Sebelum mereka bisa bereaksi, Ruby memeluk kedua anak itu, menyebabkan ikan yang mereka tangkap terjatuh ke tanah. Ia merasa kedua putranya ditarik menjauh dari pelukannya dan melihat mata mereka memohon kepada Olaf dan Thork agar membantu mereka.
Ruby berputar dengan bingung kepada Thork, sementara Olaf memberitahu kedua bocah itu untuk ikut bersamanya masuk ke dalam rumah dan membersihkan diri mereka sebelum makan malam. Kedua anak laki-laki itu memandang Ruby dari bahu mereka sembari berjalan menaiki tanah yang melandai itu, yang lebih tua dengan permusuhan pada pelukannya yang terasa akrab, sedang yang lebih kecil dengan kerinduan.
“Kau harus menghentikan omong kosong ini,” Thork meledak tak
lama setelah anak-anak itu tidak kelihatan itu. “Kau sudah melewati batas tipis
antara hidup dan mati. Kau berani membuat lebih banyak lagi yang membencimu dan
seseorang akan membunuhmu, aku berani bertaruh.”
Tapi, Thork, mereka adalah anak-anakku… anak kita,” protes
Ruby dengan suara parau sambil menyeka matanya.
“Bukan, mereka bukan anakmu. Mereka yatim piatu yang tinggal
di sini dengan keluarga Olaf. Hentikan semua omong kosong ini sekarang juga
atau aku akan menjadi orang yang memotong lidah pembohongmu itu,” ujar Thork
dengan panas.
Ruby memandang dengan keras kepala. “Silakan kau mengancamku
semaumu, tapi aku tahu anak-anakku sendiri ketika aku melihat mereka.”
Mata pria itu membakar Ruby dengan api biru. “Wench,
umurmu bahkan belum cukup untuk bisa melahirkan anak berumur sepuluh tahun. Dan
aku tidak akan membiarkanmu membuat anak-anak itu atau keluarga Olaf takut
dengan omong kosongmu.”
“Thork, aku tiga puluh delapan tahun di kehidupanku yang
lain. Aku sudah berusaha menjelaskan hal itu sebelumnya…”
“Aku bersumpah demi kepala Odin, kalau kau melanjutkannya,
aku sendiri yang akan memenggal kepalamu.”
“Tak ada yang bisa kau lakukan untuk meyakinkanku kalau
anak-anak itu bukan anakmu.”
“Argh!” Thork memegang kepalanya dengan kedua tangan dan
menarik rambutnya dengan frustasi. Kemudian ia memegang bahu Ruby. “Dengarkan
aku dengan baik, Wencg. Kau tidak akan mengulangi kata-kata itu kepada
siapa pun. Kalau kau menghargai nyawa mereka, aku akan menerima kalau mereka
hanyalah yatim piatu.”
Dengan bingung Ruby menatap Thork selama beberapa detik.
Kemudian ia berkata dengan berapi-api, “Aku tidak mengerti, tapi berjanji tidak
akan mengungkapkan siapa ayah mereka.”
Thork mempertimbangkan kata-kata Ruby, kemudian mengangguk.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah Olaf. Ketika sudah hampir
sampai, Ruby tidak bisa menghentikan dirinya dari bertanya, “Kau bilang kau
tidak menikah. Siapa ibu dari anak-anak itu?”
Thork menggeleng dengan jijik pada kekeraskepalaan Ruby,
tapi yang mengrejutkan, pria itu menjawabnya. “Thea, seorang budak Saxon, adalah
ibu Eirik. Dia meninggal ketika melahirkan. Asbol, seorang putri Viking
meninggalkan Tykir ketika dia baru berusia dua bulan. Mungkin wanita itu
sekarang masih hidup. Aku tidak tahu.” Pria itu mengangkat bahunya dengan
bodan. “Dia mencari pernikahan yang lebih terhormat dari yang bisa kutawarkan,
Bukannya aku mau menikahinya.”
“Kenapa mereka berdua tidak tinggal denganmu?”
Thork tiba-tiba berhenti, dengan tangannya yang menempel di
pegangan pintu yang terbuat dari kulit, matanya yang sedingin es menusuk Ruby.
“Karena aku tidak menginginkan mereka.”
Ruby menempelkan tangannya ke mulut dengan ngeri dan ingin
bertanya lebih banyak lagi, tapi Thork memotongnya dengan dingin, “Beritahu
Olaf kalau aku berada di kandang untuk memasang pelana kuda kami. Aku akan
menunggunya di depan.” Kemudian ia mendorong Ruby untuk melewati pintu itu
dengan kasar.
Thork memiliki dua anak haram! Dan pria itu tidak
menginginkan mereka! Laki-laki macam apa dia? Jack mencintai kedua anaknya. Hal
ini membuktikan kepada Ruby kalau Jack dan Thork adalah dua orang yang berbeda.
Ruby menyampaikan pesan itu kepada Olaf. Dengan cepat pria
itu memperkenalkan Ruby kepada istrinya sebelum memberi Gyda ciuman singkat di
pipi dan keluar.
Aula di rumah Olaf, sekitar tiga puluh meter panjangnya,
memiliki kebuah perapian berbentuk persegi di tengahnya, dengan ukuran kurang
lebih tiga meter kali satu setengah meter, dan tinggi satu setengah meter dari
lantai, terbuka di semua sisi. Jelas sekali perapian itu bertindak sebagai
pemanas ruangan sekaligus tungku memasak bagi rumah tangga itu. Asap keluar
melalui sebuah lubang di langit-langitnya yang tinggi.
Gyda menjaga rumahnya tetap bersih dan tak bercela, termasuk
rushes yang bersih dan wangi, yang melapisi tanah dari lantai keras. Tak
terlihat kekacauan sedikitpun di tempat itu. Keluarga Viking dengan efisien
menyimpan peralatan memasak serta piring-piring kayu mereka di pasak dan
rak-rak yang dibangun di dekat perapian, serta beberapa di antaranya
berrgantungan dari balik atap. Beberapa vat dan tong kayu berisikan
mentega, keju, dadih, dan susu berdiri terbuka di dekat area memasak itu.
Kain tenunan ditarik disepanjang dinding untuk mencegah udara
yang akan masuk ke dalam ruangan itu selama musim dingin. Bangku-bangku built-in
berjejer di dua bagian dinding yang lebih panjang.
Kamar tidur luas bertempat di lantai dua, di masing-masing
ujung ruangan. Dibawahnya, di lantai pertama, di salah satu ujung aula itu
terdapat kamar tidur yang lebih kecil, mungkin untuk kedua budak wanita dan
tiga budak laki-laki yang dilihat Ruby bekerja di aula, yang sedang menyiapkan
meja dan meletakkan piring-piring serta lampu minya dari soapstone. Di
ujung yang lain, sebuah alat tenun dan roda pemutar mendominasi area duduk yang
nyaman, yang berisikan setengah lusin kursi berlengan yang dilapisi bantalan
lembut.
Eirik dan Tykir memainkan semacam papan permainan di samping
salah satu kamar itu. Walaupun mereka masih memakai celana panjang longgar dan
baju rajutan tangan yang sama, mereka sudah membersihkan muka mereka dan menyisir
rambut mereka yang sudah terlalu panjang dan basah ke belakang. Ruby ingin
sekali mendatangi kedua anak itu, tapi berhenti ketika melihat pandangan Gyda
yang memperingatkannya.
Ketika Gyda selesai memberi perintah kepada dua palayan
wanitanya untuk menyiapkan makanan, ia memberitahu Ruby, “Aku menerimamu di
rumahku, Ruby. Tyra akan menunjukkan kamar tidur tamu di mana kau bisa
membersihkan dirimu sebelum makan malam.
Tyra memimpin Ruby menaiki tangga ke kamar kecil yang akan
menjadi tempat tinggalnya untuk sementara ini. Kamar yang polos dan seperti sel
itu hanya memiliki sebuah kasur kecil, sebuah peti untuk menyimpan pakaian
serta meja kayu yang diatasnya sudah diletakkan sebuah teko dari tanah liat dan
mangkuk berisi air, serta sebuah lampu minyak dari soapstone. Dua handuk
linen disampirkan di atas kursi.
“Ibu menyuruhku untuk tidak mengganggumu,” ujar Tyra sambil
bertahan di pintu, jelas sekali berharap Ruby akan mengundangnya untuk tinggal.
“Oh, kurasa anak manis sepertimu tidak akan pernah
menggangguku,” Ruby mengatakannya dengan jujur. “Kau terlalu manis.”
Tyra memperlihatkan kembali senyum dengan gigi ompongnya dan
bertanya, “Kau punya berapa anak?”
“Dua anak laki-laki,” jawab Ruby tanpa ragu. “Eddie dan
David.”
“Apakah kau merindukan mereka?”
“Sangat.” Ruby tidak punya banyak waktu untuk memikirkan
anak-anaknya. Hatinya sangat sakit ketika membayangkan bahwa kemungkinan ia
tidak akan pernah melihat mereka lagi. Bagaimana mereka akan bertahan tanpa
dirinya? Tentu saja, Jack akan kembali ke rumah, tapi apakah mereka mengira ia
sudah meninggal? Atau apa?
Tidak! Ruby tidak mau memikirkan hal itu sekarang.
Prioritas utamanya sekarang adalah untuk bertahan hidup. Setelah itu, ia akan
mencari jalan untuk kembali ke masa depan. Kalau itu gagal, barulah ia akan
menghadapi rasa kehilangan itu.
Sama seperti ia akan menghadapi perpisahannya dengan Jack.
Oh, Tuhan, apakah baru hari ini pria itu meninggalkannya? Atau sudah bertahun-tahun
yang lalu?
“Apakah kau akan menceritakan kisah Hansel dan Greetel lagi?”
Tyra memohon dengan manis. “Setelah makan malam?”
“Tentu saja, Sayang… kalau orang tuamu tidak keberatan. Tapi
mereka mungkin tidak suka aku menceritakan kisah itu padamu.”
“Tidak!” sanggah Tyra dengan cepat. Mereka sangat menyukai
dongeng. Kami semua menyukainya.”
Setelah Tyra meninggalkannya, Ruby melepaskan pakaiannya dan
membasuh seluruh tubuhnya dengan handuk linen dan sebuah sabun putih tak
beraroma, seperti yang dibuat nenek buyutnya dari abu kayu untuk mencuci baju.
Setelah berpakaian, Ruby turun, di mana makanan sedang disajikan di atas meja.
Olaf, yang baru saja kembali, duduk di kepala meja dengan
Gyda di sebelah kanannya dan Ruby di sebelah kirinya. Anak-anak perempuan duduk
di masing-masing sisi meja itu, sementara anak-anak Thork di urutan setelah
mereka.
Olaf menjelaskan dengan canggung, bertukar pandangan singkat
penuh malu dengan istrinya, kalau Thork akan tinggal di kota dan singgah di
rumah itu besok pagi sebelum berangkat ke pertanian kakeknya. Hati Ruby sakit
ketika melihat kekecewaan di wajah Eirik dan Tykir. Dan ia juga tidak bisa
menyangkal kalau ia sendiri juga sudah merindukan pria itu.
Sebelum mereka makan, Ruby kaget ketika melihat orang Viking
itu semua menundukkan kepala mereka.
“Terima kasih, Tuhan, untuk makanan yang nikmat ini… dan
untuk membawa suami serta ayah kami kembali ke rumah dengan selamat,” Gyda
memanjatkan doanya.
“Dan terima kasih Odin dan juga Thor, untuk keberuntungan
kami,” Olaf masih menambahkan dengan masam.
Keheranan Ruby ketika mendengar mereka memanjatkan doa baik
pada Tuhan Kristen dan dewa-dewa Norse pastilah terpampang jelas di wajahnya.
“Kami menganut kedua agama itu di sini,” Olaf menjelaskan. “Pembaptisan
ke agama Kristen adalah harga yang harus dibayar sebagian besar bangsa Viking
untuk bisa tinggal di tanah asing ini. Seringnya, hal ini hanya untuk
kepentingan politik saja, tidak lebih.”
“Tidak, Suamiku, sebagian dari kami benar-benar telah dibaptis,”
Gyda mendebatnya.
Percakapan santai mengalir sepanjang makan malam yang
sederhana namun lezat itu, termasuk roti datar tanpa menggunakan ragi yang
disebut manchet, yang kemudian Ruby ketahui setiap hari dibuat oleh
bangsa Viking. Bahkan anak-anak berbincang-bincang dengan bebas ketika mereka
menceritakan semua kejadian yang berlangsung selama kepergian Olaf.
Gyda menceritakan mengenai kematian yang tak
disangka-sangka, bayi-bayi yang baru lahir, pernikahan dan perkembangan di
kota. “Disebutkan sekarang ada lebih dari tiga puluh ribu orang yang tinggal di
Jorvik. Apakah itu benar?” tanya Gyda pada suaminya.
“Mungkin itu dilebih-lebihkan saja, tapi faktanya kota itu
tumbuh seperti rumput liar. Paling tidak, masih ada aturan yang mengikuti
pertumbuhan itu. Aku memperhatikan ketika kami berjalan di istana kalau pola gate
dijalankan dengan tertib.”
“Ya. Sekarang kita punya Coppersgate, Petergate, Andrewgate,
Skeldergate, Bishopgate…”
Ruby menyela, “Apa artinya gate itu? Di tempatku, gate
adalah sebuah pintu di pagar.”
“Gate adalah kata Norse untuk jalan,” Olaf
menjelaskan. “Begitulah cara kami menamai jalan-jalan kami.”
Anak-anak memberitahukan kepada Olaf semua berita penting
mereka. Tyra menunjukkan giginya yang tanggal dan memberitahu kalau ada lima
anak kucing baru yang dilahirkan minggu lalu dari seekor kucing tua yang
rupanya sudah hamil sejak sebelum Olaf pergi. Astrid bertanya dengan malu-malu
tentang si tampan Selik, yang sepertinya membuat Olaf tidak suka. Gadis-gadis
yang lainnya menceritakan tentang keterampilan yang mereka pelajari, luka-luka
kecil, gosip, dan pernak-pernik yang ingin mereka beli.
Kecuali berbisik di antara mereka sendiri, kedua anak Thork
itu tetap diam. Sepertinya mereka menjadi bagian, namun terpisah, dari keluarga
yang hangat ini. Kesepian, pikir Ruby. Mereka anak-anak yang kesepian dan
terabaikan.
Bagaimana Thork bisa pergi selama dua tahun dan tidak
meluangkan malam pertamanya bersama anak-anaknya? Mengapa mereka tinggal dengan
keluarga Olaf? Kalau Thork tidak bisa mengurus mereka, kenapa mereka tidak
tinggal dengan kakeknya, Dar, yang pernah disebutkan oleh Thork? Ada sesuatu
yang salah di sini. Ruby menggeleng bingung, bertekad untuk mencari tahu apa
sebenarnya yang terjadi. Ia ingin sekali membantu kedua bocah itu tapi ingat
pada perkataan Thork. Nanti! Sumpahnya. Nanti ia akan mendatangi mereka, janji
Ruby pada dirinya sendiri. Namun ia tidak bisa menunggu hingga Thork kembali.
Ia hanya punya sedikit pilihan kata untuk disampaikan kepada pria itu.
“Thork!” tiba-tiba Olaf berseru, dan semua orang berputar
dengan kaget ke arah pintu di mana pria Viking yang keras itu berdiri dengan
bahu lebarnya di sandarkan ke pintu dan lengan terlipat di dadanya,
mendengarkan pembicaraan santai itu dengan geli. “Kau bilang kau akan tinggal
di istana malam ini,” tuduh Olaf.
Sebenarnya, Thork sendiri tak bisa percaya kalau ia kembali
ke rumah Olaf, berlawanan dengan penilaiannya. Selama bertahun-tahun, ia telah
menjalankan suatu kebijakan untuk menghindari kedua anaknya di muka umum atau
di depan orang asing, seperti Ruby. Ia tidak bia membiarkan musuh-musuhnya tahu
kalau kedua anak laki-laki itu adalah hasil dari benihnya. Demi Freya!
Kakaknya, Eric, akan membunuh kedua anaknya itu demi melindungi takhtanya. Atau
kalau kakaknya itu menilai dengan dengan begitu ia bisa melukai Thork.
Ini adalah salah Ruby. Wanita itu telah menjeratnya ke dalam
jaring sihirnya, dan untuk beberapa alasan yang tak bisa dijelaskan ia merasa
berkewajiban untuk kembali ke rumah Olaf. Matanya bertemu dengan mata wanita
misterius itu dan merasakan gelombang kehangatan yang hebat mengalir di seluruh
tubuhnya. Thork menarik napas dengan tajam.
Kenapa wanita yang mirip laki-laki ini bisa begitu
memengaruhinya? Sudah pasti bukan karena kecantikannya. Wanita itu bukannya
tidak cantik, tapi, kalau boleh jujur, ia kenal banyak sekali wanita yang lebih
menyenangkan untuk dipeluk, walaupun tidak semenggoda Ruby, bahkan tidak ada
setengahnya. Mungkin karena cara wanita itu memandangnya, dengan isi hati terpampang
di dalam mata itu, dengan berpikir Thork adalah suaminya.
Kemungkinan besar karena aku sudah terlalu lama tidak tidur
dengan seorang wanita pun dan aku harus mengeluarkan otakku dari celanaku,
Thork memarahi dirinya sendiri. Atau celananya!
Keterlibatan dengan wanita ini mengandung bahaya –untuk Ruby,
untuk dirinya sendiri, untuk anak-anaknya, untuk keluarga Olaf. Namun, walaupun
ia mengetahui hal itu, ia tidak mengindahkan alarm tanda bahaya yang meraung di
kepalanya dan pada akhirnya kembali juga ke rumah orang itu.
“Thork, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Olaf. “Kau
bilang aku tidak akan melihatmu sampai besok pagi.”
Thork melemparkan tatapan samar namun berisikan peringatan
pada Olaf. Dengan sengaja ia tidak memandang kedua anaknya, bahkan ketika ia
menyadari dengan sedih kalau mereka berdua tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan
mereka melihat kedatangannya yang tak di sangka-sangka.
Gyda berdiri untuk mengambil piring lagi, dan Thork
mengambil tempat duduk di seberang Ruby. Semua orang yang ada di meja makan itu
memandangnya dengan mulut menganga, jelas sekali terkejut oleh tingkahnya yang
aneh. Telinga Odin! Seharusnya ia melompat ke kudanya sekarang juga dan kembali
ke istana, di mana ia bisa melepaskan semua tekanan yang mendidih di dalam
dirinya di pelukan Else.
Sebaliknya, Thork mengamati Ruby dengan serius dan berkata
dengan suara yang lebih parau dari yang dimaksudkannya, “Aku berubah pikiran.”
Kebahagiaan Ruby yang tidak ditutup-tutupi atas keberadaannya di situ membuat
Thork goyah, dan jari-jarinya mengetuk meja dengan tegang.
“Humph!” Olaf bergumam pelan, mengenali tanda-tanda gairah
di pipi Ruby yang memerah dan bibir temannya yang sedikit terbuka itu. “Bukan
pikiranmu yang berubah, tapi bagian tubuhmu yang di bawah sana yang sudah
mengambil alih otakmu,” Olaf melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa
keras melihat ketidaknyamanan Thork atas tebakannya yang tepat.
Thork melemparkan tatapan menusuk kepada Olaf, dan temannya
itu akhirnya berhasil mengendalikan kegembiraannya bersamaan dengan Gyda
meletakkan segelas ale di depan mereka berdua dan sebuah piring yang
penuh dengan makanan di depan Thork. Ia makan dengan rakus sementara percakapan
di meja itu kembali dilanjutkan.
Ketika yang lainnya tidak memandang mereka, Ruby berbisik,
cukup keras hanya untuk didengar oleh Thork, “Kupikir kau akan kembali ke
istana untuk screwing the bimbo dari pelabuhan itu.”
“Screwing? Bombo?” Awalnya, Thork tidak mengerti
maksud Ruby. Ketika ia akhirnya paham, senyum santai menghiasi sudut-sudut
mulutnya, “Maksudmu Else?” tanyanya dengan polos. Senyumnya melebar ketika melihat
wajah wanita yang berlidah tajam dan sedang bergerak-gerak tidak nyaman itu
menjadi semerah buah apel.
“Bukannya aku peduli kau tidur dengan siapa!” Ruby
menambahkan dengan keras kepala, dan Thork merasakan sentakan di dalam dirinya
karena tahu wanita itu berbohong.
“Demi Thor! Cara bicaramu kasar sekali.”
“Tidak lebih kasar dari sumpah serapah kalian orang Viking.”
Thork mendapati dirinya menikmati pertengkarannya dengan
Ruby. Keningnya berkerut penuh konsentrasi. Sebenarnya, ia tak ingat kapan
terakhir kalinya ia peduli pada kata-kata yang keluar dari mulut seorang
wanita, biasanya hanya apa yang dilakukan wanita itu dengan mulutnya. Aneh
sekali!
Thork mencondongkan badannya ke atas meja dan memberitahu
Ruby dengan suara yang hangat dan halus, “Kalau aku punya lebih banyak waktu untuk
dibuang-buang, Wench, kurasa aku akan menikmatinya denganmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar