Rabu, 25 April 2018

Honor's Splendour 3


"Melakukan ketidakadilan lebih buruk daripada menderita karenanya."
                                                                      PLATO, GORGIAS


Mereka bepergian menuju selatan, menunggang kuda dengan keras dan cepat melewati sisa malam itu dan sebagian besar hari berikutnya, hanya berhenti dua kali untuk mengistirahatkan kuda-kuda mereka dari kecepatan dahsyat yang sang baron tetapkan. Madelyne diberikan sedikit waktu untuk mengurus keperluan pribadinya, namun kakinya nyaris tidak mampu menahan bobot tubuhnya, membuat tugas untuk mengurus keperluan pribadinya menjadi sebuah siksaan yang luar biasa berat, dan sebelum ia punya kesempatan untuk meregangkan otot-otot yang protes, ia diangkat ke atas kuda Duncan lagi.
Demi menjaga keamanan dalam jumlah mereka yang banyak, Duncan memutuskan untuk mengikuti jalan utama. Jalan itu paling baik adalah sebuah jalan kecil rusak yang menyedihkan, dengan semak belukar yang terlalu lebat dan cabang-cabang pohon gundul yang membuat jalan tersebut menjadi sebuah tantangan yang tak putus-putusnya bagi para kesatria yang paling tangguh. Perisai para prajurit diangkat hampir sepanjang waktu. Madelyne, bagaimanapun terlindungi dengan baik, dipeluk dengan aman di bawah jubah dan perisai Duncan.

Para prajurit terlindungi dengan baik oleh perlengkapan berat mereka, kecuali mereka yang mengenakan helm berbentuk kerucut yang terbuka di bagian wajah dan menunggang kuda dengan tangan kosong, dan hutan belantara tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi mereka selain selain agak memperlambat kuda-kuda mereka.

Perjalanan yang menyiksa itu tidak berhenti selama hampir dua hari. Pada saat Duncan mengumumkan bahwa mereka akan bermalam di sebuah lembah yang terpencil yang dilihatnya, Madelyne sudah betul-betul yakin bahwa pria itu bukan manusia. Madelyne pernah mendengar para prajurit menyebut pemimpin mereka itu sebagai serigala dan ia cukup memahami persamaan yang menjijikan itu; Duncan mengenakan gambaran hewan buas yang mengerikan itu pada lambangnya yang berwarna biru dan putih. Madelyne membayangkan ibu penawannya itu pastilah seorang iblis dari neraka dan ayahnya seekor serigala yang besar dan jelek, dan itulah satu-satunya alasan pria itu mampu mempertahankan kecepatan yang melelahkan dan tidak manusiawi seperti ini.

Pada saat mereka berhenti untuk bermalam, Madelyne mual karena lapar. Ia duduk di atas sebuah batu besar dan mengamati para prajurit mengurus kuda-kuda mereka. Perhatian utama seorang bangsawan, putus Madelyne, tahu bahwa tanpa kudanya, kesatria benar-benar tidak akan efektif. Aye, kuda harus diurus lebih dulu.

Selanjutnya adalah menyalakan api unggun, dengan delapan hingga sepuluh orang yang mengelilingi masing-masing api unggun tersebut, dan saat semua api unggun sudah dinyalakan, ada setidaknya tiga puluh api unggun yang terpisah, semuanya membentuk pundak-pundak kelelahan milik para prajurit yang siap untuk beristirahat. Terakhir adalah makanan, jatah yang sangat sedikit yang terdiri dari roti berkulit keras dan keju yang menguning. Gelas-gelas tanduk berisi ale dengan rasa asin juga diedarkan. Namun Madelyne memperhatikan para prajurit itu hanya minum dengan porsi kecil saja. Ia rasa kewaspadaan bisa jadi telah menghilangkan hasrat mereka untuk bersenang-senang, sebab mereka pasti akan membutuhkan akal sehat mereka malam ini, karena mereka berkemah dalam posisi yang rentan.

Ada bahaya yang senantiasa hadir dari gerombolan pria pengembara, orang-orang terlantar yang telah berubah menjadi burung pemakan bangkai yang menunggu untuk menerkam siapa pun yang lebih lemah dari mereka, dan ada juga hewan-hewan liar yang berkeliaran di hutan belantara itu, dengan niat yang hampir sama.

Squire Duncan diperintahkan untuk mengurusi segala keperluan Madelyne. Namanya Ansel, dan Madelyne bisa melihat dari wajahnya yang cemberut bahwa pemuda itu tidak terlalu suka dengan tugasnya.

Madelyne menghibur dirinya sendiri dengan pengetahuan bahwa setiap kilometer ke utara sama dengan satu kilometer lebih dekat dengan tujuan rahasianya sendiri. Sebelum Baron Wexton mengacaukan rencananya, Madelyne sudah merencanakan pelariannya sendiri. Ia tadinya akan bepergian ke Skotlandia menuju rumah sepupunya Edwythe. Ia sadar ia telah bersikap naif dengan berpikir bahwa ia mampu melakukannya. Aye, ia menyadari kebodohannya sekarang, bahkan mengakui kalau ia tidak akan bertahan lebih dari satu hari atau lebih sendirian, dengan menunggangi satu-satunya kuda betina di istal Louddon yang tidak akan melemparnya dari pelana. Si kuda betina, yang berpunggung lemah dan sangat tua, tidak akan memiliki stamina untuk perjalanan sejauh itu. Tanpa kuda yang kuat dan pakaian yang cocok, pelarian tersebut akan menjadi tinddakan bunuh diri. Dan peta yang digambarkan dengan tergesa-gesa berdasarkan ingatan Simon yang kabur pasti hanya akan membuat Madelyne berputar-putar.

Meski Madelyne mengakui itu sebagai impian bodoh, ia memutuskan ia harus berpegangan pada hal itu. Madelyne berpegangan erat pada kerlip harapan itu karena hanya itulah yang ia punya. Rumah Duncan pasti hanya berjarak satu teriakan dari perbatasan Skotlandia. Memangnya seberapa jauhnya rumah pria itu dari rumah baru sepupunya? Barangkali Madelyne bahkan bisa berjalan kaki ke sana.

Rintangan-rintangan itu akan membebaninya jika Madelyne membiarkan hal itu memengaruhinya. Madelyne mengesampingkan akal sehat dan sebagai gantinya berkonsentrasi pada daftar hal-hal yang akan ia butuhkan. Kuda yang kuat di urutan pertama, persediaan makanan yang kedua, dan berkat Tuhan yang ketiga. Madelyne memutuskan ia terbalik  dalam mengurutkan tingkat kepentingan ketiga hal itu, lalu menempatkan Tuhan diurutan pertama dan kuda yang terakhir, ketika ia tidak sengaja melihat Duncan yang sedang berjalan ke tengah-tengah perkemahan. Oh Tuhan, bukankah pria itu merupakan rintangan yang paling besar dari segalanya? Aye, Duncan, separuh manusia, separuh serigala, akan menjadi rintangan yang paling sukar untuk diatasi.

Duncan belum berbicara lagi kepadanya sejak mereka meninggalkan benteng Louddon. Madelyne membuat dirinya sendiri cemas sampai mual karena pernyataan garang pria itu bahwa kini Madelyne adalah miliknya. Dan apa maksudnya itu? Ia berharap ia memiliki keberanian untuk menuntut penjelasan. Namun sang baron begitu dingin, begitu asing sekarang, dan amat sangat menakutkan untuk Madelyne dekati.

Ya Tuhan, ia kelelahan. Ia tidak bisa mengkhawatirkan pria itu sekarang. Saat ia sudah beristirahat, ia akan menemukan cara untuk melarikan diri. Itu adalah tugas seorang tawanan, ya, kan?

Madelyne tahu dirinya tidak trampil dalam hal-hal seperti ini. Apa bagusnya kalau ia bisa membaca dan menulis? Tak seorang pun akan tahu tentang kemampuannya yang tak biasa itu, sebab sangat tidak dapat diterima bila seorang wanita untuk memiliki pendidikan seperti itu. Bahkan, mayoritas bangsawan tidak bisa menuliskan nama mereka sendiri. Mereka bergantung pada para pastor untuk melakukan tugas tak berarti semacam itu untuk mereka.

Tentu saja Madelyne tidak menyalahkan pamannya atas kurangnya pelatihan dirinya. Sang pastor tersayang itu benar-benar senang mengajari Madelyne tentang semua cerita kuno. Cerita favorit Madelyne adalah kisah tentang Odysseus. Pejuang dalam mitologi itu telah menjadi teman Madelyne ketika ia masih kecil dan sangat ketakutan sepanjang waktu. Ia berlagak seolah-olah Edysseus duduk disampingnya selama malam-malam yang panjang dan gelap. Odysseus membantu Madelyne mengurangi ketakutannya kalau-kalau Louddon datang dan membawanya pulang.

Louddon! Bahkan nama kelam pria itu membuat perut Madelyne mengencang. Aye, pria itulah alasan sebenarnya Madelyne kekurangan keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Ia bahkan tidak bisa menunggang kuda, demi Tuhan. Pria itu juga yang pantas disalahkan. Kakaknya itu pernah membawanya berkuda beberapa kali, saat Madelyne berusia enam tahun, dan masih ingat perjalanan tersebut sama jelasnya seakan itu terjadi kemarin. Oh, Madelyne membuat dirinya sendiri tampak bodoh, atau begitulah yang diteriakkan oleh Louddon, terpental-pental di pelana seperti serumpun jerami yang tidak diikat dengan kencang.

Dan waktu menyadari betapa ketakutannya Madelyne, kakaknya itu mengikatnya ke pelana dan memukul kudanya hingga berpacu melewati pedesaan.

Ketakutan Madelyne membuat kakaknya bersemangat. Saat Madelyne akhirnya belajar untuk menyembunyikan ketakutannya, berulah Louddon menghentikan permaian sadis itu.

Sepanjang yang bisa diingatnya, Madelyne tahu bahwa ayah dan kakaknya tidak menyukainya, dan sudah mencoba segala cara yang ia tahu untuk membuat mereka mencintainya sedikit saja. Ketika berusia delapan tahun, Madelyne dikirim kepada Bapa Berton, adik ibunya, untuk sebuah kunjungan singkat yang berubah menjadi tahun-tahun yang panjang dan damai. Bapa Berton adalah satu-satunya kerabat dari keluarga pihak ibunya yang masih hidup. Sang pastor berusaha sebaik-baiknya untuk membesarkan Madelyne, dan pamannya itu terus menerus memberitahunya, hingga ia hampir memercayai pria itu, bahwa ayahnya dan kakaknyalah yang kekurangan, bukan dirinya.

Oh, pamannya adalah seorang pria yang baik dan penyayang, yang watak lembutnya memengaruhi karakter Madelyne. Pamannya itu mengajarinya banyak hal, tak satu pun dari pelajaran-pelajaran itu yang nyata, dan pria itu sungguh-sungguh mencintainya, sebesar ayah mana pun yang bisa mencintai putrinya. Bapa Berton menjelaskan kepada Madelyne bahwa Louddon memandang hina semua wanita, namun di dalam hati, Madelyne tidak memercayainya. Kakak lelakinya itu peduli kepada kakak-kakak perempuannya. Clarissa dan Sara dikirim ke manor-manor yang bagus untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan mereka berdua memiliki maskawin yang mengesankan untuk dibawa ke dalam pernikahan mereka, meskipun hanya Clarissa yang sudah menikah.

Bapa Berton juga memberitahu Madelyne bahwa ayahnya tidak mau berurusan dengan Madelyne karena ia sangat mirip dengan ibunya, seorang wanita lemah lembut yang ayahnya nikahi dan kemudian berbalik menentangnya segera setelah sumpah setia diucapkan. Pamannya tidak tahu apa alasan dari perubahan sikap ayah Madelyne, tapi pamannya tetap menyalahkan ayahnya itu.

Madelyne hampir tidak ingat pada tahun-tahun masa kecilnya, walaupun sebuah perasaan yang hangat memenuhinya ketika ia memikirkan ibunya. Louddon tidak terlalu sering berada di sana untuk mengganggunya, dan Madelyne terlindungi dengan baik oleh cinta ibunya.

Hanya Louddon yang memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Madelyne. Barangkali kakaknya itu akan menjelaskan segalanya kepadanya suatu hari nanti dan kemudian Madelyne akan mengerti. Dan bersama pengertian akan datang penyembuhan, kan?

Ya, Tuhan aku harus mengesampingkan pikiran-pikiran muram ini, putus Madelyne. Ia turun dari batu besar itu lalu berjalan mengelilingi perkemahan, menjaga jarak yang cukup jauh dari para prajurit.

Ketika Madelyne berbelok dan masuk ke dalam hutan yang lebat, tak seorang pun yang mengikuti, sehingga ia dapat memenuhi tuntutan-tuntutan tubuhnya. Madelyne sedang dalam perjalanan kembali ke perkemahan saat ia melihat sebuah sungai kecil. Permukaannya mengeras, tapi Madelyne menggunakan sebatang kayu untuk memecahkan es tersebut. Berlutut, ia membasuh kedua tangan dan wajahnya. Airnya cukup dingin untuk membuat ujung jemarinya mengerut, namun cairan jernih itu terasa luar biasa.

Madelyne merasakan seseorang berdiri di belakangnya. Ia berbalik, begitu cepat hingga ia nyaris kehilangan keseimbangan. Duncan-lah yang menjulang di atasnya. "Ayo, Madelyne. Sudah saatnya beristirahat."

Duncan tidak memberi waktu kepada Madelyne untuk menjawab perintahnya tapi meraih ke bawah dan menarik gadis itu berdiri. Tangan pria itu yang besar dan kapalan menyelimuti kedua tangan Madelyne. Genggaman Duncan kuat, namun sentuhannya lembut, dan pria itu tidak melepaskan Madelyne hingga mereka mencapai pintu tendanya, sesuatu yang terlihat aneh yang terdiri dari kulit-kulit binatang liar yang ditahan oleh cabang-cabang pohon yang tebal dan kuat hingga menjadi sebuah lengkungan. Kulit-kulit tersebut akan menghalangi angin yang semakin kencang. Sebuah kulit berbulu berwarna abu-abu telah diletakkan di atas tanah di dalam tenda, jelas dimaksudkan untuk digunakan sebagai kasur. Cahaya dari perapian terdekat membuat bayang-bayang yang menari-nari di atas kulit-kulit tersebut, membuat tenda itu tampak hangat dan mengundang.

Duncan memberi isyarat agar Madelyne masuk ke dalam tenda. Gadis itu cepat-cepat mematuhinya. Akan tetapi ia tampaknya tidak bisa membuat dirinya nyaman. Kulit-kulit binatang itu sudah menyerap banyak kelembapan tanah dan Madelyne merasa seolah-olah dirinya diletakkan di atas sebalok es.

Duncan berdiri di sana, kedua lengannya bersedekap di dadanya yang bidang, mengamati gadis itu yang berusaha merasa nyaman. Madelyne menjaga ekspresinya tetap terkendali. Ia bersumpah untuk mati lebih dulu sebelum mengeluh kepada pria itu.

Tiba-tiba saja Duncan menariknya berdiri lagi, nyaris saja meruntuhkan tenda dalam kecepatan gerakannya. Pria itu mengambil jubah dari pundak madelyne, berlutut dengan sebelah lututnya, dan menghamparkan jubah tersebut di atas kulit-kulit binatang itu.

Madelyne tidak mengerti maksud pria itu. Ia mengira tenda itu untuknya, tapi Duncan membaringkan dirinya sendiri di dalam tenda, meregangkan tubuhnya hingga sepanjang-panjangnya, mengambil hampir semua ruang. Madelyne hendak berbalik pergi, merasa gusar dengan cara pria itu merebut jubahnya untuk kenyamanan pria itu sendiri. Mengapa Duncan tidak meninggalkannya saja di benteng Louddon jika pria itu bermaksud membiarkan Madelyne mati kedinginan, daripada menyeretnya separuh jalan melintasi dunia?

Madelyne bahkan tidak punya waktu untuk menghembuskan napas. Duncan menangkap gadis itu secepat kilat. Madelyne jatuh ke atas tubuh pria itu dan mengeluarkan erangan protes. Madelyne hampir tidak mendapatkan udara segar dan amarah baru kembali ke dadanya sebelum Duncan berguling ke samping, membawa serta gadis itu. Duncan melemparkan jubah ke atas mereka, memerangkap Madelyne di dalam pelukannya. Wajah Madelyne menghadap pangkal leher Duncan, puncak kepalanya terperangkap tepat di bawah dagu pria itu.

Madelyne langsung mencoba melepaskan diri, merasa ngeri karena posisi yang intim seperti itu. Ia mengerahkan setiap ons energi yang ia miliki, namun dekapan Duncan terlalu kuat untuk dipatahkan.

"Aku tidak bisa bernapas," gumam Madelyne di leher pria itu.

"Ya, kau bisa," sahut Duncan.

Madelyne pikir ia mendengar rasa terhibur dalam suara pria itu. Itu membuat Madelyne berang hampir sebesar sikap sombong pria itu. Beraninya pria itu memutuskan apakah dirinya bisa bernapas atau tidak?

Madelyne terlalu marah untuk merasa takut. Tiba-tiba ia sadar kalau kedua tangannya masih bebas dari kekangan itu. Madelyne menampar kedua bahu Duncan sampai telapak tangannya terasa perih. Duncan sudah menanggalkan tunik besinya sebelum masuk ke tenda. Hanya selembar kemeja katun yang kini menutupi dada bidang pria itu. Kain yang tipis itu meregang dengan pas di bahu Duncan yang lebar, menunjukkan garis-garis otot-ototnya yang tebal. Madelyne dapat merasakan kekuatan memancar melalui kain yang lembut itu. Ya Tuhan, tidak ada satu ons pun lemak untuk di cengkram dan dicubit. Kulit Duncan tidak lentur, sama seperti sifat keras kepala pria itu.

Akan tetapi, ada satu perbedaan yang jelas. Dada Duncan terasa hangat di pipi Madelyne, hampir panas dan amat sangat mengundang untuk meringkuk di situ. Pria itu juga berbau enak, seperti kulit dan pria, dan mau tak mau Madelyne bereaksi. Madelyne kelelahan. Aye, itulah alasan mengapa kedekatan pria itu memiliki efek yang mengganggu terhadapnya. Jantung Madelyne berdegup kencang.

Napas Duncan menghangatkan sisi leher Madelyne, membuatnya merasa nyaman. Bagaimana itu bisa terjadi? Ia begitu bingung; tak ada lagi yang masuk akal baginya. Madelyne menggeleng, bertekad untuk mengusir perasaan mengantuk yang menyerang pikiran baiknya, kemudian mencengkram kemeja pria itu dan mulai menarik kemeja tersebut.

Duncan pasti menjadi bosan dengan perlawanan gadis itu. Madelyne mendengar Duncan menghela napas hanya beberapa detik sebelum memerangkap kedua tangan dan menyelipkan tangan gadis itu ke bawah kemejanya, menempelkan tangan gadis itu di dadanya. Lapisan tebal bulu yang menutupi kulit hangat pria itu membuat ujung jemari Madelyne menggelenyar.

Bagaimana bisa ia merasa begitu hangat ketika udara begitu dingin di luar sana? Kedekatan pria itu adalah sebuah tarikan erotis dan sensual terhadap akal sehat Madelyne, membanjirinya dengan perasaan-perasaan yang tidak pernah ia tahu ia miliki. Aye, rasanya erotis, yang jelas-jelas membuat hal itu penuh dosa, dan juga tidak bermoral, sebab pangkal paha pria itu menindih pangkal paha Madelyne. Ia bisa merasakan kejantanan pria itu di sana, menempel dengan begitu intim pada tubuhnya. Gaunnya ternyata bukan pelindung yang cukup terhadap kejantanan pria itu, dan kekurangan pengalaman Madelyne tidak memberinya perlindungan sama sekali terhadap perasaan-perasaan aneh dan membingungkan yang pria itu timbulkan. Mengapa ia tidak merasa mual karena sentuhan pria itu? Sebetulnya, Madelyne tidak merasa mual sama sekali, hanya sesak napas.

Sebuah pikiran yang mengerikan memasuki benaknya dan Madelyne terkesiap keras. Bukankah ini pelukan yang pria gunakan saat berhubungan seks dengan wanita? Madelyne cemas dengan pemikiran itu beberapa lama dan kemudian mengenyahkan ketakutannya itu. Ia ingat si wanita harus menelentang, dan walaupun tidak yakin bagaimana persisnya itu dilakukan, ia yakin saat ini ia tidak sungguh-sungguh sedang berada dalam bahaya. Ia tidak sengaja mendengar Marta mengobrol dengan para pelayan dan ingat bahwa wanita kasar itu selalu memulai setiap petualangan penuh gairahnya dengan peryataan bahwa dirinya menelentang. Aye, Madelyne mengingat dengan kelegaan tajam, Marta berbicara dengan sangat spesifik saat itu. "Aku menelentang," Marta selalu memulai. Madelyne menyesal sekarang karena waktu itu ia tidak tinggal untuk mendengarkan sisa cerita blak-blakan wanita itu.

Oh Tuhan, ia juga kekurangan pengetahuan dalam area itu. Kemudian Madelyne menjadi marah, sebab, bagaimanapun juga, seorang lady terhormat tidak seharusnya mencemaskan hal itu.

Ini semua salah Duncan, tentu saja. Apakah pria itu memeluknya dengan begitu intim hanya untuk mengejeknya? Madelyne berada cukup dekat untuk merasakan kekuatan dalah paha kuat pria itu yang mencoba meremukkan pahanya. Duncan bisa meremukkannya jika pria itu berniat melakukan hal itu. Madelyne bergidik karena gambaran tersebut dan seketika menghentikan perlawanannya. Ia tidak mau memprovokasi si orang barbar. Paling tidak tangannya melindungi payudaranya. Ia bersyukur untuk itu. Akan tetapi, rasa syukurnya hanya sesaat, sebab segera setelah ia berpikir untuk bersyukur, Duncan menggeser bobot tubuhnya, lalu payudara Madelyne menempel di tubuh pria itu pula. Puncak payudara Madelyne mengeras, membuatnya semakin malu.

Duncan tiba-tiba bergerak lagi. "Apa yang..." Duncan meraungkan pertanyaan tak terselesaikan itu ke telinga gadis itu. Madelyne tidak tahu apa yang menyebabkan semburan marah Duncan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia akan tuli sepanjang sisa hidupnya.

Ketika Duncan melompat, menggumamkan sumpah serapah yang mau tak mau ia dengar, Madelyne beringsut menjauh. ia mengamati Duncan dari sudut matanya. Penawan Madelyne bangun dengan bertumpu pada satu siku dan mencari-cari sesuatu di bawah tubuhnya sendiri.

Madelyne teringat pada belati milik si squire yang ia sembunyikan di lapisan baju jubahnya tepat ketika Duncan mengangkat senjata tersebut.

Mau tak mau Madelyne mengernyitkan dahi.

Mau tak mau Duncan tersenyum lebar.

Madelyne begitu terkejut karena senyum spontan pria itu, membuatnya hampir balas tersenyum. Lalu ia kebetulan menyadari senyum pria itu tidak betul-betul menyentuh matanya. Madelyne memutuskan ia lebih baik tidak tersenyum sama sekali.

"Untuk ukuran makhluk penakut, kau ternyata banyak akal, Madelyne."

Suara Duncan begitu lunak. Apakah pria itu baru saja memuji atau mengejeknya? Madelyne tidak bisa memutuskan. Ia memutuskan untuk tidak memberitahu pria itu bahwa ia lupa tentang senjata tersebut. Duncan pasti berpikir Madelyne bodoh jika ia mengakui yang sebenarnya.

"Kaulah yang menawanku," Madelyne mengingatkan pria itu. "Kalau ternyata aku banyak akal, itu hanya karena aku berkewajban untuk melarikan diri. Itu adalah tugas seorang tawanan."

Duncan mengernyitkan dahi.

"Apakah kejujuranku menyinggungmu, Milord?" tanya Madelyne. "Kalau begitu, mungkin seharusnya aku tidak berbicara padamu sama sekali. Aku ingin tidur sekarang," imbuhnya. "Dan aku akan mencoba untuk melupakan bahwa kau ada di sini."

Untuk membuktikan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan, Madelyne memejamkan matanya.

"Kemarilah, Madelyne."

Perintah yang diucapkan dengan lembut itumengirimkan getar ketakutan di sepanjang tulang belakang Madelyne, dan sebuah simpul terbentuk di dasar perutnya. Pria itu melakukannya lagi, putus Madelyne, menakuti hingga dirinya tidak bisa bernapas. Dan ia mulai muak karena hal tersebut. Madelyne yakin tidak banyak rasa takut yang tersisa dalam dirinya. Ia membuka matanya untuk memandang pria itu, dan saat ia melihat belati itu sedang diarahkan kepadanya, ia sadar ia ternyata masih punya persediaan rasa takut yang cukup banyak.

Betapa pengecutnya diriku, pikir Madelyne seraya beringsut mendekati Duncan. ia berbaring menyamping menghadap pria itu, hanya beberapa senti jauhnya.

"Nah, kau senang sekarang?" ujar gadis itu.

Madelyne menduga itu tidak terlalu membuat duncan senang, ketika ia tahu-tahu menelentang, dengan pria itu menjulang di atasnya. Oh, pria itu begitu dekat hingga Madelyne benar-benar bisa melihat titik-titik perak di mata kelabunya.

Madelyne pernah mendengar, mata seharusnya menggemakan pikiran-pikiran di dadalam benak seseorang, namun ia tidak dapat mengetahui apa yang sedang Duncan pikirkan. Itu membuatnya cemas.

Duncan mengamati Madelyne. Ia merasa terhibur dan kesal dengan emosi-emosi membingungkan yang secara tidak sadar gadis itu perlihatkan. Ia tahu gadis itu takut padanya. Tapi gadis itu tidak menangis atau memohon pada Duncan. Dan Tuhan, gadis itu cantik. Ada taburan bintik-bintik di batang hidungnya. Menurut Duncan ketidaksempurnaan itu sangat menarik. Mulut gadis itu juga sangat menarik. Duncan bertanya-tanya seperti apa rasa gadis itu baginya, dan ia bisa merasakan dirinya bergairah hanya dengan pikiran tersebut.

"Apa kau akan menatapku sepanjang malam?" tanya Madelyne.

"Mungkin," jawab Duncan. "Kalau aku mau," imbuhnya, tersenyum melihat cara gadis itu mencoba untuk tidak merengut kepadanya.

"Kalau begitu aku harus menatapmu sepanjang malam," jawab Madelyne.

"Dan kenapa begitu, Madelyne?" suara Duncan lembut dan serak.

"Kalau kau berpikir untuk mengambil keuntungan dariku sementara aku tidur, kau salah, Baron."

Gadis itu terlihat sangat marah. "Dan bagaimana caranya aku mengambil keuntungan darimu, Madelyne?"

Duncan kini tersenyum kepada gadis itu, senyum lebar yang sesungguhnya, tercermin di kedalaman matanya.

Madelyne berharap dirinya tetap diam. Ya Tuhan, ia sedang memasukkan pikiran-pikiran tidak senonoh ke dalam kepala pria itu.

"Aku lebih suka tidak mendiskusikan masalah ini," Madelyne tergagap. "Aye, lupakanlah kalau aku sudah mengatakan sesuatu, kalau kau berkenan."

"Tapi aku tidak berkenan," jawab Duncan. "Apa kau pikir aku akan memuaskan hasratku malam ini dan menidurimu saat kau beristirahat?"

Duncan merendahkan kepalanya hingga hanya berjarak nyaris setarikan napas jauhnya dari wajah Madelyne. Ia senang melihat gadis itu merona, bahkan mendengkurkan persetujuannya.

Madelyne sediam kelinci betina, terperangkap oleh kecemasannya sendiri.

"Kau tidak akan menyentuhku," sembur Madelyne tiba-tiba. "Tentunya kau terlalu lelah untuk berpikir tentang... dan kita sedang berkemah di ruangan terbuka... nay, kau tidak akan menyentuhku," pungkasnya.

"Mungkin."

Dan apa artinya itu? Madelyne melihat kilat misterius di mata pria itu. Apakah pria itu memperoleh kesenangan besar dari kesengsaraan Madelyne yang terlihat jelas?

Madelyne memutuskan pria itu tidak akan mengambil keuntungan darinya tanpa mendapatkan perlawanan hebat. Dengan pikiran tersebut di dalam benaknya, ia menyerang Duncan, mengarahkan tinjunya tepat di bawah mata kanan pria itu. Sasaran Madelyne tepat, tapi ia rasa ia mendapat rasa sakit yang lebih besar dari yang Duncan dapatkan. Madelyne-lah yang menjerit kesakitan. Duncan bahkan bergeming. Oh Tuhan, Madelyne mungkin sudah mematahkan tangannya, dan semuanya demi hal yang sia-sia.

"Kau terbuat dari batu," gerutu Madelyne.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Duncan, nada suaranya penasaran.

"Untuk memberitahumu bahwa aku akan melawan sampai mati kalau kau mencoba memaksakan dirimu kepadaku," gagap Madelyne. Menurutnya itu adalah pernyataan paling berani, namun kekuatan dari pernyataan tersebut dihancurkan oleh suaranya yang bergetar. Ia menghela napas, kehilangan semangat.

Duncan tersenyum lagi. "Sampai mati, Madelyne?"

Dari ekspresi mengerikan di wajah Duncan, Madelyne memutuskan pria itu mendapati bahwa ide tersebut menyenangkan.

"Kau terlalu cepat menarik kesimpulan," komentar Duncan. "Itu sebuah kekurangan, kau tahu."

"Kau mengancam," balas Madelyne. "Itu kekurangan yang lebih besar, kau tahu."

"Nay," bantah pria itu. "Kau yang mengatakannya."

"Aku adalah adik musuhmu," Madelyne mengingatkan Duncan, senang melihat kernyitan di wajah pria itu yang disebabkan oleh peringatannya. "Kau tidak bisa mengubah fakta itu," imbuhnya untuk lebih menekankan.

Ketegangan meninggalkan pundak Madelyne. Ia seharusnya memikirkan argumen itu lebih cepat.

"Tapi dengan mata terpejam, aku tidak akan tahu apakah kau adik Louddon atau bukan," ujar Duncan. "Rumor yang kudengar, kau tinggal bersama seorang pastor yang dikucilkan oleh gerejanya dan kau menjadi pelacur untuknya. Tapi dalam kegelapan, itu tidak akan menggangguku. Semua wanita sama jika menyangkut hubungan seks."

Madelyne berharap ia dapat memukul pria itu lagi. Madelyne begitu geram mendengar gosip jahat itu, sehingga matanya dipenuhi air mata. Ia ingin meneriaki pria itu, memberitahunya bahwa Bapa Berton telah memenuhi kewajibannya kepada Tuhan dan gerejanya, dan bahwa sang pastor kebetulan adalah pamannya juga. Sang pastor satu-satunya orang yang mencintainya. Berani-beraninya Duncan menodai reputasi pamannya?

"Siapa yang menyampaikan cerita-cerita ini kepadamu?" tanya Madelyne, suaranya berupa bisikan serak.

Duncan dapat melihat betapa kata-katanya telah melukai gadis itu. Kemudian ia tahu bahwa semua cerita itu tepat seperti dugaannya. Cerita itu bohong. Madelyne tidak bisa menyembunyikan sakit hatinya dari Duncan. Di samping itu, ia sudah melihat kepolosan gadis itu.

Madelyne merasa remuk redam oleh kata-kata jahat Duncan. "Apa kau kira aku akan mencoba meyakinkanmu bahwa gosip yang kau dengar tentang diriku itu tidak benar?" tanyanya. "Well, pikirkan lagi, Baron. Percayai apa pun yang kau mau. Kalau kau pikir aku adalah pelacur, maka aku adalah pelacur."

Semburan marah gadis itu berapi-api, pertunjukan amarah pertama yang Duncan saksikan sejak ia menawan Madelyne. Ia mendapati dirinya terpesona oleh mata biru yang luar biasa itu, yang berkilat dengan amarah. Aye, gadis itu memang polos.

Duncan memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka supaya Madelyne tidak perlu tersiksa lebih jauh lagi. "Tidurlah," perintah Duncan pada gadis itu.

"Bagaimana aku bisa tidur sambil ketakutan kau akan mengambil keuntungan dariku pada malam hari?" tanya Madelyne.

"Apa kau benar-benar berpikir kau akan bisa tetap tidur pada saat aku mengambil keuntungan darimu?" tanya Duncan. Suaranya terdengar ragu. Ya Tuhan, gadis itu telah menghinanya, namun Duncan sadar gadis itu terlalu naif untuk menyadarinya. Duncan menggeleng. "Jika aku memutuskan untuk mengambil keuntungan darimu, seperti yang kau utarakan, aku berjanji untuk membangunkanmu terlebih dahulu. Sekarang pejamkan matamu dan tidurlah."

Duncan menarik Madelyne ke dalam pelukannya, menekankan punggung gadis itu ke dadanya. Lengannya melingkari Madelyne dalam cara yang intim, menempel di bagian bawah payudara gadis itu. Kemudian Duncan melemparkan jubah ke atas mereka berdua, bertekad untuk mengusir gadis itu dari pikirannya.

Itu lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Aroma mawar melekat pada Madelyne, dan gadis itu terasa lembut di tubuh Duncan. Kedekatan gadis itu hampir memabukkannya. Duncan tahu akan butuh waktu lama sebelum ia terlelap.

"Kau menyebutnya apa?" pertanyaan Madelyne menghampirinya dari bawah jubah. Suara gadis itu teredam namun Duncan menangkap setiap kata. Duncan harus mengingat percakapan mereka sebelum ia merasa mengerti apa yang gadis itu tanyakan.

"Mengambil keuntungan?" tanya Duncan, memperjelas pertanyaan gadis itu.

Duncan merasakan anggukan Madelyne. "Memerkosa." Duncan menggumamkan kata kotor tersebut di puncak kepala gadis itu.

Madelyne tersentak, menabrak dagu Duncan dalam kecepatan gerakannya. Kesabaran Duncan semakin menipis. ia memutuskan seharusnya ia tidak pernah berbicara kepada gadis itu. "Aku tidak pernah memaksakan diriku kepada wanita mana pun, Madelyne. Kesucianmu betul-betul aman. Nah, sekarang tidurlah."

"Tidak pernah?" Madelyne membisikkan pertanyaannya.

"Tidak pernah!" Duncan meneriakkan jawabannya.

Madelyne memercayai pria itu. Aneh, tapi ia kini merasa aman dan tahu pria itu tidak akan menyakitinya sementara ia tidur. Kedekatan Duncan mulai membuat Madelyne merasa nyaman lagi.

Madelyne segera dibius oleh kantuk karena kehangatan pria itu. Ia meringkuk lebih dekat kepada Duncan, mendengar pria itu mengerang saat ia menggerak-gerakkan bokongnya di tubuh pria itu untuk lebih banyak mendapatkan kenyamanan, dan bertanya-tanya apa yang mengganggu pria itu sekarang. Saat Duncan mencengkram pinggul Madelyne dan mendiamkannya, gadis itu menduga gerakannya membuat pria itu tidak bisa tidur.

Sepatu Madelyne sudah terlepas dan ia pelan-pelan menyelipkan kakinya di antara betis Duncan untuk lebih banyak mendapatkan kehangatan pria itu. ia berhati-hati agar tidak terlalu banyak bergerak sebab ia takut akan membuat pria itu kesal lagi.

Napas hangat Duncan memanaskan sisi leher gadis itu. madelyne memejamkan matanya dan mendesah. ia tahu ia harus melawan godaan itu, namun kehangatan pria itu menariknya, membuainya. Ia teringat pada salah satu cerita favoritnya tentang Odyssius dan petualangan-petualangannya dengan para Siren. Aye, kehangatan Duncan merayunya seperti lagu yang dinyanyikan oleh nymph-nymph dalam mitologi itu untuk memikat Odysseus dan pasukan prajuritnya ke dalam kehancuran mutlak. Odysseus mengecoh para Siren tersebut dengan cara menjejalkan lilin ke dalam telinga prajuritnya untuk menghalangi suara yang luar biasa menggoda tersebut.

Madelyne berharap ia sepintar dan secerdik sang pejuang hebat itu.

Angin melengking dan mengerang dalam nada pilu di sekelilingnya, namun Madelyne terlindungi dengan baik, didekap dengan erat dalam pelukan penawannya. Ia memejamkan matanya dan kemudian menerima kebenaran itu. Nyanyian para Siren telah menawan dirinya.

Madelyne terbangun hanya sekali malam itu. Punggungnya cukup hangat, namun dada dan lengannya kedinginan. Dengan sangat perlahan, agar tidak mengganggu Duncan, madelyne berbalik dalam pelukan pria itu. Ia menempelkan pipinya di pundak Duncan dan menyelipkan kedua tangannya di bawah kemeja pria itu.

Madelyne tidak terbangun sepenuhnya, dan ketika Duncan mulai menggosok-gosokkan dagu ke keningnya, gadis itu mendesah puas dan meringkuk semakin dekat. Jambang Duncan menggelitik hidung gadis itu. Madelyne mendongak dan pelan-pelan membuka matanya.

Duncan sedang menatapnya. Ekspresi Duncan tidak waspada, begitu hangat dan lembut. Akan tetapi mulut pria itu terlihat keras; Madelyne bertanya-tanya bagaimana rasanya jika pria itu menciumnya.

Tak satu pun dari mereka yang bicara, namun ketika Madelyne bergerak ke arah Duncan, pria itu menemuinya di tengah gerakannya.

Madelyne terasa selezat yang Duncan bayangkan. Oh Tuhan, gadis itu lembut, mengundang. Madelyne tidak bangun sepenuhnya dan oleh sebab itu tidak menolak Duncan, meski mulutnya tidak cukup terbuka untuk pria itu masuki. Duncan dengan cepat mengatasi masalah tersebut dengan cara mendorong dagu gadis itu ke bawah dengan ibu jarinya, lalu memasukkan lidahnya sebelum Madelyne dapat menebak maksudnya.

Duncan menangkap embusan napas Madelyne dan memberi gadis itu erangannya.

Saat Madelyne dengan takut-takut menggunakan lidahnya sendiri untuk membelai lidah Duncan, pria itu menelentangkan Madelyne, dan menempatkan dirinya di antara kaki gadis itu. Kedua tangan Duncan menangkup sisi wajah Madelyne, mendiamkan gadis itu untuk serangan lembutnya.

Tangan madelyne terperangkap di bawah kemeja Duncan. Jemari gadis itu mulai membelai dada Duncan, menggoda kulitnya hingga menjadi panas.

Duncan ingin mengetahui seluruh rahasia gadis itu, memuaskan dirinya sendiri, seketika itu juga, dan semua karena Madelyne amat sangat responsif.

Ciuman itu berubah menjadi sangat panas, sangat intens, sehingga Duncan tahu dirinya berada dalam bahaya akan kehilangan kendali. Mulutnya dimiringkan di atas mulut Madelyne lagi dan lagi, lidahnya menerobos, membelai, mengambil. Oh Tuhan,ia sepertinya tidak bisa puas akan gadis itu.

Itu adalah ciuman paling luar biasa yang pernah Duncan alami, dan ia pasti tidak akan berhenti andai gadis itu tidak mulai gemetar. Rengekan lembut terdengar dari dalam tenggorokan gadis itu. suara sensual itu nyaris menyingkirkan akal sehat.

Madelyne terlalu terpana untuk bereaksi ketika Duncan mendadak menarik diri darinya. Pria itu berbaring telentang, dengan mata terpejam, dan satu-satunya indikasi bahwa ia berpartisipasi dalam ciuman mereka adalah napasnya yang kasar dan tak teratur.

Madelyne tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Oh Tuhan, ia malu sekali pada dirinya sendiri. Apa gerangan yang telah merasukinya? Ia bertingkah begitu jalang, begitu... rendah. Dan ia bisa melihat dari kerutan di wajah Duncan kalau dirinya tidak membuat pria itu senang.

Madelyne ingin menangis.

"Duncan?" Madelyne merasa suaranya terdengar seolah-olah ia sudah menangis.

Duncan tidak menjawab, namun helaan napasnya memberitahu Madelyne bahwa ia mendengar gadis itu memanggil namanya.

"Aku minta maaf."

Duncan begitu terkejut mendengar permintaan maaf gadis itu, membuatnya berbalik menyamping untuk menatap gadis itu. Nyeri di pinggangnya terasa menyakitkan dan ia tidak bisa menghilangkan kernyitan dari wajahnya.

"Maaf untuk apa?" tuntut Duncan, kesal karena suaranya terdengar kasar.

Duncan tahu ia membuat gadis itu ketakutan lagi, sebab Madelyne buru-buru memunggunginya. Gadis itu juga cukup gemetar untuk Duncan sadari. Ia hendak meraih dan menarik Madelyne kembali ke dalam pelukannya, ketika akhirnya gadis itu menjawabnya.

"Karena sudah mengambil keuntungan darimu."

Duncan tidak bisa memercayai apa yang baru saja ia dengar. Itu adalah permintaan maaf paling konyol yang pernah diberikan kepadanya.

Sebuah senyum perlahan menggantikan kernyitan Duncan. Ya Tuhan, ia merasa ingin tertawa sekarang, dan pasti akan menyerah kepada dorongan itu, seandainya Madelyne tidak terdengar begitu tulus. Akan tetapi, hasratnya untuk menjaga perasaan gadis itu membuat tawanya tertahan. Duncan tidak mengerti alasan dirinya ingin menjaga perasaan gadis itu, namun keinginan itu ada di sana, menyiksanya.

Duncan mengerang panjang. Madelyne mendengarnya dan langsung menyimpulkan bahwa pria itu sungguh-sungguh merasa jijik kepadanya. "Aku berjanji padamu, Duncan, itu tidak akan terjadi lagi."

Duncan melingkarkan lengannya ke pinggang Madelyne dan menarik gadis itu ke arahnya. "Dan aku berjanji padamu bahwa itu akan terjadi lagi, Madelyne."

Madelyne pikir itu terdengar seperti sebuah sumpah.



Next
Back
Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar