Home

Kamis, 04 Februari 2021

The Duke and I #6

Penulis mendapatkan laporan semalam Duke of Hastings menyebut tidak kurang dari enam kali bahwa dia tidak berencana menikah. Jika tujuannya untuk mengurungkan niat para Ibu Ambisius, dia melakukan kekeliruan besar. Mereka hanya akan menganggap komentarnya sebagai tantangan terbesar.

Dan sebagai catatan kaki yang menarik, semua komentar anti-pernikahan itu dilontarkan sebelum dia berkenalan dengan Miss (Daphne) Bridgerton yang cantik dan cerdas.

LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN,

30 APRIL 1813

 Keesokan siang Simon terlihat berdiri di undakan depan rumah Daphne, satu tangan mengayunkan ketukan pintu dari kuningan di pintu, tangan lainnya memegang buket besar bunga tulip yang luar biasa mahal. Tidak terpikir olehnya bahwa sandiwara kecil ini akan membutuhkan perhatiannya pada siang hari, tapi ketika mereka berjalan-jalan di sekeliling ruang dansa pada malam sebelumnya, Daphne dengan bijak memberitahunya bahwa jika dia tidak berkunjung ke rumah keesokan harinya, tidak seorang pun –apalagi ibu gadis itu –akan benar-benar percaya Simon tertarik padanya. Simon menerima penjelasan Daphne, mengakui gadis itu hampir pasti memiliki pengetahuan yang lebih luas dalam bidang etiket dibandingkan dengan dirinya. Dengan patuh ia membeli sejumlah bunga lalu menyeberang Grosvenor Square ke bridgerton House. Ia belum pernah melakukan pendekatan kepada wanita terhormat, jadi ritual ini asing baginya.

Pintu terbuka nyaris pada saat itu juga oleh kepala pelayan keluarga bridgerton. Simon memberikan kartu namanya. Kepala pelayan itu, pria tinggi kurus dengan hidung mancung, membacanya nyaris tidak sampai seperempat detik sebelum mengangguk, bergumam, “Lewat sini, Your Grace.”

Jelas kedatanganku sudah diharapkan, batin Simon geli.

Namun, yang tak terduga adalah pemandangan di hadapannya ketika ia diantar ke ruang duduk keluarga Bridgerton. Daphne, luar biasa menawan dalam balutan sutra biru pucat, duduk di pinggir sofa damask hijau Lady Bridgerton, wajahnya lagi-lagi dihiasi salah satu senyum lebarnya.

Itu pasti menjadi pemandangan indah, jika Daphne tidak dikelilingi paling tidak oleh enam lelaki, salah satunya benar-benar berlutut dengan satu kaki, alunan puisi terlontar dari bibirnya. Mendengar betapa berbunga-bunganya prosa itu, Simon mendoga sebentar lagi semak mawar akan mencuat dari mulut pria konyol itu.

Seluruh pemandangan ini sangat tidak menggembirakan, putus Simon.

Ia memusatkan tatapannya kepada Daphne yang sedang mengarahkan senyum memesonanya kepada pemuda bodoh yang mendeklamasikan puisinya, dan menunggu gadis itu menyapanya.

Daphne tidak melakukannya.

Simon menunduk ke arah tangannya yang bebas dan menyadari tangan itu mengepal erat. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan pelan, berusaha memutuskan wajah pria mana yang akan mencicipi tinjunya.

Daphne tersenyum lagi, dan lagi-lagi bukan kepada Simon.

Penyair tolol itu. Pasti si penyair tolol itu. Simon menelengkan kepala sedikit sembari menganalisis wajah perayu muda itu. Tinjunya lebih cocok di mata kanan atau kiri ya? Atau itu mungkin terlalu kasar. Mungkin pukulan ringan ke dagu lebih cocok. Paling tidak, itu mungkin bisa menutup mulut pemuda itu.

“Yang ini,” sang penyair mengumumkan dengan megah, “kutulis untukmu semalam.”

Simon mengerang. Ia mengenali puisi terakhir sebagai penafsiran soneta Shakespeare yang agak terlalu dibesar-besarkan, tapi ia tidak tahan mendengar karya asli pemuda itu.

“Your Grace!”

Simon mendongak dan menyadari Daphne akhirnya menyadari dirinya sudah memasuki ruangan.

Simon mengangguk berwibawa, penampilan dinginnya sangat bertolak belakang dengan ekspressi mengharap para pengagum lain gadis itu. “Miss Bridgerton.”

“Senang sekali melihatmu,” tutur Daphne, senyum gembira menghiasi wajahnya.

Nah, begitu dong. Simon menegakkan buket bunganya dan mulai berjalan menghampiri gadis itu, namun menyadari ada tiga pengagum muda yang menghalangi jalannya, dan tak seorang pun yang sepertinya berniat memberi jalan padanya. Simon melontarkan tatapan terangkuhnya kepada yang pertama, mengakibatkan pemuda itu –sungguh, dia terlihat baru berumur dua puluh tahun, nyaris belum cukup umur untuk disebut pria dewasa –berdehem dengan sikap yang sangat tidak menarik dan bergegas minggir ke bangku jendela yang kosong.

Simon melangkah maju, siap mengulangi prosedur barusan dengan pemuda menyebalkan berikutnya, ketika sang viscountess mendadak melangkah ke depannya, dengan pakaian biru tua serta senyuman yang kecerahannya mungkin menyaingi senyuman Daphne.

“Your Grace!” sapa sang viscountess riang. “Senang sekali melihatmu di sini. Kami tersanjung kau bersedia datang kemari.”

“Aku tak bisa membayangkan diriku berada di tempat lain,” gumam Simon sembari meraih tangan sang viscountess yang bersarung lalu menciumnya. “Putrimu wanita muda yang luar biasa.”

Sang viscountess mendesah puas. “Dan bunga yang amat sangat indah,” ujarnya, begitu selesai merasakan kebanggaan keibuannya. “Apa ini dari Belanda? Harganya pasti mahal sekali.”

“Ibu!” seru Daphne tajam. Ia melepaskan tangannya dari cengkraman pengagum yang agak terlalu bersemangat dan menghampiri ibunya. “Apa yang bisa dijawab sang duke dengan pertanyaan seperti itu?”

“Aku bisa memberitahunya berapa harga bunga ini,” ujar Simon sambil setengah tersenyum jail.

“Kau takkan melakukannya.”

Simon mencondongkan badan ke depan, memelankan suaranya supaya hanya Daphne yang bisa mendengarnya. “Bukankah semalam kau mengingatkanku bahwa aku ini duke?” gumamnya. “Seingatku kau memberitahuku aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan.”

“Ya, tapi bukan  itu,” bantah Daphne sambil melambaikan tangan. “Kau tidak mungkin bersikap sangat tidak sopan seperti itu.”

“Tentu saja sang duke tidak akan bersikap tidak sopan!” seru sang viscountess, jelas tercengang Daphne bahkan menyebutkan kata itu di hadapan sang duke. “Apa yang kau katakan? Mengapa sang duke bersikap sangat tidak sopan?”

“Bunganya,”  jawab Simon. “Harganya. Daphne berpendapat sebaiknya aku tidak memberitahumu.”

“Beritahu aku nanti,” bisik sang viscountess dari sudut bibirnya, “ketika daphne tidak mendengarnya.” Kemudian ia kembali ke sofa damask hijau tempat Daphne duduk bersama para pengagumnya dan mengusir mereka semua dalam waktu kurang dari tiga detik. Simon harus mengagumi taktik militer yang digunakan wanita itu untuk menjalankan manuvernya.

“Nah,’ ujar sang viscountess. “Kebetulan sekali. Daphne, bagaimana jika kau dan sang duke duduk di sana?”

“Maksudmu tempat Lord Railmont dan Mr. Crane duduk barusan?” tanya Daphne polos.

“Tepat sekali,” jawab Violet, dengan apa yang Simon anggap sebagai pertahanan mengagumkan terhadap sindiran tajam. “Lagi pula, Mr. Crane bilang dia harus menemui ibunya di Gunter’s jam tiga.”

Daphne melirik jam. “Sekarang baru jam dua, Ibu.”

“Lalu lintasnya benar-benar menyebalkan akhir-akhir ini,” tukas Violet sambil mendesah kesal, “akibat terlalu banyak kuda di jalanan.”

“Tidak pantas seorang pria membuat ibunya menunggu,” komentar Simon, terhanyut arus pembicaraan ini.

“Bagus sekali, Your Grace.” Wajah Violet berseri-seri. “Percayalah, aku mengungkapkan hal yang persis sama kepada anak-anakku sendiri.”

“Dan jika kau masih belum yakin,” imbuh Daphne, tersenyum, “aku bisa memastikannya dengan senang hati.”

Violet hanya tersenyum. “Jika ada yang mengerti, pasti kaulah orangnya, Daphne. Nah, aku permisi dulu, ada urusan yang harus kulakukan. Oh, Mr. Crane! Mr. Crane! Ibumu takkan pernah memaafkanku jika aku tidak mengusirmu tepat pada waktunya.” Ia bergegas pergi, menggandeng lengan Mr. Crane yang malang dan membimbingnya ke pintu, nyaris tidak memberi pria itu waktu untuk mengucapkan selamat tinggal.

Daphne menoleh kepada Simon dengan ekspresi geli. “Aku tidak bisa memutuskan apa ibuku bersikap luar biasa sopan atau amat sangat kasar.”

“Mungkin amat sangat sopan?” sahut Simon santai.

Daphne menggeleng. “Oh, pasti bukan itu.”

“Tentu saja alternatifnya adalah–”

“Luar biasa kasar?” Daphne menyengir dan mengamati ibunya menggamit lengan Lord Railmont, mengarahkan pria itu menghadap Daphne supaya bisa mengangguk sebagai ganti ucapan selamat tinggal, kemudian membimbingnya ke luar ruangan. Kemudian, seolah dengan sihir, sisa-sisa pelamar menggumamkan ucapan selamat tinggal mereka dengan terburu-buru dan mengikuti jejak Lord Railmont.

“Luar biasa efisien, bukan?” gumam Daphne.

“Ibumu? Dia itu keajaiban dunia.”

“Tentu saja dia akan kembali.”

“Sayang sekali. Padahal kupikir kau sudah benar-benar berada dalam genggamanku.”

Daphne tergelak. “Aku tidak tahu mengapa orang-orang menganggapmu sebagai playboy. Selera humormu jauh terlalu hebat.”

“Padahal kami para playboy berpikir kami ini amat sangat humoris.”

“Selera humor seorang playboy,” tegas Daphne, “Pada dasarnya kejam.”

Komentar gadis itu mengejutkan Simon. Ia menatap Daphne lekat-lekat, mencermati mata coklat gadis itu, namun tidak tahu apa yang dicarinya. Ada lingkaran tipis berwarna hijau tepat di bagian luar pupil gadis itu, warna hijau segelap dan sekaya lumut. Ia tersadar dirinya belum pernah bertemu gadis itu pada siang hari.

“Your Grace?” Suara lembut Daphne menyentak simon dari lamunannya.

Simon mengerjapkan mata. “Maaf.”

“Kau terlihat berada ribuan kilometer dari sini,” Tutur Daphne, alisnya berkerut.

“Aku sudah pernah pergi ribuan kilometer dari sini.” Simon melawan desakan untuk mengarahkan kembali tatapannya ke mata gadis itu. “Ini sama sekali berbeda.”

Daphne tertawa kecil, suaranya sungguh-sungguh merdu. “Oh ya, itu benar. Sementara aku bahkan tidak pernah pergi lebih jauh dari Lancashire. Aku pasti terlihat seperti orang udik.”

Simon mengabaikan komentar Daphne. “Maafkan aku karena sudah melamun. Kurasa tadi kita sedang mendiskusikan minimnya selera humorku–”

“Itu tidak benar, dan kau tahu itu.” Daphne berkacak pinggang. “Aku jelas-jelas memberitahumu bahwa kau memiliki selera humor yang jauh lebih bagus dibanding playboy kebanyakan.”

Salah satu alis Simon terangkat dengan sikap yang agak pongah. “Dan kau tidak mengkategorikan kakak lelakimu sebagai playboy?”

“Mereka hanya berpikir mereka itu playboy,” ralat Daphne. “Bedanya jauh sekali.”

Simon mendengus. “Jika Anthony bukan seorang playboy, aku iba pada wanita yang bertemu playboy yang sebenarnya.”

Playboy itu bukan sekadar merayu puluhan wanita,” tutur Daphne santai. “Jika seorang pria tidak bisa melakukan apa pun selain memasukkan lidahnya ke mulut wanita dan mencium–”

Simon merasa tenggorokannya tercekat, tapi entah bagaimana ia berhasil berkata dengan tergagap, “Seharusnya kau tidak membicarakan hal semacam itu.”

Daphne mengangkat bahu.

“Kau seharusnya bahkan tidak tahu soal itu,” gerutu Simon.

“Empat saudara laki-laki,” ujar Daphne, menjelaskan segalanya. “Yah, tepatnya sih tiga. Gregory terlalu muda untuk disertakan.”

“Seseorang seharusnya menyuruh mereka menjaga ucapan mereka di dekatmu.”

Daphne mengangkat bahu lagi, kali ini hanya sebelah. “Seringkali mereka bahkan tidak sadar aku ada di sana.”

Simon tidak bisa membayangkan hal itu.

“Tapi tampaknya kita sudah menyimpang dari Topik Awal,” kata Daphne. “Aku hanya berniat berkata bahwa selera humor seorang playboy berdasar pada kekejaman. Dia butuh korban, karena dia tidak pernah bisa membayangkan menertawakan dirinya sendiri. Sementara, Your Grace, kau lumayan mahir dengan komentar yang merendahkan dirimu sendiri.”

“Aku tidak tahu apa aku harus berterima kasih padamu atau malah mencekikmu.”

“Mencekikku? Astaga, kenapa?” Daphne tergelak kembali, suara kaya dan parau yang terasa hingga jauh di dalam perut Simon.

Simon mendesah perlahan, embusan panjang udara yang nyaris tidak bisa menenangkan denyut nadinya. Jika gadis itu terus tertawa, ia takkan bisa menerima konsekwensinya.

Tapi Daphne terus menatapnya, mulut lebarnya melekuk membentuk salah satu senyum yang tampak seolah selalu hendak tertawa.

“Aku akan mencekikmu,” geram Simon, “berdasarkan prinsip umum.”

“Prinsip apa itu?”

“Prinsip umum pria,” gertaknya.

Alis Daphne terangkat dengan curiga. “Kebalikan dari prinsip umum  wanita?”

Simon memandang sekeliling. “Di mana kakakmu? Kau terlalu lancang. Seseorang harus mengajarimu sopan santun.”

“Oh, aku yakin kau akan lebih sering bertemu dengan Anthony. Malahan, aku agak kaget dia belum juga muncul. Dia lumayan kesal semalam. Aku dipaksa mendengarkan ceramah satu jam penuh tentang berbagai kekurangan dan dosamu.”

“Dosaku hampir pasti dibesar-besarkan.”

“Kalau kekuranganmu?”

“Mungkin betul,” aku Simon malu-malu.

Komentar itu kembali memunculkan senyum Daphne. “Yah, betul atau salah,” ujar gadis itu, “Anthony pikir kau merencanakan sesuatu.”

“Aku memang merencanakan sesuatu.”

Daphne menelengkan kepala dengan sinis sembari memutar bola matanya. “Dia pikir kau merencanakan sesuatu yang jahat.”

“Aku ingin sekali merencanakan sesuatu yang jahat,” tutur Simon pelan.

“Apa?”

“Bukan apa-apa.”

Daphne mengerutkan dahi. “Menurutku seharusnya kita memberitahukan rencana kita pada anthony.”

“Apa untungnya?”

Daphne mengingat ceramah sejam penuh yang dialaminya semalam, dan hanya berkata, “Oh, kurasa aku akan membiarkan kau sendiri yang mencari tahu soal itu.”

Simon hanya mengangkat alisnya. “Daphne sayang...”

Mulut Daphne menganga sedikit karena kaget.

“Kau takkan memaksaku memanggilmu Miss Bridgerton, bukan?” Simon mendesah dengan dramatis. “Setelah semua yang telah kita lalui.”

“Kita tidak melalui apa pun, dasar pria konyol, tapi kurasa kau boleh memanggilku Daphne.”

“Bagus.” Simon mengangguk dengan sikap angkuh, “Kau boleh memanggilku ‘Your Grace’.”

Daphne memukul pelan lengan pria itu.

“Baiklah,” balas Simon, sudut bibirnya berkedut-kedut. “Simon, kalau memang harus.”

“Oh, aku harus.” Sahut Daphne, memutar bola matanya, “jelas aku harus melakukannya.”

Simon mencondongkan badan mendekat, sesuatu yang aneh dan agak panas berpendar di mata pucatnya. “Benarkah itu?” gumamnya. “Seharusnya aku sangat senang mendengarnya.”

Mendadak Daphne merasa pria itu membicarakan sesuatu yang jauh lebih mesra dibanding sebutan nama depannya. Rasa panas aneh dan menggelitik menjalari lengannya, dan tanpa berpikir, ia meloncat selangkah ke belakang. “Bunganya indah sekali,” ucapnya buru-buru.

Simon mengamati bunga itu dengan malas, memutar-mutar buket tersebut dengan pergelangan tangannya. “Ya, itu benar, bukan?”

“Aku sangat menyukainya.”

“Ini bukan untukmu.”

Daphne tersedak.

Simon menyengir. “Ini untuk ibumu.”

Bibir Daphne perlahan membuka dengan terkejut, embusan pelan udara melewati bibirnya sebelum ia berkata, “Oh, kau memang pria yang amat cerdik. Dia pasti leleh di kakimu. Tapi, kau tahu, nanti hal ini bakal menghantuimu lho.”

Simon menatap Daphne dengan tatapan pongah. “Oh, ya?”

“Sungguh. Dia akan semakin bertekad menyeretmu ke altar. Kau akan terus dirongrong di pesta dansa jika kita tidak merancang taktik ini.”

“Omong kosong,” bantah Simon. “Tadinya aku harus menerima perhatian lusinan Ibu Ambisius. Sekarang aku hanya perlu menghadapi seorang ibu.”

“Kegigihannya mungkin akan mengejutkanmu,” gumam Daphne. Kemudian ia menoleh dan memandang ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Dia pasti benar-benar menyukaimu,” tambahnya. “dia membiarkan kita di sini sendirian lama sekali.”

Simon merenungkan hal itu dan mencondongkan badan ke depan untuk berbisik, “Mungkin dia menguping di pintu?”

Daphne menggeleng. “Tidak, kita pasti mendengar suara sepatunya berdetak di lorong.”

Sesuatu tentang pernyataan itu membuat Simon tersenyum, dan Daphne mendapati dirinya tersenyum bersama pria tersebut. “Tapi aku benar-benar harus berterima kasih padamu,” ujarnya, “sebelum ibuku kembali.”

“Oh? Kenapa?”

“Rencanamu sukses besar. Paling tidak buatku. Tidakkah kau melihat berapa banyak pengagum yang datang menemuiku pagi ini?”

Simon menyilangkan lengannya, bunga tulip tergantung terbalik. “Aku melihatnya.”

“Ini brilian, sungguh. Aku belum pernah punya begitu banyak tamu dalam satu siang. Ibu amat sangat bangga. Bahkan Humboldt –dia kepala pelayan kami –berseri-seri, dan aku bahkan belum pernah melihatnya tersenyum sedikit pun. Ups! Lihat airnya menetes.” Daphne membungkuk dan membetulkan posisi buket bunga itu, lengan atasnya bergesekan dengan bagian depan jaket Simon. Ia langsung meloncat mundur, terkejut oleh panas serta kekuatan pria itu.

Demi Tuhan. Jika ia bisa merasakan semua itu dari balik kemeja serta jaket sang duke, bagaimana jika pria itu tidak berpakaian?

Wajah Daphne memerah. Merah gelap dan kelam.

“Aku bersedia menyerahkan seluruh hartaku demi mengetahui jalan pikiranmu,” komentar Simon, alisnya terangkat dengan bertanya-tanya.

Untungnya Violet memilih saat itu untuk melenggang masuk. “Maafkan aku yang sebesar-besarnya karena meninggalkanmu begitu lama,” ujarnya, “tapi sepatu kuda Mr. Crane copot, jadi tentu saja aku harus menemaninya ke istal dan mencari bujang kuda untuk membetulkannya.”

Selama tahun-tahun kebersamaan mereka –yang, batin Daphne sinis, tentu saja berarti seluruh hidupnya –tidak sekali pun ia tahu ibunya pernah menginjak istal.

“Kau benar-benar nyonya rumah yang luar biasa,” puji simon mengulurkan bunganya. “Terimalah, ini untukmu.”

“Untukku!” Violet menganga, dan suara desahan pelan aneh terlontar dari bibirnya. “Kau yakin? Karena aku –“ Ia menoleh kepada Daphne, kemudian berpaling kepada Simon, dan akhirnya kembali menatap putrinya. “Kau yakin?”

“Sudah pasti.”

Violet mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat, dan Daphne menyadari air mata menghiasi mata ibunya. Ia tersadar, tidak ada yang pernah memberi ibunya bunga. Paling tidak sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu. Violet ibu yang luar biasa hingga Daphne lupa ibunya juga seorang wanita.

“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” isak Violet.

“Cobalah dengan ‘terima kasih’,” bisik Daphne di telinga ibunya, cengiran menambah kehangatan dalam suaranya.

“Oh, Daff, kau memang paling usil.” Violet menampar pelan lengan putrinya, terlihat lebih muda dibanding yang pernah dilihat Daphne. “Tapi terima kasih, Your Grace. Bunga ini indah sekali, tapi yang lebih penting, tindakan ini manis sekali. Aku akan selalu menghargai momen ini.”

Simon terlihat seolah hendak mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

Daphne menatap ibunya, melihat kegembiraan murni di mata sebiru bunga cornflower itu, dan menyadari dengan sedikit malu bahwa tak seorang pun anaknya yang pernah bertindak dengan sikap semanis pria yang berdiri di sampingnya.

Duke of Hastings. Daphne memutuskan pada saat itu juga dirinya pasti bodoh jika tidak jatuh cinta kepadanya. Tentu saja menyenangkan jika pria itu membalas perasaannya.

“Ibu,” kata Daphne, ‘bagaimana kalau kuminta pelayan mengambilkan vas untukmu?”

“Apa?” Violet terlalu sibuk menciumi bunga-bunganya dengan bahagia sehingga tidak mendengar kata-kata putrinya. “Oh. Ya, tentu saja. Suruh Humboldt mengambilkan vas kristal dari nenekku.”

Daphne menyunggingkan senyuman bersyukur kepada Simon dan melangkah ke pintu, tapi ketika ia baru saja mengambil dua langkah, sosok besar dan mengancam kakak sulungnya muncul di ambang pintu.

“Daphne,” geram Anthony. “Aku memang sedang mencarimu.”

Daphne memutuskan strategi terbaik adalah dengan mengabaikan kekesalan kakaknya. “Sebentar ya, Anthony,” ucapnya manis. “Ibu memintaku mengambilkan vas. Hastings membawakan bunga untukn ya.”

“Hastings ada di sini?” Anthony memandang ke belakang Daphne, ke arah dua orang yang berdiri di tengah ruangan. “Apa yang kau lakukan di sini, Hastings?”

“Menemui adikmu.”

Anthony menyingkirkan Daphne dan berderap ke dalam ruangan, terlihat mirip awan kilat berkaki.

“Aku tidak memberika izin untuk mendekati adikku,” seru Anthony lantang.

“Aku yang mengizinkannya,” timpal Violet. Ia menyodorkan bunganya ke arah Anthony, menggertakkannya hingga menumpahkan banyak sekali serbuk bunga di hidung putra sulungnya. “Ini cantik sekali, bukan?”

Anthony bersin dan menepis bunga itu. “Ibu, aku berusaha bercakap-cakap dengan sang duke.”

Violet menatap simon. “Kau mau bercakap-cakap dengan putraku?”

“Tidak juga.”

“Baiklah, kalau begitu. Anthony, diamlah.”

Daphne menutup mulutnya dengan tangan, tapi, meski demikian, masih terdengar suara cekikik pelan.

“Kau!” Anthony mengacungkan jari ke arah Daphne. “Diamlah!”

“Mungkin sebaiknya aku mengambilkan vas itu,” renung Daphne.

“Dan meninggalkanku di hadapan kakakmu yang ingin mencekikku?” tanya Simon santai. “Kurasa tidak.”

Daphne mengangkat sebelah alisnya. “apa kau menyiratkan bahwa kau tak cukup jantan untuk berhadapan dengannya?”

“Maksudku sama sekali bukan begitu. Aku hanya berpendapat dia itu masalahmu, bukan masalahku, dan–”

Brengsek, apa-apaan ini!” raung anthony.

“Anthony!” seru Violet. “Aku tidak membolehkan bahasa kasar itu terucap di ruang dudukku.”

Daphne menyengir.

Simon tidak melakukan apa-apa selain menelengkan kepala, mencermati Anthony dengan tatapan ingin tahu.

Anthony mengerutkan dahi dan memelototi mereka berdua sebelum mengalihkan perhatian kepada ibunya. “Dia tidak boleh dipercayai. Tahukah kau apa yang terjadi saat ini?” tuntutnya.

“Tentu saja,” jawab violet. “Sang duke datang menemui adikmu.”

“Dan aku membawa bunga untuk ibumu,” imbuh Simon.

Anthony menatap hidung Simon dengan penuh hasrat. Simon mendapat kesan Anthony membayangkan dirinya meremukkan hidung tersebut.

Anthony menoleh dengan cepat untuk menatap ibunya. “Tahukah kau seberapa parah reputasinya?”

Playboy yang sudah bertobat dan akan menjadi suami terbaik,” tutur Violet.

“Omong kosong, dan kau tahu itu.”

“Lagi pula, dia bukan playboy sejati,” timpal Daphne.

Tatapan yang dilontarkan Anthony kepada adik perempuannya terlihat begitu kejam dan menusuk hingga Simon nyaris tertawa. Ia berhasil menahan diri, tapi kebanyakan hanya karena ia cukup yakin ekspresi geli sedikit pun akan menyebabkan naluri Anthony untuk meninjunya akan kalah dalam pertempurannya dengan logika pria itu, dan wajah Simon akan menjadi korban utama konflik tersebut.

“Kau tidak tahu,” ujar anthony, suaranya rendah dan nyaris memetar karena murka. “Kau tidak tahu apa yang telah dilakukannya.”

“Aku yakin itu tidak lebih daripada apa yang telah kau lakukan,” tukas Violet jail.

“Tepat sekali!” raung Anthony. “Demi tuhan, aku tahu pasti apa yang terlintas dalam benaknya sekarang, dan itu tidak ada hubungannya dengan puisi serta mawar.”

Simon membayangkan merebahkan Daphne di ranjang bertabur kelopak marar. “Yah, mungkin mawar,” gumamnya.

“Aku akan membunuhnya,” Anthony mengumumkan.

“Lagi pula, ini kan tulip,” ucap Violet tegas, “dari Belanda. Dan Anthony, sebaiknya kau mengendalikan emosimu dengan baik. Ini sama sekali tidak pantas.”

“Dia bahkan tidak pantas menjilat sepatu Daphne.”

Benak simon penuh dengan lebih banyak bayangan erotis. Kali ini dirinya menjilati jemari kaki Daphne. Ia memutuskan untuk tidak berkomentar. Lagi pula, ia sudah memutuskan takkan mengizinkan pikirannya berkelana ke arah itu. Demi Tuhan, Daphne adik Anthony. Ia tidak bisa merayunya.

“Aku tidak mau mendengar lagi ucapan yang menjelek-jelekkan His Grace,” ucap Violet tegas, “dan topik pembicaraan ini sudah selesai.”

“Tapi–”

“Aku tidak menyukai nada bicaramu, Anthony Bridgerton!”

Simon pikir ia mendengar Daphne menahan kekehannya, dan bertanya-tanya apa maksud semua ini.

“Jika Yang Mulia Ibunda tidak keberatan,” ucap Anthony dengan nada yang amat sangat datar, “aku ingin berbicara empat mata dengan His Grace.”

“Kali ini aku benar-benar akan mengambil vas itu,” ujar Daphne dan bergeser keluar dari ruangan.

Violet menyilangkan lengannya, dan berkata pada Anthony, “aku tidak mengizinkan kau mengasari tamu di rumahku.”

“Aku takkan menyentuhnya sedikit pun,” balas Anthony. “Aku bersumpah.”

Karena tidak pernah mempunyai ibu, Simon mendapati pembicaraan ini sangat menarik. Lagi pula, Bridgerton House ini secara teknis adalah rumah Anthony, bukan rumah ibunya, dan Simon kagum Anthony tidak mengutarakan fakta tersebut. “Tidak apa-apa, Lady Bridgerton,” selanya. “Aku yakin ada banyak hal yang harus kami bicarakan.”

Mata Anthony menyipit. “Banyak sekali.”

“Baiklah,” ucap Violet. “Lagi pula, kau akan melakukan apa yang kuinginkan tanpa memedulikan kata-kataku. Tapi aku tidak mau pergi.” Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa. “Ini ruang dudukku, dan aku akan merasa  n yaman di sini. Jika kalian berdua hendak menjalankan pertukaran konyol yang dianggap sebagai pembicaraan oleh kaum pria spesies kita, lakukanlah di tempat lain.”

Simon berkedip kaget. Jelas otak ibu Daphne tidak sedangkal penampilannya.

Anthony mengedikkan kepala ke arah pintu, dan Simon mengikuti sahabatnya ke aula.

“Ruang kerjaku di sini,” ujar Anthony.

“Kau punya ruang kerja di sini?”

“Aku kan kepala keluarga.”

“Tentu saja,” Simon mengiyakan, “tapi kau tinggal di tempat lain.”

Anthony terdiam dan menatap Simon dengan sorot mata serius. “Kau tidak mungkin tak menyadari bahwa posisiku sebagai kepala keluarga Bridgerton memiliki tanggung jawab serius.”

Simon menatap mata Anthony lurus-lurus. “Maksudmu Daphne?”

“Persis.”

“Seingatku,” ujar Simon, “beberapa hari lalu kau ingin memperkenalkan kami.”

“Itu sebelum kupikir kau akan tertarik padanya!”

Simon menahan mulutnya sembari mendahului anthony memasuki ruang kerja pria itu, tetap membisu sampai Anthony menutup pintu. “Kenapa kau berasumsi aku takkan tertarik kepada adikmu?” tanyanya pelan.

“Selain fakta bahwa kau sudah bersumpah padaku bahwa kau takkan pernah menikah?” balas Anthony malas.

Anthony punya alasan kuat. Simon benci Anthony punya alasan sekuat itu. “Selain itu,” bentaknya.

Anthony berkedip dua kali, kemudian berkata, “Tidak ada orang yang tertarik pada Daphne. Paling tidak orang yang kami anggap pantas untuk dinikahinya.”

Simon menyilangkan lengannya dan bersandar ke dinding. “Kau tidak terlalu menghargainya, bu–”

Sebelum ia bahkan bisa mengakhiri pertanyaannya, Anthony sudah mencekik lehernya. “jangan berani-berani menghina adikku.”

Tapi Simon sudah cukup banyak belajar tentang taktik bela diri selama perjalanannya, dan hanya butuh dua detik untuk membalik posisi mereka. “Aku tidak menghina adikmu,” ujarnya dengan suara keji. “Aku menghinamu.”

Terdengar suara berdeguk dari leher Anthony, maka Simon melepaskannya. “Kebetulan,” jelasnya, menggosok-gosok kedua tangan, “Daphne menjelaskan padaku mengapa dia tidak menarik perhatian seorang pun pengagum yang pantas.”

“Oh?” sahut Anthony menghina.

“Secara pribadi, menurutku itu berhubungan dengan cara-cara primitif yang kau dan adik lelakimu lakukan, tapi Daphne memberitahuku itu karena seluruh London menganggapnya sebagai teman, dan tak seorang pun menganggapnya sebagai srikandi romentis.”

Anthony terdiam cukup lama sebelum berkata, “Oh begitu.” Kemudian setelah membisu lagi, ia menambahkan sambil merenung, “Mungkin, Daphne benar.”

Simon tidak berkata apa-apa, hanya mengamati sahabatnya merenungkan semua ini. Akhirnya Anthony berkata, “Aku tidak suka kau mengendus-endus di dekat Daphne.”

“Astaga, kau membuatku terdengar seperti anjing.”

Anthony menyilangnkan lengannya, “Jangan lupa, kita tergabung dalam kelompok yang sama setelah lulus dari Oxford. Aku tahu persis apa yang telah kau lakukan.”

“Oh, demi tuhan, Bridgerton, kita baru dua puluh tahun waktu itu! Semua orang masih tolol pada usia itu. Lagi pula, kau tahu pasti s-s–”

Simon merasakan lidahnya mendadak kelu, dan pura-pura terbatuk untuk menutupi kegagapannya. Sialan. Hal ini sangat jarang terjadi akhir-akhir ini, tapi ketika terjadi, selalu ketika dirinya terguncang atau marah. Jika ia kehilangan kendali atas emosinya, ia kehilangan kendali atas ucapannya. Sesederhana itu saja.

Dan sayangn ya, peristiwa semacam ini malah membuatnya terguncang dan marah pada dirinya sen diri, yang sebagai akibatnya memperparah kegagapannya. Itu lingkaran setan yang paling kejam.

Anthony menatap bingung. “Kau baik-baik saja?”

Simon mengangguk. “Tenggorokanku agak kering,” jawabnya berbohong.

“Mau kumintakan teh?”

Simon mengangguk lagi. Ia sebenarnya tidak menginginkan teh, tapi sepertinya itulah yang diminta seseorang jika tenggorokannya benar-benar kering.

Anthony menarik tali bel, kemudian berbalik menghadap Simon dan berkata, “Apa yang barusan ingin kau katakan?”

Simon menelan ludah, berharap hal itu bisa membantunya mengendalikan amarahnya. “Aku hanya bermaksud mengatakan bahwa kau lebih tahu dibanding semua orang lain bahwa paling tidak setengah reputasiku itu tidak layak aku terima.”

“Ya, tapi aku ada di sana untuk setengah yang memang layak kau terima, dan walaupun aku tidak keberatan kau sesekali bersosialisasi dengan Daphne, aku tidak mau kau mendekatinya.”

Simon menatap sehabatnya –atau paling tidak pria yang ia pikir sahabatnya –dengan terpana. “kau benar-benar berpikir aku akan merayu adikmu?”

“Aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku tahu kau berencana untuk tidak pernah menikah. Aku tahu Daphne ingin menikah.” Anthony mengangkat bahu. “Sejujurnya, itu sudah cukup bagiku untuk memisahkan kalian berdua sejauh mungkin.”

Simon mendesah panjang. Walaupun sikap Anthony sangat menyebalkan, ia pikir hal itu bisa dimaklumi, bahkan patut dipuji. Lagi pula, pria itu hanya bertindak demi kebaikan adiknya. Simon sulit membayangkan bertanggung jawab atas orang lain selain dirinya sendiri., tapi ia rasa jika punya adik perempuan, ia juga bakal sangat memilih siapa yang diizinkan mendekati adiknya.

Tepat pada saat itu terdengar ketukan di pintu.

“Masuk!” seru Anthony.

Alih-alih pelayan yang membawa teh, Daphne menyelinap masuk ke dalam ruangan. “Ibu memberitahuku suasana hati kalian berdua sendang buruk, dan sebaiknya aku meninggalkan kalian berdua, tapi kupikir sebaiknya aku memastikan kalian tidak membunuh satu sama lain.

“Tidak kok,” sahut Anthony sambil tersenyum muram, “hanya sedikit mencekik.”

Secara mengagumkan Daphne tidak berkedip sekitpun. “Siapa mencekik siapa?”

“Aku mencekiknya,” jawab Anthony, “kemudian dia membalasnya.”

“Oh begitu,” tutur Daphne pelan. “Aku menyesal melewatkan hiburan itu.”

Simon tidak bisa menahan senyumannya mendengar komentar gadis itu. “Daff,” kementarnya.

Anthony langsung berbalik badan. “Kau memanggilnya Daff?” Ia menoleh cepat kembali kepada Daphne. “Kau sudah mengizinkan dia menggunakan nama depanmu?”

“Tentu saja.”

“Tapi–”

“Menurutku,” potong Simon, “kita harus mengungkapkan segalanya.”

Daphne mengangguk serius. “Kurasa kau benar. Seingatku, aku sudah mengusulkannya padamu.”

"Betapa sopan dirimu dengan mengungkitnya,” gumamSimon.

Daphne tersenyum bangga. “Aku tidak bisa menahan diri. Lagi pula, dengan empat saudara lelaki, aku harus menyambar kesempatan di aman aku bisa berkata ‘sudah kubilang kan.’”

Simon menatap dari satu saudara ke saudara lainnya. “Aku tidak tahu mana yang lebih kukasihani di antara kalian berdua.”

“Sialan, ada apa sih sebenarnya?” tuntut Anthony, dan kemudian menambahkan, “dan menyangkut kementarmu barusan, kasihanilah aku. Aku kakak laki-laki yang jauh lebih ramah dibandingkan dia sebagai adik perempuan.”

"Itu tidak benar!”

Simon mengabaikan perselisihan itu dan memusatkan perhatian kepada Anthony. “Kau mau tahu apa yang sebenarnya terjadi? Begini...”

 

Synopsis 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar