David bisa melihat kemana arah pembicaraan mereka dan berdiri untuk menengahi. Sebelum ia berdiri penuh, ia mendengar pemuda itu membalas, “Seorang lady, katamu? Beritanya sudah menyebar sekarang. Semua orang di kota tahu kalau anak perempuanmu anak haram dari koboi yang baru saja datang ke kota ini dan menikahimu enam tahun terlalu lambat. Aku tidak melihat seorang lady, hanya wanita yang menganggap dirinya terlalu tinggi untuk pria mana pun yang sanggup membayar harganya. Hell, bahkan bajumu pun tak senonoh, ketat sekali di dadamu sampai aku bisa melihat puncaknya.”
Ketika berjalan melewati pintu, David mendengar Brianna terkesiap akibat hinaan itu. Sekilas, David melihat kalau Brianna sedang meletakkan Daphne yang terlelap ke atas tumpukan jerami. Sekarang Brianna berdiri dengan kedua buntalannya yang menggembung tergeletak di samping kakinya. Tubuhnya yang ramping berdiri tegak penuh amarah, ia menghadapi penjaga istal itu dengan dagu terangkat tinggi yang membuat David khawatir lehernya akan keseleo. David berjalan ke samping Brianna, memandang pemuda penjaga istal itu. Ia menyibakkan dustar-nya untuk memperlihatkan Colt-nya, bertemu pandang dengan pemuda itu, yang berubah dari penuh permusuhan menjadi waspada dalam sekejap mata. Bau wiski tercium sampai ke hidung David.
“Lady ini istriku,” ujar David, menjaga suaranya
tetap datar. “Dia ingin membeli kuda dengan harga yang pantas. Seratus lima
puluh dolar terlalu mahal, dan kau tahu itu. Dengan uang sebanyak itu aku bisa
membeli tiga, bahkan mungkin empat ekor kuda yang biasa-biasa saja sampai yang
kualitasnya sedang.”
Wajah pekerja yang kurus dan berbaju lusuh itu langsung
memucat.
Kaget oleh suara David, Brianna berputar untuk memandang
pria itu, ekspresinya tak percaya. Dengan sekali lirik, David melihat kalau
ucapan pemuda itu benar. Udara dingin telah membuat puncak payudara Brianna
mengeras dan tercetak di bajunya. “Kau!” Sesaat, Brianna seakan-akan tak bisa
berkata-kata. “Apa yang kau…! Kau seharusnya tidur di hotel!”
“Atau begitulah yang kau kira.” David mengedipkan matanya,
yang menurutnya lebih bijaksana daripada cemberut. Ia tidak suka ketika orang
berkata akan melakukan ini tapi melakukan itu. “Jangan pernah meremehkan
lawanmu. Kau sendiri yang membuat dirimu mendapatkan kejutan tak menyenangkan ini.”
Mata si penjaga istal berpaling dari wajah David yang keras
ke pistol di pinggul David, dan telihat di dalam pakaiannya. Sambil menunjuk
dengan lemah ke arah kandang terdekat, ia membasahi bibirnya dan berhasil
berkata, “Yang satu ini kuda bagus.”
Cukup memandangnya sekali saja David tahu kalau hewan itu
memiliki punggung dan lutut yang lemah. Ia langsung menolaknya. Sadar Brianna
telah pindah ke belakang untuk melingkarkan tangan dengan protektif pada Daphne
yang terlelap, David merasakan emosinya memuncak. Wanita itu bersikap
seakan-akan ia penculik gila dan suka membunuh. Pikiran itu membuatnya marah.
Ia hidup dengan menjaga integritasnya, dan mengharapkan orang lain juga
melakukan hal yang sama. Selain gagal menepati ucapannya, Brianna juga bermaksud
untuk melakukan perjalanan yang bodoh. Kalau wanita itu mau membahayakan
dirinya sendiri, silakan saja, tapi lain halnya ketika melibatkan Daphne.
Mungkin Brianna tidak sadar seberbahaya apa tindakannya, tapi suasana hati
David sedang buruk saat ini untuk memikirkan kemungkinan itu.
Setelah dua kandang berikutnya, David memilih seekor kuda
yang terlihat bagus dengan bentuk tubuh yang jauh lebih elok. Dengan cepat ia
menegosiasikan harganya, namun tak lupa kalau pemilik istal itu adalah orang
baik dan akan menjadi pihak yang mengalami kerugian apabila ia menawar terlalu
rendah.
Setelah tawar-menawar selesai, David mulai memasang pelana
kuda tersebut berikut pelana kuda dan keledainya sendiri. Pada saat itu,
Brianna akhirnya sudah bisa mengeluarkan suara untuk protes.
“Karena sekarang kau sudah merusak rencanaku, Mr. Paxton,
aku tidak melihat ada gunanya kita pergi tengah malam begini. Kita bisa menunda
kegilaan ini hingga pagi dan berangkat ketika hari terang seperti orang
normal,” ujar Brianna.
Berdiri di seberang Brianna dengan Blue di antara mereka,
David memasang tali sanggurdi kuda itu dan memandang pengantinnya yang enggan
dengan tatapan membara. “Aku tak masalah dengan keputusanmu untuk pergi
malam-malam.”
“Tadinya perjalanan dengan menggunakan kuda adalah jalanku
satu-satunya, buka transportasi pilihanku. Kalau kau ingin membawa kami keluar
dari sini, sebaiknya kau menyewa kereta kuda agar tidak menyulitkan kami
berdua.”
Cahaya lentera menciptakan bayangan gelap di bawah tulang
pipi Brianna yang halus. Di bawah matanya yang hijau, terdapat lingkaran hitam
yang menunjukkan selelah apa wanita itu. David bisa melihat bagaimana letihnya
Brianna dan tidak berniat untuk mendorong wanita itu terlalu keras. Namun ia
tidak mau kembali ke hotel dan ragu kalau wanita ini mau tinggal di kota sampai
besok pagi. Brianna telah membuat keadaan menjadi tidak memungkinkan, dan
wanita itu harus menerima konsekuensinya. Sudah waktunya wanita ini belajar
kalau David Paxton mengucapkan apa yang dimaksudkannya dan melakukan apa yang
diucapkannya.
David menekan perut Blue dengan lututnya dan menyentakkan
talinya, lalu menjawab, “Aku akan membuat akomodasi senyaman mungkin untukmu
dan Daphne sepanjang perjalan kita.”
“Betapa murah hatinya dirimu!”
Sambil menurunkan sanggurdinya dan menepuk leher Blue, David
melemparkan senyum terpaksa kepada Brianna. “Aku tidak akan memberimu
kesempatan kedua untuk kabur. Kalau kau menghilang dari pandangnku, aku akan
melakukan apa pun untuk menemukanmu.”
Semburat rasa bersalah merayapi kedua pipi Brianna.
“Kita akan pergi malam ini,” ujar David dengan nada yang tak
bisa dibantah lagi. “Dan kita akan pergi dengan menunggang kuda sampai kau
menerima pernikahan ini. Kalau itu artinya kita harus menunggang kuda sampai ke
No Name, maka biarlah seperti itu. Aku tidak akan membawamu ke kota lain di
mana kau bisa mulai berteriak-teriak, mengatakan bahwa aku telah menculikmu dan
melaporkan kasusmu kepada hakim. Hak asuh putriku yang menjadi taruhannya.”
“Dia bukan putrimu!”
David menggigit bagian dalam pipinya. Ketika berhasil
menahan amarahnya, ia memandang langsung ke mata Brianna dan berkata, “Aku
sudah mendapat dokumen yang ditandatangani oleh seorang hakim yang berkata
sebaliknya. Aku bukan laki-laki yang gampang tersulut amarah, tapi kalau kau
mengatakan itu satu kali lagi, aku akan marah. Maksudku, benar-benar marah.
Silakan menggangguku sesukamu, tapi jangan pernah lagi mengatakan kalau Daphne
bukan anakku.”
“Bagaimana kalau aku menolak pergi beramamu?” tantang
Brianna.
David mengangkat bahunya. “Kalau begitu, aku akan membawa
anakku pergi. Aku tidak pernah bilang kau harus ikut. Tinggallah di sini kalau
kau mau. Kau bisa berhubungan dengan Daphne melalui surat, dan kapan pun kau
berubah pikiran, aku akan membayar ongkos perjalanmu ke Denver.”
Air mata membuat bulu mata Brianna yang gelap berkilauan,
bak jarum-jarum tajam yang membingkai matanya yang indah. “Kau tidak bisa
begitu saja membawa anakku,” serunya.
“Lihat saja,” David menepuk salah satu tasnya. “Hukum berada
di sisiku. Dokumen itu, yang ditandatangani dan distempel oleh hakim Afton,
menyatakan bahwa aku adalah suamimu dan ayah Daphne. Aku punya hak untuk
membawanya. Kau bisa ikut, atau kau bisa tinggal. Aku tak peduli mana yang kau
pilih.”
***
Brianna hampir tak bisa menahan kemarahannya. Tidak tahu
makian mana yang harus diteriakkannya lebih dulu, akhirnya ia berkata, “Seorang
suami yang baik pasti sudah memukul si penjaga istal tadi karena menghina
istrinya dengan ucapan yang keji seperti itu!”
David menyetujui ucapan istrinya dengan anggukan. “Seorang
istri yang baik tidak akan pernah menempatkan dirinya dalam posisi yang
memungkinkannya menerima ucapan tadi. Memangnya kau berharap apa yang akan
dipikirkannya, melihat kau muncul tengah malam untuk menyewa kuda tanpa
suamimu? Dia memang kelewat batas, tapi dari baunya, dia baru saja minum.
Alkohol membuat otak menjadi kacau. Ditambah lagi, aku yakin kabar tentang
pengumuman Daphne malam ini sudah menyebar ke seluruh penjuru kota seperti api
di padang rumput.” Dengan lambat David memandang Brianna dari atas ke bawah,
yang diikuti oleh seringai kurang ajar yang ia sengaja. “Wanita mana pun yang
memakai baju seperti itu, yang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya dengan
sangat jelas, harus siap menerima perhatian yang tidak diinginkan dari lawan
jenisnya.” Ia mengangkat satu bahunya. “Kalau dia bertindak lebih jauh aku
pasti sudah akan maju, tapi aku tidak berniat meninju pemuda mabuk hanya karena
melihat dan mencoba mencicipi.”
Pipi Brianna memanas. Ia sadar kalau tubuhnya sudah semakin
dewasa sejak baju itu dibuat bertahun-tahun yang lalu. Selama bekerja pada Ricker,
ia telah membongkar jahitannya untuk mengakomodasi dadanya yang membesar, tapi
itu tidak banyak membantu, dan kain yang ditambahkannya ke jahitan itu selama
ia bekerja untuk Abigail hanya membuat ketiak bajunya semakin berkerut dan
bukannya menyelesaikan masalah. Ia memandang mantelnya, yang membungkus Daphne
untuk melindungi anak itu dari udara malam. Sebenarnya, ia bisa saja
menggunakan salah satu selimut mereka untuk membungkus Daphne, tapi
selimut-selimutnya sudah dimasukkan ke dalam sarung bantal. Syalnya juga sudah
dimasukkan, dan ia terlalu terburu-buru untuk mencarinya.
David berjalan ke salah satu tasnya yang sekarang sudah
dipasang di atas keledai, mengangkat tutupnya dan menarik jaket berbahan denim
berlapis kain flanel di bagian dalamnya, yang dilemparnya kepada Brianna tanpa
poenjelasan apa pun. Bersyukur atas kehangatan dan selubung yang ditawarkan
jaket itu, Brianna mendorong tangannya ke dalam lengan jaket, dan berusaha
dengan jari-jari yang mulai mata rasa akibat kedinginan untuk mengancingkannya.
Setelah tubuhnya tertutup, Brianna menyaksikan David Paxton menambahkan tasnya
ke dalam tumpukan beban yang dibawa keledai itu lalu memeriksa keseimbangan
bawaannya.
Ikut atau tinggal, kata David tadi. Dinilai dari
situasi saat ini, Brianna memutuskan untuk menunda pertengkaran mereka di lain
waktu. Ia tidak mungkinmenang melawan laki-laki yang lebih berat sekitar empat
puluh kilogram darinya, dengan setiap jengkal tubuh laki-laki itu tertutup oleh
otot yang keras. David juga punya pistol dan belati berburu serta sepucuk
senapan yang tergantung di pelana, ditambah sebuah dokumen di tas, yang
menyatakan ia dan anaknya sebagai milik pria itu. Dari sudut pandangnya,
pilihannya hanya sedikit –itu juga kalau ia punya pilihan.
Paling tidak untuk malam ini ia akan menurut dan pergi
dengan David, tapi di sepanjang perjalanan ia akan mencari kesempatan untuk
kabur. Ia tidak akan, di bawah keadaan apa pun, tinggal di sini. Ia tidak bisa
dipisahkan dari Daphne.
Setelah sepanjang enam tahun menjauhi kuda, ketakuta Brianna
terhadap hewan besar itu tidak pernah hilang. Mengabaikan David, yang masih
sibuk dengan barang bawaannya, Brianna mempertimbangkan kemungkinan yang
menakutkan bahwa ia harus menunggangi salah satu makhluk mengerikan itu.
Setelah usaha pertamanya, dan terakhir kalinya, untuk menaiki hewan besar itu
berakhir dengan kakinya yang pincang dan bahu yang tak bisa digunakan
berhari-hari karena digigit, ia tidak menyukai kemungkinan harus mencobanya
lagi. Terutama di hadapan David Paxton. Dengan takut-takut, Brianna memaksa
dirinya untuk mendekati kuda yang sudah dipasangi pelana itu. Kuda oitu
mendorongnya dengan cara yang bersahabat, mengusir sebagian keraguannya dan
meninggalkan noda basah di lengan jaketnya.
Sambil mengingat cara berkuda yang pernah dilihatnya,
Brianna meyakinkan dirinya kalau ia bisa melakukan ini. Kelihatannya sanggurdi
itu tergantung terlalu rendah untuknya. Jadi dengan cepat ia menaikinya. Pada
saat David muncul di belakangnya, ia telah menaikkan kedua pijakan kaki di kuda
itu ke ketinggian yang dirasanya tepat.
Sambil mengingat cara berkuda yang pernah dilihatnya,
Brianna meyakinkan dirinya kalau ia bisa melakujkan ini. Kelihatannya sanggurdi
itu tergantung terlalu rendah untuknya, jadi dengan cepat ia menaikkannya. Pada
saat David muncul di belakangnya, ia telah menaikkan kedua pijakan kaki di kuda
itu ke ketinggian yang dirasahya tepat.
“Daphne akan ikut bersamaku,” kata David. Lalu, sambil
menusuk Brianna dengan mata biru tajam itu, ia bertanya, “Kau pernah naik kuda?
Kalau belum pernah, bilang dari sekarang. Aku tidak mau kau jatuh dan terluka.”
Brianna sudah terlalu lama menderita akibat keangkuhan David
untuk mau mengakui yang sebenarnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Ia berputar,
memegang tanduk yang ada di pelananya, dan melompat-lompat dengan satu kaki
sementara berusaha, dengan gagal, untuk mengangkat kakinya yang satu lagi agar
bisa masuk ke sanggurdinya. Ia sudah sering melihat para pria di Glori Ridge
menaiki kuda mereka dengan mudah. Bagaimana mereka bisa melakukannya, ia tidak
tahu. “Aku tinggal di Colorado selama bertahun-tahun, Sir.”
David memiringkan badannya ke depan untuk melihat sanggurdi
kiri dari balik bahu Brianna. “Apa kau yang melakukannya?” tanya David.
“Melakukan apa?”
“Mengatur sanggurdinya setinggi itu? Aku yakin aku tidak
memasangnya seperti itu.”
“Kau memasangnya terlalu rendah untukku.”
“Sial, dengan sanggurdi setinggi itu, lututmu bisa terluka.”
“Bisakah kau berusaha lebih keras untuk menjaga lidahmu,
Sir?”
Brianna mendengar David mendengus. David mendorongnya ke
samping untuk mengatur kembali posisi sanggurdinya. Ketika berjalan ke sisi
yang satu lagi, David mengirim tatapan setajam pisau dari bawah tepian topi
pria itu yang gelap. Bahkan hanya dengan cahaya dari sebuah lampu minyak di
kandang, Brianna bisa meloihat otot-otot di rahang David berkontraksi dan
merasakan kecaman di mata pria itu. Segala sesuatu tentang David Paxton
membuatnya tidak nyaman. Ia kesulitan untuk berpikir jernih.
“Oke, begini caranya. Saat kau naik ke atas kuda ini, kau
harus berpegangan pada tanduk pelana dan berkonsentrasilah agar kau tetap
menunduk stabil. Aku tidak peduli apa yang terjadi. Pokoknya, tetaplah duduk
dan biarkan kuda ini melakukan sisanya. Kuda adalah binatang yang berkelompok.
Dia akan mengikuti Blue Boy dan Lucy. Kau tidak perlu khawatir.”
“Apa maksudmu aku tidak tahu bagaimana caranya menunggang
hewan ini?”
Bibir David yang tegas tertarik. Saat itu juga Brianna tak
bisa lagi mengabaikan fakta bahwa pria itu mungkin akan sangat tampan kalau
sedikit dibersihkan. Di dalam krpalanya ia membayangkan David menganakan
setelah jahitan tangan dari kain wol, sementara topi fedora bertengger di
kepala pria itu. Dan dengan rambut yang dipotong, tentu saja. Rambut panjang
itu membuat David terlihat seperti penjahat.
“Aku tidak punya maksud apa pun. Setelah mengenalku, kau
akan tahu kalau aku tidak pernah menyindir. Aku mengatakan apa yang kupikirkan,
dan sekarang ini, aku berpikir kau sama sekali tidak punya pengalaman
menunggang kuda.” David memutari hewan itu, berdiri di bagian depan untuk
mengatur kembali posisi sanggurdinya, lalu membengkokkan lututnya untuk
menjalin kedua tangannya sehingga membentuk mangkuk. “Injaklah.”
Brianna menaikkan kaki kanannya. David mengembuskan napas
dengan keras. “Shit. Dengan kaki kirimu, Shamrock. Kau tidak bisa naik
dengan cara seperti itu. Secara fisik tidak akan mungkin, kecuali pantatmu
duluan yang menyentuh pelana dan kau mau terjatuh ke belakang.”
Brianna tidak pernah merasa begitu dipermalukan dalam
hidupnya. Ia tahu ia harus menggunakan kaki kirinya. Hanya saja David
membuatnya takut sehingga ia membuat kesalahan bodoh. “Kau, Sir, punya mulut
paling kotor yang pernah kutemui.”
“Karena aku mengatakan shit?”
Brianna mengernyit. Apakah David Paxton tidak tahu bagaimana
kasarnya kata itu? David juga telah berkata pantat. Brianna mengangkat
kaki kirinya ke atas tangan David. Dengan dorongan bahu dan tangannya, David
mengangkatnya dengan mudah, lalu tangan pria itu memegang sikunya agar tubuhnya
tidak bergoyang ketika ia menarik turun roknya yang terangkat untuk
menyembunyikan lututnya. Rasa takut mengalahkan kesopanan ketika ia sadar
dirinya sudah duduk mengangkang di atas kuda. Dari posisinya di atas pelana,
Brianna merasa paling tidak dirinya berjarak satu kilometer dari tanah, dan
dibawah tubuhnya yang gemetar, ia bisa merasakan kekuatan tak terbatas dari
kuda itu, yang tak henti-hentinya menoleh ke belakang dengan gugup.
“Aku tidak percaya kata shit membuatmu kesal,” gumam
David. “Di tempat asalku, kami bejalan di atasnya, kami menyekopnya, dan kami
menggunakannya untuk menyuburkan kebun kami. Bfahkan, ketika aku bangun pagi,
akupun mengeluarkannya. Kata canggih apa yang kau gunakan untuk itu?”
Brianna berusaha untuk tenang. Bayangan melakukan perjalanan
meninggalkan lingkungan aman Glory Ridge dengan pria kasar dan berlidah kotor
ini membuatnya tegang, bahkan lebih dari yang diakibatkan hewan besar di
bawahnya. “Kotoran,” semburnya.
“Apa?”
“Dalam masyarakat yang sopan, benda itu disebut kotoran atau
fases. Dan ketika pagi-pagi seseorang sakit perut, mereka menyebutnya sebagai ‘panggilan
alam’ atau ‘buang air besar’.” Brianna menggigil dang menggelengkan kepalanya
dengan pelan. “Aku tidak mengerti kita bisa terlibat dalam percakapan yang
memalukan ini.”
“Kuanggap kau tidak suka pembicaraan ini. Well,
sayang sekali. Di tempat asalku, bahkan para lady tidak mengernyit
mendengar kata shit.
“Well, Sir, wanita seperti itu bukan lady yang
sesungguhnya.”
“Itu menurutmu, bukan menurutku.”
Brianna tersentak dan hampir terjatuh dari pelana ketika David
membawa kudanya maju tiga langkah ke depan. Mengikuti saran David, ia memegang
tanduk pelana agar tidak jatuh.
David berhenti, mendorong topinya ke belakang, dan memandang
Brianna dengan sorot tidak percaya. “Satu-satunya hal positif tentang
perjalanan ini adalah minimal kau sepertinya tidak takut pada kuda.”
“Apakah takut kuda merupakan hal buruk?” tanya Brianna
dengan suara pelan.
“Tentu aja. Kuda bisa mendeteksi rasa takut, dan itu membuat
mereka ikutan takut.”
Cengkraman Brianna di tanduk pelana semakin kuat
sampai-sampai buku jarinya sakit. “Sungguh? Kuda bisa merasakan kalau kita
takut pada mereka? Apa… apa yang mereka lakukan kalau mereka pikir kita takut?”
“Sialan. Kkau takut. Kau takut setengah mati berada di di
atas kuda iktu, kan?”
Brianna memandang dengan gugup ke arah tanah, yang tidak
terlihat lebih dekat dari beberapa detik lalu. “Ini terasa agak tidak nyaman.”
“Hanya penasaran saja, apakah kau berbohong tentang segala
hal, Mrs. Paxton? Aku sudah mendengar ada orang-orang yang lebih baik berbohong
deripada mengatakan yang sebenarnya, tapi kau benar-benar juaranya. Kau bilang
kau bisa menunggang kuda, tapi sekarang ketahuan, bahkan kau tidak pernah
berada di punggung kuda.”
“Aku sanggup melakukan banyak hal yang sebenarnya belum
pernah kucoba, Sir. Itu namanya bukan berbohong… mengatakan aku tahu bagaimana
melakukan sesuatu ketika aku sudah pernah melihat orang melakukannya dan merasa
bahwa aku bisa.”
David mendesah dan tangannya menggaruk bagian belakang telinga
kuda itu. “Oke. Dengarkan. Selama kau ada di atas sana, pikirkan tentang sesuatu
yang menyenangkan. Itu akan membantu untuk menyingkirkan rasa takutmu.”
Hal kesukaan Brianna adalah mencelupkan sepotong soklat ke
dalam the panas dan mengisap bagiannya yang meleleh. Tapi mengingat rasa
sesuatu yang belum dinikmatinya selama lebih
dari tiga bulan tidak akan bisa menenangkan perutnya yang tegang. “Baiklah,” ia
setuju. “Aku akan melakukannya.”
David melingkarkan tali kekang kuda itu ke sekitar tanduk
pelananya lalu pergi untuk mengambil kuda dan keledainya serta Daphne. Brianna
seudah sering melihat para lelaki berkuda di Coloradoo dan tahu mereka
mengarahkan kuda dengan tali kekang. Ia tidak suka berada di atas kuda tanpa
memiliki cara untuk memberitahu kemana kuda itu harus pergi, jadi ia memegang
tali kulit yang tipis itu dengan satu
tangannya. Kuda itu mendongakkan kepala dan Brianna melihat bagian putih
matanya.
Ketika David melihat Brianna memegang tali kekang, otot di
rahangnya berkedut. “Entah kau punya masalah, Mrs. Paxton, atau kau sengaja
mengabaikan sebagian besar yang kukatakan padamu.” David memandang Brianna lama
dengan tatapan yang tajam. “Untuk sekali saja dalam hidupmu, perhatikan
ucapanku dan lakukan seperti yang kukatakan. Kalau kau ingin memegang tali
kekang itu, kau harus melakukannya dengan benar.”
“Yang benar itu bagaimana?” tanya Brianna, suaranya
melengking cemas. Kuda itu tampak agak liar, dan ia yakin akan menggigitnya.
“Well, kalau kau tidak ingin dia melompat, longgarkan
peganganmu pada talinya. Percayalah ketika aku bilang kau tidak mau dilemparkan
oleh kuda itu, Jarakmu dari tanah cukup jauh. “David melihat Brianna
melonggarkan jari-jarinya di tali kekang. “Sedikit lagi. Kau harus membiarkannya
bersantai. Sekarang ini, kau menarik terlalu keras, sehingga dia tidak tahu
apakah dia harus buang hajat atau berlari.”
***
Bab 8
Ketika keluar dari istal, mereka disambut oleh cahaya bulan
yang bersinar lemah. Bau padang rumput dan bunga-bunga liar tersapu oleh angin
kencang hingga ke kota. David tersenyum melihat
rasa malu Brianna ketika roknya terangkat. Brianna begitu sibuk menutupi
kakinya sehingga ia hampir lupa akan rasa takutnya pada kuda. Yang bisa dilihat
David hanyalah stoking Brianna–dan, oke, juga tungkai serta pergelangan kakinya
yang bentuknya indah. Tapi wanita itu bersikap segugup perawan. David
memperbaiki posisi Daphne di lekukan tangan kanannya agar anak itu merasa
nyaman, senang akhirnya bisa melanjutkan perjalanan meskipun tubuhnya menjerit
minta beristirahat.
Dari balik bahunya, David berseru, “Tidak perlu gugup. Dia
tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Tebakanku kuda itu sekokoh batu.”
“Nyawaku mungkin tergantung pada tebakanmu, Sir. Bisakah kau
bersikap lebih sopan lagi dan meyakinkanku dengan kata-kata yang lebih pasti?”
Apakah wanita ini selalu berbicara seperti itu?
“Selama kau tetap bertahan di pelana, tidak ada yang perlu
kau khawatirkan,” kata David dengan keras karena angin membawa pergi suaranya.
“Dan bagaimana melakukannya, Sir?”
“Anggap saja kau duduk di kursi goyang. Berpeganglah dengan
kuat pada tanduk pelana, ikuti gerakannya dengan santai, dan tekan lututmu.”
David memandang dari bahunya, melihat usaha Brianna untuk
mengikuti sarannya. Brianna melepaskan satu tangannya dari tanduk pelana untuk mengelus
leher kuda itu dalam usahanya untuk berteman. Ketika Glory Ridge sudah berada
di belakang mereka, David berputar untuk berkuda di samping Brianna. Brianna
melemparkan tatapan cemas padanya.
“Kau bilang aku tidak perlu khawatir tentang tali kekang,
bahwa kudaku hanya akan mengikuti kudamu. Bagaimana dia bisa melakukan itu
kalau kau di sampingku?”
“Aku hanya berpikir mungkin ini waktu yang tepat untuk
sedikit pelajaran berkuda.”
“Oh, ya ampun,” gumam Briamna. Lalu dengan anggukan ia
berkata, “Baiklah. Silakan lanjutkan, Sir.”
“Namaku David.” Dan David pun memulai penjelasan tentang
teknik berkuda gaya Barat dan memperhatikan ketika Brianna melakukan
instruksinya, menghentikan kuda itu, mendorongnya agar berjalan, lalu mengarahkan
ke kiri dan ke kanan. “Bagus. Tak lama lagi kau akan menjadi horsewoman.”
“Aku meragukannya,” balas Brianna, tapi David mendengar nada
senang dalam suara wanita itu. “Menjadi seorang horsewoman bukan salah
satu cita-citaku.”
Bahkan dalam kegelapan, David melihat bagaimana kakunya
Brianna duduk di pelana ketika ia berada di samping wanita itu. David curiga
kalau ia mengulurkan tangannya, Brianna akan mengelak dan jatuh dari kuda.
Seakan-akan merasakan ketakutan penunggangnya, kuda itu mendengus dan memutar
kepalanya ke belakang untuk membaui kaki Brianna. Brianna menarik kakinya ke
belakang.
“Dia tidak akan menggigitmu. Kau bisa memercayainya.”
“Ada dua pesies yang tidak akan pernah kupercaya, Sir, dan
kuda adalah salah satunya.”
“Apa yang satunya lagi?”
“Laki-laki,” jawab Brianna datar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar