“Di mana suamimu, Lidya?” Adrienne menepuk lehernya. “Nyamuk? Sekarang?”
“Di sini memang ada. Itulah
mengapa kita memasang kelambu di tempat tidur selama musim dingin. Sedikit daun
mint sepertinya mampu mengusir mereka. Aku membawa beberapa lembar di kantongku
dan menyelipkan satu atau dua helai di gaun tidurku.” Ia menawarkan beberapa
helai dan Adrianne menerimanya. “TEntang suamiku…” Mata Lidya menerawang.
“Lelaki payah itu meninggalkanku tiga puluh tahun lalu. Ia meninggal tepat
setelah Hawk dilahirkan.”
“Bagaimana meninggalnya.”
Adrianne menyapu dahi dengan tangannya. Matahari mendadak terasa terlalu panas.
“Di kala perang untuk raja, dan
saat menjelang ajalnya ia bersumpah, demikian menurut Raja James, mengenai
putranya yang akan mengabdi selama lima belas tahun untuk Raja, dan sebagai
imbalannya, Raja akan melindungi Dalkeith. Bahkan pengabdian Hawk abaru saja
berakhir.”
Adrienne mengernyitkan dahinya
dengan bingung. Bunga-bunga Lidya yang berwarna terang bercampur menjadi warna
yang membingungkan.
Lidya menjelaskan dengan sabar,
“Dalkeith adalah benteng yang kaya. Taka da yang melindunginya saat suamiku
wafat. Aku ditinggal sendirian dengan ahli waris yang masih bayi selama dua
bulan. Mengenai apakah benar mengenai suamiku bersumpah demikian atau James hanya
mengarangnya, aku tak pernah tahu. Aku taky akin bahwa Douglas memberikan
sumpah bahwa anak kami akan mengabdi pada Raja James dengan cara apapun, tapi
jarang ada yang bisa mendebat sang Raja. Aku tak siap untuk menikah Kembali,
duka untuk suamiku terlalu dalam. Para pengawal Raja melindungi Dalkeith sampai
aku menanggalkan pakaian hitam berduka milikku. Tapi James memberi kami
perlindungan dengan syarat Hawk melapor ke Edinburgh di hari jadinya yang ke delapan
belas, untuk lima belas tahun mengabdi. Menurut dia, seperti sumpah yang
diucapkan suamiku.”
“Kau tak percaya suamimu
bersumpah tentang Hawk?” Adrienne bertanya, pandangan matanya mulai keruh. Ia
memejamkan matanya dengan kuat sesaat dan pandangannya jelas Kembali.
Wajah cantik Lidya menjadi
murung, dan untuk beberapa saat sepertinya ia tak ingin menjawab pertanyaan
Adrienne. Ia bisa melihat kenangan melintas di alisnya, ada yang indah, ada
yang menyakitkan. “Douglas adalah pinangan yang kedua, Adrienne.”
“Dan siapa yang pertama?”
Adrienne bertanya, menyusurkan ujung jarinya di genangan air terjun yang sejuk,
lalu meneteskan beberapa tetes ke dahinya.
“Raja James.”
“Ah! Lelaki yang terhina.”
“Sangat terhina. Dan juga bukan
pemaaf. Raja James telah menjatuhkan pilihannya padauk dan tak ingin beralih.
Saat itu usiaku enam belas tahun, dan aku sedang berada di istana dengan ibumu,
Althea. Kami banyak menerima pinangan saat itu, dan James adalah salah satu
peminang yang gigih. Akdu tak terlalu menganggap ia serius, sebab ia seorang
raja. Setelahnya aku baru menyadari betapa seriusnya ia. Namun sudah terlambat.
Aku sudah menjatuhkan pilihanku pada Douglas sejak aku masih kecil. Dan Douglas
sendiri tak perlu usaha keras untuk meyakinkannya.” Mata hijau Lidya berkilau
mengingat kenangan indah itu.
“Jadi Sang Raja membenci Hawk
karena kau menolak pinangannya? Kekanak-kanakan sekali.”
“Memang. James dimanjakan sejak
ia dilahirkan. Ia dimanjakan tanpa henti. Saat ia mencapai usia nikah, ia malah
lebih parah lagi dimanjakan. Seumur hidupnya ia tidak pernah mendengar kata tidak
dan tak berniat mendengarnya. Ia tak bisa mengerti bagaimana seorang Wanita
memilih menjadi istri seorang bangsawan biasa daripada menjadi ratu seantero
Skotlandia.”
Sesaat Adrienne memikirkan tentang
keluarga bangsawan di masanya. Betapa seorang bersedia berkorban untuk menjadi
Putri dan Ratu sehari. Lidya sudah mengambil pilihan tepat karena menikah atas
dasar cinta.
“Yang membuatnya murka, ia sudah
terlalu bodoh mengumumkan di istananya bahwa aku akan menjadi ratunya, bahkan
setelah aku menolak pinangannya di beberapa acara sekaligus. Aku menikahi
Douglas satu hari setelah ‘proklamasi’nya, walaupun kami berdua baru mengetahui
hal itu berminggu-minggu setelahnya, saat akhirnya berita itu sampai di
Dalkeith. Suamiku bilang, kami baru saja menciptakan satu musuh yang kuat hari
itu. Tapi kurasa kami berdua tak ada yang menyadari betapa pendendamnya ia.
Kurasa ada banyak penugasan sang Raja yang tak mau Hawk ceritakan. Kabar burung
mengatakan bahwa ia mengancam akan menghancurkan Dalkeith kecuali Hawk menuruti
segala perintahnya.” Suara Lidya terdengar bergetar. “Hawk takt ahu, tapi aku
pergi menemui James, segera setelah aku mendengar cerita pengabdiannya. Aku
memohon agar ia mencabut kuasanya atas putraku itu.” Mata Lidya berkaca-kaca.
“Ia hanya tertawa dan bilang bahwa jika aku menikah dengan benar, Hawk akan
menjadid anak raja daripada budak raja.”
Adrienne mengusap lehernya dan
mengerjapkan mata kuat-kuat. Pandangannya mengabur dan kepalanya sakit.
“Terhina di depan umum,” ujarnya. “Aku tak pernah bertemu seorang lelakipun
yang bisa menerima hal itu dengan baik.”
“Aku yakin itu juga alas an
mengapa Raja James memerintahkan Hawk menikah sesuai keinginannya,” Lidya
berbisik. “Hanya sebuah cara untuk memperlama pembalasannya. Kurasa ia hamper
merasa kecele dengan kematian suamiku, dan terkadang aku berpikir apa yang ia
lakukan pada kami jika sua miku hidup lebih lama lagi. Sungguh ia berubah
menjadi orang yang keji.” Lidya menggelengkan kepalanya. “Aku bersyukur kaulah
orangnya, Adrienne. Sang Raja pasti akan sangat benci jika mengetahui betapa
cantik dan tidak gilanya kau. Kau memang orang yang dibutuhkan oleh Hawk. Bukan
gadis pemalu atau cengeng, tapdi seorang Wanita yang tegar dan cerdas.”
Wajah Adrienne memerah senang.
Temperature panas ini membuat kepalanya merasa aneh. “Tadi kau bilang kau
menikah lagi. Kau juga punya anak lainnya?” Adrienne bertanya, mencoba sekuat
tenaga tetap bertahan melangsungkan pembicaraan.
Senyuman Kembali terkembang di
wajah Lidya. “Oh, benar, Adrian dan Ilysse. Mereka ada di Prancis Bersama
adikku, Elisabeth. Di suratnya yang terbaru ia bilang Adrian sekarang menjadi
begundal dan ia kapok mencoba mengajari Ilyess.” Lidya tertawa.” Ilyess
memangsering berapi-api dan kadang-kadang sulit ditangani. Kau pasti suka
padanya.”
Adrienne kurang yakin bagaimana
ia harus menanggapinya, sehingga ia diam saja. Lagipula, ia merasa tak enak
badan. Pandangan matanya mengabur, perutnya sakit dan mulutnya kering. Ia
mencoba menelan. “Wallah hubbah bah?” ia bersuara serak.
“Adrienne?” Lidya memandangnya
dengan prihatin. “Adrienne!” ia menaruh tangannya ked ahi Adrienne. “Badanmu
panas sekali!”
Adrienne mengerang sembari
tubuhnya condong ke depan dan terjatuh di jalan setapak.
“Hawk!” Lidya menjerit.
***
“RACUN.” WAJAH HAWK BERUBAH
MURAM. Ia mengamati dengan seksama anak panah kecil yang diletakkan sang tabib
tua di atas kain.
“Callabron,” ujar sang tabib
sambal menyapu janggut panjangnya yang berwarna putih lalu duduk di samping
Adrienne.
Hawk mengerang. Callabron
bukanlah racun yang ringan. Racun ini kejam dan perlahan, menyebabkan rasa
sakit berhari-hari lalu mengakhiri hidup korbannya dengan kehabisan nafas
saraya melumpuhkan tubuh dari luar ke dalam.
Hawk menyadari racun ini taka da
penawarnya. Ia pernah mendengar tentang racun jenis ini saat ia masih mengabdi
pada Raja James. Racun jenis ini dikabarkan sudah banyak memakan korban para
kerabat kerajaan. Jika ada yang ingin menyingkirkan seorang calon raja, makai a
tak segan-segan menggunakan racun yang tak mungkin gagal. Kedua tangan Hawk
menutupi kepala, lalu mengusap matanya yang Lelah dengan marah. Suhu panas dari
api yang menyala besar, sungguh tak membantu apa-apa. Tapi suhu panas ini bisa
membantu Adrienne, demikian nasihat sang tabib. Bisa menurunkan demamnya. Tapi…
Adrienne tetap akan mati.
Ambil saja aku, jangan sakiti
dia! Hawk memohon di dalam hati dengan sungguh-sungguh.
“Kita bisa mengurangi rasa
sakitnya. Ada beberapa hal yang bisa aku berikan padanya…”, sang tabib berkata
lembut.
“Siapa orangnya?” Hawk meradang.
Tak mempedulikan sang tabib. “Siapa yang sampai hati melakukan ini? Kenapa ia
harus dibunuh? Apa salahnya?”
Sang tabib memejamkan matanya.
Di pintu, Lidya menarik napas
dengan berat. “Jadi benar Callabron?”
“Ya. Kulit menjadi hitam di
sekeliling luka dan terlihat garis-garis hijau di sana. Ini memang gigitan maut
Callabron.”
Aku tak akan membiarkan ia mati,
Hawk,” Lidya berkata.
Hawk mengangkat mukanya perlahan
dari kedua tangannya. “Ibu.” Kalimat itu adalah permohonan, keputusasaan menjadi
satu. Ibu, hentikan semua ini. Tapi Hawk tahu, ibunya takkan mampu.
“Ada yang berpendapat lebih baik
mengakhiri penderitaan selagi masih ada di tahap awal,” sang tabib menganjurkan
dengan sangat lembut, tak berani menatap mata Hawk.
“Cukup!” Hawk membungkamnya
dengan satu teriakan. “Jika yang kau tawarkan hanya kematian, pergi dari sini!”
Harga diri dan amarah membuat
sang tabib berdiri tegak. “Tuan – “
“Tidak! Aku tak mau dengar! Kita
tak akan membunuhnya! Ia tak akan mati!”
“Mungkin bangsa Rom tahu
penawarnya,” Lidya menganjurkan dengan lembut.
Sang tabib mendengus menjejek.
“Nyonya, percayalah. Bangsa Rom takt ahu apa-apa soal ini. Jika kubilang ini
taka da penawarnya, maka sudah pasti taka da yang bisa menyembuhkannya. Bangsa
garong, penipu dan pencuri itu tak mungkin
bisa –“ Sang tabib tua menghentikan kalimatnya saat melihat pandangan
Hawk.
“Patut dicoba,” Hawk setuju
dengan Lidya.
“Tuan!” Sang tabib bersikeras.
“Bangsa Rom tak lebih dari tukang sulap semata! Mereka –“
“Sedang berkemah di wilayahku,”
Hawk memotong dengan ketus, “Sejak lebih dari tiga puluh tahun, atas izinku,
jadi jaga mulutmu, tua bangka. Jika kau taky akin mereka takt ahu apa-apa,
mangaka kau begitu keberatan mereka datang?”
Sang tabib mencemooh. “Aku hanya
takd yakin tari-tarian, rapalan mantera dan potongan mumi siapa atau apa, bisa
berguna untuk pasienku.” Ia menukas.
Hawk mendengus, jelas sang tabib
tak mengetahui fakta sebenarnya tentang bangsa Rom, sekelompok orang yang
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya mencari kebebasan hidup yang
mereka pilih. Seperti halnya orang-orang yang berani mempertahankan
keyakinannya, bangsa Rom juga sering disalah pahami dan ditakuti. Suku Gypsy
yang berkemah di Dalkeith adalah masyarakat yang pintar dan berbakat. Walaupun
percaya pada takhayu, Hawk sering mendapati “insting” mereka akurat.
Tapi tabib yang satu ini,
seperti halnya kebanyakan orang lain, mereka takut akan sesuatu yang berbeda,
lalu mengutuknya. Ketidakpedulian diterjemahkan sebagai rasa takut, yang dengan
cepat berubah menjadi penghukuman. Hawk membalas dengan tatapan tegas pada sang
orang tua lalu menggeram, “Apapun yang bisa menyembuhkan istriku berguna
untuknya. Peduli setan apakah itu mumi otak kodok. Atau mumi otak tabib
sekalipun.”
Sang tabib menutup mulutnya dan
segera membuat Gerakan tanda salib.
Hawk mengusap matanya dan
menghela nafas. Bangsa Rom adalah kesempatan yang sama baiknya. Ia segera
menitahkan penjaga di pintu kamar untuk mengirim utusan ke tempat perkemahan.
“Kurasa anda melakukan hal yang
salah, Tuan –“
“Satu-satunya kesalahan di dalam
kamar ini adalah jika kau membuka mulutmu lagi,” Hawk menggeram.
Sang tabib berdiri dengan marah,
sendi-sendinya berderik seakan mengajukan protes. Dengan bibir tertekuk, ia
mengeluarkan sebuah stoples terbuat dari batu dan tersegel dengan lilin dari
balik jubahnya. Ia menaruhnya di atas perapian, lau dengan keyakinan yang hanya
dimiliki oleh orang-orang yang selamat dari wabah penyakit, kelaparand atau
perang sampai mencapai usia tua, sang tabib dengan berani menukas, “Anda
mungkin memilih untuk menggunakan ini jika bangsa Rom Anda itu gagal. Dan
mereka pasti gagal.” Lalu menghambur keluar ruangan diiringi suara persendian
yang berderik dan tangan yang kurus yang melambai-lambai.
Hawk menggelengkan kepala dan
memandang nanar kea rah Wanita yang sedang terbaring menggigil di tempat tidur.
Istrinya. Istrinya yang cantik, sombong, pemarah dan sekarat. Hawk
merasa tak berdaya.
Lidya mendekatinya dan menarik
kepala anaknya ke dadanya. “Hawk, anakku saying.” Ia menggumamkan kalimat tak
jelas yang hanya dimengerti oleh seorang ibu.
Waktu berlalu cukup lama, lalu Hawk menarik kepalanya. Jika ia tak bisa menenangkan istrinya, ia tak mau menerima upaya ibunya untuk menenangkan dirinya. “Ceritakan sekali lagi apa yang terjadi di taman.”
***
“Kemari, pelacur cantikku,” Adam
memerintah, dan Esmeralda mendekat.
Esmeralda sudah tak lagi berada
dalam masa penebusan dosa. Ia tahu siapa Adam Black bahkan saat dulu ia
menemuinya. Rakyatnya selalu menyadari dan oleh karenanya selalu berhati-hati.
Apalagi dalam menghadapi yang satu ini. Sebab, jika sampai membangkitkan
amarahnya, atau bahkan hanya menjadi pusat perhatiannya, bisa menjadi penyebab
kematian seluruh bangsa. Dan walaupun kekuatan yang sangat besar seperti itu menyalurkan
rasa takut luar biasa di dalam aliran darah Esmeralda, hal itu juga seperti
obat perangsang baginya.
Apa yang membuatnya datang ke
sini, piker Esmeralda. Itu adalah hal terakhir yang ia pikirkan sebelum Adam
mulaid melakukan sesuatu pada tubuhnya yang membuat segalanya seakan berputar.
Wajah Adam terlihat suram di atasnya, seakan terbingkai nyala api di bawah
pohon rowan. Wangi melati dan cendana merebak dari bumi yang memanas di sekitar
mereka. Sampai akhirnya Esmeralda bisa merayap keluar dari tempat Adam saat
dini hari.
Adam meletakkan jemari di
pelipisnya dan memikirkan strateginya seraya melihat Esmeralda terhuyung keluar
dari tendanya dengan kaki lemas.
“Bodoh!” terdengar suara tajam,
kasar dan penuh perintah. Seketika Adam menjadi kaku. “Yang Mulia memanggil
saya?” ia bertanya pada rajanya yang saat itu tak terlihat olehnya.
“Apa yang kau lakukan kali ini,
Adam?”
“Saya baru saja bersenang-senang
dengan gadis gypsy. Mengapa paduka bertanya?”
“Si cantik sedang terbaring
sekarat.”
“Adrienne?” Adam terperanjat.
“Tidak. Bukan ulah hamba.”
“Kalau begitu perbaiki!”
“Jujur, Yang Mulia, saya taka da
sangkut pautnya dengan hal ini.”
“Aku tak peduli. Selesaikan ini
semua. Sang Ratu akan marah jika kita melanggar perjanjian.”
“Akan hamba selesaikan. Tapi siapa
orangnya yang ingin menghancurkan si cantik?”
“Ini semua permainanmu, tolol.
Jalankan lebih rapi lagi. Sekarang Ang Ratu sudah bertanya tentangmu.”
“Paduka Ratu merindukanku?” Adam
sejenak mematut diri.
Raja Finnbheara mendengus. “Kau mungkin saja memuaskannya, tapi akulah Rajanya.”
***
Suhu tubuh Adrienne meninggi.
Sambil terpasang pada sebatang tongkat, seperti penhyihir tua yang sedang
terperangkap di tengah lautan kayu yang sedang terbakar sementara dipandangi
oleh para penduduk desa. Tolong aku! Ia memohon dengan bibir kering
sambil kejang-kejang di tengah kepulan asap. Seraya terbatuk-batuk, ia
merasakan sensasi seolah ada seribu semut api berkerumun hilir mudik di bawah
kulitnya.
Adrienne tak merasakan Hawk
mengompres dahinya, mengusap tubuhnya dengan lap wol sejuk serta menyelimutinya
dengan selimut wol yang lembut. Hawk menyibakkan rambut basah dari alisnya lalu
mengecupnya dengan lembut. Saat Hawk mengatur perapian, segera ia berbalik dan
menemukan Adrienne kejang-kejang di bawah selimut yang diberikan oleh tabib dan
konon bisa menurunkan demamnya. Putus asa makin melingkupi diri Hawk, lebih
brutal daripada teriakan Highland yang paling lantang sekalipun.
Hawk mengeluarkan suara erangan
saat melihat Adrienne mencakar kulitnya sendiri seolah ingin menghentikan
serangan demam yang menderanya. Jika Hawk tak menyetopnya, Adrienne akan
melukai diri sendiri, tapi Hawk pun tak tega untuk mengikat tangan Adrienne
seperti yang dianjurkan tabib. Terlintas bayangan Adrienne dalam pasungan dan
seketika Hawk menahan diri untuk tidak berteriak marah. Bagaimana ia bisa
berperang melawan musuh tak terlihat yang tidak memiliki kelemahan? Bagaimana
ia mengalahkan racun yang tak punya penawar?
Hawk terdiam sejenak lalu
melucuti pakaiannya sendiri dan melepaskan sepatu botnya. Dengan hanya
mengenakan kilt nya, ia naik ke tempat tidur dan merangkul Adrienne
merapat ke tubuhnya.
“Adrienne!” Seru Hawk seraya
menimang Adrienne dalam pelukannya. Bagaimana mungkin Hawk bisa sesedih ini
untuk orang yang ia belum begitu kenal? Sejak kapan datangnya perasaan ini
bahwa mereka seharusnya memiliki waktu lebih lama lagi bersama?
Hawk bersandar pada dinding,
memeluk Adrienne di antara kedua kakinya, sementara lengannya memeluk Adrienne
yang kejang dan gemetar, dan meletakkan dagunya di atas kepala Adrienne.
Saat malam makin larut, demamnya
semakin meninggi, dan Adrienne mengigau serta mencucurkan air mata.
Adrienne tak akan pernah tahu
bahwa Hawk menciumi setiap tetes air matanya satu persatu.
Adrienne tak akan pernah tahu
bahwa Hawk mendengar dengan hati berat saat Adrienne menyebut nama lelaki yang
menurut Hawk tak layak disebut, dan betapa ia berharap sepenuh hati bahwa ialah
lelaki pertama yang dicintai Adrienne.
Ever-hard -Keras selalu- Darrow
Garrett. Lelaki keparat yang menyakiti hati istrinya.
Lelaki congkak macam apa yang
menamai dirinya keras selalu?
Saat dini hari, Hawk meraba bidak carur gading yang diberikan Grimm padanya, bahkan saat mengigau adrienne meminta benda itu. Hawk mengamatinya dan bertanya-tanya mengapa bidak catur satu ini begitu penting bagi Adrienne, sehingga walaupun ia sedang berada dalam keadaan hidup dan mati seperti ini, ia masih mencarinya.
***
Hawk ternagun oleh suara ribut,
yang menariknya dari tidur lelap tanpa mimpi. Tanpa membuka matanya terlebih
dahulu, ia mencoba merasai sekelilingnya dengan inderanya. Sial! Adrienne masih
panas membara! Bahkan tampaknya lebih panas lagi. Suara apa yang
membangunkannya? Apakah bangsa Rom akhirnya tiba?
“Biarkan aku lewat!” Suara sang
pandai besi menggelegar dari balik pintu, lantang seolah sanggup menggetarkan
pintu. Hawk terbangun sepenuhnya. Suara lelaki itu seketika membuat
sekujur tubuhnya siap berperang.
“Hawk akan membunuhmu, bung,”
Grim mendengus. “Ia sudah tidak menyukaimu, dan ia sedang dalam suasana hati
yang buruk.”
Hawk mengangguk setuju dengan
kata-kata Grim, dan lega ia menempatkan penjaga di luar kamar istrinya. Ia tak
tahu apa yang bisa ia lakukan jika ia terbangun dan mendapati si pandai besi
congkak ini sedang memandanginya saat ia baru tersadar dari tidur.
“Bodoh! Kubilang aku bisa
menyembuhkannya,” tuka sang pandai besi.
Hawk terperanjat.
“Aku, bodoh?” Suara Grimm
terdengar. “Tidak, orang bodohlah yang mengira ia bisa menyembuhkan racun
seperti Callabron!”
“Berani bertaruh, Grimm?” Sang
pandai besi bertanya dengan santai.
“Biarkan ia lewat,” Hawk memberi
perintah dari balik pintu. Ia mendengar suara pedang di singkirkan setelah
sebelumnya tersilang menghalangi jalan masuk ke kamar, lalu sejenak kemudian
terlihatlah Adam, sosok yang besar hampir memenuhi pintu.
“Jika kau datang kemari untuk
mempermainkanku, Adam Black, pergi saja sebelum aku menumpahkan darahmu dan melihatnya
membasahi lantaiku. Sedikit mengganggu, tapi itu bisa membuatku lega.”
“Kenapa kau memeluknya seperti
itu? Seolah kau sayang padanya?”
Hawk mempererat pelukannya. “Ia
sekarat.”
“Tapi kau tak mengenalnya, bung.”
“Aku pun tak tahu mengapa bisa
begitu. Tapi aku tak ingin kehilangan dirinya.”
“Karena ia cantik,” Adam
menawarkan alasan.
“Aku kenal banyak gadis cantik.”
“Ia lebih cantik dari yang lain?”
“Ia lebih berarti dari
yang lain.” Hawk menggesekkan pipinya dengan lembut ke rambut Adrienne. “Untuk
apa kau datang kemari?”
“Kudengar ini perihal Callabron.
Aku bisa menyembuhkannya.”
“Jangan kira kau bisa mengecohku
dengan kemustahilan, pandai besi. Jangan beri aku harapan palsu atau kau akan
terbanting mati di sampingnya.”
“Jangan mengecohku dengan
kemustahilan, Paduka Hawk,” ulang Adam. “Aku bicara jujur tentang penawarnya.”
Hawk mengamati si pandai besi
dengan seksama. “Kenapa kau mau melakukan ini, jika memang kau bisa
menyembuhkannya?”
“Hanya demi pengabdian.” Adam
melintas menuju tempat tidur dan duduk di pinggirnya. Ia mengulurkan tangan,
dan membatalkan saat melihat ekspresi Hawk. “Aku tak bisa menyembuhkannya tanpa
menyentuhnya, Hawk.”
“Kau mengejekku.”
“Aku mengejek segalanya. Jangan
ambil hati. Walaupun dalam kasus ini, situasinya mengharuskan aku untuk untuk
mengambil hati. Tapi aku berkata jujur. Aku bisa menyembuhkannya.”
Hawk mendengus dan mempererat rangkulannya
pada istrinya. “Bagaimana mungkin seorang pandai besi punya pengetahuan yang
sangat berharga seperti ini?”
“Kau membuang waktu dengan
pertanyaan sementara sang nyonya sekarat.”
“Berika penawarnya.”
“Oh, tidak semudah itu, -“
“Sekarang siapa yang membuang
waktu? Aku ingin penawarnya. Beridka padaku dan enyahlah, jika kau
memang memilikinya.”
“Ada imbalan untuk penawarnya,”
Adam menyahut datar.
Hawk sudah mengira ini akan
terjadi. Lelaki ini menginginkan istrinya. “Keparat. Apa yang kau mau?”
Adam menyeringai licik. “Istrimu.
Aku menyelamatkannya, aku mendapatkannya.”
Hawk memejamkan matanya.
Seharusnya ia memecat pandai besi keparat ini selagi masih punya kesempatan. Di
mana bangsa Rom saat ia membutuhkannya? Seharusnya mereka sudah sampai ke
Dalkeith sekarang.
Pandai besi ini bisa
menyembuhkan istrinya, itu katanya.
Bangsa Rom mungkin tak tahu
apa-apa.
Dan imbalan yang diinginkan si
pandai besi karena sudah menyelamatkan istrinya adalah istrinya sendiri.
Setiap sel di tubuh Hawk ingin
menjerit menolak. Memberikan wanita ini, menyerahkan tubuh indahnya pada lelaki
lain? Tidak. Hawk memaksakan matanya membuka dan menatap Adam. Ia harus
mengizinkan lelaki pandai besi keparat yang tampan ini untuk menindih tubuh
istrinya dan membungkam erangan istrinya dengan mulutnya? Seulas senyum keji
muncul di wajah sang pandai besi seolah sedang menikmati peperangan yang sedang
berkecamuk di benak Hawk.
Hawk memaksa agar ekspresi
wajahnyanterlihat tenang. Jangan pernah memperlihatkan emosi yang sesungguhnya.
Jangan pernah biarkan orang lain melihat betapa tersakitinya dirimu. Pelajaran
itu ia dapat dari Raja James.
Namun -tetap saja – apapun
demi nyawa istrinya. “Wanita ini bukan Cuma sekadar imbalan. Aku akan
melepaskannya untukmu jika – dan hanya jika – ia menginginkanmu,” akhirnya kata
itu muncul dari mulut Hawk. Jika istrinya mati, Hawk akan kehilangan dirinya.
Jika ia tetap hidup, sebagai imbalan atas nyawanya, ia juga akan kehilangan
istrinya. Tapi, mungkin tidak. Merasa gagal membunuh amarah yang ia tahu pasti
sedang membara di matanya, membuat Hawk memejamkan matanya sekali lagi.
“Baik. Kau akan memberikannya
padaku jika ia menginginkan aku. Ingat-ingat janjimu ini, Paduka Hawk.”
Hawk memicingkan mata.
Saat ia membuka matanya lagi,
Adam sedang mengulurkan tangannya ke wajah istrinya. Butir-butir keringat
berkilau di atas bibir dan kening istrinya. Luka di lehernya berwarna kehijauan
di sekitar warna hitam. “Kau hanya menyentuhnya untuk menyembuhkannya saja, pandai
besi,” Hawk memperingatkan.
“Untuk sekarang, ya. Jika ia
sembuh, aku bisa menyentuhnya di bagian mana pun yang ia mau.”
“Dia adalah kata
kuncinya.”
Adam menaruh telapak tangannya
di pipi Adrienne, mempelajari dengand seksama luka di lehernya. “Aku butuh air
mendidih, kompres dan dua belas kain linen yang direbus.”
“Ambilkan air mendidih, kompres
dan dua belas kain linen yang direbus,” Hawk berteriak ke arah pintu.
“Dan kau harus keluar dari sini.”
“Tidak.” Kepastian di ucapan
penolakan Hawk itu lebih kuat dari kematian.
“Pergi, atau ia mati,” Adam
menggumam dengan santai seolah bertanya “sekarang sedang hijan, ya?”
Hawk tak beringsut sedikit pun.
“Sidheach James Lyon Douglas,
apa kau punya pilihan lain?” Adam bertanya.
“Kau tahu nama lengkapku.
Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentangku?”
“Sudah menjadi urusanku untuk
tahu banyak tentangmu.”
“Bagaimana aku bnisa yakin bahwa
bukan kau sendiri yang membidiknya dengan racun yang serupa gejalanya dengan
Callabron, dand sekarang kau pura-pura punya penawarnya – agar kau dapat
merebut istriku?”
“Memang,” Adam mengangkat bahu.
“Apa?” Hawk menggeram.
Mata Adam berkilau seperti batu
mulia. “Kau tidak tahu pasti. Kau harus membuat pilihan. Di titik ini,
bisakah kau menyelamatkannya, Paduka Hawk? Kurasa tidak. Apa pilihanmu? Ia
sedang sekarat karena sesuatu, itu sudah jelas terlihat. Mendurutmu ini
Callabron, tapi kau tidak yakin. Apapin itu, hal itu membunuhnya. Kubilang aku
bisa menyembuhkannya dand aku minta imbalam. Apa pilihanmu? Orang bilang kau
memutuskan hal-hal berat dengan mudah. Orang bilang kau bisa memindahkan gunung
tanpa mengerjapkan mata, jika kau menginginkannya. Orang bilang kau memiliki
rasa keadilan yang tak pernah salah, juga kehormatan dan belas kasih. Mereka juga
bilang” - Adam menyeringai “ – bahwa kau
lumayan juga di ranjang, atau setidaknya satu wanita bilang begitu, dan itu
membuatku tersinggung. Bahkan mereka bicara terlalu banyak tentangmu dan aku
tak suka. Aku datang kemari untuk membencimu Hawk. Tapi aku tidak datang kemari
untuk membenci wanita yang kau bilang adalah istrimu ini.”
Adam dan Hawk saling memandang
dengan rasa benci.
Adrienne menjerit dan menggigil
dalam pelukan Hawk. Tubuhnya mengejang lalu tiba-tiba menjadi kaku. Hawk menelan
ludah. Apa pilihannya? Tak ada pilihan, tak ada sama sekali.
“Sembuhkan dia,” Hawk menggumam
sambil mengatupkan rahang.
“Jadi kau mengabulkan
permintaanku?” sang pandai besi bertanya.
“Sesuai kesepakatan. Hanya jika
ia memilihmu.”
“Kau tak diizinkan melarangnya
jika ia memilih untuk bersama denganku. Aku akan merayunya mulai hari ini dan
kau tidak diperbolehkan memberi peringatan agar ia menjauhiku. Ia bebas
menemuiku sesuai keinginannya.”
“Aku akan merayunya juga.”
“Memang seperti itu permainannya,
Hawk,” Adam berkata dengan lembut, dan akhirnya Hawk mengerti. Si pandai besi
tak ingin dihadiahi begitu saja. Ia menginginkan pertandingan, yang akan
menangi perhatian Adrienne. Ia menginginkan sebuah pertandingan terbuka, dan ia
berniat untuk menang.
“Kau akan membenci saat aku
mengambilnya darimu, Hawk,” sang pandai besi berujar. “Tolong tutup pintunya
saat kau keluar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar