Rabu, 10 Juli 2024

Lucky Penny #8

Pikiran yang kusut berputar-putar di kepala Brianna yang lelah ketika memikirkan situasi itu. Yang pertama harus dilakukannya adalah mencapai kamar lotengnya dan dengan cepat-cepat membereskan barang-barang mereka. Kemudian ia akan membawa semuanya, termasuk anaknya ke restoran. Bila beruntung, restoran itu akan kosong. Terkadang sang pemilik tinggal sampai malam untuk mengganggunya, tapi pada Jumat malam, biasanya pria itu tinggal di rumah, berpura-pura menjadi suami yang setia. Ia akan tinggal di sana cukup lama untuk mencuri makanan dengan jumlah yang memadai untuk perjalanan ke kota lain. Kemudia ia akan pergi ke istal untuk menyewa kuda. Itu berarti ia akan berkuda sepanjang malam ke stasiun kereta api terdekat. Semoga saja tidak akan ada hambatan sebelum mereka berhasil mencapai kereta api. Mereka harus berkuda dengan cepat, tidak memberi David Paxton kesempatan untuk mengikuti mereka. Ia bersyukur atas apa yang telah disisihkannya dari uang pakaian Daphne. Kalau ia menggunakanannya dengan bijak, uang itu mungkin akan cukup sampai ia menemukan pekerjaan baru.

Sepanjang hari itu hidupnya dipenuhi oleh pergolakan emosi yang tiada habisnya, yang mungkin ditambah dengan kondisi tubuhnya yang kurang tidur malam sebelumnya. Bagaimana ia bisa mendapatkan semua yang dibutuhkannya? Ia tidak yakin menunggang kuda akan semudah yang terlihat. Selama tumbuh di panti asuhan, ia sudah pernah melihat orang lain berkuda di taman, tapi tidak mendapat kesempatan untuk belajar. Saat satu kali Ricker berusaha untuk membuatnya memanjat ke atas sadel, binatang besar itu menginjak kakinya dan menggigitnya. Ia tidak mau dekat-dekat dengan kuda lagi. Memerah sapi rasanya sudah cukup buruk, keahlian yang butuh waktu berminggu-minggu untuk dipelajari dan hampir membuatnya kehilangan pekerjaannya. Kemudian masih ada ayam-ayam pria itu. Setiap pagi tangannya dipatuk sampai berdarah oleh ayam-ayam yang marah ketika ia mengumpulkan telur mereka. Ia akhirnya belajar untuk tidak meminta maaf sebelum mengambil telur-telur itu. Ayam pengeram yang mendapatkan peringatan terlebih dahulu menjadi amat sangat protektif.

Pikiran tersebut membawa Brianna kembali kepada pria yang berjalan di sampingnya, satu tangan menekan punggungnya sementara tangan satunya lagi menahan berat badan Daphne. Anaka yang terbungkus mantel itu, yang rupanya sama lelahnya dengan ibunya, telah melingkarkan lengan kurusnya ke leher David Paxton dan tertidur dengan lelap dengan kepalanya terkulai di bahu David. Aku sudah mendapat peringatan atas penculikan yang ingin kau lakukan, pikir Brianna, dan aku akan mematuk tanganmu secara lebih kejam daripada ayam betina mana pun yang pernah hidup. Kata-kata yang berani. Cara David Paxton menyandang pistol memperlihatkan kalau pria itu tahu cara menggunakannya. David punya tenaga yang lebih untuk mengalahkannya, pikir Brianna.

Saat itu juga, Brianna merasa sangat sakit dan tungkainya terasa begitu berat sehingga ia ingin sekali menjatuhkan badannya dan berlutut, lalu melipat tangannya ke belakang. Tapi itu tidak akan terjadi. Ia adalah seorang O’Keefe, keturunan dari minimal satu orang tua yang pasti keras kepala dan pemberontak juga. Ia terbuat dari batu yang kokoh.

***

 

David tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Berkat pengumuman Daphne di resital, pilihan Brianna telah dipangkas menjadi tinggal satu, ikut bersamanya ke No Name. Namun, bagaimana ia bisa memberitahu wanita itu? Ia merasakan kalau Brianna perlu mencapai kesimpulan tersebut dengan sendirinya, dan melihat ke dalam mata Brianna, yang mengilap seperti air raksa yang terkena cahaya bulan, ia melihat sesuatu yang membuatnya waspada. Pemberontakan. Ia sudah sering melihat itu di mata orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan. Ketika disudutkan, mereka punya satu pikiran: lari.

Oke. Ia sudah siap untuk itu dan akan menggagalkan usaha apa pun yang dibuat Brianna untuk melarikan diri bersama Daphne. Tapi, sial, ia letih. Ia sudah beperjalanan selama tiga hari. Dinilai dari raut wajah Brianna, David tahu ia tidak akan menikmati tempat tidur yang empuk di hotel.

David memandang Brianna lagi dan kembali dibuat terkesima oleh ketabahan wanita itu. Brianna bahkan terlihat lebih lelah daripada dirinya, namun masih berencana untuk kabur pada detik ia berputar memalingkan wajahnya.

Walau David tahu dirinya hanya membuang-buang tenaga, ia berkata, “Kalihatannya kau mau ambruk, dan aku berani bertaruh sebagian alasan adalah karena sudah terlalu lama kau tidak tidur di ranjang yang nyaman. Dengan senang hati aku akan menyewakan kamar untukmu dan Daphne di Taj Mahal lokal. Setelah tidur yang nyaman kita bisa mendiskusikan kekacauan ini paginya.”

“Kau tahu tentang Taj Mahal?” balas Brianna. “Sungguh menakjubkan.”

David berusaha agar emosinya tidak terpancing. Mungkin cara bicara Brianna lebih hebat darinya, tapi ia telah mendapatkan pendidikan yang baik. Bertahun-tahun yang lalu, Ace telah membayar uang sekolahnya dengan hasil berjudi, dan para suster di sekolah Katholik tidak mengizinkan kemalasan dalam bentuk apa pun. “Butuh seribu gajah untuk membawa bahan-bahan yang digunakan untuk membangun Taj Mahal,” jelas David, “dan bagunan itu dihiasi dengan batu mulia maupun semimulia yang, hingga hari ini, membuatnya terlihat seakan-akan berubah warna, tergantung pada cahaya. Sebagian orang percaya kalau Shah Jahan melakukannya dengan sengaja, untuk menggambarkan perubahan suasana hati perempuan.”

Dagu Brianna naik beberapa sentimeter. “Mungkin suasana hatiku kacau, tapi penilaianku atas karekter orang masih tetap bagus. Aku tidak akan masuk ke hotel denganmu untuk uang sebanyak apa pun.”

Meski sangat lelah, David tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. Wanita ini benar-benar luar biasa. Brianna tidak akan membuatnya bisa tenang. Bayangan Hazel Wright sekilas melintas di benaknya, dan ia berterima kasih kepada Tuhan karena telah lolos dari takdir itu. Ia pasti sudah mati bosan. Ia menghargai wanita cerdas yang dibumbui dengan emosi yang meledak-ledak. Brianna adalah seorang wanita yang ia rasa akan membuatnya tetap terhibur, baik di tempat tidur maupun di tempat lain.

“Karena itu, Sir,” Brianna melanjutkan, “kusarankan kita berdua beristirahat di tempat kita masing-masing dan bertemu pada pagi hari.” Brianna menarik arloji dari saku roknya, membuka tutupnya, dan melirik permukaan arloji itu. “Bagaimana kalau jam delapan di restoran? Kita bisa mendiskusikan langkah kita selanjutnya sambil sarapan.”

David tahu dengan sangat baik kalau Brianna sama sekali tidak berniat untuk menemuinya ketika sarapan. Kalau ia tidur sampai jam tujuh, wanita itu pasti sudah lama menghilang bersama Daphne. Namun, kalau ia mengatakan bahwa ia mengetahui rencana Brianna, maka itu akan menjadi sebuah kesalahan besar. Ia sudah banyak berurusan dengan banyak pelarian selama kariernya sebagai penegak hukum, dan ia akan menyimpan pikiran itu untuk dirinya sendiri.

Jadi, bukannya berdebat, David menyatakan setuju untuk bertemu dengan Brianna saat sarapan esok paginya. Setelah memasuki toko pakaian, menyerahkan anak yang tidur itu kepada Brianna dan mengambil tasnya, David mengucapkan selamat malam dan kembali ke hotel, sengaja menguap sepanjang jalan kalau-kalau wanita itu melihat ke luar. Ia ingin Brianna mendapat kesan kalau ia telah tertipu dan berencana untuk tidur seperti bayi sepanjang malam.

Setelah memasuki kamar hotel, David langsung mengumpulkan barang-barangnya –peralatan cukur dan pakaian kotor– menyumpalkan semua itu ke dalam tas pelananya, dan tanpa sekalipun melirik ke arah tempat tidur, yang telah memanggil-manggil namanya sejak kedatangannya, ia meninggalkan hotel dan berjalan ke istal. Ia menemukan sebuah tempat yang tertutup bayangan di belakang kereta barang bobrok, duduk di tanah dengan punggung bersandar ke bangunan yang sama bobroknya, ia bertahan di sana untuk menunggu pengantin wanitanya yang bermaksud melarikan diri.

***

 

Brianna meletakkan Daphne di atas bangku di dapur restoran, yang untungnya gelap, dan menegakkan badannya dengan susah payah. Oh, betapa ia rindu berbaring di samping anaknya dan membiarkan kelelahan mengambil alih dirinya. Tapi itu bukan pilihan. Ia harus mengumpulkan makanan sebelum pergi ke istal. Semoga saja David Paxton sudah tak sadar lagi sekarang.

Sambil meraba-raba jalannya ke konter, Brianna meraih lampu minyak dan korek api yang selalu tergeletak di dekat kaki lampu itu. Lalu, setelah meraba-raba lagi untuk melepaskan kacanya serta menaikkan sumbunya, ia menggesek korek api dan menyalakan lampu. Ketika cahaya memenuhi ruangan, Brianna hampir tak melirik tumpukan piring kotor serta konter-konter dan kompor yang terkena makanan. Ia tidak akan mengenakan celemek malam ini. Ia menarik sarung bantal dari saku roknya, membukanya, dan meraih lampu.

Pantry restoran itu berupa rruangan sempit yang penuh dengan rak dan kotak es, tampak mengerikan ketika malam dengan bayangan yang menari-nari di dinding. Brianna meletakkan lampu yang dipegangnya untuk mulai mengumpulkan makanan. Dadanya sakit akibat perasaan bersalah. Ia hampir bisa mendengar Suster Theresa berkata, “Kau tidak boleh mencuri.” Khotbah itu telah tertanam di dalam dirinya, dan selama lebih dari enam tahun, ia tidak pernah mengambil apa pun tanpa berdoa memohon ampun. Yah, tak ada yang bisa dilakukannya. Ia harus pergi dan bergantung pada pengertian Tuhan kalau ia melakukan ini demi anaknya. Selain itu, ia telah bekerja sepanjang minggu dan seharusnya akan menerima gaji. Ia juga telah bekerja lembur selama berjam-jam tanpa pernah di bayar. Dengan memandangnya seperti itu, ia merasa mudah untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau ini tidak benar-benar mencuri.

Brianna memilih dua roti, sekotak keju, dan daging yang cukup banyak –ham dan bacon menjadi pilihan utamanya karena kedua daging itu tidak akan cepat busuk seperti daging ayam atau sapi segar.

Suara sesuatu yang berderak membuat jantung Brianna tersentak. Ia membeku dan berhenti bernapas untuk mendengarkan, berharap kalau suara itu tidak berasal dari si pemilik restoran. Ketegangan mereda dari bahunya ketika ia memutuskan suara tersebut hanyalah penutup jendela yang berayun. Terima kasih, Tuhan. Memang sudah kebiasaan laki-laki tua menjijikan itu untuk mengendap-endap ketika tahu ia sedang sendirian. Si pemilik restoran menganggap sudah menjadi haknya untuk menyudutkan Brianna di dapur. Brianna membenci tangan pria itu yang suka meraba-raba.

Besok pria tua itu mungkin tidak akan pernah menyadari kalau makanan di restorannya berkurang. Tidak mencatat barang-barangnya dengan benar adalah salah satu kekurangan terbesar pria itu, dan akan sangat menguntungkan bagi brianna. Hal terakhir yang ia bututhkan adalah ditahan oleh penduduk Glory Ridge dan dipenjara karena pencurian.

Brianna mengangkat lampu dan membungkuk untuk mengangkat sarung bantal yang sudah diisinya dengan makanan. Sarung bantal itu lebih berat daripada yang diduganya. Bagaimana ia bisa membawa barang-barang mereka, makanan, serta Daphne ke istal pada saat yang bersamaan? Hanya dengan bantuan Tuhan yang Mahabaik…

***

 

Bab 7

Menunggu tidak pernah menjadi kegiatan yang paling disukai David untuk menghabiskan waktu. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding istal dan memasukkan tumit sepatu botnya ke tanah untuk menggeser bokongnya yang sakit di atas tanah dingin itu. Brengsek. Ketika kata itu terlontar di dalam benaknya, saat itu juga ia mengernyit. Hari-hari ia bicara seperti itu sudah berakhir. Tadi, ketika di gereja, dengan jelas Brianna telah memberitahunya kalau wanita itu tidak suka dengan gaya bicaranya. Oke, baiklah. Ia sudah melihat baik Ace maupun Joseph mengubah gaya bicara mereka, dengan keras dipaksa oleh istri mereka masing-masing. Sekarang, Ace, salah satu gunslinger paling ditakuti di Barat, tidak akan pernah lagi mengucapkan kata brengsek. Well, mungkin ketika sedang bersama teman-teman Ace akan melanggarnya, tapi lebih seringnya tidak, takut omongannya yang tidak sopan itu akan menular ke anak-anaknya dan membuat kaget guru mereka di hari pertama mereka sekolah.

Sebelum kedatangannya ke Glory Ridge, David menjaga mulutnya hanya ketika ia sedang bersama istri kakaknya serta anak-anak mereka, dan ketika ia sedang berada di sekitar para wanita di kota. Selain itu, ia bicara seperti apa pun yang diinginkannya. Ia menebak hari-hari itu akan hilang selamanya. Silahkan saja kalau Brianna mau marah, ia tidak peduli, tapi terkutuklah dirinya kalau mengajari putrinya untuk bicara seperti koboi.

David menusuk tanah dengan tumitnya lagi, bertanya-tanya apakah tanah di kota ini merupakan tanah liat. Sial, pantatnya –well, ok, bokongnya –sakit sekali. Ia menegang, lalu dengan sentakan diperutnya sadar bahkan ketika sedang berpikir pun ia tidak bisa menjaga mulutnya. Bagaimana ia bisa membesarkan seorang anak perempuan menjadi wanita terhormat? Ibunya telah mengajarkannya dengan benar, dan Ace telah menambahkan jeweran di telinganya sebagai dorongan. Seiring dengan barjalannya waktu, ia telah melenceng jauh dari semua tata krama dan sopan santun yang ditanamkan kepadanya itu selama mengawasi para pekerja di peternakannya yang kasar ataupun para deputinya di kota yang juga sama kasarnya. Ketika kau mendengarkan bahasa kasar setiap hari, kau menirunya. Tapi bukan berarti ia sudah tak bisa diselamatkan lagi. Dengan sedikit latihan, ia akan berhasil menghilangkan kebiasaannya.

Seberkas cahaya kuning menyeruak dari pintu istal yang terbuka, bersumber dari lampu minyak yang tergantung di dalam istal. Sesekali, ketika angin bertiup agak kencang, David visa mendengar suara desisan lampu minyak. Ia mendongakkan kepalanya untuk melihat bulan yang tinggal seperempat, seperti sebuah bola yang dibelah. Dilihat dari posisi bulan yang maih agak rendah, sekarang pasti sekitar tengah malam. Sudah berapa lama ia duduk di sini –tiga jam atau lebih? Di mana wanita sialan itu? Ia tahu Brianna berencana untuk lari malam ini, dan ia mendapat kesan wanita itu terlalu pintar untuk melakukannya dengan berjalan kaki. Cepat atau lambat Brianna pasti akan muncul di istal ini.

Sebuah pikiran yang mengerikan berkelebat di benak David. Dinilai dari ucapannya, Brianna mungkin berasal dari Boston, dan meski telah bekerja sebagai pelayan dan guru di sebuah peternakan selama bertahun-tahun, bukan berarti ia mengerti tentang alam liar Colorado. Bagaimana kalau Brianna berniat berjalan kaki ke kota lain? Pikiran itu membuat David ketakutan setengah mati. Dengan bulan yang hanya kelihatan kurang dari separuh, padang rumput akan mendai gelap gulita dan penuh dengan bahaya: ular-ular derik yang keluar dari sarang mereka dengan datangnya musim semi; coyote lapar yang berhasil bertahan dari musim dingin yang keras dan panjang; dan sial, bahkan lebih buruk lagi, singa gunung yang tersesat. Singa biasanya tidak berkeliaran di padang rumput, tapi mereka memiliki wilayah perburuan yang luas, dan ketika hewan buruan menjadi semakin jarang, yang bisa saja terjadi selama musim salju, mereka berburu semakin jauh. Anjing padang rumput bisa menjadi camilan yang lezat. Coyote yang lapar juga tidak terlalu buruk. Begitu juga dengan wanita bodoh, yang berjalan terseok-seok di dalam kegelapan dengan seorang anak kecil. Sikap angkuh Brianna tidak akan bisa mengintimidasi seekor puma. David membayangkan konfrontasi itu, dengan Brianna bersiap untuk bertarung melawan seekor predator yang memiliki gigi serta cakar yang mematikan. Ia hampir bisa mendengar wanita itu berkata, “Maaf, suh… sana pergi!”

David baru akan meloimpat berdiri ketika suara langkah kaki yang terseok-seok mencapai telinganya. Ia memiliki pandangan malam yang tajam, dan dengan matanya ia memeriksa kegelapan, menangkap sesautu bergerak ke arahnya, dengan tinggi sedikit di atas satu setengah meter dan menggembung, bagian atas dan bawah sama lebarnya. Ketika sosok itu semakin dekat. David bisa melihat dengan lebih jelas. Iru adalah seorang wanita dalam balutan rok, menggendong anak di satu bahu dan dua buntalan besar di masing-masing tangannya. David bersandar dengan santai lagi ke dinding istal. Seharusnya Brianna tidak membawa beban seberat itu.

Brianna terhuyung, tersandung roknya, dan hampir jatuh. Lalu ia menegakkan badannya yang terbungkuk, mendapatkan keseimbangan dan dengan susah payah melanjutkan langkahnya ke depan. David tidak bergerak dari tempatnya yang tertutup bayangan, penuh dengan rasa lega bercampur kekesalan. Paling tidak wanita itu masih punya akal sehat untuk tidak pergi dengan berjalan kaki. Sekali lagi ia mengagumi tekad Brianna, meskipun ia menyesalkan tindakan wanita itu. Di sinilah Brianna sekarang, mengambil langkah satu demi satu bahkan ketika tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Terkutuklah harga diri dan kekeraskepalaan wanita itu.

Brianna berjalan terhuyung-huyung melewati David, sama sekali tidak menyadari keberadaan David di tempat yang gelap itu, lalu memasuki istal, tersandung hingga berhenti di bagian dalam pintu, Daphne dibungkus dalam mantel baru serta sesuatu yang terlihat seperti mantel milik Brianna, yang membuat wanita itu tidak terlindungi sama sekali dari udara dingin kecuali oleh pakaiannya yang tipis. Di mana syalnya?

“Halo?” seru Brianna ketika menghilang dari penglihatan David. “Bangunlah , Bung! Aku butuh kuda!”

Apakah Brianna tahu cara menunggang kuda? David mencari posisi yang enak, bersiap untuk terhibur. Ia ragu pria yang bertugas pada malam itu mau menyewakan kuda paling lemah sekalipun kepada seorang amatir seperti Brianna.

David mendengar gerutuan lalau langkah kaki seorang laki-laki. Suara yang menjawab bukan suara si pemilik istal, tapi suara seorang pemuda. “Apa kabar, Mrs. Paxton… Apa yang membawamu kemari pada jam segini?”

Brianna menjawab, “Aku ingin menyewa kuda, Sir.”

“Untuk apa?”

“Untuk transportasi. Untuk apa lagi orang menyewa kuda?”

“Ke mana kau akan pergi,” tanya pemuda itu, “dan kapan kau akan kembali?”

“Aku tak berencana untuk kembali,” jawab Brianna lagi. “Aku akan meninggalkan kuda itu di istal di kota terdekat.”

Pemuda itu tertawa. Nada bicaranya terdengar tidak menyenangkan. “Kami hanya menyewakan kuda untuk perjalanan pergi-pulang. Kami tidak bisa membiarkan salah satu kuda kami ditinggalkan entah di mana, karena kami tidak bisa mengambilnya.”

“Oh, well.” David hampir bisa mendengar roda di kepala Brianna berputar. “Kalau begitu berapa yang harus kubayar untuk membeli seekor kuda, Sir?”

Pemuda itu tidak buru-buru menjawab. “Well, seratus lima puluh dolar cukup. Kecuali kau merasa murah hati dan ingin membuat pertukaran denganku untuk menurunkan harganya. Aku baru saja mengganti jerami di salah satu kandang kosong kami. Tempat itu sudah siap untuk digunakan.”

Maaf?” David sudah pernah mendengar nada itu di suara Brianna sebelumnya dan tahu kalau si pemuda akan segera menyesali ucapannya. “Apa kau menyarankan sesuatu yang tidak pantas, Sir? Aku akan mengingatkanmu kalau kau sedang berbicara dengan seorang lady.”

 

Sinopsis

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar