Senin, 28 Oktober 2024

Lucky Penny #9

David bisa melihat kemana arah pembicaraan mereka dan berdiri untuk menengahi. Sebelum ia berdiri penuh, ia mendengar pemuda itu membalas, “Seorang lady, katamu? Beritanya sudah menyebar sekarang. Semua orang di kota tahu kalau anak perempuanmu anak haram dari koboi yang baru saja datang ke kota ini dan menikahimu enam tahun terlalu lambat. Aku tidak melihat seorang lady, hanya wanita yang menganggap dirinya terlalu tinggi untuk pria mana pun yang sanggup membayar harganya. Hell, bahkan bajumu pun tak senonoh, ketat sekali di dadamu sampai aku bisa melihat puncaknya.”

Ketika berjalan melewati pintu, David mendengar Brianna terkesiap akibat hinaan itu. Sekilas, David melihat kalau Brianna sedang meletakkan Daphne yang terlelap ke atas tumpukan jerami. Sekarang Brianna berdiri dengan kedua buntalannya yang menggembung tergeletak di samping kakinya. Tubuhnya yang ramping berdiri tegak penuh amarah, ia menghadapi penjaga istal itu dengan dagu terangkat tinggi yang membuat David khawatir lehernya akan keseleo. David berjalan ke samping Brianna, memandang pemuda penjaga istal itu. Ia menyibakkan dustar-nya untuk memperlihatkan Colt-nya, bertemu pandang dengan pemuda itu, yang berubah dari penuh permusuhan menjadi waspada dalam sekejap mata. Bau wiski tercium sampai ke hidung David.

Lady ini istriku,” ujar David, menjaga suaranya tetap datar. “Dia ingin membeli kuda dengan harga yang pantas. Seratus lima puluh dolar terlalu mahal, dan kau tahu itu. Dengan uang sebanyak itu aku bisa membeli tiga, bahkan mungkin empat ekor kuda yang biasa-biasa saja sampai yang kualitasnya sedang.”

Wajah pekerja yang kurus dan berbaju lusuh itu langsung memucat.

Kaget oleh suara David, Brianna berputar untuk memandang pria itu, ekspresinya tak percaya. Dengan sekali lirik, David melihat kalau ucapan pemuda itu benar. Udara dingin telah membuat puncak payudara Brianna mengeras dan tercetak di bajunya. “Kau!” Sesaat, Brianna seakan-akan tak bisa berkata-kata. “Apa yang kau…! Kau seharusnya tidur di hotel!”

“Atau begitulah yang kau kira.” David mengedipkan matanya, yang menurutnya lebih bijaksana daripada cemberut. Ia tidak suka ketika orang berkata akan melakukan ini tapi melakukan itu. “Jangan pernah meremehkan lawanmu. Kau sendiri yang membuat dirimu mendapatkan kejutan tak menyenangkan ini.”

Mata si penjaga istal berpaling dari wajah David yang keras ke pistol di pinggul David, dan telihat di dalam pakaiannya. Sambil menunjuk dengan lemah ke arah kandang terdekat, ia membasahi bibirnya dan berhasil berkata, “Yang satu ini kuda bagus.”

Cukup memandangnya sekali saja David tahu kalau hewan itu memiliki punggung dan lutut yang lemah. Ia langsung menolaknya. Sadar Brianna telah pindah ke belakang untuk melingkarkan tangan dengan protektif pada Daphne yang terlelap, David merasakan emosinya memuncak. Wanita itu bersikap seakan-akan ia penculik gila dan suka membunuh. Pikiran itu membuatnya marah. Ia hidup dengan menjaga integritasnya, dan mengharapkan orang lain juga melakukan hal yang sama. Selain gagal menepati ucapannya, Brianna juga bermaksud untuk melakukan perjalanan yang bodoh. Kalau wanita itu mau membahayakan dirinya sendiri, silakan saja, tapi lain halnya ketika melibatkan Daphne. Mungkin Brianna tidak sadar seberbahaya apa tindakannya, tapi suasana hati David sedang buruk saat ini untuk memikirkan kemungkinan itu.

Setelah dua kandang berikutnya, David memilih seekor kuda yang terlihat bagus dengan bentuk tubuh yang jauh lebih elok. Dengan cepat ia menegosiasikan harganya, namun tak lupa kalau pemilik istal itu adalah orang baik dan akan menjadi pihak yang mengalami kerugian apabila ia menawar terlalu rendah.

Setelah tawar-menawar selesai, David mulai memasang pelana kuda tersebut berikut pelana kuda dan keledainya sendiri. Pada saat itu, Brianna akhirnya sudah bisa mengeluarkan suara untuk protes.

“Karena sekarang kau sudah merusak rencanaku, Mr. Paxton, aku tidak melihat ada gunanya kita pergi tengah malam begini. Kita bisa menunda kegilaan ini hingga pagi dan berangkat ketika hari terang seperti orang normal,” ujar Brianna.

Berdiri di seberang Brianna dengan Blue di antara mereka, David memasang tali sanggurdi kuda itu dan memandang pengantinnya yang enggan dengan tatapan membara. “Aku tak masalah dengan keputusanmu untuk pergi malam-malam.”

“Tadinya perjalanan dengan menggunakan kuda adalah jalanku satu-satunya, buka transportasi pilihanku. Kalau kau ingin membawa kami keluar dari sini, sebaiknya kau menyewa kereta kuda agar tidak menyulitkan kami berdua.”

Cahaya lentera menciptakan bayangan gelap di bawah tulang pipi Brianna yang halus. Di bawah matanya yang hijau, terdapat lingkaran hitam yang menunjukkan selelah apa wanita itu. David bisa melihat bagaimana letihnya Brianna dan tidak berniat untuk mendorong wanita itu terlalu keras. Namun ia tidak mau kembali ke hotel dan ragu kalau wanita ini mau tinggal di kota sampai besok pagi. Brianna telah membuat keadaan menjadi tidak memungkinkan, dan wanita itu harus menerima konsekuensinya. Sudah waktunya wanita ini belajar kalau David Paxton mengucapkan apa yang dimaksudkannya dan melakukan apa yang diucapkannya.

David menekan perut Blue dengan lututnya dan menyentakkan talinya, lalu menjawab, “Aku akan membuat akomodasi senyaman mungkin untukmu dan Daphne sepanjang perjalan kita.”

“Betapa murah hatinya dirimu!”

Sambil menurunkan sanggurdinya dan menepuk leher Blue, David melemparkan senyum terpaksa kepada Brianna. “Aku tidak akan memberimu kesempatan kedua untuk kabur. Kalau kau menghilang dari pandangnku, aku akan melakukan apa pun untuk menemukanmu.”

Semburat rasa bersalah merayapi kedua pipi Brianna.

“Kita akan pergi malam ini,” ujar David dengan nada yang tak bisa dibantah lagi. “Dan kita akan pergi dengan menunggang kuda sampai kau menerima pernikahan ini. Kalau itu artinya kita harus menunggang kuda sampai ke No Name, maka biarlah seperti itu. Aku tidak akan membawamu ke kota lain di mana kau bisa mulai berteriak-teriak, mengatakan bahwa aku telah menculikmu dan melaporkan kasusmu kepada hakim. Hak asuh putriku yang menjadi taruhannya.”

“Dia bukan putrimu!”

David menggigit bagian dalam pipinya. Ketika berhasil menahan amarahnya, ia memandang langsung ke mata Brianna dan berkata, “Aku sudah mendapat dokumen yang ditandatangani oleh seorang hakim yang berkata sebaliknya. Aku bukan laki-laki yang gampang tersulut amarah, tapi kalau kau mengatakan itu satu kali lagi, aku akan marah. Maksudku, benar-benar marah. Silakan menggangguku sesukamu, tapi jangan pernah lagi mengatakan kalau Daphne bukan anakku.”

“Bagaimana kalau aku menolak pergi beramamu?” tantang Brianna.

David mengangkat bahunya. “Kalau begitu, aku akan membawa anakku pergi. Aku tidak pernah bilang kau harus ikut. Tinggallah di sini kalau kau mau. Kau bisa berhubungan dengan Daphne melalui surat, dan kapan pun kau berubah pikiran, aku akan membayar ongkos perjalanmu ke Denver.”

Air mata membuat bulu mata Brianna yang gelap berkilauan, bak jarum-jarum tajam yang membingkai matanya yang indah. “Kau tidak bisa begitu saja membawa anakku,” serunya.

“Lihat saja,” David menepuk salah satu tasnya. “Hukum berada di sisiku. Dokumen itu, yang ditandatangani dan distempel oleh hakim Afton, menyatakan bahwa aku adalah suamimu dan ayah Daphne. Aku punya hak untuk membawanya. Kau bisa ikut, atau kau bisa tinggal. Aku tak peduli mana yang kau pilih.”

***

 

Brianna hampir tak bisa menahan kemarahannya. Tidak tahu makian mana yang harus diteriakkannya lebih dulu, akhirnya ia berkata, “Seorang suami yang baik pasti sudah memukul si penjaga istal tadi karena menghina istrinya dengan ucapan yang keji seperti itu!”

David menyetujui ucapan istrinya dengan anggukan. “Seorang istri yang baik tidak akan pernah menempatkan dirinya dalam posisi yang memungkinkannya menerima ucapan tadi. Memangnya kau berharap apa yang akan dipikirkannya, melihat kau muncul tengah malam untuk menyewa kuda tanpa suamimu? Dia memang kelewat batas, tapi dari baunya, dia baru saja minum. Alkohol membuat otak menjadi kacau. Ditambah lagi, aku yakin kabar tentang pengumuman Daphne malam ini sudah menyebar ke seluruh penjuru kota seperti api di padang rumput.” Dengan lambat David memandang Brianna dari atas ke bawah, yang diikuti oleh seringai kurang ajar yang ia sengaja. “Wanita mana pun yang memakai baju seperti itu, yang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya dengan sangat jelas, harus siap menerima perhatian yang tidak diinginkan dari lawan jenisnya.” Ia mengangkat satu bahunya. “Kalau dia bertindak lebih jauh aku pasti sudah akan maju, tapi aku tidak berniat meninju pemuda mabuk hanya karena melihat dan mencoba mencicipi.”

Pipi Brianna memanas. Ia sadar kalau tubuhnya sudah semakin dewasa sejak baju itu dibuat bertahun-tahun yang lalu. Selama bekerja pada Ricker, ia telah membongkar jahitannya untuk mengakomodasi dadanya yang membesar, tapi itu tidak banyak membantu, dan kain yang ditambahkannya ke jahitan itu selama ia bekerja untuk Abigail hanya membuat ketiak bajunya semakin berkerut dan bukannya menyelesaikan masalah. Ia memandang mantelnya, yang membungkus Daphne untuk melindungi anak itu dari udara malam. Sebenarnya, ia bisa saja menggunakan salah satu selimut mereka untuk membungkus Daphne, tapi selimut-selimutnya sudah dimasukkan ke dalam sarung bantal. Syalnya juga sudah dimasukkan, dan ia terlalu terburu-buru untuk mencarinya.

David berjalan ke salah satu tasnya yang sekarang sudah dipasang di atas keledai, mengangkat tutupnya dan menarik jaket berbahan denim berlapis kain flanel di bagian dalamnya, yang dilemparnya kepada Brianna tanpa poenjelasan apa pun. Bersyukur atas kehangatan dan selubung yang ditawarkan jaket itu, Brianna mendorong tangannya ke dalam lengan jaket, dan berusaha dengan jari-jari yang mulai mata rasa akibat kedinginan untuk mengancingkannya. Setelah tubuhnya tertutup, Brianna menyaksikan David Paxton menambahkan tasnya ke dalam tumpukan beban yang dibawa keledai itu lalu memeriksa keseimbangan bawaannya.

Ikut atau tinggal, kata David tadi. Dinilai dari situasi saat ini, Brianna memutuskan untuk menunda pertengkaran mereka di lain waktu. Ia tidak mungkinmenang melawan laki-laki yang lebih berat sekitar empat puluh kilogram darinya, dengan setiap jengkal tubuh laki-laki itu tertutup oleh otot yang keras. David juga punya pistol dan belati berburu serta sepucuk senapan yang tergantung di pelana, ditambah sebuah dokumen di tas, yang menyatakan ia dan anaknya sebagai milik pria itu. Dari sudut pandangnya, pilihannya hanya sedikit –itu juga kalau ia punya pilihan.

Paling tidak untuk malam ini ia akan menurut dan pergi dengan David, tapi di sepanjang perjalanan ia akan mencari kesempatan untuk kabur. Ia tidak akan, di bawah keadaan apa pun, tinggal di sini. Ia tidak bisa dipisahkan dari Daphne.

Setelah sepanjang enam tahun menjauhi kuda, ketakuta Brianna terhadap hewan besar itu tidak pernah hilang. Mengabaikan David, yang masih sibuk dengan barang bawaannya, Brianna mempertimbangkan kemungkinan yang menakutkan bahwa ia harus menunggangi salah satu makhluk mengerikan itu. Setelah usaha pertamanya, dan terakhir kalinya, untuk menaiki hewan besar itu berakhir dengan kakinya yang pincang dan bahu yang tak bisa digunakan berhari-hari karena digigit, ia tidak menyukai kemungkinan harus mencobanya lagi. Terutama di hadapan David Paxton. Dengan takut-takut, Brianna memaksa dirinya untuk mendekati kuda yang sudah dipasangi pelana itu. Kuda oitu mendorongnya dengan cara yang bersahabat, mengusir sebagian keraguannya dan meninggalkan noda basah di lengan jaketnya.

Sambil mengingat cara berkuda yang pernah dilihatnya, Brianna meyakinkan dirinya kalau ia bisa melakukan ini. Kelihatannya sanggurdi itu tergantung terlalu rendah untuknya. Jadi dengan cepat ia menaikinya. Pada saat David muncul di belakangnya, ia telah menaikkan kedua pijakan kaki di kuda itu ke ketinggian yang dirasanya tepat.

Sambil mengingat cara berkuda yang pernah dilihatnya, Brianna meyakinkan dirinya kalau ia bisa melakujkan ini. Kelihatannya sanggurdi itu tergantung terlalu rendah untuknya, jadi dengan cepat ia menaikkannya. Pada saat David muncul di belakangnya, ia telah menaikkan kedua pijakan kaki di kuda itu ke ketinggian yang dirasahya tepat.

“Daphne akan ikut bersamaku,” kata David. Lalu, sambil menusuk Brianna dengan mata biru tajam itu, ia bertanya, “Kau pernah naik kuda? Kalau belum pernah, bilang dari sekarang. Aku tidak mau kau jatuh dan terluka.”

Brianna sudah terlalu lama menderita akibat keangkuhan David untuk mau mengakui yang sebenarnya. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Ia berputar, memegang tanduk yang ada di pelananya, dan melompat-lompat dengan satu kaki sementara berusaha, dengan gagal, untuk mengangkat kakinya yang satu lagi agar bisa masuk ke sanggurdinya. Ia sudah sering melihat para pria di Glori Ridge menaiki kuda mereka dengan mudah. Bagaimana mereka bisa melakukannya, ia tidak tahu. “Aku tinggal di Colorado selama bertahun-tahun, Sir.”

David memiringkan badannya ke depan untuk melihat sanggurdi kiri dari balik bahu Brianna. “Apa kau yang melakukannya?” tanya David.

“Melakukan apa?”

“Mengatur sanggurdinya setinggi itu? Aku yakin aku tidak memasangnya seperti itu.”

“Kau memasangnya terlalu rendah untukku.”

“Sial, dengan sanggurdi setinggi itu, lututmu bisa terluka.”

“Bisakah kau berusaha lebih keras untuk menjaga lidahmu, Sir?”

Brianna mendengar David mendengus. David mendorongnya ke samping untuk mengatur kembali posisi sanggurdinya. Ketika berjalan ke sisi yang satu lagi, David mengirim tatapan setajam pisau dari bawah tepian topi pria itu yang gelap. Bahkan hanya dengan cahaya dari sebuah lampu minyak di kandang, Brianna bisa meloihat otot-otot di rahang David berkontraksi dan merasakan kecaman di mata pria itu. Segala sesuatu tentang David Paxton membuatnya tidak nyaman. Ia kesulitan untuk berpikir jernih.

“Oke, begini caranya. Saat kau naik ke atas kuda ini, kau harus berpegangan pada tanduk pelana dan berkonsentrasilah agar kau tetap menunduk stabil. Aku tidak peduli apa yang terjadi. Pokoknya, tetaplah duduk dan biarkan kuda ini melakukan sisanya. Kuda adalah binatang yang berkelompok. Dia akan mengikuti Blue Boy dan Lucy. Kau tidak perlu khawatir.”

“Apa maksudmu aku tidak tahu bagaimana caranya menunggang hewan ini?”

Bibir David yang tegas tertarik. Saat itu juga Brianna tak bisa lagi mengabaikan fakta bahwa pria itu mungkin akan sangat tampan kalau sedikit dibersihkan. Di dalam krpalanya ia membayangkan David menganakan setelah jahitan tangan dari kain wol, sementara topi fedora bertengger di kepala pria itu. Dan dengan rambut yang dipotong, tentu saja. Rambut panjang itu membuat David terlihat seperti penjahat.

“Aku tidak punya maksud apa pun. Setelah mengenalku, kau akan tahu kalau aku tidak pernah menyindir. Aku mengatakan apa yang kupikirkan, dan sekarang ini, aku berpikir kau sama sekali tidak punya pengalaman menunggang kuda.” David memutari hewan itu, berdiri di bagian depan untuk mengatur kembali posisi sanggurdinya, lalu membengkokkan lututnya untuk menjalin kedua tangannya sehingga membentuk mangkuk. “Injaklah.”

Brianna menaikkan kaki kanannya. David mengembuskan napas dengan keras. “Shit. Dengan kaki kirimu, Shamrock. Kau tidak bisa naik dengan cara seperti itu. Secara fisik tidak akan mungkin, kecuali pantatmu duluan yang menyentuh pelana dan kau mau terjatuh ke belakang.”

Brianna tidak pernah merasa begitu dipermalukan dalam hidupnya. Ia tahu ia harus menggunakan kaki kirinya. Hanya saja David membuatnya takut sehingga ia membuat kesalahan bodoh. “Kau, Sir, punya mulut paling kotor yang pernah kutemui.”

“Karena aku mengatakan shit?”

Brianna mengernyit. Apakah David Paxton tidak tahu bagaimana kasarnya kata itu? David juga telah berkata pantat. Brianna mengangkat kaki kirinya ke atas tangan David. Dengan dorongan bahu dan tangannya, David mengangkatnya dengan mudah, lalu tangan pria itu memegang sikunya agar tubuhnya tidak bergoyang ketika ia menarik turun roknya yang terangkat untuk menyembunyikan lututnya. Rasa takut mengalahkan kesopanan ketika ia sadar dirinya sudah duduk mengangkang di atas kuda. Dari posisinya di atas pelana, Brianna merasa paling tidak dirinya berjarak satu kilometer dari tanah, dan dibawah tubuhnya yang gemetar, ia bisa merasakan kekuatan tak terbatas dari kuda itu, yang tak henti-hentinya menoleh ke belakang dengan gugup.

“Aku tidak percaya kata shit membuatmu kesal,” gumam David. “Di tempat asalku, kami bejalan di atasnya, kami menyekopnya, dan kami menggunakannya untuk menyuburkan kebun kami. Bfahkan, ketika aku bangun pagi, akupun mengeluarkannya. Kata canggih apa yang kau gunakan untuk itu?”

Brianna berusaha untuk tenang. Bayangan melakukan perjalanan meninggalkan lingkungan aman Glory Ridge dengan pria kasar dan berlidah kotor ini membuatnya tegang, bahkan lebih dari yang diakibatkan hewan besar di bawahnya. “Kotoran,” semburnya.

Apa?”

“Dalam masyarakat yang sopan, benda itu disebut kotoran atau fases. Dan ketika pagi-pagi seseorang sakit perut, mereka menyebutnya sebagai ‘panggilan alam’ atau ‘buang air besar’.” Brianna menggigil dang menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku tidak mengerti kita bisa terlibat dalam percakapan yang memalukan ini.”

“Kuanggap kau tidak suka pembicaraan ini. Well, sayang sekali. Di tempat asalku, bahkan para lady tidak mengernyit mendengar kata shit.

Well, Sir, wanita seperti itu bukan lady yang sesungguhnya.”

“Itu menurutmu, bukan menurutku.”

Brianna tersentak dan hampir terjatuh dari pelana ketika David membawa kudanya maju tiga langkah ke depan. Mengikuti saran David, ia memegang tanduk pelana agar tidak jatuh.

David berhenti, mendorong topinya ke belakang, dan memandang Brianna dengan sorot tidak percaya. “Satu-satunya hal positif tentang perjalanan ini adalah minimal kau sepertinya tidak takut pada kuda.”

“Apakah takut kuda merupakan hal buruk?” tanya Brianna dengan suara pelan.

“Tentu aja. Kuda bisa mendeteksi rasa takut, dan itu membuat mereka ikutan takut.”

Cengkraman Brianna di tanduk pelana semakin kuat sampai-sampai buku jarinya sakit. “Sungguh? Kuda bisa merasakan kalau kita takut pada mereka? Apa… apa yang mereka lakukan kalau mereka pikir kita takut?”

“Sialan. Kkau takut. Kau takut setengah mati berada di di atas kuda iktu, kan?”

Brianna memandang dengan gugup ke arah tanah, yang tidak terlihat lebih dekat dari beberapa detik lalu. “Ini terasa agak tidak nyaman.”

“Hanya penasaran saja, apakah kau berbohong tentang segala hal, Mrs. Paxton? Aku sudah mendengar ada orang-orang yang lebih baik berbohong deripada mengatakan yang sebenarnya, tapi kau benar-benar juaranya. Kau bilang kau bisa menunggang kuda, tapi sekarang ketahuan, bahkan kau tidak pernah berada di punggung kuda.”

“Aku sanggup melakukan banyak hal yang sebenarnya belum pernah kucoba, Sir. Itu namanya bukan berbohong… mengatakan aku tahu bagaimana melakukan sesuatu ketika aku sudah pernah melihat orang melakukannya dan merasa bahwa aku bisa.”

David mendesah dan tangannya menggaruk bagian belakang telinga kuda itu. “Oke. Dengarkan. Selama kau ada di atas sana, pikirkan tentang sesuatu yang menyenangkan. Itu akan membantu untuk menyingkirkan rasa takutmu.”

Hal kesukaan Brianna adalah mencelupkan sepotong soklat ke dalam the panas dan mengisap bagiannya yang meleleh. Tapi mengingat rasa sesuatu yang  belum dinikmatinya selama lebih dari tiga bulan tidak akan bisa menenangkan perutnya yang tegang. “Baiklah,” ia setuju. “Aku akan melakukannya.”

David melingkarkan tali kekang kuda itu ke sekitar tanduk pelananya lalu pergi untuk mengambil kuda dan keledainya serta Daphne. Brianna seudah sering melihat para lelaki berkuda di Coloradoo dan tahu mereka mengarahkan kuda dengan tali kekang. Ia tidak suka berada di atas kuda tanpa memiliki cara untuk memberitahu kemana kuda itu harus pergi, jadi ia memegang tali kulit yang  tipis itu dengan satu tangannya. Kuda itu mendongakkan kepala dan Brianna melihat bagian putih matanya.

Ketika David melihat Brianna memegang tali kekang, otot di rahangnya berkedut. “Entah kau punya masalah, Mrs. Paxton, atau kau sengaja mengabaikan sebagian besar yang kukatakan padamu.” David memandang Brianna lama dengan tatapan yang tajam. “Untuk sekali saja dalam hidupmu, perhatikan ucapanku dan lakukan seperti yang kukatakan. Kalau kau ingin memegang tali kekang itu, kau harus melakukannya dengan benar.”

“Yang benar itu bagaimana?” tanya Brianna, suaranya melengking cemas. Kuda itu tampak agak liar, dan ia yakin akan menggigitnya.

“Well, kalau kau tidak ingin dia melompat, longgarkan peganganmu pada talinya. Percayalah ketika aku bilang kau tidak mau dilemparkan oleh kuda itu, Jarakmu dari tanah cukup jauh. “David melihat Brianna melonggarkan jari-jarinya di tali kekang. “Sedikit lagi. Kau harus membiarkannya bersantai. Sekarang ini, kau menarik terlalu keras, sehingga dia tidak tahu apakah dia harus buang hajat atau berlari.”

***

 

Bab 8

Ketika keluar dari istal, mereka disambut oleh cahaya bulan yang bersinar lemah. Bau padang rumput dan bunga-bunga liar tersapu oleh angin kencang hingga ke kota. David tersenyum melihat  rasa malu Brianna ketika roknya terangkat. Brianna begitu sibuk menutupi kakinya sehingga ia hampir lupa akan rasa takutnya pada kuda. Yang bisa dilihat David hanyalah stoking Brianna–dan, oke, juga tungkai serta pergelangan kakinya yang bentuknya indah. Tapi wanita itu bersikap segugup perawan. David memperbaiki posisi Daphne di lekukan tangan kanannya agar anak itu merasa nyaman, senang akhirnya bisa melanjutkan perjalanan meskipun tubuhnya menjerit minta beristirahat.

Dari balik bahunya, David berseru, “Tidak perlu gugup. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Tebakanku kuda itu sekokoh batu.”

“Nyawaku mungkin tergantung pada tebakanmu, Sir. Bisakah kau bersikap lebih sopan lagi dan meyakinkanku dengan kata-kata yang lebih pasti?”

Apakah wanita ini selalu berbicara seperti itu?

“Selama kau tetap bertahan di pelana, tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” kata David dengan keras karena angin membawa pergi suaranya.

“Dan bagaimana melakukannya, Sir?”

“Anggap saja kau duduk di kursi goyang. Berpeganglah dengan kuat pada tanduk pelana, ikuti gerakannya dengan santai, dan tekan lututmu.”

David memandang dari bahunya, melihat usaha Brianna untuk mengikuti sarannya. Brianna melepaskan satu tangannya dari tanduk pelana untuk mengelus leher kuda itu dalam usahanya untuk berteman. Ketika Glory Ridge sudah berada di belakang mereka, David berputar untuk berkuda di samping Brianna. Brianna melemparkan tatapan cemas padanya.

“Kau bilang aku tidak perlu khawatir tentang tali kekang, bahwa kudaku hanya akan mengikuti kudamu. Bagaimana dia bisa melakukan itu kalau kau di sampingku?”

“Aku hanya berpikir mungkin ini waktu yang tepat untuk sedikit pelajaran berkuda.”

“Oh, ya ampun,” gumam Briamna. Lalu dengan anggukan ia berkata, “Baiklah. Silakan lanjutkan, Sir.”

“Namaku David.” Dan David pun memulai penjelasan tentang teknik berkuda gaya Barat dan memperhatikan ketika Brianna melakukan instruksinya, menghentikan kuda itu, mendorongnya agar berjalan, lalu mengarahkan ke kiri dan ke kanan. “Bagus. Tak lama lagi kau akan menjadi horsewoman.”

“Aku meragukannya,” balas Brianna, tapi David mendengar nada senang dalam suara wanita itu. “Menjadi seorang horsewoman bukan salah satu cita-citaku.”

Bahkan dalam kegelapan, David melihat bagaimana kakunya Brianna duduk di pelana ketika ia berada di samping wanita itu. David curiga kalau ia mengulurkan tangannya, Brianna akan mengelak dan jatuh dari kuda. Seakan-akan merasakan ketakutan penunggangnya, kuda itu mendengus dan memutar kepalanya ke belakang untuk membaui kaki Brianna. Brianna menarik kakinya ke belakang.
“Dia tidak akan menggigitmu. Kau bisa memercayainya.”

“Ada dua pesies yang tidak akan pernah kupercaya, Sir, dan kuda adalah salah satunya.”

“Apa yang satunya lagi?”

“Laki-laki,” jawab Brianna datar.

 

Synopsis

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar