Selasa, 24 September 2024

The Bride #4

Jamie baru tahu soal kedatangan orang-orang Skotlandia yang lebih awal setelah Merlin, si pengurus ternak, mengejarnya dan mengabarkan kehebohan yang terjadi di rumah utama dan ayahnya ingin agar ia segera menyelesaikan semuanya.

Merlin lupa menyebutkan orang-orang Skotlandia itu dalam kalimatnya yang tergagap-gagap. Namun, itu bukan salahnya karena nonanya yang cantik menoleh dan menatap matanya sejak pertama kali ia menjelaskan. Mata lembayung itu membuatnya terpesona. Lalu, Jamie tersenyum, menyebabkan jantung Merlin mulai berdebar-debar seperti pelayan belia yang konyol. Tapi, pikirannya tidak berdebar-debar, melainkan kosong dari semua hal kecuali satu: Lady Jamie memberinya perhatian penuh.

Tentu saja kegagapan Merlin malah semakin parah, tapi itu tidak penting. Toh, Jamie tidak bisa langsung menuruti panggilan sang baron. Ada orang yang terluka yang membutuhkan perhatiannya segera. Silas tua yang malang, yang penglihatannya sudah selemah tangannya, tanpa sengaja mengiris lengan atasnya alih-alih perut kulit binatang yang hendak ia jadikan lapisan pelana.

Lukanya kecil dan tidak perlu dibakar dengan pisau panas, tapi Jamie tetap harus menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menenangkan pria tua itu setelah membersihkan dan membungkus lukanya.

Silas butuh dimanja, titik.

Merlin berdiri di samping koki selama kegemparan itu terjadi. Ia sedikit iri atas semua perhatian yang didapatkan Silas dari Jamie. Ia juga sangat gugup karena tidak bisa mengingat potongan informasi lainnya yang harus ia sampaikan kepada Jamie.

Jamie akhirnya menyelesaikan pekerjaannya dan meninggalkan Silas di tangan Cholie yang mahir. Jamie tahu kedua pelayan itu setidaknya akan saling berbagi ale, tapi menurutnya itu tidak terlalu berdosa, mengingat Silas sedang kesal dan Cholie perlu menghibur pria tua itu dengan satu-satunya cara ya ia ketahui.

“Aku hanya bisa menangani masalah satu per satu,” kata Jamie pada Merlin ketika Merlin mengingatkan kekacauan yang sedang terjadi di rumah utama. Jamie tersenyum untuk memperhalus kalimatnya, lalu meninggalkan pengurus ternak yang berwajah cemas itu. Jamie berlari menaiki bukit, roknya dinaikkan sampai ke lutut. Tiga anjing greyhound yang riang berlari mendampinginya. Jamie dan hewan peliharaannya sama sekali tidak melambat hingga saat mereka melewati pintu yang terbuka dan memasuki aula utama.

Saat itu, tiba-tiba Jamie berhenti. Dua orang pria yang bersandar santai ke rak di atas perapian langsung menarik perhatiannya.

Jamie terlalu terpaku sehingga tidak sempat menyembunyikan reaksi awalnya. Astaga, mereka adalah pria terbesar yang pernah dilihatnya. Ia tidak bisa berhenti memandangi mereka.

Sangat disayangkan pula karena kata pertama yangkeluar dari mulutnya sangat tidak anggun. “Ya, ampun!”

Seruan itu hanya bisikan yang keluar begitu saja, tapi dari cara pria yang bertubuh paling besar mengangkat alis kanannya, Jamie tahu bahwa pria itu mendengarnya.

Jamie tidak berani membungkuk memberi hormat karena tahu ia pasti akan jatuh saat melakukannya. Ia juga tidak bida menepiskan pandangannya dari pria yang bertubuh lebih tinggi, yang sekarang menatapnya sampai ke lutut.

Pria bertampang paling keji yang pernah ia lihat.

Jamie mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak takut. Tidak, ia terlalu marah untuk merasa takut. Jamie berdiri tegak, membalas tatapan pria itu satu menit lamanya sampai ia bisa sedikit tenang kembali, lalu menyadari bahwa selama ia terus menatap pria rakasa ini, ia tidak bisa tenang.

Akhirnya Jamie menyadari keheningan yang menggantung di aula utama. Ia melirik ke balik bahu dan melihat ketiga saudarinya. Mereka berbaris seperti penjahat yang seolah-olah hendak dieksekusi dengan anak panah.

Begitu agnes melihat tatapan simpatik Jamie, ia langsung menangis. Alice melingkarkan tangan ke bahu kembarannya, berusaha menenangkan. Tapi, rencana Alice tidak berhasil dan ia pun ikut menangis. Dalam sekejap, mereka berdua sudah histeris.

Mary berdiri di samping Agnes. Ia juga terlihat hendak menangis. Tangannya terkatup di depan, dan setelah melemparkan pandangan “Oh Tuhan, lihatlah mereka,” ke Jamie, ia mengalihkan pandangannya kelantai.

Harus ada yang dilakukan. Si kembar tidak boleh mempermalukan keluarga di hadapan orang-orang Skotlandia ini.

“Agnes, Alice, hentikan isakan kalian sekarang juga.”

Kedua kakak beradik itu menyeka ujung mata mereka dan berusaha mengendalikan diri.

Saat itu Jamie melihat ayah mereka. Sang Baron sedang duduk di balik meja, menuangkan minuman.

Jamie merasa dirinyalah yang mebertanggung jawab untuk memberikan sambutan khas Inggris yang beradab dan sepatutnya. Jamie tahu bahwa itu adalah tugasnya. Namun, oh Tuhan, desakan untuk berteriak bahwa kedua orang asing ini datang tiga hari lebih awal nyaris membuatnya kewalahan.

Kewajiban menang. Lagi pula, kedua orang Skotlandia ini mungkin terlalu tumpul otaknya untuk menyadari perilaku tidak sopan mereka.

Perlahan-lahan Jamie maju dan berdiri persis di depan kedua pria itu. Ia baru teringat anjing-anjing yang ada di sampingnya saat mendengar mereka menggeram ke orang-orang asing itu. Jamie menyuruh mereka diam dengan kibasan tangan. Lalu, ia membungkuk sesuai dengan statusnya sebagai nyonya rumah di sini. Ia berusaha menunjukkan sikap angkuh, tapi semuanya jadi berantakan karena helaian rambutnya tergerai mengenai mata kirinya ketika ia membungkukkan kepala. Jamie menyingkirkan rambutnya ke belakang dan berusaha mengulas senyum.

“Saya ingin menyambut Anda berdua di rumah kami yang sederhana sebab tampaknya tidak ada orang lain yang mampu mengemban kehormatan itu,” katanya. “Dan saya sangat berharap Anda memaafkan ketidaksiapan kami dalam menerima Anda berdua. Tapi, seandainya Anda ingat bahwa Anda berdua datang tiga hari lebih awal, maka Anda mungkin bisa menerima persiapan kami yang kurang.”

Jamie memandangi sepatu bot mereka sementara mengucapkan itu semua, lalu mendoba menengadah cepat ketika menambahkan, “Nama saya…”

“Lady Jamie.” Pernyataan itu diucapkan oleh pria yang bertubuh lebih pendek dari keduanya.

Sejak tadi Jamie memandangi jarak di antara mereka dan langsung menoleh ke pria yang baru saja bicara.

Wajahnya tidak sekejam yang satunya. Jamie menyimpulkan begitu ketika pria tersebut tersenyum padanya. Tampak lekukan menarik di pipinya ketika pria itu tersenyum, dan mata hijaunya berpendar jahil.

Jamie langsung curiga. Pria itu tampak terlalu gembira untuk situasi yang sangat serius ini, terlebih lagi dengan keberadaan Alice dan Agned yang menangis seperti bayi. Mungkin, pikir Jamie, otak pria ini terlalu kecil untuk bisa memahami kekacauan yang ia timbulkan. Dasar orang Skotlandia.

“Dan nama Anda, Milord?” tanya Jamie dengan suara tenang.

“Daniel,” jawab pria itu. “Dan dia Alec,” tambahnya sambil mendongak ke kawannya.

Senyum Daniel ternyata menular. Yang satu ini sudah pasti seorang perayu, pikir Jamie. Jamie tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas senyum Daniel karena ia mendengar aksen menggelikan dalam ucapan pria itu sehingga ia nyaris tidak bisa memahaminya.

Jamie tidak terlalu ingin berbicara dengan pria yang satu lagi, tapi ia tahu ia harus melakukannya. Jamie terus tersenyum, lalu pelan-pelan menengadah memandang pria yang satu lagi.

Pria itu tengah menanti Jamie untuk menatapnya. Jamie bisa merasakan senyumnya sendiri membeku. Tatapan pria itu seterik matahari siang bolong dan dengan mudahnya membuat hatinya menciut.

Pria itu tidak tersenyum.

Jamie tiba-tiba malu dan tidak tahu kenapa. Ia tidak pernah merasa serapuh ini sepanjang hidupnya. Ia merasakan pipinya menghangat dan sadar kalau pipinya pasti bersemu merah. Tatapan pria itu begitu posesif, tatapan kepemilikan yang tidak bisa dipahaminya.

Tiba-tiba Jamie sadar bahwa pria itu – Alec – bukan sedang memandanginya seperti cara lord sejati memandang seorang lady dari kalangan bangsawan, Alec melemparkan tatapan nafsu yang sederhana padanya.

Sikap Alec sangat kurang ajar. Pria itu mengamatinya dengan sorot menilai, lambat dan menyeluruh, mulai dari atas kepalanya dan berakhir di bagian bawah gaunnya. Tatapan Alec berlama-lama di mulutnya, payudaranya, dan pinggulnya.

Jamie membenci Alec.

Pria itu membuatnya merasa seolah ia berdiri tanpa sehelai benang pun. Jamie berang sekali pada Alec. Ia tidak akan mebiarkan Alec lolos dengan perilaku itu. Tidak, ia akan membalas pria ini. Jamie tidak bisa mengendalikan semu merah di pipinya, tapi ia berdoa semoga ekspresinya tampak sama kurang ajarnya seperti Alec ketika pelan-pelan ia mengamati pria itu secara menyeluruh.

Sayangnya, Alec tidak terlihat tersinggung sedikit pun dengan tindakan menirunya. Pria itu malah tampak terhibur. Jamie melihat sorot mata Alec sedikit menghangat dan alis pria itu terangkat lagi untuk menanggapi penilaiannya.

Ada sesuatu di sana, dalam tatapan Alec, yang menyentak hatinya. Jamie tidak tahu persis apa itu, tapi ia mulai berpikir kalau saja wajah Alec tidak begitu kejam, mungkin ia akan menganggap pria ini tampan. Itu konyol, tentu saja. Ia sudah bertekad untuk membencii Alec. Pria itu terlalu sulit untuk disukai. Rambut alec juga perlu dipangkas. Astaga, bagian belakang tambut Alec yang coklat kemerahan bahkan sampai melewati garis leher tunik hitamnya. Rambut itu sedikit ikal, mengingatkan Jamie pada ksatria Yunani di lukisan-lukisan yang pernah dilihatnya, tapi rambut itu sama sekali tidak berhasil melembutkan wajah Alec yang keras atau dagunya yang persegi. Mulut Alec juga tampak sekeras bagian tubuhnya yang lain.

Oh, wajah pria itu terlalu bengis baginya, pikir Jamie. Dan Jamie sama sekali tidak tahu mengapa jantungnya berdentam-dentam dengan liar. Semakin lama ia menatap mata Alec, napasnya semakin tersengal-sengal.

Sebersit pemikiran mencegah Jamie dari merasa seperti orang bosoh. Salah satu kakaknya yang malang akan menikahi panglima perang dari neraka ini.

Jamie mulai gemetaran.

Alec tersenyum.

Baron Jamison tiba-tiba memanggil kedua pria itu untuk bergabung dengannya di meja dan mencicipi wine.

Daniel langsung beranjak menjauhi rak perapian dan menghampiri meja. Di tengah perjalanan, ia berhenti dan mengerling ke Mary.

Alec bergeming. Begitu pula Jamie. Ia tidak bisa berhenti menatap pria itu.

Alec juga tidak mau berhenti memandangnya.

“Apa ada pastor di rumah ini?”

Suara Alec terdengar kasar. Alec tidak bisa menahannya, sebab ia masih dalam pengaruh wanita luar biasa cantik yang berdiri begitu menantang di hadapannya ini. Mata gadis itu berwarna lembayung terang. Jamie sangat menawan, tapi Alec juga terkesan dengan sifat memberontaknya yang bisa langsung terlihat.

Yang satu ini tidak bisa diintimidasi dengan mudah. Menurut Alec, yang ini tidak akan gemetar ketakutan dan kabur darinya. Selama ini tidak ada wanita lain yang mampu menyamai tatapan panjang Jamie yang berani.

Senyum Alec melebar. Jamie memang lawan yang sangat sepadan. Alec tahu Jamie takut padanya; ia sempat melihat gadis ini gemetaran. Namun, dengan berani Jamie berusaha menyembunyikan fakta tersebut.

Menurut Alec, Jamie pasti bisa bertahan hidupnya di tanah Skotlandia yang keras, tapi ia perlu melakukan tindakan pencegahan. Wajah Jamie begitu lembut. Ia harus memadamkan sifat pemberontak dalam diri Jamie tanpa mematahkan semangat gadis itu. Itu akan menjadi tugasnya, tapi ia tidak keberatan. Malah, sebenarnya Alec sudah menantikan saat-saat untuk menjinakkan Jamie.

Dan pada akhirnya, ia pasti akan berhasil menundukkan Jamie dan gadis ini akan menurut padanya.

Jamie sama sekali tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Alec. Suaranya akhirnya kembali dan ia menjawab pertanyaan pria itu. “Ya, kami memiliki pastor di rumah ini, Milord.” Oh Tuhan, getaran itu kini sudah sampai di suaranya. “Kalau begitu, Anda telah memutuskan?”

“Ya.”

“Pasti itu keputusan tersulit yang harus Anda buat.”

Senyum Alec melebar hingga mencapai mata. “Sama sekali tidak sulit.”

Jamie sama sekali tidak peduli dengan keangkuhan dalam nada suara Alec atau cara pria itu menatapnya. “Saya yakin pasti sulit bagi Anda,” ia bersikeras. “Apalagi ketiga kakak saya sangat cantik, dan memilih salah satunya dengan cepat berarti tidak terlalu mempertimbangkan masalah ini dengan saksama. Karena itu, saya menyarankan Anda dapat menunggu, mungkin kembali ke rumah kami satu bulan lagi setelah memikirkan semua ini masak-masak. Bagaimana ide itu menurut Anda, Milord?”

Perlahan-lahan Alec menggeleng.

“Kalau begitu, Anda mau menikah besok?” tanya Jamie.

“Kami sudah dalam perjalanan pulang saat itu.”

“Oh, ya?”

“iya.”

“Anda mau menikah sekarang?” tanya Jamie tampak ketakutan.

Alec mengangguk. “Iya.”

“Tapi. Anda tidak jungkin…”

“Kami akan segera pergi setelah upacara pernikahan,” sela Alec, suaranya tajam.

Daniel tiba-tiba muncul di samping Alec. Ia memegang dua gelas wine. Daniel menyerahkan satu gelas ke Alec, lalu menoleh ke ketiga kakak Jamie. “Ayo, bergabunglah bersama kami, Mary,” katanya sambil tertawa. “Kami tidak akan menggigit.”

“Aku tidak pernah menganggap kalian suka menggigit,” kata Mary. Ia menegakkan bahu dan bergegas berdiri di samping Jamie.

Daniel dan Alec minum dari gelas mereka. Mereka saling mengangguk, lalu menawarkan gelas itu pada Jamie dan Mary.

Kedua kakak beradik itu menolak tawaran tersebut dengan menggeleng.

“Minumlah sedikit, Mary,” saran Daniel sambil mengerling.

Alec tidak selembut iotu. “Minum ini, Jamie. Sekarang.”

Mungkin ini semacam ritual pri itif khas Skotlandia, pikir Jamie. Sebagai nyonya rumah, ia tahu bahwa sudah tugasnyalah untuk membuat para tamu mereka merasa diterima. Alec juga tampak bersikeras, Jamie mengangkat bahu, lalu mengambil gelas itu, menegak isinya dengan cepat, dan menyerahkannya kembali pada Alec.

Alec menangkap tangan Jamie dan tidak mau melepaskannya. Ibu jarinya membelai telapak tangan Jamie. Wajahnya mengernyit. Pelan-pelan ia membalikkan tangan Jamie, lalu melihat kapalan dan bekas luka.

Mary menandaskan isi gelas Daniel. Ketika Mary menyerahkan kembali gelas itu kepada Daniel, Daniel juga memegang tangannya dan membalikkannya.

Jamie berusaha menarik tangannya, tapi baru setelah kedua pria itu membandingkan kulit halus dan mulus Mary dengan tangannya yang rusak, Alec akhirnya melepaskannya.

Itu penghinaan. Jamie memahami setiap kata yang saling mereka ucapkan dalam bahasa Gael. Mereka tidak tahu kalau ia bisa berbicara bahasa mereka dan kenyataan itu memberikan sepercik rasa puas.

Jamie menyembunyikan tangannya di balik punggung dan menunggu hinaan mereka selanjutnya.

“Apakah berbagi munuman merupakan semacam ritual kalian?” tanya Mary. “Kami tidak tahu apa-apa mengenai orang Skotlandia.”

Setelah mengatakan kalimat itu, Mary menunduk menatap lantai.

“Mary, kau tidak pernah mendengar kegemaran istimewa kami?” tanya Daniel dengan suara lembut.

Kepala Mary tersentak. Ekspresi wajahnya kaget bukan main. “Kegemaran, Milord?”

“Kekhasan tertentu,” ujar Daniel sambil menyeringai.

“Kekhasan?” Mary memandang Jamie dengan panik sebelum menoleh kembali ke Daniel. “Aku belum pernah mendengarnya.”

“Ah, kalau begitu, aku harus menerangkannya padamu,” kata Daniel.

Daniel terlihat sangat senang. “Aku tidak mau diterangkan,” balas Mary.

Alec mengamati Jamie. Mata Jamie melebar ketika Daniel menyebut kata ‘kegemaran’. Ia jelas bisa menangkap maksud pernyataan Daniel.

Bagi Alec, jamie luar biasa menarik. Memandang Jamie saja membuat Alec ingin sekali menyentuhnya. Senyum menghilang dari mata alec ketika ia mengakui dara diri sendiri betapa ia sangat ingin bercinta dengan Jamie. Anehnya, tidak masalah baginya kalau Jamie berasal dari Inggris. Tidak, sama sekali tidak masalah.

“Mary, Manisku,” kata Daniel, menarik perhatian Alec kembali padanya, “kau tentu pernah mendengar daftar kebutuhan kami. Semua orang tahu bangsa Skotlandia menyukai kuda yang kuat, biri-biri yang gemuk, serta wanita yang lembut dan patuh.”

Daniel menyebutkan daftarnya seperti wanita tua yang menikmati aktivitas menceritakan gosip baru. Alec menirukan nada suara kawannya ketika menambahkan, “Tentu saja, dalam urutan itu.”

“Ya,” Daniel menyetujui.

Jamie menoleh dan menatap Alec dengan geram. Ia menduga Beak sudah berbincang sedikit dengan kedua pria besar ini serta menyebutkan ketakutan Mary. Jamie berjanji akan memukul telinga Beak saat mereka bertemu nanti.

Daniel tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Mary dengan punggung tangannya. Mary sangat terkejut sampai-sampai lupa menghindar. Ia terlanjur terkesima dengan tatapan mata Daniel yang lembut.

“Aku sudah punya kuda yang kuat,” kata Daniel. “Sementara biri-biri… yah, ada banyak yang merumput di pegunungan di kampung halaman kami. Tapi, seorang wanita yang lembut dan patuh… sayang sekali, harus kuakui kalau aku belum memilikinya. Walau ada di daftar terakhir, tapi tetaplah penting.”

“Aku tidak lembut,” tukas Mary.

“Ya, kau lembut,” balas Daniel. “Dan secantik pagi musim semi,” tambahnya.

Semburat di wajah Mary semakin jelas hingga wajahnya menjadi merah terang. “Aku tidak cantik ataupun patuh, Milord,” katanya. Ia bersedekap dan berusaha memandang Daniel sambil mengernyit. Mary ingin mematahkan semangat si jahat yang tampan ini, tapi juga bingung dengan rtanggapan Daniel padanya. Pujian pria ini membuatnya melayang-layang. Apakah Daniel sungguh-sungguh menganggapnya cantik?

Si kembar mulai menangis lagi. Jamie ingin menegur mereka, tapi terbersit dalam benaknya bahwa salah satu atau keduanya telah dipilih menjadi mempelai wanita. Kalau begitu masalahnya, dan Jamie menebak memang itu masalahnya, alice dan Agnes berhak meraung-raung seperti itu.

Alec menunggu kebenaran itu menghantam jamie. Alec melihat tatapan simpati Jamie ke saudari-saudarinya, bertanya-tanya berapa lama lagi ia akan menyadari bahwa mereka sedang menatapnya denga ekspresi serupa.

Baron Jamison tentu akan menjelaskan pada Jamie begitu ia bisa mengendalikan dirinya lagi, pikir Alec. Pria itu kelihatan hampir menangis. Ketika Alec mengatakan bahwa ia telah memilih Jamie sebagai mempelai wanitanya dengan santai, sang baron langsung menentangnya dengan sengit.

Alec bersikap tegas pada sang baron. Emosi Alec terkendali sampai Baron Jamison berhenti menggerutu dan mulai menyebutkan alasan egoisnya dalam menentang pernikahan ini. Tidak ada satu alasan pun yang terkait dengan kemaslahatan Jamie. Saat itu, sikap Alec semakin keras. Ia geram dengan pria Inggris itu. Banyaknya tugas menjelaskan mengapa tangan Jamie sampai kapalan. Baron Jamison bukannya menyimpan putri bungsunya di sampingnya karena cinta. Ia hanya menginginkan seorang budak yang menuruti semua perintahnya. Si bungsu, menurut Alec, benar-benar diperbudak.

Seorang pelayan dengan wajah cemas bergegas memasuki aula utama. Ia hanya melirik singkat ke Baron Jamison sebelum bergegas menghampiri Jamie. Setelah selesai membungkuk canggung, pelayan itu berbisik, “Pastor sudah dalam perjalanan, Mistress. Dia mengenakan jubah untuk upacara pernikahan.”

Jamie mengangguk ke palayan itu. “Baik sekali kau mau berhenti mengerjakan tugasmu dan memanggil Bapa Charles, George. Apa kau mau tetap di sini dan menyaksikan pernikahannya?”

Tampak tatapan kagum di mata si palayan. “Pakaianku tidak pantas,” bisiknya.

“Pakaian kami juga tidak,” sahut Jamie sambil berbisik.

“Pergilah dan ganti gaunmu, Mary,” Daniel menyela. “Aku suka emas. Kalau kau punya gaun dengan warna itu, kenakanlah untuk menyenangkan aku. Kalau tidak, putih sudah cukup. Aku akan menikahimu, Lady Mary.”

Daniel menangkap tubuh Mary sebelum ia ambruk ke lantai. Daniel sama sekali tidak terusik calon istrinya baru saja pingsan, bahkan ia meledak dalam tawa saat menggendong Mary dan mendekatkan Mary ke dadanya.

“Dia tak kuasa menanggung rasa syukurnya, Alec,” kata Daniel pada Alec.

“Ya, kulihat juga begitu,” timpal Alec.

Jamie tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia membalikkan badan dan menghadap Alec, lalau berkacak pinggang menantang. “Nah, yang mana dari si kembar yang akan kau nikahi?”

“Tidak keduanya.”

“Tidak keduanya?”

Jamie masih belum sadar. Alec mengembuskan napas. “Kalau kau mau, ganti gaunmu, Jamie. Aku suka warna putih. Sekarang, pergilah dan lakukan perintahku. Malam semakin larut dan kita harus bergegas.”

Alec sengaja memperpanjang kalimatnya untuk memberi Jamie waktu bereaksi terhadap pengumumannya. Alec merasa ia sudah sangat bertenggang rasa.

Jamie merasa pria itu gila.

Awalnya, Jamie terlalu terperangah sehingga hanya menatap ketakutan ke panglima perang itu. Ketika akhirnya suaranya kembali, ia berteriak, “Surga akan membeku sebelum aku menikahimu, Milord, sungguh.”

“Kau baru saja menggambarkan Skotlandia saat musim dingin. Dan kau akan menikahiku.”

“Tidak akan pernah.”

Persis satu jam kemudian, Lady Jamison dinikahkan dengan Alec Kincaid.


Sinopsis

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar