Rabu, 12 Juni 2024

The Bride #3

Gangguan itu berasal dari Lady Jamie. Beak sangat terkejut sampai-sampai menelan jerami yang sedang dikunyahnya. “Itu putri bungsu sang baron,” katanya pada kedua pria itu. “Pintu samping ada di sana,” lanjutnya sambil berbisik pelan. “Kalau kalian ingin pergi sekarang, pintu itu jalan tercepat menuju rumah utama. Sebaiknya saya mencari tahu apa yang Jamie inginkan.”

Walau usianya sudah tua, Beak masih bisa bergerak dengan sangat tangkas. Ia berbelok lalu menemui Jamie dan Mary di tengah-tengah lorong.

“Apa kau tadi bicara dengan seseorang, Beak?” tanya Mary. “Rasanya aku mendengar…”

“Hanya menengok Wildfire sebentar,” Beak berboohong.

“Jamie bilang kau sedang tidur siang, jadi kami bisa menyelinap masuk dan mengambil kuda untuk berkuda sebentar,” ujar Mary.

“Ya ampun, Mary, kau kan tidak perlu bilang itu kepadanya.”

“Yah, kau kan memang bilang…”

“Sungguh memalukan, Jamie,” cetus Beak. “Aku tidak pernah tidur siang dan kau seharusnya tidak menyelinap ke mana pun.” Ia menyunggingkan seringaian geli. “Itu sangat tidak feminin.”

“Kau memang sering tidur siang,” kata Jamie. Senyum Beak seolah menular. “Suasana hatimu hari ini sedang bagus, ya?”

“Ya,” aku Beak. Ia berusaha menyembunyikan semangatnya karena tidak mau Jamie menduga ia sedang merencanakan sesuatu. Beak penasaran apakah kedua laird itu masih berada di dekat Wildfire. Walau Alec Kincaid tidak bisa melihat Lady Jamie, Beak tahu kalau suara gadis itu, yang lembut dan parau, pasti bisa menjerat perhatian Alec.

“Aku jadi penasaran, apa yang kalian ingin lakukan di siang hari yang indah ini,” ujar Beak.

“Aku ingin berkuda,” kara Mary. Ia memandang Beak dengan bingung. “Kami sudah bilang tadi. Apa kau sakit, Beak? Jamie, mungkin dia demam.”

Jamie langsung mengulurkan tangan dan menyentuh dahi Beak dengan punggung tangannya. “Dia tidak demam,” katanya pada Mary.

“Berhenti mencemaskan aku,” tukas Beak. “Aku sangat sehat.”

“Kalau begitu kau mau mengizinkan kami berkuda selama satu atau dua jam?” tanya Mary.

“Kalian akan berjalan kaki, titik,” kata Beak. Ia bersedekap untuk menunjukkan kesungguhannya.

“Kenapa kami tidak boleh berkuda?” tanya Mary.

“Karena kuda-kudanya baru saja aku tidurkan,” kata Beak. “Kuda kalian sudah diberi makan, disikat, dan ditidurkan.”

Beak baru saja selesai mengucapkan dusta itu ketika teringat dua kuda jantan yang sedang makan di kandang di samping pintu depan. Ia khawatir Jamie atau Mary akan mengetahuinya. Tapi, biasanya kedua kakak-beradik itu langsung masuk ke istal, jadi ia bisa membawa mereka kembali ke luar sebelum benar-benar melihat sekelilingnya.

“Kalian seharusnya bersiap-siap menyambut tamu kalian,” lanjut Beak. Ia menyambar lengan kanan Mary dan lengan kiri Jamie lalu mulai menyeret keduanya menuju pintu masuk.

“Mary bilang aku tidak perlu mengkhawatirkan tamu-tamu yang tak diinginkan itu pada siang hari yang indah begini,” cetus Jamie. “Berhentilah menyeret lenganku, Beak.”

“Kami punya tiga hari yang penuh kebebasan,” jelas Mary. “Jamie masih punya banyak waktu untuk membereskan rumah.”

“Kau bisa mencoba membantunya, Nona,” kata Beak. “Itu akan bermanfaat bagimu.”

“Jangan mulai mengganggunya, Beak. Mary akan membantu kalau aku meminta bantuannya.”

Beak tampak tidak percaya dengan kata-kata itu.

“Omong-omong soal meminta,” Mary menyela, “aku ingin meminta sesuatu padamu, Beak.”

“Marry, jangan ganggu Beak dengan pertanyaanmu sekarang.”

“Aku sudah pasti akan menganggu Beak,” kata Mary pada adiknya. “Sama sepertimu, aku juga sangat menghargai nasihatnya. Lagi pula, aku ingin tahu apakah kau mengatakan yang sebenarnya.”

“Sungguh ucapan yang buruk,” timpal Jamie. Senyumnya memberitahu Beak bahwa ia sama sekali tidak tersinggung.

“Jamie menceritakan semua hal mengenai orang-orang Skotlandia yang mengerikan itu, Beak. Aku berencana melarikan diri. Menurutmu, bagaimana rencanaku yang sangat berani itu?”

Beak berusaha untuk tidak tersenyum, Lady Mary tampak sangat serius. “Kurasa tergantung ke mana kau akan lari.”

“Oh… Yah, aku belum benar-benar memikirkan tujuannya…”

“Aku penasaran, kenapa kau mau melarikan diri, Mary?” tanya Beak. “Dongeng apa yang sudah adikmu jejalkan ke dalam telingamu? Apa menurutmu cerita-cerita itu benar semua?”

“Beak, kenapa kau berpikir aku membohongi kakakku?” tanya Jamie, berusaha untuk tidak tertawa.

“Karena aku tahu bagaimana cara kerja pikiranmu, Jamie,” jawab Beak. “Kau sedang melakukannya lagi, iya kan? Kau menggoda, kakakmu yang malang ini dengan cerita apa hari ini? Kulihat kau membuatnya gemetar ketakutan. Dan aku kebetulan tahu kalau kau sama sekali tidak tahu apa-apa soal orang Skotlandia.”

“Aku tahu mereka punya otak seperti biri-biri,” cetus Jamie. Ia mengedip pada Beak ketika Mary sedang tidak melihat, lalu menambahkan, “Tentu saja, hanya orang-orang Skotlandia yang lahir dan dibesarkan di Highland. Orang-orang Lowland sangat cerdas, persis seperti dirimu, Beak.”

“Jangan  oba-coba menenangkan aku dengan kata-kata manis,” Balas Beak. “Kali ini tidak akan berhasil. Kulihat Mary jadi sangat cemas. Astaga, dia meremas-remas kulit tangannya sampai terkelupas. Apa yang sudah kau ceritakan padanya?”

“Aku hanya menyebut kalau aku dengar orang-orang Skotlandia sangat kuat.”

“Mary, itu tidak terlalu buruk,” ujar Beak.

“Dengan nafsu yang amat sangat besar,” tutur Mary.

“Apa itu dosa?”

“Ya,” jawab Mary.

“Kerakusan,” Jamie menambahkan sambil menyeringai.

“Jamie bilang mereka berperang sepanjang waktu.”

“Bukan begitu, Mary, aku bilang mereka berperang di sebagian besar waktu. Kalau kau berniat mengulangi ucapanku, lakukanlah dengan benar.”

“Betulkah begitu, Beak?”

“Betul apanya, Mary?”

“Berperang sepanjang waktu.”

“Aku hanya bilang mereka suka menyerang tiba-tiba,” kata Jamie sambil mengangkat bahu.

Beak melihat semburat merah di tulang pipi Jamie yang tinggi. Kentara sekali kalau ia malu kakaknya mengadukannya.

Jamie pasti sedang merencanakan sesuatu. Ia tampak selugu sewaktu meyakinkan Mary bahwa ang baron telah menandatangani dan menyerahkan dokumen perwalian pada biara.

Jamie memang suka bercanda. Ia juga pemandangan yang sedap dilihat. Rambutnya digerai dan ikal tebalnya terurai berantakan, tapi indah, melewati bahunya yang ramping. Ada corengan debu di hidung dan dagunya.

Beak berharap Laird Kincaid bisa melihat Jamie dengan jelas sekarang, sebab mata lembayung gadis ini sedang berpendar-pendar gembira.

Mary juga tampak sama menawannya. Ia mengenakan gaun merah muda hari ini, tapi gaun indah itu ternoda percikan tanah. Beak penasaran kakak-beradik ini terlibat dalam masalah apa, tapi kemudian memutuskan ia tidak mau mengetahuinya.

Beak kembali diajak membahas orang-orang Skotlandia itu ketika Mary bertutur. “Jamie bilang orang-orang Skotlandia mengambil apa yang mereka inginkan saat mereka menginginkannya. Dia juga bilang mereka punya kegemaran khusus.”

“Apa?”

“Kuda yang kuat, biri-biri yang gemuk, dan wanita yang lembut.” Sahut Mary.

“Kuda, biri-biri, dan wanita?”

“Iya, Beak, dan begitulah urutannya. Jamie bilang mereka memilih tudur di samping kuda mereka dibandingkan bersama istri mereka. Nah, apakah itu betul? Apakah istri mereka berada di urutan yang terakhir?”

Beak tidak menjawab Mary. Ia menatap Jamie, dalam diam menyuruh Jamie menjawab Mary. Jamie tampak sedikit gelisah, tapi Beak tidak yakin apakah itu karena ia akan meledak tertawa atau meminta maaf.

Tawalah yang menang. “Mary, aku hanya menggodamu. Sungguh.”

“Lihatlah kalian berdua,” Kata Beak. “Tubuh kalaian penuh debu seperti anak petani. Sungguh sepasang lady yang cantik! Dan kau, Nona,” tambahnya menunjuk Jamie, “tertawa-tawa seperti orang gila. Aku penasaran, apa yang kalian berdua lakukan di padang rumput itu?”

“Dia mencoba mengalihkan topiknya,” Mary memberitahu adiknya. “Kau harus meminta maaf padaku, Jamie, sebelum aku meninggalkan tempat ini. Dan kalau menurutku permintaan maafmu tidak tulus, maka aku akan memberitahu Bapa Charles, dia akan memberimu hukuman yang tak akan pernah kau lupakan.”

“Itukan salahmu sendiri, bukan salahku,” balas Jamie. “Kau begitu mudah diperdaya, sama seperti anak anjing.”

Mary menoleh ke Beak lagi, “Seharusnya dia bisa lebih berpengertian mengenai situasiku yang pelik. Dia tidak perlu berdiri di hadapan panglima perang Skotlandia itu dan berdoa agar tidak dipilih. Papa bertekad menyembunyikannya.”

“Itu karena aku tidak disebutkan dalam perintah sang raja,” Jamie mengingatkan kakaknya.

“Aku tidak yakin kalau kau tidak disebutkan,” Beak angkat bicara.

“Papa tidak akan bohong,” bantah Jamie.

“Untuk hal itu aku tidak akan mengatakan kau salah atau benar, Jamie,” kata Beak. “Mary? Sejauh yang kuperhatikan, Jamie tidak menceritakan hal-hal mengerikan mengenai orang-orang Skotlandia itu. Kau tidak perlu cemas, Nak.”

“Dia juga menceritakan hal-hal lainnya, Beak,” cetus Mary. “Tentu saja aku curiga karena ceritanya keterlaluan sekali. Aku tidak semudah itu ditipu, Beak.”

Beak menoleh dan mengernyit ke Jamie lagi. “Nah, Lady?”

Jamie mengembuskan desahan lembut. “Aku akui kalau aku sudah mengarang-ngarang sebagian cerita itu, tapi sebagiannya lagi benar, Beak.”

“Bagaimana kau tahu mana yang benar dan mana yang salah? Lagi pula, kau seharusnya tidak percaya pada gosip.”

“Gosip apa?” tanya Mary.

“Orang Skotlandia saling adu lempar batang pohon untuk olahraga.”

“Batang pohon?”

“Pohon pinus, Mary,” ujar Jamie.

Mary mendengus kencang. “Mereka tidak mungkin melakukannya.”

Aye, mereka melakukannya,” balas Jamie sengit. “Dan kalau saling lempar batang pohon tidak dianggap sebagai ritual barbar, maka aku tidak tahu apa lagi yang bisa disebut barbar.”

“Kau sungguh-sungguh mengira kalau aku akan percaya pada apa pun yang kau ceritakan, ya?”

“Itu benar, Mary,” kata Beak. “Mereka memang melempar batang pohon, walau bukan ke satu sama lain.”

Mary menggeleng. “Dari caramu menyeringai paaku, aku tahu kalau kau menggodaku, Beak. Oh, kau jelas sedang menggodaku,” tambahnya ketika Beak tampak hendak protes. “Dan kurasa juga benar kalau orang Skotlandia mengenakan pakaian perempuan.”

“Apa…” Beak menahan batuk. Ia berharap para laird itu sudah meninggalkan istal dan tidak mendengar obrolan memalukan ini. “Kurasa kita harus menyelesaikan diskusi ini sambil berjalan keluar. Hari ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan mengurung diri di dalam ruangan.”

“Itu benar,” kata Jamie pada kakaknya. “Mereka memang mengenakan pakaian perempuan. Bukankah begitu, Beak?”

“Dari mana kau mendengar fitnah ini?” desak Beak.

“Cholie yang memberitahuku.”

“Cholie yang memberitahumu?” tukas Mary. “Yah, kalau kau menyebutkan hal itu dari tadi, aku tiak akan memercayai satu pun ceritamu. Kau tahu sebaik aku kalau pelayan dapur itu suka minum ale sepanjang hari. Cholie mungkin mabuk.”

“Dia tidak mabuk,” sanggah Jamie.

“Itu betul,” kata Beak, berusaha menghentikan benih pertikaian itu.

“Betul apa?” tanya Mary.

“Mereka memang memakai kain di atas lutut,” jelas Beak.

“Nah, aku sudah bilang padamu, Mary.”

“Pakaian itu mereka sebut plaid, Mary. Plaid,” ulang Beak sambil mendengus. “Itu semacam pakaian suci mereka. Kurasa mereka akan keberatan kalau mendengarnya disebut sebagai gaun perempuan.”

“Kalau begitu, aku tidak heran kalau mereka berperang sepanjang waktu,” kata Jamie. Ia sebenarnya tidak terlalu percaya pada cerita Cholie, tapi kelihatannya Beak jujur sehingga ia mulai berpikir kalau pria itu mengatakan yang sebenarnya.

Aye,” Mary sepakat. “Mereka harus membela kehormatan gaun mereka.”

“Itu bukan gaun,” sergah Beak.

“Lihat apa yang telah kau lakukan, Jamie. Kau membuat Beak berteriak pada kita.”

Jamie langsung menyesal. “Maafkan aku, Beak. Karena telah membuatmu gusar. Astaga, kau gugup sekali hari ini. Kau selalu melihat ke belakang bahumu. Apa kau kira ada orang yang akan menerkammu dari belakang? Apa yang…”

“Aku melewatkan tidur siangku,” sela Beak. “Itulah sebabnya aku gusar.”

“Kalau begitu, kau harus istirahat sebagaimana mestinya,” saran Jamie. “Ayo, Mary, Beak begitu sabar pada kita, tapi kulihat dia sedang tidak sehat.”

Jamie memegang tangan Mary dan mulai menghampiri pintu. “Oh Tuhan, Mary, mereka benar-benar mengenakan gaun perempuan. Aku tadinya tidak percaya pada Cholie, tapi sekarang aku yakin.”

“Aku akan melarikan diri, titik,” kata Mary dengan cukup kencang sehingga bisa didengar Beak. Tiba-tiba ia berhenti, lalu memutar tubuhnya. “Satu pertanyaan terakhir, please?” serunya.

“Ya, Mary?”

“Apakah orang skotlandia tidak suka wanita gemuk, Beak?”

Beak tidak punya jawaban untuk pertanyaan absurb seperti itu. Ia mengangkat bahunya, lalu Mary membalikkan badan dan mengejar Jamie. Kedua kakak beradik itu mengangkat keliman rok mereka dan berlari menuju halaman luar. Beak menghembuskan tawa kecil saat menyaksikan keduanya.

“Dia diberi nama laki-laki.”

Beak nyaris melompat keluar dari tuniknya. Ia tidak mendengar Alec Kincaid mendekat. Beak memutar tubuh dan wajahnya bertemu dengan bahu pria raksasa itu.

“Itu cara ibunya memberinya posisi dalam keluarga ini. Baron Jamison bukan ayah Jamie. Namun, dia mengakui Jamie sebagai anaknya sendiri. Aku hanya bisa memujinya sejauh itu. Apa kau melihat gadis itu dengan jelas?” tanyanya cepat-cepat.

Alec mengangguk.

“Kau akan membawanya bersamamu, kan?”

Alec menatap Beak selama satu menit sebelum menjawab. “Aye, Beak. Aku akan membawanya bersamaku.”

Pilihannya telah diputuskan.


Sinopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar