Ruby melihat beberapa penonton laki-laki mengangguk mengerti dan melanjutkan. “Lukanya begitu parah sehingga dia berharap agar cepat mati, tapi tetap saja dia terluka ketika istrinya yang masih muda tidak menginginkan pernikahan dengan laki-laki yang cacat.
Ruangan itu sunyi
seperti kuburan. Ia sudah mendapatkan perhatian penuh dari orang-orang Viking
itu.
Ruby memetik lute-nya,
awalnya bernyanyi dengan enggan dan suara pelan tentang laki-laki yang malang
yang melihat istrinya pergi bersama laki-laki lain. Kapan pun ia menyanyikan
bagian refrain, dengan suara rendah dan mendayu-dayu, di mana si mantan
tentara itu memohon kepada istrinya untuk tidak membawa cintanya ke tempat
lain, ia melihat senyum pengertian menghiasi beberapa wajah laki-laki Viking
yang keras itu, sedangkan mata yang lainnya basah. Tanpa disengaja, ruby telah
memilih lagu yang berhasil menyentuh hati para pejuang yang sensitif ini.
Mereka mengerti dengan sangat baik harga sebuah pertempuran, tahu itu bisa
terjadi pada salah satu dari mereka dan sudah terjadi pada beberapa rekan
seperjuangan mereka.
Ruangan itu
benar-benar hening ketika Ruby selesai.
Uh, oh! Apakah artinya kali ini waktunya untuk
eksekusi? Ruby memandang Thork yang melewatkan minumannya dan memandangnya
dengan tajam, kentara sekali terpesona oleh kisah musikalnya. Ruby tersenyum
kepada pria itu, dan hatinya tergerak ketika pria itu membalasnya. Tatapan
Thork yang tenang dan menusuk membawa kehangatan melalui benang tipis yang
menghubungkan mereka, membuat darah mereka mendidih dan jantung Ruby berdegup
kencang. Dalam detik-detik ketika mata mereka aling terhubung itu, ikatan di
antara mereka berkembang dan tumbuh menjadi lebih kuat.
Lalu, keriuhan
meledak di ruangan itu, yang dengan kasar menarik mereka berdua ke dunia nyata.
King Sigtrygg berdiri dan menepuk punggung Ruby dengan begitu antusiasnya
sehingga ia hampir menjatuhkan lute itu.
“Bagus sekali!
Bagus sekali!” umum sang raja. “Besok kau akan mengajarkan kisah itu kepada skald-ku.”
Sang pujangga tidak terlihat terlalu senang menghadapi prospek itu. “Sekarang
beritahu kami lagu lain tentang adikmu itu. Siapa namanya?”
“Lucille.”
Orang-orang Viking
itu juga menyukai lagu “Lucille”, yang mengisahkan tentang seorang istri yang
berselingkuh, di mana suaminya mengonfrontasinya di sebuah bar karena istrinya
itu meninggalkan dirinya dan keempat anak mereka yang kelaparan. Ketika sampai
di bagian akhir lagu, orang-orang Viking itu menyanyikan bagian refrain
bersama-sama dengannya dalam suara yang sangat dalam, menghukum Lucille yang
karena memilih waktu yang tidak tepat untuk meninggalkan suaminya.
Ruby menjadi idola. Orang-orang Viking yang
menghentakkan kaki meraka sambil munum bir itu adalah pencinta musik country.
Mereka memintanya untuk mengulangi kedua lagu itu, kemudian bertanya apakah ia
tahu lagu lainnya.
Hanya Thork yang
sepertinya tidak menghargai lagu-lagunya. Suasana hati pria itu, yang baru
beberapa menit lalu hangat, langsung berubah. Ia menggerutu dengan dingin.
“Rasanya aneh kau menyanyikan lagu-lagu seperti itu. Aku merasa tidak ada yang
perlu ditertawakan dari kisah yang memuji-muji ketidaksetiaan wanita.”
Sang raja dan
sejumlah laki-laki lainnya tertewa geli mendengar ucapan Thork. Mereka tahu
sikap masam pria itu mencakup semua wanita. Malahan, mereka mungkin berbagi
pandangan itu.
“Tidak, kau salah,
Thork,” koreksi Ruby. “Lagu-lagu itu mencemooh beberapa wanita yang tidak
menhargai seorang pria terhormat.”
Untuk apa ia
berusaha membela dirinya di depan Thork? Ruby mulai berpikir mungkin ia juga
membutuhkan bir, tapi tahu nasibnya bergantung pada kemampuannya untuk membuat
rasa xenang. Ia mencari-cari lagu lain di otaknya dan tak menemukan apa pun.
Kemudian ia ingat
dua lagu yang didengarnya diputar berulang-ulang di radio mobilnya. Orang-orang
Viking ini mungkin akan menyukai lagu itu karena kata-katanya yang lucu serta
nada yang sangat rendah yang dibutuhkan di beberapa bagian. Ketika ia selesai
menyanyikan lagu Gareth Brooks “Ive Got Friends in Low Place” dan lagu Hank
Williams Jr “All My Rowdy Friends Are Coming Over Tonight”, atap ruangan itu
bisa dibilang terangkat dari langit-langit yang tinggi itu oleh suara tawa
mereka yang membahana dan teriakan minta lagu lain. Ia menuntaskannya dengan
lagu lawas dari Mac Davis. “Lord, It’s Hard to Be Humble”, dan menyaksikan laki-laki Viking yang berotot
itu tertawa terbungkuk-bungkuk, walaupun mereka tahu ia mengarahkan lagu itu
kepada mereka.
Thork memandang
Ruby dengan ekspresi aneh dan penuh tanya. Ia telah membuat pria itu bertanya-tanya,
seperti yang dilakukannya terhadap orang-orang Viking lainnya di ruangan itu,
tapi ada sesuatu yang lebih dalam di wajahnya yang sangat tampan itu yang tak
bisa dipahami Ruby. Mata biru Thork yang menusuk menahannya, dan Ruby berusaha
memahami apa yang hendak dikatakan pria itu kepadanya, namun tidak berhasil. Di
suatu tempat yang jauh di dalam dirinya ia tahu apa jawabannya, tapi sekarang
jawaban itu menghindarinya. Ruby menempelkan tangannya ke keningnya dengan
lelah.
“Wanita itu sudah
kecapekan,” kata Thork kepada sang Raja, segera mengeti arti gerakan Ruby.
“Biarkan dia istirahat.” Thork memanggila si pemaian lute an saudara
perempuannya untuk menghibur mereka kembali tanpa menunggu jawaban dari
Sigtrygg.
Thork menarik
tangan Ruby, menariknya ke samping, menjauh dari keramaian, dan menyerahkan
gelas anggurnya. Ruby menempelkan bibirnya ke pinggiran gelas itu, tempat yang
sebelumnya disentuh oleh bibir pria itu, dan meneguknya dengan rakus sambil
memandang pria itu, bertanya-tanya apa yang dicari Thork dengan mata birunya
yang tak berdasar itu…
Ruby merasa pusing
ketika gelombang gairah yang tiba-tiba menyapunya, mengerti arti pandangan aneh
di wajah Thork sejak tadi, sama seperti yang dilihatnya sekarang. Ekspresi itu
juga yang terpampang di wajah Jack ketika suaminya itu terangsang dan ingin
bercinta. Apa yang sudah diucapkan atau dilakukannya yang mengusik saraf-saraf
pria itu?
“Siapa kau?” bisik
Thork dengan parau. Matanya menjelajahi tubuh Ruby dengan lapar.
“Istrimu.”
Thork menggeleng
tapi bertanya dengan suara serak yang dipenuhi nafsunya. “Maukah kau tidur
denganku?”
Ruby tersenyum
mendengar pertanyaan yang blak-blakan itu. Selalu langsung pada intinya!
“Maukah kau
menikahiku?”
Pria itu tersenyum
mendengar Ruby membalasnya dengan cepat dan menggeleng, mungkin berpikir Ruby
tidak serius. “Aku menginginkanmu.” Thork menekankan masing-masing kata
itu, berusaha untuk membaut permintaannya jelas. Seakan-akan napasnya yang
berat dan matanya yang berkilat itu tidak mengungkapkan maksudnya – dengan sangat
jelas!
“Aku tahu,” bisik
Ruby sambil meletakkan tangannya di lengan pria itu, menunjukkan kalau ia
mengerti. Ruby langsung menyentakkan tangannya ketika merasakan sengatan
seksual menghantam kewanitaannya hanya dengan sentuhan ringan itu.
Seulas senyum
sensual terbentuk di bibir Thork yang terbuka. Pria itu merasakan apa yang
terjadi padanya, bahkan mungkin merasakannya juga.
“sudah
berhari-hari kau sudah menggodaku, sejak pertama kalinya kau tiba di pelabuhan,
Manis,” ujar Thork dengan halus. “Ketertarikanku padamu ini, rasanya aneh
sekali. Aku hampir percaya kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya, seperti
yang kau katakan. Sepertinya kau tahu titik-titik yang tepat untuk memancing
gairahku.”
Ruby merasakan
kepuasan ketika mendengar kata-kata itu.
“Apakah kau
seorang penyihir, Ruby? Apakah kau sudah mengeluarkan mantramu dan menyihirku?”
tanya Thorkmdengan suara pelan sementara tangannya mengambil gelas dari tangan
Ruby dan meletakkannya ke kusen jendela yang paling dekat dengan mereka. Dengan
ibu jarinya, Thork mengelap setetes anggur dari dagu Ruby. Ujung lidah Ruby
mengintip dari antar bibirnya, dengan sengaja menggoda pria itu. Kemudian
menjilat anggur dari jari Thork yang sensitif itu, dan menjilatnya lagi.
Mata Thork
menggelap, menjadi biru tua sementara tubuhnya menggigil sebelum meraih
pinggang Ruby, memutarnya sehingga punggung Ruby menempel ke dinding dengan
jari-jari kakinya hampir tidak menyentuh lantai. Ia menahan Ruby di sana dengan
bagian tubuh bawahnya yang terangsang. Dengan ahli ia memindahkan pinggulnya
dari satu sisi ke sisi lain hingga tubuh mereka berdua menyatu dengan sempurna
– dada ke dada, kewanitaan Ruby dengan kejantanannya.
“Oooh!” Ruby
mendesah pelan, dengan geraman rendah terdengar dari tenggorokan Thork.
Ruby memejamkan
mata sejenak untuk menikmati sensasi yang sangat indah itu. Semua rambut-rambut
halus di tubuhnya berdiri, yang sudah terbiasa pada pria ini, yang tubuhnya
sama akrabnya dengan dirinya sendiri.
Ketika Thork
menarik badannya, kemudian mendorongnya lagi ke tubuh Ruby – di tempat yang
tepat – Ruby terkesiap.
“Aku sudah
menunjukkan kepadamu apa yang kuinginkan,” Thork menggeram, mengucapkannya
sambil terengah-engah melalui bibirnya yang terbuka. “Apa yang kau inginkan?”
“Kupikir…” Ruby
berusaha menjawab, tapi suaranya pecah akibat emosi. “Kupikir aku menginginkan
ciuman yang pernah kukatakan padamu ewaktu itu.”
Thork menyeringai
nakal, segera mengerti kata-kata Ruby. Ia merendahkan bibirnya hingga bibir
mereka hampir bersentuhan. “Seperti apa katamu waktu itu? Panjang, lambat…”
Ketika bibir
mereka akhirnya menyatu, Thork menggerakkan mulutnya maju dan mundur sampai
membentuk ciuman itu sesuai dengan keinginannya. Ciuman itu sama
menggetarkannya seperti yang dilakukan Jack, bahkan lebih. Mereka tidak
berhenti sedetik pun, bahkan tidak untuk menarik napas. Ruby menyukai bibir
Thork yang terasa tepat di bibirnya, dan melalui dua puluh tahun pernikahan
mereka, dengan sendirinya ia tahu apa yang disukai dan apa yang dibutuhkan pria
ini. Bibirnya menempel ke bibir Thork dengan tidak sabar. Dengan rakus, karena
sepertinya siksaan yang manis itu tidak pernah cukup untuknya.
Akhirnya Thork
menarik dirinya dan sambil menggigit bibir bawah Ruby, ia berbisik “Apa lagi
yang disukai si Kevin di dalam ciumannya? Apakah… ya… dalam, kurasa itu yang
kau katakan.”
Ketika lidah Thork
menerobos melalui bibir Ruby yang terbuka dan memulai sebuah gerakan keluar
masuk yang lambat, Ruby melingkarkan tangannya ke leher Thork dan membuka
kakinya agar bisa merasakan pria itu dengan lebih baik. Kejantanan Thork
menyentuh gundukan kecil feminin itu, dan sentakan kenikmatan menghantam Ruby,
begitu kuatnya sehingga ia lumpuh di dalam pelukan pria itu. Akibatnya, Tubuh
Thork mengejang. Thork menarik mulutnya dengan kasar, memegang wajah Ruby di
antara kedua tangannya.
Suaranya begitu
serak sampai-sampai Ruby hampir tak bisa mendengarnya, Thork bertanya,
pengendalian dirinya nyata sekali sudah hampir meledak. “Dan hal terakhir yang
disukai pria itu di dalam ciumannya?”
“Aku tak bisa berpikir,”
Ruby mengakui, melihat garis-garis senyum membuat mata Thork berkerut. Tapi, ia
kemudian bergumam. “Aku ingat sekarang. Kurasa itu adalah ‘ciuman panjang,
lembap, dalam, lembut dan basah yang bertahan sampai tiga hari.”
Thork menyeringai
dan jantung Ruby rasanya meloimpat, seperti yang selalu terjadi ketika Jack
memandangnya seperti itu. Kemudian ia melanjutkan lagi, memikirkan kedua pria
itu – Jack dan Thork – sebagai satu orang.
“Aku tidak tahu
tentang tiga harinya, tapi kupikir kita bisa melakukan hingga yang terakhir,”
Ruby menjanjikan dengan goyah. “Bagaimana?” Bermain sebagai penyerang, ia
menarik kepala Thork ke arahnya, kemudian membasahi bibir pria itu dengan ujung
lidahnya sebelum akhirnya menyusup ke dalam mulut Thork seperti yang dilakukan
pria itu kepadanya beberapa saat yang lalu.
Geraman rendah dan
serak yang keluar dari tenggorokan Thork membuktikan kalau pria itu menyukai
apa yang dilakukan Ruby, belum lagi tekanan menggoda yang keras yang dirasakan
Ruby di bawah pinggangnya.
Thork melepaskan
dirinya dari cumbuan itu, gairah berkobar di matanya.
“Sungguh, apakah
kau eorang penyihir?”
“Bukan, hanya
seorang wanita.”
“Apakah kau mau
menjadi wanitaku malam ini?”
Ruby mengeluarkan
rengekan pelan ketika Thork merayunya dengan menggerakkan pinggul. “Oh, Thork,
sebagian dari diriku mau, tapi…”
“Bagian mana?”
tanya Thork dengan seringai lebar, melengkungkan satu alisnya ketika pinggulnya
kembali bergerak di pinggul Ruby.
“Itu tidak adil,”
Ruby terkesiap sambil tertawa pelan. “Thork, aku juga menginginkanmu, tapi aku
sudah terlalu tua untuk menjadi kekasih satu malam Aku sudah terlalu lama
tinggal denganmu, maksudku, Jack, untuk puas hanya dengan satu malam.”
“Kekasih satu
malam?”
“Itu artinya aku
tidak mau menjadi wanita lainnya yang kau taklukkan di tempat tidurmu, untuk
dilupakan pada hari berikutnya. Kecuali, tentu saja, kalau undanganmu itu
berlaku untuk lebih dari satu malam.” Ruby memandang pria itu dengan penuh
harap.
Thork memamerkan
giginya yang putih dalam seulas senyum yang meluluhlantakkan. “Oh, manis,
percayalah, kita akan membutuhkan lebih dari satu malam sebelum rasa lapar ini
terpuaskan.”
Ia sama sekali
tidak meragukannya, pikir Ruby. Setiap sentimeter kulitnya berdenyut
menginginkan pria itu.
Dengan tidak
sabar, Thork bertanya sekali lagi, “Maukah kau tidur bersamaku malam ini?”
“Maukah kau
mengakui dirimu sebagai suamiku?”
Thork memiringkan
kepalanya dengan penuh tanya. Kemudian matanya berubah ketika pemahaman
menghantamnya, yaitu Ruby ingin ia memberikan lebih dari yang bersedian
diberikannya.
“Tidak akan
pernah!” kata Thork dengan berapi-api, lalu menarik dirinya dari Ruby.
Tiba-tiba saja api gairahnya padam. Ia meninju telapak tangannya sendiri dengan
marah. “Seharusnya aku sudah tahu. Wanita selalu menginginkan sesuatu dari
laki-laki. Mereka tidak pernah memberikan cinta mereka tanpa syarat.”
“Itu tidak adil.”
“Aku sangat bodoh
karena berpikir kau memperlihatkan emosi yang jujur padahal kenyataannya kau
menginginkan bayaran atas apa yang kau berikan. Sumpah pernikahan sebagai ganti
tubuhmu! Hah!” Mata Thork yang menyala menyapu tubuh Ruby, pandangannya
mencemooh. “Rupanya tepat sekali kau dinamai seperti wanita sundal di lagu
itu.”
“Thork, itu tidak
benar,” Ruby menangis, tapi Thork sudah berbalik dan meninggalkannya. Ia
menyentuh bibir yang memar akibat ciuman itu dengan ujung jarinya untuk
menghentikan isak tangisnya.
“Apakah pria ini
akan pernah berhenti menyakitinya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar