Ruby memalingkan wajahnya, berusaha untuk menyembunyikan napasnya yang berat dan bibirnya yang terbuka mendengar ucapan Thork yang blak-blakan itu, dan gagal. Akhirnya, ia berhasil menenangkan dirinya, tapi tidak berhasil mengendalikan rasa ingin tahunya.
“Menikmati? Bagaimana?”
Thork menenggak ale-nya dengan perlahan meletakkan
gelasnya ke atas meja sebelum bicara. “Dalam semua cara, Wench,” Selama
beberapa detik Thork memejamkan matanya, menekan emosi yang mengancam akan meledak.
Ketika ia membuka matanya kembali dan memandang Ruby, ia hampir tenggelam di
dalam matanya yang kehijauan itu, sebelum mengulangi dengan suara serak, “Dalam
semua cara yang pernah kau bayangkan, dan masih banyak lagi.”
Setelah makan, keluarga itu pindah ke daerah menjahit untuk
melanjutkan percakapan mereka. Mereka duduk di kursi-kursi yang nyaman atau di
atas karpet oriental yang dihamparkan di atas rushes. Thork mengejutkan
dirinya sendiri dengan tinggal di sana.
Olaf menceritakan tentang perjalanan mereka. Awalnya
perjalanan ini direncanakan hanya akan berlangsung selama sembilan bulan ketika
mereka berangkat untuk mengirimkan barang-barang dagangan kakek Thork, Dar.
Tapi, cuaca dan berbagai kesulitan di beberapa kota perdagangan di Timur memperpenjang
perjalanan mereka. Olaf menyebutkan tentang persinggahan mereka di kota-kota
perdagangan di Hedeby dan Birka di Swedia, bagaimana mereka mendapatkan bulu
dan gading dari Rusia, sutra dan karpet-karpet indah dari Turki, serta
rempah-rempah dari Timur. Ia juga menceritakan, dengan tidak enang, mengenai
waktu yang mereka habiskan cukup lama di Jomsborg sementara Thork bergabung
dengan Jomsvikingnya dalam penyerangan selama enam bulan ke wilayah musuh.
Thork sesekali mengangguk tapi tidak banyak berkontribusi
pada cerita itu. Ia memandang ke dalam gelasnya dan sesekali melirik Ruby
dengan sembunyi-sembunyi. Ia memaksa dirinya untuk tidak melihat ke arah
anaknya yang duduk di tepi lingkaran, dengan sedih menyadari keterasingan
mereka meskipun ia ada di ruangan itu bersama mereka. Ini adalah satu-satunya
cara, kata Thork pada dirinya sendiri. Ia sudah mendapatkan pelajaran dengan
cara yang keras.
“Apa Jomsviking ini?” tanya Ruby.
Olaf memandang Thork dengan tanda tanya di matanya. Thork
mempertimbangkan berapa banyak yang bisa diberitahunya kepada wanita itu.
Bagaimanapun juga belum tertutup kemungkinan bahwa ia benar-benar orang suruhan
Ivar, atau Athelstan. Akhirnya, ia menjawab dengan hati-hati, “Aku sudah
menjadi seorang Jomsviking sejak umurku empat belas tahun. Aku berbohong dan
mengatakan kalau aku delapan belas tahun. Jomsviking adalah para ksatria
pilihan yang mengucapkan sumpah setia mereka pada persaudaraan pejuang Viking.
Kami bersumpah untuk selalu memikirkan kemenangan, untuk tidak pernah takut…”
“Oh, ya Tuhanku!” Ruby memotong. “Itu terdengat tepat
seperti Jack dan filosofi berpikir-positifnya.” Ia memberitahu mereka tentang
hal gila yang disebut “Coyote yang berantakan,” dan, ketika melihat eksprei bingung di wajah
mereka, ia menjelaskan, “Pada suatu masa, di beberapa bagian di negaraku, coyote…”
“Coyote?” potong Thork.
“Binatang yang mirip dengan serigala. Mereka menimbulkan
bahaya bagi para petani dan peternak, jadi pemerintah memburu mereka, mendukung
orang-orang untuk membunuhnya. Well, mereka bukan hanya tidak berhasil
memusnahkannya, tapi binatang-binatang bodoh itu malah berlipat ganda. Coyote
ditemukan masih hidup di tenggah alam liar dengan perangkap besi
bergantungan di tubuh mereka. Beberapa bahkan masih hidup meskipun memiliki
luka serius, atau kehilangan cakar atau telinga. Intinya adalah cooyote
bertahan hidup, tak peduli sengsara apa pun.”
“Mirip seperti bangsa Viking,” Olaf bercanda, dan Thork
mengangguk.
“Apakah kau seorang Vomsviking?” tanya Ruby pada Olaf.
“Tidak. Mereka tinggal di dalam kota yang dibentengi, dimana
tidak ada perempuan, dan hanya laki-laki antara umur delapam belas dan lima
puluh yang boleh tinggal di sana.”
Jadi itu alasannya mengapa Sigtrygg berkata Thork akan
membahayakan sumpah Jomsvikingnya dengan menikah. Ruby memandang Thork dengan
pemahaman baru.
“Kalau aku tidak menikah, akan menjadi suatu kehormatan
untuk menjadi seorang Jomsviking,” Olaf menambahkan. “Mereka sering dipuja-puja
karena keberanian dan idealisme mereka.”
Ruby menimbang kata-kata itu, kemudian berkomentar sambil
tertawa kecil, “Jomsviking mirip dengan persimpangan antara tentara bayaran dan
kesatria meja bundar King Arthur.”
Dengan spontan Thork tertawa mendengar analoginya. “Mungkin
kau benar. Aku sudah pernah mendengar kisah tentang bangsawan Welsh itu dan
anak buahnya yang berperang melawan bangsa Saxon. Sekarang kau menyebutkan hal
itu, mungkin memang terdapat beberapa kesamaan, tapi ada satu perbedaan besar…
Jomsviking pada dasarnya terdiri dari laki-laki yang tidak menikah, tidak memiliki
keluarga.” Ia menekankan pada kata-kata terakhirnya itu, ingin wanita itu
melihat kenapa pengakuan Ruby atas pernikahan itu benar-benar membuatnya marah.
Ruby memikirkan semua yang telah dikatakan pria itu,
memandang Eirik dan Tykir untuk melihat reaksi mereka. Cerita tentang pria itu
telah memikat kedua bocah itu. Entah bagaimana Thork tahu kalau Ruby menyadari
kerinduan yang sama di mata mereka, sama seperti yang dirasakannya sendiri.
Jelas sekali mereka menginginkan, bukan, membutuhkan seorang ayah. Tapi
itu tidak bisa.
Ketika semua orang sepertinya sudah capek berbicara, Olaf
bertanya kepada Astrid, “Maukah kau memainkan flute untuk kami?” Tepi
Tyra memotong. “Tidak, Ayah, kami ingin Ruby menceritakan kisah Hansel dan
Gretel lagi.” Olaf memandang putri terkecilnya itu dengan penuh kasih kemudian
kepada Astrid, untuk melihat apakah perasaan putrinya itu terluka, tapi gadis
itu terlihat sama bersemangatnya dengan adiknya untuk mendengar ulang kisah
itu.
Anak-anak perempuan yang gembira itu mendesak Ruby untuk
menceritakan kisah yang konyol itu sampai beberapa kali. Tak lama lagi mereka
akan bisa menceritakan sendiri kisah itu dan tidak diragukan lagi akan
melakukannya, pikir Thork, sementara ia menyaksikan Ruby menjalin sihirnya yang
aneh ke sekeliling mereka.
Ketika didesak untuk menceritakan kisah lain, Ruby berkata,
“Eirik dan Tykir, cerita ini kudedikasikan untuk kalian berdua karena kalian
sangat mirip dengan anak-anakku dan ini adalah cerita kesukaan mereka.” Kedua
anak anak laki-laki itu terperanjat. Rupanya mereka tidak terlalu sering
mendapat perhatian, Thork menyadari dengan sedih. Dengan berani Ruby memandang
Thork, menantang pria itu untuk menghentikannya. Rahang Thork mengeras, tapi ia
tidak mengatakan apa pun, dan membiarkan Ruby untuk mulai: “Pada suatu waktu,
ada seorang anak laki-laki bernama Pinokio…”
Setelah itu, Tyra membuat mereka semua tertawa dengan
memegang hidungnya, memeriksa apakah hidungnya memanjang. Ia pasti baru
berbohong.
“Humph!” kata Thork dengan sengit kepada Ruby. “Ajaib sekali
hidungmu tidak memanjang sampai ke sini.” Ia menahan jari telunjuknya sekitar
setengah meter dari wajahnya. “Kalau hidung benar-benar tumbuh akibat
berbohong, maka hidungmu membutuhkan kain gendongan untuk menahannya dengan
semua kebohongan yang kau ucapkan.”
Sejujurnya Thork takjub dengan kemampuan Ruby dalam
bercerita, yang bisa dipastikan bukan kegiatan yang berbahaya. Dan hati Thork
tersentak melihat kebahagiaan Ruby ketika wanita itu melihat senyum lebar yang
menghiasi wajah kedua anaknya. Thork tahu Ruby menganggap Eirik dan Tykir
sebagai anak-anaknya sendiri, meskipun itu tidak mungkin. Kedua bocah itu duduk
terpesona, lupa akan kesendirian mereka dan pikiran-pikiran lainnya. Minimal,
ia harus berterima kasih pada Ruby untuk hal itu.
Tapi mata Thork menyipit ketika ia melihat kilatan nakal di
mata wanita itu. Apa lagi sekarang?
“Ada satu cerita yang aku lupa,” kata Ruby, memandang
langsung pada Thork. Ia mencoba untuk memberikan peringatan tanpa suara kalau
wanita itu telah berjalan terlalu jauh, tapi Ruby maju terus, seperti biasa.
"Pada suatu masa, ada seorang raksasa buruk rupa
bernama Thork dan seorang anak laki-laki bernama Jack yang menanam sebuah pohon
kacang ajaib..."
Kening Thork berkerut mendengar wanita itu mengejeknya, tapi
membiarkan Ruby melanjutkannya sementara ia menyesap minumannya. Ia akan
membalas wanita itu atas kelakuannya yang berani itu, nanti.
Ketika Ruby menggambarkan raksasa itu sebagai orang tolol
dan kikuk, tingkat toleransi Thork menurun, tapi ia tidak bisa mengatakan apa
pun karena anak-anak. Ketika Ruby merendahkan suaranya hingga menjadi geraman
rendah, dengan tepat meniru suaranya, dan berkata, “Fee,fie,fo, fum. Aku
mencium bau darah orang Inggris,” anak-anak itu memekik dengan keras,
mengulangi kata-kata itu tiga kali, dan thork tak bisa menahan dirinya untuk
tidak tersenyum.
Ruby menceritakan cerita yang membuatnya kesal itu sampai
tiga kali. Pada akhirnya, Ruby meliriknya dengan enggan. Mereka membagi senyum
yang membuat jantung Thork berdetak liar. Apa yang dilakukan penyihir itu
padanya?
Sudah cukup! Tiba-tiba saja Thork berdiri untuk kembali ke
istana, tapi sebelumnya ia menarik Ruby ke samping. Ia berbisik di telinga
wanita itu. “Aku m,engakui kekalahanku atas pertarungan kecil, Wench,
tapi ini tidak ada artinya. Kau akan membayar, dan membayarnya dengan mahal.”
Dengan kata-kata itu, ia mencubit bokong Ruby yang bulat dan menggoda, lalu
pergi dengan perasaan senang ketika mendengar seruan pelan kejengkelan wanita
itu.”
***
Beberapa hal harus dipelajari dengan cara yang keras…
Ruby terbangun oleh sinar matahari pertama yang mengalir
melalui jendela tak bertirai di kamarnya. Ia tekejut, karena berhasil tidur
dengan nyenyak sepanjang malam. Tidak ada mimpi. Tidak ada kembali ke masa
depan juga, pikirnya dengan muram.
Ruby menggunakan pispot di bawah tempat tidurnya, dan di
samping tempat tidurnya terdapat tumpukan rapi kain linern bekas –yang setara
dengan tisu toilet bagi bangsa Viking. Ia memang selalu bertanya-tanya tentang
hal itu.
Lalu ia mandi dengan air dingin yang masih tersisa di dalam
teko di atas meja dan memakai pakaian yang sama dengan kemarin, berharap bisa
menyelinap dari rumah itu untuk melakukan ritual lari paginya. Ia mungkin tidak
akan bisa kembali ke kehidupannya yang normal, tapi ia berharap menjalani
beberapa rutinitas akan memberinya stabilitas dalam dunia kacau yang
dimasukinya ini, menjauhkannya dari kegilaan.
Ruby berjinjit menuruni tangga untuk tidak menarik perhatian
dari dua budak yang sudah bekerja di tungku untuk menyiapkan sarapoan. Budak
yang bernama Lise sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tepung di atas
gilingan dari batu. Bodhil, budak perempuan lainnya, sedang meremas adonan di
dalam palung berukuran besar dan tanpa memberikan waktu bagi adonan itu untuk
mengembang, ia membagi adonan itu menjadi beberapa adonan kecil dan
meletakkannya ke dalam kuali berbentuk bulat yang terbuat dari besi dan
memiliki pegangan panjang ke atas api.
Ruby menyelinap keluar dari pintu belakang dan beberapa kali
mengangkat dan menekuk kakinya untuk pemanasan. Kemudian ia melihat Tyra
berjalan keluar dari kandang.
“Ya ampun, Tyra, apa yang kau lakukan sepagi ini? Dan hanya
sendirian!”
“Tidak, aku tidak sendirian. Aku membantu Gudrod dengan
kuda-kuda kami. Dan juga anak-anak kucing yang baru lahir. Mungkin kau ingin
melihat mereka? Tanya Tyra dengan penuh harap.
“Nanti, Sayang. Sekarang aku mau joging.”
“Joging? Apa itu?”
“Berlari. Itud adalah…” Ruby mencari kata lain untuk
olahraga yang akan dimengerti Tyra. Karena tidak berhasil, ia berkata, “Berlari
membuatku merasa senang.”
“Oh. Aku juga suka berlari, tapi Ibu bilang itu tidak pantas
bagi anak perempuan untuk berlari kesana-kemari seperti anak kuda.” Tyra
mengikik dan menambahkan, :Tapi kadang-kadang aku tak bisa menahan diriku.”
“Sayang, semua anak perempuan senang berlari. Itu hal yang
alami. Tapi di tempat asalku, perempuan dewasa juga melakukannya.
“Benarkah?” Tyra memandang Ruby dengan takjub. “Bolehkan aku
ikut denganmu?”
“Well… kurasa bisa,” Ruby menyetujui dengan enggan. Berhubung
mereka hanya akan pergi sebentar saja. Ruby berasumsi itu tidak akan pa-apa.
Mereka mungkin sudah akan kembali sebelum yang lainnya bangun.
Ruby berlari dengan lambat agar Tyra bisa mengikutinya. Ia
berusaha mengikuti sungai sebisa mungkin dan menjau dari daerah perdagangan.
Bahkan sepagi ini, warga Jorvik yang rajin sudah memulai
pekerjaan. Para budak dan ibu rumah tangga sudeah selesai mencuci dan sedang
menyampirkan pakaian mereka di atas semak-semak atau batang pohon yang rendah
untuk mengeringkannya. Ruby bertanya-tanya apa yang akan dipikirkan Gyda
mengenai ide untuk membuat jemuran. Ia tidak ingin membuat bangsa Viking itu
takjub dengan ide-ide modernnya, walaupun sebuah tali jemuran tak bisa
dikategorikan sebagai penemuan yang luar biasa.
Ketika mereka sudah melewati beberapa pertanian di daerah
pinggiran kota, Tyra menunjukkan kepada Ruby sebidang tanah tempat Olaf
menyimpan hewan ternaknya. Sebuah kebun sayur yang ditata dengan indah
menempati sebagian besar tanah itu, dikelilingi oleh kebun buah yang terdiri
dari pohon apel, persik, pir dan prem. Butiran-bitiran buah anggur ungu
menggantung di ujung-ujung pohon anggur.
Keluarga Olaf –sebenarnya , sebagian besar orang Viking yang
sudah ditemuinya sejauh ini– rupanya sangat berkecukupan. Rfuby merasa sangat
sulit untuk menghubungkan orang-orang ini dengan bayangannya sebelumnya
mengenai bangsa Viking sebagai penjahat haus darah yang mengarungi lautan.
Walaupun begitu, ketika memikirkan King Sigtrygg, Ruby menyimpulkan mereka
mungkin keduanya.
Ambil saja thork sebagai contoh. Tak peduli semulia apa
pekerjaannya sebagai Jomsviking, tetap saja ia merupakan seorang prajurit
profesional. Pria itu membunuh sebagai mata pencahariannya. Perut Ruby melilit
memikirkan hal itu.
Ruby dan Tyra duduk di atas rumput untuk beristirahat sambil
menikmati apel dan persik, serta menyaksikan sapi-sapi merumput dengan gembira
di dekat mereka. Ruby melihat seorang anak laki-laki kecil mengintip dari
belakang salah satu pohon. Ia tersenyum. Tykir mengikuti mereka dari rumah
Olaf.
“Tykir, kemarilah dan bergabunglah dengan kami,” Ruby
mengundangnya dengan hangat.
Awalnya, Tykir terlihat ragu, kemudian bocah itu melangkah
ke depan dengan malu-malu. Ruby menawarkan beberapa buah kepadanya. Bocah itu
mengambil persik tanpa keraguan sedikit pun dan memakannya dengan rakus.
Sama seperti ayahnya, pipikir Ruby.
Ketika bo ah itu selesai dan mengelap mulutnya denga lengan
kemejanya, ia memuji Rubi. “Kau menceritakan kisah yang bagus.”
“Aku senang kau menyukainya.”
“Apakah aku sungguh-sungguh terlihat seperti anakmu?”
Ruby mengangguk.
“Apakah kau ibuku?”
Jantung Ruby mencelos dan hampir saja hancur mendengar
ucapan bocah itu.
“Dia bertanya seperti itu kepada semua orang.” Tyra memotong
sambil mendengus jijik. “Jawabannya selalu sama. Dia tidak punya ibu.”
Ruby tahu Tyra tidak bermaksud jahat, tapi tetap saja
kata-kata kasarnya yang kekanak-kanakan itu menyakiti hati Tykir, seperti yang
terlihat dari air mata yang menggenang di matanya. Ruby meletakkan tangannya di
bahu Tykir dan memarahinya dengan lembut. “Itu tidak benar, Tyra. Semua orang
punya ibu.”
“Aku tahu, tapi…”
“Tidak ada tapi.”
Ruby tak bisa menahannya lagi. Ia menarik Tykir ke dalam pelukannya
dan menempelkan kepala bocah itu ke dadanya. Banyak sekali pertanyaan yang
harus dijawab Thork atas tindakannya yang mengabaikan anak ini –kedua anak
laki-laki itu, sebenarnya.
“Mungkin sebaiknya kita pulang sekarang,” saran Ruby. “Kita
sudah pergi lebih lama dari yang kurencanakan.”
Mereka bertiga kembali sambil berlari dengan lambat, dengan kedua
anak itu menjawab semua pertanyaan Ruby tentang pemandangan yang menakjubkan
yang mereka lewati. Ketika sudah mendekati rumah, Ruby melihat Gudrod, Thork
serta Olaf yang menghampiri mereka dengan marah sementara Gyda dan anak-anak
perempuan lainnya berdiri di luar pintu depan sambil meremas-remas tangan
mereka dengan cemas.
“Tyra, Tykir, masuk ke rumah… sekarang juga,” Olaf
memerintahkan dengan dingin. Mereka berdua menurut tanpa bertanya, walaupun
Tykir melihat ke belakang dari balik bahunya, memandang Ruby dengan takut.
Thork mencengkram lengan Ruby dengan kasar dan menariknya ke
arah rumah. Para tetangga berdiri di jalan untuk menonton mereka.
“Kau tidak harus menarikku. Aku bisa berjalan sendiri.”
“Ya, tapi apakah kau bisa berjalan setelah aku selesai
denganmu?” suara Thork gemetar akibat amarahnya.
“Kau tidak akan berani menyentuhku.”
“Sepertinya kau mau membuat taruhan lain, Wench?”
Thork mengejek dengan dingin.
Ruby merasa kalau pria itu serius. Jari-jari Thork
mencengkram lengannya dengan kuat dan menyakitkan. Ruby berusaha melepaskan
diri namun gagal. Ia berusaha menilai emosi yang meledak-ledak de balik mata Thork
yang menusuk. Apa yang terjadi pada laki-laki yang memandangnya dengan hangat
kemarin malam di meja makan, yang tersenyum padanya ketika ia menceritakan dongeng,
yang mencubit pantatnya sebelum ia pergi? Apakah suasana hati pria ini sama tak
bisa ditebaknya dengan King Sigtrygg?
“Aku sudah memperingatkanmu berulang kali tentang melarikan
diri. Dan kau berani sekali melibatkan putri Olaf dan anakku?” Thork mendesis
dengan suara yang cukup rendah sehingga tak ada yang bisa mendengar ucapannya
selain Ruby.
“Jangan konyol. Kami tadi hanya joging.”
“Aku konyol? Kita lihat siapa yang akan tertawa ketika
cambuk ini merobek kulit dari kepala sampai ujung kakimu.”
Ruby mengangkat kepalanya dengan berani, tapi tangannya
gemetar oleh rasa takut. Laki-laki yang mirip dengan suaminya yang lembut itu pasti
tidak akan pernah menyakitinya. Ia menoleh ke samping dan melihat kemarahan
pria ini tidak mereda sedikit pun, hanya rahangnya yang menggetar.
Ketika mereka memasuki halaman, Olaf memerintahkan Gyda
untuk membawa semua anak-anak itu ke dalam. “Hukum Tyra dan Tykir, atau aku
akan melakukannya untukmu dan mereka berdua akan merasakan yang lebih buruk
lagi,” ia memberitahu istrinya.
Gyda bahkan tidak mengernyit.
“Jangan!” protes Ruby pada Olaf. “Jangan sakiti mereka.
Mereka tidak melakukan kesalahan sama sekali. Kami hanya pergi samapi sejauh
ladangmu. Itu salahku.”
“Tidak, mereka tahu peraturannya. Tidak ada yang boleh pergi
dari rumah ini tanpa izin… tidak pernah!”
Kemudian, Olaf dan Thork menyadari sesuatu dalam ucapan
Ruby.
“Ladangku! Apa kau tahu betapa berbahayanya bagi anak-anak
untuk berkeliaran sampai sejauh itu?” Thork berteriak. “Kami memiliki banyak
musuh. Orang-orang Saxon, atau Ivar, akan sangat senang kalau bisa mendapatkan
cucu King Harald sebagai tahanan, baik anak haram atau bukan.” Thork
merendahkan suaranya sehingga tak ada yang bisa mendengar pengakuannya atas
kedua anak laki-laki itu. Ia mencemooh Ruby dengan mata birunya yang berkilat,
kemudian menambahkan, “Tapi, mungkin ini adalah bagian dari rencanamu.”
Thork menarik Ruby memutari rumah dan menuju kandang, dengan
Gudrod dan Olaf mengekor di belakang mereka. Ketika mereka memasuki kandang
yang gelap dan lembab itu, Olaf memberitahu Gudrod dengan suara tajam. “Kumpulkan
barang-barangmu.”
“Tapi, tuan…”
“Jangan berani-beraninya kau memohon pengampunan, atau
memberikan penjelasan yang tak ada gunanya,” potong Olaf dengan dingin.
Dengan tidak mengerti, Ruby menyaksikan budak itu berjalan
dengan ketakutan, namun kepasrahan terpancar di wajahnya, ke kamar kecil tempat
pria itu tidur. Hanya sekali saja pria itu mengangkat kepalanya dan melemparkan
pandangan penuh benci pada Ruby, jelas sekali menyalahkan Ruby atas nasibnya.
Kemudian ia membereskan pakaian dan barang-barang pribadinya yang hanya sedikit
ke dalam kain persegi berukuran besar, lalu mengikat keempat sudutnya menjadi
satu.
Sambil membawa Gudrod menuju pintu, Olaf memberitahu Thork, “Aku
akan membawanya ke pelabuhan dan menjualnya kepada penjual budak pertama yang
kulihat.”
Thork mengangguk dengan muram.
“Tidak!” Ruby menjerit ketika ia menyadari maksud kedua
orang itu. Ia bergerak ke depan budak itu dan mengangkat tangannya untuk
melindungi pria malang itu. “Kau tidak bisa menghukum gudrod atas kesalahanku.”
“Itu kesalahannya juga. Dia diperintahkan untuk menjagamu
sepanjang waktu. Tak ada seorang pun yang melalaikan tugasnya tanpa mendapat
hukuman. Tak seorang pun! Menyingkirlah.”
Ketika Ruby menolak, Thork mendorongnya ke samping dengan
kasar.
“Sebelum aku kembali,” Olaf berbicara pada Thork dari balik
bahunya, “aku akan pergi ke ladang dan mencari tahu kenapa Tostig lalai dalam
melakukan tugasnya. Dia memang bukan budak, tapi ingin tahu dia berada di mana
ketika anak-anak bermain di sana tanpa ada yang menemani.”
“Tidak ada yang menemani!” Ruby keberatan. “Aku bersama
mereka.”
Tatapan benci yang didapatnya dari Thork dan Olaf
memberitahu Ruby apa yang mereka pikirkan mengenai pengawasannya.
Ruby menyaksikan dengan pasrah ketika gudrod berjalan keluar
dari kandang dengan kepala tertunduk di belakang Olaf.
Ia berpaling dengan marah pada Thork. “Kejam.”
“Tidak sekejam yang akan kulakukan sebentar lagi.” Thork
mendorong Ruby ke arah ruangan kecil yang pernah dihuni Gudrod. Pria itu
mengikutinya dari belakang dan memberikan perintah. “Lepaskan pakaianmu.
Semuanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar