Sidheach
James Lyon Douglas mengelus rahangnya yang tak tercukur dengan tangannya yang
kasar. Amarah? Mungkin. Tak percaya, tentu. Sifat posesif. Dari mana
datangnya.
Amarah.
Ya, benar. Amarah yang dingin dan kelam yang menggerogotinya dari dalam dan
minuman Scotch ini hanya menambah parah semuanya.
Ia
sudah berdiri dan melihat istrinya kelaparan dengan matanya sendiri. Ia melihat
sendiri gairah membara istrinya akan seorang pria –dan bukan dirinya. Sulit
dipercaya.
“Teruslah
minun seperti itu dan kita tak akan bisa sampai ke Uster besok,” Grimm memperingatkan.
“Aku
tak akan pergi ke Uster besok. Bisa-bisa istriku sudah menggendong bayi saat
aku pulang dari sana.”
Grimm
menyeringai. “Ia benar-benar marah padamu, kau tahu?”
“Dia
marah sekali padaku?”
“Kau
terlalu mabuk untuk menikahinya, apalagi menidurinya, dan sekarang kau gelisah
sebab ia memandangi Adam dengan pandangan suka.”
“Suka?
Coba beri gadis itu penggali tanah, ia akan menggunakannya untuk kabur sambil
makan malam!”
“Lalu?”
“Dia
istriku.”
“Oh,
ini terlalu berat buatku. Dulu kau bilang kau tak akan peduli pada istrimu
begitu pernikahan selesai. Kau sudah bersumpah untuk mematuhi keputusan Raja,
dan itu sudah kau kerjakan. Lalu mengapa harus marah, Hawk?”
“Aku
tak ingin ia menjadikanku suami yang istrinya tak setia.”
“Aku
yakin suami yang demikian adalah jika sang suami peduli. Kau kan tidak peduli.”
“Tak
ada yang pernah bertanya apa aku
peduli atau tidak.”
Grimm
mengerjapkan matanya, kagum akan perilaku Hawk. “Semua wanita memandangi Adam
seperti itu.”
“Ia
bahkan tak menganggapku. Adam yang ia inginkan. Siapa orang yang menggaji
pandai besi itu?”
Grimm
tersenyum sambil memandang minumannya. “Bukankah Thomas si Pandai besi?”
“Benar
juga.”
“Ke
mana Thomas?”
“Aku
tak tahu, Grimm. Maka itu aku bertanya.”
“Pasti
ada yang mempekerjakan Adam.”
“Bukan
kau?”
“Tidak.
Kurasa kaulah orangnya, Hawk.”
“Tidak.
Mungkin dia itu adik Thomas dan Thomas sedang sakit keras.”
Grimm
tertawa. “Thomas yang jelek itu kakaknya? Tak mungkin.”
“Singkirkan
dia.”
“Adam?”
“Ya.”
Sunyi.
Lalu,
“Demi Tuhan, Hawk, kau pasti bercanda! Bukan kebiasaanmu merampas penghidupan
seorang pria karena cara seorang gadis memandangnya...”
“Gadis
yang satu ini istriku.”
“Betul
–yang sama sekali tak kau inginkan.”
“Aku
mengubah pikiran.”
“Lagipula,
ia berhasil membuat Esmeralda cukup senang, Hawk.”
Sidheach
menghela napas. “Benar juga.” Ia terdiam sejenak seakan termakan cemburu.
“Grimm?”
“Hm?”
“Katakan
padanya untuk tetap berpakaian saat ia bekerja. Ini perintah.”
***
Tapi
Hawk tak bisa mendiamkan hal itu. Benaknya baru menyadari tempat kakinya
menyeret tubuhnya saat ia sudah mendekati nyala api di bawah pohon Rowan di
tempat Adam menempa besi.
“Selama
datang Lord Hawk dari Dalketih-Upon-The-Sea.”
Hawk
memutar badannya sehingga bertatapan dengan si pandai besi, yang berada di
belakangnya. Tak banyak orang yang bisa mengagetkan Hawk, dan untuk sesaat Hawk
kagum sekaligus jengkel terhadap tukang besi satu ini.
“Aku
tak mempekerjakanmu. Siapa kau?”
“Adam,”
balas si pandai besi dengan tenang.
“Adam
apa?”
Si
pandai besi berpikir sejenak, lalau tersenyum nakal. “Adam Black.”
“Siapa
yang menggajimu?”
“Kudengar
anda butuh seseorang untuk mengurus bengkel pandai besi.”
“Jangan
ganggu istriku.” Hawk terkejut mendengar kalimat yang melompat keluar dari
mulutnya sendiri. Demi Tuhan, ia seperti
suami yang cemburuan! Ia berniat untuk memaksa informasi tentang siapa yang
menyewa pandai besi ini, tapi tampaknya ia tak bisa menguasai mulutnya serta
kakinya; setidaknya bukan hal yang menjadi perhatian istri barunya.
Adam
tertawa culas. “Aku tak akan melakukan hal yang tak diinginkan sang nyonya.”
“Kau
tak akan melakukan hal yang tak aku
inginkan.”
“Kudengar
sang nyonya tak menginginkanmu.”
“Ia
pasti menginginkanku.”
“Jika
tidak?”
“Semua
wanita menginginkanku.”
“Lucu
sekali. Aku juga punya masalah yang sama.”
“Kau
cukup kurangajar untuk ukuran seorang pandai besi. Siapa tuan tanahmu
sebelumnya?”
“Belum
pernah ada orang yang pantas kupanggil majikan.”
“Lucu
sekali, pandai besi. Aku juga punya masalah yang sama.”
Kedua
lelaki itu berdiri berhadapan. Kukuh seperti baja.
“Aku
bisa memerintahmu dari tanahku,” Hawk berkata sengit.
“Ah,
tapi kau tak akan tahu siapa yang akan ia pilih, kau atau aku? Dan kukira ada
sebuah bentuk kesopanan di dalam dirimu, yang menjerit membutuhkan adat lama
macam keadilan, sifat ksatria, kehormatan dan keadilan. Hawk yang bodoh.
Seluruh ksatria tak lama lagi akan punah, seperti debu-debu mimpi yang
terhembus melintasi khayalan waktu yang senantiasa berubah.”
“Kau
lancang. Dan mulai saat ini, kau dipecat.”
“Kau
takut,” sang pandai besi terheran-heran.
“Takut?”
Hawk mengulangi kata itu sambil mengejek. Pandai besi bodoh ini berani
menginjakkan kaki di tanah kekuasaannya dan bilang bahwa ia, Hawk yang
melegenda, takut? “Tak ada yang kutakuti. Apalagi kau.”
“Kau
takut. Kau lihat bagaimana istrimu memandangiku. Kau takut tak bisa mencegah
istrimu menggerayangiku.”
Seulas
senyum mengejek dan pahit terukir di bibir Hawk. Ia bukan orang yang menyerah
pada ejekan. Ia memang takut ia tak
bisa mencegah istrinya mendekati si pandai besi. Itu menyakitkan hatinya,
memicu amarahnya, dan si pandai besi juga benar tentang adab yang ia junjung.
Adab yang menuntut, seperti yang dikira oleh Grimm, bahwa ia tak akan merenggut
penghidupan seseorang karena rasatak nyaman yang ia rasakan terhadap istrinya.
Hawk menderita satu-satunya kecacatan yang dimiliki seorang bangsawan, tepat
pada intinya. “Siapa kau sebenarnya?”
“Seorang
pandai besi biasa.”
Hawk
mengamatinya dari bawah cahaya bulan yang memercik di sela pohon-pohon rowan.
Tak ada yang biasa dalam hal ini. Ada sesuatu yang tercabut dari ingatannya,
samar-samar, tapi ia tidak bisa memastikannya. “Aku mengenalmu, bukan?”
“Sekarang,
ya. Dan sebentar lagi, istrimu juga akan mengenalku dengan baik.”
“Mengapa
kau memancing amarahku?”
“Kau
memancing amarahku saat kau memuaskan hasrat ratuku.” Kata-kata itu terucap
bagai diludahkan berbarengan dengan sang pandai besi berpaling dengan cepat.
Hawk
berusaha mengingat tentang seorang ratu yang pernah ia puaskan. Tak ada nama
yang dapat ia ingat. Tak biasanya begini. Tapi, tetap saja pria ini dengan
jelas mengatakan semua itu. Di suatu tempat, di suatu saat, Hawk telah membuat
seorang wanita berpaling dari pria ini. Dan kini pria ini akan memainkan
permainan yang sama pada Hawk. Dengan istrinya. Sebagian dari dirinya mencoba
untuk tak peduli, tapi sejak pertama ia memandang Janet Gila hari ini, ia tahu
ia sedang dalam masalah untuk pertama kali dalam hidupnya. Jauh dalam benaknya,
jika mata Janet yang berkilau bagai perak itu dapat menariknya untuk masuk ke
dalam lumpur hisap, ia akan serta merta mematuhinya.
Apa
yang bisa dikatakan pada pria yang pasangannya terenggut? Tak ada yang bisa ia
katakan pada sang pandai besi. “Aku tak berniat menyinggung perasaan siapapun,”
akhirnya Hawk berkata.
Adam
memutar badannya dan senyumnya terkembang cemerlang. “Menyerang atau bertahan,
segalanya sah-sah saja dalam gelora nafsu. Apakah kau masih berniat
mengusirku?”
Hawk
menatap matanya untuk waktu yang lama. Si pandai besi itu benar. Sesuatu dalam
dirinya menjerit menuntut keadilan. Pertempuran yang adil dalam posisi yang
seimbang. Jika ia tak bisa mempertahankan seorang gadis, jika ia harus
kehilangan dia karena lelaki lain... Harga dirinya membara. Jika istrinya
meninggalkannya, tak peduli apakah ia pantas menerimanya atau tidak, dan demi
seorang pandai besi seperti itu, wah, legenda Hawk pasti akan berbeda jadinya.
Tapi
yang lebih buruk dari itu, jika ia mengusir pandai besi ini malam ini juga, ia
tak akan pernah tahu pasti apakah istrinya benar-benar akan memilihnya dari
pada Adam Black. Dan itu penting. Ketidakpastian itu bisa menyiksanya seumur
hidup. Bayangan istrinya hari ini berdiri, bersandar pada sebatang pohon,
sedang menatap si pandai besi –ah! Itu bisa memberinya mimpi buruk walaupun
Adam sudah tak ada.
Ia
akan mengizinkan si pandai besi untuk tetap tinggal. Dan malam ini Hawk akan
menggoda istrinya. Saat ia sudah tahu pasti ke arah mana hati istrinya tertuju,
mungkin saat itulah ia mengusir keparat satu ini.
Hawk
melambaikan tangannya. “Seperti kehendakmu. Aku tak akan mengusirmu.”
“Sesuai
keinginanku. Aku suka itu,” Adam Black membalas dengan congkak.
***
Hawk
berjalan ke arah pekarangan istana dengan lamban, menggosok kepalanya yang
masih sakit akibat perkelahian saat ia mabuk tiga malam lalu. Pernikahan yang
diperintahkan oleh Raja James telah dilaksanakan. Hawk sudah menikahi putri
keluarga Comyn itu dan oleh karenanya sudah mematuhi perintah terakhir dari
Raja James. Sekali lagi, Dalkeith selamat.
Hawk sangat berharap bahwa apa yang tak
terlihat akan terlupakan, dan bahwa Raja James akan melupakan
Dalkeith-Upon-the-Sea. Selama bertahun-tahun ia mematuhi perintah-perintah gila
James, sampai akhirnya ia mengeluarkan surat keputusan kerajaan, James merampas
kemerdekaan Hawk yang terakhir.
Kenapa
ia harus kaget? Selama lima belas tahun sang raja telah berbahagia dengan
membuang semua pilihan-pilihan yang ada, sampai akhirnya ia tiba di suatu
pilihan untuk mematuhi rajanya atau mati, termasuk juga seluruh keluarganya.
Ia
ingat hari James memanggilnya, tiga hari sebelum masa bertakhtanya usai.
Hawk
hadir, rasa ingin tahunya terusik oleh ketegangan yang terasa di ruang takhta
luas saat itu. Hawk tahu itu ada hubungannya dengan siasat James –dan sambil
berharap siasatnya itu tak ada hubungannya dengan dirinya atau Dalkeith –Hawk
mendekat dan berlutut.
“Kami
sudah mengatur pernikahanmu,” James mengumumkan saat ruangan menjadi sunyi.
Sekujur
tubuh Hawk mendadak kaku. Ia bisa merasakan tatapan mata seluruh orang yang ada
di ruangan itu dengan penuh rasa senang, ejekan dan sedikit... rasa iba?
“Kami
telah memilih” –James berhenti sejenak dan kemudian tertawa penuh benci –“Calon
istri untuk menghiasi hari-harimu di Dalkeith.”
“Siapa?”
Hawk hanya mengizinkan dirinya sendiri mengajukan satu kata sebagai pertanyaan.
Sebab lebih dari satu kata akan mengkhianati rasa ingkar yang mendidih di
nadinya. Ia tak bisa memercayai dirinya sendiri untuk berbicara jika setiap
jengkal raganya ingin meneriakkan pengingkaran.
James
tersenyum dan mengisyaratkan Rad Comyn untuk mendekat ke singgasana, dan Hawk
hampir meraung marah. Jangan-jangan maksudnya adalaj Janet Gila! James tega
memaksanya menikahi perawan gila yang dikurung Red Comyn di menaranya!
Kedua
ujung bibir James tertekuk ke atas membentuk senyuman yang buruk. “Kami sudah
memilih Janet Comyn untuk menjadi mempelaimu, Hawk Douglas.”
Suara
tawa perlahan terdengar dari seluruh penjuru ruangan. James menggosokkan kedua
tangannya dengan senang.
“Tidak!.”
Kata itu lolos dari mulut Hawk bersama dengan udara yang terhembus. Terlambat,
ia mencoba menariknya kembali.
“Tidak?”
James mengulang perkataannya, senyumnya terlihat dingin. “Kau melawan
perintah?”
Hawk
menatap lantai di depannya. Ia menarik napas. “Bukan begitu, Paduka. Hamba
nanya khawatir tidak jelas menyatakan perasaan hamba.” Hawk berhenti sejenak
dan menelan ludah. “Yang hamba maksud adalah, “Tidak disangka Paduka begitu
baik kepada hamba.” Kebohongan yang baru ia ucapkan seolah membakar bibirnya
dan menghanguskan harga dirinya. Tapi itu bisa menyelamatkan Dalkeith.
James
terkekeh, senang begitu mudahnya Hawk menyerah, sebab ia memang menikmati
mempertontonkan kekuasaannya sebagai raja. Dalam hati, Hawk berpikir, sekali
lagi James memegang semua kartunya.
Saat
James berbicara sekali lagi, suaranya terdengar berlumur bisa. “Jika kau gagal
menikahi putri Comyn, Hawk douglas, kami akan menyapu bersih semua keturunan
Douglas dari Skotlandia. Tak ada setetespun darah keturunanmu akan selamat jika
kau tak mematuhi perintah ini.”
Ancaman
yang sama selalu diucapkan James untuk mengendalikan Hawk Douglas, dan ancaman
yang terbukti efektif berkali-kali.
Hawk
menundukkan kepala untuk menyembunyikan amarahnya.
Tak
bolehkan ia memilih sendiri istrinya? Selama mengabdi lima belas tahun, niat
untuk memilih sendiri wanita idamannya, kembali ke Dalkeith dan membina
keluarga yang jauh dari rusaknya kerajaan James terus ia pelihara walaupun sang
raja selalu berusaha untuk menghancurkannya, satu persatu. Walaupun Hawk bukan
lagi lelaki yang percaya cinta, ia memang percaya pada keluarga dan
kelompoknya, dan ia pikir menghabiskan seluruh hidupnya dengan seorang wanita
yang luar biasa, dikelilingi anak-anak yang sangat ia idamkan.
Ia
ingin berjalan kaki menyusuri pantai sambil bercerita pada anak-anaknya. Ia
ingin anak dan cucu rupawan. Ia ingin mengisi kamar anak di Dalkeith. Oh, kamar anak, pikiran itu menusuk
perih; kenyataan ini lebih pahit dan menyakitkan daripada apapun sang raja
lakukan padanya. Sekarang aku tak akan
pernah bisa mengisi kamar anak itu –tidak jika istriku mengandung benih sakit
jiwa!
Tak
akan ada anak-anak –setidaknya yang legal –untuk Hawk. Bagaimana ia bisa tahan
kenyataan bahwa ia tak akan bisa menimang anak kandung?
Hawk
tak pernah mengutarakan niatnya ingin membina keluarga; ia tahu jika James
mengetahuinya, segala harapan atas hal itu akan dimusnahkan. James tampaknya
berpendapat jika ia sendiri tak bisa mendapatkan istri yang ia inginkan, maka
Hawk pun tak akan.
“Angkat
kepalamu dan lihat kami, Hawk,” James memerintah.
Hawk
mengangkat kepalanya pelan-pelan dan menatap sang raja dengan tatapan suram.
James
mengamatinya dan mengalihkan pandangannya ke arah Red Comyn dan menambahkan
tatapan mengancam untuk menyuruhnya bekerja ama, “Kami juga akan memusnahkan
keluarga Comyn, jika keputusan ini diingkari. Kau dengar yang kami katakan, Red
Comyn? Jangan lawan perintah kami.”
Laird
Comyn anehnya tampak seperti sama terganggunya dengan perintah James.
Sambil
berlutut di depan takhta James, Hawk menundukkan pikiran memberontaknya untuk
terakhir kali. Ia menyadari tatapan iba para prajurit yang berjuang bersamanya;
tatapan simpati Grimm; Kebencian sekaligus kepuasan yang diperlihatkan para
bangsawan yang sejak lama membenci Hawk atas reputasinya di kalangan wanita,
dan bahwa ia tetap akan menikahi Janet Comyn walaupun jika wanita itu adalah
seorang nenek tua yang ompong, renta dan gila. Hawk Douglas rela melakukan apa
pun demi menjaga agar Dalkeith dan seluruh rakyatnya aman.
Kabar
burung tentang Janet Comyn sangat banyak beredar; perawan tuga gila yang
dikurung sebab penyakit sakit jiwanya tak tersembuhkan.
Sambil
berjalan menyusuri jalan setapak batu memasuki Dalkeith, Hawk tertawa mengingat
kembali bayangan yang semula ia punya tentang Janet Gila. Ia baru sadar bahwa
James ternyata sama tak tahunya tentang Janet, sebab James tak akan membiarkan
Hawk menikah dengan Janet jika ia tahu seperti apa sesungguhnya paras Janet. Ia
terlalu cantik, terlalu bergairah.. James ingin agar Hawk menderita, dan
satu-satunya cara seorang lelaki akan menderita di sekitar wanita ini adalah
jika ia tak bisa menjamahnya, jika ia tak bisa merasakan ciuman sang wanita dan
mereguk kenikmatan badani.
Hawk
sama sekali tak mengira akan menemui makhluk cantik dan halus bertemperamen
keras yang ia temui di bengkel pandai besi ini. Ia memang mengirim Grimm di
saat terakhir untuk mewakilkannya menikah, dengan niat untuk mengacuhkannya
jika mempelainya itu tiba. Ia memerintah semua orang untuk tidak menyambutnya.
Kehidupan sehari-hari di Dalkeith berjalan seperti biasa seakan tak ada
perubahan. Hawk berkesimpulan, jika memang Janet itu gila seperti yang
dikabarkan, ia tak akan mengerti bahwa ia sudah
menikah. Hawk menyimpulkan bahwa ia ia bisa menemukan cara untuk menghadapi
Janet, walaupun artinya harus mengurungnya di suatu tempat, jauh dari Dalkeith.
James memerintahkannya untuk menikahinya, dan tak bilang apa-apa mengenai
tempat tinggal.
Lalu,
ia akhirnya melihat sendiri Janet Comyn yang “gila.” Seperti seorang dewi yang
tengah dilanda birahi ia menguliti Hawk dengan ucapannya, menunjukkan
kecerdasan yang sebanding dengan kecantikannya. Tak ada gadis yang ia ingat
bisa membangkitkan rasa dahaga akan dirinya seperti saat ia membelai wanita itu
dengan pandangannya.
Kabar
burung yang beredar ini sangat keliru. Jika saja Hawk diperbolehkan memilih
sendiri wanita idamannya, maka kualitas yang dimiliki Janet –mandiri, cerdas,
tubuh yang menggiurkan, dan hati yang teguh –adalah kualitas yang ia cari.
Mungkin,
pikir Hawk, hidupnya memang sedang membaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar