Senin, 07 Oktober 2024

The Reluctant Viking#6

Ruby memalingkan wajahnya, berusaha untuk menyembunyikan napasnya yang berat dan bibirnya yang terbuka mendengar ucapan Thork yang blak-blakan itu, dan gagal. Akhirnya, ia berhasil menenangkan dirinya, tapi tidak berhasil mengendalikan rasa ingin tahunya.

“Menikmati? Bagaimana?”

Thork menenggak ale-nya dengan perlahan meletakkan gelasnya ke atas meja sebelum bicara. “Dalam semua cara, Wench,” Selama beberapa detik Thork memejamkan matanya, menekan emosi yang mengancam akan meledak. Ketika ia membuka matanya kembali dan memandang Ruby, ia hampir tenggelam di dalam matanya yang kehijauan itu, sebelum mengulangi dengan suara serak, “Dalam semua cara yang pernah kau bayangkan, dan masih banyak lagi.”

Setelah makan, keluarga itu pindah ke daerah menjahit untuk melanjutkan percakapan mereka. Mereka duduk di kursi-kursi yang nyaman atau di atas karpet oriental yang dihamparkan di atas rushes. Thork mengejutkan dirinya sendiri dengan tinggal di sana.

Olaf menceritakan tentang perjalanan mereka. Awalnya perjalanan ini direncanakan hanya akan berlangsung selama sembilan bulan ketika mereka berangkat untuk mengirimkan barang-barang dagangan kakek Thork, Dar. Tapi, cuaca dan berbagai kesulitan di beberapa kota perdagangan di Timur memperpenjang perjalanan mereka. Olaf menyebutkan tentang persinggahan mereka di kota-kota perdagangan di Hedeby dan Birka di Swedia, bagaimana mereka mendapatkan bulu dan gading dari Rusia, sutra dan karpet-karpet indah dari Turki, serta rempah-rempah dari Timur. Ia juga menceritakan, dengan tidak enang, mengenai waktu yang mereka habiskan cukup lama di Jomsborg sementara Thork bergabung dengan Jomsvikingnya dalam penyerangan selama enam bulan ke wilayah musuh.

Thork sesekali mengangguk tapi tidak banyak berkontribusi pada cerita itu. Ia memandang ke dalam gelasnya dan sesekali melirik Ruby dengan sembunyi-sembunyi. Ia memaksa dirinya untuk tidak melihat ke arah anaknya yang duduk di tepi lingkaran, dengan sedih menyadari keterasingan mereka meskipun ia ada di ruangan itu bersama mereka. Ini adalah satu-satunya cara, kata Thork pada dirinya sendiri. Ia sudah mendapatkan pelajaran dengan cara yang keras.

“Apa Jomsviking ini?” tanya Ruby.

Olaf memandang Thork dengan tanda tanya di matanya. Thork mempertimbangkan berapa banyak yang bisa diberitahunya kepada wanita itu. Bagaimanapun juga belum tertutup kemungkinan bahwa ia benar-benar orang suruhan Ivar, atau Athelstan. Akhirnya, ia menjawab dengan hati-hati, “Aku sudah menjadi seorang Jomsviking sejak umurku empat belas tahun. Aku berbohong dan mengatakan kalau aku delapan belas tahun. Jomsviking adalah para ksatria pilihan yang mengucapkan sumpah setia mereka pada persaudaraan pejuang Viking. Kami bersumpah untuk selalu memikirkan kemenangan, untuk tidak pernah takut…”

“Oh, ya Tuhanku!” Ruby memotong. “Itu terdengat tepat seperti Jack dan filosofi berpikir-positifnya.” Ia memberitahu mereka tentang hal gila yang disebut “Coyote yang berantakan,”  dan, ketika melihat eksprei bingung di wajah mereka, ia menjelaskan, “Pada suatu masa, di beberapa bagian di negaraku, coyote…”

Coyote?” potong Thork.

“Binatang yang mirip dengan serigala. Mereka menimbulkan bahaya bagi para petani dan peternak, jadi pemerintah memburu mereka, mendukung orang-orang untuk membunuhnya. Well, mereka bukan hanya tidak berhasil memusnahkannya, tapi binatang-binatang bodoh itu malah berlipat ganda. Coyote ditemukan masih hidup di tenggah alam liar dengan perangkap besi bergantungan di tubuh mereka. Beberapa bahkan masih hidup meskipun memiliki luka serius, atau kehilangan cakar atau telinga. Intinya adalah cooyote bertahan hidup, tak peduli sengsara apa pun.”

“Mirip seperti bangsa Viking,” Olaf bercanda, dan Thork mengangguk.

“Apakah kau seorang Vomsviking?” tanya Ruby pada Olaf.

“Tidak. Mereka tinggal di dalam kota yang dibentengi, dimana tidak ada perempuan, dan hanya laki-laki antara umur delapam belas dan lima puluh yang boleh tinggal di sana.”

Jadi itu alasannya mengapa Sigtrygg berkata Thork akan membahayakan sumpah Jomsvikingnya dengan menikah. Ruby memandang Thork dengan pemahaman baru.

“Kalau aku tidak menikah, akan menjadi suatu kehormatan untuk menjadi seorang Jomsviking,” Olaf menambahkan. “Mereka sering dipuja-puja karena keberanian dan idealisme mereka.”

Ruby menimbang kata-kata itu, kemudian berkomentar sambil tertawa kecil, “Jomsviking mirip dengan persimpangan antara tentara bayaran dan kesatria meja bundar King Arthur.”

Dengan spontan Thork tertawa mendengar analoginya. “Mungkin kau benar. Aku sudah pernah mendengar kisah tentang bangsawan Welsh itu dan anak buahnya yang berperang melawan bangsa Saxon. Sekarang kau menyebutkan hal itu, mungkin memang terdapat beberapa kesamaan, tapi ada satu perbedaan besar… Jomsviking pada dasarnya terdiri dari laki-laki yang tidak menikah, tidak memiliki keluarga.” Ia menekankan pada kata-kata terakhirnya itu, ingin wanita itu melihat kenapa pengakuan Ruby atas pernikahan itu benar-benar membuatnya marah.

Ruby memikirkan semua yang telah dikatakan pria itu, memandang Eirik dan Tykir untuk melihat reaksi mereka. Cerita tentang pria itu telah memikat kedua bocah itu. Entah bagaimana Thork tahu kalau Ruby menyadari kerinduan yang sama di mata mereka, sama seperti yang dirasakannya sendiri. Jelas sekali mereka menginginkan, bukan, membutuhkan seorang ayah. Tapi itu tidak bisa.

Ketika semua orang sepertinya sudah capek berbicara, Olaf bertanya kepada Astrid, “Maukah kau memainkan flute untuk kami?” Tepi Tyra memotong. “Tidak, Ayah, kami ingin Ruby menceritakan kisah Hansel dan Gretel lagi.” Olaf memandang putri terkecilnya itu dengan penuh kasih kemudian kepada Astrid, untuk melihat apakah perasaan putrinya itu terluka, tapi gadis itu terlihat sama bersemangatnya dengan adiknya untuk mendengar ulang kisah itu.

Anak-anak perempuan yang gembira itu mendesak Ruby untuk menceritakan kisah yang konyol itu sampai beberapa kali. Tak lama lagi mereka akan bisa menceritakan sendiri kisah itu dan tidak diragukan lagi akan melakukannya, pikir Thork, sementara ia menyaksikan Ruby menjalin sihirnya yang aneh ke sekeliling mereka.

Ketika didesak untuk menceritakan kisah lain, Ruby berkata, “Eirik dan Tykir, cerita ini kudedikasikan untuk kalian berdua karena kalian sangat mirip dengan anak-anakku dan ini adalah cerita kesukaan mereka.” Kedua anak anak laki-laki itu terperanjat. Rupanya mereka tidak terlalu sering mendapat perhatian, Thork menyadari dengan sedih. Dengan berani Ruby memandang Thork, menantang pria itu untuk menghentikannya. Rahang Thork mengeras, tapi ia tidak mengatakan apa pun, dan membiarkan Ruby untuk mulai: “Pada suatu waktu, ada seorang anak laki-laki bernama Pinokio…”

Setelah itu, Tyra membuat mereka semua tertawa dengan memegang hidungnya, memeriksa apakah hidungnya memanjang. Ia pasti baru berbohong.

“Humph!” kata Thork dengan sengit kepada Ruby. “Ajaib sekali hidungmu tidak memanjang sampai ke sini.” Ia menahan jari telunjuknya sekitar setengah meter dari wajahnya. “Kalau hidung benar-benar tumbuh akibat berbohong, maka hidungmu membutuhkan kain gendongan untuk menahannya dengan semua kebohongan yang kau ucapkan.”

Sejujurnya Thork takjub dengan kemampuan Ruby dalam bercerita, yang bisa dipastikan bukan kegiatan yang berbahaya. Dan hati Thork tersentak melihat kebahagiaan Ruby ketika wanita itu melihat senyum lebar yang menghiasi wajah kedua anaknya. Thork tahu Ruby menganggap Eirik dan Tykir sebagai anak-anaknya sendiri, meskipun itu tidak mungkin. Kedua bocah itu duduk terpesona, lupa akan kesendirian mereka dan pikiran-pikiran lainnya. Minimal, ia harus berterima kasih pada Ruby untuk hal itu.

Tapi mata Thork menyipit ketika ia melihat kilatan nakal di mata wanita itu. Apa lagi sekarang?

“Ada satu cerita yang aku lupa,” kata Ruby, memandang langsung pada Thork. Ia mencoba untuk memberikan peringatan tanpa suara kalau wanita itu telah berjalan terlalu jauh, tapi Ruby maju terus, seperti biasa.

"Pada suatu masa, ada seorang raksasa buruk rupa bernama Thork dan seorang anak laki-laki bernama Jack yang menanam sebuah pohon kacang ajaib..."

Kening Thork berkerut mendengar wanita itu mengejeknya, tapi membiarkan Ruby melanjutkannya sementara ia menyesap minumannya. Ia akan membalas wanita itu atas kelakuannya yang berani itu, nanti.

Ketika Ruby menggambarkan raksasa itu sebagai orang tolol dan kikuk, tingkat toleransi Thork menurun, tapi ia tidak bisa mengatakan apa pun karena anak-anak. Ketika Ruby merendahkan suaranya hingga menjadi geraman rendah, dengan tepat meniru suaranya, dan berkata, “Fee,fie,fo, fum. Aku mencium bau darah orang Inggris,” anak-anak itu memekik dengan keras, mengulangi kata-kata itu tiga kali, dan thork tak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum.

Ruby menceritakan cerita yang membuatnya kesal itu sampai tiga kali. Pada akhirnya, Ruby meliriknya dengan enggan. Mereka membagi senyum yang membuat jantung Thork berdetak liar. Apa yang dilakukan penyihir itu padanya?

Sudah cukup! Tiba-tiba saja Thork berdiri untuk kembali ke istana, tapi sebelumnya ia menarik Ruby ke samping. Ia berbisik di telinga wanita itu. “Aku m,engakui kekalahanku atas pertarungan kecil, Wench, tapi ini tidak ada artinya. Kau akan membayar, dan membayarnya dengan mahal.” Dengan kata-kata itu, ia mencubit bokong Ruby yang bulat dan menggoda, lalu pergi dengan perasaan senang ketika mendengar seruan pelan kejengkelan wanita itu.”

 

***

 

Beberapa hal harus dipelajari dengan cara yang keras…

Ruby terbangun oleh sinar matahari pertama yang mengalir melalui jendela tak bertirai di kamarnya. Ia tekejut, karena berhasil tidur dengan nyenyak sepanjang malam. Tidak ada mimpi. Tidak ada kembali ke masa depan juga, pikirnya dengan muram.

Ruby menggunakan pispot di bawah tempat tidurnya, dan di samping tempat tidurnya terdapat tumpukan rapi kain linern bekas –yang setara dengan tisu toilet bagi bangsa Viking. Ia memang selalu bertanya-tanya tentang hal itu.

Lalu ia mandi dengan air dingin yang masih tersisa di dalam teko di atas meja dan memakai pakaian yang sama dengan kemarin, berharap bisa menyelinap dari rumah itu untuk melakukan ritual lari paginya. Ia mungkin tidak akan bisa kembali ke kehidupannya yang normal, tapi ia berharap menjalani beberapa rutinitas akan memberinya stabilitas dalam dunia kacau yang dimasukinya ini, menjauhkannya dari kegilaan.

Ruby berjinjit menuruni tangga untuk tidak menarik perhatian dari dua budak yang sudah bekerja di tungku untuk menyiapkan sarapoan. Budak yang bernama Lise sedang menuangkan biji-bijian ke dalam tepung di atas gilingan dari batu. Bodhil, budak perempuan lainnya, sedang meremas adonan di dalam palung berukuran besar dan tanpa memberikan waktu bagi adonan itu untuk mengembang, ia membagi adonan itu menjadi beberapa adonan kecil dan meletakkannya ke dalam kuali berbentuk bulat yang terbuat dari besi dan memiliki pegangan panjang ke atas api.

Ruby menyelinap keluar dari pintu belakang dan beberapa kali mengangkat dan menekuk kakinya untuk pemanasan. Kemudian ia melihat Tyra berjalan keluar dari kandang.

“Ya ampun, Tyra, apa yang kau lakukan sepagi ini? Dan hanya sendirian!”

“Tidak, aku tidak sendirian. Aku membantu Gudrod dengan kuda-kuda kami. Dan juga anak-anak kucing yang baru lahir. Mungkin kau ingin melihat mereka? Tanya Tyra dengan penuh harap.

“Nanti, Sayang. Sekarang aku mau joging.”

“Joging? Apa itu?”

“Berlari. Itud adalah…” Ruby mencari kata lain untuk olahraga yang akan dimengerti Tyra. Karena tidak berhasil, ia berkata, “Berlari membuatku merasa senang.”

“Oh. Aku juga suka berlari, tapi Ibu bilang itu tidak pantas bagi anak perempuan untuk berlari kesana-kemari seperti anak kuda.” Tyra mengikik dan menambahkan, :Tapi kadang-kadang aku tak bisa menahan diriku.”

“Sayang, semua anak perempuan senang berlari. Itu hal yang alami. Tapi di tempat asalku, perempuan dewasa juga melakukannya.

“Benarkah?” Tyra memandang Ruby dengan takjub. “Bolehkan aku ikut denganmu?”

Well… kurasa bisa,” Ruby menyetujui dengan enggan. Berhubung mereka hanya akan pergi sebentar saja. Ruby berasumsi itu tidak akan pa-apa. Mereka mungkin sudah akan kembali sebelum yang lainnya bangun.

Ruby berlari dengan lambat agar Tyra bisa mengikutinya. Ia berusaha mengikuti sungai sebisa mungkin dan menjau dari daerah perdagangan.

Bahkan sepagi ini, warga Jorvik yang rajin sudah memulai pekerjaan. Para budak dan ibu rumah tangga sudeah selesai mencuci dan sedang menyampirkan pakaian mereka di atas semak-semak atau batang pohon yang rendah untuk mengeringkannya. Ruby bertanya-tanya apa yang akan dipikirkan Gyda mengenai ide untuk membuat jemuran. Ia tidak ingin membuat bangsa Viking itu takjub dengan ide-ide modernnya, walaupun sebuah tali jemuran tak bisa dikategorikan sebagai penemuan yang luar biasa.

Ketika mereka sudah melewati beberapa pertanian di daerah pinggiran kota, Tyra menunjukkan kepada Ruby sebidang tanah tempat Olaf menyimpan hewan ternaknya. Sebuah kebun sayur yang ditata dengan indah menempati sebagian besar tanah itu, dikelilingi oleh kebun buah yang terdiri dari pohon apel, persik, pir dan prem. Butiran-bitiran buah anggur ungu menggantung di ujung-ujung pohon anggur.

Keluarga Olaf –sebenarnya , sebagian besar orang Viking yang sudah ditemuinya sejauh ini– rupanya sangat berkecukupan. Rfuby merasa sangat sulit untuk menghubungkan orang-orang ini dengan bayangannya sebelumnya mengenai bangsa Viking sebagai penjahat haus darah yang mengarungi lautan. Walaupun begitu, ketika memikirkan King Sigtrygg, Ruby menyimpulkan mereka mungkin keduanya.

Ambil saja thork sebagai contoh. Tak peduli semulia apa pekerjaannya sebagai Jomsviking, tetap saja ia merupakan seorang prajurit profesional. Pria itu membunuh sebagai mata pencahariannya. Perut Ruby melilit memikirkan hal itu.

Ruby dan Tyra duduk di atas rumput untuk beristirahat sambil menikmati apel dan persik, serta menyaksikan sapi-sapi merumput dengan gembira di dekat mereka. Ruby melihat seorang anak laki-laki kecil mengintip dari belakang salah satu pohon. Ia tersenyum. Tykir mengikuti mereka dari rumah Olaf.

“Tykir, kemarilah dan bergabunglah dengan kami,” Ruby mengundangnya dengan hangat.

Awalnya, Tykir terlihat ragu, kemudian bocah itu melangkah ke depan dengan malu-malu. Ruby menawarkan beberapa buah kepadanya. Bocah itu mengambil persik tanpa keraguan sedikit pun dan memakannya dengan rakus.

Sama seperti ayahnya, pipikir Ruby.

Ketika bo ah itu selesai dan mengelap mulutnya denga lengan kemejanya, ia memuji Rubi. “Kau menceritakan kisah yang bagus.”

“Aku senang kau menyukainya.”

“Apakah aku sungguh-sungguh terlihat seperti anakmu?”

Ruby mengangguk.

“Apakah kau ibuku?”

Jantung Ruby mencelos dan hampir saja hancur mendengar ucapan bocah itu.

“Dia bertanya seperti itu kepada semua orang.” Tyra memotong sambil mendengus jijik. “Jawabannya selalu sama. Dia tidak punya ibu.”

Ruby tahu Tyra tidak bermaksud jahat, tapi tetap saja kata-kata kasarnya yang kekanak-kanakan itu menyakiti hati Tykir, seperti yang terlihat dari air mata yang menggenang di matanya. Ruby meletakkan tangannya di bahu Tykir dan memarahinya dengan lembut. “Itu tidak benar, Tyra. Semua orang punya ibu.”

“Aku tahu, tapi…”

“Tidak ada tapi.”

Ruby tak bisa menahannya lagi. Ia menarik Tykir ke dalam pelukannya dan menempelkan kepala bocah itu ke dadanya. Banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab Thork atas tindakannya yang mengabaikan anak ini –kedua anak laki-laki itu, sebenarnya.

“Mungkin sebaiknya kita pulang sekarang,” saran Ruby. “Kita sudah pergi lebih lama dari yang kurencanakan.”

Mereka bertiga kembali sambil berlari dengan lambat, dengan kedua anak itu menjawab semua pertanyaan Ruby tentang pemandangan yang menakjubkan yang mereka lewati. Ketika sudah mendekati rumah, Ruby melihat Gudrod, Thork serta Olaf yang menghampiri mereka dengan marah sementara Gyda dan anak-anak perempuan lainnya berdiri di luar pintu depan sambil meremas-remas tangan mereka dengan cemas.

“Tyra, Tykir, masuk ke rumah… sekarang juga,” Olaf memerintahkan dengan dingin. Mereka berdua menurut tanpa bertanya, walaupun Tykir melihat ke belakang dari balik bahunya, memandang Ruby dengan takut.

Thork mencengkram lengan Ruby dengan kasar dan menariknya ke arah rumah. Para tetangga berdiri di jalan untuk menonton mereka.

“Kau tidak harus menarikku. Aku bisa berjalan sendiri.”

“Ya, tapi apakah kau bisa berjalan setelah aku selesai denganmu?” suara Thork gemetar akibat amarahnya.

“Kau tidak akan berani menyentuhku.”

“Sepertinya kau mau membuat taruhan lain, Wench?” Thork mengejek dengan dingin.

Ruby merasa kalau pria itu serius. Jari-jari Thork mencengkram lengannya dengan kuat dan menyakitkan. Ruby berusaha melepaskan diri namun gagal. Ia berusaha menilai emosi yang meledak-ledak de balik mata Thork yang menusuk. Apa yang terjadi pada laki-laki yang memandangnya dengan hangat kemarin malam di meja makan, yang tersenyum padanya ketika ia menceritakan dongeng, yang mencubit pantatnya sebelum ia pergi? Apakah suasana hati pria ini sama tak bisa ditebaknya dengan King Sigtrygg?

“Aku sudah memperingatkanmu berulang kali tentang melarikan diri. Dan kau berani sekali melibatkan putri Olaf dan anakku?” Thork mendesis dengan suara yang cukup rendah sehingga tak ada yang bisa mendengar ucapannya selain Ruby.

“Jangan konyol. Kami tadi hanya joging.”

“Aku konyol? Kita lihat siapa yang akan tertawa ketika cambuk ini merobek kulit dari kepala sampai ujung kakimu.”

Ruby mengangkat kepalanya dengan berani, tapi tangannya gemetar oleh rasa takut. Laki-laki yang mirip dengan suaminya yang lembut itu pasti tidak akan pernah menyakitinya. Ia menoleh ke samping dan melihat kemarahan pria ini tidak mereda sedikit pun, hanya rahangnya yang menggetar.

Ketika mereka memasuki halaman, Olaf memerintahkan Gyda untuk membawa semua anak-anak itu ke dalam. “Hukum Tyra dan Tykir, atau aku akan melakukannya untukmu dan mereka berdua akan merasakan yang lebih buruk lagi,” ia memberitahu istrinya.

Gyda bahkan tidak mengernyit.

“Jangan!” protes Ruby pada Olaf. “Jangan sakiti mereka. Mereka tidak melakukan kesalahan sama sekali. Kami hanya pergi samapi sejauh ladangmu. Itu salahku.”

“Tidak, mereka tahu peraturannya. Tidak ada yang boleh pergi dari rumah ini tanpa izin… tidak pernah!”

Kemudian, Olaf dan Thork menyadari sesuatu dalam ucapan Ruby.

“Ladangku! Apa kau tahu betapa berbahayanya bagi anak-anak untuk berkeliaran sampai sejauh itu?” Thork berteriak. “Kami memiliki banyak musuh. Orang-orang Saxon, atau Ivar, akan sangat senang kalau bisa mendapatkan cucu King Harald sebagai tahanan, baik anak haram atau bukan.” Thork merendahkan suaranya sehingga tak ada yang bisa mendengar pengakuannya atas kedua anak laki-laki itu. Ia mencemooh Ruby dengan mata birunya yang berkilat, kemudian menambahkan, “Tapi, mungkin ini adalah bagian dari rencanamu.”

Thork menarik Ruby memutari rumah dan menuju kandang, dengan Gudrod dan Olaf mengekor di belakang mereka. Ketika mereka memasuki kandang yang gelap dan lembab itu, Olaf memberitahu Gudrod dengan suara tajam. “Kumpulkan barang-barangmu.”

“Tapi, tuan…”

“Jangan berani-beraninya kau memohon pengampunan, atau memberikan penjelasan yang tak ada gunanya,” potong Olaf dengan dingin.

Dengan tidak mengerti, Ruby menyaksikan budak itu berjalan dengan ketakutan, namun kepasrahan terpancar di wajahnya, ke kamar kecil tempat pria itu tidur. Hanya sekali saja pria itu mengangkat kepalanya dan melemparkan pandangan penuh benci pada Ruby, jelas sekali menyalahkan Ruby atas nasibnya. Kemudian ia membereskan pakaian dan barang-barang pribadinya yang hanya sedikit ke dalam kain persegi berukuran besar, lalu mengikat keempat sudutnya menjadi satu.

Sambil membawa Gudrod menuju pintu, Olaf memberitahu Thork, “Aku akan membawanya ke pelabuhan dan menjualnya kepada penjual budak pertama yang kulihat.”

Thork mengangguk dengan muram.

“Tidak!” Ruby menjerit ketika ia menyadari maksud kedua orang itu. Ia bergerak ke depan budak itu dan mengangkat tangannya untuk melindungi pria malang itu. “Kau tidak bisa menghukum gudrod atas kesalahanku.”

“Itu kesalahannya juga. Dia diperintahkan untuk menjagamu sepanjang waktu. Tak ada seorang pun yang melalaikan tugasnya tanpa mendapat hukuman. Tak seorang pun! Menyingkirlah.”

Ketika Ruby menolak, Thork mendorongnya ke samping dengan kasar.

“Sebelum aku kembali,” Olaf berbicara pada Thork dari balik bahunya, “aku akan pergi ke ladang dan mencari tahu kenapa Tostig lalai dalam melakukan tugasnya. Dia memang bukan budak, tapi ingin tahu dia berada di mana ketika anak-anak bermain di sana tanpa ada yang menemani.”

“Tidak ada yang menemani!” Ruby keberatan. “Aku bersama mereka.”

Tatapan benci yang didapatnya dari Thork dan Olaf memberitahu Ruby apa yang mereka pikirkan mengenai pengawasannya.

Ruby menyaksikan dengan pasrah ketika gudrod berjalan keluar dari kandang dengan kepala tertunduk di belakang Olaf.

Ia berpaling dengan marah pada Thork. “Kejam.”

“Tidak sekejam yang akan kulakukan sebentar lagi.” Thork mendorong Ruby ke arah ruangan kecil yang pernah dihuni Gudrod. Pria itu mengikutinya dari belakang dan memberikan perintah. “Lepaskan pakaianmu. Semuanya.”


Sinopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar