Merasa seakan-akan tenggorokannya akan pecah akibat tekanan dari semua ucapan yang terus menerus ditelannya kembali, Brianna mengikuti pria kurang ajar itu menyeberangi jalan untuk kembali ke toko pakaian Abigail. Setelah di dalam, David membantu merapikan rambut dan pakaian Daphne sementara Brianna mengambil makan malam anak itu dari kantong kain yang diletakkan dalam peti.
David mendudukkan Daphne di atas kursi menjahit, menyingkirkan baju Mrs. Pauder dari mesin jahit dan mengatur makanan menyedihkan yang tersedia di atasnya. Lalu ia pergi ke jendela, mengambil botol sarsaparilla yang isinya tinggal setengah dan meletakkannya di samping makanan. “Nah, sudah beres. Makanlah, Sayang.” Ia mencolek dagu anak itu. “Waktu terus berjalan. Kau tidak boleh terlambat untuk resitalmu.”
Ketika Brianna keluar dari ruangan sempit itu, dengan
dentingan spur David bergema di belakangnya, pintu yang mengarah ke
tempat tinggal di bagian belakang terbuka dan menampakkan Abigail dengan
celemek putih yang kotor terkena makanan serta serbet yang menggantung miring
di dadanya yang rata. “Setengah jam, katamu! Kau pergi lebih lama dari itu!”
Sebelum Brianna bisa menjawab , David menjawab dari
belakangnya dengan suara yang dalam, bergaung penuh dengan pesona. “Miss
Abigail, aku sungguh senang sekali melihatmu. Kukira kau sudah beristirahaat
malam ini.”
Abigail kembali membuka bibirnya yang pucat untuk mencerca
Brianna lagi, tapi David memotongnya. “Aku sungguh senang kau masih terjaga.
Aku ingin mengatakan betapa aku mengagumi kemurahan hatimu.”
Mata Abigail mengerjap, jelas sekali kalau ia sama
bingungnya dengan Brianna oleh pujian itu. “Apaku?”
“Kemurahan hati adalah sifat yang sangat menarik,” ujar
David sambil menambahkan senyuman edalam suaranya, “tapi dalam hal ini, aku
tidak bisa berkata apa-apa lagi kecuali kagum kepada kebaikanmu.” Ia berdiri di
samping Brianna. “Kenapa aku kagum, aku tidak tahu. Tapi sejak detik pertama
aku melihatmu, aku tahu kau memiliki hati lembut yang bersembunyi di bawah bros
cantik yang kau kenakan itu. Kebanyakan majikan tidak akan memberi Mrs. Paxton
izin untuk meninggalkan pekerjaannya malam ini agar bisa menghadiri pertunjukan
anaknya, tapi… oh, tidak, tidak dengan dirimu. Kau mengrti bagaimana pentingnya
hal-hal seperti itu bagi seorang anak kecil.”
Dengan jari-jarinya yang gemetar, Abigail menyentuh brosnya,
yang sebagian tertutupi oleh tali celemek. “Aku sendiri pernah menjadi seorang
gadis kecil.” Abigail menggerak-gerakkan bulu matanya dan wajahnya memerah.
“Sudah sewajarnya aku mendorong Mrs. Paxton untuk menghadiri pertunjukkan itu.”
“Meskipun terhentinya proses produksi akan memengaruhi
pendapatmu?” David menggelengkan kepalanya. “Itu sungguh luar biasa, bukti
bahwa kau adalah wanita baik hati yang sesungguhnya. Aku hanya berharap adal
lebih banyak orang seperti dirimu, karena dunia ini akan menjadi tempat yang
lebih baik.”
Kalau saja berbagai peristiwa yang terjadi pada hari itu
tidak mengerikan, Brianna pasti sudah akan tertawa. Situasi ini jauh lebih dari
lucu, tapi Abigail menyerap pujian itu seperti spons kering.
David merogoh sakunya dan menarik jepitan uang dari perak
yang berhiaskan tapal kuda dari emas di bagian depannya. Di dalam cengkraman
jepitan itu terdapat berlembar-lembar sertivikat, lebih banyak daripada yang
pernah dilihat Brianna di dalam saku siapa pun, dengan bagian teratasnya
lembaran sepuluh dolar dan lembaran dua puluh dolas mengintip di bawahnya.
“Aku tidak akan pernah dengan sengaja menyinggung wanita
yang memiliki perasaan sehalus dirimu. Aku akan tidak bisa tidur nyenyak malam
ini karena tahu keuntungan tokomu yang berkurang akibat ketidakhadiran Mrs.
Paxton siang tadi, ditambah lagi dengan malam ini.”
David memegang tangan Abigail, mendorong jari-jari wanita
itu agar mencengkram tawarannya, lalu mengangkat buku jari Abigail yang kurus
ke bibirnya. Brianna takut bosnya akan pingsan di tempat.
“Kumohon terimalah tanda terima kasihku atas kebaikan yang
kau berikan,” David bersikeras.
“Oh tidak, aku benar-benar tidak mungkin
menerimanya,” ujar Abigail, ternganga melihat uang di telapak tangannya.
“Seorang lady tidak bisa menerima hadiah uang dari seorang laki-laki,
Ssir. Itu tidak pantas.”
“Bukan hadiah. Anggap ini sebagai kompensasi. Tidak banyak
majikan yang serbaik dirimu. Selain itu, tidak ada orang di luar ruangan ini
yang akan pernah mendengarnya. Aku mengerti kalau wanita yang banyak
dikejar-kejar orang seperti dirimu harus menjaga reputasi. Pasti ada barisan
pengagum yang bersaing untuk mendapatkan dirimu.”
Abigail memasukkan uang itu ke saku celemeknya dan
menempelkan tangannya ke dada. “Tidak sebanyak itu. Ini kota kecil.”
“Dengan setiap bujangan yang berbaris di depan pintumu?”
Abigail tertawa dan memberi David senyum malu-malu, terlihat
nyaris cantik untuk pertama kalinya dalam ingatan Brianna. “Apakah besok kau
bebas untuk makan malam, Mr. Paxton? Aku dikenal karena masakan daging dombaku.
Aku pasti akan menikmati makan malam bersamamu, dengan daging domba paling
lembut yang bisa dibayangkan, berama semua makanan pelengkapnya.”
Mendengar itu, Brianna benar-benar hampir tertawa. Menilai
dari raut wajah David Paxton, pria itu baru saja sadar kalau pesona yang
dipancarkannya sudah terlalu berlebihan dan dengan cepat mencari-cari di dalam
benaknya cara yang halus untuk menolak. “Kedengarannya luar biasa. Namun
sayang, brsok aku punya sejumlah janji.”
“Kita bisa makan terlambat,” desak Abigail. “Katakanlah jam
enam, setelah jam kerja?”
Brianna melihat David menelan ludah. “Itu akan hebat sekali.
Tapi, seperti yang kukatakan, ada beberapa hal yang harus kuurus. Kalau aku
tidak singgah ke tokomu pada tengah hari untuk mengonfirmasi, kumohon jangan
menungguku.”
“Aku sungguh berharap kau akan bisa menyelesaikan
urusanmu sebelum jam enam.”
Setelah melemparkan senyum merayu, Abigail memutar badannya
sambil menyentakkan pinggul kurusnya yang jelas sekali dimaksudkan untuk
menggoda, tapi malah membuat orang membayangkan sapu-berbalut-kain-merah yang
berputar-putar diterjang angin.
Ketika pintu itu tertutup, David berkata pelan, “Well,
aku baru saja menyelamatkan pekerjaanmu.”
Brianna merendahkan suaranya agar tidak didengar Daphne.
“Bagaimana dengan uang sewa minggu depan? Aku harus memenuhi jam kerjaku itu
agar bisa membayar kebutuhanku! Belum lagi kalau kau tidak muncul besok malam,
dia pasti akan menyalahkan aku.”
David berkedip pada Brianna. “Kalau kau masih punya otak,
sekarang kau pasti sudah keluar dari kota ini dan pergi ke No Name bersamaku
dan putri kita.”
“Babi akan lebih dulu terbang sebelum aku akan
melakukannya!”
Brianna berjalan ke kotak panjang di ujung toko, menunggu
agar David mengikutinya, seperti yang ia tahu akan dilakukan pria itu. Ketika
ia mendengar dentingan spur David berhenti di belakangnya, Brianna
menegakkan bahu dan berbicara dengan nada rendah melalui bahunya.
“Aku akan membencimu seumur hidupku atas kesaksianmu
melawanku malam ini. Kau telah menghancurkan reputasiku. Kau telah membuat dua
orang yang sebelumnya menghormatiku jadi berpikir aku ini seorang wanita
murahan. Kau juga telah menciptakan keraguan mengenai kelahiran putriku. Aku
tidak akan pernah memaafkanmu untuk itu, dan aku pun tak akan pernah lupa.”
Brianna tidak yakin bagaimana ia mengharapkan David untuk
meresponsnya. Sudah pasti bukan dengan permintaan maaf, dan meskipun menurutnya
pria itu sudah sangat kurang ajar, ternyata David Paxton masih berhasil
membuatnya terkejut.
“Honey, itu akan membuat pernikahan kita menarik.
Paling tidak aku tahu dari awal kalau aku tidak akan pernah bosan.”
***
“Kau khawatir melupakan bagianmu?” tanya David pada Daphne.
“Sedikit,” aku Daphne. “Tapi tidak sebanyak kalau kau dan
Mama tidak ada di sana untuk menontonku.”
“Kami tidak akan melewatkannya untuk apa pun,” ujar David.
Lalu, sambil memandang Brianna dengan tajam, ia menambahkan, “Iya kan, Honey?”
Oh, betapa Brianna ingin memukul pria itu. Mulutnya kering
sekali sampai-sampai ia tidak akan bisa meludah kalau seseorang berteriak,
“Kebakaran!” Tapi demi Daphne, ia berhasil berkata, “Ya sudah pasti aku tidak
akan melewatkannya! Tidak setiap hari aku bisa menonton putri kecilku melakukan
deklamasi.”
Ketika mereka memasuki gereja, Brianna melambat untuk
berhenti di sebelah David. Mimbar di muka ruangan luas itu telah dirubah
menjadi panggung dan diterangi oleh beberapa lampu minyak tanah yang diletakkan
secara strategis. Anak-anak berdiri di kedua tepi panggung, membentuk kelompok
berdasarkan kelas. Beberapa lampu lain diletakkan di bagian belakang gereja, di
mana bangku-bangku yang terbagi dua memanjang hingga ke pintu masuk. Bahkan
dalam keremangan itu, Brianna bisa melihat kalau setiap tempat sudah diambil.
Brianna melihat Mrs. Pauder yang montok duduk di tengan bersama suaminya yang
berbadan besar, Mike. Dua baris di depan mereka, keluarga Wilson mengambil
hampir seluruh bangku, Charlotte terlihat sangat kurus di samping suaminya yang
berotot, Mac.
“Aku terlambar!” Cetus Daphne.
David menurunkan Daphne, menarik mantelnya, lalu menjilat
telunjuknya untuk menghapus noda keju dari sudut mulut anak itu. “Mereka bahkan
belum mulai,” ujarnya dengan suara rendah ketika meluruskan pita di rambut
Daphne. “Semua wanita cantik berusaha untuk sedikit terlambat agar semua mata
berpaling kepadanya ketika dia masuk.”
Daphne melirik ke belakang. “Apakah itu artinya semua orang
akan menatapku?”
“Ya, tapi hanya karena mereka berpikir kau gadis tercantik
yang pernah mereka lihat,” kata David. “Sekarang, dengarkan aku, oke? Jangan
berlari atau menunjukkan kepada mereka kalau kau bingung. Berjalanlah seperti
mamamu, dengan lambat dan anggun, dengan kepala terangkat tinggi dan bahu
tegak.”
Daphne mengangguk dan memandang Brianna dengan takut. “Aku
tiak bisa mengingat kalimatku.”
Bertekad untuk menyingkirkan semua kecemasan mengenai David
Paxton dari kepalanya, Brianna berjongkok untuk memegang wajah Daphne dengan
kedua tangannya. “Kau benar-benar anak paling cantik do kota ini, Sayang. Dan
kau akan ingiat bagianmu ketika giliranmu tiba. Kau telah berlatih keras. Mrs.
Walton akan berdiri tak jauh darimu, dan dia juga akan berbisik untuk
mengingatkan. Kau akan baik-baik saja, aku janji.”
“Bagaimana kalau tidak?” Panik membuat wajah Daphne tegang.
Brianna melihat David merogoh saku mantel Daphne. Pria itu
mengambil sekeping koin perunggu yang berkilat, yang ditaruhnya ke dalam tangan
Daphne. “Untuk keberuntungan,” bisik David. “Koin ini ajaib, ingat?”
Daphne menyeringai menempelkan kepalan tangannya ke dada dan
mengangguk sebelum memasukkan koin itu ke saku roknya. “Ini ajaib. Aku
lupa kalau aku memilikinya.”
Daphne menegakkan bahunya yang kurus dan membalikkan
badannya, yang terlihat seperti angin topan dalam berbagai nuansa merah muda,
bahkan dalam keremangan bagian belakang gereja. Air mata mulai menyengat mata
Brianna ketika ia menyaksikan putrinya berjalan dengan lambat menyusuri lorong,
dengan satu tangan mengangkat rok untuk menirunya walaupun keliman rok
tersrebut hanya mencapai tulang kering. Oh, betapa Brianna berharap Moira bisa
berada di tempat ini.
“Kita harus berdiri,” kata David pelan. Ia mengerahkan
Brianna ke sebelah kiri pintu masuk, di mana mereka bisa menonton dengan
punggung yang menmpel ke dinding. “Apa kau segugup aku? Dia terlalu menganggap
penting hal ini. Hell, ini hanya resital.”
“Kau berada di gereja, Sir. Jaga mulutmu yang kotor itu.”
David tertawa pelan. “Kenapa aku harus repot-repot ketika
kau menjaganya dengan sangat baik untukku?”
Brianna tersentak kaget ketika David memeluk bahunya. Ia
memandang pria itu, napasnya mendesis ketika David menatapnya dengan semakin
tajam, tanpa kata-kata mengingatkannya agar tidak protes. Ia tidak akan
melakukannya, memimpikannya pun tidak. Menarik badannya dari David Paxton di
muka umum hanya akan menimbulkan semakin banyak omongan ketimbang berdiri di
sana dengan lengan pria itu di bahunya. Ia bisa melihat kepala-kepala berputar
dan mendengar dengungan percakapan. Ia tahu siapa yang sedang dibicarakan, dan
itu bukan Mrs. Walton, guru sekaligus pembawa acara yang sedang berjalan ke tengah
panggung.
Kelompok Daphne akan tampil pada urutan yang kelima.
Penampilan pertamanya yang berisikan lelucon berlalu dengan kabur bagi Brianna.
Ia sepenuhnya sadar pada berat lengan David dan tekanan keras pinggul pria itu
di pinggulnya. Anak-anak yang lebih tua menyanyikan lagu patriotis yang
diingatnya ketika masih kecil. Sepanjang hafalan kelompok tentang Deklarasi
Kemerdekaan, pikirannya berkejaran seperti tikus di lubang kelinci. Ia harus
memikirkan cara untuk melarikan diri dari pria ini. Ia hanya bisa berdoa semoga
uang pakaian Daphne yang masih tersisa cukup untuk menyewa kuda, mencapai
stasiun kereta api terdekat, dan membeli tiket ke kota lain di mana ia dan
anaknya bisa menghilang seperti asap.
Brianna berpikir bahwa ia mungkin harus berakting agar bisa
menipu David, membuat David percaya kalau posisi pria itu sudah aman. Ia harus
mencuri makanan dari restoran agar mereka punya bekal selama perjalanan.
Brianna tidak suka harus mencuri roti dan keju. Dia selalu meninggalkan uang di
konter untuk membayarnya kapan pun ia bisa, tapi situasi kali ini benar-benar
memintanya untuk mengabaikan semua bisikan hati nuraninya.
Perhatian Brianna kembali ke pertunjukan ketika dua anak
laki-laki yang lebih tua mendirikan maypole dengan bendera berwarna
warni di panggung. Giliran Daphne sudah dekat. Semua anak menari di sekitar
tiang itu, menyanyikan lagu, kemudian Daphne naik ke panggung. Bagaikan seorang
malaikat dalam gaun merah muda, anak itu mencari-cari di antara kerumunan dengan
mata birunya yang cemas sampai akhirnya melihat Brianna dan David, lalu
meniupkan ciuman. Setelahnya ia pun maju.
Dalam suara gemetar dan yang dihapusnya dengan dorongann
bahunya yang kurus, Daphne berkata, “Aku akan membawakan ‘Old Mother Kitten.’”
Dada Brianna terasa sesak, dalam hati ia berdoa Salam Maria,
menyilangkan jarinya, dan tak berhasil melakukan hal yang sama dengan jari-jari
kakinya. Ia merasakan tubuh David menjadi kaku di sampingnya, memberinya alasan
untuk bertanya-tanya apakah sebenarnya pria itu juga gugup. Hah, ia sudah
melihat semudah apa pria ini membuat Abigail terpesona.
“Pada suatu hari, Old Mother Kitten dan anak kucingnya yang
cantik makan malam agak terlambat. Tapi mereka duduk untuk minum the, dan sang
anjing datang untuk melihat Pussy memotong daging di piringnya.”
Daphne memasukkan tangan ke dalam saku roknya, tak diragukan
lagi untuk menyentuh koin terkutuk itu, yang sama sekali tidak dipercaya
Brianna sebagai koin istimewa. Meskipun begitu, suara Daphne kemudian menjadi lebih
mantap. Brianna melihat Daphne mengembuskan napas dan menariknya lagi. Saat itu
juga Brianna tahu Daphne telah mengalahkan rasa takutnya dan akan melafalkan
bagiannya dengan sempurna.
“Dia menakjubkan,” bisik David. “Dia anak perempuan yang
cerdas dan cantik. Kau telah membesarkannya dengan baik.”
Brianna ingin tetap fokus pada pertunjukan Daphne, tapi
komentar itu membuatnya panas. “Tentu saja, terlepas dari fakta kalau aku
memberinya makanan dari tong sampah.”
“Yah, itu bukan salahmu. Itu salahku.”
Tepuk tangan bergemuruh dan Brianna sadar pertunjukan Daphne
sudah selesai, dan kalau dinilai dari tepuk tangan yang riuh, Daphne
melakukannya dengan sempurna. Brianna berhenti memikirkan David dan menyaksikan
Daphne meju sendirian dan membungkuk sambil mengangkat masing-masing sisi
roknya. Kemudian anak itu menegakkan badan, wajahnya berseri-seri, lalu
berkata, “Ada pengumuman penting yang ingin kusampaikan! Setelah lama sekali
menambang di Denver, papaku akhirnya datang untuk menemui kami hari ini! Lalu malam
ini dia dan Mama menemui Hakim Afton dan mereka menikah! Bukankah itu hebat?
Aku sangat bahagia!"
Selama detik-detik yang mengerikan itu, Brianna pikir
dirinya akan pingsan. Meski menarik napas, paru-parunya tidak mau mengembang.
Suara tarikan napaf kaget terdengar dari deretan bangku yang penuh itu, diikuti
dengungan percakapan mencela. David mencadak tegang, menarik lengannya dari
bahu Brianna, dan berkata, “Demi Tuhan!”
Sebelum Brianna bia menebak apa yang akan dilakukan David,
pria itu menyerahkan mantel Daphne, mendorong badannya dari dinding, lalu
berjalan menyusuri lorong di antara barisan bangku, duster-nya yang
tampak berminyak berkelepak di belakangnya. Dalam situasi itu, David terlihat
seperti seekor kumbang di drum tepung, pria bereputasi buruk dalam bangunan
yang penuh dengan orang tua serta kakek-nenek berpakaian terhormat. Brianna
mengerut dan ingin memejamkan matanya, tapi rasa takjub yang tak normal membuat
matanya tetap terbuka.
Tak butuh waktu lama bagi David untuk sampai di tempat Daphne
berdiri. Sesampainya di panggung, ia menyapu anak itu ke dalam tangannya dan
berputar untuk menghadap penonton. “Selamat malam semuanya,” ujar David dengan
suara membahana. “Namaku David Paxton, ayah Daphne. Setelah pernikahan kami
beberapa tahun yang lalu, ibunya dan aku berpisah.” Ia membuat gerakan
melingkar di sekitar pelipisnya. “Kurasa kalian bisa mengatakan aku kehilangan
kewarasanku. Jelas sekali ada cacing di otakku ketika berpikir bisa menapatkan
harta di Denver. Butuh waktu lama sebelum otakku bisa berpikir dengan jernih
lagi dan datang ke sini untuk menjemput keluargaku. Untuk merayakan reuni kami,
aku dan istriku memutuskan untuk mengulangi sumpah pernikahan kami. Hakim Afton
dengan senang hati membantu kami.” Ia turun dari panggung. “Ini resital yang
luar biasa. Kuharap kalian semua menikmati sisa pertunjukannya.”
Tubuh Brianna terkulai lemas ke dinding. David Paxton
benar-benar kacau. Pria itu telah melakukannya lagi, menggunakan me
ketika seharusnya menggunakan I. Meskipun begitu air mata menyengat mata
Brianna ketika melihat Daviid berjalan di lorong tengan gereja, menggendong
Daphne seakan-akan Daphne merupakan permata yang berharga. Pria itu hanya
berusaha untuk menyelamatkan reputasinya. Tentu saja, itu tidak akan berhasil.
Orang-orang akan bergunjing dengan spekulasi yang menjadi-jadi, dan akan ada
orang yang tidak akan lupa, menyalakan kembali gosip yang penuh skandal itu di
setiap kesempatan. Hidup yang sudah dikenal Brianna di Gory Ridge telah
berakhir.
Brianna penasaran apakah David Paxton mengharapkan ucapan
terima kasihnya karena telah berusaha menyelamatkan situasi ini. Neraka akan
lebih dulu membeku. Tak diragukan lagi, David
Paxton pasti akan senang kalau ia tinggal di kota ini sementara pria itu
pergi bersama Daphne. David telah berhasil merayu Abigail, tapi ia tidak bodoh,
pikir Brianna. David Paxton hanya akan berharap untuk pergi bersama Daphne,
meninggalkannya di Glory Ridge sehingga pria itu hanya perlu berurusan denban
anak kecil. Akan lebih mudah untuk menipu anak berumur enam tahun ketimbang
seorang wanita dewasa.
***
Ketika menjemput istrinya dan membawa mereka keluar dari
gereja, David bisa merasakan ketegangan terpancar dari tubuh Brianna yang
kurus. Di bawah tekanan ringan tangannya, tulang punggung wanita itu rasanya
akan patah seperti ranting yang terpanggang matahari. Dengan dagu terangkat dan
wajah yang sepuca mayat di bawah sinar rembulan, mata Brianna terpaku lurus ke
depan, bahkan tidak melihat langkahnya sendiri. Wanita itu terlihat seperti
baru saja bertemu dengan hantu.
“Ada lubang galian anjing.” David mencengkram pinggul
Brianna untuk menarik Brianna ke samping. Ia merasakan tubuh wanita itu
tersentak akibat sentuhannya. Setelah lubang itu berada di belakang mereka,
tangannya kembali ke bagian bawah punggung Brianna. “Apa kau tidak apa-apa?”
Brianna tidak menjawab. Daphne memiliki sikap bungkam yang
sama dengan ibunya. “Papa, apakah yang kukatakan salah? Semua orang membuat
suara aneh seperti tercekik.”
“Sayang, kau tidak mengatakan apa pun yang salah.” David
mencari-cari di otaknya untuk sesuatu yang lebih menenangkan untuk diucapkan.
“Mamamu dan aku sangat bangga padamu.”
“I,” sergah Brianna. “Kalau kau bicara dengan
putriku, sebaiknya kau menggunakan bahasa Inggris yang benar, Sir.”
David melihat lubang galian anjing lainnya dan sempat
tergoda untuk membiarkan wanita sombong ini menginjaknya. Sebaliknya, ia
mengarahkan Brianna memutari lubang itu dan berkata kepada Daphne, “Mamamu dan aku,
sangat bangga. Kau tidak membuat kesalahan sama sekali dalam pertunjukanmu! Kau
benar-benar mengalahkan Hope. Guru kalian harus mengingatkan bagiannya.
Pekerjaan bagus, Sayang!”
“Hope anak paling populer di kelasku,” Daphne memberitahu
dengan tusukan perasaan iri didalam suaranya.
David tak bisa mengerti. Hope tidak ada apa-apanya kalau
dibandingkan dengan Daphne yang cantik dan berhati lembut. Hope memiliki rambut
coklat biasa yang diikat menjadi ekor kuda, wajah yang biasa-biasa saja, dan
sikap yang sombong, seakan-akan ia adalah berkah dari Tuhan untuk umat manusia.
Apakah anak-anak di kelas Daphne buta atau itu hanya kebodohan kota kecil?
David tidak pernah merasakan perasaan protektif dari seorang ayah, dan sekarang
perasaan itu menghantamnya seperti gelombang di lautan. Ia ingin membenturkan
kepala-kepala kecil itu. Yah, ia tidak bisa menggertak teman-teman Daphne agar
mereka menyukai Daphne. Tapi, besok malam Daphne sudah akan berkilo-kilometer
jauhnya dari tempat ini, dan kalau ia berhasil menjalankan rencananya, anak itu
tidak akan pernah melihat satu pun pengganggu berpikiran sempit itu lagi.
***
Dengan muram Brianna melirik Colt .45 yang tersandang di
pinggul David Paxton, bertanya-tanya apakah senjata itu cocok untuk membunuh
hewan kecil. Oh, betapa ia berharap bisa mengambil pistol tersebut tanpa
disadari oleh David. Sangat tidak mungkin. Dan kalaupun ia berhasil. Ia
belum pernah berlatih menggunakan senjata api. Kelinci yang dibidiknya mungkin
melarikan diri dan ujung-ujungnya ia menembak kakinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar