Home

Senin, 29 Januari 2024

Beyond The Highland Mist #7

“Di mana suamimu, Lidya?” Adrienne menepuk lehernya. “Nyamuk? Sekarang?”

“Di sini memang ada. Itulah mengapa kita memasang kelambu di tempat tidur selama musim dingin. Sedikit daun mint sepertinya mampu mengusir mereka. Aku membawa beberapa lembar di kantongku dan menyelipkan satu atau dua helai di gaun tidurku.” Ia menawarkan beberapa helai dan Adrianne menerimanya. “TEntang suamiku…” Mata Lidya menerawang. “Lelaki payah itu meninggalkanku tiga puluh tahun lalu. Ia meninggal tepat setelah Hawk dilahirkan.”


“Bagaimana meninggalnya.” Adrianne menyapu dahi dengan tangannya. Matahari mendadak terasa terlalu panas.

“Di kala perang untuk raja, dan saat menjelang ajalnya ia bersumpah, demikian menurut Raja James, mengenai putranya yang akan mengabdi selama lima belas tahun untuk Raja, dan sebagai imbalannya, Raja akan melindungi Dalkeith. Bahkan pengabdian Hawk abaru saja berakhir.”

Adrienne mengernyitkan dahinya dengan bingung. Bunga-bunga Lidya yang berwarna terang bercampur menjadi warna yang membingungkan.

Lidya menjelaskan dengan sabar, “Dalkeith adalah benteng yang kaya. Taka da yang melindunginya saat suamiku wafat. Aku ditinggal sendirian dengan ahli waris yang masih bayi selama dua bulan. Mengenai apakah benar mengenai suamiku bersumpah demikian atau James hanya mengarangnya, aku tak pernah tahu. Aku taky akin bahwa Douglas memberikan sumpah bahwa anak kami akan mengabdi pada Raja James dengan cara apapun, tapi jarang ada yang bisa mendebat sang Raja. Aku tak siap untuk menikah Kembali, duka untuk suamiku terlalu dalam. Para pengawal Raja melindungi Dalkeith sampai aku menanggalkan pakaian hitam berduka milikku. Tapi James memberi kami perlindungan dengan syarat Hawk melapor ke Edinburgh di hari jadinya yang ke delapan belas, untuk lima belas tahun mengabdi. Menurut dia, seperti sumpah yang diucapkan suamiku.”

“Kau tak percaya suamimu bersumpah tentang Hawk?” Adrienne bertanya, pandangan matanya mulai keruh. Ia memejamkan matanya dengan kuat sesaat dan pandangannya jelas Kembali.

Wajah cantik Lidya menjadi murung, dan untuk beberapa saat sepertinya ia tak ingin menjawab pertanyaan Adrienne. Ia bisa melihat kenangan melintas di alisnya, ada yang indah, ada yang menyakitkan. “Douglas adalah pinangan yang kedua, Adrienne.”

“Dan siapa yang pertama?” Adrienne bertanya, menyusurkan ujung jarinya di genangan air terjun yang sejuk, lalu meneteskan beberapa tetes ke dahinya.

“Raja James.”

“Ah! Lelaki yang terhina.”

“Sangat terhina. Dan juga bukan pemaaf. Raja James telah menjatuhkan pilihannya padauk dan tak ingin beralih. Saat itu usiaku enam belas tahun, dan aku sedang berada di istana dengan ibumu, Althea. Kami banyak menerima pinangan saat itu, dan James adalah salah satu peminang yang gigih. Akdu tak terlalu menganggap ia serius, sebab ia seorang raja. Setelahnya aku baru menyadari betapa seriusnya ia. Namun sudah terlambat. Aku sudah menjatuhkan pilihanku pada Douglas sejak aku masih kecil. Dan Douglas sendiri tak perlu usaha keras untuk meyakinkannya.” Mata hijau Lidya berkilau mengingat kenangan indah itu.

“Jadi Sang Raja membenci Hawk karena kau menolak pinangannya? Kekanak-kanakan sekali.”

“Memang. James dimanjakan sejak ia dilahirkan. Ia dimanjakan tanpa henti. Saat ia mencapai usia nikah, ia malah lebih parah lagi dimanjakan. Seumur hidupnya ia tidak pernah mendengar kata tidak dan tak berniat mendengarnya. Ia tak bisa mengerti bagaimana seorang Wanita memilih menjadi istri seorang bangsawan biasa daripada menjadi ratu seantero Skotlandia.”

Sesaat Adrienne memikirkan tentang keluarga bangsawan di masanya. Betapa seorang bersedia berkorban untuk menjadi Putri dan Ratu sehari. Lidya sudah mengambil pilihan tepat karena menikah atas dasar cinta.

“Yang membuatnya murka, ia sudah terlalu bodoh mengumumkan di istananya bahwa aku akan menjadi ratunya, bahkan setelah aku menolak pinangannya di beberapa acara sekaligus. Aku menikahi Douglas satu hari setelah ‘proklamasi’nya, walaupun kami berdua baru mengetahui hal itu berminggu-minggu setelahnya, saat akhirnya berita itu sampai di Dalkeith. Suamiku bilang, kami baru saja menciptakan satu musuh yang kuat hari itu. Tapi kurasa kami berdua tak ada yang menyadari betapa pendendamnya ia. Kurasa ada banyak penugasan sang Raja yang tak mau Hawk ceritakan. Kabar burung mengatakan bahwa ia mengancam akan menghancurkan Dalkeith kecuali Hawk menuruti segala perintahnya.” Suara Lidya terdengar bergetar. “Hawk takt ahu, tapi aku pergi menemui James, segera setelah aku mendengar cerita pengabdiannya. Aku memohon agar ia mencabut kuasanya atas putraku itu.” Mata Lidya berkaca-kaca. “Ia hanya tertawa dan bilang bahwa jika aku menikah dengan benar, Hawk akan menjadid anak raja daripada budak raja.”

Adrienne mengusap lehernya dan mengerjapkan mata kuat-kuat. Pandangannya mengabur dan kepalanya sakit. “Terhina di depan umum,” ujarnya. “Aku tak pernah bertemu seorang lelakipun yang bisa menerima hal itu dengan baik.”

“Aku yakin itu juga alas an mengapa Raja James memerintahkan Hawk menikah sesuai keinginannya,” Lidya berbisik. “Hanya sebuah cara untuk memperlama pembalasannya. Kurasa ia hamper merasa kecele dengan kematian suamiku, dan terkadang aku berpikir apa yang ia lakukan pada kami jika sua miku hidup lebih lama lagi. Sungguh ia berubah menjadi orang yang keji.” Lidya menggelengkan kepalanya. “Aku bersyukur kaulah orangnya, Adrienne. Sang Raja pasti akan sangat benci jika mengetahui betapa cantik dan tidak gilanya kau. Kau memang orang yang dibutuhkan oleh Hawk. Bukan gadis pemalu atau cengeng, tapdi seorang Wanita yang tegar dan cerdas.”

Wajah Adrienne memerah senang. Temperature panas ini membuat kepalanya merasa aneh. “Tadi kau bilang kau menikah lagi. Kau juga punya anak lainnya?” Adrienne bertanya, mencoba sekuat tenaga tetap bertahan melangsungkan pembicaraan.

Senyuman Kembali terkembang di wajah Lidya. “Oh, benar, Adrian dan Ilysse. Mereka ada di Prancis Bersama adikku, Elisabeth. Di suratnya yang terbaru ia bilang Adrian sekarang menjadi begundal dan ia kapok mencoba mengajari Ilyess.” Lidya tertawa.” Ilyess memangsering berapi-api dan kadang-kadang sulit ditangani. Kau pasti suka padanya.”

Adrienne kurang yakin bagaimana ia harus menanggapinya, sehingga ia diam saja. Lagipula, ia merasa tak enak badan. Pandangan matanya mengabur, perutnya sakit dan mulutnya kering. Ia mencoba menelan. “Wallah hubbah bah?” ia bersuara serak.

“Adrienne?” Lidya memandangnya dengan prihatin. “Adrienne!” ia menaruh tangannya ked ahi Adrienne. “Badanmu panas sekali!”

Adrienne mengerang sembari tubuhnya condong ke depan dan terjatuh di jalan setapak.

“Hawk!” Lidya menjerit.

***

“RACUN.” WAJAH HAWK BERUBAH MURAM. Ia mengamati dengan seksama anak panah kecil yang diletakkan sang tabib tua di atas kain.

“Callabron,” ujar sang tabib sambal menyapu janggut panjangnya yang berwarna putih lalu duduk di samping Adrienne.

Hawk mengerang. Callabron bukanlah racun yang ringan. Racun ini kejam dan perlahan, menyebabkan rasa sakit berhari-hari lalu mengakhiri hidup korbannya dengan kehabisan nafas saraya melumpuhkan tubuh dari luar ke dalam.

Hawk menyadari racun ini taka da penawarnya. Ia pernah mendengar tentang racun jenis ini saat ia masih mengabdi pada Raja James. Racun jenis ini dikabarkan sudah banyak memakan korban para kerabat kerajaan. Jika ada yang ingin menyingkirkan seorang calon raja, makai a tak segan-segan menggunakan racun yang tak mungkin gagal. Kedua tangan Hawk menutupi kepala, lalu mengusap matanya yang Lelah dengan marah. Suhu panas dari api yang menyala besar, sungguh tak membantu apa-apa. Tapi suhu panas ini bisa membantu Adrienne, demikian nasihat sang tabib. Bisa menurunkan demamnya. Tapi… Adrienne tetap akan mati.

Ambil saja aku, jangan sakiti dia! Hawk memohon di dalam hati dengan sungguh-sungguh.

“Kita bisa mengurangi rasa sakitnya. Ada beberapa hal yang bisa aku berikan padanya…”, sang tabib berkata lembut.

“Siapa orangnya?” Hawk meradang. Tak mempedulikan sang tabib. “Siapa yang sampai hati melakukan ini? Kenapa ia harus dibunuh? Apa salahnya?”

Sang tabib memejamkan matanya.

Di pintu, Lidya menarik napas dengan berat. “Jadi benar Callabron?”

“Ya. Kulit menjadi hitam di sekeliling luka dan terlihat garis-garis hijau di sana. Ini memang gigitan maut Callabron.”

Aku tak akan membiarkan ia mati, Hawk,” Lidya berkata.

Hawk mengangkat mukanya perlahan dari kedua tangannya. “Ibu.” Kalimat itu adalah permohonan, keputusasaan menjadi satu. Ibu, hentikan semua ini. Tapi Hawk tahu, ibunya takkan mampu.

“Ada yang berpendapat lebih baik mengakhiri penderitaan selagi masih ada di tahap awal,” sang tabib menganjurkan dengan sangat lembut, tak berani menatap mata Hawk.

“Cukup!” Hawk membungkamnya dengan satu teriakan. “Jika yang kau tawarkan hanya kematian, pergi dari sini!”

Harga diri dan amarah membuat sang tabib berdiri tegak. “Tuan – “

“Tidak! Aku tak mau dengar! Kita tak akan membunuhnya! Ia tak akan mati!”

“Mungkin bangsa Rom tahu penawarnya,” Lidya menganjurkan dengan lembut.

Sang tabib mendengus menjejek. “Nyonya, percayalah. Bangsa Rom takt ahu apa-apa soal ini. Jika kubilang ini taka da penawarnya, maka sudah pasti taka da yang bisa menyembuhkannya. Bangsa garong, penipu dan pencuri itu tak mungkin  bisa –“ Sang tabib tua menghentikan kalimatnya saat melihat pandangan Hawk.

“Patut dicoba,” Hawk setuju dengan Lidya.

“Tuan!” Sang tabib bersikeras. “Bangsa Rom tak lebih dari tukang sulap semata! Mereka –“

“Sedang berkemah di wilayahku,” Hawk memotong dengan ketus, “Sejak lebih dari tiga puluh tahun, atas izinku, jadi jaga mulutmu, tua bangka. Jika kau taky akin mereka takt ahu apa-apa, mangaka kau begitu keberatan mereka datang?”

Sang tabib mencemooh. “Aku hanya takd yakin tari-tarian, rapalan mantera dan potongan mumi siapa atau apa, bisa berguna untuk pasienku.” Ia menukas.

Hawk mendengus, jelas sang tabib tak mengetahui fakta sebenarnya tentang bangsa Rom, sekelompok orang yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya mencari kebebasan hidup yang mereka pilih. Seperti halnya orang-orang yang berani mempertahankan keyakinannya, bangsa Rom juga sering disalah pahami dan ditakuti. Suku Gypsy yang berkemah di Dalkeith adalah masyarakat yang pintar dan berbakat. Walaupun percaya pada takhayu, Hawk sering mendapati “insting” mereka akurat.

Tapi tabib yang satu ini, seperti halnya kebanyakan orang lain, mereka takut akan sesuatu yang berbeda, lalu mengutuknya. Ketidakpedulian diterjemahkan sebagai rasa takut, yang dengan cepat berubah menjadi penghukuman. Hawk membalas dengan tatapan tegas pada sang orang tua lalu menggeram, “Apapun yang bisa menyembuhkan istriku berguna untuknya. Peduli setan apakah itu mumi otak kodok. Atau mumi otak tabib sekalipun.”

Sang tabib menutup mulutnya dan segera membuat Gerakan tanda salib.

Hawk mengusap matanya dan menghela nafas. Bangsa Rom adalah kesempatan yang sama baiknya. Ia segera menitahkan penjaga di pintu kamar untuk mengirim utusan ke tempat perkemahan.

“Kurasa anda melakukan hal yang salah, Tuan –“

“Satu-satunya kesalahan di dalam kamar ini adalah jika kau membuka mulutmu lagi,” Hawk menggeram.

Sang tabib berdiri dengan marah, sendi-sendinya berderik seakan mengajukan protes. Dengan bibir tertekuk, ia mengeluarkan sebuah stoples terbuat dari batu dan tersegel dengan lilin dari balik jubahnya. Ia menaruhnya di atas perapian, lau dengan keyakinan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang selamat dari wabah penyakit, kelaparand atau perang sampai mencapai usia tua, sang tabib dengan berani menukas, “Anda mungkin memilih untuk menggunakan ini jika bangsa Rom Anda itu gagal. Dan mereka pasti gagal.” Lalu menghambur keluar ruangan diiringi suara persendian yang berderik dan tangan yang kurus yang melambai-lambai.

Hawk menggelengkan kepala dan memandang nanar kea rah Wanita yang sedang terbaring menggigil di tempat tidur. Istrinya. Istrinya yang cantik, sombong, pemarah dan sekarat. Hawk merasa tak berdaya.

Lidya mendekatinya dan menarik kepala anaknya ke dadanya. “Hawk, anakku saying.” Ia menggumamkan kalimat tak jelas yang hanya dimengerti oleh seorang ibu.

Waktu berlalu cukup lama, lalu Hawk menarik kepalanya. Jika ia tak bisa menenangkan istrinya, ia tak mau menerima upaya ibunya untuk menenangkan dirinya. “Ceritakan sekali lagi apa yang terjadi di taman.”

***

“Kemari, pelacur cantikku,” Adam memerintah, dan Esmeralda mendekat.

Esmeralda sudah tak lagi berada dalam masa penebusan dosa. Ia tahu siapa Adam Black bahkan saat dulu ia menemuinya. Rakyatnya selalu menyadari dan oleh karenanya selalu berhati-hati. Apalagi dalam menghadapi yang satu ini. Sebab, jika sampai membangkitkan amarahnya, atau bahkan hanya menjadi pusat perhatiannya, bisa menjadi penyebab kematian seluruh bangsa. Dan walaupun kekuatan yang sangat besar seperti itu menyalurkan rasa takut luar biasa di dalam aliran darah Esmeralda, hal itu juga seperti obat perangsang baginya.

Apa yang membuatnya datang ke sini, piker Esmeralda. Itu adalah hal terakhir yang ia pikirkan sebelum Adam mulaid melakukan sesuatu pada tubuhnya yang membuat segalanya seakan berputar. Wajah Adam terlihat suram di atasnya, seakan terbingkai nyala api di bawah pohon rowan. Wangi melati dan cendana merebak dari bumi yang memanas di sekitar mereka. Sampai akhirnya Esmeralda bisa merayap keluar dari tempat Adam saat dini hari.

Adam meletakkan jemari di pelipisnya dan memikirkan strateginya seraya melihat Esmeralda terhuyung keluar dari tendanya dengan kaki lemas.

“Bodoh!” terdengar suara tajam, kasar dan penuh perintah. Seketika Adam menjadi kaku. “Yang Mulia memanggil saya?” ia bertanya pada rajanya yang saat itu tak terlihat olehnya.

“Apa yang kau lakukan kali ini, Adam?”

“Saya baru saja bersenang-senang dengan gadis gypsy. Mengapa paduka bertanya?”

“Si cantik sedang terbaring sekarat.”

“Adrienne?” Adam terperanjat. “Tidak. Bukan ulah hamba.”

“Kalau begitu perbaiki!”

“Jujur, Yang Mulia, saya taka da sangkut pautnya dengan hal ini.”

“Aku tak peduli. Selesaikan ini semua. Sang Ratu akan marah jika kita melanggar perjanjian.”

“Akan hamba selesaikan. Tapi siapa orangnya yang ingin menghancurkan si cantik?”

“Ini semua permainanmu, tolol. Jalankan lebih rapi lagi. Sekarang Ang Ratu sudah bertanya tentangmu.”

“Paduka Ratu merindukanku?” Adam sejenak mematut diri.

Raja Finnbheara mendengus. “Kau mungkin saja memuaskannya, tapi akulah Rajanya.”

***

Suhu tubuh Adrienne meninggi. Sambil terpasang pada sebatang tongkat, seperti penhyihir tua yang sedang terperangkap di tengah lautan kayu yang sedang terbakar sementara dipandangi oleh para penduduk desa. Tolong aku! Ia memohon dengan bibir kering sambil kejang-kejang di tengah kepulan asap. Seraya terbatuk-batuk, ia merasakan sensasi seolah ada seribu semut api berkerumun hilir mudik di bawah kulitnya.

Adrienne tak merasakan Hawk mengompres dahinya, mengusap tubuhnya dengan lap wol sejuk serta menyelimutinya dengan selimut wol yang lembut. Hawk menyibakkan rambut basah dari alisnya lalu mengecupnya dengan lembut. Saat Hawk mengatur perapian, segera ia berbalik dan menemukan Adrienne kejang-kejang di bawah selimut yang diberikan oleh tabib dan konon bisa menurunkan demamnya. Putus asa makin melingkupi diri Hawk, lebih brutal daripada teriakan Highland yang paling lantang sekalipun.

Hawk mengeluarkan suara erangan saat melihat Adrienne mencakar kulitnya sendiri seolah ingin menghentikan serangan demam yang menderanya. Jika Hawk tak menyetopnya, Adrienne akan melukai diri sendiri, tapi Hawk pun tak tega untuk mengikat tangan Adrienne seperti yang dianjurkan tabib. Terlintas bayangan Adrienne dalam pasungan dan seketika Hawk menahan diri untuk tidak berteriak marah. Bagaimana ia bisa berperang melawan musuh tak terlihat yang tidak memiliki kelemahan? Bagaimana ia mengalahkan racun yang tak punya penawar?

Hawk terdiam sejenak lalu melucuti pakaiannya sendiri dan melepaskan sepatu botnya. Dengan hanya mengenakan kilt nya, ia naik ke tempat tidur dan merangkul Adrienne merapat ke tubuhnya.

“Adrienne!” Seru Hawk seraya menimang Adrienne dalam pelukannya. Bagaimana mungkin Hawk bisa sesedih ini untuk orang yang ia belum begitu kenal? Sejak kapan datangnya perasaan ini bahwa mereka seharusnya memiliki waktu lebih lama lagi bersama?

Hawk bersandar pada dinding, memeluk Adrienne di antara kedua kakinya, sementara lengannya memeluk Adrienne yang kejang dan gemetar, dan meletakkan dagunya di atas kepala Adrienne.

Saat malam makin larut, demamnya semakin meninggi, dan Adrienne mengigau serta mencucurkan air mata.

Adrienne tak akan pernah tahu bahwa Hawk menciumi setiap tetes air matanya satu persatu.

Adrienne tak akan pernah tahu bahwa Hawk mendengar dengan hati berat saat Adrienne menyebut nama lelaki yang menurut Hawk tak layak disebut, dan betapa ia berharap sepenuh hati bahwa ialah lelaki pertama yang dicintai Adrienne.

Ever-hard -Keras selalu- Darrow Garrett. Lelaki keparat yang menyakiti hati istrinya.

Lelaki congkak macam apa yang menamai dirinya keras selalu?

Saat dini hari, Hawk meraba bidak carur gading yang diberikan Grimm padanya, bahkan saat mengigau adrienne meminta benda itu. Hawk mengamatinya dan bertanya-tanya mengapa bidak catur satu ini begitu penting bagi Adrienne, sehingga walaupun ia sedang berada dalam keadaan hidup dan mati seperti ini, ia masih mencarinya.

***

Hawk ternagun oleh suara ribut, yang menariknya dari tidur lelap tanpa mimpi. Tanpa membuka matanya terlebih dahulu, ia mencoba merasai sekelilingnya dengan inderanya. Sial! Adrienne masih panas membara! Bahkan tampaknya lebih panas lagi. Suara apa yang membangunkannya? Apakah bangsa Rom akhirnya tiba?

“Biarkan aku lewat!” Suara sang pandai besi menggelegar dari balik pintu, lantang seolah sanggup menggetarkan pintu. Hawk terbangun sepenuhnya. Suara lelaki itu seketika membuat sekujur tubuhnya siap berperang.

“Hawk akan membunuhmu, bung,” Grim mendengus. “Ia sudah tidak menyukaimu, dan ia sedang dalam suasana hati yang buruk.”

Hawk mengangguk setuju dengan kata-kata Grim, dan lega ia menempatkan penjaga di luar kamar istrinya. Ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan jika ia terbangun dan mendapati si pandai besi congkak ini sedang memandanginya saat ia baru tersadar dari tidur.

“Bodoh! Kubilang aku bisa menyembuhkannya,” tuka sang pandai besi.

Hawk terperanjat.

“Aku, bodoh?” Suara Grimm terdengar. “Tidak, orang bodohlah yang mengira ia bisa menyembuhkan racun seperti Callabron!”

“Berani bertaruh, Grimm?” Sang pandai besi bertanya dengan santai.

“Biarkan ia lewat,” Hawk memberi perintah dari balik pintu. Ia mendengar suara pedang di singkirkan setelah sebelumnya tersilang menghalangi jalan masuk ke kamar, lalu sejenak kemudian terlihatlah Adam, sosok yang besar hampir memenuhi pintu.

“Jika kau datang kemari untuk mempermainkanku, Adam Black, pergi saja sebelum aku menumpahkan darahmu dan melihatnya membasahi lantaiku. Sedikit mengganggu, tapi itu bisa membuatku lega.”

“Kenapa kau memeluknya seperti itu? Seolah kau sayang padanya?”

Hawk mempererat pelukannya. “Ia sekarat.”

“Tapi kau tak mengenalnya, bung.”

“Aku pun tak tahu mengapa bisa begitu. Tapi aku tak ingin kehilangan dirinya.”

“Karena ia cantik,” Adam menawarkan alasan.

“Aku kenal banyak gadis cantik.”

“Ia lebih cantik dari yang lain?”

“Ia lebih berarti dari yang lain.” Hawk menggesekkan pipinya dengan lembut ke rambut Adrienne. “Untuk apa kau datang kemari?”

“Kudengar ini perihal Callabron. Aku bisa menyembuhkannya.”

“Jangan kira kau bisa mengecohku dengan kemustahilan, pandai besi. Jangan beri aku harapan palsu atau kau akan terbanting mati di sampingnya.”

“Jangan mengecohku dengan kemustahilan, Paduka Hawk,” ulang Adam. “Aku bicara jujur tentang penawarnya.”

Hawk mengamati si pandai besi dengan seksama. “Kenapa kau mau melakukan ini, jika memang kau bisa menyembuhkannya?”

“Hanya demi pengabdian.” Adam melintas menuju tempat tidur dan duduk di pinggirnya. Ia mengulurkan tangan, dan membatalkan saat melihat ekspresi Hawk. “Aku tak bisa menyembuhkannya tanpa menyentuhnya, Hawk.”

“Kau mengejekku.”

“Aku mengejek segalanya. Jangan ambil hati. Walaupun dalam kasus ini, situasinya mengharuskan aku untuk untuk mengambil hati. Tapi aku berkata jujur. Aku bisa menyembuhkannya.”

Hawk mendengus dan mempererat rangkulannya pada istrinya. “Bagaimana mungkin seorang pandai besi punya pengetahuan yang sangat berharga seperti ini?”

“Kau membuang waktu dengan pertanyaan sementara sang nyonya sekarat.”

“Berika penawarnya.”

“Oh, tidak semudah itu, -“

“Sekarang siapa yang membuang waktu? Aku ingin penawarnya. Beridka padaku dan enyahlah, jika kau memang memilikinya.”

“Ada imbalan untuk penawarnya,” Adam menyahut datar.

Hawk sudah mengira ini akan terjadi. Lelaki ini menginginkan istrinya. “Keparat. Apa yang kau mau?”

Adam menyeringai licik. “Istrimu. Aku menyelamatkannya, aku mendapatkannya.”

Hawk memejamkan matanya. Seharusnya ia memecat pandai besi keparat ini selagi masih punya kesempatan. Di mana bangsa Rom saat ia membutuhkannya? Seharusnya mereka sudah sampai ke Dalkeith sekarang.

Pandai besi ini bisa menyembuhkan istrinya, itu katanya.

Bangsa Rom mungkin tak tahu apa-apa.

Dan imbalan yang diinginkan si pandai besi karena sudah menyelamatkan istrinya adalah istrinya sendiri.

Setiap sel di tubuh Hawk ingin menjerit menolak. Memberikan wanita ini, menyerahkan tubuh indahnya pada lelaki lain? Tidak. Hawk memaksakan matanya membuka dan menatap Adam. Ia harus mengizinkan lelaki pandai besi keparat yang tampan ini untuk menindih tubuh istrinya dan membungkam erangan istrinya dengan mulutnya? Seulas senyum keji muncul di wajah sang pandai besi seolah sedang menikmati peperangan yang sedang berkecamuk di benak Hawk.

Hawk memaksa agar ekspresi wajahnyanterlihat tenang. Jangan pernah memperlihatkan emosi yang sesungguhnya. Jangan pernah biarkan orang lain melihat betapa tersakitinya dirimu. Pelajaran itu ia dapat dari Raja James.

Namun -tetap saja – apapun demi nyawa istrinya. “Wanita ini bukan Cuma sekadar imbalan. Aku akan melepaskannya untukmu jika – dan hanya jika – ia menginginkanmu,” akhirnya kata itu muncul dari mulut Hawk. Jika istrinya mati, Hawk akan kehilangan dirinya. Jika ia tetap hidup, sebagai imbalan atas nyawanya, ia juga akan kehilangan istrinya. Tapi, mungkin tidak. Merasa gagal membunuh amarah yang ia tahu pasti sedang membara di matanya, membuat Hawk memejamkan matanya sekali lagi.

“Baik. Kau akan memberikannya padaku jika ia menginginkan aku. Ingat-ingat janjimu ini, Paduka Hawk.”

Hawk memicingkan mata.

Saat ia membuka matanya lagi, Adam sedang mengulurkan tangannya ke wajah istrinya. Butir-butir keringat berkilau di atas bibir dan kening istrinya. Luka di lehernya berwarna kehijauan di sekitar warna hitam. “Kau hanya menyentuhnya untuk menyembuhkannya saja, pandai besi,” Hawk memperingatkan.

“Untuk sekarang, ya. Jika ia sembuh, aku bisa menyentuhnya di bagian mana pun yang ia mau.”

Dia adalah kata kuncinya.”

Adam menaruh telapak tangannya di pipi Adrienne, mempelajari dengand seksama luka di lehernya. “Aku butuh air mendidih, kompres dan dua belas kain linen yang direbus.”

“Ambilkan air mendidih, kompres dan dua belas kain linen yang direbus,” Hawk berteriak ke arah pintu.

“Dan kau harus keluar dari sini.”

“Tidak.” Kepastian di ucapan penolakan Hawk itu lebih kuat dari kematian.

“Pergi, atau ia mati,” Adam menggumam dengan santai seolah bertanya “sekarang sedang hijan, ya?”

Hawk tak beringsut sedikit pun.

“Sidheach James Lyon Douglas, apa kau punya pilihan lain?” Adam bertanya.

“Kau tahu nama lengkapku. Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentangku?”

“Sudah menjadi urusanku untuk tahu banyak tentangmu.”

“Bagaimana aku bnisa yakin bahwa bukan kau sendiri yang membidiknya dengan racun yang serupa gejalanya dengan Callabron, dand sekarang kau pura-pura punya penawarnya – agar kau dapat merebut istriku?”

“Memang,” Adam mengangkat bahu.

“Apa?” Hawk menggeram.

Mata Adam berkilau seperti batu mulia. “Kau tidak tahu pasti. Kau harus membuat pilihan. Di titik ini, bisakah kau menyelamatkannya, Paduka Hawk? Kurasa tidak. Apa pilihanmu? Ia sedang sekarat karena sesuatu, itu sudah jelas terlihat. Mendurutmu ini Callabron, tapi kau tidak yakin. Apapin itu, hal itu membunuhnya. Kubilang aku bisa menyembuhkannya dand aku minta imbalam. Apa pilihanmu? Orang bilang kau memutuskan hal-hal berat dengan mudah. Orang bilang kau bisa memindahkan gunung tanpa mengerjapkan mata, jika kau menginginkannya. Orang bilang kau memiliki rasa keadilan yang tak pernah salah, juga kehormatan dan belas kasih. Mereka juga bilang” -  Adam menyeringai “ – bahwa kau lumayan juga di ranjang, atau setidaknya satu wanita bilang begitu, dan itu membuatku tersinggung. Bahkan mereka bicara terlalu banyak tentangmu dan aku tak suka. Aku datang kemari untuk membencimu Hawk. Tapi aku tidak datang kemari untuk membenci wanita yang kau bilang adalah istrimu ini.”

Adam dan Hawk saling memandang dengan rasa benci.

Adrienne menjerit dan menggigil dalam pelukan Hawk. Tubuhnya mengejang lalu tiba-tiba menjadi kaku. Hawk menelan ludah. Apa pilihannya? Tak ada pilihan, tak ada sama sekali.

“Sembuhkan dia,” Hawk menggumam sambil mengatupkan rahang.

“Jadi kau mengabulkan permintaanku?” sang pandai besi bertanya.

“Sesuai kesepakatan. Hanya jika ia memilihmu.”

“Kau tak diizinkan melarangnya jika ia memilih untuk bersama denganku. Aku akan merayunya mulai hari ini dan kau tidak diperbolehkan memberi peringatan agar ia menjauhiku. Ia bebas menemuiku sesuai keinginannya.”

“Aku akan merayunya juga.”

“Memang seperti itu permainannya, Hawk,” Adam berkata dengan lembut, dan akhirnya Hawk mengerti. Si pandai besi tak ingin dihadiahi begitu saja. Ia menginginkan pertandingan, yang akan menangi perhatian Adrienne. Ia menginginkan sebuah pertandingan terbuka, dan ia berniat untuk menang.

“Kau akan membenci saat aku mengambilnya darimu, Hawk,” sang pandai besi berujar. “Tolong tutup pintunya saat kau keluar.”

 

Sinopsis 

Sebelumnya

 

 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar