Bab 13 (bagian akhir)
Eadyth
berbaring telentang, mendongak memandang Eirik dengan berharap, dan Eirik
merasakan bagian hatinya yang telah lama mati mulai bangkit. “Oh, Eadyth,
apakah kau menyadari betapa aku sangat menginginkanmu?”
Mulut
Eadyth tanpa disadari menyunggingkan senyum seorang wanita dewasa.
“Kau
suka itu, kan, berhasil menundukkanku di bawah kendali tanganmu?” tanyanya
sambil menggeram, menelusuri kulit lembut perut Eadyth dengan telapak tangannya.
Lalu tangannya bergerak ke bawah, menuju ke lembah yang tersembunyi Eadyth.
Eadyth
terkesiap. “Sepertinya lebih tepat kalau kau yang punya tangan yang mengusai.”
Eirik
tersenyum. “Buka kakimu untukku, Sayang.”
Ketika
Eirik berlutut di antara kedua kakinya, memandang lipatan kewanitaannya, Eadyth
tersipu dan membuang mukanya. “Kau membuatku sakit.”
“Benarkah?”
Eadyth
mengangguk, lalu terkesiap saat jari-jarinya menemukan tonjolan di pusat
kewanitaannya.
“Dan
apakah menyakitkan, rasa sakit ini?”
Eadyth
menggeleng, berusaha mengatupkan kakinya. “Ini berlebihan,” katanya ketika
Eirik menolak menghentikan gerakan ujung jarinya di tonjolan itu.
“Tidak,
ini sama sekali belum cukup,” katanya parau, tak yakin berapa lama lagi “rasa
sakit” yang bisa ditahannya sendiri. “Oh Tuhan, kau seperti madu hangat yang
mengaliri ujung jariku.”
Ketika
Eirik menyelipkan jarinya yang panjang ke dalam lembahnya yang sempit dan
licin, ia bisa merasakan Eadyth menggigil karena rangsangan yang terbentuk.
Hasrat bergemuruh di telinga Eirik saat Eadyth melengkungkan pinggulnya ke
atas, mencari pemenuhan yang Eirik tahu didambakannya walau wanita itu tak
memahaminya.
Eirik
menempatkan dirinya di antara lembah itu. Dengan tangannya yang lain di bawah
bokong Eadyth, ia mengangkat wanita itu untuk memasukinya.
Eirik
belum lama memasuki Eadyth namun istrinya itu sudah bergetar dengan
kebutuhannya yang menggebu. Getaran kecil itu melingkupinya dengan lapar dan
nyaris melemahkannya.
“Ikutlah
bersamaku, Sayang,” bujuknya. “Mari kita melakukan perjalanan ini bersama.”
Eadyth
menatap dengan mata yang sarat akan gairah, tak sepenuhnya memahami sampai
eirik membekap mulut Eadyth dengan rakus dan membenamkan dirinya dalam lembah
sempit Eadyth dengan sekali hunjaman.
“Oh...
oh... oh.” Lipatan dalamnya yang selembut sutra dan panas menyambut Eirik
dengan ledakan berirama yang semakin lama semakin kuat dan kuat saat Eadyth
mencapai puncak kepuasannya yang pertama, mengibaskan kepalanya dari sisi ke
sisi. Eadyth mendesah tak berdaya dalam hasratnya.
Ketika
getaran tubuhnya akhirnya mereda dengan riak-riak kecil, Eadyth membuka matanya
tampaknya menyadari keberadaan Eirik untuk pertama kali. Ia tersenyum malu,
lalu menelengkan kepalanya bertanya. “Kenapa kau tampak seperti kesakitan?”
“Karena
aku kesakitan,” geram Eirik, masih sekeras tombak dan menancap di lembah
Eadyth, tapi tak akan lama kalau Eadyth terus bergerak.
Eirik
tahu saat Eadyth menyadari masalahnya. “Ini tentang urusan mencapai puncak itu,
ya?”
Eirik
mengangguk. “Jangan bergerak... dulu.”
Sebaliknya,
penyihir itu malah mendesah pelan dan melengkungkan payudaranya ke atas,
bagaikan kucing.
Sambil
mengerang, eirik menarik dirinya nyaris sepenuhnya, dan mulut Eadyth ternganga
dengan takjub. Ketika ia menghunjamkannya kembali, Eadyth menghela napas tak
percaya. Dengan setiap hunjaman yang menyiksa penuh kenikmatan itu, Eirik
dengan perlahan membangkitkan sensualitas yang mengendap dalam diri istrinya.
“Katakan,”
Eirik terengah-engah.
“Aku
ingin...”
“Katakan.”
“Aku
ingin... oh, Eirik, kau membuatku merasa...”
Hunjaman
Eirik bertambah keras dan singkat, dan respons istrinya yang santun itu membuat
Eirik tercengang. Eadyth mengibaskan kepalanya dari sisi ke sisi, membisikkan
kebutuhannya dengan tergagap. Gelombang kenikmatan yang paling memabukkan yang
pernah dialaminyamelandanya saat itu, dan ia mengisi istrinya dengan pemenuhan
yang tak pernah puas.
“Kumohon,”
ia memohon.
“Segera,”
Eirik berjanji.
“Apakah
kau akan ikut bersamaku?”
“Tentu
saja. Ah, Eadyth, kau membakarku dengan panasmu.”
“Kau
yang menyalakan apinya, Cintaku.”
Cintaku? Eirik meledak
saat itu dengan erangan kepuasan primitif, lehernya melengkung ke belakang saat
ia mencurahkan benih kehidupan ke dalam tubuh Eadyth yang bergetar.
Awalnya,
Eadyth tak bisa bergerak, begitu tercengang dengan gelombang kenikmatan baru
dan luar biasa yang menjalarinya.
“Eadyth...
oh, Eadyth... kau luar biasa,” Eirik tergagap parau di lehernya. “Kau mengambil
semua yang kupunya dan membuatku ingin memberimu lebih. Segalanya.”
“Aku...
memuaskan?” tanya Eadyth ragu, teringat kritik pedas Steven saat mereka
bercinta.
Eirik
mengangkat kepalanya sedikit. “Kenapa kau bertanya? Kau segalanya yang
diinginkan seorang pria, bahkan lebih.”
“Sungguh?”
tanya Eadyth, sangat senang.
“Sungguh.”
Eirik menunduk dan menyapukan ciuman di leher Eadyth. Segera saja Eadyth
merasakan napas hangat Eirik yang tertidur. Ia tak tersinggung. Ia anehnya juga
merasa mengantuk dengan semua urusan “mencapai puncak” dan membiarkan dirinya
tertidur sejenak.
Beberapa
saat kemudian, Eadyth terbangun, masih merasa luar biasa terpenuhi, masih
telentang dengan tubuh suaminya menindihnya di tanah, organ laki-laki Eirik
yang setengah lemas masih menyelip di dalam dirinya.
Seharusnya
ia merasa jijik sekarang setelah mereka telah selesai bercinta dan akal
sehatnya kembali. Tapi ternyata tidak.
Seharusnya
ia merasa remuk dengan beratnya tubuh pria yang dulu tak diinginkannya dalam
hidupnya. Tapi tidak. Malahan, anehnya ia merasa dipuja dalam rangkulan erat
suaminya.
Seharusnya
ia merasa malu dengan resposnya yang liar pada lelaki menyebalkan yang baru
menidurinya. Tapi tidak.
Jadi seperti inilah rasanya dicintai, pikir Eadyth.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tahu kekuatan yang dipegang seorang
wanita saat ia menyerah. Ia tersenyum, melengkungkan pinggulnya ke atas dengan
sensual.
Sudah
waktunya membangunkan lelaki menyebalkan itu, dan organ laki-lakinya yang luar
biasa dan bergairah.
Sampai jumpa di kisah Sandra Hill lainnya
----Debda----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar