Senin, 21 April 2025

Beyond The Highland Mist #10

Kamar ini dibuat untuk bayi. Dibangun dengan penuh cinta sampai seolah terasa sesak. Gelombang perasaan yang bertentangan melanda sampai akhirnya ia berhasil mengusir semuanya.

Ada buayan yang terbuat dari kayu ek, diukir dan dipoles sedemikian halusnya sehingga tak ada satupun pecahan kayu yang bisa melukai kulit halus bayi yang ada di sana. Di dinding sebelah timur tergantung jendela-jendela tinggi, terlalu tinggi untuk dipanjat seorang anak, namjun terbuka untuk dapat menyaksikan sinar mentari pagi yang keemasan. Lantai kayu diselimuti kerpet tebal agar kaki-kaki si bayi tetap hangat.

Di atas rak berbaris serdadu-serdadu boneka yang dibuat dengan penuh cinta terbaring di tempat tidur mungil. Sebuah miniatur istana, dengan parit pengaman, jembatan dipenuhi oleh pahatan manusia-manusia kecil, rumah boneka abad pertengahan!

Selimut empuk tertata di buaian dan tempat tidur. Kkamar ini luas sekali. Di sini seorang (atau bahkan dua belas) anak dapat tumbuh dari bayi menjadi remaja sebelum akhirnya mencari kamar lain yang lebih dewasa. Kamar ini dapat mengisi dunia seorang anak dengan cinta, rasa aman dan kesenangan terus menerus.

Seolah kamar ini dibuat oleh seseorang yang merefleksikan masa kecilnya, lalu merancangnya dengan segala bentuk harta kenangan indah yang diberikan kepadanya saat ia masih menjadi bocah atau gadis cilik.

Tapi semua tentang kamar ini yang menohok Adrienne adalah bahwa seolah kamar ini sedang menunggu.

Terbuka, hangat dan mengundang, seolah berkata, isilah aku dengan bayi-bayi yang tertawa dan kasih sayang.

Dalam segala kesiapannya, kamar ini hanya menunggu – sampai wanita yang tepat datang dan mengembuskan nafas kehidupan seorang anak beserta impian dan harapannya.

Sebersit rasa rindu berkelebat sedemikian cepat sampai Adrienne tidak menyadari apa sebenarnya hal itu. Tapi sepertinya hal itu berhubungan dengan masa kecilnya sebagai seorang anak yatim-piatu, dan tempat ia dibesarkan yang dingin – sama sekali berbeda dengan kamar indah ini; bagian dari rumah yang indah, di tempat yang indah, dengan orang-orang yang akan menyirami kasih sayang pada anak-anak mereka.

Oh, betapa rasanya membesarkan anak di tempat seperti ini.

Anak-anak yang akan mengetahui siapa orang tuanya, tidak seperti Adrienne. Anak-anak yang tak pernah harus berpikir, mengapa mereka tak pantas disayangi.

Adrienne mengusap matanya keras-keras dan berpaling. Semua ini terlalu berat buatnya.

Ia berbalik tepat menghadapi Lidya. “Lidya!” Adrienne terkesiap. Mengapa ia harus terkejut berpapasan dengan ibu yang baik dari seorang lelaki tampan yang mungkin membangun kamar anak indah ini?

Lidya memegang siku Adrienne. “Aku Cuma ingin memastikan kau baik-baik saja, Adrienne. Menurutku mungkin terlalu dini buatmu untuk segera berjalan.”

“Siapa yang membuat kamar ini?” Adrienne berbisik.

Lidya menundukkan kepalanya, dan untuk sesaat Adrienne mendapatkan kesan bahwa Lidya sedang menahan tawa. “Hawk yang merancang dan membangunnya,” jawab Lidya, sambil merapikan kerutan-kerutan kecil di gaunnya.

Adrienne memutar bola matanya, mencoba meyakinkan emosinya untuk berhenti menampilkan kesan rapuh dan menggantinya ke sesuatu yang lebih aman, seperti amarah, misalnya.

“Kenapa, Adrienne sayang, kau tidak menyukainya?” Lidya bertanya dengan manis.

Adrienne barbalik dan memandang ke seluruh ruangan dengan tatapan kesal. Kamar anak ini terlihat terang dan ceria dan tampak hidup dengan luapan emosi penciptanya. Ia berbalik pada Lidya. “Kapan? Sebelum atau sesudah pengabdiannya pada raja?” penting bagi Adrienne apakah Hawk membangun kamar ini saat ia berusia tujuh belas atau delapan belas tahun, untuk menyenangkan ibunya, mungkin atau baru-baru saja, dengan harapan bisa mengisinya dengan keturunannya sendiri.

“Saat ia masih mengabdi. Sang raja memberinya waktu liburan saat ia berusia dua puluh sembilan. Waktu itu ada masalah dengan para Highlander di daerah ini, dan Hawk diizinkan pulang untuk memperkuat Dalkeith. Saat pertikaiannya usai, ia menghabiskan waktu singkat mengerjakan ini. Ia bekerja seperti kesetanan, dan sejujurnya, aku tak tahu apa yang ia lakukan. Hawk sering bekerja dengan kayu, membangun atau merancang sesuatu. Ia tak mau pekerjaannya dilihat oleh kami, dan juga tak terlalu membahasnya. Setelah ia kembali mengabdi kepada Raja James, aku datang kemari dan melihat apa yang sebelumnya ia kerjakan.” Mata Lidya sejenak terlihat berkaca-kaca. “Sejujurnya, Adrienne, aku menangis saat itu. Sebab ini semua membuatku tahu bahwa anakku memikirkan keturunannya dan betapa berharganya mereka. Aku juga terpana saat melihatnya selesai dibangun. Kurasa sebagian besar wanita akan merasakan hal yang sama. Biasanya lelaki tidak memandang keturunan dengan cara begini. Tapi Hawk, ia memang lelaki istimewa. Seperti ayahnya.”

Kau tak perlu mempromosikannya, Adrienne berkata dalam hati. “Maaf, Lidya. Aku lelah sekali, Aku harus beristirahat,” Adrienne menukas, dan berbalik berjalan ke pintu.

Saat Adrienne mencapai koridor, ia bersumpah ia merasa mendengar Lidya tertawa pelan.

***

 

Hawk mendapati Grimm menunggunya di perpustakaan, sambil memandang jurang sebelah barat lewat pintu yang terbuka. Hawk memergoki betapa kencang kepalan tangan yang mencengkram pinggiran pintu, atau betapa kaku punggungnya menegang.

“Jadi?” Hawk bertanya tak sabar. Ia mau saja pergi sendiri ke istana Comyn untuk menyelidiki masa lalu istrinya, tapi itu artinya meninggalkan Adrienne sendirian dengan pandai besi keparat itu. Tak boleh terjadi. Dan ia juga tak bisa membawa Adrienne ikut serta, jadi ia mengirim Grimm untuk mengungkap apa yang terjadi pada Janet Comyn.

Grimm membalikkan tubuhnya perlahan, menendang sebuah kursi dan duduk di tepi perapian.

Hawk juga duduk, menaruh kakinya di atas meja dan menuang brandy untuk mereka berdua. Grimm menerimanya dengan lega.

“Jadi? Apa katanya?” Cengkraman tangan Hawk semakin kencang pada gelas yang ia genggam sambil menunggu kabar mengenai siapa yang tega membuat istrinya hilang ingatan. Hawk mengerti apa yang terjadi pada istrinya. Ia sudah pernah melihat lelaki-lelaki sehabis perang yang merasakan kengerian amat sangat sehingga bersikap sama seperti itu. Terlalu banyak melihat kengerian dan darah tertumpah membuat sebagian prajurit mengkhayal sehingga menggantikan kenyataan, dan pada akhirnya percaya bahwa khayalan adalah nyata. Seperti yang dialami oleh istrinya. Tapi sayangnya, ia tak tahu kepedihan apa yang sampai membuatnya tak tahan dipanggil dengan namanya sendiri. Dan apapun itu yang membuatnya tak ingin memercayai semua lelaki, terlebih lagi dirinya.

Hawk mempersiapkan diri untuk mendengarkan dengan seksama, berusaha mengalihkan amarahnya jika amarahnya datang, agar ia bisa menempanya menjadi senjata yang tenang dan efisien. Hawk bersedia memerangi naga yang menghantui Adrienne, dan memulai penyembuhannya. Tubuh Adrienne semakin kuat dari hari ke hari, dan Hawk menyadari hal itu sebagian besar dikarenakan kasih sayang Lidya. Tapi yang Hawk inginkan adalah bahwa cinta darinya yang menyembuhkan luka dalam Adrienne. Dan satu-satunya cara adalah dengan mengetahui dan memahami penderitaan macam apa yang diderita Adrienne.

Grimm menelan ludah, memainkan kursinya, memiringkan kursinya ke samping seperti seorang bocah kecil, lalu bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir.

“Hentikan!” Satu minggu kepergian Grimm sudah cukup membuat Hawk gila dengan segala macam bayangan gila tentang apa yang sudah dilakukan oleh lelaki bernama Everhard ini. Atau mungkin bisa lebih parah, Tuan Tanah Comyn sendiri patut disalahkan atas derita Adrienne. Hawk mengutuk kemungkinan itu, sebab itu bisa mengobarkan perang antar klan. Hal yang tentu saja mengerikan, tapi untuk membalaskan dendam istrinya – ia bersedia melakukan apa saja. “Siapa si Ever-hard ini?” Pertanyaan itu sudah menggerogotinya sejak nama itu pertama kali terucap di bibir istrinya yang sedang menggigil kesakitan.

Grimm menghela napas. “Tak ada yang tahu. Tak seorangpun pernah mendengar tentangnya.”

Hawk mengutuk diam-diam. Jadi, Comyn sedang menyimpan rahasia? “Bicara.” Perintah Hawk.

Grimm menghela napas. “Ia mengira ia datang dari masa depan.”

“Aku tahu Adrienne mengira begitu,” Hawk menukas tak sabar. “Aku mengirimmu ke sana untuk mencari tahu apa yang dikatakan Lady Comyn.”

“Itu maksudku,” Grimm menjawab dengan datar. “Lady Comyn pikir Adrienne datang dari masa depan.”

“Apa?” Alis mata Hawk terangkat. “Bicara apa kau, Grimm? Jadi Lady Comyn bilang bahwa Adrienne bukan darah dagingnya?”

“Ya.”

Hawk menghentakkan sepatunya ke lantai sehingga getaran yang kembali mengalir ke tubuhnya terasa panas membara.

“Coba kuluruskan Althea Comyn bilang padamu bahwa Adrienne bukan putrinya?”

“Betul.”

Tubuh Hawk membeku. Ia sama sekali tidak mengira hal ini terjadi. Dari semua imajinasi yang ia pikirkan tak sekalipun ia berpikir bahwa fantasi istrinya ini juga dimiliki oleh ibunya. “Lalu menurut Lady Comyn, siapa gadis itu? Siapa yang aku nikahi?”

“Ia tidak tahu.”

“Apa dia bisa berpikir?” Pertanyaan Hawk penuh sindiran. “Bicara padaku, bung!”

“Tak ada lagi yang bisa kukatakan, Hawk. Dan apa yang aku ketahui… semuanya aneh. Sama sekali bukan yang aku kira. Cerita yang kudengar, Hawk, sangat menggugah kepercayaan pada alam. Jika memang benar apa yang mereka katakan, aku tak tahu harus mempercayai apa lagi.”

“Lady Comyn juga memiliki delusi yang sama dengan putrinya,” Hawk terpana.

“Tidak, Hawk, kecuali Athea Comyn dan ratusan orang lainnya sama-sama gila. Sebab banyak yang melihat Adrienne muncul begitu saja. Aku bicara dengan belasan orang, dan mereka semua menceritakan hal yang sama. Mereka sedang duduk menyantap makanan saat tiba-tiba seorang gadis – Adrienne – muncul di pangkuan tuan tanah, entah dari mana. Beberapa pelayan menyebutkan tukang sihir, tapi kemudian buru-buru dibungkam. Seperti sang tuan tanah menganggapnya karunia dari malaikat. Lady Comyn berkata bahwa ia melihat sesuatu jatuh dari genggaman perempuan berpakaian aneh itu, dan berusaha menembus kepanikan untuk mengambil benda itu. Itu adalah bidak catur Menteri Hitam yang ia berikan padaku saat pernikahan, yang kemudian kuberikan padamu saat kita sampai kemari.”

“Kenapa ia mengirimnya padaku,” Hawk mengusap dagunya.

“Menurut Lady Comyn mungkin benda itu bisa berguna nanti. Ia kira bidak catur itu berisi sihir.”

“Jika demikian, pasti itu caranya melintasi,” – ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Ia sudah pernah melihat banyak hal mencengangkan dalam hidupnya, dan bukan orang yang sama sekali tak percaya hal gaib – apa gunanya ia dibesarkan untuk percaya pada kurcaci? Tapi tetap saja…

“Caranya melintasi waktu,” Grimm menyelesaikan kelimatnya.

Kedua lelaki itu saling pandang.

Hawk menggelengkan kepalanya. “Menurutmu…?”

“Kau pikir begitu?”

Mereka saling pandang sekali lagi. Lalu memandang ke arah api.

“Tidak,” mereka berseru bersamaan, sambil mengamati nyala api dengan saksama.

“Ia memang tampak tidak biasa, bukan?” Grimm akhirnya berkata. “Maksudku, kecerdasannya tidak wajar. Cantik. Dan pintar, ah cerita yang ia ceritakan padaku dalam perjalanan dari Benteng Comyn. Ia terlalu kuat untuk ukuran seorang perempuan. Dan ia menyebutkan hal-hal aneh. Kadang-kadang – aku tak tahu apakah kau juga memperhatikannya – aksennya seperti timbul tenggelam.”

Hawk mendengus. Ia juga memperhatikan hal itu. Aksen bicaranya lenyap saat ia sedang terbaring sakit terkena racun, dan Adrienne bicara dengan aksen yang sama sekali belum pernah ia dengar.

Grimm melanjutkan berbicara, tapi lebih seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Perrempuan seperti itu bisa membuat lelaki…” Ia terdiam dan menatap tajam ke arah Hawk. Lalu berdehem. “Lady Comyn mengenali putrinya sendiri, Hawk. Sendiri di sini adalah kata kuncinya. Beberapa pelayan mengkonfirmasi bahwa Janet yang asli tewas. Gosipnya adalah ia tewas di tangan ayahnya sendiri. Lalu ia harus menikahkan seseorang padamu. Lady Comyn bilang klan mereka tak akan pernah membeberkan kejadian sesungguhnya.”

“Kukira tidak,” Hawk mendengus.” Jika semua ini benar, dan bukan berarti aku bilang seperti itu, tapi Clan Comyn tahu bahwa Raja James akan menghancurkan klan kami berdua untuk hal seperti ini.” Hawk memikirkan hal ini selama beberapa saat, lalu mengabaikannya sebagai sesuatu yang tak perlu dipikirkan. Keluarga Comyn akan bersumpah bahwa Adrienne adalah Janet, seperti halnya seluruh lelaki di klan Douglas, jika kabar ini sampai ke telinga Raja Edinburgh, sebab kelangsungan hidup kedua klan tergantung darinya. Setidaknya Hawk bisa mengandalkan kesetiaan untuk hal yang satu ini dari Comyn yang egois.

“Apa yang dikatakan oleh tuan tanah sendiri, Grimm?”

“Tak sepatah katapun. Ia tak menerima ataupun menyangkal bahwa ia adalah putrinya. Tapi aku bicara dengan pendeta keluarga Comyn, yang menceritakan hal yang sama seperti yang dikatakan Lady Comyn. Saat itu ia sedang menyalakan lilin untuk berdoa bagi jiwa almarhumah Janer,” Grimm menambahkan. “Jadi, jika memang ada delusi di Benteng Comyn, maka delusi yang ada bersifat massal dan sangat terinci, kawan.”

Hawk bangkit dan bergegas menuju mejanya. Ia membuka kotak kayu berukir dan mengambil bidak catur itu dari dalamnya. Ia menggulirkannya di dalam genggamannya, mengamatinya dengan saksama.

Saat ia mengangkat matanya, tatapan sekelam malam, lebih dalam dari danau dan seakan tak terselami. “Lady Comyn percaya benda ini yang membawanya ke sini?”

Grimm mengangguk.

“Artinya benda ini juga bisa membawanya pergi?”

Grimm mengangkat bahunya. “Lady Comyn bilang Adrienne tak mengingatnya. Apakah ia pernah membahasnya denganmu?”

Hawk menggelengkan kepala dan terlihat sedang memikirkan sesuatu, pertama-tama tentang bidak catur hitam itu dan kemudian tentang nyala api yang sedang berkobar.

Grimm menatap mata Hawk, dan Hawk menyadari tak akan ada ucapan celaan atau bahkan bisikan untuk hal itu, bahkan jika ia memilih untuk melakukannya.

“Kau percaya?” Grimm bertanya dengan lembut.

***

 

Hawk duduk di depan perapian cukup lama setelah Grimm meninggalkannya, masih merasa tak percaya. Walaupun Hawk adalah orang yang kreatif, ia juga adalah orang yang penuh logika. Perjalanan menembus waktu adalah hal yang tidak masuk akal baginya.

Ia percaya keberadaan banshee, yang memperingatkan akan adanya kematian atau kehancuran. Ia percaya kepada para Druid ebagai ahli kimia dan pelaku ilmu yang aneh. Semasa kecil ia selalu di wanti-wanti akan keberadaan kelpie, yang hidup di dalam kedalaman danau dan memikat anak-anak nakal hingga mati tenggelam.

Tapi perjalanan melintasi waktu?

Lagipula, ia berujar dalam hati sambil memasukkan bidak catur tersebut ke dalam sporrannya, masih adal hal lain yang lebih mendesak. Seperti misalnya si pandai besi. Dan istrinya yang keras hati, dan di bibir istrinya itu, nama si pandai besi sudah terlalu sering terucap.

Kelak akan ada banyak waktu untuk mengungkap seluruh rahasia Adrienne, dan memahami delusi massal yang terjadi di Benteng Comyn. Tapi sekarang, yang paling penting adalah membuat Adrienne benar-benar menjadi istrinya. Jika itu sudah terpenuhi, barulah ia bisa khawatir tentang masalah lainnya. Dan jika itu sudah bisa teratasi, ia akan bisa menyingkirkan semua berita merisaukan yang dibawa oleh Grimm, seperti halnya ia menyingkirkan bidak catur ini.

Rencana bagaimana ia akan menggoda istrinya seakan menggantikan semua rasa khawatir. Dengan seulas senyum tyang berbahaya dan tekad bulat, Hawk berlalu mencari Adrienne.

***

 

BAB 13

Adrienne berjalan dengan gelisah, benaknya berputar. Tidur siangnya yang sejenak di bawah sinar matahari tak berhasil mengusir pikirannya yang kacau. Pikiran seberapa mampu, bahkan seberapa inginnya Hawk menghadirkan bayi-bayi untuk mengisi kamar sial itu.

Secara naluriah ia menghindari bagian ujung utara dari kebun istana, tak ingin bertemu dengan sang pandai besi dan imaji-imaji merisaukan saat ia masih sakit yang masih bercokol di benaknya.

Ia berjalan ke arah selatan, terpanggil oleh kilau pantulan cahaya mentari ke atas atap kaca juga atas rasa ingin tahu yang mendalam. Orangorang ini bukan orang barbar, pikirnya. Dan jika ia tidak salah, ia sedang berjalan tepat menuju rumah kaca. Betapa cemerlangnya benak yang membangun Dalkeith-Upon-the-Sea. Tak bisa ditembus dari ujung sebelah barat karena adanya jurang yang sangat curam ke laut ganas. Di sebelah utara, selatan dan timur, benteng ini terlindungi oleh dinding yang sangat besar setinggi 21-24 meter. Betapa anehnya bahwa benak yang sama yang merancang Dalkeith sebagai benteng pertahanan, membuatnya sekaligus tampak indah. Sebuah alam pikiran seorang pria yang sangat kompleks, yang memikirkan segala kebutuhan saat berperang, tapi juga memikirkan saat-saat damai.

Hati-hati, kau tampaknya mulai tertarik?

Saat Adrienne mencapai rumah kaca, ia mendapati bahwa rumah kaca tersebut terhubungkan dengan sebuah menara baru melingkar. Saat ia dulu menghabiskan berjam-jam berselancar di internet, ia selalu tertarik kepada hal-hal yang berhubungan dengan abad pertengahan. Apakah itu kandang burung? Rajawali. Tempat mereka menampung dan melatih burung-burung rajawali untuk berburu.

Terterik oleh adanya hewan dan merindukan Moonshadow sampai dadanya terasa sakit, Adrienne mendekati bangunan batu tersebut. Apa maksud Hawk saat berkata tentang memperlakukannya seperti salah satu burung rajawali miliknya? Lebih baik ia mencari tahu sendiri, agar ia bisa menghindarinya lain kali.

Bangunan itu tinggi dan memeutar, dan hanya memiliki satu jendela, yang bisa ditutup. Ia pernah membaca, itu ada hubungannya dengan kegelapan. Penasaran, ia mendekati pintu besar di hadapannya dan mendorongnya hingga terbuka dan diam-diam menutupnya kembali setelah ia masuk, berhati-hati agar tak ada burung yang kabur. Ia tak ingin memberi Hawk alasan untuk menghukumnya lagi.

Perlahan-lahan matanya terbiasa dengan suasana suram dan ia bisa melihat beberapa tempat bertengger yang kosong di bawah sinar yang redup. Ah ini bukan sangkar, tapi tempat melatih. Adrienne mencoba mengingat cara para pelatih zaman dahulu melatih burung pemangsa piaraannya untuk berburu.

Tempat itu beraroma bunga lavender dan rempah, bebauan dari rumah kaca yeng tertempel di sampingnya meresap ke dalam dinding batu. Tempat yang sangat tenang. Oh, betapa mudahnya ia akan terbiasa tak lagi mendengar suara lalu lintas; tak lagi harus berjalan dengan hati-hati; tak perlu melihat New Orleans lagi – berhenti dari semua pelarian dan persembunyian penuh rasa takut.

Dinding tempat itu terasa sejuk dan bersih, tidak seperti dinding batu penjara New Orleans tempat ia pernah dikurung.

Adrienne bergidik. Ia tak akan pernah lupa kejadian malam itu.

Perkelahian itu terjadi karena perjalanan ke Acapulco. Adrienne tak ingin pergi. Eberhard memaksanya untuk ikut. “Kalau begitu pergilah bersamaku,” Adrienne berkata. Eberhard ia ia terlalu sibuk dan tak bisa cuti.

“Apa gunanya uangmu jika kau tak bisa menikmati hidup?” Adrienne bertanya.

Eberhard tak berkata apa-apa, ia hanya menatap Adrienne dengan pandangan kecewa, dan membuat Adrienne merasa canggung bagaikan seorang anak yatim yang tak diinginkan.

“Kenapa kau selalu menyuruhku pergi berlibur sendirian?” Adrienne bertanya, mencoba terdengar dewasa dan santai, tapi pertanyaannya berakhir dengan nada sedih.

“Berapa kali harus kujulaskan padamu? Aku sedang mencoba mendidikmu, Adrienne. Jika kau anggap mudah untuk mendidik seorang anak yatim piatu yang belum pernah mengecap kehidupan sosialita untuk menjadi istriku, maka kau salah. Istriku harus berbudaya, canggih, Eropa – ”

“Jangan kirim aku ke Paris lagi,” Adrienne buru-buru menukas. :”Terakhir aku di sana, hujannya tak berhenti berminggu-minggu.”

“Jangan pototng kalimatku lagi, Adrienne.” Nada suaranya terdengar tenang; terlalu tenang dan diatur.

“Tak bisakah kau pergi bersamaku – sekali saja?”

“Adrienne!”

Adrienne mematung, merasa bodoh dan bersalah, meskipun ia tahu permintaannya itu masuk akal. Terkadang ia merasa Eberhard tak menginginkan dirinya ada di dekatnya, tapi itu tak masuk akal – sebab Eberhard akan menikahinya. Ia sedang mempersiapkan Adrienne untuk menjadi istrinya.

Tapi tetap saja ia merasa ragu…

Setelah bepergian ke Rio terakhir kali, ia kembali dan mendengar kabar dari teman-teman lamanya di Blind Lemon bahwa Eberhard jarang terlihat di kantornya – tapi ia pernah terlihat mengendarai mobil Porschenya yang mulus dengan seorang gadis berambut coklat yang sama mulusnya. Secercah rasa cemburu merebak. “Lagipula, kudengar kau tak bekerja terlalu keras saat aku pergi,” Adrienne menggumam.

Perkelahian pun dimulai dari sana, memuncak sampai Eberhard melakukan sesuatu yang membuat Adrienne tercengang dan begitu ketakutan sampai ia melarikan diri ke malam New Orleans yang panas.

Eberhard memukulnya. Dengan kuat. Dan sebab Adrienne terdiam karena rasa terkejutnya – ia melakukannya lebih dari satu kali.

Adrienne berlari ke arah mobil Mercedes yang diberikan Eberhard untuknya sambil menangis. Ia menginjak pedal gas dan mobil itu melesat ke depan. Ia mengemudikannya dengan membabi buta, dengan mode kemudi otomatis, air matanya yang ternoda pemulas matanya bercucuran menodai setelan berwarna krem yang dipilihkan Eberhard untuk ia kenakan malam itu.

Saat polisi menghentikannya, dengan dakwaan mengemudi melebihi kecepatan 160 km/jam. Adrienne menyadari mereka berbohong. Petugas polisi ini adalah teman Eberhard. Mungkin ia menelepon mereka saat Adrienne meninggalkan rumahnya; Eberhard tahu rute yang selalu Adrienne tempuh.

Adrienne berdiri di luar mobil dengan para petugas polisi, dengan wajah memar dan bengkak, bibir yang berdarah, menangis dan meminta maaf dengan suara yang hampir histeris.

 Adrienne baru menyadari setelahnya bahwa tak ada satupun petugas polisi itu yang menanyakan apa yang terjadi pada wajahnya. Mereka menginterogasi wanita yang jelas-jelas dipukuli tanpa sebersitpun rasa peduli.

Saat mereka memborgol Adrienne, membawanya  ke stasiun polisi dan menelepon Eberhard, Adrienne samasekali tak terkejut saat mereka meletakkan telepon, menatapnya dengan iba, dan menyeretnya ke kurungan.

Tiga hari lamanya ia habiskan di tempat neraka itu, hanya agar maksud Eberhard memberi pelajaran padanya, tercapai.

Malam itulah Adrienne menyadari batepa berbahayanya Eberhard.

 Di dalam sejuknya sangkar burung ini, Adrienne memeluk dirinya sendiri, mencoba sekuat tenaga mengusir bayangan seorang lelaki tampan bernama Eberhard Darrow Garrett dan seorang wanita bodoh yang menghabiskan hidupnya dalam kesepian dan kungkungan panti asuhan. Ia memang sasaran empuk. Lihatlah si kecil Arie-Annie yang yatim piatu.Si bodoh milik Eberhard. Di mana ia pernah mendengar ejekan itu? Di kapal Yacht milik Rupert, saat mereka mengira Adrienne tidak mendengarnya karena turun ke bawah mengambil minuman. Tubuhnya gemetar. Aku tak akan pernah lagi menjadi si bodoh milik lelaki manapun.

“Tak akan pernah.” Ia bersumpah, mengucapkannya dengan lantang. Adrienne menggelengkan kepalanya mencoba menyingkirkan kenangan menyakitkan di benaknya.

Pintu sekonyong-konyong terbuka, cahaya matahari yang benderang masuk. Lalu pintu tertutup kembali dan kegelapan kembali menyelimuti.

Adrienne mematung, ia memeluk dirinya sendiri, dan memaksa degup jantungnya agar menjadi tenang. Ia sudah pernah menghadapi hal ini. Bersembunyi, menanti, terlalu takut bahkan untuk menarik napas mencegah agar si pemburu tak mengetahui lokasinya. Betapa ia berlari dan bersembunyi! Tapi tak ada tempat bernaung, sampai akhirnya ia menemukan tempat bersembunyi di Seattle, yang menyimpan banyak sekali neraka gelap di setiap kelokan jalan antara New Orleans dan Pasifik Northwest.

Kenangan buruk siap menelannya saat tiba-tiba terdengar suara nyanyian memecah kesunyian.

 

 Sinopsis

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar