Adrienne
samasekali tidak tahu bagaimana bisa berada di pangkuan lelaki itu. Samasekali
tak tahu.
Sebelumnya
ia waras sepenuhnya –mungkin sedikit neorotik, tapi sepenuhnya yakin bahwa ia
masih waras– dan sekonyong-konyong tanah di tempat ia berpijak lenyap dan ia
terhisap ke dalam semacam lubang kelinci seperti cerita Alice in Wonderland.
Hal
pertama yang ia pikirkan adalah bahwa ia pasti sedang bermimpi: Alam bawah
sadar menakutkan yang dirampok menjadi mimpi buruk barbar.
Tapi
itu semua tak masuk akal; hanya beberapa saat lalu, ia sedang mengelus
Moonshadow atau sedang melakukan sesuatu... tapi apa? Tak mungkin ia jatuh
tertidur begitu saja tanpa ingat apa-apa!
Mungkin
ia terjatuh dan membenturkan kepalanya, dan halusinasi ini adalah akibat dari
geger otak.
Atau
mungkin tidak, ia menatap sekelilingnya dengan bimbang, ke ruangan yang temaram
dengan orang-orang berbusana aneh yang berbicara versi aneh dari bahasa
Inggris.
Bagus sekali, Adrienne, pikirnya.Akhirnya kau berhasil menjadi gila, dengan
masih mengenakan sepatu. Adrienne mencoba menfokuskan pandangannya, yang
anehnya ia rasa berat. Lelaki yang mencengkramnya sungguh menjijikkan. Ia
seperti hewan yang terus bersendawa dengan tangan gemuk serta perut buncit, dan
bau.
Sesaat
lalu ia berada di ruang baca rumahnya, bukan?
Satu
tangan terulur meremas payudaranya dan Adrienne berteriak. Rasa kagetnya
dikalahkan oleh amarah dan rasa malu saat tangan itu dengan sengaja menggesek
puting payudaranya dari balik sweaternya. Walaupun ini Cuma mimpi, ia tak bisa
membiarkan perlakuan seperti itu terjadi tanpa ada pembalasan. Adrienne membuka
mulutnya untuk menghamburkan kata-kata makian, tapi pria itu mendahuluinya.
Mulut pria itu yang terlihat di antara rambut kusutnya membuka membentuk O. Oh Tuhan, lelaki itu bahkan masih
mengunyah makanan, dan tak heran –gigi-giginya yang tersisa terlihat oendek dan
berwarna coklat.
Dengan
rasa jijik Adrienne menyeka serpihan ayam dan makanan di wajahnya saat pria itu
meraung, tapi anehnya, Adrienne mengerti ucapannya melalui aksennya yang
kental.
Adrienne
adalah karunia Tuhan, seru pria itu ke seluruh ruangan. Adrienne adalah
pemberian dari para malaikat.
Adrienne
akan dinikahkan besok.
Adrienne
pingsan. Tubuhnya mengejang sesaat, lalu terkulai lemas. Bidak catur hitam
terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dan sebuah sepatu bot kulit
menendangnya ke bawah meja.
***
Saat
Adrienne tersadar, ia terdiam, matanya terpejam erat. Di bawahnya ia merasakan
kasur tipis yang ditumpuk. Bisa jadi ini adalah tempat tidurnya. Ia pernah
membeli kasur-kasur tipis antik dan menjahitnya kembali untuk ditaruh di atas
tempat tidur a-la Queen Anne
miliknya. Ia memang menggandrungi benda-benda antik, tak diragukan lagi.
Adrienne
mengendus. Tak ada bau-bauan aneh dari ruang makan di mimpinya itu. Tak ada
suara aksen tebal yang sebelumnya seolah ia dengar.
Tapi
juga tak ada suara lalu-lintas kendaraan bermotor.
Ia
menajamkan pendengarannya, mencoba menyimak lebih keras. Pernahkan ia mengalami
kesunyian seperti ini?
Adrienne
menarik napas dan berharap agar jantungnya memperlamban detaknya.
Ia
membalikkan badan di kasur tipisnya. Apakah ini rasanya menjadi gila? Dimulai
dengan firasat tak tenang, lalu perasaan seolah sedang diawasi, lalu dengan
cepat meningkat menjadi kegilaan total, kemudian memuncak menjadi mimpi buruk
tentang seekor hewan yang bau dan berbulu mengumumkan pernikahannya yang segera
terjadi?
Adrienne
memejamkan matanya lebih kuat, mencoba mengembalikan kewarasannya. Bayangan
sebuah perangkat catur melintasi benaknya; benteng-benteng yang siap berperang
dan ratu bengis terpatri dalam relif di belakang kelopak matanya, dan seperti
ada sesuatu yang harus ia ingat. Apa yang tadi ia lakukan?
Kepalanya
sakit. Semacam rasa sakit yang konstan, dilengkapi dengan rasa pahit di belakang
kerongkongannya. Untuk sesaat ia berjuang menghadapinya, tapi rasa sakitnya
bertambah. Perangkat catur itu menari-nari dalam warna hitam putih, lalu
kemudian luruh menjadi bentuk-bentuk yang lebih rinci. Tak terlalu penting.
Adrienne
punya hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan –di mana ia berada?
Ia
tetap memejamkan mata dengan menunggu. Beberapa saat lagi ia akan mendengar
deru mobil BMW melintas di mulus sepanjang Coattail Lane atau teleponnya
berdering nyaring...
Seekor
ayam jantan tidak berkokok begitu
saja.
Satu
menit lagi dan ia akan mendengar suara mengeong Moonie, dan merasakan kibasan
ekornya di wajahnya saat ia melompat
bangun dari tempat tidur.
Ia
tidak mendengar derit engsel pintu. Lalu suara pintu yang menggesek di lantai
batu.
“Nyonya,
saya tahu Anda sudah bangun.”
Mata
Adrienne terbuka lebar dan melihat seorang wanita pendek berambut coklat
keperakan dan berpipi merah, meremas-remas kedua tangannya sambil berdiri di
ujung tempat tidur. “Siapa kau?” Adrienne bertanya dengan lemas, tak ingin
melihat keseluruhan kamar, hanya tempat wanita itu muncul.
“Bah!
Siapa aku katanya? Sang gadis yang
muncul entah dari mana, seperti tukang sihir, ingin tahu siapa aku? Hmmph!”
Sambil
berkata begitu, wanita itu menaruh sepiring makanan berbau aneh di atas meja
terdekat, dan memaksa Adrienne bangun dengan cara menepuk-nepuk bantal di
belakang punggungnya.
“Aku
Talia. Aku dikirim untuk mengurus Nyonya. Makanlah. Atau Nyonya tak akan cukup
kuat untuk menikahi dia jika nyonya
tidak makan,” ia menyerocos.
Bersamaan
dengan itu dan setelah melihat sekeliling batu yang dihiasi permadani
warna-warni bergambar kegiatan berburu serta pesta gila-gilaan, Adrienne
pingsan sekali lagi –kali ini, dengan nikmat.
**
Adrienne
siuman lagi dan mendapati sekelompok pelayan wanita membawa pakaian dalam, kaus
kaki dan gaun pengantin.
Para
wanita itu memandikannya di dalam air wangi di depan tungku api besar. Sambil
berendam di dalam bak mandi kayu, Adrienne mengamati setiap sentimeter ruangan
tempat ia berada. Bagaimana mungkin sebuah mimpi bisa begitu jelas, begitu kaya
akan bau-bauan, sentuhan dan suara? Air mandi ini berbau bunga-bungaan segar.
Para pelayan wanita sedikit bercakap-cakap sambil memandikannya. Perapian batu
di depannya tinggi sama dengan tinggi tiga orang lelaki –menjulang mencium
langit-langit dan membentang sampai separuh luas dinding sebelah utara, yang
berhiaskan serangkaian perabotan perak; keranjang-keranjang karawang halus,
anyaman berbentuk bunga mawar indah, setiap kelopaknya berkilau seperti perak
tempa sekaligus halus seperti beledu. Di atas rak yang terbuat dari kayu pohon
ek, tergantung sebuah lukisan kegemilangan perang yang bersimbah darah.
Pengamatan
Adrienne terpotong oleh suara derit pintu. Suara-suara terkesiap yang seketika
membisu menarik pandangannya ke arah pintu, lalu Adrienne sendiri, menarik
napas terkejut. Sang pria buruk rupa! Pipi Adrienne merona karena malu, dan
segera ia menenggelamkan diri ke dalam bak mandi.
“Tuan,
ini bukan tempat –” seorang pelayan mulai berkata.
Suara
tamparan menggema seantero ruangan, membungkam protes sang pelayan dan mencegah
munculnya protes pelayan lainnya sebelum mereka bahkan berniat melakukannya.
Sang hewan berminyak dari mimpi buruk sebelumnya bertumpu di tepi bak yang
mengepul sambil mengerling. Tatapan dari matanya yang biru bertemu dengan sorot
mata kelabu Adrienne yang tajam, melawan tatapannya yang tak sopan.
Mata
pria itu beralih ke permukaan dan ke bawah permukaan air. Ia menyeringai saat
melihat puting Adrienne yang berwana merah muda, sebelum Adrienne secepat kilat
mendekap kedua tangannya sendiri ke tubuhnya.
“Menurutku
lumayan juga untuk dia,” pria itu mengguman. Lalu, sambil mengalihkan
pandangannya dari air kembali ke wajah Adrienne yang merah padam, ia
memerintah, “Mulai saat ini, namamu adalah Janet Comyn.”
Adrienne
melotot ke arahnya, “Namaku,” ia menukas, “adalah Adrienne de Simone.”
Plak!
Adrienne
terperanjat sambil mengangkat tangannya ke pipi. Seorang pelayan mengeluarkan
suara teriakan tertahan.
“Coba
lagi,” ujar pria itu lembut. Dan walaupun suaranya lembut, mata birunya menatap
dengan tatapan keras.
Adrienne
mengusap pipinya yang sakit sambil terdiam.
Tangan
pria itu terangkat dan terjatuh lagi.
“Nyonya!
Kami mohon!” Seorang pelayan wanita bertubuh mungil berlutut di samping bak
mandi, menaruh tangan di atas bahu Adrienne.
“Bagus,
nasehati dia, Bess. Kau tahu apa akibatnya bagi gadis yang cukup bodoh untuk
menuruti kemauanku. Katakan,” ia mengulangi perintahnya pada Adrienne. “Katakan
namamu adalah Janet Comyn.”
Saat
tangand gemuknya terangkat dan memukul sekali lagi, ia menampar wajah Bess
dengan marah. Adrienne menjerit saat ia menyaksikan pria itu memukuli Bess
berkali-kali.
“Hentikan!”
ia menjerit.
“Katakan!”
perintah pria itu sambil mengangkat tangannya dan memukul sekali lagi. Bess
menangis sambil terjatuh ke lantai. Tapi pria itu memburunya dengan tangan
terkepal.
“Namaku
Janet Comyn!” Adrienne berseru, setengah berdiri dari bak mandi.
Kepalan
tinju Comyn terhenti di tengah jalan, dan tergerak kembali, dengan sorot mata
penuh kemenangan. Kemenangan –dan tatapan lamban yang menyapu tubuh Adrienne.
Wajah
Adrienne merah padam berada di bawah tatapan berahi dari mata pucat lelaki itu,
lalu cepat-cepat membenamkan diri kembali ke dalam air.
“Tidak,
dia mendapatkan sesuatu yang lumayan. Kau jauh lebih molek dari Janet milikku.”
Bibirnya menyunggingkan senyum. “Hampir saja aku menikmati bantal empuk itu,
tapi kau datang tepat pada waktunya.”
“Datang
di mana?”
“Datang
dari mana, itu pertanyaanku,” pria
itu membalas. Adrienne menyadari saat itu bahwa salah besar menyepelekan orang
Inggris ini. Di balik sikapnya yang kasar dan penampilannya yang kusut masai
tersimpan benak yang setajam belati. Lengan gemuknya yang melayangkan tamparan
menyimpan otot. Mata pucat kecil yang senantiasa bergerak itu tak pernah luput
mengamati sesuatu. Ia bukan menghukum Bess dalam amarah membara. Ia memukulnya
dengan perhitungan matang agar Adrienne memberi apa yang ia inginkan.
Adrienne
menggelengkan kepala, matanya membelalak kebingungan. “Sungguh aku sama sekali
tak tahu bagaimana bisa berada di tempat ini.”
“Kau
tak tahu dari mana asalmu?”
Bess
tersedu perlahan, dan pandangan Adrienne menjadi suram saat ia melihat pelayan
itu meringkuk dan mengendap mencoba menjauh dari Comyn. Mendadak tangannya
terulur dan mencengkram pergelangan kaki Bess. Bess merintih pasrah.
“Oh,
tidak, manisku. Aku mungkin masih butuh kau.” Pandangannya menyapu ke arah Bess
yang sedang gemetar ketakutan dengan sorot mata memiliki. Adrienne menarik
napas saat ia merobek pakaian Bess dan terus mengoyaknya dari tubuh Bess. Perut
Adrienne mendadak mual melihat bilur-bilur yang terpampang di paha dan sisi
tubuh Bess. Bilur bekas deraan cambuk atau sabuk.
Pelayan
wanita yang lain berhamburan keluar ruangan, meninggalkan Adrienne dengan Bess
yang sedang menangis serta pria gila itu.
“Ini
duniaku, Adrienne de Simone,” ia menekankan, dan Adrienne memiliki firasat
bahwa kalimat yang baru saja ia dengar akan terukir dalam-dalam di benaknya
untuk jangka waktu yang sangat lama. Pria itu mengelus paha Bess yang gemetar
dengan ringan. “Peraturanku, orang-orangku. Perintahku atas hidup dan mati.
Hidupmu dan dia. Mudah saja apa yang aku inginkan darimu. Jika kau tak
bekerjasama, ia mati. Lalu satu lagi, dan satu lagi. Aku akan temukan inti dari
rasa ibamu yang bodoh itu, yang kau kenakan dengan bangga. Membuatmu mudah
sekali diperalat. Tapi wanita memang seperti itu. Lemah.”
Adrienne
bangkit duduk sambil terdiam, tarikan napasnya yang berat menemani isak tangis
Bess.
“Diam,
perempuan!” ia menampar wajah Bess, yang segera meringkuk lebih kecil lagi,
menutup wajahnya dengan tangan untuk meredam isak tangisnya.
Suatu hari nanti aku akan membunuhnya
dengan tangan kosong,
diam-diam Adrienne bersumpah.
“Aku
tahu bagaimana kau tiba di sini atau siapa kau sebenarnya, dan sejujurnya, aku
tak peduli. Aku punya masalah, dan kau akan membereskannya. Jika kau lupa apa
yang akan kuberitahukan kepadamu, jika kau lalai, jika kau mengkhianatiku, aku
akan membunuhmu setelah kuhancurkan semua yang kau sayangi.”
“Di
mana aku?” Adrienne bertanya datar, ragu menanyakan pertanyaan yang
mengganggunya. Ia takut jika ia mulai bertanya, ia akan menyadari bahwa ini
semua samasekali bukan mimpi.
“Aku
tak peduli jika kau gila,” pria itu tertawa. “Sebenarnya, aku malah menikmati
jika kau memang tak waras. Janetku juga. Sebab dia pantas mendapatkannya.”
“Di
mana aku?” Adrienne mendesak.
“Janet
juga mengalami kesulitan mengingat hal itu.”
“Jadi,
di mana aku?”
Comyn
mengamatinya, lalu mengangkat bahu. “Skotlandia. Benteng Comyn –bentengku.”
Adrienne
merasa seolah jantungnya berhenti berdetak. Apakah ia benar-benar sudah gila?
Adrienne menguatkan diri menanyakan pertanyaan berikutnya –pertanyaan yang
jelas, pertanyaan yang menakutkan, yang ia hindari sejak pertama kali ia
siuman. Ia menyadari bahwa ia terkadang lebih baik untuk tak terlalu banyak
bertanya– jawaban yang diterima bisa meresahkan. Jawaban dari pertanyaan satu
ini dapat merusak daya nalarnya yang sudah rapuh; Adrienne curiga bahwa keberadaannnya bukanlah satu-satunya
masalah yang ia hadapi. Sambil menarik napas panjang, ia bertanya dengan
hati-hati. “Tahun berapa ini?”
Comyn
terbahak. “Kau memang idiot, ya?”
Adrienne
melotot ke arahnya sambil membisu.
Pria
itu mengangkat bahu lagi. “Tahun seribu lima ratus tiga belas.”
“Oh,”
Adrienne berkata lirih. Astagaastagaastaga,
ia diam-diam menjerit dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam dengan pelan,
dan menyuruh dirinya sendiri untuk mulai lagi menurut dari permulaan misteri
ini; mungkin hal ini bisa dipecahkan. “Dan siapa kau?”
“Demi
segalanya, aku ayahmu, nak. Itu hal pertama yang harus kau ingat.”
Suara
isakan untuk sementara mengalihkan perhatian Adrienne dari masalahnya. Bess
yang malang; Adrienne tak tahan melihat orang yang kesakitan, kecuali ia bisa
membantu. Orang ini menginginkan sesuatu darinya; mungkin ia bisa mengusulkan
semacam barter. “Lepaskan Bess,” ujarnya.
“kau
menjanjikan kesetiaanmu padaku dalam hal ini?” Matanya seperti mata ular,
Adrienne baru menyadari. Seperti mata ular piton di kebun binatang Seatle.
“Bebaskan
dia dari benteng ini. Merdekakan dia,” Adrienne memperjelas kalimatnya.
“Jangan,
nyonya!” Bess menjerit, dan pria keparat itu terkekeh pelan.
Matanya
menjadi iba saat ia mengusap kaki Bess. “Menurutku, Janet Comyn, kau tak
terlalu memahami dunia ini. Jika ia kulepaskan dari perhatian dan kasih
sayangku, dan pria lainnya mungkin tak sepenyayang aku. Suamimu sendiri mungkin
tak akan sepenyayang aku.”
Adrienne
gemetar sambil berusaha mengalihkan pandangannya daqri tangan pria itu yang
sedang mengelus-elus. Sumber rasa sakit yang diderita Bess adalah dari tangan
yang sama yang memberinya makan. “Melindunginya”nya. Adrienne merasakan rasa
pahit di kerongkongannya, hampir mencekiknya.
“Untungnya,
ia sudah mengira kau gila, jadi kau boleh bicara apa saja mulai hari ini. Tapi
mulai hari ini, dari matahari terbit sampai terbenam, kau akan bersumpah bahwa
kau adalah Janet Comyn, keturunan satu-satunya dari Red Comyn, mempelai
tersumpah untuk Sidheach Douglas. Kau akan menjalani hari ini seperti yang
kuperintahkan–”
“Tapi
apa yang terjadi dengan Janet yang asli?” Adrienne tak sanggup menahan diri
untuk bertanya.
Plak! Adrienne tak mengerti bagaimana
tangan pria itu bisa menamparnya secepat itu, bahkan saat ia belum sempat
berkedip? Sambil berdiri gemetar menahan amarah di depan Adrienne, ia berkata,
“Berikutnya tak akan lagi mengenai wajahmu, perempuan jalang, sebab gaunmu tak
menutupi daerah itu. Tapi selalu ada cara untuk memukul di tempat yang paling
menyakitkan, dan tak meninggalkan bekas. Jangan paksa aku.”
Adrienne
membisu dan menuruti saja semua yang pria itu perintahkan. Pesannya sudah
jelas. Jika Adrienne membisu dan patuh, ia akan tetap hidup. Mimpi atau bukan,
pukulannya terasa sakit di sini, dan ia punya firasat, kematian pun akan
menyakitkan di sini.
Lalu
ia mulai mengatakan banyak hal. Ratusan rincian yang ia ingin Adrienne
hafalkan. Ia mematuhinya dengan tekad bulat; untuk sementara hal itu
mencegahnya untuk merenungkan kegilaannya saat ini. Ia mengulang setiap
rincian, setiap nama, setiap kenangan yang bukan miliknya. Dari pengamatan
hari-hati atas “ayah”nya, ia bisa menebak banyak kenangan wanita yang
identitasnya sekarang ia gunakan.
Dan
sementara itu, sebuah mantera berdengung di belakang benaknya. Ini tak mungkin terjadi. Ini tak mungkin
terjadi. Tapi di muka benaknya, sebagai seorang yang realistis, ia mengerti
bahwa kata tak mungkin dan mustahil tak ada artinya saat kemustahilan
itu terjadi.
Kecuali
ia bisa bangun segera dari mimpi yang buruk dan jelas ini, ia sekarang berada
di Skotlandia, tahun 1513, dan ia memang akan segera dinikahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar