Rabu, 14 Mei 2025

The Reluctant Viking #9

 Ruby melihat beberapa penonton laki-laki mengangguk mengerti dan melanjutkan. “Lukanya begitu parah sehingga dia berharap agar cepat mati, tapi tetap saja dia terluka ketika istrinya yang masih muda tidak menginginkan pernikahan dengan laki-laki yang cacat.

Ruangan itu sunyi seperti kuburan. Ia sudah mendapatkan perhatian penuh dari orang-orang Viking itu.

Ruby memetik lute­-nya, awalnya bernyanyi dengan enggan dan suara pelan tentang laki-laki yang malang yang melihat istrinya pergi bersama laki-laki lain. Kapan pun ia menyanyikan bagian refrain, dengan suara rendah dan mendayu-dayu, di mana si mantan tentara itu memohon kepada istrinya untuk tidak membawa cintanya ke tempat lain, ia melihat senyum pengertian menghiasi beberapa wajah laki-laki Viking yang keras itu, sedangkan mata yang lainnya basah. Tanpa disengaja, ruby telah memilih lagu yang berhasil menyentuh hati para pejuang yang sensitif ini. Mereka mengerti dengan sangat baik harga sebuah pertempuran, tahu itu bisa terjadi pada salah satu dari mereka dan sudah terjadi pada beberapa rekan seperjuangan mereka.

Ruangan itu benar-benar hening ketika Ruby selesai.

Uh, oh! Apakah artinya kali ini waktunya untuk eksekusi? Ruby memandang Thork yang melewatkan minumannya dan memandangnya dengan tajam, kentara sekali terpesona oleh kisah musikalnya. Ruby tersenyum kepada pria itu, dan hatinya tergerak ketika pria itu membalasnya. Tatapan Thork yang tenang dan menusuk membawa kehangatan melalui benang tipis yang menghubungkan mereka, membuat darah mereka mendidih dan jantung Ruby berdegup kencang. Dalam detik-detik ketika mata mereka aling terhubung itu, ikatan di antara mereka berkembang dan tumbuh menjadi lebih kuat.

Lalu, keriuhan meledak di ruangan itu, yang dengan kasar menarik mereka berdua ke dunia nyata. King Sigtrygg berdiri dan menepuk punggung Ruby dengan begitu antusiasnya sehingga ia hampir menjatuhkan lute itu.

“Bagus sekali! Bagus sekali!” umum sang raja. “Besok kau akan mengajarkan kisah itu kepada skald-ku.” Sang pujangga tidak terlihat terlalu senang menghadapi prospek itu. “Sekarang beritahu kami lagu lain tentang adikmu itu. Siapa namanya?”

“Lucille.”

Orang-orang Viking itu juga menyukai lagu “Lucille”, yang mengisahkan tentang seorang istri yang berselingkuh, di mana suaminya mengonfrontasinya di sebuah bar karena istrinya itu meninggalkan dirinya dan keempat anak mereka yang kelaparan. Ketika sampai di bagian akhir lagu, orang-orang Viking itu menyanyikan bagian refrain bersama-sama dengannya dalam suara yang sangat dalam, menghukum Lucille yang karena memilih waktu yang tidak tepat untuk meninggalkan suaminya.

 Ruby menjadi idola. Orang-orang Viking yang menghentakkan kaki meraka sambil munum bir itu adalah pencinta musik country. Mereka memintanya untuk mengulangi kedua lagu itu, kemudian bertanya apakah ia tahu lagu lainnya.

Hanya Thork yang sepertinya tidak menghargai lagu-lagunya. Suasana hati pria itu, yang baru beberapa menit lalu hangat, langsung berubah. Ia menggerutu dengan dingin. “Rasanya aneh kau menyanyikan lagu-lagu seperti itu. Aku merasa tidak ada yang perlu ditertawakan dari kisah yang memuji-muji ketidaksetiaan wanita.”

Sang raja dan sejumlah laki-laki lainnya tertewa geli mendengar ucapan Thork. Mereka tahu sikap masam pria itu mencakup semua wanita. Malahan, mereka mungkin berbagi pandangan itu.

“Tidak, kau salah, Thork,” koreksi Ruby. “Lagu-lagu itu mencemooh beberapa wanita yang tidak menhargai seorang pria terhormat.”

Untuk apa ia berusaha membela dirinya di depan Thork? Ruby mulai berpikir mungkin ia juga membutuhkan bir, tapi tahu nasibnya bergantung pada kemampuannya untuk membuat rasa xenang. Ia mencari-cari lagu lain di otaknya dan tak menemukan apa pun.

Kemudian ia ingat dua lagu yang didengarnya diputar berulang-ulang di radio mobilnya. Orang-orang Viking ini mungkin akan menyukai lagu itu karena kata-katanya yang lucu serta nada yang sangat rendah yang dibutuhkan di beberapa bagian. Ketika ia selesai menyanyikan lagu Gareth Brooks “Ive Got Friends in Low Place” dan lagu Hank Williams Jr “All My Rowdy Friends Are Coming Over Tonight”, atap ruangan itu bisa dibilang terangkat dari langit-langit yang tinggi itu oleh suara tawa mereka yang membahana dan teriakan minta lagu lain. Ia menuntaskannya dengan lagu lawas dari Mac Davis. “Lord, It’s Hard to Be Humble”,  dan menyaksikan laki-laki Viking yang berotot itu tertawa terbungkuk-bungkuk, walaupun mereka tahu ia mengarahkan lagu itu kepada mereka.

Thork memandang Ruby dengan ekspresi aneh dan penuh tanya. Ia telah membuat pria itu bertanya-tanya, seperti yang dilakukannya terhadap orang-orang Viking lainnya di ruangan itu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di wajahnya yang sangat tampan itu yang tak bisa dipahami Ruby. Mata biru Thork yang menusuk menahannya, dan Ruby berusaha memahami apa yang hendak dikatakan pria itu kepadanya, namun tidak berhasil. Di suatu tempat yang jauh di dalam dirinya ia tahu apa jawabannya, tapi sekarang jawaban itu menghindarinya. Ruby menempelkan tangannya ke keningnya dengan lelah.

“Wanita itu sudah kecapekan,” kata Thork kepada sang Raja, segera mengeti arti gerakan Ruby. “Biarkan dia istirahat.” Thork memanggila si pemaian lute an saudara perempuannya untuk menghibur mereka kembali tanpa menunggu jawaban dari Sigtrygg.

Thork menarik tangan Ruby, menariknya ke samping, menjauh dari keramaian, dan menyerahkan gelas anggurnya. Ruby menempelkan bibirnya ke pinggiran gelas itu, tempat yang sebelumnya disentuh oleh bibir pria itu, dan meneguknya dengan rakus sambil memandang pria itu, bertanya-tanya apa yang dicari Thork dengan mata birunya yang tak berdasar itu…

Ruby merasa pusing ketika gelombang gairah yang tiba-tiba menyapunya, mengerti arti pandangan aneh di wajah Thork sejak tadi, sama seperti yang dilihatnya sekarang. Ekspresi itu juga yang terpampang di wajah Jack ketika suaminya itu terangsang dan ingin bercinta. Apa yang sudah diucapkan atau dilakukannya yang mengusik saraf-saraf pria itu?

“Siapa kau?” bisik Thork dengan parau. Matanya menjelajahi tubuh Ruby dengan lapar.

“Istrimu.”

Thork menggeleng tapi bertanya dengan suara serak yang dipenuhi nafsunya. “Maukah kau tidur denganku?”

Ruby tersenyum mendengar pertanyaan yang blak-blakan itu. Selalu langsung pada intinya!

“Maukah kau menikahiku?”

Pria itu tersenyum mendengar Ruby membalasnya dengan cepat dan menggeleng, mungkin berpikir Ruby tidak serius. “Aku menginginkanmu.” Thork menekankan masing-masing kata itu, berusaha untuk membaut permintaannya jelas. Seakan-akan napasnya yang berat dan matanya yang berkilat itu tidak mengungkapkan maksudnya – dengan sangat jelas!

“Aku tahu,” bisik Ruby sambil meletakkan tangannya di lengan pria itu, menunjukkan kalau ia mengerti. Ruby langsung menyentakkan tangannya ketika merasakan sengatan seksual menghantam kewanitaannya hanya dengan sentuhan ringan itu.

Seulas senyum sensual terbentuk di bibir Thork yang terbuka. Pria itu merasakan apa yang terjadi padanya, bahkan mungkin merasakannya juga.

“sudah berhari-hari kau sudah menggodaku, sejak pertama kalinya kau tiba di pelabuhan, Manis,” ujar Thork dengan halus. “Ketertarikanku padamu ini, rasanya aneh sekali. Aku hampir percaya kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya, seperti yang kau katakan. Sepertinya kau tahu titik-titik yang tepat untuk memancing gairahku.”

Ruby merasakan kepuasan ketika mendengar kata-kata itu.

“Apakah kau seorang penyihir, Ruby? Apakah kau sudah mengeluarkan mantramu dan menyihirku?” tanya Thorkmdengan suara pelan sementara tangannya mengambil gelas dari tangan Ruby dan meletakkannya ke kusen jendela yang paling dekat dengan mereka. Dengan ibu jarinya, Thork mengelap setetes anggur dari dagu Ruby. Ujung lidah Ruby mengintip dari antar bibirnya, dengan sengaja menggoda pria itu. Kemudian menjilat anggur dari jari Thork yang sensitif itu, dan menjilatnya lagi.

Mata Thork menggelap, menjadi biru tua sementara tubuhnya menggigil sebelum meraih pinggang Ruby, memutarnya sehingga punggung Ruby menempel ke dinding dengan jari-jari kakinya hampir tidak menyentuh lantai. Ia menahan Ruby di sana dengan bagian tubuh bawahnya yang terangsang. Dengan ahli ia memindahkan pinggulnya dari satu sisi ke sisi lain hingga tubuh mereka berdua menyatu dengan sempurna – dada ke dada, kewanitaan Ruby dengan kejantanannya.

“Oooh!” Ruby mendesah pelan, dengan geraman rendah terdengar dari tenggorokan Thork.

Ruby memejamkan mata sejenak untuk menikmati sensasi yang sangat indah itu. Semua rambut-rambut halus di tubuhnya berdiri, yang sudah terbiasa pada pria ini, yang tubuhnya sama akrabnya dengan dirinya sendiri.

Ketika Thork menarik badannya, kemudian mendorongnya lagi ke tubuh Ruby – di tempat yang tepat – Ruby terkesiap.

“Aku sudah menunjukkan kepadamu apa yang kuinginkan,” Thork menggeram, mengucapkannya sambil terengah-engah melalui bibirnya yang terbuka. “Apa yang kau inginkan?”

“Kupikir…” Ruby berusaha menjawab, tapi suaranya pecah akibat emosi. “Kupikir aku menginginkan ciuman yang pernah kukatakan padamu ewaktu itu.”

Thork menyeringai nakal, segera mengerti kata-kata Ruby. Ia merendahkan bibirnya hingga bibir mereka hampir bersentuhan. “Seperti apa katamu waktu itu? Panjang, lambat…”

Ketika bibir mereka akhirnya menyatu, Thork menggerakkan mulutnya maju dan mundur sampai membentuk ciuman itu sesuai dengan keinginannya. Ciuman itu sama menggetarkannya seperti yang dilakukan Jack, bahkan lebih. Mereka tidak berhenti sedetik pun, bahkan tidak untuk menarik napas. Ruby menyukai bibir Thork yang terasa tepat di bibirnya, dan melalui dua puluh tahun pernikahan mereka, dengan sendirinya ia tahu apa yang disukai dan apa yang dibutuhkan pria ini. Bibirnya menempel ke bibir Thork dengan tidak sabar. Dengan rakus, karena sepertinya siksaan yang manis itu tidak pernah cukup untuknya.

Akhirnya Thork menarik dirinya dan sambil menggigit bibir bawah Ruby, ia berbisik “Apa lagi yang disukai si Kevin di dalam ciumannya? Apakah… ya… dalam, kurasa itu yang kau katakan.”

Ketika lidah Thork menerobos melalui bibir Ruby yang terbuka dan memulai sebuah gerakan keluar masuk yang lambat, Ruby melingkarkan tangannya ke leher Thork dan membuka kakinya agar bisa merasakan pria itu dengan lebih baik. Kejantanan Thork menyentuh gundukan kecil feminin itu, dan sentakan kenikmatan menghantam Ruby, begitu kuatnya sehingga ia lumpuh di dalam pelukan pria itu. Akibatnya, Tubuh Thork mengejang. Thork menarik mulutnya dengan kasar, memegang wajah Ruby di antara kedua tangannya.

Suaranya begitu serak sampai-sampai Ruby hampir tak bisa mendengarnya, Thork bertanya, pengendalian dirinya nyata sekali sudah hampir meledak. “Dan hal terakhir yang disukai pria itu di dalam ciumannya?”

“Aku tak bisa berpikir,” Ruby mengakui, melihat garis-garis senyum membuat mata Thork berkerut. Tapi, ia kemudian bergumam. “Aku ingat sekarang. Kurasa itu adalah ‘ciuman panjang, lembap, dalam, lembut dan basah yang bertahan sampai tiga hari.”

Thork menyeringai dan jantung Ruby rasanya meloimpat, seperti yang selalu terjadi ketika Jack memandangnya seperti itu. Kemudian ia melanjutkan lagi, memikirkan kedua pria itu – Jack dan Thork – sebagai satu orang.

“Aku tidak tahu tentang tiga harinya, tapi kupikir kita bisa melakukan hingga yang terakhir,” Ruby menjanjikan dengan goyah. “Bagaimana?” Bermain sebagai penyerang, ia menarik kepala Thork ke arahnya, kemudian membasahi bibir pria itu dengan ujung lidahnya sebelum akhirnya menyusup ke dalam mulut Thork seperti yang dilakukan pria itu kepadanya beberapa saat yang lalu.

Geraman rendah dan serak yang keluar dari tenggorokan Thork membuktikan kalau pria itu menyukai apa yang dilakukan Ruby, belum lagi tekanan menggoda yang keras yang dirasakan Ruby di bawah pinggangnya.

Thork melepaskan dirinya dari cumbuan itu, gairah berkobar di matanya.

“Sungguh, apakah kau eorang penyihir?”

“Bukan, hanya seorang wanita.”

“Apakah kau mau menjadi wanitaku malam ini?”

Ruby mengeluarkan rengekan pelan ketika Thork merayunya dengan menggerakkan pinggul. “Oh, Thork, sebagian dari diriku mau, tapi…”

“Bagian mana?” tanya Thork dengan seringai lebar, melengkungkan satu alisnya ketika pinggulnya kembali bergerak di pinggul Ruby.

“Itu tidak adil,” Ruby terkesiap sambil tertawa pelan. “Thork, aku juga menginginkanmu, tapi aku sudah terlalu tua untuk menjadi kekasih satu malam Aku sudah terlalu lama tinggal denganmu, maksudku, Jack, untuk puas hanya dengan satu malam.”

“Kekasih satu malam?”

“Itu artinya aku tidak mau menjadi wanita lainnya yang kau taklukkan di tempat tidurmu, untuk dilupakan pada hari berikutnya. Kecuali, tentu saja, kalau undanganmu itu berlaku untuk lebih dari satu malam.” Ruby memandang pria itu dengan penuh harap.

Thork memamerkan giginya yang putih dalam seulas senyum yang meluluhlantakkan. “Oh, manis, percayalah, kita akan membutuhkan lebih dari satu malam sebelum rasa lapar ini terpuaskan.”

Ia sama sekali tidak meragukannya, pikir Ruby. Setiap sentimeter kulitnya berdenyut menginginkan pria itu.

Dengan tidak sabar, Thork bertanya sekali lagi, “Maukah kau tidur bersamaku malam ini?”

“Maukah kau mengakui dirimu sebagai suamiku?”

Thork memiringkan kepalanya dengan penuh tanya. Kemudian matanya berubah ketika pemahaman menghantamnya, yaitu Ruby ingin ia memberikan lebih dari yang bersedian diberikannya.

“Tidak akan pernah!” kata Thork dengan berapi-api, lalu menarik dirinya dari Ruby. Tiba-tiba saja api gairahnya padam. Ia meninju telapak tangannya sendiri dengan marah. “Seharusnya aku sudah tahu. Wanita selalu menginginkan sesuatu dari laki-laki. Mereka tidak pernah memberikan cinta mereka tanpa syarat.”

“Itu tidak adil.”

“Aku sangat bodoh karena berpikir kau memperlihatkan emosi yang jujur padahal kenyataannya kau menginginkan bayaran atas apa yang kau berikan. Sumpah pernikahan sebagai ganti tubuhmu! Hah!” Mata Thork yang menyala menyapu tubuh Ruby, pandangannya mencemooh. “Rupanya tepat sekali kau dinamai seperti wanita sundal di lagu itu.”

“Thork, itu tidak benar,” Ruby menangis, tapi Thork sudah berbalik dan meninggalkannya. Ia menyentuh bibir yang memar akibat ciuman itu dengan ujung jarinya untuk menghentikan isak tangisnya.

“Apakah pria ini akan pernah berhenti menyakitinya?”

 

 Sinopsis

 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar