Kamis, 28 Februari 2019

Honor's Splendour #13


“Kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat...”
 –PERJANJIAN LAMA,
PENGKHOTBAH, 4:2


Madelyne mengerjakan tapestrinya. Namun pikirannya tidak tertuju kepada pekerjaannya itu; ia terus mengulangi pernyataan Duncan. Apa maksud pria itu sewaktu memberitahu bahwa Madelyne tidak akan menjadi tawanannya lebih lama lagi?
I

a tahu ia harus segera menghadapi pria itu. Ia terus bertingkah seperti seorang pengecut dan cukup jujur untuk mengakui kebenarannya. Ia takut mendengar jawaban pria itu.

Pintu kamar Madelyne mendadak terbuka. Adela bergegas masuk ke dalam kamar. Adik Duncan itu sangat tertekan. Ia terlihat nyaris menangis.

Madelyne melonjak bangun. “Siapa yang membuatmu sedih seperti ini?” ia mendesak untuk mengetahui jawabannya, langsung menyimpulkan bahwa Duncan-lah yang bertanggung jawab.

Adela seketika menangis. Madelyne buru-buru menutup pintu. Ia kemudian merangkul Adela dan membimbing gadis itu ke salah satu kursi. “Duduklah dan tenangkan dirimu. Ini tidak mungkin sama mengerikannya dengan kau berbuat tidak baik,” ia menenangkan gadis itu.

Madelyne berdoa bahwa ia benar. “Katakan padaku apa yang membuatmu menangis seperti ini dan aku akan membereskannya lagi.”

Adela mengangguk, namun begitu ia memandang Madelyne, ia mulai menangis lagi. Madelyne duduk di bangku yang menghadap Adela dan dengan sabar menunggu.

“Kakakmu telah mengirimkan pasukan untuk menjemputmu, Madelyne. Duncan mengizinkan si kurir masuk. Itulah mengapa kau diperintahkan untuk kembali ke kamarmu kemarin. Duncan tidak mau prajurit itu melihatmu.”

“Kenapa? Semua orang tahu aku adalah tawanan di sini, Louddon...”

“Kau salah paham,” sela Adela. “Edmond berkata pada Gilard bahwa menurutnya Duncan tidak mau si kurir melihat kalau kau diperlakukan dengan baik.” Ia berhenti sebentar untuk menyeka sudut matanya dengan manset gaunnya. “Kau memang berpendapat bahwa selama ini kau sudah diperlakukan dengan baik, iya kan, Madelyne?”

“Ya Tuhan, karena itukah kau menangis?” tanya Madelyne. “Tentu saja selama ini aku sudah diperlakukan dengan baik. Lihat saja sekelilingmu, Adela,” imbuhnya seraya tersenyum kecil. Bukankah kamarku terlihat cukup nyaman?”

“Tidak seharusnya aku mendengarkan apa yang si kurir katakan kepada Duncan, tapi aku memang mendengarkannya. Gilard dan Edmond ada di sana, dan mereka juga mendengarkan setiap kata. Duncan tidak menyuruh mereka pergi. Dan tak seorangpun yang memperhatikanku, Madelyne. Aku yakin itu.”

“Apakah kurir itu dari sang raja, atau dari kakakku?” tanya Madelyne. Dalam hati ia ketakutan sekarang, namun ia tahu ia harus menyembunyikan rasa takutnya dari Adela. Aye, adik Duncan ini bergantung pada kekuatan dirinya, dan ia tidak bisa mengecewakan gadis itu sekarang.

“Aku tidak tahu dari siapa si kurir itu. Aku tidak mendengar bagian awal pesan yang dia sampaikan.”

“Beritahu aku yang kau dengar,” saran Madelyne.

“Kau harus dibawa ke istana sang raja segera. Si kurir berkata bahwa meskipun kau telah... ternoda...” lalu suara Adela pecah dan ia berhenti sebentar untuk menenangkan diri. Madelyne menggigit bibir bawahnya sampai mati rasa. Ia melawan dorongan untuk mencengkram bahu Adela dan mengguncangnya untuk menceritakan sisa cerita itu.

“Kau akan menikah segera setelah kau sampai di London.”

“Aku mengerti,” bisik Madelyne. “Kita tahu ini akan terjadi, Adela. Kita tahu Louddon akan melakukan sesuatu. Apakah kau mendengar nama pria yang akan kunikahi?”

Adela mengangguk. “Morcar.”

Adik Duncan itu menutup wajah dengan kedua tangan, menangis tak terkendali sekarang. Madelyne tidak harus menyembunyikan ekspresinya lagi. Ia pikir ia akan muntah. “Bagaimana dengan Duncan, Adela?” ia berhasil bertanya. “Apa yang dia katakan kepada kurir itu? Apakah dia menyetujuinya?”

“Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Prajurit itu menyampaikan pesannya dan kemudian kembali kepada para prajurit lainnya yang menunggu di luar tembok benteng.”

“Berapa orang prajurit yang Louddon kirimkan?”

“Aku tidak tahu,” bisik Adela. “Edmond dan Gilard saling berteriak kepada satu sama lain begitu prajurit itu sudah pergi. Duncan tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berdiri di sana di depan perapian sembari mengaitkan tangannya di belakang punggung.”

“Dia menjauhkan diri,” kata Madelyne.

“Aku tidak mengerti.”

“Kakakmu harus memikul dua kedudukan di dalam rumah tangga, Adela. Dia adalah seorang lord dan seorang kakak. Aku bisa membayangkan apa yang Edmond dan Gilard perdebatkan. Edmond pasti menghendaki aku dikembalikan kepada Louddon sesegera mungkin, sementara Gilard pasti mendebatnya untuk mendukung pertempuran demi mempertahankan aku di sini.”

Adela menggeleng sebelum Madelyne selesai mengutarakan dugaannya. “Nay, Edmond tidak ingin kau diserahkan kepada prajurit Louddon,” ujarnya.

“Edmond membelaku?”

“Ya,” kata Adela. “Dan dia menyarankan agar aku dikirimkan kepada kakakku, Catherine, untuk kunjungan singkat. Dia khawatir semua ini akan terlalu berat bagiku. Aku tidak mau pergi ke mana pun. Catherine jauh lebih tua dariku, dan suaminya sangat tidak biasa...”

Madelyne berdiri dan perlahan-lahan berjalan ke jendela. Ia membuka daun jendela dan menatap di jauh ke dalam hutan rimba. Ia tahu ia perlu mengendalikan amarah menggelora yang bangkit di dalam dirinya. “Tahukah kau, Adela, bahwa anak lelaki Sparta diambil dari ibunya pada saat usianya masih sangat muda dan dikirim untuk hidup bersama para prajurit? Anak-anak kecil itu diajari mencuri. Menjadi pencuri ulung dianggap sebagai cerdik.”

“Madelyne, apa yang sedang kau bicarakan? Bagaimana bisa kau menceritakan kisan kepadaku sekarang?”

Madelyne berbalik, membiarkan Adela melihat air mata yang mengalir turun di pipinya. Adela tidak pernah melihat Madelyne menangis sebelumnya.

“aku mendapatkan ketenangan di dalam kisah-kisah kuno, Adela. Kisah-kisah itu familier bagiku. Begitu pikiranku sudah tenang, aku akan bisa berpikir dengan jernih. Lalu aku bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.”

Adela, tertegun sehingga menjadi pasrah karena rasa sakit yang ia lihat di mata temannya itu, cepat-cepat mengangguk.

Madelyne berbalik kembali untuk memandang keluar jendela. Ia menatap puncak bukit yang lebih rendah. Dan siapa yang akan memberi makan serigalaku saat aku pergi, ia bertanya dalam hati. Aneh, tapi gambaran duncan memasuki pikirannya. Ia mencampuradukkan pria itu dengan serigalanya, kemudian sadar bahwa pria itu perlu diurus sama besarnya dengan hewan liar Madelyne. Barangkali lebih.

Itu tidak masuk akal bagi Madelyne, kebutuhan untuk meluruskan kehidupan Duncan yang suram ini hingga sesuai dengan keinginannya.

“Pamanku dan aku akan duduk di depan perapian setiap malam. Aku belajar memainkan psaltery. Kadang-kadang paman akan bergabung bersama viele-nya saat dia tidak terlalu lelah. Itu adalah waktu yang sangat damai, Adela.”

“Apakah tidak ada orang-orang yang berusia muda, Madelyne? Setiap kali kau menceritakan sebuah kisah, kau berbicara layaknya orang-orang tua dan rapuh.”

“Paman Berton tinggal di tanah Grinsteade. Baron Morton sudah sangat tua. Lalu Bapa Robert dan Samuel datang untuk tinggal bersama kami juga. Mereka semua bergaul dengan baik, tapi aku satu-satunya orang yang bermain catur bersama Baron Morton. Dia membicarakan sesuatu dengan galak. Kata paman itu bukanlah dosa, hanya tingkah lakunya yang lekas marah dan kasar karena dia sudah sangat tua.”

Madelyne tidak bicara lagi untuk waktu yang lama. Adela menatap ke perapian sementara Madelyne mamandang ke luar ke malam hari.

Kali ini tidak berhasil. Upaya keras Madelyne untuk mendapatkan kendali diri tidak akan terwujud. Ia dapat merasakan ketenangannya retak. Amarah bangkit di dalam dirinya.

“Kita harus mencari seseorang untuk melindungimu,” bisik Adela.

“Jika aku dipaksa kembali kepada Louddon, seluruh rencanaku akan berantakan. Aku tadinya akan pergi ke Skotlandia. Edwythe pasti akan menerimaku di rumahnya.”

“Madelyne, Skotlandia adalah tempat di mana...” Adela hendak menjelaskan bahwa Catherine tinggal di Skotlandia dan menikah dengan sepupu raja di
Skotlandia.

Namun Adela tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan. “Kenapa, dalam nama Tuhan, aku mencemaskan rencanaku yang akan berantakan? Louddon akan membunuhku atau memberikanku kepada Morcar. Kemudian Morcar akan membunuhku.” Madelyne tertawa kasar, mengirimkan getaran rasa takut ke sepanjang kaki Adela. “Aku masih tidak percaya Louddon mau repot-repot menjemputku. Sewaktu dia mengejar Duncan setelah bentengnya dihancurkan, kukira dia hanya ingin membunuh Duncan. Tapi sekarang dia mengirimkan pasukan prajurit demi diriku.” Madelyne berhenti sejenak, menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengerti satu pun dari semua ini.”

Sebelum Adela bisa menghiburnya, Madelyne tiba-tiba berbalik dan melangkah menuju pintu. “Madelyne. Kau harus tetap di sini. Duncan belum memberimu izin...”

“Aku harus mencari seseorang pelindung, Adela, bukankah begitu caranya?” Madelyne berseru lewat bahunya. “Well, Duncan cukup tangguh untuk tugas itu.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Kakakmu akan mengusir prajurit Louddon. Dan aku akan memberikan instruksi kepadanya mengenai masalah itu sekarang.”

Sebelum Adela dapat memperingatkan Madelyne, temannya itu sudah keluar pintu dan berlari menuruni tangga. Adela buru-buru mengejarnya. “Madelyne, kau berpikir untuk memberikan instruksi kepada kakakku?” Suaranya mencicit karena cemas.

“Benar,” seru Madelyne.

Adela harus duduk di tangga. Ia terkejut dengan perubahan pada diri Madelyne. Teman tersayangnya itu sudah gila. Adela mengawasi Madelyne terus menuruni tangga yang melingkar itu, rambutnya berkibar dibelakangnya. Pada saat Madelyne telah menghilang ke lantai selanjutnya, barulah Adela sadar ia harus berusaha menolong gadis itu. Tak peduli betapa menakutkannya prospek tersebut, ia bertekad untuk menghadapi Duncan di sisi Madelyne. Bahkan, ia mungkin dapat menentang kakaknya itu.

Madelyne mencapai pintu masuk aula dan berhenti sebentar untuk menarik napas. Admond dan Gilard duduk berhadapan di meja makan. Duncan berdiri dengan punggung menghadap pintu masuk, langsung di depan api yang berkobar-kobar.

Admond baru saja selesai memberikan komentarnya kepada kedua saudaranya. Madelyne hanya mendengar bagian akhir dari yang ia ucapkan. “Kalau begitu sudah disetujui bahwa Duncan akan membawanya...”

Madelyne langsung menyimpulkan bahwa semua orang berpendapat bahwa menyerahkan dirinya kepada prajurit Louddon merupakan ide yang bagus.

“Aku tidak akan pergi ke mana-mana.”

Teriakan Madelyne mendapat reaksi langsung. Duncan perlahan-lahan berbalik dan memandang gadis itu. Madelyne mengamati duncan beberapa lama lalu mengalihkan perhatiannya kepada adik-adik pria itu. Gilard berani tersenyum, seolah-olah ia mendapati semburan marah Madelyne tadi menghibur, sementara Edmond, sesuai dengan sifatnya yang keras kepala, cemberut.

Duncan tidak menampakkan reaksi apa pun. Madelyne menangkat roknya. Ia berjalan dengan perlahan untuk berdiri langsung di hadapan pria itu. “Kau menawan aku, Duncan. Itu adalah keputusanmu,” cetusnya. “Sekarang aku punya keputusan untuk kuberitahukan kepadamu. Aku akan tetap ditawan. Apakah aku sudah jelas dalam masalah itu?”

Mata pria itu memperlihatkan keterkejutan. Aye, Duncan mendengar setiap kata. Dan mengapa tidak? Tanya Madelyne kepada dirinya sendiri. Ia meraungkan keputusannya nyaris tepat ke wajah pria itu.

Saat Duncan terus menatapnya, Madelyne mengira pria itu mungkin sedang mencoba menakutinya. Well, itu tidak akan berhasil kali ini. “Kau terjebak bersamaku, Duncan.”

Sial, suara gadis itu bergetar.

Edmond berdiri, membuat kursinya terbalik. Suara tersebut mengalihkan perhatian madelyne. Gadis itu perlahan-lahan mendatangi meja itu, berkacak pinggang. “Kau boleh mengenyahkan sendiri kernyitan itu, Edmond, atau aku berjanji kepada Tuhan aku yang akan memukul kernyitan itu untuk menghilangkannya dari wajahmu.”

Gilard mengawasi Madelyne. Ia tidak pernah melihat gadis itu semarah ini. Apakah gadis itu benar-benar mengira Duncan akan mengirimnya kembali kepada Louddon? Kesadaran itu membuat Gilard tersenyum. Madelyne yang malang. Gadis itu jelas-jelas tidak mengenal Duncan dengan baik. Madelyne juga tidak menyadari tentang betapa penting dirinya, Gilard menyimpulkan. Gadis itu telah membuat dirinya sendiri ketakutan. Sungguh makhluk mungil yang lembut, namun bukankah Gilard baru saja melihatnya, ia tidak akan percaya hal itu mungkin terjadi. Semoga Tuhan menolongnya, ia mulai tertawa.

Madelyne mendengarnya. Ia mengelilingi meja untuk memelototi pria itu. “Menurutmu ini menghibur, Gilard?”

Gilard membuat kesalahan dengan mengangguk. Ia mendongak menatap Madelyne tepat pada waktunya untuk melihat gadis itu melemparkan salah satu teko ale ke kepalanya. Gilard menghindari teko itu, dan ketika madelyne mengambil satu teko lagi, Edmond meraih ke atas kepalanya dan mengambil benda itu dari cengkramannya. Kedua orang tersebut berdiri bersisian di ujung platform. Madelyne menyenggol keras Edmond dengan pinggulnya. Si tengah itu seketika kehilangan keseimbangan dan jatuh terjengkang.

Edmond mendarat di atas bokongnya. Edmond bisa saja menghentikan jatuhnya andai bangku tidak terperangkap di kakinya. Madelyne menyaksikan usaha-usaha menyedihkan pria itu sebelum berbalik kembali kepada Gilard. “Jangan pernah menertawaiku lagi,” tuntutnya.

“Madelyne, kemarilah,” perintah duncan. Ia sedang bersandar di rak di atas perapian, tampak cukup bosan untuk jatuh tertidur.

Madelyne menurut tanpa bertanya dan hampir melintasi ruangan itu sebelum ia menyadari apa yang sedang ia lakukan. Ia kemudian berhenti, dan menggeleng. “Aku tidak menerima perintahmu lagi, Duncan. Kau tidak menahanku lagi. Aku hanyalah sebuah bidak bagimu. Bunuh aku kalau kau mau. Aku lebih memilih itu daripada dikirim kembali kepada Louddon.”

Kuku-kuku jemari Madelyne menancap di telapak tangannya. Ia tidak bisa menghentikan tangannya bergetar.

Duncan tidak pernah mengalihkan tatapannya dari gadis itu. “Edmond, Gilard, tinggalkan kami sekarang.” Perintah diucapkan dengan halus, namun ada sebuah bilah baja yang tak diragukan lagi dalam nada suaranya. “Dan bawa serta saudari kalian.”

Adela bersembuyi di balik dinding di samping pintu masuk. Saat ia mendengar perintah Duncan, ia bergegas masuk ke dalam ruangan itu. “Aku lebih suka tetap di sini, duncan, pada saat Madelyne membutuhkanku.”

“Kau akan pergi bersama kedua saudaramu,” cetus Duncan. Suaranya berubah dingin sekarang, dengan efektif menghentikan argumen lebih lanjut.

Gilard meraih lengan Adela. “Kalau kau mau aku tetap tinggal, Madelye...”

“Jangan membantah perintah kakakmu,” tukas Madelyne. Ia tidak bermaksud untuk meneriakkan perintah itu.

Adela mulai menangis, membangkitkan lagi amarah Madelyne. Ia mengulurkan tangan dan menepuk bahu Adela. Meski demikian, ia tidak berhasil tersenyum. “Aku tidak akan menikah dengan Morcar,” ujarnya. “Sebenarnya, aku tidak akan menikah dengan siapa pun.”

Aye, tapi kau akan menikah,” kata Duncan. Ia sebetulnya tersenyum kepada gadis itu saat ia mengucapkan janjinya.

Madelyne merasa seolah-olah pria itu menaparnya. Ia menjauh selangkah, menggeleng tidak percaya.

“Aku tidak akan menikah dengan Morcar.”

“Tidak, memang tidak.”

Jawaban pria itu membuat Madelyne bingung hingga membuatnya patuh sebentar.

Duncan tidak lagi memandang Madelyne sekarang. Ia mengawasi kedua adik laki-lakinya berjalan bersama Adela menuju pintu masuk. Ketiga orang itu mengulur-ulur waktu, bertingkah seolah-olah ada baju zirah yang dipakukan ke dasar sepatu mereka. Jelas sekali mereka bermaksud untuk mendengarkan percakapannya dengan Madelyne sebanyak mungkin. Duncan langsung menyalahkan Madelyne atas pertunjukkan ketidakpatuhan mendadak mereka itu. Aye, semua ini adalah salah gadis itu. Selama ini mereka selalu bersikap kucup patuh sebelum gadis itu memasuki kehidupan mereka.

Sejak saat Lady Madelyne menapakkan kakinya ke dalam rumah duncan, setiap orang dan segala hal menjadi jungkir balik.

Duncan berkata pada dirinya sendiri kalau ia tidak menyukai perubahan-perubahan itu, bahkan saat ia mengakui bahwa akan ada lebih banyak perubahan lagi yang akan terjadi. Ia yakin akan menghadapi pemberontakan, terutama dari Gilard. Si bungsu itu adalah sekutu terbesar Madelyne. Duncan menghela napas memikirkan itu. Ia lebih memilih pertempuran sengit daripada urusan keluarga.

“Edmond, cari pastor baru kita dan bawa dia ke hadapanku,” Duncan tiba-tiba berseru.

Edmond menoleh, ada pertanyaan pada ekspresinya. “Sekarang.” Bentak Duncan.

Perintah Duncan terdengar cukup dingin untuk membuat Madelyne menggigil hingga ke tulangnya. Ia mulai berbalik untuk berbicara kepada Edmond, “Jangan berani-berani menyuruhnya untuk mematuhiku, Madelyne, atau, semoga Tuhan menolongku, aku akan merenggut rambut merahmu itu dan menyumpalkannya ke dalam mulutmu.”

Madelyne terkesiap marah. Duncan puas, mengira ancaman kasarnya telah membuat gadis itu menyadari posisinya yang rentan. Tujuannya adalah mendapatkan kepatuhan gadis itu. Aye, ia menghendaki gadis itu bersikap jinak untuk apa yang akan segera terjadi.

Saat Madelyne mulai berjalan ke arahnya dengan sorot membunuh di mata, Duncan menyimpulkan bahwa ancamannya tidak terlalu mengganggu gadis itu. Madelyne tidak bertingkah jinak sedikit pun. “Beraninya kau menghinaku? Rambutku bukan merah, dan kau sangat tahu itu. Rambutku coklat,” pekik gadis itu. “Memiliki rambut merah itu membawa sial, dan rambutku bukan merah.”

Duncan tidak percaya pada apa yang ia dengar. Pembangkangan Madelyne telah menjadi hal yang biasa.

Madelyne menghentikan langkahnya saat ia berjarak kurang dari tiga puluh sentimeter jauhnya. Cukup dekat untuk disambar, pikir Duncan.

Gadis itu berani namun tidak tahu apa-apa mengenai dunia. Hanya itulah alasan yang dapat Duncan temukan untuk komentar gadis itu. Ada lebih dari seratus orang prajurit Louddon yang sedang menanti di luar tembok benteng ini, mengancam akan menyerang jika Madelyne tidak diserahkan kepada mereka pada esok pagi. Gadis itu seharusnya meradang karena situasi tersebut, jura Duncan pada dirinya sendiri. Alih-alih, gadis itu memperdebatkan masalah warna rambutnya. Rambut itu lebih merah ketimbang coklat, dan kenapa, dalam nama Tuhan, gadis itu tidak bisa melihatnya di luar pemahaman Duncan.

“Hinaanmu tiada batasnya,” kata Madelyne pada Duncan. Kemudian ia mulai menangis. Ia tidak sanggup menatap Duncan lagi, dan pasti itulah alasan ia mengizinkan Duncan memeluknya.

“Kau tidak akan kembali kepada Louddon, madelyne,” ujar Duncan, suaranya parau.

“Kalau begitu, aku akan tinggal di sini hingga musim semi,” kata Madelyne.

Edmond muncul di pintu masuk bersama sang pastor baru. “Bapa Laurance sudah datang,” ia mengumumkan untuk menarik perhatian Duncan.

Madelyne menarik dirinya dari Duncan. Ia menoleh untuk memandang sang pastor. Oh, pria itu sangat muda. Itu membuat Madelyne terkejut. Pria itu juga samar-samar tampak familier baginya, meski ia tidak dapat mengingat di mana tepatnya ia bertemu pria itu. Sangat sedikit [astor muda yang mengunjungi Paman Berton.

Madelyne menggeleng, kemudian memutuskan bahwa ia tidak mungkin pernah bertemu pria itu sebelumnya.

Duncan tiba-tiba menarik Madelyne ke sisinya. Mereka berdiri begitu dekat dengan perapian, membuat Madelyne melupakan sang pastor dan mulai khawatir kalau-kalau gaunnya tersambar lidah api. Saat Madelyne mencoba menjauh, Duncan mengeratkan rangkulannya. Lengan Duncan tersampir di pundak Madelyne, menahannya di sisi pria itu. Aneh, tapi setelah sedetik atau lebih, kedekatan Duncan menenangkannya, dan ia dapat melipat kedua tangannya di depan tubuhnya dan memasang kembali ekspresi tenangnya.

Sang pastor tampak khawatir. Ia bukan pria yang sangat menarik, sebab wajahnya bopeng karena bekas luka. Ia juga tampak berantakan.

Gilard berlari masuk ke dalam ruangan. Ekspresi wajahnya menyiratkan bahwa ia siap bertempur. Ia dan Edmond mendadak bertukar perangai. Edmond kini tersenyum sementara Gilard cemberut.

“Duncan, aku yang akan menikahi Lady Madelyne. Aku lebih dari bersedia untuk melakukan pengoebanan ini,” gilard mengumumkan. Wajahnya merah dan ia dengan sengaja menggunakan kata pengorbanan agar Duncan tidak akan mengetahui kedalaman perasaannya yang sebenarnya kepada Madelyne. “Dia telah menyelamatkan nyawaku,” imbuhnya ketika Duncan tidak langsung menjawabnya.

Duncan tahu apa persisnya yang ada di benak Gilard. Adiknya itu setransparan air. Gilard mengira dirinya jatuh cinta pada Madelynne. “Jangan mendebatku, Gilard. Keputusanku sudah bulat dan kau akan menghormatinya. Apa kau memahamiku, Dik?”

Suara Duncan halus namun mengancam, dan Gilard, setelah menghembuskan napas dengan keras dan marah, perlahan-lahan menggeleng. “Aku tidak akan menentangmu.”

“Menikah?” Madelyne membisikkan kata itu seakan-akan itu adalah sebuah hujatan.

Madelyne meneriakkan kata selanjutnya. “Pengorbanan?”




3 komentar:

  1. Up kak.. Ditunggubkelanjutannya

    BalasHapus
  2. Ditunggu kak.... Bagus banget ceritanya

    BalasHapus
  3. Ditunggu ka kelanjutannya, suka banget, mohon update ya ka, makasih :))

    BalasHapus