Kamis, 26 Juni 2025

The Bride #8

Jamie tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Desakan untuk menangis sudah tak tertahankan. “Alec?” bisiknya, terdengar jelas kekhawatiran dalam suaranya. “Kau pasti tidak sungguh-sungguh.”

“Sudah kubilang diam,” perintah si bandit. Ia menjambak rambut Jamie lagi dengan kejamnya untuk mempertegas perintahnya.

Jamie menginjak kaki lelaki itu sebagai pembalasan.

“Daniel, bawa kudanya,” perintah Alec. “Sekarang.”

“Biarkan wanita yang satunya yang membawanya,” seru si bandit.

Daniel tidak menggubris bajingan itu dan berjalan menghampiri Wildfire.

Jamie tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya. Ia bersumpah mendengar Daniel bersiul. Ia tahu kalau orang Skotlandia tidak menyukai orang Inggris, tapi tingkah laku mengerikan itu sama sekali tidak termaafkan. Jamie berusaha sekuat tenaga agar tidak merasa takut. Namun, Alec tidak mempermudah usahanya. Setelah meliriknya sekilas, Alec pun mengabaikannya. Oh Tuhan, Alec bahkan tampak bosan sekali – sampai si bandit meminta kuda, koreksi Jamie. Saat itu Alec tidak terlihat bosan lagi. Alec tampak sangat berang.

Ternyata Cholie benar. Orang-orang Skotlandia memang lebih menghargai kuda dibandingkan istri mereka.

 Kalau saja ia sempat makan tadi, Jamie yakin ia pasti sudah muntah sekarang. Bajingan itu dekat sekali dengannya sehingga baunya seperti kotoran manusia. Setiap kali menarik napas, Jamie ingin muntah.

“Taruh kuda itu di antara suaminya dan aku,” perintah di bandit.

Alec menunggu kesempatan. Ia bergerak ketika Daniel mendekat, menyambar tali kekang dari tangan kawannya, dan menarik Wildfire sedekat mungkin dengan si bandit.

Yang terjadi berikutnya mengejutkan sampai-sampai Jamie tidak bisa bereaksi. Sekonyong-konyong ia merasa melayang ke udara seperti cakram. Jamie mendengar jeritan kesakitan si bandit saat Daniel menyambar lengan lelaki itu.

Jamie menoleh tepat saat Alec menusuk leher si bandit dengan belati yang digenggam pria itu sendiri.

Saat itu ia pun muntah, dua kali. Daniel cepat-cepat menurunkannya. Mary melesat menyeberangi tanah terbuka dan merengsek diri ke arahnya. Bahaya sudah berlalu, tapi Mary tetap menangis histeris.

Jamie memejamkan mata dan berkonsentrasi untuk menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Mary bergelayut di lengannya, membuatnya terengah-engah.

Tiba-tiba saja Jamie gemetaran seperti sehelai daun tersapu angin topan. Kakinya terasa serapuh kayu bakar di perapian.

“Kau bisa membuka matamu sekarang.”

Alec yang memberi perintah itu. Ketika Jamie melakukannya, ia melihat suaminya berdiri sangat dekat.

Mata Alec tidak terlihat terlalu dingin sekarang. Bahkan, Alec seperti hendak tersenyum. Itu tidak masuk akal bagi Jamie. Ia baru saja melihat Alec membunuh dengan enteng, dengan kejam, dengan santai. Dan sekarang Alec tampak seolah ingin tersenyum gembira.

Jamie tidak bisa memutuskan apakah hendak berlari menjauh dari Alec atau tetap di sana dan mencekiknya.

Jamie mendongak menatap suaminya, sementara ia mendengar Daniel memanggil Mary dan melihat pria itu merrenggut tangan kakaknya. Jamie penasaran mengapa Daniel terdengar sangat marah pada Mary dan mengapa Alec terlihat sangat gembira.

Jamie tidak sadar kalau tangannya terkepal erat. Tapi, Alec melihatnya. “Sudah berakhir,” kata Alec dengan lembut.

“Berakhir?” ulang Jamie. Ia menoleh, hendak melihat laki-laki yang baru saja Alec tumbangkan, dan langsung gemetaran.

Alec bergerak menutupi pandangan Jamie. Ia mengangkat belati Jamie, berniat menyerahkan belati itu kembali pada Jamie, tapi ia khawatir ketika melihat Jamie sangat resah. Jamie bersikap seolah-olah belati itu tiba-tiba dirasuki iblis.

“Ini milikmu, kan?” tanya Alec, bingung dengan ketakutan aneh di mata istrinya.

Jamie bergeser ke samping, menatap bandit yang tewas itu lagi, memandang lubang menganga di leher tempat belati itu ditusukkan.

Alec ikut bergeser untuk menutupi pandangan Jamie. “Istriku?”

Jamie mundur menjauhi suaminya. “Aku tidak mau belati itu lagi. Buang saja. Aku punya satu lagi di tas.”

“Dia sudah mati, Istriku,” kata Alec, berusaha bersikap rasional. “Kau tidak perlu menatapnya terus. Dia tidak bisa menyakitimu sekarang.”

“Ya, dia memang sudah mati,” cetus Jamie sambil mengangguk. “Dan kau melemparkan aku ke udara, Alec, persis seperti…”

“Sebatang pohon?”

Jamie mengangguk lagi. “kau menghabisinya dengan sangat mudah, Milord. Aku tidak pernah melihat…”

Ketika Jamie tidak menyelesaikan kalimatnya, Alec mengembuskan napas panjang. “Senang sekali kau memperhatikannya tadi.”

Jamie melemparkan tatapan tidak percaya seraya terus mundur menjauhi suaminya. “Kau senang…? Kau pikir aku memujimu, Suamiku?” Jamie berhenti untuk menarik napas panjang, berusaha meredakan rasa sakit di tenggorokannya. Kemudian, ia menatap belati dalam genggaman Alec. “Kumohon, buang belati itu. Aku tidak mau melihatnya lagi.”

“Apa kau gelisah melihat darah ini?” tanya Alec. Alec bingung dengan sikap Jamie. Saat berjuang melawan melawan ancaman kematian beberapa menit yang lalu, Jamie bagai harimau betina, tapi sekarang ia seperti anak kecil yang ketakutan.

Alec sekali lagi berusaha menenangkan istrinya. Ia melemparkan belati itu ke balik bahunya.

“Iya… maksudku, tidak,” sahut Jamie tiba-tiba.

“Iya dan tidak apa?” tanya Alec.

“Kau bertanya padaku apakah aku gelisah melihat darah itu,” jelas Jamie dengan tergesa-gesa. “Dan aku menjawabmu.”

“Oh, ya?”

Jemari jamie menyusuri rambutnya, tanpa sengaja membuatnya lebih berantakan dari sebelumnya, lalu berbisik, “Darah itu membuatku mual.”

Jamie mengembuskan napas. Ia ingin mengatakan bahwa ia sudah terbiasa melihat darah, bahwa ia seorang menyembuh dan sering mengepel banyak sekali darah sampai bisa membuat sungai merah, tapi rasanya terlalu merepotkan untuk menjelaskan semuanya. Ia pasti masih syok setelah menghadapi apa yang baru saja dialaminya, kata Jamie pada dirinya sendiri.

Selain itu, ada kenyataan yang lebih menyakitkan yang diungkapkan Alec padanya. Kudanya lebih berharga bagi Alec dibandingkan dengan dirinya.

Jamie yakin ia pasti akan mengalami mimpi buruk selama sebulan penuh.

Alec tiba-tiba mengulurkan tangan dan merangkul Jamie. “Kalau kau mundur selangkah lagi, kau akan berakhir diatas tumpukan itu.”

Jamie menoleh ke belakang, melihat tumpukan tubuh tak berdaya, dan merasakan lututnya nyaris lepas. Ia pasti sudah jatuh terjerembap kalau saja Alec tidak menariknya.

Bahkan dalam keadaan penuh tekanan seperti ini, Jamie menyadari sikap Alec yang lembut. Kenyataan itu sangat bertentangan dengan tubuh Alec yang sangat besar. Sepertinya mustahil bahwa seorang pria sebesar Alec bisa begitu lembut. Tapi, sepertinya juga mustahil Alec bisa menumbangkan empat orang lelaki bersenjata tanpa terlihat mengeluarkan tenaga sedikit pun. Alec bahkan tidak berkeringat.

Aroma tubuhnya enak. Jamie bersandar ke dada Alec dan membiarkan Alec memeluknya.

“Apa kau bersungguh-sungguh, Alec?” bisik Jamie.

“Bersungguh-sungguh apa?” tanya Alec.

Jamie tidak menjelaskan secepat yang Alec inginkan. Alec mengangkat dagu Jamie sehingga bisa melihat ekspresinya. “Bersungguh-sungguh apa, Istriku?”

“Sewaktu kau bilang laki-laki jahat itu bisa mengambilku tapi tidak demikian halnya dengan kudaku,” jawab Jamie. “Apa kau bersungguh-sungguh?”

Alec pasti akan tertawa kalau saja Jamie tidak tampak sesedih itu. “Tidak.”

Jamie langsung menghempaskan diri ke dada Alec. “Lalu, kenapa kau terdengar seperti bersungguh-sungguh?”

Suara Jamie masih selembut bisikan, tapi Alec bisa mendengarnya. Ia tidak percaya kalau Jamie begitu khawatir. Menyerahkan Jamie? Tidak akan! “Aku ingin dia berpikir bahwa dialah yang memegang kendali.”

“Dia memang yang memegang kendali, Alec,” kilah Jamie. “Dialah yang memegang belati.”

“Oh, begitu, ya?” sahut Alec, terdengar tawa tertahan di suaranya kini. “Kalau begitu, orang-orang yang mengelilingiku tadi juga pihak yang memegang kendali.”

“Yah, tidak juga,” bisik Jamie. “Maksudku, mereka memang memegang senjata, tapi kaulah yang… memegang kendali.”

Sebelum Alec sempat menanggapinya, Jamie menambahkan, “Kalau begitu, semua itu hanya trik, kan? Kau membohonginya.”

“Aku memang membohonginya.”

Jamie mendesah panjanng lagi sebelum tubuhnya yang gemetar mengingatkan bahwa sejak tadi ia ketakutan. Jamie langsung menyingkir dari Alec.

Jamie kembali berang. Terlihat gejolak api di matanya, pikir Alec, dan ia sama sekali tidak tahu kenapa sekarang Jamie marah. Gadis ini sungguh membingungkan, seperti labirin saja.

Alec tidak mengindahkan keinginan Jamie untuk melepaskannya, malah merangkulkan lengan ke bahunya, menariknya mendekat, dan menuntunnya ke tempat Daniel mengumpulkan kuda-kuda mereka.

Jamie tidak mengucapkan terima kasih ketika Alec mengangkatnya ke punggung Wildfire. Tatapannya terus menunduk sampai Alec mengulurkan tali kekang padanya. Tangan Alec menyentuh  tangannya, dan Jamie pun terkesiap. Ia menarik tangannya.

“Pandang aku.”

Alec menunggu sampai Jamie menuruti perintahnya sebelum bicara lagi. “Kau telah menunjukkan keberanianmu, Istriku. Aku sangat senang melihatnya.”

Mata Jamie membelalak terkejut. Alec tersenyum. Ia baru saja menemukan cara sederhana untuk meredakan amarah istrinya: pujian. Semua wanita senang mendengar pujian dari suaminya, bukankah begitu? Alec memutuskan untuk mengingat hal itu di masa mendatang.

“Kau mungkin senang padaku, suamiku, tapi aku sudah pasti tidak senang padamu, dasar kau orang Skotlandia congkak.”

Gemuruh dalam suara Jamie dan jawaban pedasnya membuat Alec terkejut.

“Kau tidak menghargai pujianku?”

Jamie tidak mau repot-repot menjawa pertanyaan itu, tapi amarah di wajahnya menunjukkan bahwa Alec salah menilainya. Jamie bukan jenis orang yang bisa goyah dengan pujian. Alec mengangguk paham. “Katakan, mengapa tadi kau begitu takut?”

Jamie menggeleng. Ia menunduk memandang tangannya sementara Alec memandang kernyitan di dahinya.

“Aku bertanya padamu,” Alec mengingatkan.

Jamie menggeleng. Alec berusaha bersabar. “Seorang istri harus selalu mematuhi perintah suaminya,” ujarnya.

“Apakah itu satu lagi aturan Highland-mu?”

“Ya,” jawab Alec sambil menyeringai.

“Mengapa seluruh dunia hanya perlu mematuhi sepuluh perintah Tuhan untuk bisa masuk surga, tapi kalian bangsa Skotlandia perlu banyak perintah tambahan lainnya? Apa menurutmu itu karena kalian semua pendosa besar?”

“Saat ketegaranmu muncul kembali, selalu diiringi balas dendam, ya?” tanya Alec.

“Ketegaran?”

“Sudahlah, lupakan saja.”

Alec tersenyum pada Jamie, menyiratkan hatinya yang senang. Jamie pikir pria ini pasti bebal. “Sekarang, biarkan aku sendiri, Alec.”

“Tidak sampai kau menjelaskan mengapa kau sangat ketakutan.”

“Cemas, Alec. Aku tadi cemas.”

“Baiklah, kalau begitu… cemas,” cetus Alec.

“Kau mau dengar yang sebenarnya?” tanya Jamie.

“Yang sebenarnya.”

“Saat kau bertarung tadi… yah, ada saat ketika kupikir kau menatap tepat kepadaku, lalu kupikir aku tidak boleh membuatmu marah karena aku tidak akan bisa membela diri dari kekuatanmu yang besar.”

Alec harus mencondongkan tubuh untuk menangkap semua penjelasan jamie. Jamie terdengar sedih sekali. Alec berusaha untuk tidak tertawa. “akan sulit bagitu, Alec,” lanjut Jamie. “Aku tahu kau mungkin akan terkejut, tapi kurasa akan ada saat ketika aku membuatmu jengkel.”

“Aku tahu.”

“Kau tahu?” cetus Jamie, bersungut-sungut.

“Sekarang saja kau sudah membuatku jengkel.”

“Oh.”

“Jamie, aku tidak akan pernah menyakitimu.”

Jamie menatap mata Alec lama sekali. “Bahkan ketika kau dikendalikan oleh temperamenmu? Semua orang Skotlandia punya temperamen bengis, Alec. Kau pasti mengakui itu.”

“Aku tidak akan pernah kehilangan kesabaran denganmu. Aku janji.”

“Tapi, bagaimana kalau kau lepas kendali?” desak Jamie.

“Aku tetap tidak akan menyakitimu.”

Jamie akhirnya percaya. Ia berhenti menarik-narik tangannya dari genggaman Alec. “Aku dengar semua orang Skotlandia suka memukuli istri mereka.”

“Aku juga pernah mendengar hal yang sama tentang orang Inggris.”

“Sebagian memang iya, tapi sebagian tidak.”

“Aku tidak.”

“Sungguh?”

Alec mengangguk. Ia yakin Jamie merasa aman bersamanya. “Saat kita pertama kali bertemu, aku bisa melihat kekhawatiran di matamu. Aku percaya, seorang istri yang takut pada suaminya merupakan hal yang bagus, tapi rasa takut aneh yang kulihat…”

“Maafkan kelancanganku memotong ucapanmu, tapi aku harus memberitahumu bahwa seorang istri yang takut pada suaminya sama sekali bukan hal yang bagus. Aku cemas, bukan takut, tapi kebanyakan wanita pasti takut padamu. Bagaimanapun, karakterku lebih kuat.”

“Kenapa?”

“Kenapa apa?” tanya Jamie, bingung dengan cara Alec tersenyum padanya dan reaksi hatinya sendiri terhadap senyum itu.

“Kenapa kebanyakan wanita takut padaku?”

Jamie harus menepiskan pandangannya dari mata indah Alec sebelum bisa menjawab. “Karena kebetulan kau seorang pria yang sangat… besar. Malah sebenarnya, kau prajurit yang bertubuh paling besar yang pernah kulihat.”

“Apa kau sudah pernah melihat prajurit lainnya?” tanya Alec, menyembunyikan keterkejutannya.

Jamie mengernyit mendengarnya, lalu menggeleng. “Sebenarnya… belum, belum pernah.”

“Jadi, ukuran tubuhkulah yang membuatmu cemas.”

“Kekuatanmu juga seperti sekompi prajurit yang disatukan. Alec, dan kau baru saja membunuh empat orang,” lanjut Jamie. “Kau tentu belum lupa fakta itu.”

“Hanya satu.”

“Hanya satu apa?” tanya Jamie, sesaat teralihkan dengan kilatan di mata Alec. Jamie curiga suaminya ini sebenarnya hendak menertawakannya.

“Aku hanya membunuh satu orang,” jelas Alec. “Orang yang berani menyentuhmu. Yang lainnya tidak mati, hanya… cedera. Apa kau mau aku membunuh mereka semua?” Alec terdengar sangat lembut saat mengatakannya.

“Oh, Tuhan, tidak,” tukas Jamie. “Tapi, bagaimana dengan laki-laki yang Daniel lumpuhkan?”

“Tanyakan saja langsung padanya.”

“Para bajingan itu juga berusaha melukaimu, Jamie.”

“Mary lebih penting.”

“Kau benar-benar percaya pada omong kosong itu?”

“Sudah menjadi tugasku untuk melindungi kakak-kakakku, Alec.”

“Kenapa kau belum bertanya soal laki-laki yang kau habisi dengan belatimu?” tanya Alec. “Sasaranmu sudah benar, Istriku,” ujar Alec, ingin memberi sedikit pujian lagi. “Kau…”

“Aku tidak mau membahasnya,” pekik Jamie sambil melepas tali kekang Wildfire.

Nah, apa yang sudah ia katakan? Istrinya yang mungil dan lembut seolah hendak pingsan. Gadis ini bagai misteri baginya. Alec menggeleng. Jamie terlihat sangat membenci pembunuhan. Itu merupakan satu keanehan lagi dalam sifat Jamie, tapi pada saat yang bersamaan, Alec mengakui bahwa ia menyukai keanehan tersebut.

Kalau dibiarkan, gadis ini akan membuat semua tindak tanduknya melunak. Jamie harus terbiasda pada pembunuhan. Begitulah cara hidup di tanah Skotlandia yang keras. Hanya yang kuat yang bertahan hidup. Ia harus membuat Jamie tangguh, putus Alec, atau istrinya itu tidak akan berhasil melalui musim dingin yang kejam.

“Baiklah, Istriku,” kata Alec. “Kita tidak akan membahas ini.”

Ketegangan lenyap dari bahu Jamie. Jamie terlihat agak tidak seimbang di atas kudanya, sehingga Alec melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Tindakan yang kulakukan adalah untuk mempertahankan diri,” ujar Jamie. “Kalau aku menewaskan laki-laki menjijikkan itu, tuhan tentu akan memahaminya. Teruhannya adalah nyawa Marry.”

“Ya,” Alec sepakat. “Kau memang melukainya.”

“Di lain pihak, Bapa Charles tidak akan pernah memahaminya. Kalau dia mendengar kabar tentang ini, Alec, dia akan menyuruhku mengenakan pakaian hitam sepanjang sisa hidupku.”

“Pastor yang menikahkan kita?” tanya Alec, bingung lagi.

Jamie mengangguk.

“Kau mencemaskan hal-hal yang aneh,” kata Alec. “Menurutku, itu kelemahanmu.”

“Oh, ya? Kalau begitu, coba saja kau mengakui perbuatan dosamu kepada Bapa Charles. Setelah itu, katakan bahwa kecemasanku sia-sia. Pria itu sangat imajinatif dalam memberi hukuman.”

Alec terbahak. Ia mengangkat Jamie ke pelukannya lalu berjalan menghampiri kudanya.

Jamie melingkarkan lengan ke leher suaminya. “Apa yang kau lakukan?”

“Kau akan berkuda denganku.”

“Kenapa?”

Desahan napas Alec hampir membelah rambut Jamie. “Apa kau akan mempertanyakan semua yang kukatakan dabn kulakukan?”

Jamie menelengkan kepala sehingga bisa melihat wajah Alec. Alec langsung berhenti. Kerlip di mata Jamie serta senyum Jamie yang lambat dan manis membuatnya gelisah.

“Apa kau akan marah kalau aku melakukannya?”

“Melakukan apa?”

“Mempertanyakanmu.”

“Tidak, aku tidak akan pernah marah padamu.”

Senyum Jamie membuat Alec terpesona. “Aku menikahi pria yang paling menakjubkan,” katanya. “Kau tidak akan pernah marah atau kehilangan kesabaran.”

“Kau berani memancingku, ya. Orang Inggris?”

Perhatian penuh Alec terfokus pada mulut Jamie. Ia ingin menggigit bibir bawah Jamie, ingin menenggelamkan lidahnya ke dalam mulut istrinya, merasakan madu manis yang kini menjadi miliknya. Jemari Jamie mengelus bagian belakang leher Alec, entah sengaja atau tidak, Alec tidak tahu, dan payudara Jamie yang lembut dan penuh menekan dadanya.

Seorang pria hanya sanggup diprovokasi sejauh itu, kata Alec pada dirinya sendiri. Perlahan-lahan Alec menurunkan kepalanya. Jamie menyambutnya.

Mulut Jamie begitu menggairahkan. Ciuman itu lembut dan ringan, terlalu singkat dan membuat Alec frustasi. Jamie tidak mau membuka mulut untuknya dan menarik diri persis ketika ia hendak melancarkan serangannya.

Jamie terlihat sangat puas dengan dirinya sendiri. Walau berani dan luar biasa cantik, jelas sekali kalau Jamie tidak tahu cara mencium.

Tentu saja, tugas Alec-lah untuk mengajarinya, Alec tersenyum menantikan saat itu.

“Terima kasih, Alec.”

“Kenapa kau berterima kasih padaku?” tanya Alec. Ia mengangkat Jamie ke pelana kudanya, kemudian duduk di belakang istrinya itu dalam satu gerakan cepat. Jamie bergerak, berusaha mencari posisi yang nyaman. Alec menyeringai, merangkulkan lengan ke pinggang Jamie, mengangkatnya ke pangkuan, dan memegangnya erat-erat.

Well?” desak Alec saat Jamie tidak segera menjawabnya.

“aku berterima kasih atas tenggang rasamu.”

Alec sudah memahami wajaban Jamie. “Kau pasti tidak sering berkuda,” katanya. “Aku akan mengajarimu cara yang tepat begitu kita tiba.”

Jamie tidak repot-repot mengoreksinya. Kalau Alec ingin menyakini bahwa ia tidak mahir berkuda, maka ia akan membiarkannya. Lagi pula, Alec mungkin tidak akan percaya kalau ia sangat terampil berkuda, atau bahwa pelana baru inilah yang sekarang membuatnya tidak nyaman. Kalau ia mengaku biasa berkuda tanpa pelana, seperti yang sering dilakukan sebagian besar prajurit, pasti Alec akan menganggapnya tidak feminin. Jamie akan membiarkan Alec berpikir sesuai dengan keinginan pria itu. Beak benar, pikir Jamie, dengan begitu Alec akan bersikap lebih sabar padanya. Alec tentu tidak akan memeganginya erat-erat di pangkuan kalau tahu ia tidak butuh bantuan. Jamie tersenyum sendiri dan bersandar ke tubuh suaminya. Rasanya menyenangkan bisa dimanja seperti ini. Ia berjanji akan meluruskan semua ini pada saatnya nanti. Tetapi, untuk saat ini, ia akan membiarkan Alec yang memegang kendali.

Istri adalah gangguan, pikir Alec, tapi yang satu ini… aromanya begitu feminin, rasanya begitu lembut, begitu tepat dalam pelukannya. Jamie terus berusaha menepiskan tangan Alec dari bagian samping payudaranya. Alec tersenyum dengan sifat malu-malu istrinya itu. Alec yakin begitu ia meniduri Jamie, Jamie akan mengenyahkan sifat ini. Alec tiba-tiba ingin mendirikan kemah. Malam ini ia akan memiliki Jamie, menjadikan Jamie miliknya; Malam ini Jamie akan menyerahkan diri padanya.

Untuk ukuran orang Skotlandia, Alec memiliki aroma paling memikat. Jamie tersenyum mendengar pikiran dangkal itu di benaknya. Dalam waktu satu hari, ia sudah beralih dari membenci ke nyaris menyukai Alec. Hanya Tuhan yang tahu mengaopa ia merasa cukup aman bersama Alec. Tetapi, kalau emosinya terus tidak masuk akal begini, mungkin sebaiknya ia mengizinkan Alec menciumnya lagi… dalam satu atau dua hari ke depan. Dan kalau Alec terbukti memiliki segala yang ia inginkan dari seorang suami… yah, kalau begitu pada akhirnya, setelah pendekatan yang lama dan memuaskan, ia mungkin akan mengizinkan Alec menyetubuhinya.

Sungguh suatu berkah bahwa Alec merupakan pria yang sangat sabar. Jamie merasa ia hanya perlu menjelaskan dan Alec pasti akan menyepakatinya.

Habis perkara.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar