Kamar ini dibuat untuk bayi. Dibangun dengan penuh cinta sampai seolah terasa sesak. Gelombang perasaan yang bertentangan melanda sampai akhirnya ia berhasil mengusir semuanya.
Ada buayan yang
terbuat dari kayu ek, diukir dan dipoles sedemikian halusnya sehingga tak ada
satupun pecahan kayu yang bisa melukai kulit halus bayi yang ada di sana. Di
dinding sebelah timur tergantung jendela-jendela tinggi, terlalu tinggi untuk
dipanjat seorang anak, namjun terbuka untuk dapat menyaksikan sinar mentari
pagi yang keemasan. Lantai kayu diselimuti kerpet tebal agar kaki-kaki si bayi
tetap hangat.
Di atas rak
berbaris serdadu-serdadu boneka yang dibuat dengan penuh cinta terbaring di
tempat tidur mungil. Sebuah miniatur istana, dengan parit pengaman, jembatan
dipenuhi oleh pahatan manusia-manusia kecil, rumah boneka abad pertengahan!
Selimut empuk
tertata di buaian dan tempat tidur. Kkamar ini luas sekali. Di sini seorang
(atau bahkan dua belas) anak dapat tumbuh dari bayi menjadi remaja sebelum
akhirnya mencari kamar lain yang lebih dewasa. Kamar ini dapat mengisi dunia
seorang anak dengan cinta, rasa aman dan kesenangan terus menerus.
Seolah kamar ini
dibuat oleh seseorang yang merefleksikan masa kecilnya, lalu merancangnya dengan
segala bentuk harta kenangan indah yang diberikan kepadanya saat ia masih
menjadi bocah atau gadis cilik.
Tapi semua
tentang kamar ini yang menohok Adrienne adalah bahwa seolah kamar ini sedang
menunggu.
Terbuka, hangat
dan mengundang, seolah berkata, isilah aku dengan bayi-bayi yang tertawa dan
kasih sayang.
Dalam segala
kesiapannya, kamar ini hanya menunggu – sampai wanita yang tepat datang dan
mengembuskan nafas kehidupan seorang anak beserta impian dan harapannya.
Sebersit rasa
rindu berkelebat sedemikian cepat sampai Adrienne tidak menyadari apa
sebenarnya hal itu. Tapi sepertinya hal itu berhubungan dengan masa kecilnya
sebagai seorang anak yatim-piatu, dan tempat ia dibesarkan yang dingin – sama
sekali berbeda dengan kamar indah ini; bagian dari rumah yang indah, di tempat
yang indah, dengan orang-orang yang akan menyirami kasih sayang pada anak-anak
mereka.
Oh, betapa
rasanya membesarkan anak di tempat seperti ini.
Anak-anak yang
akan mengetahui siapa orang tuanya, tidak seperti Adrienne. Anak-anak yang tak
pernah harus berpikir, mengapa mereka tak pantas disayangi.
Adrienne mengusap
matanya keras-keras dan berpaling. Semua ini terlalu berat buatnya.
Ia berbalik tepat
menghadapi Lidya. “Lidya!” Adrienne terkesiap. Mengapa ia harus terkejut
berpapasan dengan ibu yang baik dari seorang lelaki tampan yang mungkin
membangun kamar anak indah ini?
Lidya memegang
siku Adrienne. “Aku Cuma ingin memastikan kau baik-baik saja, Adrienne.
Menurutku mungkin terlalu dini buatmu untuk segera berjalan.”
“Siapa yang
membuat kamar ini?” Adrienne berbisik.
Lidya menundukkan
kepalanya, dan untuk sesaat Adrienne mendapatkan kesan bahwa Lidya sedang
menahan tawa. “Hawk yang merancang dan membangunnya,” jawab Lidya, sambil
merapikan kerutan-kerutan kecil di gaunnya.
Adrienne memutar
bola matanya, mencoba meyakinkan emosinya untuk berhenti menampilkan kesan
rapuh dan menggantinya ke sesuatu yang lebih aman, seperti amarah, misalnya.
“Kenapa, Adrienne
sayang, kau tidak menyukainya?” Lidya bertanya dengan manis.
Adrienne barbalik
dan memandang ke seluruh ruangan dengan tatapan kesal. Kamar anak ini terlihat
terang dan ceria dan tampak hidup dengan luapan emosi penciptanya. Ia berbalik
pada Lidya. “Kapan? Sebelum atau sesudah pengabdiannya pada raja?” penting bagi
Adrienne apakah Hawk membangun kamar ini saat ia berusia tujuh belas atau
delapan belas tahun, untuk menyenangkan ibunya, mungkin atau baru-baru saja,
dengan harapan bisa mengisinya dengan keturunannya sendiri.
“Saat ia masih
mengabdi. Sang raja memberinya waktu liburan saat ia berusia dua puluh
sembilan. Waktu itu ada masalah dengan para Highlander di daerah ini,
dan Hawk diizinkan pulang untuk memperkuat Dalkeith. Saat pertikaiannya usai,
ia menghabiskan waktu singkat mengerjakan ini. Ia bekerja seperti kesetanan,
dan sejujurnya, aku tak tahu apa yang ia lakukan. Hawk sering bekerja dengan
kayu, membangun atau merancang sesuatu. Ia tak mau pekerjaannya dilihat oleh
kami, dan juga tak terlalu membahasnya. Setelah ia kembali mengabdi kepada Raja
James, aku datang kemari dan melihat apa yang sebelumnya ia kerjakan.” Mata
Lidya sejenak terlihat berkaca-kaca. “Sejujurnya, Adrienne, aku menangis saat
itu. Sebab ini semua membuatku tahu bahwa anakku memikirkan keturunannya dan
betapa berharganya mereka. Aku juga terpana saat melihatnya selesai dibangun.
Kurasa sebagian besar wanita akan merasakan hal yang sama. Biasanya lelaki
tidak memandang keturunan dengan cara begini. Tapi Hawk, ia memang lelaki
istimewa. Seperti ayahnya.”
Kau tak perlu
mempromosikannya,
Adrienne berkata dalam hati. “Maaf, Lidya. Aku lelah sekali, Aku harus
beristirahat,” Adrienne menukas, dan berbalik berjalan ke pintu.
Saat Adrienne
mencapai koridor, ia bersumpah ia merasa mendengar Lidya tertawa pelan.
***
Hawk mendapati
Grimm menunggunya di perpustakaan, sambil memandang jurang sebelah barat lewat
pintu yang terbuka. Hawk memergoki betapa kencang kepalan tangan yang
mencengkram pinggiran pintu, atau betapa kaku punggungnya menegang.
“Jadi?” Hawk
bertanya tak sabar. Ia mau saja pergi sendiri ke istana Comyn untuk menyelidiki
masa lalu istrinya, tapi itu artinya meninggalkan Adrienne sendirian dengan
pandai besi keparat itu. Tak boleh terjadi. Dan ia juga tak bisa membawa
Adrienne ikut serta, jadi ia mengirim Grimm untuk mengungkap apa yang terjadi
pada Janet Comyn.
Grimm membalikkan
tubuhnya perlahan, menendang sebuah kursi dan duduk di tepi perapian.
Hawk juga duduk,
menaruh kakinya di atas meja dan menuang brandy untuk mereka berdua. Grimm
menerimanya dengan lega.
“Jadi? Apa
katanya?” Cengkraman tangan Hawk semakin kencang pada gelas yang ia genggam
sambil menunggu kabar mengenai siapa yang tega membuat istrinya hilang ingatan.
Hawk mengerti apa yang terjadi pada istrinya. Ia sudah pernah melihat
lelaki-lelaki sehabis perang yang merasakan kengerian amat sangat sehingga
bersikap sama seperti itu. Terlalu banyak melihat kengerian dan darah tertumpah
membuat sebagian prajurit mengkhayal sehingga menggantikan kenyataan, dan pada
akhirnya percaya bahwa khayalan adalah nyata. Seperti yang dialami oleh istrinya.
Tapi sayangnya, ia tak tahu kepedihan apa yang sampai membuatnya tak tahan
dipanggil dengan namanya sendiri. Dan apapun itu yang membuatnya tak ingin
memercayai semua lelaki, terlebih lagi dirinya.
Hawk
mempersiapkan diri untuk mendengarkan dengan seksama, berusaha mengalihkan
amarahnya jika amarahnya datang, agar ia bisa menempanya menjadi senjata yang
tenang dan efisien. Hawk bersedia memerangi naga yang menghantui Adrienne, dan
memulai penyembuhannya. Tubuh Adrienne semakin kuat dari hari ke hari, dan Hawk
menyadari hal itu sebagian besar dikarenakan kasih sayang Lidya. Tapi yang Hawk
inginkan adalah bahwa cinta darinya yang menyembuhkan luka dalam Adrienne. Dan
satu-satunya cara adalah dengan mengetahui dan memahami penderitaan macam apa
yang diderita Adrienne.
Grimm menelan
ludah, memainkan kursinya, memiringkan kursinya ke samping seperti seorang
bocah kecil, lalu bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir.
“Hentikan!” Satu
minggu kepergian Grimm sudah cukup membuat Hawk gila dengan segala macam
bayangan gila tentang apa yang sudah dilakukan oleh lelaki bernama Everhard
ini. Atau mungkin bisa lebih parah, Tuan Tanah Comyn sendiri patut disalahkan
atas derita Adrienne. Hawk mengutuk kemungkinan itu, sebab itu bisa mengobarkan
perang antar klan. Hal yang tentu saja mengerikan, tapi untuk membalaskan
dendam istrinya – ia bersedia melakukan apa saja. “Siapa si Ever-hard ini?”
Pertanyaan itu sudah menggerogotinya sejak nama itu pertama kali terucap di
bibir istrinya yang sedang menggigil kesakitan.
Grimm menghela
napas. “Tak ada yang tahu. Tak seorangpun pernah mendengar tentangnya.”
Hawk mengutuk
diam-diam. Jadi, Comyn sedang menyimpan rahasia? “Bicara.” Perintah
Hawk.
Grimm menghela
napas. “Ia mengira ia datang dari masa depan.”
“Aku tahu
Adrienne mengira begitu,” Hawk menukas tak sabar. “Aku mengirimmu ke sana untuk
mencari tahu apa yang dikatakan Lady Comyn.”
“Itu maksudku,”
Grimm menjawab dengan datar. “Lady Comyn pikir Adrienne datang dari masa
depan.”
“Apa?” Alis mata
Hawk terangkat. “Bicara apa kau, Grimm? Jadi Lady Comyn bilang bahwa Adrienne
bukan darah dagingnya?”
“Ya.”
Hawk
menghentakkan sepatunya ke lantai sehingga getaran yang kembali mengalir ke
tubuhnya terasa panas membara.
“Coba kuluruskan
Althea Comyn bilang padamu bahwa Adrienne bukan putrinya?”
“Betul.”
Tubuh Hawk
membeku. Ia sama sekali tidak mengira hal ini terjadi. Dari semua imajinasi
yang ia pikirkan tak sekalipun ia berpikir bahwa fantasi istrinya ini juga
dimiliki oleh ibunya. “Lalu menurut Lady Comyn, siapa gadis itu? Siapa yang aku
nikahi?”
“Ia tidak tahu.”
“Apa dia bisa
berpikir?” Pertanyaan Hawk penuh sindiran. “Bicara padaku, bung!”
“Tak ada lagi
yang bisa kukatakan, Hawk. Dan apa yang aku ketahui… semuanya aneh. Sama sekali
bukan yang aku kira. Cerita yang kudengar, Hawk, sangat menggugah kepercayaan
pada alam. Jika memang benar apa yang mereka katakan, aku tak tahu harus
mempercayai apa lagi.”
“Lady Comyn juga
memiliki delusi yang sama dengan putrinya,” Hawk terpana.
“Tidak, Hawk,
kecuali Athea Comyn dan ratusan orang lainnya sama-sama gila. Sebab banyak yang
melihat Adrienne muncul begitu saja. Aku bicara dengan belasan orang, dan
mereka semua menceritakan hal yang sama. Mereka sedang duduk menyantap makanan
saat tiba-tiba seorang gadis – Adrienne – muncul di pangkuan tuan tanah, entah
dari mana. Beberapa pelayan menyebutkan tukang sihir, tapi kemudian buru-buru
dibungkam. Seperti sang tuan tanah menganggapnya karunia dari malaikat. Lady
Comyn berkata bahwa ia melihat sesuatu jatuh dari genggaman perempuan
berpakaian aneh itu, dan berusaha menembus kepanikan untuk mengambil benda itu.
Itu adalah bidak catur Menteri Hitam yang ia berikan padaku saat pernikahan,
yang kemudian kuberikan padamu saat kita sampai kemari.”
“Kenapa ia
mengirimnya padaku,” Hawk mengusap dagunya.
“Menurut Lady
Comyn mungkin benda itu bisa berguna nanti. Ia kira bidak catur itu berisi
sihir.”
“Jika demikian,
pasti itu caranya melintasi,” – ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan
kalimatnya. Ia sudah pernah melihat banyak hal mencengangkan dalam hidupnya,
dan bukan orang yang sama sekali tak percaya hal gaib – apa gunanya ia
dibesarkan untuk percaya pada kurcaci? Tapi tetap saja…
“Caranya
melintasi waktu,” Grimm menyelesaikan kelimatnya.
Kedua lelaki itu
saling pandang.
Hawk
menggelengkan kepalanya. “Menurutmu…?”
“Kau pikir
begitu?”
Mereka saling
pandang sekali lagi. Lalu memandang ke arah api.
“Tidak,” mereka
berseru bersamaan, sambil mengamati nyala api dengan saksama.
“Ia memang tampak
tidak biasa, bukan?” Grimm akhirnya berkata. “Maksudku, kecerdasannya tidak
wajar. Cantik. Dan pintar, ah cerita yang ia ceritakan padaku dalam perjalanan
dari Benteng Comyn. Ia terlalu kuat untuk ukuran seorang perempuan. Dan ia
menyebutkan hal-hal aneh. Kadang-kadang – aku tak tahu apakah kau juga
memperhatikannya – aksennya seperti timbul tenggelam.”
Hawk mendengus.
Ia juga memperhatikan hal itu. Aksen bicaranya lenyap saat ia sedang terbaring
sakit terkena racun, dan Adrienne bicara dengan aksen yang sama sekali belum
pernah ia dengar.
Grimm melanjutkan
berbicara, tapi lebih seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Perrempuan
seperti itu bisa membuat lelaki…” Ia terdiam dan menatap tajam ke arah Hawk.
Lalu berdehem. “Lady Comyn mengenali putrinya sendiri, Hawk. Sendiri di
sini adalah kata kuncinya. Beberapa pelayan mengkonfirmasi bahwa Janet yang
asli tewas. Gosipnya adalah ia tewas di tangan ayahnya sendiri. Lalu ia harus
menikahkan seseorang padamu. Lady Comyn bilang klan mereka tak akan pernah
membeberkan kejadian sesungguhnya.”
“Kukira tidak,”
Hawk mendengus.” Jika semua ini benar, dan bukan berarti aku bilang
seperti itu, tapi Clan Comyn tahu bahwa Raja James akan menghancurkan klan kami
berdua untuk hal seperti ini.” Hawk memikirkan hal ini selama beberapa saat, lalu
mengabaikannya sebagai sesuatu yang tak perlu dipikirkan. Keluarga Comyn akan
bersumpah bahwa Adrienne adalah Janet, seperti halnya seluruh lelaki di klan
Douglas, jika kabar ini sampai ke telinga Raja Edinburgh, sebab kelangsungan
hidup kedua klan tergantung darinya. Setidaknya Hawk bisa mengandalkan
kesetiaan untuk hal yang satu ini dari Comyn yang egois.
“Apa yang
dikatakan oleh tuan tanah sendiri, Grimm?”
“Tak sepatah
katapun. Ia tak menerima ataupun menyangkal bahwa ia adalah putrinya. Tapi aku
bicara dengan pendeta keluarga Comyn, yang menceritakan hal yang sama seperti
yang dikatakan Lady Comyn. Saat itu ia sedang menyalakan lilin untuk berdoa
bagi jiwa almarhumah Janer,” Grimm menambahkan. “Jadi, jika memang ada delusi
di Benteng Comyn, maka delusi yang ada bersifat massal dan sangat terinci,
kawan.”
Hawk bangkit dan
bergegas menuju mejanya. Ia membuka kotak kayu berukir dan mengambil bidak
catur itu dari dalamnya. Ia menggulirkannya di dalam genggamannya, mengamatinya
dengan saksama.
Saat ia mengangkat
matanya, tatapan sekelam malam, lebih dalam dari danau dan seakan tak
terselami. “Lady Comyn percaya benda ini yang membawanya ke sini?”
Grimm mengangguk.
“Artinya benda
ini juga bisa membawanya pergi?”
Grimm mengangkat
bahunya. “Lady Comyn bilang Adrienne tak mengingatnya. Apakah ia pernah
membahasnya denganmu?”
Hawk
menggelengkan kepala dan terlihat sedang memikirkan sesuatu, pertama-tama
tentang bidak catur hitam itu dan kemudian tentang nyala api yang sedang
berkobar.
Grimm menatap
mata Hawk, dan Hawk menyadari tak akan ada ucapan celaan atau bahkan bisikan
untuk hal itu, bahkan jika ia memilih untuk melakukannya.
“Kau percaya?”
Grimm bertanya dengan lembut.
***
Hawk duduk di
depan perapian cukup lama setelah Grimm meninggalkannya, masih merasa tak
percaya. Walaupun Hawk adalah orang yang kreatif, ia juga adalah orang yang
penuh logika. Perjalanan menembus waktu adalah hal yang tidak masuk akal
baginya.
Ia percaya
keberadaan banshee, yang memperingatkan akan adanya kematian atau
kehancuran. Ia percaya kepada para Druid ebagai ahli kimia dan pelaku ilmu yang
aneh. Semasa kecil ia selalu di wanti-wanti akan keberadaan kelpie, yang
hidup di dalam kedalaman danau dan memikat anak-anak nakal hingga mati
tenggelam.
Tapi perjalanan
melintasi waktu?
Lagipula, ia
berujar dalam hati sambil memasukkan bidak catur tersebut ke dalam sporrannya,
masih adal hal lain yang lebih mendesak. Seperti misalnya si pandai besi. Dan
istrinya yang keras hati, dan di bibir istrinya itu, nama si pandai besi sudah
terlalu sering terucap.
Kelak akan ada
banyak waktu untuk mengungkap seluruh rahasia Adrienne, dan memahami delusi
massal yang terjadi di Benteng Comyn. Tapi sekarang, yang paling penting adalah
membuat Adrienne benar-benar menjadi istrinya. Jika itu sudah terpenuhi, barulah
ia bisa khawatir tentang masalah lainnya. Dan jika itu sudah bisa teratasi, ia
akan bisa menyingkirkan semua berita merisaukan yang dibawa oleh Grimm, seperti
halnya ia menyingkirkan bidak catur ini.
Rencana bagaimana
ia akan menggoda istrinya seakan menggantikan semua rasa khawatir. Dengan
seulas senyum tyang berbahaya dan tekad bulat, Hawk berlalu mencari Adrienne.
***
BAB 13
Adrienne berjalan
dengan gelisah, benaknya berputar. Tidur siangnya yang sejenak di bawah sinar
matahari tak berhasil mengusir pikirannya yang kacau. Pikiran seberapa mampu,
bahkan seberapa inginnya Hawk menghadirkan bayi-bayi untuk mengisi kamar sial
itu.
Secara naluriah
ia menghindari bagian ujung utara dari kebun istana, tak ingin bertemu dengan
sang pandai besi dan imaji-imaji merisaukan saat ia masih sakit yang masih
bercokol di benaknya.
Ia berjalan ke
arah selatan, terpanggil oleh kilau pantulan cahaya mentari ke atas atap kaca
juga atas rasa ingin tahu yang mendalam. Orangorang ini bukan orang barbar,
pikirnya. Dan jika ia tidak salah, ia sedang berjalan tepat menuju rumah kaca.
Betapa cemerlangnya benak yang membangun Dalkeith-Upon-the-Sea. Tak bisa
ditembus dari ujung sebelah barat karena adanya jurang yang sangat curam ke
laut ganas. Di sebelah utara, selatan dan timur, benteng ini terlindungi oleh
dinding yang sangat besar setinggi 21-24 meter. Betapa anehnya bahwa benak yang
sama yang merancang Dalkeith sebagai benteng pertahanan, membuatnya sekaligus
tampak indah. Sebuah alam pikiran seorang pria yang sangat kompleks, yang
memikirkan segala kebutuhan saat berperang, tapi juga memikirkan saat-saat
damai.
Hati-hati, kau
tampaknya mulai tertarik?
Saat Adrienne
mencapai rumah kaca, ia mendapati bahwa rumah kaca tersebut terhubungkan dengan
sebuah menara baru melingkar. Saat ia dulu menghabiskan berjam-jam berselancar
di internet, ia selalu tertarik kepada hal-hal yang berhubungan dengan abad
pertengahan. Apakah itu kandang burung? Rajawali. Tempat mereka menampung dan
melatih burung-burung rajawali untuk berburu.
Terterik oleh
adanya hewan dan merindukan Moonshadow sampai dadanya terasa sakit, Adrienne
mendekati bangunan batu tersebut. Apa maksud Hawk saat berkata tentang
memperlakukannya seperti salah satu burung rajawali miliknya? Lebih baik ia
mencari tahu sendiri, agar ia bisa menghindarinya lain kali.
Bangunan itu
tinggi dan memeutar, dan hanya memiliki satu jendela, yang bisa ditutup. Ia
pernah membaca, itu ada hubungannya dengan kegelapan. Penasaran, ia mendekati
pintu besar di hadapannya dan mendorongnya hingga terbuka dan diam-diam
menutupnya kembali setelah ia masuk, berhati-hati agar tak ada burung yang
kabur. Ia tak ingin memberi Hawk alasan untuk menghukumnya lagi.
Perlahan-lahan
matanya terbiasa dengan suasana suram dan ia bisa melihat beberapa tempat
bertengger yang kosong di bawah sinar yang redup. Ah ini bukan sangkar, tapi
tempat melatih. Adrienne mencoba mengingat cara para pelatih zaman dahulu
melatih burung pemangsa piaraannya untuk berburu.
Tempat itu
beraroma bunga lavender dan rempah, bebauan dari rumah kaca yeng tertempel di
sampingnya meresap ke dalam dinding batu. Tempat yang sangat tenang. Oh, betapa
mudahnya ia akan terbiasa tak lagi mendengar suara lalu lintas; tak lagi harus
berjalan dengan hati-hati; tak perlu melihat New Orleans lagi – berhenti dari
semua pelarian dan persembunyian penuh rasa takut.
Dinding tempat
itu terasa sejuk dan bersih, tidak seperti dinding batu penjara New Orleans
tempat ia pernah dikurung.
Adrienne
bergidik. Ia tak akan pernah lupa kejadian malam itu.
Perkelahian itu
terjadi karena perjalanan ke Acapulco. Adrienne tak ingin pergi. Eberhard
memaksanya untuk ikut. “Kalau begitu pergilah bersamaku,” Adrienne berkata.
Eberhard ia ia terlalu sibuk dan tak bisa cuti.
“Apa gunanya
uangmu jika kau tak bisa menikmati hidup?” Adrienne bertanya.
Eberhard tak
berkata apa-apa, ia hanya menatap Adrienne dengan pandangan kecewa, dan membuat
Adrienne merasa canggung bagaikan seorang anak yatim yang tak diinginkan.
“Kenapa kau
selalu menyuruhku pergi berlibur sendirian?” Adrienne bertanya, mencoba
terdengar dewasa dan santai, tapi pertanyaannya berakhir dengan nada sedih.
“Berapa kali
harus kujulaskan padamu? Aku sedang mencoba mendidikmu, Adrienne. Jika kau
anggap mudah untuk mendidik seorang anak yatim piatu yang belum pernah mengecap
kehidupan sosialita untuk menjadi istriku, maka kau salah. Istriku harus
berbudaya, canggih, Eropa – ”
“Jangan kirim aku
ke Paris lagi,” Adrienne buru-buru menukas. :”Terakhir aku di sana, hujannya
tak berhenti berminggu-minggu.”
“Jangan pototng
kalimatku lagi, Adrienne.” Nada suaranya terdengar tenang; terlalu tenang dan
diatur.
“Tak bisakah kau
pergi bersamaku – sekali saja?”
“Adrienne!”
Adrienne
mematung, merasa bodoh dan bersalah, meskipun ia tahu permintaannya itu masuk
akal. Terkadang ia merasa Eberhard tak menginginkan dirinya ada di dekatnya,
tapi itu tak masuk akal – sebab Eberhard akan menikahinya. Ia sedang
mempersiapkan Adrienne untuk menjadi istrinya.
Tapi tetap saja
ia merasa ragu…
Setelah bepergian
ke Rio terakhir kali, ia kembali dan mendengar kabar dari teman-teman lamanya
di Blind Lemon bahwa Eberhard jarang terlihat di kantornya – tapi ia pernah
terlihat mengendarai mobil Porschenya yang mulus dengan seorang gadis berambut
coklat yang sama mulusnya. Secercah rasa cemburu merebak. “Lagipula, kudengar
kau tak bekerja terlalu keras saat aku pergi,” Adrienne menggumam.
Perkelahian pun
dimulai dari sana, memuncak sampai Eberhard melakukan sesuatu yang membuat
Adrienne tercengang dan begitu ketakutan sampai ia melarikan diri ke malam New
Orleans yang panas.
Eberhard
memukulnya. Dengan kuat. Dan sebab Adrienne terdiam karena rasa terkejutnya –
ia melakukannya lebih dari satu kali.
Adrienne berlari
ke arah mobil Mercedes yang diberikan Eberhard untuknya sambil menangis. Ia
menginjak pedal gas dan mobil itu melesat ke depan. Ia mengemudikannya dengan
membabi buta, dengan mode kemudi otomatis, air matanya yang ternoda pemulas
matanya bercucuran menodai setelan berwarna krem yang dipilihkan Eberhard untuk
ia kenakan malam itu.
Saat polisi menghentikannya,
dengan dakwaan mengemudi melebihi kecepatan 160 km/jam. Adrienne menyadari
mereka berbohong. Petugas polisi ini adalah teman Eberhard. Mungkin ia
menelepon mereka saat Adrienne meninggalkan rumahnya; Eberhard tahu rute yang
selalu Adrienne tempuh.
Adrienne berdiri
di luar mobil dengan para petugas polisi, dengan wajah memar dan bengkak, bibir
yang berdarah, menangis dan meminta maaf dengan suara yang hampir histeris.
Adrienne baru menyadari setelahnya bahwa tak
ada satupun petugas polisi itu yang menanyakan apa yang terjadi pada wajahnya.
Mereka menginterogasi wanita yang jelas-jelas dipukuli tanpa sebersitpun rasa
peduli.
Saat mereka
memborgol Adrienne, membawanya ke
stasiun polisi dan menelepon Eberhard, Adrienne samasekali tak terkejut saat
mereka meletakkan telepon, menatapnya dengan iba, dan menyeretnya ke kurungan.
Tiga hari lamanya
ia habiskan di tempat neraka itu, hanya agar maksud Eberhard memberi pelajaran
padanya, tercapai.
Malam itulah
Adrienne menyadari batepa berbahayanya Eberhard.
Di dalam sejuknya sangkar burung ini, Adrienne
memeluk dirinya sendiri, mencoba sekuat tenaga mengusir bayangan seorang lelaki
tampan bernama Eberhard Darrow Garrett dan seorang wanita bodoh yang
menghabiskan hidupnya dalam kesepian dan kungkungan panti asuhan. Ia memang
sasaran empuk. Lihatlah si kecil Arie-Annie yang yatim piatu.Si bodoh milik
Eberhard. Di mana ia pernah mendengar ejekan itu? Di kapal Yacht milik
Rupert, saat mereka mengira Adrienne tidak mendengarnya karena turun ke bawah
mengambil minuman. Tubuhnya gemetar. Aku tak akan pernah lagi menjadi si
bodoh milik lelaki manapun.
“Tak akan pernah.”
Ia bersumpah, mengucapkannya dengan lantang. Adrienne menggelengkan kepalanya
mencoba menyingkirkan kenangan menyakitkan di benaknya.
Pintu
sekonyong-konyong terbuka, cahaya matahari yang benderang masuk. Lalu pintu
tertutup kembali dan kegelapan kembali menyelimuti.
Adrienne
mematung, ia memeluk dirinya sendiri, dan memaksa degup jantungnya agar menjadi
tenang. Ia sudah pernah menghadapi hal ini. Bersembunyi, menanti, terlalu takut
bahkan untuk menarik napas mencegah agar si pemburu tak mengetahui lokasinya.
Betapa ia berlari dan bersembunyi! Tapi tak ada tempat bernaung, sampai
akhirnya ia menemukan tempat bersembunyi di Seattle, yang menyimpan banyak
sekali neraka gelap di setiap kelokan jalan antara New Orleans dan Pasifik
Northwest.
Kenangan buruk
siap menelannya saat tiba-tiba terdengar suara nyanyian memecah kesunyian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar