Senin, 25 Februari 2019

The Tarnished Lady #sampaisiniaja


Bab 13 (bagian akhir)

Eadyth berbaring telentang, mendongak memandang Eirik dengan berharap, dan Eirik merasakan bagian hatinya yang telah lama mati mulai bangkit. “Oh, Eadyth, apakah kau menyadari betapa aku sangat menginginkanmu?”

Mulut Eadyth tanpa disadari menyunggingkan senyum seorang wanita dewasa.


“Kau suka itu, kan, berhasil menundukkanku di bawah kendali tanganmu?” tanyanya sambil menggeram, menelusuri kulit lembut perut Eadyth dengan telapak tangannya. Lalu tangannya bergerak ke bawah, menuju ke lembah yang tersembunyi Eadyth.

Eadyth terkesiap. “Sepertinya lebih tepat kalau kau yang punya tangan yang mengusai.”

Eirik tersenyum. “Buka kakimu untukku, Sayang.”

Ketika Eirik berlutut di antara kedua kakinya, memandang lipatan kewanitaannya, Eadyth tersipu dan membuang mukanya. “Kau membuatku sakit.”

“Benarkah?”

Eadyth mengangguk, lalu terkesiap saat jari-jarinya menemukan tonjolan di pusat kewanitaannya.

“Dan apakah menyakitkan, rasa sakit ini?”

Eadyth menggeleng, berusaha mengatupkan kakinya. “Ini berlebihan,” katanya ketika Eirik menolak menghentikan gerakan ujung jarinya di tonjolan itu.

“Tidak, ini sama sekali belum cukup,” katanya parau, tak yakin berapa lama lagi “rasa sakit” yang bisa ditahannya sendiri. “Oh Tuhan, kau seperti madu hangat yang mengaliri ujung jariku.”

Ketika Eirik menyelipkan jarinya yang panjang ke dalam lembahnya yang sempit dan licin, ia bisa merasakan Eadyth menggigil karena rangsangan yang terbentuk. Hasrat bergemuruh di telinga Eirik saat Eadyth melengkungkan pinggulnya ke atas, mencari pemenuhan yang Eirik tahu didambakannya walau wanita itu tak memahaminya.

Eirik menempatkan dirinya di antara lembah itu. Dengan tangannya yang lain di bawah bokong Eadyth, ia mengangkat wanita itu untuk memasukinya.

Eirik belum lama memasuki Eadyth namun istrinya itu sudah bergetar dengan kebutuhannya yang menggebu. Getaran kecil itu melingkupinya dengan lapar dan nyaris melemahkannya.

“Ikutlah bersamaku, Sayang,” bujuknya. “Mari kita melakukan perjalanan ini bersama.”

Eadyth menatap dengan mata yang sarat akan gairah, tak sepenuhnya memahami sampai eirik membekap mulut Eadyth dengan rakus dan membenamkan dirinya dalam lembah sempit Eadyth dengan sekali hunjaman.

“Oh... oh... oh.” Lipatan dalamnya yang selembut sutra dan panas menyambut Eirik dengan ledakan berirama yang semakin lama semakin kuat dan kuat saat Eadyth mencapai puncak kepuasannya yang pertama, mengibaskan kepalanya dari sisi ke sisi. Eadyth mendesah tak berdaya dalam hasratnya.

Ketika getaran tubuhnya akhirnya mereda dengan riak-riak kecil, Eadyth membuka matanya tampaknya menyadari keberadaan Eirik untuk pertama kali. Ia tersenyum malu, lalu menelengkan kepalanya bertanya. “Kenapa kau tampak seperti kesakitan?”

“Karena aku kesakitan,” geram Eirik, masih sekeras tombak dan menancap di lembah Eadyth, tapi tak akan lama kalau Eadyth terus bergerak.

Eirik tahu saat Eadyth menyadari masalahnya. “Ini tentang urusan mencapai puncak itu, ya?”

Eirik mengangguk. “Jangan bergerak... dulu.”

Sebaliknya, penyihir itu malah mendesah pelan dan melengkungkan payudaranya ke atas, bagaikan kucing.

Sambil mengerang, eirik menarik dirinya nyaris sepenuhnya, dan mulut Eadyth ternganga dengan takjub. Ketika ia menghunjamkannya kembali, Eadyth menghela napas tak percaya. Dengan setiap hunjaman yang menyiksa penuh kenikmatan itu, Eirik dengan perlahan membangkitkan sensualitas yang mengendap dalam diri istrinya.

“Katakan,” Eirik terengah-engah.

“Aku ingin...”

“Katakan.”

“Aku ingin... oh, Eirik, kau membuatku merasa...”

Hunjaman Eirik bertambah keras dan singkat, dan respons istrinya yang santun itu membuat Eirik tercengang. Eadyth mengibaskan kepalanya dari sisi ke sisi, membisikkan kebutuhannya dengan tergagap. Gelombang kenikmatan yang paling memabukkan yang pernah dialaminyamelandanya saat itu, dan ia mengisi istrinya dengan pemenuhan yang tak pernah puas.

“Kumohon,” ia memohon.

“Segera,” Eirik berjanji.

“Apakah kau akan ikut bersamaku?”

“Tentu saja. Ah, Eadyth, kau membakarku dengan panasmu.”

“Kau yang menyalakan apinya, Cintaku.”

Cintaku? Eirik meledak saat itu dengan erangan kepuasan primitif, lehernya melengkung ke belakang saat ia mencurahkan benih kehidupan ke dalam tubuh Eadyth yang bergetar.

Awalnya, Eadyth tak bisa bergerak, begitu tercengang dengan gelombang kenikmatan baru dan luar biasa yang menjalarinya.

“Eadyth... oh, Eadyth... kau luar biasa,” Eirik tergagap parau di lehernya. “Kau mengambil semua yang kupunya dan membuatku ingin memberimu lebih. Segalanya.”

“Aku... memuaskan?” tanya Eadyth ragu, teringat kritik pedas Steven saat mereka bercinta.

Eirik mengangkat kepalanya sedikit. “Kenapa kau bertanya? Kau segalanya yang diinginkan seorang pria, bahkan lebih.”

“Sungguh?” tanya Eadyth, sangat senang.

“Sungguh.” Eirik menunduk dan menyapukan ciuman di leher Eadyth. Segera saja Eadyth merasakan napas hangat Eirik yang tertidur. Ia tak tersinggung. Ia anehnya juga merasa mengantuk dengan semua urusan “mencapai puncak” dan membiarkan dirinya tertidur sejenak.

Beberapa saat kemudian, Eadyth terbangun, masih merasa luar biasa terpenuhi, masih telentang dengan tubuh suaminya menindihnya di tanah, organ laki-laki Eirik yang setengah lemas masih menyelip di dalam dirinya.

Seharusnya ia merasa jijik sekarang setelah mereka telah selesai bercinta dan akal sehatnya kembali. Tapi ternyata tidak.

Seharusnya ia merasa remuk dengan beratnya tubuh pria yang dulu tak diinginkannya dalam hidupnya. Tapi tidak. Malahan, anehnya ia merasa dipuja dalam rangkulan erat suaminya.

Seharusnya ia merasa malu dengan resposnya yang liar pada lelaki menyebalkan yang baru menidurinya. Tapi tidak.

Jadi seperti inilah rasanya dicintai, pikir Eadyth. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tahu kekuatan yang dipegang seorang wanita saat ia menyerah. Ia tersenyum, melengkungkan pinggulnya ke atas dengan sensual.

Sudah waktunya membangunkan lelaki menyebalkan itu, dan organ laki-lakinya yang luar biasa dan bergairah.


*Keseluruhan isi buku ini terdiri dari 20 bab

Synopsis

Sampai jumpa di kisah Sandra Hill lainnya

----Debda----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar