Kamis, 28 Januari 2021

Beyond the Highland Mist #6

Adrienne tahu ia sedang bermimpi. Ia terperosok di mimpi buruk yang sama selama berbulan-bulan; mimpi buruk saat ia berlari menyusuri lorong-lorong sepi dan gelap, mencoba melarikan diri dari maut.


Bagaimanapun kerasnya ia berusaha mengendalikan mimpinya, ia tak pernah selamat. Selalu saja, Eberhard memojokkannya dalam sebuah gudang bekas di Blue Magonda Lane. Hanya satu hal yang berbeda dari kenyataan yang Adrienne jalani –dalam mimpinya, Adrienne tak sempat meraih pistol.

Ia terbangun sambil gemetar dan pias, dengan tetesan keringat dingin membasahi wajahnya.

Lalu tampaklah Hawk, duduk di ujung tempat tidur, diam-diam memandanginya.

Adrienne membelalakkan mata ke arahnya. Dalam keadaan masih mengantuk dan kebingungan ketampanan Hawk sekilas mirip tampannya wajah Eberhard, membuat Adrienne memikirkan apa perbedaan antara kedua lelaki itu –jika ada. Setelah bermimpi buruk tentang satu lelaki tampan, lalu terbangun dan menemui satu lagi di dekatnya, sepertinya syarafnya tak kuat menanggung itu semua. Walaupun ia tak ingat bagaimana ia bisa sampai ke abad ke enam belas, ingatannya yang lain tampaknya tetap normal. Adrienne de Simone mengingat satu hal dengan terang dan jelas –ia tak percaya dan tak suka lelaki tampan.

“Kau tadi menjerit,” Hawk memberitahunya dengan suara yang merdu.

Adrienne memutar bola matanya. Apa lelaki ini tak bisa melakukan sesuatu yang lain selain mendesah merdu setiap kali ia membuka mulutnya? Suaranya itu bisa membujuk seorang biarawati buta melupakan sumpahnya.

“Pergilah,” Adrienne menggumam.

Hawk tersenyum. “Aku ke sini hanya memastikan tak ada lagi yang mencoba membunuhmu.”

“Sudah kubilang, bukan aku yang mereka incar.”

Hawk duduk dengan berhati-hati, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Benak Adrienne penuh dengan serpihan-serpihan mimpi buruk saat angin lembut berhembus lewat jendela dan membelai kulitnya. Astaga, kulitnya! Secepat kilat ia meraih seprai sutra dan menutupi payudaranya yang hampir telanjang. Gaun keparat yang ia temukan terlipat rapi di dekat tempat tidur –oleh seseorang yang jelas lebih tak punya adat berpakaian sopan daripada Adrienne– samasekali tidak bisa dianggap sebagai pakaian tidur. Tali gaun yang sangat kecil melorot dari bahunya sementara rok gaun tidurnya tertarik ke atas; kumpulan bahan gaun yang transparan terkumpul di sekitar pinggangnya, hampir tak bisa menutupi pinggulnya –dan itupun jika ia tak bergerak sama sekali. Adrienne menarik gaunnya, mencoba merapikannya tanpa melepaskan cengkraman pada seprai.

Hawk mengerang, dan suara seraknya itu membuat setiap ujung syaraf Adrienne menari-nari. Adrienne memaksa melawan tatapan membara dari Hawk.

 “Janet, aku tahu kita berdua tidak memulai pernikahan ini dengan cara yang baik.”

“Adrienne. Dan aku setuju sekali.”

“Bukan, namaku Sidheach. Adrian itu abangku. Tapi kebanyakan orang memanggilku Hawk.”

“Maksudku aku. Panggil aku Adrienne.” Lalu ia buru-buru menambahkan setelah melihat pandangan bingung dari Hawk. “Nama tengahku Adrienne, dan aku lebih suka dipanggil begitu.” Kebohongan yang kecil dan sederhana. Ia tak bisa terus-terusan menjawab panggilan untuk nama Janet, suatu saat ia pasti akan lupa.

“Adrienne,” Hawk mendesah, dengan memberi penekanan menjadi Adry-EN. “Seperti yang kukatakan” –ia beringsut mendekat sedemikian rupa sehingga Adrienne baru menyadari saat Hawk sudah berjarak sangat dekat – “Kurasa awal kita tidak bagus, dan aku berniat memperbaikinya.”

“Kau bisa memperbaikinya dengan segera menyingkir dariku. Sekarang. Hush!” Adrienne mencengkram seprai dengan hati-hati sementara satu tangan lagi mengibas-ngibas mengusir Hawk, yang memandangnya dengan rasa kagum. Adrienne mencoba mengusirnya sekali lagi saat Hawk tak beringsut, tapi Hawk segera menangkap tangannya.

“Tangan yang indah,” ia menggumam, membalikkan tangan Adrienne dan menciumnya dengan lembut tepat di tengah bagian paling peka di tengah telapak tangannya. “Aku sudah khawatir Janet Gila adalah wanita pemarah yang buruk. Sekarang aku tahu kenapa Comyn menyembunyikanmu di menaranya bertahun-tahun. Kau memang yang paling berkilau di antara harta keluarga Comyn. Kekayaannya berkurang berlipat-lipat setelah kehilanganmu.”

“Ah, diamlah,” Adrienne menyambar, dan Hawk mengerjapkan mata karena kaget. “Dengar ya, Sidhawk atau Hawk, atau siapalah kau ini, aku sama sekali tak terkesan. Jika kita berdua harus terpaksa hidup berdua seatap, kita harus meluruskan beberapa hal dulu. Pertama” –Adrienne mengangkat tangannya, mengecungkan jarinya sambil berkata– “aku tak suka padamu. Biasakan itu. Kedua, Aku tak ingin menikah denganmu, tapi aku tak punya pilihan lain.”

“Kau menginginkan pria lain,” desahan Hawk berubah menjadi geraman tak suka.

 “Keiga,” Adrienne meneruskan tanpa mempedulikan ucapan Hawk, “Bagiku caramu yang sok jantan itu tak menarik. Kau bukan tipeku...”

“Tapi Adam iya, bukan?” Rahang Hawk mengeras dan matanya berkilau.

“Lebih daripada kau,” Adrienne berbohong, berkesimpulan bahwa jika ia bisa memberi kesan sungguh-sungguh, Hawk akan meninggalkannya.

“Kau tak akan bisa mendapatkan dia. Kau istriku, suka atau tak suka. Aku tak mau dijadikan suami yang istrinya berselingkuh –”

“Untuk jadi seperti itu kau harus benar-benar sayang padaku.”

“Mungkin aku bisa.” Mungkin ia sudah menaruh hati dan ia sendiri tak tahu mengapa.

“Aku tak bisa.”

“Apakah aku begitu tak menarik?”

“Ya.”

Hawk menatap ke sekeliling ruangan. Memandangi langit-langit ruangan. Tak ada jawaban bisa ia temukan di sana.

“Para wanita selalu menganggapku menarik,” akhirnya Hawk berkata.

“Mungkin itu masalahmu.”

“Bagaimana?”

“Aku tak suka sikapmu.”

“Sikapku?” Hawk mengulang kata itu dengan dungu.

“Ya, jadi menyingkir dari tempat tidurku dan tak usah bicara apa-apa lagi malam ini.”

“Kau gadis paling menyebalkan yang pernah kutemui.”

“Dan kau adalah lelaki paling bajingan dan dangkal yang pernah aku temui.”

“Dari mana kau dapatkan semua pendapat ini tentangku?”  Hawk bertanya.

“Kita bisa mulai dari kau yang terlalu mabuk sampai tak bisa hadir di pernikahanmu sendiri.”

“Grimm yang bilang begitu? Grimm tak mungkin bilang begitu!”

“Ikatan antar pria,” Adrienne memutar bola matanya. “Ia hanya bilang bahwa kau sedang mengurusi pemberontakan. Yang ada di perutmu, ternyata. Pelayan wanita yang mengantarkanku ke sini memberitahuku dengan senang hati. Terus menyerocos tentang kau dan tiga tong kecil anggur dan tiga wanita menghabiskan satu minggu sebelum pernikahan kita sambil mencoba... kau tahu! –Adrienne menggumamkan sebuah kalimat yang tak jelas –sampai teler.””Mencoba apa sampai teler?”

“Kau tahulah.” Adrienne memutar bola matanya lagi.

“Aku benar-benar tak tahu. Apa kalimatmu tadi?”

Adrienne menatap tajam. Apakah lelaki ini sedang menggodanya? Apakah matanya berkilau licik? Senyuman lelaki ini bisa melumerkan seprai yang sedang Adrienne genggam, apalagi keteguhan niatnya. “Sepertinya salah satu dari mereka berhasil, sebab jika kau masih waras, kau sudah enyah dari hadapanku sekarang,” Adrienne menukas.

“Sebenarnya bukan tiga,” Hawk menahan tawa.

“Bukan?”

“Sebenarnya lima.”

Rahang Adrienne mengencang. Ia mengangkat tangannya lagi, “Keempat –perkawinan ini hanya sebutan saja. Titik.”

“Tong anggurnya, maksudku.”

Tidak lucu.”

Suara tawa Hawk menggema. “Cukup. Sekarang kita akan menghitung aturan Hawk.” Ia mengangkat tangannya dan mulai menghitung dengan jari. “Pertama, kau istriku, artinya kau harus menuruti perintahku. Jika aku memerintahmu untuk pergi ke ranjang, maka itu yang terjadi. Kedua –tangan Hawk satu lagi terangkat dan Adrienne memicingkan mata, mengira akan dipukul, tapi Hawk menggenggam wajah Adrienne dengan kedua tangannya dan menatap tajam ke matanya– “Kau akan menjauh dari Adam. Ketiga, kau akan memberi kesan bahagia dinikahkan denganku –secara publik maupun pribadi. Keempat, kelima dan keenam, kau harus menjauh dari Adam. Ketujuh” –ia menarik Adrienne dari tempat tidur dan membuatnya berdiri dengan satu gerakan cepat– “Kau akan menjelaskan dengan apa persisnya yang menurutmu tak menarik dariku, setelah aku bercinta denganmu, dan kedelapan, kita akan punya anak. Banyak. Mungkin lusinan. Mungkin aku akan membuatmu gemuk karena hamil dari sekarang.”

Mata Adrienne makin membelalak mendengarkan Hawk bicara. Saat Hawk sampai pada bahasan tentang anak, rasa panik Adrienne hampir sempurna. Ia mengumpulkan kewarasan yang masih tersisa dan mencari senjata yang paling efektif. Apa yang bisa ia katakan agar lelaki ini menjauh? Egonya. Egonya yang besar dan harga diri kelaki-lakiannya. Ia harus menggunakan itu.

“Terserah kau mau apa. Aku hanya akan memikirkan Adam,” Adrienne menguap dan memeriksa kuku tangannya sendiri.

Hawk mundur, melepaskan tangannya dari tubuh Adrienne seakan terbakar. “Kau hanya akan memikirkan Adam!”

Hawk mengusap rahangnya, seakan tak percaya dengan kata yang baru ia dengar sambil memandangi kecantikan yang ada di depan matanya, separuh terbalut kain transparan. Rambut yang berkilau keperakan jatuh di sekeliling wajah paling cantik yang pernah ia lihat. Wajahnya berbentuk hati, rahangnya halus tapi kuat. Bibirnya penuh dan berwarna seperti buah plum, serta mata indahnya berwarna kelabu. Wanita ini adalah gairah yang bisa bernapas, dan ia sendiri tampaknya tak menyadari betapa cantiknya ia. Atau ia tak peduli. Seketika gairah mencengkram Hawk begitu kuat. Matanya memicing. Wanita ini berkulit halus, dengan bahu indah, pinggang ramping, pinggul yang membara dan sepasang kaki yang jenjang. Kecantikan wanita ini begitu memikatnya. Gadis ini sempurna. Walaupun Hawk bukanlah orang yang percaya takhayul, saat itu juga kalimat yang diucapkan Grimm sebagai permintaan saat bintang jatuh beberapa saat lalu mendadak muncul kembali di benaknya. Apa yang Grimm bilang?

Ia memohon agar Hawk menemui seorang wanita dengan “akal dan kebijaksanaan”; seorang wanita yang cerdas.

“Kau bisa berhitung?” Hawk menukas.

“Aku bisa membuat pembukuan seperti seorang ahli.”

“Kau bisa baca tulis?” Hawk mendesak.

“Tiga bahasa dengan lancar, dan dua cukup.” Itu alasan utama Adrienne bisa memalsukan aksen mereka dengan begitu baik dan berhasil meyakinkan mereka bahwa ia menang Janet Comyn. Walaupun beberapa kata dan ekspresinya mungkin membuat mereka bingung –mereka memang sepatutnya menganggapnya gila –Adrienne cepat mempelajari logat mereka dengan gampang. Adrienne memang suka dengan bahasa. Terlebih lagi, ia tak pernah melewatkan menonton setiap episode The Highlander.

Hawk mengerang. Bagian kedua dari permintaan Grimm adalah seorang wanita yang sempurna bentuk dan rupanya. Hawk tak bisa menyangkal hal itu. Wanita ini adalah Dewi Venus, yang jatuh ke dunia ini, dan Hawk punya perasaan bahwa dunia ini tak akan pernah sama lagi.

Jadi, dua permintaan permulaan yang diucapkan Grimm sudah menjadi kenyataan. Wanita ini memiliki kecerdasan juga kecantikan yang memukau.

Satu permintaan Grimm yang terakhir, yang paling merisaukan Hawk:Ucapan “tidak” di bibirnya yang sempurna...

Tak ada wanita yang hidup pernah bilang tidak pada Hawk.

“Aku menginginkanmu,” ujar Hawk dengan suara serak. “Aku akan bercinta dan memberimu sensasi yang belum pernah kau rasakan di Valhalla ini. Aku akan membawamu melampaui surga, membuatmu tak ingin menjejakkan kakimu di tanah lagi. Maukah kau izinkan aku membawamu ke sana? Kau ingin?” Hawk menunggu, tapi sudah yakin akan apa yang akan ia hadapi.

Bibir Adrienne bergerak menggairahkan, “Tidak.”

 

***

“Kau memberiku kutukan dengan permintaan keparatmu, Grimm!” Laird Sidheach James Lyon Douglas melolong ke langit tak berbintang, malam itu. Di balik lingkaran pohon-pohon Rowan, Adam menyalakan bara api dan mengeluarkan suara menyerupai suara tawa.

 

***

Adrienne duduk di dalam gelap di ujung tempat tidurnya untuk waktu yang lama setelah Hawk pergi, dan memicingkan mata mendengar teriakan Hawk yang membahana seolah tinggi menyentuh bulan. Kutukan. Bah! Adrienne lah yang dikutuk.

Bagi Hawk, Adrienne sama saja dengan wanita lain, dan satu hal yang sudah dipelajari oleh Adrienne de Simone bahwa jika menyangkut soal lelaki, ia tak sudi dianggap sama saja dengan yang lain.

Sama seperti banyak wanita sebelum dirinya, Adrienne sebenarnya menginginkan lelaki bernama Hawk ini. Menginginkannya jauh lebih besar dari rasa tertariknya pada si pandai besi. Ada sesuatu yang hampir menakutkan di mata pandai besi itu. Seperti Eberhard. Tapi Hawk memiliki mata indah berwarna gelap dengan percikan warna emas di bawah bulu mata tebal berwarna hitam. Mata Hawk mengisyaratkan semacam kenikmatan tiada tara, tawa, dan jika ia tak hanya membayangkan, semacam kepahitan masa lalu yang disimpan rapat-rapat.

Tentu saja, Adrienne berkata pada dirinya sendiri. Kepahitan karena tak punya cukup waktu untuk meniduri semua perempuan cantik di dunia. Kau tahu lelaki macam apa dia. Mata keranjang. Jangan lagi kau sakiti dirimu sendiri. Jangan bodoh, Adrienne.

Tapi Adrienne tak bisa mengusir rasa tak nyaman setiap kali ia terpaksa mengeluarkan kata-kata jahat kepada Hawk. Ia merasa seakan Hawk tak pantas menerimanya. Memang Hawk sama rupawannya seperti Eberhard, tapi itu bukan bearti ia sama jahatnya. Adrienne punya firasat bahwa ia sudah berlaku tak adil kepada Hawk, tapi ia tak tahu alasan apapun yang masuk akal tentang hal itu.

Ah, lalu adakah alasan masuk akal tentang cara dan mengapa kau tiba-tiba terpental dari tahun 1997 ke tahun 1513? Adrienne mendengus sendiri.

Adrienne sudah terlatih untuk mengamati kenyataan dan menghadapinya, sebagaimana irasional pun tampaknya. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di New Orleans, ia mengerti bahwa logika manusia tak bisa menjelaskan segalanya. Terkadang ada sesuatu di luar logika –sesuatu yang berada di luar pemahamannya. Akhir-akhir ini, Adrienne sendiri merasa kaget saat semuanya serasa masuk akal –setidaknya, sebelumnya, saat ia merasa ada keanehan yang terjadi, ia masih berada di tempat yang ia kenali. Sekalipun semuanya terasa tak masuk akal dan tak mungkin terjadi, seluruh lima indra yang ia miliki memaksanya untuk percaya bahwa ia tak lagi berada di Kansas.

Sebuah kenangan menggoda benaknya... apa yang sedang ia lakukan saat ia menemukan dirinya sendiri ada di pangkuan Comyn? Beberapa jam sebelum kejadian itu terasa kabur, tak jelas. Ia ingat merasakan seolah ia sedang diawasi...dan apa lagi? Suatu bebauan seperti rempah yang ia rasakan sebelum ia... apa? Adrienne mencoba menerobos selimut kebingungan tapi yang ia dapatkan hanya rasa sakit di kepalanya.

Adrienne mencoba bertahan sejenak lagi, lalu akhirnya menyerah pada rasa sakit di kepalanya. Adrienne menggumamkan doa agar apa pun hal di luar logika ini bisa memperlakukannya lebih baik lagi daripada saat ia bersama Eberhard.

Sayangnya ia belum bisa menghilangkan kenangan yang teramat buruk itu. Tapi tidak, hanya beberapa jam saja; sekelumit waktu nan pendek. Mungkin rasa syok atas apa yang baru saja terjadi, membuat benaknya membisu sejenak. Tapi tentu setelah ia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini ia akan bisa mencari tahu bagaimana ia bisa berjalan melintasi lorong waktu. Dan cara untuk kembali ke masanya.

Tapi lalu ia berpikir, apakah ia benar-benar ingin kembali ke semua hal yang sudah ia tinggalkan?


***


Keesokan paginya, Addrienne memercikkan air dingin ke wajahnya dan mematut diri ke piringan perak yang dipoles kasar yang tergantung di atas wadah mencuci muka. Ah, sungguh suatu kemewahan kecil. Air hangat. Pasta gigi, Apa yang paling ia inginkan?

Kopi. Pastinya ada orang di dunia ini yang sudah menanam kopi di tahun 1513. Jika suaminya yang tampan itu sangat ingin menyenangkan hatinya, mungkin ia bisa memintanya untuk mencarikan kopi –dan cepat. Ia bisa butuh satu teko penuh setiap pagi jika ia terus-terusan kurang tidur seperti ini.

Saat Hawk menginggalkan kamarnya semalam, Adrienne gemetar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Godaan sang pandai besi hanyalah berupa gema lirih jika dibandingkan dengan daya tarik yang ditimbulkan Hawk bagi seluruh panca indranya. Hanya dengan kehadirannya, Adrienne merasa lemas dan lututnya terasa goyah –perasaan yang jauh lebih kuat daripada yang ditimbulkan Adam. Adrienne mendengus saat ia mengingat aturan yang diucapkan Hawk. Empat di antaranya melarang ia dekat-dekat si pandai besi. Itu salah satu cara untuk membuat Hawk penasaran jika Adrienne mau. Setelah ia mendapatkan kopinya.

Adrienne menggeledah lemari pakaian Janet mencari sesuatu yang sedrhana untuk dikenakan. Ia memutuskan untuk memakai gaun berwarna kuning-limau (bagaimana orang-orang ini bisa membuat bahan seindah ini di masa sekuno ini?), ia memberi aksentuasi dengan sebuah ikat pinggang berwarna emas dan beberapa gelang emas yang ia temukan. Lalu sepasang selop kulit lembut untuk kakinya dan rambutnya yang berwarna perak terurai, lalu kopi yang menjadi prioritas utamanya.

 

***


“Kopi,” Adrienne berseru dengan suara serak saat ia berhasil menemukan jalan menelusuri istana yang sangat luas dan menemukan beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi dengan santai. Ada kira-kira selusin orang sedang duduk mengitari meja, tapi yang ia kenali hanyalah Grimm dan dia, jadi Adrienne langsung saja mengucapkan kata itu ke arah mereka dengan penuh harap.

Semua orang di meja menatapnya.

Adrienne menatap kembali tanpa berkedip. Sebetulnya itu bisa terhitung tak sopan.

“Kurasa ia berkata kopi,” Grimm berkata setelah semua terdiam agak lama, “walaupun aku pernah mendegar beberpa bunyi-bunyian yang lebih terpelajar dari burung elang piaraan kita.”

Adrienne memutar bola matanya. Pagi memang selalu membuat suaranya yang merdu menjadi serak. “Aku butuh kopi,” ia berkata dengan sabar. “Dan suaraku memang begini di pagi hari.”

“Suara indah untuk selalu disyukuri, halus sekaligus rumit seperi minuman Scotch terbaik,” Hawk berkata merdu. Matanya menatap ke wajah Adrienne, lalu beralih secara perlahan menurun sampai ke ujung jari kakinya. Bagaimana mungkin lelaki ini hanya memandangnya saja dan itu seolah melucuti pelan-pelan gaun yang sedang ia pakai?

“Bukankah orang dari Ceylon itu meninggalkan beberapa benda asing di ruang penyimpanan? Dan aku Lidya Douglas. Aku adalah –”

“Ibu –”

“Hush. Kau sudah merusak pernikahannya dan sekarang kau mengacaukan semuanya, jadi diamlah.”

Adrienne seketika memaafkan Hawk atas hampir semua kesalahan yang ia perbuat, sebab Hawk terlihat seperti anak kecil yang terdiam patuh. “Nyonya,” Adrienne berkata, sambil berusaha membungkuk memberi hormat sambil berharap sebutan yang ia sebut sudah tepat sebab ia serta merta menyukai wanita ini, walaupun ia sudah melahirkan seorang mata keranjang bukan kepalang seperti Hawk.

“Panggil saja Lidya, dan maaf Adrienne? Hawk bercerita kau lebih suka dipanggil itu.”

“Adrienne saja sudah bagus. Kopi?”

Lidya tertawa, tampak tak tersinggung dengan obsesi Adrienne yang tak terbendung ini. “Kurasa kau sudah terbiasa minum ramuan itu setiap pagi. Tabab kepercayaanku bilang ramuan ini memiliki khasiat menyegarkan dan bisa menambah energi.”

“Ya.” Adrienne mengangguk kuat-kuat.

“Ke ruang penyimpanan, Hawk,” Lidya menyuruh putranya.

“Ibu menyuruhku pergi?” Hawk bertanya dengan kasar.

“Sejak kapan kau mendengarku?” Lidya bertanya dengan mata berkilau. “Ajak istri barumu mencari kopinya. Dan Adrienne, jika kau perlu sesuatu, bahkan teman bercerita, carilah aku. Aku selalu ada di kebunku. Semua orang tahu tempatnya.”

“Terima kasih.” Adrienne bersungguh-sungguh mengucapkan hal itu. Betapa menyenangkan mengetahui ada orang yang bersedia menerimanya! Seseorang yang bukan  lelaki dan tampan bukan kepalang.

“Mari.” Hawk mengulurkan tangan kepadanya. Karena enggan menyentuhnya, Adrienne berkata manis, “Silahkan duluan.”

“Tidak, Sayang, silakan duluan.” Hawk mempersilakan. Ia pasti akan mengikuti ayunan lekuk pinggul Adrienne walaupun harus melewati penjaga neraka sekalipun.

“Saya harus memaksa,” Adrienne bersikeras.

“Saya pun demikian,” Hawk menyahut.

“Jalan,” Adrienne menukas.

Hawk melipat lengannya di dada dan menatap tajam ke arah Adrienne.

“Demi Tuhan, kita juga harus cekcok untuk hal ini?”

“Tak perlu kalau kau mematuhiku, Sayang.”

Di belakang mereka, Lidya tertawa sambil mengerang. “Kenapa kalian berdua tidak berjalan saja berdampingan,” katanya memberi semangat.

“Baiklah,” Adrienne menukas.

“Baik,” Hawk berkata ketus.

 

***

Lidya tertawa sampai air mata menyembul dari matanya yang hijau terang.

Akhirnya, seorang gadis yang sepadan untuk putranya.

 

*** 

 

Berdampingan, artinya ia tak harus melihat lelaki ini. Syukurlah.

 Dan inilah ruang penyimpanan kami,” Hawk berkata sambil membuka kunci ruangan dan mendorong pintunya terbuka. Semangat Adrienne terpacu kembali. Hidungnya bergetar halus. Ia bisa mencium bau biji kopi, rempah, teh dan macam-macam lagi. Ia melonjak masuk ke dalam, diikuti oleh Hawk. Saat Adrienne bermaksud membenamkan tangannya ke dalam karung yang mengeluarkan aroma sedap kopi hitam, Hawk mendadak menyelinap berdiri di antara Adrienne dan kopi incarannya.

 "Sepertinya kau suka sekali dengan kopimu,” Hawk mengamati, merasa tertarik melihat kesukaan Adrienne.

“Ya.” Adrienne beringsut selangkah demi selangkah dengan tak sabar, tapi Hawk menghalangi dengan tubuhnya. “Minggir, Hawk,” protes Adrienne, dan Hawk hanya tertawa lembut sambil meraih pinggang Adrienne dengan tangannya yang besar, dan hampir menggenggamnya.

Adrienne berdiri kaku saat aroma tertentu yang lebih memikat daripada aroma kopi menyerbu indera penciumannya. Aroma kulit dan lelaki. Aroma kekuatan dan daya tarik seksual. Aroma percaya diri dan kebugaran. Aroma dari segala hal yang ia impikan.

“Ah, hatiku, ada harga yang harus kau bayar –” Hawk bergumam.

“Kau tak punya hati,” Adrienne berbicara ke arah dada Hawk.

“Betul,” Hawk setuju. “Kau sudah mencurinya. Dan semalam, aku berdiri di hadapanmu saat kau merenggut dan membuangnya jauh –”

“Ah, diam –”

“Kata-katamu aneh sekali, hatiku –”

“Hatimu itu sekecil kacang hangus. Keriput. Ciut.” Adrienne tak ingin mendongak menatap wajahnya.

Hawk tertawa. “Gadisku, kau pasti bisa menghiburku sampai usiaku lanjut.”

“Kopi,” Adrienne menggumam.

“Kau harus membayar harganya.”

“Apa itu yang harus kubayar?”

“Hari ini, mudah saja. Tapi hari lain, belum tentu. Hari ini kopimu harus kau bayar hanya dengan sebuah ciuman kecil.”

“Jadi kau mungkin akan memberikan kopimu padaku dengan imbalan ciuman?” Adrienne bertanya takjub. Dan ia memiringkan kepalanya lalu balik menatap mata Hawk. Hampir. Mata Adrienne terhenti beberapa sentimeter di bawah mata Hawk, ke arah bibirnya yang sempurna Adrienne membantin, bibir seorang lelaki seharusnya tak begitu sempurna dan menggiurkan seperti ini. Adrienne seketika lupa akan kopinya, melainkan ingin mencicipi lelaki ini, dan kini lutut keparatnya mulai bergetar lagi.

“Silakan,” tantang Hawk.

Keparat. Ia tahu betapa Adrienne ingin menciumnya.

“Aku tahu kau tak ingin, sayang, tapi kau harus mau jika masih menginginkan kopimu.”

“Kalau aku tak mau?”

“Kau tak dapat kopimu.” Hawk mengangkat bahu. “Ini benar-benar imbalan yang sangat kecil.”

“Kurasa bukan ini yang dimaksud ibumu.”

Hawk mengeluarkan suara tawa yang dalam dan sensual, lalu seketika Adrienne merasakan putingnya mengeras. Oh Tuhan, lelaki ini sangat berbahaya. “Ibuku hanya setengah saja bertanggung jawab atas perlakuanku, jadi jangan langsung menyanjungnya, cintaku.”

“Berhentilah menyebur ‘sayangku’. Aku punya nama.”

“Benar, Adrienne Douglas. Istriku. Bersyukurlah bahwa aku hanya meminta anugerah yang sama-sama bisa kita nikmati, dan bukan meminta hakku yang lain.”

Secepat kilat Adrienne meraih tangan Hawk dan mendaratkan satu ciuman di sana, seperti yang dipersyaratkan. “Kopiku,” Adrienne meminta.

Mata Hawk yang berwarna gelap berkilau memancarkan sensualitas yang membuncah. “Sayang, sepertinya banyak yang harus kuajarkan padamu tentang ciuman.”

“Aku tahu cara berciuman!”

“Oh? Mungkin kau harus mempraktekannya lagi, sebab jika itu tadi adalah definisi ciuman untukmu, sepertinya aku harus meminta sesuatu yang lebih lagi.” Hawk tersenyum pada Adrienne, bibirnya tersungging menggoda.

Adrienne memejamkan mata dengan niat mengalihkan perhatian dari bibir Hawk yang sempurna, dan saat kelopak matanya tertutup, seketika ia menyadari bahwa ia baru saja melakukan kesalahan besar. Hawk segera meraih wajah Adrienne dan mendorongnya ke dinding, memerangkap Adrienne dengan tubuhnya yang kuat. Sepasang mata Adrienne membelalak secepat kilat. “Aku memejamkan mata bukan supaya kau cium!” ia berseru, tapi semua ingkarnya itu melemah saat Adrienne menatap mata Hawk. Tatapan matanya membuat Adrienne seolah hilang akal, seakan tak berdaya menolak kenikmatan yang akan Hawk tawarkan, tapi Adrienne tahu ia tak boleh menyerah. Adrienne mencoba membebaskan diri dari cengkraman Hawk, tapi ia masih melingkupi wajah Adrienne dengan tangannya. “Hawk! Kupikir –”

“Ya, sayang, kau memang berpikir terlalu banyak,” Hawk memotong, pandangan matanya mengejek. “Jadi, berhentilah berpikir untuk sejenak. Rasakan saja.” Ia mencium Adrienne dengan cepat, mengambil keuntungan dari bibir Adrienne yang sedang setengah tebuka untuk melancarkan protes. Adrienne mendorong dada Hawk, tapi Hawk tak memedulikan perlawanannya.

Hawk membenamkan tangannya ke dalam rambut Adrienne, memiringkan kepalanya agar bisa mencium lebih dalam lagi, lidahnya menelusuri rongga mulut Adrienne. Bibir Hawk mendesak, pelukannya kuat saat ia mencondongkan badannya ke tubuh Adrienne, kelelakiannya tak tersangkal. Hawk menantangnya dengan ciumannya, mengetahui bahwa Adrienne menyadari ketegangan serta panas yang terjadi di antara mereka –panas yang dapat membakar sebuah hati atau meleburkan dua hati menjadi satu. Birahi menjalar ke sekujur tubuh Adrienne dengan deras sampai membuatnya merintih, bingung dan takut. Adrienne menyadari betapa berbahayanya menikmati sentuhannya, terlalu beresiko membiarkannya menjadi kenikmatan yang membuatnya ketagihan.

Ibujari Hawk menyapu ujung bibir Adrienne, memaksanya untuk menyerah pada keahliannya. Sambil merasakan nafsu dan rasa ingin tahunya menggelora, Adrienne menyerah. Ciuman yang Hawk berikan membuatnya gemetar; sebuah ciuman yang pasti dapat meruntuhkan semua pertahanannya.

Lalu, setelah itu apa jadinya ia? Hancur lagi –korban dari lelaki tampan lagi.

Tangan Hawk beralih dari rambut Adrienne ke payudaranya, dan seketika rasa lembab di antara dua pahanya menyentak Adrienne kembali sadar. Adrienne menarik tubuhnya sendiri, bertekad untuk tidak menjadi salah satu korban lelaki mata keranjang ini. “Lepaskan! Kau bilang hanya satu ciuman! Bukan begini perjanjiannya!”

Hawk membeku. Ia menarik kepalanya ke belakang, tangannya yang kokoh masih menggenggam payudara Adrienne, dan pandangan matanya menatap dengan tajam, hampir terlihat marah. Apapun yang Hawk cari, Adrienne tahu Hawk tak mendapatkannya, dan ia tidak puas. Sama sekali tidak puas.

Sesaat Hawk menatap mata Adrienne yang terbuka lebar, lalu membalikkan bahunya yang lebar dan meraup segenggam biji kopi.

Adrienne mengusap bibirnya dengan jengkel, seolah ia bisa menghapus kenikmatan sentuhan Hawk yang beru saja ia rasakan. Mereka berdua berjalan keluar dari gudang penyimpanan dan menyusuri koridor, membisu dan tak ingin saling memandang. Hawk membungkus biji kopi yang baru ia ambil dengan kain dan memasukkannya ke dalam kantung sporran miliknya.

Sebelum memasuki aula utama, Hawk menghentikan langkahnya, seolah tersambung dengan tali kekang, Adrienne mendadak menghentikan langkahnya.

“Katakan kau merasakannya,” suara Hawk yang rendah bernada memerintah, namun mereka tetap tak saling memandang. Adrienne menatap lantai mencari-cari debu sedangkan Hawk menatap langit-langit mencari sarang laba-laba.

“Merasakan apa?”Suara Adrienne hampir terdengar bergetar. Sebuah ciuman bak impian dari seorang lelaki tegap dan tampan?

Hawk menarik tubuh Adrienne mendekati tubuhnya; tak mempedulikan Adrienne yang menjauhkan wajahnya, Hawk menurunkan kepalanya dan menhujani bagian atas lekuk payudara Adrienne dengan ciuman, menyusuri bagian leher gaunnya.

“Hentikan!”

Hawk mengangkat kepalanya, wajahnya terlihat kelam dan ia menggeram. “Katakan kau juga merasakannya!”

Untuk sesaat, suasana menggantung. Segala kemungkinan bisa terjadi. Lalu segalanya meluas menjadi ketidakpastian dan, yang Adrienne takutkan, lalu hilang.

“Aku? Aku sedang memikirkan Adam.”

Bagaimana mungkin kilau tatapan mata seorang lelaki bisa berubah secepat kilat dari panas membara menjadi dingin membeku? Bagaimana sebentuk wajah yang tampan menjadi begitu kelam? Seraut wajah yang mulia menjadi liar?

“Sekali lagi kau sembrono menyebut nama itu setelah aku menyentuhmu, aku tak bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi kemudian, sayangku.”

Adrienne memejamkan mata. Jangan tunjukkan, jangan tunjukkan, jangan biarkan ia tahu batapa besar ia mempengaruhimu. “Tak akan ada lain kali kau menyentuhku.”

“Selalu ada saatnya setiap hari, Adrienne Douglas. Kau milikku. Aku bisa kehilangan kesabaran. Adam bisa diusir. Siapa saja bisa diusir. Kopi bisa dibuang. Aku mengusai segalanya yang kau inginkan. Aku bisa jadi sangat baik padamu jika kau mau mencoba. Satu-satunya hal yang tak bisa ditawar adalah tentang Adam. Jadi cobalah berusaha denganku, yang kuminta hanya kau lupakan Adam dan jangan sebut namanya didepanku. Jika kau bisa memenuhi permintaan kecil itu, aku tak akan meminta apapun lagi selain upah yang kau berikan untuk kopimu setiap pagi. Dan aku berjanji aku tak akan melampaui batas.”

Ciuman yang ia maksud memang melampaui batas. Terlalu berbahaya. “Atas dasar apa –”

“Sebab aku kuat. Semudah itu.”

“Kau hanya mengandalkan kekuatan fisik –”

“Tak usah repot membuatku merasa bersalah. Tanya saja ibuku. Hal macam itu takkan mempan.”

Wah, tak ada rasa ksatria di sini, pikir Adrienne. Tapi sebenarnya, penawaran yang ia ajukan lebih baik daripada kejutan macam hal lain. Bisa saja Hawk meminta semua haknya sebagai suami daripada hanya sebuah ciuman kecil setiap pagi. Ia bisa hadapi itu. “Satu ciuman setiap pagi? Itu saja yang kau inginkan agar aku tak menyebut nama Adam di depanmu? Dan aku mendapatkan kopi setiap hari?”

“Menjauhlan dari Adam. Jangan sampai aku melihatmu ada di dekatnya. Jangan sebut namanya di depanku.”

“Upahnya satu ciuman setiap pagi?” Adrienne merasa harus memastikan semua ini.

“Upahnya satu anugerah setiap pagi.”

“Tidak adil! Anugerah macam apa?”

Hawk tertawa. “Siapa bilang hidup itu adil? Siapa orangnya yang sudah membuatmu salah paham begitu? Dan karena kita sudah menikah, alternatif dari penawaranku yang baik ini adalah hak badani suami-istri, kau tak punya hak untuk mencapnya tidak adil.”

“Kau kan bisa menguranginya sedikit agar aku bisa berpikir waras! Kalau tidak, bisa saja aku bangun dalam keadaan takut akan hal-hal yang tak kuketahui.”

Air muka Hawk berubah kelam. “Aku bermaksud memberi istriku kenikmatan badani tapi ia malah takut akan hal-hal yang tak diketahui.” Hawk memutar badannya.

“Bukan begitu maksudku –” Adrienne berkata, ia tak suka tatapan pahit yang ia lihat di mata Hawk. Adrienne tahu ialah penyebabnya. Tapi demi keselamatannya sendiri, Adrienne tahu ia harus melakukan itu, sehingga ia segera menutup mulutnya.

Hawk tak mendengarnya, berlalu sambil terlalu larut dalam pikiran kalutnya.

Jauh setelah itu, saat Hawk sudah lenyap dari pandangan, Adrienne teringat akan kopinya, yang tersimpan dalam kantung kecil yang dikenakan Hawk di pinggulnya. Dan ruang penyimpanan pun sudah dikunci kembali.

***


Mandi. Itu dia. Adrienne mendamba tiga puluh menit mandi dengan air panas yang uapnya membentuk kepulan awan, lalu busa tebal sabun Aveda, shampo dan minyak oles serta handuk lembut berwarna putih untuk mengeringkan tubuhnya.

Adrienne berhati-hati untuk tidak membiarkan khayalannya tentang mandi agar tak melibatkan LELAKI itu, sambil berusaha mencari lokasi taman. Adrienne menemukannya di belakang istana; untuk mencapainya, seseorang harus berjalan memotong dapur, atau berjalan mengelilingi istana –dan itu adalah jarak yang jauh.

 “Jangan Cuma hidung yang terlihat mengintip. Aku ingin melihat nyonya baru kami,” Sebuah suara memanggil dari dapur.

Adrienne melangkah masuk dengan penasaran. Dapur itu tak seperti yang ia bayangkan ada di zaman itu. Dapurnya luas, didesain dengan baik, dan bersih. Fokus utamanya adalah sebuah perapian besar dengan ruang terbuka di kedua sisinya, sehingga memperluas daerah masak menjadi empat kali lipat. Sebuah cerobong asap dari batu merambat ke langit-langit menuju atap.  Setelah mengamati lebih saksama, Adrienne menyadari bahwa dapur ini dibangun sebagai bagian tambahan yang berdiri sendiri dari istana, didisain sedemikian rupa sehingga terbuka dan memiliki ventilasi yang baik. Jendela-jendela terlihat berbaris di kedua sisi dinding, meja kayu pohon ek yang mengkilat melingkari seluruh ruangan, dan lantainya terbuat dari batu berwarna kelabu pucat. Tak ada makanan yang busuk, tak ada tikus atau serangga, sehingga dapur ini bisa bersaing dengan dapur milik Adrienne di akhir abad dua puluh, kecuali dapur yang ini tak memiliki tempat cuci piring. Ada tangga yang menuju tempat penyimpanan lain yang dibentuk menyerupai ceruk, dan di balik jendela yang terbuka, membentang tanaman yang subur. Di tepi jendela tersusun toples-toples berisi bumbu dan rempah.

“Menurutmu dapur kami lumayan?”

Adrienne mengangguk, masih terkagum-kagum, lalu mengalihkan perhatiannya ke lelaki yang sedang tersenyum ke arahnya. Lelaki itu tinggi dan berkulit gelap, tubuhnya langsing dan lengannya berotot seolah ia terlalu banyak mengayunkan pedang atau bekerja dengan kedua tangannya. Rambut hitam dan berewok tipisnya bersemu dengan warna perak, dan saat mata kelabunya yang bening beradu pandang dengan Adrienne, seketika matanya berkilau dengan rasa ingin tahu sekaligus sambutan hangat.

“Hawk sendiri yang mendesainnya. Dari perjalanannya. Katanya ia sudah melihat keajaiban demi membuat hidup lebih nyaman, dan menggunakannya untuk membuat Dalkeith lebih baik. Menurutku begitu.”

Pemilik istana ikut masuk ke dapur?

“Hawk sendiri yang memotong kayu dan membuat lemari itu. Ia suka bekerja dengan kayu. Ia bilang, itu membuatnya sibuk. Aku tak tahu bagaimana ia bisa menyempatkan diri.” Lelaki itu memutar bola matanya, menaruh kedua tangannya di belakang kepala, lalu menyandarkan kursinya tepat di bawah sinar matahari yang masuk melakui jendela. “Namaku Tavis, Nyonya,” ia memperkenalkan diri. “Senang menyambut kedatangan anda.”

“Aku Janet Gila,” Adrienne menyerocos membalas kesopanan Tavis.

“Aku tak tahu soal gila, tapi Lidya menyukaimu, dan dia adalah wanita yang suka mendiskriminasi.”

Adrienne melangkah lagi ke dalam dapur; matanya menyapu ruangan sambil terkagum-kagum akan kejeniusan sederhana yang merancangnya. Semuanya rapi dan gampang di raih.

“Lidya ada di belakang sana,” Tavis berkata. “Ia sudah menunggumu dari tadi.” Ia mengedipkan mata ke arah Adrienne. “Jangan biarkan keluarga Douglas ini membuatmu kewalahan, Nyonya. Mereka orang-orang yang keras kepala dan berkemauan keras,tapi hati mereka murni bagaikan emas. Kau tak akan menemukan orang seperti keluarga Douglas di seluruh Skotlandia. Selamat datang kuucapkan, dan jika kau membutuhkan sesuatu, datanglah pada Tavis dari penyamakan kulit.” Ia mengulurkan tangannya yang kekar. “Kulit yang kuproses adalah yang paling halus di seluruh Uster. Mungkin di bagian lainnya juga.” Rasa bangga terlihat di senyumannya sambil mengajak Adrienne keluar ruangan.

Adrienne melangkah ke arah sinar mentari dan menarik napas dalam-dalam. Bau harum tanaman honneysuckle yang ia cintai sejak kecil. Bunga buttercup terbentang berwarna keemasan di bawah jendela di sebelah kanan dan kirinya. Wangi lavender, mawar dan semerbak lainnya sulit ia kenali. Ia mendengar gemericik air yang tumpah ke dalam baskom. Air terjun? Adrienne mengikuti suara itu menyusuri jalan setapak dari batu melewati semak bunga Rhododendron yang menjulang, anemon, bluebell dan bunga-bunga lainnya yang subur. Jalan setapak batu mengarah ke beberapa penjuru, tapi suara \gemericik air itu menyita perhatian Adrienne. Lady Lidya duduk di atas pinggiran air terjun batu setinggi empat tingkat di atas kepalanya. Pahatan lumba-lumba bertengger di puncak air terjun, seolah sedang melompat, dan memancurkan air dari moncongnya yang terbuka.

“Luar biasa,” Adrienne berbisik, dan Lidya menoleh menyapanya dengan senyuman.

“Putraku memang seorang penemu.” Rasa bangga jelas terlihat di setiap garis wajahnya.

“Ia juga melakukan ini?” Adrienne meringis.

“Kebanyakan dari hal-hal tak biasa yang ada di Dalkeith adalah ulah anakku. Selagi ia menjelajah dunia ia mencari rahasia tercanggih peradaban dan membawanya pulang untuk rakyatnya –”

“Saat ia bertualang ke penjuru dunia mencari teman tidur,” Adrienne memotong pembicaraannya dengan masam, mengingat pembicaraannya dengan para pembantu Comyn.

Lidya memiringkan kepalanya, matanya berkilau senang. “Begitukah kata mereka?”

“Itukah yang ia lakukan?”

“Bagaimana kalau kau tanyakan padanya? Tapi coba pikirkan baik-baik, Adrienne. Apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang tidak beitu mengenalmu?”

“Benar juga,” Adrienne setuju, berharap Lidya tak pernah mengetahui masa lalunya yang berwarna.

“Janet Gila,” Lidya memandanginya dengan lembut. Kau sama sekali tak tampak gila bagiku. Mengapa keluarga Comyn mengurungmu di menara itu?”

Adrienne mengulang ucapan yang dilatihnya pada hari pernikahannya. “Aku terlalu cantik untuk terlihat oleh orang-orangnya. Begitu katanya,” Adrienne menambahkan tanpa berpikir, “Sejujurnya aku tak pernah merasa begitu.”

Lidya mendengus. “Kau pernah bercermin?”

“Tentu saja. Tapi aku tetap tak merasa begitu.”

“Seperti Hawk kurasa,” Lidya menyahut. “Ia pernah bilang bahwa ia tahu bahwa ia tampan hanya dari cara wanita memperebutkannya. Bahwa jika para wanita tak sebegitu hebohnya, ia pasti hanya akan mengira dirinya cukup rapih dan bersih –”

“Cukup rapih dan bersih?” Adrienne berseru tak percaya. “Dia itu tak becela dari ujung rambut sampai ujung kaki! Ia membuat Daud dan para dewa Yunani dan Pan terlihat tidak proposional. Ia adalah nafsu birahi di dalam botol, dengan sumbat terbuka. Dad seharusnya ada yang menymbatnya! Ia –aaaaakkk!! Bah!” Adrienne tersedak dan terbata-bata saat ia menyadari kalimatnya. Lydia tertawa begitu keras sampai air mata membayang di matanya.

Saat Lydia menarik napas, ia menghela napas lega. “Syukurlah. Kukira kau kebal. Ia mengira kau kebal. Jangan khawatir. Ini akan jadi rahasia kecil kita, Adrienne sayang, mari duduklah di sampingku kuberitahu betapa senangnya aku, kau ada di sini. Aku ingin minta maaf karena tak berada di sini untuk memberi sambutan yang pantas saat kau datang. Dari yang kudengar, mereka semua kacau.”

Adrienne merasa ingin segera menghamburkan diri ke pelukan seorang ibu. Hatinya yang keras membeku seolah hampir terpeleset di atas lapisan es tipis –beranikah ia? Atau tidak?

Di balik rimbunan bunga Irhododendron berwarna merah darah, sesosok bayangan memincingkan matanya. Aku benci dia! Benci dia! Tangan Esmeralda mengangkat tabung yang ia pegang sambil gemetar, lalu segera menenangkan diri. Ia akan menyingkirkan sang musuh, dan mengakhiri deritanya. Esmeralda memoncongkan bibirnya di bibir tabung itu, lalu menyeimbangkan alat pembawa maut itu. Ia menarik napas panjang dan meniupkan hembusan angin dari bibirnya. Sebuah anak panah kecil tertembak keluar dari ujung tabung, kecil seukuran sengatan lebah. Esmeralda mengawasi saat anak panah itu terbang dan membenamkan dirinya di kulit leher Adrienne yang berwarna putih pucat. Ia tersenyum puas melihat Adrienne menepuk luka kecil di lehernya, seolah mengusir serangga. Esmeralda memicingkan matanya – ia bisa melihat kilauan anak panah itu di leher Adrienne saat ia berbicara ke Lidya. Selesai. Tugasnya sudah selesai.

 

 Sinopsis



1 komentar:

  1. Lanjut lagi dong kak, ini ceritanya the best banget❤️ i'll always waiting for u kak

    BalasHapus