Jumat, 08 Maret 2019

Beyond the Highland Mist #3


Adrienne samasekali tidak tahu bagaimana bisa berada di pangkuan lelaki itu. Samasekali tak tahu.

Sebelumnya ia waras sepenuhnya –mungkin sedikit neorotik, tapi sepenuhnya yakin bahwa ia masih waras– dan sekonyong-konyong tanah di tempat ia berpijak lenyap dan ia terhisap ke dalam semacam lubang kelinci seperti cerita Alice in Wonderland.


Hal pertama yang ia pikirkan adalah bahwa ia pasti sedang bermimpi: Alam bawah sadar menakutkan yang dirampok menjadi mimpi buruk barbar.

Tapi itu semua tak masuk akal; hanya beberapa saat lalu, ia sedang mengelus Moonshadow atau sedang melakukan sesuatu... tapi apa? Tak mungkin ia jatuh tertidur begitu saja tanpa ingat apa-apa!

Mungkin ia terjatuh dan membenturkan kepalanya, dan halusinasi ini adalah akibat dari geger otak.

Atau mungkin tidak, ia menatap sekelilingnya dengan bimbang, ke ruangan yang temaram dengan orang-orang berbusana aneh yang berbicara versi aneh dari bahasa Inggris.

Bagus sekali, Adrienne, pikirnya.Akhirnya kau berhasil menjadi gila, dengan masih mengenakan sepatu. Adrienne mencoba menfokuskan pandangannya, yang anehnya ia rasa berat. Lelaki yang mencengkramnya sungguh menjijikkan. Ia seperti hewan yang terus bersendawa dengan tangan gemuk serta perut buncit, dan bau.

Sesaat lalu ia berada di ruang baca rumahnya, bukan?

Satu tangan terulur meremas payudaranya dan Adrienne berteriak. Rasa kagetnya dikalahkan oleh amarah dan rasa malu saat tangan itu dengan sengaja menggesek puting payudaranya dari balik sweaternya. Walaupun ini Cuma mimpi, ia tak bisa membiarkan perlakuan seperti itu terjadi tanpa ada pembalasan. Adrienne membuka mulutnya untuk menghamburkan kata-kata makian, tapi pria itu mendahuluinya. Mulut pria itu yang terlihat di antara rambut kusutnya membuka membentuk O. Oh Tuhan, lelaki itu bahkan masih mengunyah makanan, dan tak heran –gigi-giginya yang tersisa terlihat oendek dan berwarna coklat.

Dengan rasa jijik Adrienne menyeka serpihan ayam dan makanan di wajahnya saat pria itu meraung, tapi anehnya, Adrienne mengerti ucapannya melalui aksennya yang kental.

Adrienne adalah karunia Tuhan, seru pria itu ke seluruh ruangan. Adrienne adalah pemberian dari para malaikat.

Adrienne akan dinikahkan besok.

Adrienne pingsan. Tubuhnya mengejang sesaat, lalu terkulai lemas. Bidak catur hitam terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dan sebuah sepatu bot kulit menendangnya ke bawah meja.

***

Saat Adrienne tersadar, ia terdiam, matanya terpejam erat. Di bawahnya ia merasakan kasur tipis yang ditumpuk. Bisa jadi ini adalah tempat tidurnya. Ia pernah membeli kasur-kasur tipis antik dan menjahitnya kembali untuk ditaruh di atas tempat tidur a-la Queen Anne miliknya. Ia memang menggandrungi benda-benda antik, tak diragukan lagi.

Adrienne mengendus. Tak ada bau-bauan aneh dari ruang makan di mimpinya itu. Tak ada suara aksen tebal yang sebelumnya seolah ia dengar.

Tapi juga tak ada suara lalu-lintas kendaraan bermotor.

Ia menajamkan pendengarannya, mencoba menyimak lebih keras. Pernahkan ia mengalami kesunyian seperti ini?

Adrienne menarik napas dan berharap agar jantungnya memperlamban detaknya.

Ia membalikkan badan di kasur tipisnya. Apakah ini rasanya menjadi gila? Dimulai dengan firasat tak tenang, lalu perasaan seolah sedang diawasi, lalu dengan cepat meningkat menjadi kegilaan total, kemudian memuncak menjadi mimpi buruk tentang seekor hewan yang bau dan berbulu mengumumkan pernikahannya yang segera terjadi?

Adrienne memejamkan matanya lebih kuat, mencoba mengembalikan kewarasannya. Bayangan sebuah perangkat catur melintasi benaknya; benteng-benteng yang siap berperang dan ratu bengis terpatri dalam relif di belakang kelopak matanya, dan seperti ada sesuatu yang harus ia ingat. Apa yang tadi ia lakukan?

Kepalanya sakit. Semacam rasa sakit yang konstan, dilengkapi dengan rasa pahit di belakang kerongkongannya. Untuk sesaat ia berjuang menghadapinya, tapi rasa sakitnya bertambah. Perangkat catur itu menari-nari dalam warna hitam putih, lalu kemudian luruh menjadi bentuk-bentuk yang lebih rinci. Tak terlalu penting.

Adrienne punya hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan –di mana ia berada?

Ia tetap memejamkan mata dengan menunggu. Beberapa saat lagi ia akan mendengar deru mobil BMW melintas di mulus sepanjang Coattail Lane atau teleponnya berdering nyaring...

Seekor ayam jantan tidak berkokok begitu saja.

Satu menit lagi dan ia akan mendengar suara mengeong Moonie, dan merasakan kibasan ekornya di wajahnya saat ia  melompat bangun dari tempat tidur.

Ia tidak mendengar derit engsel pintu. Lalu suara pintu yang menggesek di lantai batu.

“Nyonya, saya tahu Anda sudah bangun.”

Mata Adrienne terbuka lebar dan melihat seorang wanita pendek berambut coklat keperakan dan berpipi merah, meremas-remas kedua tangannya sambil berdiri di ujung tempat tidur. “Siapa kau?” Adrienne bertanya dengan lemas, tak ingin melihat keseluruhan kamar, hanya tempat wanita itu muncul.

“Bah! Siapa aku katanya? Sang gadis yang muncul entah dari mana, seperti tukang sihir, ingin tahu siapa aku? Hmmph!”

Sambil berkata begitu, wanita itu menaruh sepiring makanan berbau aneh di atas meja terdekat, dan memaksa Adrienne bangun dengan cara menepuk-nepuk bantal di belakang punggungnya.

“Aku Talia. Aku dikirim untuk mengurus Nyonya. Makanlah. Atau Nyonya tak akan cukup kuat untuk menikahi dia jika nyonya tidak makan,” ia menyerocos.

Bersamaan dengan itu dan setelah melihat sekeliling batu yang dihiasi permadani warna-warni bergambar kegiatan berburu serta pesta gila-gilaan, Adrienne pingsan sekali lagi –kali ini, dengan nikmat.

**

Adrienne siuman lagi dan mendapati sekelompok pelayan wanita membawa pakaian dalam, kaus kaki dan gaun pengantin.

Para wanita itu memandikannya di dalam air wangi di depan tungku api besar. Sambil berendam di dalam bak mandi kayu, Adrienne mengamati setiap sentimeter ruangan tempat ia berada. Bagaimana mungkin sebuah mimpi bisa begitu jelas, begitu kaya akan bau-bauan, sentuhan dan suara? Air mandi ini berbau bunga-bungaan segar. Para pelayan wanita sedikit bercakap-cakap sambil memandikannya. Perapian batu di depannya tinggi sama dengan tinggi tiga orang lelaki –menjulang mencium langit-langit dan membentang sampai separuh luas dinding sebelah utara, yang berhiaskan serangkaian perabotan perak; keranjang-keranjang karawang halus, anyaman berbentuk bunga mawar indah, setiap kelopaknya berkilau seperti perak tempa sekaligus halus seperti beledu. Di atas rak yang terbuat dari kayu pohon ek, tergantung sebuah lukisan kegemilangan perang yang bersimbah darah.

Pengamatan Adrienne terpotong oleh suara derit pintu. Suara-suara terkesiap yang seketika membisu menarik pandangannya ke arah pintu, lalu Adrienne sendiri, menarik napas terkejut. Sang pria buruk rupa! Pipi Adrienne merona karena malu, dan segera ia menenggelamkan diri ke dalam bak mandi.

“Tuan, ini bukan tempat –” seorang pelayan mulai berkata.

Suara tamparan menggema seantero ruangan, membungkam protes sang pelayan dan mencegah munculnya protes pelayan lainnya sebelum mereka bahkan berniat melakukannya. Sang hewan berminyak dari mimpi buruk sebelumnya bertumpu di tepi bak yang mengepul sambil mengerling. Tatapan dari matanya yang biru bertemu dengan sorot mata kelabu Adrienne yang tajam, melawan tatapannya yang tak sopan.

Mata pria itu beralih ke permukaan dan ke bawah permukaan air. Ia menyeringai saat melihat puting Adrienne yang berwana merah muda, sebelum Adrienne secepat kilat mendekap kedua tangannya sendiri ke tubuhnya.

“Menurutku lumayan juga untuk dia,” pria itu mengguman. Lalu, sambil mengalihkan pandangannya dari air kembali ke wajah Adrienne yang merah padam, ia memerintah, “Mulai saat ini, namamu adalah Janet Comyn.”

Adrienne melotot ke arahnya, “Namaku,” ia menukas, “adalah Adrienne de Simone.”

Plak!

Adrienne terperanjat sambil mengangkat tangannya ke pipi. Seorang pelayan mengeluarkan suara teriakan tertahan.

“Coba lagi,” ujar pria itu lembut. Dan walaupun suaranya lembut, mata birunya menatap dengan tatapan keras.

Adrienne mengusap pipinya yang sakit sambil terdiam.

Tangan pria itu terangkat dan terjatuh lagi.

“Nyonya! Kami mohon!” Seorang pelayan wanita bertubuh mungil berlutut di samping bak mandi, menaruh tangan di atas bahu Adrienne.

“Bagus, nasehati dia, Bess. Kau tahu apa akibatnya bagi gadis yang cukup bodoh untuk menuruti kemauanku. Katakan,” ia mengulangi perintahnya pada Adrienne. “Katakan namamu adalah Janet Comyn.”

Saat tangand gemuknya terangkat dan memukul sekali lagi, ia menampar wajah Bess dengan marah. Adrienne menjerit saat ia menyaksikan pria itu memukuli Bess berkali-kali.

“Hentikan!” ia menjerit.

“Katakan!” perintah pria itu sambil mengangkat tangannya dan memukul sekali lagi. Bess menangis sambil terjatuh ke lantai. Tapi pria itu memburunya dengan tangan terkepal.

“Namaku Janet Comyn!” Adrienne berseru, setengah berdiri dari bak mandi.

Kepalan tinju Comyn terhenti di tengah jalan, dan tergerak kembali, dengan sorot mata penuh kemenangan. Kemenangan –dan tatapan lamban yang menyapu tubuh Adrienne.

Wajah Adrienne merah padam berada di bawah tatapan berahi dari mata pucat lelaki itu, lalu cepat-cepat membenamkan diri kembali ke dalam air.

“Tidak, dia mendapatkan sesuatu yang lumayan. Kau jauh lebih molek dari Janet milikku.” Bibirnya menyunggingkan senyum. “Hampir saja aku menikmati bantal empuk itu, tapi kau datang tepat pada waktunya.”

“Datang di mana?”

“Datang dari mana, itu pertanyaanku,” pria itu membalas. Adrienne menyadari saat itu bahwa salah besar menyepelekan orang Inggris ini. Di balik sikapnya yang kasar dan penampilannya yang kusut masai tersimpan benak yang setajam belati. Lengan gemuknya yang melayangkan tamparan menyimpan otot. Mata pucat kecil yang senantiasa bergerak itu tak pernah luput mengamati sesuatu. Ia bukan menghukum Bess dalam amarah membara. Ia memukulnya dengan perhitungan matang agar Adrienne memberi apa yang ia inginkan.

Adrienne menggelengkan kepala, matanya membelalak kebingungan. “Sungguh aku sama sekali tak tahu bagaimana bisa berada di tempat ini.”

“Kau tak tahu dari mana asalmu?”

Bess tersedu perlahan, dan pandangan Adrienne menjadi suram saat ia melihat pelayan itu meringkuk dan mengendap mencoba menjauh dari Comyn. Mendadak tangannya terulur dan mencengkram pergelangan kaki Bess. Bess merintih pasrah.

“Oh, tidak, manisku. Aku mungkin masih butuh kau.” Pandangannya menyapu ke arah Bess yang sedang gemetar ketakutan dengan sorot mata memiliki. Adrienne menarik napas saat ia merobek pakaian Bess dan terus mengoyaknya dari tubuh Bess. Perut Adrienne mendadak mual melihat bilur-bilur yang terpampang di paha dan sisi tubuh Bess. Bilur bekas deraan cambuk atau sabuk.

Pelayan wanita yang lain berhamburan keluar ruangan, meninggalkan Adrienne dengan Bess yang sedang menangis serta pria gila itu.

“Ini duniaku, Adrienne de Simone,” ia menekankan, dan Adrienne memiliki firasat bahwa kalimat yang baru saja ia dengar akan terukir dalam-dalam di benaknya untuk jangka waktu yang sangat lama. Pria itu mengelus paha Bess yang gemetar dengan ringan. “Peraturanku, orang-orangku. Perintahku atas hidup dan mati. Hidupmu dan dia. Mudah saja apa yang aku inginkan darimu. Jika kau tak bekerjasama, ia mati. Lalu satu lagi, dan satu lagi. Aku akan temukan inti dari rasa ibamu yang bodoh itu, yang kau kenakan dengan bangga. Membuatmu mudah sekali diperalat. Tapi wanita memang seperti itu. Lemah.”

Adrienne bangkit duduk sambil terdiam, tarikan napasnya yang berat menemani isak tangis Bess.

“Diam, perempuan!” ia menampar wajah Bess, yang segera meringkuk lebih kecil lagi, menutup wajahnya dengan tangan untuk meredam isak tangisnya.

Suatu hari nanti aku akan membunuhnya dengan tangan kosong, diam-diam Adrienne bersumpah.

“Aku tahu bagaimana kau tiba di sini atau siapa kau sebenarnya, dan sejujurnya, aku tak peduli. Aku punya masalah, dan kau akan membereskannya. Jika kau lupa apa yang akan kuberitahukan kepadamu, jika kau lalai, jika kau mengkhianatiku, aku akan membunuhmu setelah kuhancurkan semua yang kau sayangi.”

“Di mana aku?” Adrienne bertanya datar, ragu menanyakan pertanyaan yang mengganggunya. Ia takut jika ia mulai bertanya, ia akan menyadari bahwa ini semua samasekali bukan mimpi.

“Aku tak peduli jika kau gila,” pria itu tertawa. “Sebenarnya, aku malah menikmati jika kau memang tak waras. Janetku juga. Sebab dia pantas mendapatkannya.”

“Di mana aku?” Adrienne mendesak.

“Janet juga mengalami kesulitan mengingat hal itu.”

“Jadi, di mana aku?”

Comyn mengamatinya, lalu mengangkat bahu. “Skotlandia. Benteng Comyn –bentengku.”

Adrienne merasa seolah jantungnya berhenti berdetak. Apakah ia benar-benar sudah gila? Adrienne menguatkan diri menanyakan pertanyaan berikutnya –pertanyaan yang jelas, pertanyaan yang menakutkan, yang ia hindari sejak pertama kali ia siuman. Ia menyadari bahwa ia terkadang lebih baik untuk tak terlalu banyak bertanya– jawaban yang diterima bisa meresahkan. Jawaban dari pertanyaan satu ini dapat merusak daya nalarnya yang sudah rapuh; Adrienne curiga bahwa keberadaannnya bukanlah satu-satunya masalah yang ia hadapi. Sambil menarik napas panjang, ia bertanya dengan hati-hati. “Tahun berapa ini?”

Comyn terbahak. “Kau memang idiot, ya?”

Adrienne melotot ke arahnya sambil membisu.

Pria itu mengangkat bahu lagi. “Tahun seribu lima ratus tiga belas.”

“Oh,” Adrienne berkata lirih. Astagaastagaastaga, ia diam-diam menjerit dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam dengan pelan, dan menyuruh dirinya sendiri untuk mulai lagi menurut dari permulaan misteri ini; mungkin hal ini bisa dipecahkan. “Dan siapa kau?”

“Demi segalanya, aku ayahmu, nak. Itu hal pertama yang harus kau ingat.”

Suara isakan untuk sementara mengalihkan perhatian Adrienne dari masalahnya. Bess yang malang; Adrienne tak tahan melihat orang yang kesakitan, kecuali ia bisa membantu. Orang ini menginginkan sesuatu darinya; mungkin ia bisa mengusulkan semacam barter. “Lepaskan Bess,” ujarnya.

“kau menjanjikan kesetiaanmu padaku dalam hal ini?” Matanya seperti mata ular, Adrienne baru menyadari. Seperti mata ular piton di kebun binatang Seatle.

“Bebaskan dia dari benteng ini. Merdekakan dia,” Adrienne memperjelas kalimatnya.

“Jangan, nyonya!” Bess menjerit, dan pria keparat itu terkekeh pelan.

Matanya menjadi iba saat ia mengusap kaki Bess. “Menurutku, Janet Comyn, kau tak terlalu memahami dunia ini. Jika ia kulepaskan dari perhatian dan kasih sayangku, dan pria lainnya mungkin tak sepenyayang aku. Suamimu sendiri mungkin tak akan sepenyayang aku.”

Adrienne gemetar sambil berusaha mengalihkan pandangannya daqri tangan pria itu yang sedang mengelus-elus. Sumber rasa sakit yang diderita Bess adalah dari tangan yang sama yang memberinya makan. “Melindunginya”nya. Adrienne merasakan rasa pahit di kerongkongannya, hampir mencekiknya.

“Untungnya, ia sudah mengira kau gila, jadi kau boleh bicara apa saja mulai hari ini. Tapi mulai hari ini, dari matahari terbit sampai terbenam, kau akan bersumpah bahwa kau adalah Janet Comyn, keturunan satu-satunya dari Red Comyn, mempelai tersumpah untuk Sidheach Douglas. Kau akan menjalani hari ini seperti yang kuperintahkan–”

“Tapi apa yang terjadi dengan Janet yang asli?” Adrienne tak sanggup menahan diri untuk bertanya.

Plak! Adrienne tak mengerti bagaimana tangan pria itu bisa menamparnya secepat itu, bahkan saat ia belum sempat berkedip? Sambil berdiri gemetar menahan amarah di depan Adrienne, ia berkata, “Berikutnya tak akan lagi mengenai wajahmu, perempuan jalang, sebab gaunmu tak menutupi daerah itu. Tapi selalu ada cara untuk memukul di tempat yang paling menyakitkan, dan tak meninggalkan bekas. Jangan paksa aku.”

Adrienne membisu dan menuruti saja semua yang pria itu perintahkan. Pesannya sudah jelas. Jika Adrienne membisu dan patuh, ia akan tetap hidup. Mimpi atau bukan, pukulannya terasa sakit di sini, dan ia punya firasat, kematian pun akan menyakitkan di sini.

Lalu ia mulai mengatakan banyak hal. Ratusan rincian yang ia ingin Adrienne hafalkan. Ia mematuhinya dengan tekad bulat; untuk sementara hal itu mencegahnya untuk merenungkan kegilaannya saat ini. Ia mengulang setiap rincian, setiap nama, setiap kenangan yang bukan miliknya. Dari pengamatan hari-hati atas “ayah”nya, ia bisa menebak banyak kenangan wanita yang identitasnya sekarang ia gunakan.

Dan sementara itu, sebuah mantera berdengung di belakang benaknya. Ini tak mungkin terjadi. Ini tak mungkin terjadi. Tapi di muka benaknya, sebagai seorang yang realistis, ia mengerti bahwa kata tak mungkin dan  mustahil tak ada artinya saat kemustahilan itu terjadi.

Kecuali ia bisa bangun segera dari mimpi yang buruk dan jelas ini, ia sekarang berada di Skotlandia, tahun 1513, dan ia memang akan segera dinikahkan.



Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar