan melemparkan tangannya ke atas. “Aku
menyerah! Sudah berbulan-bulan aku mendengar cerita yang sama. Telepon aku
ketika kau bisa punya waktu untukku.”
Sesaat,
Jack terlihat ragu-ragu –hampir menyesal. Waktu berhenti berputar untuk mereka
berdua, membekukan mereka di dalam selubung nostalgia. Ekspresi pilu Jack
menyentuh Ruby dengan lembut, memberinya harapan.
Tapi
pria itu berputar dan pergi.
Ruby
memandang pintu yang tertutup itu melalui air matanya yang menggenang. Kenapa
Jack tidak bisa mengerti sekeras apa ia berjuang untuk membangun perusahaannya,
seberat apa rasanya untuk melepaskan hal itu? Ia mencintai Jack. Ya, ia mencintainya. Mengapa ia tidak bisa
memiliki Jack dan kariernya?
Air
mata yang hangat menuruni pipinya. Rasa penyesalan meremas hati Ruby ketika ia
memikirkan Jack dan semua yang telah lepas dari tangannya. Kenangan
menghanguskan pikirannya. Akhirnya, ia menyerah pada kesedihan yang
mengguncangnya.
Ruby
menangis untuk cukup lama hingga gelombang kelelahan menelannya. Kemudian ia
terduduk di kursi bersandaran yang sudah usang itu, yang menjadi favorit Jack
sejak masa kuliahnya, dan membiarkan matanya memeriksa ruangan itu. Ia
mengambil Walkman milik putranya yang berumur lima belas tahun, membutuhkan
sesuatu untuk mengisi kesunyian. Belum sanggup menghadapi rasa kehilangan yang
memenuhinya itu sekarang, tanpa sadar Ruby memasukkan CD yang sebelumnya
didengarkan jack, memakai headset dan bersandar dengan lelah. Mungkin salah
satu dari CD motivasi itu akan bisa menginspirasinya dengan beberapa pesan
ajaib tentang bagaimana memperbaiki pernikahannya hingga kembali seperti
semula.
Ya Tuhan, aku telah mengacaukan
kehidupanku!
...
Ruby
menyeka air matanya dengan tisu, memencet tombol play pemutar CD-nya, berusaha untuk melupakan semua kecemasan dan
keputusan yang harus diambilnya.
Air
mata yang panas sekali lagi menggenangi mata Ruby ketika suara yang menyihir
itu mengumumkan, “Kau bisa mengendalikan hidupmu sendiri.”
Hah!
Si
pembicara itu melanjutkan, “Sebelum kita mulai, jernihkan pikiranmu. Bayangkan
dirimu melayang keluar dari tubuhmu... melayang... melayang... melayang....”
Suara
pembicara itu terus saja terdengar sementara Ruby membiarkan pikirannya melayang.
Sepenuhnya merasa rileks, Ruby merasa melayang di atas tubuhnya sendiri. Sebuah
perasaan yang luar biasa! Lebih ringan daripada bulu, tubuhnya melompat dari
satu awan ke awan lainnya di langit biru yang jernih.
Semua
masalahnya lenyap. Dua kilogram beban stres yang selama berbulan-bulan
dipikulnya ini juga lenyap. Ia merasa dua puluh tahun lebih muda. Bahkan di
dalam tidurnya, Ruby tersenyum.
***
Berhati-hatilah pada apa yang kau
harapkan...
Baulah
yang pertama kali menarik Ruby keluar dari tidur nyenyaknya –bau tubuh manusia.
“Okay, Ruby sayang,” ia bergumam pada dirinya sendiri. “Jangan melawan, ikuti
arus saja.” Ia bisa merasakan sesuatu di dalam mimpinya! Ia harus memberitahu
terapisnya tentang hal ini nanti –itu juga kalau ia berhasil menemukan terapis.
Ruby
membuka matanya dengan malas, kemudian dengan ngeri, cepat-cepat menututpnya
kembali. Ketika mengintip lagi, ia sadar kalau dirinya pasti masih tertidur,
terapung-apung dalam mimpi paling realistis yang pernah dialaminya. Sekitar selusin
orang yang terlihat sangat buruk, mengenakan baju aneh dari karung goni,
mengerumuninya di atas sebuah perahu panjang yang bergerak pelan menuju pantai.
Dari bau mereka, orang-orang ini sepertinya sudah berminggu-minggu tidak mandi.
Ruby
mengerutkan hidungnya dengan jijik dan menjauh dari seorang wanita tua ompong,
yang mirip sekali dengan Rodha, tukang bersih-bersih di rumahnya. Ia tertawa
mengikik dengan keras. Coba bayangkan! Sekali-kalinya ia bermimpi seperti ini
dan ia harus membawa-bawa pembantunya. Beberapa wanita akan mendapatkan aktor
tampan seperti Kevin Costner dalam fantasi mereka dengan “ciuman yang lama,
lambat, dalam, lembut, dan basah yang bertahan hingga tiga hari” seperti dalam
film Bull Durham; ia mendapatkan
Rhoda. Bagaimana Rhoda akan bertahan hidup tanpa tabloid-tabloidnya?
“Ya Tuhan,
kau ini laki-laki atau perempuan?” tanya wanita tua mirip Rhoda.
Kemudian
Ruby sadar kalau semua orang yang ada di kapal itu sedang memandangnya
–seakan-akan dirinyalah yang aneh. Ruby menunduk untuk memandang dirinya
sendiri. Ia tidak melihat ada yang aneh pada kakinya yang memakai sepatu Nike,
celana jins serta kaus Brass Balls Saloon
kebesaran milik anak laki-lakinya. Oh, mungkin itu masalahnya. Logo kaus itu
menyinggung beberapa orang.
Ia
sudah hendak menjelaskan kalau kaus yang dipakainya benar-benar milik anaknya
yang berumur lima belas tahun, Eddie, yang membeli kaus itu di pantai tanpa
persetujuan dari Ruby, tapi menghentikan dirinya. Yang benar saja! Ia tidak
harus membela dirinya di dalam mimpi.
Ruby
mengusap kaus di atas pinggang dan pinggulnya yang ramping, kemudian tersentak.
Ramping! Oh Tuhan, ia belum pernah
seramping ini sejak sebelum kehamilan pertamanya. Bukannya ia pernah gemuk,
tapi ini tubuh seseorang yang masih muda, bukan tubuh wanita yang pernah
melahirkan dan menjalani kehidupan santai selama tiga puluh delapan tahun.
Diam-diam
Ruby mengangkat kausnya, menarik pinggang celana jinsnya yang longgar dan
mengintip kulit yang ada tepat di atas pusarnya. Haleluya! Tidak ada lagi gurat-gurat putih itu! Impiannya menjadi
kenyataan. Ia dua puluh tahun lebih muda.
Sambil
tersenyum lebar Ruby menoleh ke belakang dari balik bahunya... kemudian
terkesiap. Tiga kapal-naga Viking berlabuh di tempat yang semestinya merupakan
pertemuan dari dua sungai besar. Beratus-ratus kapal lainnya tersebar di
sepanjang pantai atau berlayar keluar masuk dari sebuah sungai yang lebih
lebar, yang pastilah mengarah ke laut. Ia belum pernah melihat susuatu yang
sespektakuler ini sejak acara Tall Ships diselenggarakan di sungai Hudson, New
York, beberapa tahun yang lalu. Semua kapal-kapal itu menakjubkan.
Sebuah
suara keras membuatnya tersentak. Kapal mereka telah menyentuh dok dan sedang
diikat ke daratan. Beratus-ratus orang berkumpul di dermaga, semuanya
mengenakan pakaian yang aneh.
Beberapa
pria memakai tunik yang panjangnya beberapa sentimeter di atas lutut mereka dan
membiarkan lengan mereka telanjang. Sementara yang lainnya memakai kemeja
lengan panjang polos dan tak berkerah dan panjangnya hingga ke pinggul, sebagai
bawahannya mereka memakai celana panjang ketat. Ikat pinggang yang bervariasi,
mulai dari yang terbuat dari kulit hingga rantai emas, melingkar di pinggang
mereka. Pedang-pedang pendek dan pisau bersarung, berdentang di sisi mereka.
Para
wanitanya memakai tunik panjang bermodel lebar, kebanyakan kedua sisinya tidak
dijahit, melapisi baju dalam berlipit-lipit mereka yang panjangnya hingga
menyentuh tanah. Hiasan berupa bross, dengan kunci, gunting atau pisau kecil
yang tergantung di bros itu, menyatukan tunik itu di bahu mereka.
Ruby
menyadari ada banyak sekali rambut pirang yang berkilauan diterpa sinar
matahari sore di hadapannya, dari hampir putih hingga kemerahan, dan semua
warna di antaranya. Wanita yang lebih tua mengikat rambut di tengkuk mereka dan
menutupinya dengan scarf atau penutup
kepala, sementara yang lainnya mengepang rambut panjang mereka atau membiarkan
tergerai begitu saja di punggung mereka. Rambut para prianya bergantung hingga
sepanjang bahu, bahkan lebih, dan tak jarang dalam kepangan juga, membingkai
wajah mulai dari yang bersih sampai berjanggut tebal dan berkumis.
Gelang-gelang
tempaan yang berat dari emas atau perak, serta bertakhtahkan batu mulia,
melingkari lengan dan pergelangan tangan para pria dan wanita yang berpakaian
lebih indah. Beberapa bahkan terlihat memiliki kwalitas museum. Wow!
Terpesona,
Ruby bertanya kepada Rhoda, yang masih meliriknya dengan curiga, “Kita ada di
mana?”
“Jorvik.”
“Jorvik?
Di mana itu?”
“Bagi
orang Saxon, itu adalah Eoforwic,
tapi bangsa Viking yang menyembah berhala ini memanggilnya Jorvik. Apa kau
orang Saxon?”
Karena
bingung, Ruby hanya menjawab “Huh?” Kemudian ia mencerna kata-kata Rhoda.
Jorvik? Sesuatu mengena di otaknya. Bukankah baru-baru ini ia membaca tentang
penggalian arkeologi di sana, sesuatu yang melibatkan Viking? Tiba-tiba saja,
ingatan itu membuatnya tersentak.
“Ya
Tuhan! Maksudmu York, seperti di Inggris? Dan kapal-kapal di sana itu... apakah
itu kapal Viking?”
Rhoda
hanya menatapnya dengan mulut menganga. Kemudian sebuah pikiran gila memasuki
otak Ruby. Pertama-tama, ia mengabaikannya, tapi, akhirnya bertanya dengan
takut-takut, “Ini tahun berapa?”
Sekarang
Rhoda benar-benar memandang Rub y dengan tatapan seolah-olah ia baru saja
melarikan diri dari rumah sakit jiwa. “Sembilan ratus dua puluh lima. Apakah
kau selama ini dikurung? Di sel bawah tanah mungkin? Atau biara? Para biarawati
itu terkadang bisa menjadi gila. Aku pernah dengar tentang perempuan yang
terlalu suka dengan laki-laki, jadi ibunya memasukannya ke biara dan perempuan
itu jadi gila hanya karena tak ada laki-laki yang menyentuhnya selama setahun.”
Ya
Tuhan! Ternyata Rhoda sama sekali tak membutuhkan tabloidnya. Bahkan di zaman primitif seperti ini pun wanita itu
bisa menemukan sumber-sumber untuk gosip sensasional yang disukainya.
Ruby
mulai tertawa histeris, yang hanya semakin membenarkan asumsi Rhoda kalau
dirinya sakit jiwa. Ini benar-benar mimpi yang tidak masuk akal! Kenapa ia
tidak bisa memimpikan tentang koboi atau ksatria berbaju zirah? Mengapa harus
orang-orang Viking di Inggris pada zaman pra-Medieval? Well, apa lagi yang diharapkannya, melihat bagaimana hidupnya
berjalan?
Ia
tak sabar untuk segera kembali dan memberitahu Jack kalau CD “Mind Over Matter”-nya
berhasil. Tunggu. Ia lupa. Jack tidak ada di sana ketika ia kembali. Iya, kan?
Rasa
sakit mulai memukul-mukul hebat di belakang matanya, terutama ketika seorang
laki-laki raksasa, yang baunya mirip dengan seekor beruang yang pernah
diciumnya di kebun binatang, menariknya bersama dengan yang lainnya keluar dari
kapal dan mendorong mereka dengan kasar ke dalam sebuah kelompok di salah satu
sisi dermaga itu.
“Hei,”
protes Ruby dengan nyaring. “Pelan-pelan, Buster!”
Budak lain yang ada di dalam rombongannya terperanjat melihat keberaniannya,
seakan-akan ia lebih gila dari yang mereka sangka. Sang Goliat itu memandangnya
dengan marah.
“Siapa
namamu?” Ruby tidak mau menyerah, mengucapkannya sambil mencemooh. “Aku akan
melaporkanmu pada... atasanmu.”
“Olaf,’
pria itu menggeram dan sekali lagi mendorong dengan kasar.
“Olaf.
Seharusnya aku bisa menebaknya. Nama itu sesuai dengan mukamu.”
Rhoda
menariknya ke belakang dan memperingatkannya, “Shhhh! Kau tidak takut? Apa kau
mau dibunuh?”
Kemudian
Ruby melihat Jack.
Oh,
rambut pirang kecoklatannya lebih terang dan bergantung hingga ke bahunya,
sementara itu tunik hitamnya melapisi tubuh yang lebih muda dan lebih kuat –tubuh
yang bisa membuat model di sampul majalah malu –tapi wajah itu tak salah lagi
adalah wajah laki-laki yang telah berbaring di sampingnya selama dua puluh
tahun ini. Terima kasih Tuhan! Mimpi ini sudah mulai membosankan. Ia ingin
terbangun.
Pada
saat yang bersamaan, jantung Ruby berdegup liar ketika untuk pertama kalinya
memandang tubuh baru suaminya yang keras dan berwarna coklat keemasan. Ia merasa
seperti seorang remaja delapan belas tahun lagi.
“Jack,”
Ruby memanggil dengan riang, sementara itu Rhoda berusaha untuk menahannya. Si bodoh
ini! Jack tidak memedulikannya. Jack marah padanya, tentu saja. Bukankah pria
ia itu baru saja keluar dari pernikahan mereka?
Sepertinya
Jack tiba dalan salah satu kapal besar itu, dan perhatian yang ditimbulkannya
mengindikasikan kalau ia adalah seorang laki-laki penting. Ketika Jack berhenti
untuk mengobrol dengan seseorang, Ruby menyadari kalau lengan kanannya
melingkari bahu seorang wanita viking pirang bertubuh montok dengan tunik sutra
hijau, dengan emas dan batu mulia di leher serta lengannya yang setara dengan
kekayaan seorang raja.
Rasa
sakit akibat diabaikan itu segera saja berubah menjadi kecemburuan, kemudian
menjadi amarah. Dengan murka, Ruby berteriak memanggil “Jack” lagi, tapi pria
itu masih tetap melihat ke arah lain. Dasar pembohong! Ia bilang tidak ada
wanita lain.
“Kau
bajingan tukang selingkuh...” Ruby bergumam dalam isak tangisnya, melepaskan
dirinya dari Rhoda dan Olaf untuk mendekati Jack. Ia akan menunjukkan kepada
pria itu. Ruby memungut segumpal lumpur seukuran buah cantaloupe, dengan hati-hati mengarahkannya kepada pria itu dan
melemparkan gumpalan tanah itu, yang menghantam tepat di wajah jack. Ia tersenyum
lebar penuh kepuasan. Tidak sia-sia menjadi bintang pelempar sofbol di SMU!
Sososk
tinggi itu berputar, mata sebiru langit itu melebar, tapi sebelum pria itu
sempat bereaksi, Ruby sudah menunjuk wanita yang terperanjat itu dan mengancam,
“menjauhlah dari suamiku kalau kau tidak mau celaka.”
Seolah-olah
sedang melihat hantu, wanita itu mundur, kemudian terpeleset di lumpur dan
jatuh terduduk di pantatnya. Ruby tertawa melihat adegan menggelikkan itu
sampai Olaf muncul di belakangnya, mengangkat, lalu mengungkung Ruby dengan
lengannya yang besar seperti jeruji besi, dan meremasnya sampai Ruby mengira
tulang rusuknya akan remuk.
“Turunkan
aku, dasar kau oaf,” Ruby menjerit. Kemudian
ia berpaling pada suaminya. “Jack, beritahu orang bodoh ini untuk menurunkanku.
Dia menyakitiku.”
“Bukan
Oaf. Olaf,” raksasa itu mengoreksi Ruby.
Ruby
menyeringai dengan tidak sabar dan menoleh ke balik bahunya. “Turunkan aku,
Oaf.” Olaf bereaksi dengan mengangkatnya semakin tinggi ke udara, seakan-akan
berat tubuh Ruby tak lebih dari sehelai bulu.
Jack
memandang Ruby dengan dingin, rahangnya mengatup dengan amarah yang tertahan.
Dengan gerakan lambat jack mengelap lumpur di wajahnya dengan secarik kain
linen persegi. Teman wanitanya meraung keras di sampingnya hingga salah satu
rekan Jack menarik wanita itu dengan tangan berotot dan membakep mulutnya agar
diam.
Keheningan
mengelilingi Ruby. Orang-orang disekitarnya menghentikan aktivitas mereka untuk
menyaksikan tontonan itu.
Well, oke, mungkin ia seharusnya
tidak melempar ke pria itu, terutama di depan umum seperti ini, tapi Jack tidak
berhak memandangnya dengan marah seperti itu. Bagaimanapun juga, Jack-lah yang
salah. Perselingkuhan adalah perselingkuhan –meskipun di dalam mimpi sekalipun.
Dengan
penuh wibawa, pria Viking itu berjalan ke tempat Olaf yang masih memegang tubuh Ruby dengan kakinya bergelantungan di udara. Tubuh pria yang besar dan berotot
itu bergerak dengan anggun, mirip dengan suaminya di zaman modern. Ketika pria
itu berdiri sangat dekat dengannya sehingga ia bisa mencium bau maskulin yang
sudah tidak asing lagi, jack mengulurkan telunjuk untuk mengangkat dagu Ruby
dengan lembut. Dengan refleks Ruby memiringkan kepalanya menyambut sentuhan
itu, tapi tiba-tiba saja kepalanya tersentak ke belakang akibat sengatan panas
yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Kerutan di kening Jack serta matanya yang
kebingungan mengungkapkan kepada Ruby kalau pria itu juga telah terpengaruh
oleh sentuhan ringan itu.
Namun,
kemarahan segera mengubah wajah Jack, dan tak butuh waktu lama bagi Ruby untuk
tahu alasannya. Sambil memegang dagunya dengan keras, Jack menggeram. “Apakah
kau bodoh, Boy, sehingga
berani-beraninya kau menyerang Thork, putra Harald, penguasa Norwegia?”
Boy? Jack mengira ia anak laki-laki,
pikir Ruby. Tak heran pria itu gusar ketika merasakan getaran seksual di antara
mereka. Well, kalau dibandingkan
dengan cara orang-orang ini berpakaian, ia rasa ia memang lebih mirip dengan
laki-laki muda dalam celana panjang dan rambut pendeknya. Dan, hei, bukankah
belakangan ini jack memang berangan-angan cukup tinggi –putra dari seorang
raja? Haruskah ia membungkuk atau apa?
“Siapa
kau?” Jack menggeram lagi, membuat dagu Ruby memar dengan jari-jarinya. “Apakah
kau mata-mata Ivar?”
“Ivar?
Siapa itu Ivar?”
“Lidahmu
yang kurang ajar itu sungguh berani, Nak.”
“Jack,
tidakkah kau mengenaliku? Aku Ruby... istrimu.”
“Tidak,
aku tidak punya istri,” pria itu mengumumkan dengan suara tegas, dengan marah
bergeser dari satu kaki ke kaki lainnya. “Dan aku juga tidak menyukai
laki-laki,” ia menambahkan dengan jijik sambil memandang pakaian Ruby yang
seperti laki-laki. Kemudian ia melepaskan dagu Ruby dan memiringkan kepalanya
dengan heran.
Apa
lagi sekarang? Ruby bertanya-tanya. Apa karena sesuatu yang dikatakannya?
Olaf
membiarkan Ruby meluncur turun dari tubuhnya hingga berdiri di atas kakinya
sendiri, tapi pria raksasa itu menarik kedua lengannya ke belakang dan
emnahannya di sana. Jack memandang tulisan di dada Ruby dan matanya membelalak.
Logo Brass Balls bodoh itu lagi!
Jack
mengulurkan tangannya. Telunjuk pria itu menelusuri lengannya yang telanjang
dengan sensual, seakan-akan sedang menanyakan sesuatu, kemudian menyentuh bibir
Ruby yang gemetar sebagai penegasan. Pria itu kemudian tersenyum nakal dan
mengangguk, seakan-akan menjawab pertanyaannya sendiri, di saat yang bersamaan
senang melihat Ruby menggigil hanya dengan sentuhan ringan.
Suaminya
itu kemudian melakukan sesuatu yang tak bisa dipercaya. Secepat kilat, pria itu
mengulurkan tangannya menyentuh puncak payudaranya. Jack benar-benar menyentuh
dadanya di depan semua orang ini! Ia akan membunuh pria itu karena telah
mempermalukannya. Dengan murka, Ruby menggeliat, berusaha melepaskan dirinya
dari cengkraman Olaf.
“Demi
Thor! Dia seorang wanita,” seru Jack, berbalik untuk memberikan konfirmasi
kepada rekan-rekannya dengan senyum yang lebar menghiasi wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar