Jamie tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Desakan untuk menangis sudah tak tertahankan. “Alec?” bisiknya, terdengar jelas kekhawatiran dalam suaranya. “Kau pasti tidak sungguh-sungguh.”
“Sudah
kubilang diam,” perintah si bandit. Ia menjambak rambut Jamie lagi dengan
kejamnya untuk mempertegas perintahnya.
Jamie
menginjak kaki lelaki itu sebagai pembalasan.
“Daniel,
bawa kudanya,” perintah Alec. “Sekarang.”
“Biarkan
wanita yang satunya yang membawanya,” seru si bandit.
Daniel
tidak menggubris bajingan itu dan berjalan menghampiri Wildfire.
Jamie
tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya. Ia bersumpah mendengar
Daniel bersiul. Ia tahu kalau orang Skotlandia tidak menyukai orang Inggris,
tapi tingkah laku mengerikan itu sama sekali tidak termaafkan. Jamie berusaha
sekuat tenaga agar tidak merasa takut. Namun, Alec tidak mempermudah usahanya.
Setelah meliriknya sekilas, Alec pun mengabaikannya. Oh Tuhan, Alec bahkan
tampak bosan sekali – sampai si bandit meminta kuda, koreksi Jamie. Saat itu
Alec tidak terlihat bosan lagi. Alec tampak sangat berang.
Ternyata
Cholie benar. Orang-orang Skotlandia memang lebih menghargai kuda dibandingkan
istri mereka.
Kalau saja ia sempat makan tadi, Jamie yakin
ia pasti sudah muntah sekarang. Bajingan itu dekat sekali dengannya sehingga
baunya seperti kotoran manusia. Setiap kali menarik napas, Jamie ingin muntah.
“Taruh
kuda itu di antara suaminya dan aku,” perintah di bandit.
Alec
menunggu kesempatan. Ia bergerak ketika Daniel mendekat, menyambar tali kekang
dari tangan kawannya, dan menarik Wildfire sedekat mungkin dengan si bandit.
Yang
terjadi berikutnya mengejutkan sampai-sampai Jamie tidak bisa bereaksi.
Sekonyong-konyong ia merasa melayang ke udara seperti cakram. Jamie mendengar
jeritan kesakitan si bandit saat Daniel menyambar lengan lelaki itu.
Jamie
menoleh tepat saat Alec menusuk leher si bandit dengan belati yang digenggam
pria itu sendiri.
Saat itu
ia pun muntah, dua kali. Daniel cepat-cepat menurunkannya. Mary melesat
menyeberangi tanah terbuka dan merengsek diri ke arahnya. Bahaya sudah berlalu,
tapi Mary tetap menangis histeris.
Jamie
memejamkan mata dan berkonsentrasi untuk menenangkan detak jantungnya yang
berpacu. Mary bergelayut di lengannya, membuatnya terengah-engah.
Tiba-tiba
saja Jamie gemetaran seperti sehelai daun tersapu angin topan. Kakinya terasa
serapuh kayu bakar di perapian.
“Kau
bisa membuka matamu sekarang.”
Alec
yang memberi perintah itu. Ketika Jamie melakukannya, ia melihat suaminya
berdiri sangat dekat.
Mata Alec
tidak terlihat terlalu dingin sekarang. Bahkan, Alec seperti hendak tersenyum.
Itu tidak masuk akal bagi Jamie. Ia baru saja melihat Alec membunuh dengan
enteng, dengan kejam, dengan santai. Dan sekarang Alec tampak seolah ingin
tersenyum gembira.
Jamie tidak
bisa memutuskan apakah hendak berlari menjauh dari Alec atau tetap di sana dan
mencekiknya.
Jamie
mendongak menatap suaminya, sementara ia mendengar Daniel memanggil Mary dan
melihat pria itu merrenggut tangan kakaknya. Jamie penasaran mengapa Daniel
terdengar sangat marah pada Mary dan mengapa Alec terlihat sangat gembira.
Jamie
tidak sadar kalau tangannya terkepal erat. Tapi, Alec melihatnya. “Sudah
berakhir,” kata Alec dengan lembut.
“Berakhir?”
ulang Jamie. Ia menoleh, hendak melihat laki-laki yang baru saja Alec
tumbangkan, dan langsung gemetaran.
Alec
bergerak menutupi pandangan Jamie. Ia mengangkat belati Jamie, berniat
menyerahkan belati itu kembali pada Jamie, tapi ia khawatir ketika melihat
Jamie sangat resah. Jamie bersikap seolah-olah belati itu tiba-tiba dirasuki
iblis.
“Ini
milikmu, kan?” tanya Alec, bingung dengan ketakutan aneh di mata istrinya.
Jamie
bergeser ke samping, menatap bandit yang tewas itu lagi, memandang lubang
menganga di leher tempat belati itu ditusukkan.
Alec
ikut bergeser untuk menutupi pandangan Jamie. “Istriku?”
Jamie
mundur menjauhi suaminya. “Aku tidak mau belati itu lagi. Buang saja. Aku punya
satu lagi di tas.”
“Dia
sudah mati, Istriku,” kata Alec, berusaha bersikap rasional. “Kau tidak perlu
menatapnya terus. Dia tidak bisa menyakitimu sekarang.”
“Ya, dia
memang sudah mati,” cetus Jamie sambil mengangguk. “Dan kau melemparkan aku ke
udara, Alec, persis seperti…”
“Sebatang
pohon?”
Jamie
mengangguk lagi. “kau menghabisinya dengan sangat mudah, Milord. Aku tidak
pernah melihat…”
Ketika
Jamie tidak menyelesaikan kalimatnya, Alec mengembuskan napas panjang. “Senang
sekali kau memperhatikannya tadi.”
Jamie
melemparkan tatapan tidak percaya seraya terus mundur menjauhi suaminya. “Kau
senang…? Kau pikir aku memujimu, Suamiku?” Jamie berhenti untuk menarik napas
panjang, berusaha meredakan rasa sakit di tenggorokannya. Kemudian, ia menatap
belati dalam genggaman Alec. “Kumohon, buang belati itu. Aku tidak mau
melihatnya lagi.”
“Apa kau
gelisah melihat darah ini?” tanya Alec. Alec bingung dengan sikap Jamie. Saat
berjuang melawan melawan ancaman kematian beberapa menit yang lalu, Jamie bagai
harimau betina, tapi sekarang ia seperti anak kecil yang ketakutan.
Alec
sekali lagi berusaha menenangkan istrinya. Ia melemparkan belati itu ke balik
bahunya.
“Iya…
maksudku, tidak,” sahut Jamie tiba-tiba.
“Iya dan
tidak apa?” tanya Alec.
“Kau
bertanya padaku apakah aku gelisah melihat darah itu,” jelas Jamie dengan
tergesa-gesa. “Dan aku menjawabmu.”
“Oh,
ya?”
Jemari
jamie menyusuri rambutnya, tanpa sengaja membuatnya lebih berantakan dari
sebelumnya, lalu berbisik, “Darah itu membuatku mual.”
Jamie
mengembuskan napas. Ia ingin mengatakan bahwa ia sudah terbiasa melihat darah,
bahwa ia seorang menyembuh dan sering mengepel banyak sekali darah sampai bisa
membuat sungai merah, tapi rasanya terlalu merepotkan untuk menjelaskan
semuanya. Ia pasti masih syok setelah menghadapi apa yang baru saja dialaminya,
kata Jamie pada dirinya sendiri.
Selain
itu, ada kenyataan yang lebih menyakitkan yang diungkapkan Alec padanya.
Kudanya lebih berharga bagi Alec dibandingkan dengan dirinya.
Jamie
yakin ia pasti akan mengalami mimpi buruk selama sebulan penuh.
Alec
tiba-tiba mengulurkan tangan dan merangkul Jamie. “Kalau kau mundur selangkah
lagi, kau akan berakhir diatas tumpukan itu.”
Jamie
menoleh ke belakang, melihat tumpukan tubuh tak berdaya, dan merasakan lututnya
nyaris lepas. Ia pasti sudah jatuh terjerembap kalau saja Alec tidak
menariknya.
Bahkan
dalam keadaan penuh tekanan seperti ini, Jamie menyadari sikap Alec yang
lembut. Kenyataan itu sangat bertentangan dengan tubuh Alec yang sangat besar.
Sepertinya mustahil bahwa seorang pria sebesar Alec bisa begitu lembut. Tapi,
sepertinya juga mustahil Alec bisa menumbangkan empat orang lelaki bersenjata
tanpa terlihat mengeluarkan tenaga sedikit pun. Alec bahkan tidak berkeringat.
Aroma
tubuhnya enak. Jamie bersandar ke dada Alec dan membiarkan Alec memeluknya.
“Apa kau
bersungguh-sungguh, Alec?” bisik Jamie.
“Bersungguh-sungguh
apa?” tanya Alec.
Jamie
tidak menjelaskan secepat yang Alec inginkan. Alec mengangkat dagu Jamie
sehingga bisa melihat ekspresinya. “Bersungguh-sungguh apa, Istriku?”
“Sewaktu
kau bilang laki-laki jahat itu bisa mengambilku tapi tidak demikian halnya
dengan kudaku,” jawab Jamie. “Apa kau bersungguh-sungguh?”
Alec
pasti akan tertawa kalau saja Jamie tidak tampak sesedih itu. “Tidak.”
Jamie
langsung menghempaskan diri ke dada Alec. “Lalu, kenapa kau terdengar seperti
bersungguh-sungguh?”
Suara
Jamie masih selembut bisikan, tapi Alec bisa mendengarnya. Ia tidak percaya
kalau Jamie begitu khawatir. Menyerahkan Jamie? Tidak akan! “Aku ingin dia
berpikir bahwa dialah yang memegang kendali.”
“Dia
memang yang memegang kendali, Alec,” kilah Jamie. “Dialah yang memegang
belati.”
“Oh,
begitu, ya?” sahut Alec, terdengar tawa tertahan di suaranya kini. “Kalau
begitu, orang-orang yang mengelilingiku tadi juga pihak yang memegang kendali.”
“Yah,
tidak juga,” bisik Jamie. “Maksudku, mereka memang memegang senjata, tapi
kaulah yang… memegang kendali.”
Sebelum
Alec sempat menanggapinya, Jamie menambahkan, “Kalau begitu, semua itu hanya
trik, kan? Kau membohonginya.”
“Aku
memang membohonginya.”
Jamie
mendesah panjanng lagi sebelum tubuhnya yang gemetar mengingatkan bahwa sejak
tadi ia ketakutan. Jamie langsung menyingkir dari Alec.
Jamie
kembali berang. Terlihat gejolak api di matanya, pikir Alec, dan ia sama sekali
tidak tahu kenapa sekarang Jamie marah. Gadis ini sungguh membingungkan,
seperti labirin saja.
Alec
tidak mengindahkan keinginan Jamie untuk melepaskannya, malah merangkulkan
lengan ke bahunya, menariknya mendekat, dan menuntunnya ke tempat Daniel
mengumpulkan kuda-kuda mereka.
Jamie
tidak mengucapkan terima kasih ketika Alec mengangkatnya ke punggung Wildfire.
Tatapannya terus menunduk sampai Alec mengulurkan tali kekang padanya. Tangan
Alec menyentuh tangannya, dan Jamie pun
terkesiap. Ia menarik tangannya.
“Pandang
aku.”
Alec
menunggu sampai Jamie menuruti perintahnya sebelum bicara lagi. “Kau telah
menunjukkan keberanianmu, Istriku. Aku sangat senang melihatnya.”
Mata
Jamie membelalak terkejut. Alec tersenyum. Ia baru saja menemukan cara
sederhana untuk meredakan amarah istrinya: pujian. Semua wanita senang
mendengar pujian dari suaminya, bukankah begitu? Alec memutuskan untuk
mengingat hal itu di masa mendatang.
“Kau
mungkin senang padaku, suamiku, tapi aku sudah pasti tidak senang padamu, dasar
kau orang Skotlandia congkak.”
Gemuruh
dalam suara Jamie dan jawaban pedasnya membuat Alec terkejut.
“Kau
tidak menghargai pujianku?”
Jamie
tidak mau repot-repot menjawa pertanyaan itu, tapi amarah di wajahnya
menunjukkan bahwa Alec salah menilainya. Jamie bukan jenis orang yang bisa
goyah dengan pujian. Alec mengangguk paham. “Katakan, mengapa tadi kau begitu
takut?”
Jamie
menggeleng. Ia menunduk memandang tangannya sementara Alec memandang kernyitan
di dahinya.
“Aku
bertanya padamu,” Alec mengingatkan.
Jamie
menggeleng. Alec berusaha bersabar. “Seorang istri harus selalu mematuhi
perintah suaminya,” ujarnya.
“Apakah
itu satu lagi aturan Highland-mu?”
“Ya,”
jawab Alec sambil menyeringai.
“Mengapa
seluruh dunia hanya perlu mematuhi sepuluh perintah Tuhan untuk bisa masuk
surga, tapi kalian bangsa Skotlandia perlu banyak perintah tambahan lainnya?
Apa menurutmu itu karena kalian semua pendosa besar?”
“Saat
ketegaranmu muncul kembali, selalu diiringi balas dendam, ya?” tanya Alec.
“Ketegaran?”
“Sudahlah,
lupakan saja.”
Alec
tersenyum pada Jamie, menyiratkan hatinya yang senang. Jamie pikir pria ini
pasti bebal. “Sekarang, biarkan aku sendiri, Alec.”
“Tidak
sampai kau menjelaskan mengapa kau sangat ketakutan.”
“Cemas,
Alec. Aku tadi cemas.”
“Baiklah,
kalau begitu… cemas,” cetus Alec.
“Kau mau
dengar yang sebenarnya?” tanya Jamie.
“Yang
sebenarnya.”
“Saat
kau bertarung tadi… yah, ada saat ketika kupikir kau menatap tepat kepadaku,
lalu kupikir aku tidak boleh membuatmu marah karena aku tidak akan bisa membela
diri dari kekuatanmu yang besar.”
Alec
harus mencondongkan tubuh untuk menangkap semua penjelasan jamie. Jamie
terdengar sedih sekali. Alec berusaha untuk tidak tertawa. “akan sulit bagitu,
Alec,” lanjut Jamie. “Aku tahu kau mungkin akan terkejut, tapi kurasa akan ada
saat ketika aku membuatmu jengkel.”
“Aku
tahu.”
“Kau
tahu?” cetus Jamie, bersungut-sungut.
“Sekarang
saja kau sudah membuatku jengkel.”
“Oh.”
“Jamie,
aku tidak akan pernah menyakitimu.”
Jamie
menatap mata Alec lama sekali. “Bahkan ketika kau dikendalikan oleh
temperamenmu? Semua orang Skotlandia punya temperamen bengis, Alec. Kau pasti
mengakui itu.”
“Aku
tidak akan pernah kehilangan kesabaran denganmu. Aku janji.”
“Tapi,
bagaimana kalau kau lepas kendali?” desak Jamie.
“Aku
tetap tidak akan menyakitimu.”
Jamie
akhirnya percaya. Ia berhenti menarik-narik tangannya dari genggaman Alec. “Aku
dengar semua orang Skotlandia suka memukuli istri mereka.”
“Aku
juga pernah mendengar hal yang sama tentang orang Inggris.”
“Sebagian
memang iya, tapi sebagian tidak.”
“Aku
tidak.”
“Sungguh?”
Alec
mengangguk. Ia yakin Jamie merasa aman bersamanya. “Saat kita pertama kali
bertemu, aku bisa melihat kekhawatiran di matamu. Aku percaya, seorang istri
yang takut pada suaminya merupakan hal yang bagus, tapi rasa takut aneh yang
kulihat…”
“Maafkan
kelancanganku memotong ucapanmu, tapi aku harus memberitahumu bahwa seorang
istri yang takut pada suaminya sama sekali bukan hal yang bagus. Aku cemas,
bukan takut, tapi kebanyakan wanita pasti takut padamu. Bagaimanapun,
karakterku lebih kuat.”
“Kenapa?”
“Kenapa
apa?” tanya Jamie, bingung dengan cara Alec tersenyum padanya dan reaksi
hatinya sendiri terhadap senyum itu.
“Kenapa
kebanyakan wanita takut padaku?”
Jamie
harus menepiskan pandangannya dari mata indah Alec sebelum bisa menjawab.
“Karena kebetulan kau seorang pria yang sangat… besar. Malah sebenarnya, kau
prajurit yang bertubuh paling besar yang pernah kulihat.”
“Apa kau
sudah pernah melihat prajurit lainnya?” tanya Alec, menyembunyikan
keterkejutannya.
Jamie
mengernyit mendengarnya, lalu menggeleng. “Sebenarnya… belum, belum pernah.”
“Jadi,
ukuran tubuhkulah yang membuatmu cemas.”
“Kekuatanmu
juga seperti sekompi prajurit yang disatukan. Alec, dan kau baru saja membunuh
empat orang,” lanjut Jamie. “Kau tentu belum lupa fakta itu.”
“Hanya
satu.”
“Hanya
satu apa?” tanya Jamie, sesaat teralihkan dengan kilatan di mata Alec. Jamie curiga
suaminya ini sebenarnya hendak menertawakannya.
“Aku
hanya membunuh satu orang,” jelas Alec. “Orang yang berani menyentuhmu. Yang
lainnya tidak mati, hanya… cedera. Apa kau mau aku membunuh mereka semua?” Alec
terdengar sangat lembut saat mengatakannya.
“Oh,
Tuhan, tidak,” tukas Jamie. “Tapi, bagaimana dengan laki-laki yang Daniel
lumpuhkan?”
“Tanyakan
saja langsung padanya.”
“Para bajingan
itu juga berusaha melukaimu, Jamie.”
“Mary
lebih penting.”
“Kau
benar-benar percaya pada omong kosong itu?”
“Sudah
menjadi tugasku untuk melindungi kakak-kakakku, Alec.”
“Kenapa
kau belum bertanya soal laki-laki yang kau habisi dengan belatimu?” tanya Alec.
“Sasaranmu sudah benar, Istriku,” ujar Alec, ingin memberi sedikit pujian lagi.
“Kau…”
“Aku
tidak mau membahasnya,” pekik Jamie sambil melepas tali kekang Wildfire.
Nah, apa
yang sudah ia katakan? Istrinya yang mungil dan lembut seolah hendak pingsan.
Gadis ini bagai misteri baginya. Alec menggeleng. Jamie terlihat sangat
membenci pembunuhan. Itu merupakan satu keanehan lagi dalam sifat Jamie, tapi
pada saat yang bersamaan, Alec mengakui bahwa ia menyukai keanehan tersebut.
Kalau
dibiarkan, gadis ini akan membuat semua tindak tanduknya melunak. Jamie harus
terbiasda pada pembunuhan. Begitulah cara hidup di tanah Skotlandia yang keras.
Hanya yang kuat yang bertahan hidup. Ia harus membuat Jamie tangguh, putus
Alec, atau istrinya itu tidak akan berhasil melalui musim dingin yang kejam.
“Baiklah,
Istriku,” kata Alec. “Kita tidak akan membahas ini.”
Ketegangan
lenyap dari bahu Jamie. Jamie terlihat agak tidak seimbang di atas kudanya,
sehingga Alec melingkarkan tangan di pinggangnya.
“Tindakan
yang kulakukan adalah untuk mempertahankan diri,” ujar Jamie. “Kalau aku
menewaskan laki-laki menjijikkan itu, tuhan tentu akan memahaminya. Teruhannya
adalah nyawa Marry.”
“Ya,”
Alec sepakat. “Kau memang melukainya.”
“Di lain
pihak, Bapa Charles tidak akan pernah memahaminya. Kalau dia mendengar kabar
tentang ini, Alec, dia akan menyuruhku mengenakan pakaian hitam sepanjang sisa
hidupku.”
“Pastor
yang menikahkan kita?” tanya Alec, bingung lagi.
Jamie
mengangguk.
“Kau
mencemaskan hal-hal yang aneh,” kata Alec. “Menurutku, itu kelemahanmu.”
“Oh, ya?
Kalau begitu, coba saja kau mengakui perbuatan dosamu kepada Bapa Charles.
Setelah itu, katakan bahwa kecemasanku sia-sia. Pria itu sangat imajinatif
dalam memberi hukuman.”
Alec
terbahak. Ia mengangkat Jamie ke pelukannya lalu berjalan menghampiri kudanya.
Jamie
melingkarkan lengan ke leher suaminya. “Apa yang kau lakukan?”
“Kau
akan berkuda denganku.”
“Kenapa?”
Desahan
napas Alec hampir membelah rambut Jamie. “Apa kau akan mempertanyakan semua
yang kukatakan dabn kulakukan?”
Jamie
menelengkan kepala sehingga bisa melihat wajah Alec. Alec langsung berhenti. Kerlip
di mata Jamie serta senyum Jamie yang lambat dan manis membuatnya gelisah.
“Apa kau
akan marah kalau aku melakukannya?”
“Melakukan
apa?”
“Mempertanyakanmu.”
“Tidak,
aku tidak akan pernah marah padamu.”
Senyum
Jamie membuat Alec terpesona. “Aku menikahi pria yang paling menakjubkan,”
katanya. “Kau tidak akan pernah marah atau kehilangan kesabaran.”
“Kau
berani memancingku, ya. Orang Inggris?”
Perhatian
penuh Alec terfokus pada mulut Jamie. Ia ingin menggigit bibir bawah Jamie,
ingin menenggelamkan lidahnya ke dalam mulut istrinya, merasakan madu manis
yang kini menjadi miliknya. Jemari Jamie mengelus bagian belakang leher Alec,
entah sengaja atau tidak, Alec tidak tahu, dan payudara Jamie yang lembut dan
penuh menekan dadanya.
Seorang
pria hanya sanggup diprovokasi sejauh itu, kata Alec pada dirinya sendiri.
Perlahan-lahan Alec menurunkan kepalanya. Jamie menyambutnya.
Mulut
Jamie begitu menggairahkan. Ciuman itu lembut dan ringan, terlalu singkat dan
membuat Alec frustasi. Jamie tidak mau membuka mulut untuknya dan menarik diri
persis ketika ia hendak melancarkan serangannya.
Jamie
terlihat sangat puas dengan dirinya sendiri. Walau berani dan luar biasa
cantik, jelas sekali kalau Jamie tidak tahu cara mencium.
Tentu
saja, tugas Alec-lah untuk mengajarinya, Alec tersenyum menantikan saat itu.
“Terima
kasih, Alec.”
“Kenapa
kau berterima kasih padaku?” tanya Alec. Ia mengangkat Jamie ke pelana kudanya,
kemudian duduk di belakang istrinya itu dalam satu gerakan cepat. Jamie
bergerak, berusaha mencari posisi yang nyaman. Alec menyeringai, merangkulkan
lengan ke pinggang Jamie, mengangkatnya ke pangkuan, dan memegangnya erat-erat.
“Well?”
desak Alec saat Jamie tidak segera menjawabnya.
“aku
berterima kasih atas tenggang rasamu.”
Alec
sudah memahami wajaban Jamie. “Kau pasti tidak sering berkuda,” katanya. “Aku
akan mengajarimu cara yang tepat begitu kita tiba.”
Jamie
tidak repot-repot mengoreksinya. Kalau Alec ingin menyakini bahwa ia tidak
mahir berkuda, maka ia akan membiarkannya. Lagi pula, Alec mungkin tidak akan
percaya kalau ia sangat terampil berkuda, atau bahwa pelana baru inilah yang
sekarang membuatnya tidak nyaman. Kalau ia mengaku biasa berkuda tanpa pelana,
seperti yang sering dilakukan sebagian besar prajurit, pasti Alec akan
menganggapnya tidak feminin. Jamie akan membiarkan Alec berpikir sesuai dengan
keinginan pria itu. Beak benar, pikir Jamie, dengan begitu Alec akan bersikap
lebih sabar padanya. Alec tentu tidak akan memeganginya erat-erat di pangkuan
kalau tahu ia tidak butuh bantuan. Jamie tersenyum sendiri dan bersandar ke
tubuh suaminya. Rasanya menyenangkan bisa dimanja seperti ini. Ia berjanji akan
meluruskan semua ini pada saatnya nanti. Tetapi, untuk saat ini, ia akan
membiarkan Alec yang memegang kendali.
Istri
adalah gangguan, pikir Alec, tapi yang satu ini… aromanya begitu feminin,
rasanya begitu lembut, begitu tepat dalam pelukannya. Jamie terus berusaha
menepiskan tangan Alec dari bagian samping payudaranya. Alec tersenyum dengan
sifat malu-malu istrinya itu. Alec yakin begitu ia meniduri Jamie, Jamie akan
mengenyahkan sifat ini. Alec tiba-tiba ingin mendirikan kemah. Malam ini ia
akan memiliki Jamie, menjadikan Jamie miliknya; Malam ini Jamie akan
menyerahkan diri padanya.
Untuk
ukuran orang Skotlandia, Alec memiliki aroma paling memikat. Jamie tersenyum
mendengar pikiran dangkal itu di benaknya. Dalam waktu satu hari, ia sudah
beralih dari membenci ke nyaris menyukai Alec. Hanya Tuhan yang tahu mengaopa
ia merasa cukup aman bersama Alec. Tetapi, kalau emosinya terus tidak masuk
akal begini, mungkin sebaiknya ia mengizinkan Alec menciumnya lagi… dalam satu
atau dua hari ke depan. Dan kalau Alec terbukti memiliki segala yang ia
inginkan dari seorang suami… yah, kalau begitu pada akhirnya, setelah
pendekatan yang lama dan memuaskan, ia mungkin akan mengizinkan Alec
menyetubuhinya.
Sungguh
suatu berkah bahwa Alec merupakan pria yang sangat sabar. Jamie merasa ia hanya
perlu menjelaskan dan Alec pasti akan menyepakatinya.
Habis
perkara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar