Jumat, 31 Mei 2024

Lucky Penny#7

Merasa seakan-akan tenggorokannya akan pecah akibat tekanan dari semua ucapan yang terus menerus ditelannya kembali, Brianna mengikuti pria kurang ajar itu menyeberangi jalan untuk kembali ke toko pakaian Abigail. Setelah di dalam, David membantu merapikan rambut dan pakaian Daphne sementara Brianna mengambil makan malam anak itu dari kantong kain yang diletakkan dalam peti.

David mendudukkan Daphne di atas kursi menjahit, menyingkirkan baju Mrs. Pauder dari mesin jahit dan mengatur makanan menyedihkan yang tersedia di atasnya. Lalu ia pergi ke jendela, mengambil botol sarsaparilla yang isinya tinggal setengah dan meletakkannya di samping makanan. “Nah, sudah beres. Makanlah, Sayang.” Ia mencolek dagu anak itu. “Waktu terus berjalan. Kau tidak boleh terlambat untuk resitalmu.”

Ketika Brianna keluar dari ruangan sempit itu, dengan dentingan spur David bergema di belakangnya, pintu yang mengarah ke tempat tinggal di bagian belakang terbuka dan menampakkan Abigail dengan celemek putih yang kotor terkena makanan serta serbet yang menggantung miring di dadanya yang rata. “Setengah jam, katamu! Kau pergi lebih lama dari itu!”

Sebelum Brianna bisa menjawab , David menjawab dari belakangnya dengan suara yang dalam, bergaung penuh dengan pesona. “Miss Abigail, aku sungguh senang sekali melihatmu. Kukira kau sudah beristirahaat malam ini.”

Abigail kembali membuka bibirnya yang pucat untuk mencerca Brianna lagi, tapi David memotongnya. “Aku sungguh senang kau masih terjaga. Aku ingin mengatakan betapa aku mengagumi kemurahan hatimu.”

Mata Abigail mengerjap, jelas sekali kalau ia sama bingungnya dengan Brianna oleh pujian itu. “Apaku?”

“Kemurahan hati adalah sifat yang sangat menarik,” ujar David sambil menambahkan senyuman edalam suaranya, “tapi dalam hal ini, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi kecuali kagum kepada kebaikanmu.” Ia berdiri di samping Brianna. “Kenapa aku kagum, aku tidak tahu. Tapi sejak detik pertama aku melihatmu, aku tahu kau memiliki hati lembut yang bersembunyi di bawah bros cantik yang kau kenakan itu. Kebanyakan majikan tidak akan memberi Mrs. Paxton izin untuk meninggalkan pekerjaannya malam ini agar bisa menghadiri pertunjukan anaknya, tapi… oh, tidak, tidak dengan dirimu. Kau mengrti bagaimana pentingnya hal-hal seperti itu bagi seorang anak kecil.”

Dengan jari-jarinya yang gemetar, Abigail menyentuh brosnya, yang sebagian tertutupi oleh tali celemek. “Aku sendiri pernah menjadi seorang gadis kecil.” Abigail menggerak-gerakkan bulu matanya dan wajahnya memerah. “Sudah sewajarnya aku mendorong Mrs. Paxton untuk menghadiri pertunjukkan itu.”

“Meskipun terhentinya proses produksi akan memengaruhi pendapatmu?” David menggelengkan kepalanya. “Itu sungguh luar biasa, bukti bahwa kau adalah wanita baik hati yang sesungguhnya. Aku hanya berharap adal lebih banyak orang seperti dirimu, karena dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik.”

Kalau saja berbagai peristiwa yang terjadi pada hari itu tidak mengerikan, Brianna pasti sudah akan tertawa. Situasi ini jauh lebih dari lucu, tapi Abigail menyerap pujian itu seperti spons kering.

David merogoh sakunya dan menarik jepitan uang dari perak yang berhiaskan tapal kuda dari emas di bagian depannya. Di dalam cengkraman jepitan itu terdapat berlembar-lembar sertivikat, lebih banyak daripada yang pernah dilihat Brianna di dalam saku siapa pun, dengan bagian teratasnya lembaran sepuluh dolar dan lembaran dua puluh dolas mengintip di bawahnya.

“Aku tidak akan pernah dengan sengaja menyinggung wanita yang memiliki perasaan sehalus dirimu. Aku akan tidak bisa tidur nyenyak malam ini karena tahu keuntungan tokomu yang berkurang akibat ketidakhadiran Mrs. Paxton siang tadi, ditambah lagi dengan malam ini.”

David memegang tangan Abigail, mendorong jari-jari wanita itu agar mencengkram tawarannya, lalu mengangkat buku jari Abigail yang kurus ke bibirnya. Brianna takut bosnya akan pingsan di tempat.

“Kumohon terimalah tanda terima kasihku atas kebaikan yang kau berikan,” David bersikeras.

“Oh tidak, aku benar-benar tidak mungkin menerimanya,” ujar Abigail, ternganga melihat uang di telapak tangannya. “Seorang lady tidak bisa menerima hadiah uang dari seorang laki-laki, Ssir. Itu tidak pantas.”

“Bukan hadiah. Anggap ini sebagai kompensasi. Tidak banyak majikan yang serbaik dirimu. Selain itu, tidak ada orang di luar ruangan ini yang akan pernah mendengarnya. Aku mengerti kalau wanita yang banyak dikejar-kejar orang seperti dirimu harus menjaga reputasi. Pasti ada barisan pengagum yang bersaing untuk mendapatkan dirimu.”

Abigail memasukkan uang itu ke saku celemeknya dan menempelkan tangannya ke dada. “Tidak sebanyak itu. Ini kota kecil.”

“Dengan setiap bujangan yang berbaris di depan pintumu?”

Abigail tertawa dan memberi David senyum malu-malu, terlihat nyaris cantik untuk pertama kalinya dalam ingatan Brianna. “Apakah besok kau bebas untuk makan malam, Mr. Paxton? Aku dikenal karena masakan daging dombaku. Aku pasti akan menikmati makan malam bersamamu, dengan daging domba paling lembut yang bisa dibayangkan, berama semua makanan pelengkapnya.”

Mendengar itu, Brianna benar-benar hampir tertawa. Menilai dari raut wajah David Paxton, pria itu baru saja sadar kalau pesona yang dipancarkannya sudah terlalu berlebihan dan dengan cepat mencari-cari di dalam benaknya cara yang halus untuk menolak. “Kedengarannya luar biasa. Namun sayang, brsok aku punya sejumlah janji.”

“Kita bisa makan terlambat,” desak Abigail. “Katakanlah jam enam, setelah jam kerja?”

Brianna melihat David menelan ludah. “Itu akan hebat sekali. Tapi, seperti yang kukatakan, ada beberapa hal yang harus kuurus. Kalau aku tidak singgah ke tokomu pada tengah hari untuk mengonfirmasi, kumohon jangan menungguku.”

“Aku sungguh berharap kau akan bisa menyelesaikan urusanmu sebelum jam enam.”

Setelah melemparkan senyum merayu, Abigail memutar badannya sambil menyentakkan pinggul kurusnya yang jelas sekali dimaksudkan untuk menggoda, tapi malah membuat orang membayangkan sapu-berbalut-kain-merah yang berputar-putar diterjang angin.

Ketika pintu itu tertutup, David berkata pelan, “Well, aku baru saja menyelamatkan pekerjaanmu.”

Brianna merendahkan suaranya agar tidak didengar Daphne. “Bagaimana dengan uang sewa minggu depan? Aku harus memenuhi jam kerjaku itu agar bisa membayar kebutuhanku! Belum lagi kalau kau tidak muncul besok malam, dia pasti akan menyalahkan aku.”

David berkedip pada Brianna. “Kalau kau masih punya otak, sekarang kau pasti sudah keluar dari kota ini dan pergi ke No Name bersamaku dan putri kita.”

“Babi akan lebih dulu terbang sebelum aku akan melakukannya!”

Brianna berjalan ke kotak panjang di ujung toko, menunggu agar David mengikutinya, seperti yang ia tahu akan dilakukan pria itu. Ketika ia mendengar dentingan spur David berhenti di belakangnya, Brianna menegakkan bahu dan berbicara dengan nada rendah melalui bahunya.

“Aku akan membencimu seumur hidupku atas kesaksianmu melawanku malam ini. Kau telah menghancurkan reputasiku. Kau telah membuat dua orang yang sebelumnya menghormatiku jadi berpikir aku ini seorang wanita murahan. Kau juga telah menciptakan keraguan mengenai kelahiran putriku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu untuk itu, dan aku pun tak akan pernah lupa.”

Brianna tidak yakin bagaimana ia mengharapkan David untuk meresponsnya. Sudah pasti bukan dengan permintaan maaf, dan meskipun menurutnya pria itu sudah sangat kurang ajar, ternyata David Paxton masih berhasil membuatnya terkejut.

Honey, itu akan membuat pernikahan kita menarik. Paling tidak aku tahu dari awal kalau aku tidak akan pernah bosan.”

***

 Sepanjang perjalanan singkat ke gereja, Brianna hanya diam saja, yang ia harap yang akan disadari oleh David Paxton. Sayangnya, David sepertinya tidak akan menyadarinya karena Daphne, yang bertengger di pinggulnya, berkicau seperti seekor burung magpie, jelas sekali gugup dengan pertunjukannya sebentar lagi. Sekesal apa pun Brianna, ia berdoa semoga Daphne tidak demam panggung atau lupa kalimatnya. Hingga bulan Februari, Daphne belum pernah bersekolah, karena selama mereka tinggal di rumah Ricker, ia hanya diajari oleh Brianna. Oleh karena itu, Daphne sama sekali tidak siap pada kekejaman yang diterimanya dari anak-anak lain ketika ia masuk ke dalam lingkungan sekolah pada saat tahun ajaran sekolah sudah akan selesai. Anak-anak perempuan seusianya sudah membentuk persahabatan yang erat, dan Daphne, dalam pakaiannya yang penuh tambal sulam, menjadi target yang sempurna untuk diejek. Siksaan itu sudah berkurang sejak Daphne memakai baju yang lebih bagus, tapi diasingkan begitu lama telah merusak kepercayaan dirinya. Kalau Daphne bisa melakukan pertunjukannya dengan baik malam ini, maka itu akan menjadi jalan untuk membangun kembali kepercayaan dirinya.

“Kau khawatir melupakan bagianmu?” tanya David pada Daphne.

“Sedikit,” aku Daphne. “Tapi tidak sebanyak kalau kau dan Mama tidak ada di sana untuk menontonku.”

“Kami tidak akan melewatkannya untuk apa pun,” ujar David. Lalu, sambil memandang Brianna dengan tajam, ia menambahkan, “Iya kan, Honey?”

Oh, betapa Brianna ingin memukul pria itu. Mulutnya kering sekali sampai-sampai ia tidak akan bisa meludah kalau seseorang berteriak, “Kebakaran!” Tapi demi Daphne, ia berhasil berkata, “Ya sudah pasti aku tidak akan melewatkannya! Tidak setiap hari aku bisa menonton putri kecilku melakukan deklamasi.”

Ketika mereka memasuki gereja, Brianna melambat untuk berhenti di sebelah David. Mimbar di muka ruangan luas itu telah dirubah menjadi panggung dan diterangi oleh beberapa lampu minyak tanah yang diletakkan secara strategis. Anak-anak berdiri di kedua tepi panggung, membentuk kelompok berdasarkan kelas. Beberapa lampu lain diletakkan di bagian belakang gereja, di mana bangku-bangku yang terbagi dua memanjang hingga ke pintu masuk. Bahkan dalam keremangan itu, Brianna bisa melihat kalau setiap tempat sudah diambil. Brianna melihat Mrs. Pauder yang montok duduk di tengan bersama suaminya yang berbadan besar, Mike. Dua baris di depan mereka, keluarga Wilson mengambil hampir seluruh bangku, Charlotte terlihat sangat kurus di samping suaminya yang berotot, Mac.

“Aku terlambar!” Cetus Daphne.

David menurunkan Daphne, menarik mantelnya, lalu menjilat telunjuknya untuk menghapus noda keju dari sudut mulut anak itu. “Mereka bahkan belum mulai,” ujarnya dengan suara rendah ketika meluruskan pita di rambut Daphne. “Semua wanita cantik berusaha untuk sedikit terlambat agar semua mata berpaling kepadanya ketika dia masuk.”

Daphne melirik ke belakang. “Apakah itu artinya semua orang akan menatapku?”

“Ya, tapi hanya karena mereka berpikir kau gadis tercantik yang pernah mereka lihat,” kata David. “Sekarang, dengarkan aku, oke? Jangan berlari atau menunjukkan kepada mereka kalau kau bingung. Berjalanlah seperti mamamu, dengan lambat dan anggun, dengan kepala terangkat tinggi dan bahu tegak.”

Daphne mengangguk dan memandang Brianna dengan takut. “Aku tiak bisa mengingat kalimatku.”

Bertekad untuk menyingkirkan semua kecemasan mengenai David Paxton dari kepalanya, Brianna berjongkok untuk memegang wajah Daphne dengan kedua tangannya. “Kau benar-benar anak paling cantik do kota ini, Sayang. Dan kau akan ingiat bagianmu ketika giliranmu tiba. Kau telah berlatih keras. Mrs. Walton akan berdiri tak jauh darimu, dan dia juga akan berbisik untuk mengingatkan. Kau akan baik-baik saja, aku janji.”

“Bagaimana kalau tidak?” Panik membuat wajah Daphne tegang.

Brianna melihat David merogoh saku mantel Daphne. Pria itu mengambil sekeping koin perunggu yang berkilat, yang ditaruhnya ke dalam tangan Daphne. “Untuk keberuntungan,” bisik David. “Koin ini ajaib, ingat?”

Daphne menyeringai menempelkan kepalan tangannya ke dada dan mengangguk sebelum memasukkan koin itu ke saku roknya. “Ini ajaib. Aku lupa kalau aku memilikinya.”

Daphne menegakkan bahunya yang kurus dan membalikkan badannya, yang terlihat seperti angin topan dalam berbagai nuansa merah muda, bahkan dalam keremangan bagian belakang gereja. Air mata mulai menyengat mata Brianna ketika ia menyaksikan putrinya berjalan dengan lambat menyusuri lorong, dengan satu tangan mengangkat rok untuk menirunya walaupun keliman rok tersrebut hanya mencapai tulang kering. Oh, betapa Brianna berharap Moira bisa berada di tempat ini.

“Kita harus berdiri,” kata David pelan. Ia mengerahkan Brianna ke sebelah kiri pintu masuk, di mana mereka bisa menonton dengan punggung yang menmpel ke dinding. “Apa kau segugup aku? Dia terlalu menganggap penting hal ini. Hell, ini hanya resital.”

“Kau berada di gereja, Sir. Jaga mulutmu yang kotor itu.”

David tertawa pelan. “Kenapa aku harus repot-repot ketika kau menjaganya dengan sangat baik untukku?”

Brianna tersentak kaget ketika David memeluk bahunya. Ia memandang pria itu, napasnya mendesis ketika David menatapnya dengan semakin tajam, tanpa kata-kata mengingatkannya agar tidak protes. Ia tidak akan melakukannya, memimpikannya pun tidak. Menarik badannya dari David Paxton di muka umum hanya akan menimbulkan semakin banyak omongan ketimbang berdiri di sana dengan lengan pria itu di bahunya. Ia bisa melihat kepala-kepala berputar dan mendengar dengungan percakapan. Ia tahu siapa yang sedang dibicarakan, dan itu bukan Mrs. Walton, guru sekaligus pembawa acara yang sedang berjalan ke tengah panggung.

Kelompok Daphne akan tampil pada urutan yang kelima. Penampilan pertamanya yang berisikan lelucon berlalu dengan kabur bagi Brianna. Ia sepenuhnya sadar pada berat lengan David dan tekanan keras pinggul pria itu di pinggulnya. Anak-anak yang lebih tua menyanyikan lagu patriotis yang diingatnya ketika masih kecil. Sepanjang hafalan kelompok tentang Deklarasi Kemerdekaan, pikirannya berkejaran seperti tikus di lubang kelinci. Ia harus memikirkan cara untuk melarikan diri dari pria ini. Ia hanya bisa berdoa semoga uang pakaian Daphne yang masih tersisa cukup untuk menyewa kuda, mencapai stasiun kereta api terdekat, dan membeli tiket ke kota lain di mana ia dan anaknya bisa menghilang seperti asap.

Brianna berpikir bahwa ia mungkin harus berakting agar bisa menipu David, membuat David percaya kalau posisi pria itu sudah aman. Ia harus mencuri makanan dari restoran agar mereka punya bekal selama perjalanan. Brianna tidak suka harus mencuri roti dan keju. Dia selalu meninggalkan uang di konter untuk membayarnya kapan pun ia bisa, tapi situasi kali ini benar-benar memintanya untuk mengabaikan semua bisikan hati nuraninya.

Perhatian Brianna kembali ke pertunjukan ketika dua anak laki-laki yang lebih tua mendirikan maypole dengan bendera berwarna warni di panggung. Giliran Daphne sudah dekat. Semua anak menari di sekitar tiang itu, menyanyikan lagu, kemudian Daphne naik ke panggung. Bagaikan seorang malaikat dalam gaun merah muda, anak itu mencari-cari di antara kerumunan dengan mata birunya yang cemas sampai akhirnya melihat Brianna dan David, lalu meniupkan ciuman. Setelahnya ia pun maju.

Dalam suara gemetar dan yang dihapusnya dengan dorongann bahunya yang kurus, Daphne berkata, “Aku akan membawakan ‘Old Mother Kitten.’”

Dada Brianna terasa sesak, dalam hati ia berdoa Salam Maria, menyilangkan jarinya, dan tak berhasil melakukan hal yang sama dengan jari-jari kakinya. Ia merasakan tubuh David menjadi kaku di sampingnya, memberinya alasan untuk bertanya-tanya apakah sebenarnya pria itu juga gugup. Hah, ia sudah melihat semudah apa pria ini membuat Abigail terpesona.

“Pada suatu hari, Old Mother Kitten dan anak kucingnya yang cantik makan malam agak terlambat. Tapi mereka duduk untuk minum the, dan sang anjing datang untuk melihat Pussy memotong daging di piringnya.”

Daphne memasukkan tangan ke dalam saku roknya, tak diragukan lagi untuk menyentuh koin terkutuk itu, yang sama sekali tidak dipercaya Brianna sebagai koin istimewa. Meskipun begitu, suara Daphne kemudian menjadi lebih mantap. Brianna melihat Daphne mengembuskan napas dan menariknya lagi. Saat itu juga Brianna tahu Daphne telah mengalahkan rasa takutnya dan akan melafalkan bagiannya dengan sempurna.

“Dia menakjubkan,” bisik David. “Dia anak perempuan yang cerdas dan cantik. Kau telah membesarkannya dengan baik.”

Brianna ingin tetap fokus pada pertunjukan Daphne, tapi komentar itu membuatnya panas. “Tentu saja, terlepas dari fakta kalau aku memberinya makanan dari tong sampah.”

“Yah, itu bukan salahmu. Itu salahku.”

Tepuk tangan bergemuruh dan Brianna sadar pertunjukan Daphne sudah selesai, dan kalau dinilai dari tepuk tangan yang riuh, Daphne melakukannya dengan sempurna. Brianna berhenti memikirkan David dan menyaksikan Daphne meju sendirian dan membungkuk sambil mengangkat masing-masing sisi roknya. Kemudian anak itu menegakkan badan, wajahnya berseri-seri, lalu berkata, “Ada pengumuman penting yang ingin kusampaikan! Setelah lama sekali menambang di Denver, papaku akhirnya datang untuk menemui kami hari ini! Lalu malam ini dia dan Mama menemui Hakim Afton dan mereka menikah! Bukankah itu hebat? Aku sangat bahagia!"

Selama detik-detik yang mengerikan itu, Brianna pikir dirinya akan pingsan. Meski menarik napas, paru-parunya tidak mau mengembang. Suara tarikan napaf kaget terdengar dari deretan bangku yang penuh itu, diikuti dengungan percakapan mencela. David mencadak tegang, menarik lengannya dari bahu Brianna, dan berkata, “Demi Tuhan!”

Sebelum Brianna bia menebak apa yang akan dilakukan David, pria itu menyerahkan mantel Daphne, mendorong badannya dari dinding, lalu berjalan menyusuri lorong di antara barisan bangku, duster-nya yang tampak berminyak berkelepak di belakangnya. Dalam situasi itu, David terlihat seperti seekor kumbang di drum tepung, pria bereputasi buruk dalam bangunan yang penuh dengan orang tua serta kakek-nenek berpakaian terhormat. Brianna mengerut dan ingin memejamkan matanya, tapi rasa takjub yang tak normal membuat matanya tetap terbuka.

Tak butuh waktu lama bagi David untuk sampai di tempat Daphne berdiri. Sesampainya di panggung, ia menyapu anak itu ke dalam tangannya dan berputar untuk menghadap penonton. “Selamat malam semuanya,” ujar David dengan suara membahana. “Namaku David Paxton, ayah Daphne. Setelah pernikahan kami beberapa tahun yang lalu, ibunya dan aku berpisah.” Ia membuat gerakan melingkar di sekitar pelipisnya. “Kurasa kalian bisa mengatakan aku kehilangan kewarasanku. Jelas sekali ada cacing di otakku ketika berpikir bisa menapatkan harta di Denver. Butuh waktu lama sebelum otakku bisa berpikir dengan jernih lagi dan datang ke sini untuk menjemput keluargaku. Untuk merayakan reuni kami, aku dan istriku memutuskan untuk mengulangi sumpah pernikahan kami. Hakim Afton dengan senang hati membantu kami.” Ia turun dari panggung. “Ini resital yang luar biasa. Kuharap kalian semua menikmati sisa pertunjukannya.”

Tubuh Brianna terkulai lemas ke dinding. David Paxton benar-benar kacau. Pria itu telah melakukannya lagi, menggunakan me ketika seharusnya menggunakan I. Meskipun begitu air mata menyengat mata Brianna ketika melihat Daviid berjalan di lorong tengan gereja, menggendong Daphne seakan-akan Daphne merupakan permata yang berharga. Pria itu hanya berusaha untuk menyelamatkan reputasinya. Tentu saja, itu tidak akan berhasil. Orang-orang akan bergunjing dengan spekulasi yang menjadi-jadi, dan akan ada orang yang tidak akan lupa, menyalakan kembali gosip yang penuh skandal itu di setiap kesempatan. Hidup yang sudah dikenal Brianna di Gory Ridge telah berakhir.

Brianna penasaran apakah David Paxton mengharapkan ucapan terima kasihnya karena telah berusaha menyelamatkan situasi ini. Neraka akan lebih dulu membeku. Tak diragukan lagi, David  Paxton pasti akan senang kalau ia tinggal di kota ini sementara pria itu pergi bersama Daphne. David telah berhasil merayu Abigail, tapi ia tidak bodoh, pikir Brianna. David Paxton hanya akan berharap untuk pergi bersama Daphne, meninggalkannya di Glory Ridge sehingga pria itu hanya perlu berurusan denban anak kecil. Akan lebih mudah untuk menipu anak berumur enam tahun ketimbang seorang wanita dewasa.

***

 David tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Apa pun bisa keluar dari mulut seorang anak kecil. Ia pernah mendengar keponakannya, Little Ace, membocorkan beberapa rahasia yang membuat orang tua Little Ace malu, tapi anak itu tidak pernah mengatakan apa pun yang sebanding dengan pengumuman Daphne yang penuh sukacita ini. Sial. Daphne tidak mengerti akibatnya, tapi jelas sekali ia tahu. Ia sudah berusaha menyelamatkan keadaan, tapi ia tahu kalau itu adalah usaha yang sia-sia. Bantahannya disambut dengan keheningan dan tatapan mencela. Jelas sekali, Brianna tidak mungkin tinggal di Glory Ridge lagi sekarang.

Ketika menjemput istrinya dan membawa mereka keluar dari gereja, David bisa merasakan ketegangan terpancar dari tubuh Brianna yang kurus. Di bawah tekanan ringan tangannya, tulang punggung wanita itu rasanya akan patah seperti ranting yang terpanggang matahari. Dengan dagu terangkat dan wajah yang sepuca mayat di bawah sinar rembulan, mata Brianna terpaku lurus ke depan, bahkan tidak melihat langkahnya sendiri. Wanita itu terlihat seperti baru saja bertemu dengan hantu.

“Ada lubang galian anjing.” David mencengkram pinggul Brianna untuk menarik Brianna ke samping. Ia merasakan tubuh wanita itu tersentak akibat sentuhannya. Setelah lubang itu berada di belakang mereka, tangannya kembali ke bagian bawah punggung Brianna. “Apa kau tidak apa-apa?”

Brianna tidak menjawab. Daphne memiliki sikap bungkam yang sama dengan ibunya. “Papa, apakah yang kukatakan salah? Semua orang membuat suara aneh seperti tercekik.”

“Sayang, kau tidak mengatakan apa pun yang salah.” David mencari-cari di otaknya untuk sesuatu yang lebih menenangkan untuk diucapkan. “Mamamu dan aku sangat bangga padamu.”

I,” sergah Brianna. “Kalau kau bicara dengan putriku, sebaiknya kau menggunakan bahasa Inggris yang benar, Sir.”

David melihat lubang galian anjing lainnya dan sempat tergoda untuk membiarkan wanita sombong ini menginjaknya. Sebaliknya, ia mengarahkan Brianna memutari lubang itu dan berkata kepada Daphne, “Mamamu dan aku, sangat bangga. Kau tidak membuat kesalahan sama sekali dalam pertunjukanmu! Kau benar-benar mengalahkan Hope. Guru kalian harus mengingatkan bagiannya. Pekerjaan bagus, Sayang!”

“Hope anak paling populer di kelasku,” Daphne memberitahu dengan tusukan perasaan iri didalam suaranya.

David tak bisa mengerti. Hope tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Daphne yang cantik dan berhati lembut. Hope memiliki rambut coklat biasa yang diikat menjadi ekor kuda, wajah yang biasa-biasa saja, dan sikap yang sombong, seakan-akan ia adalah berkah dari Tuhan untuk umat manusia. Apakah anak-anak di kelas Daphne buta atau itu hanya kebodohan kota kecil? David tidak pernah merasakan perasaan protektif dari seorang ayah, dan sekarang perasaan itu menghantamnya seperti gelombang di lautan. Ia ingin membenturkan kepala-kepala kecil itu. Yah, ia tidak bisa menggertak teman-teman Daphne agar mereka menyukai Daphne. Tapi, besok malam Daphne sudah akan berkilo-kilometer jauhnya dari tempat ini, dan kalau ia berhasil menjalankan rencananya, anak itu tidak akan pernah melihat satu pun pengganggu berpikiran sempit itu lagi.

***

 Brianna sudah pernah merasa kelelahan, bahkan lebih sering daripada yang bisa dihitungnya, tapi yang dirasakannya malam ini jauh dari kelelahan fisik yang membuatnya sulit untuk mengangkat kakinya. Hari ini telah menjadi hari terpanjang di dalam ingatannya, dan bagian terburuknya adalah ia sudah tidak sabar untuk menjatuhkan badannya seperti mayat ke atas tempat tidur bersama Daphne untuk menutup dirinya dari dunia selama beberapa jam. Meski tahu mereka tidak bisa tinggal di Glory Ridge lagi, ia masih harus pergi ke restoran malam ini, bukan untuk gaji yang akan mungkin akan di dapatnya, tapi untuk makanan yang bisa dicurinya. Ia dan anaknya tidak bisa pergi dengan kuda sewaan tanpa membawa apa pun untuk dimakan. Mereka akan merana akibat kelaparan dan tidak pernah sampai ke tujuan mereka. Ia tidak punya senjata untuk membunuh hewan liar. Ia ragu pisaunya, yang pernah digunakan untuk menghalangi rayuan Charles Ricker dan sekarang tersembunyi di bawah kasurnya, akan mampu melakukan tugas itu. Ia pun tak bisa berlari cukup cepat untuk menangkap kelinci.

Dengan muram Brianna melirik Colt .45 yang tersandang di pinggul David Paxton, bertanya-tanya apakah senjata itu cocok untuk membunuh hewan kecil. Oh, betapa ia berharap bisa mengambil pistol tersebut tanpa disadari oleh David. Sangat tidak mungkin. Dan kalaupun ia berhasil. Ia belum pernah berlatih menggunakan senjata api. Kelinci yang dibidiknya mungkin melarikan diri dan ujung-ujungnya ia menembak kakinya sendiri.

 

Sinopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar