“Whoa! Tunggu dulu. Cukup artinya cukup. Aku tidak melakukan striptease di depan umum.” Ketika melihat sang raja itu menelengkan kepalanya dengan bingung, Ruby menjelaskan, “Telanjang, membuka bajuku di depan umum. Tidak akan!”
“Kau berani mengatakan tidak kepadaku?” tanya Sigtrygg melalui giginya yang terkatup dan suara yang tidak menerima bantahan lebih jauh lagi dari Ruby. Pria itu mengangkat tangannya, hendak memukulnya lagi.
Olaf terbatuk dengan pelan, memberi tanda kepada Ruby untuk
melakukan apa yang diminta sang raja itu. Ruby memejamkan matanya dengan lelah,
memohon dengan putus asa agar perjalanan menembus waktu ini segera berakhir,
tapi ia bisa merasakan kalau doanya tidak akan terkabul –paling tidak, bukan
sekarang. Ia bertanya-tanya apakah ini adalah salah satu mimpi buruk di mana
mereka akan berdiri telanjang di tengah ruangan dengan orang-orang yang
berpakaian lengkap dan tertawa. Bagaimanapun juga, jalan terbaiknya sepertinya
adalah mematuhi kata-kata pria itu.
“Oh, baiklah. Tapi hanya itu saja.”
Ruby membungkuk untuk melepaskan sepatunya, kemudian
berpikir ia tidak mempertontonkan bokongnya kepada para pria Viking itu. Jadi,
ia duduk di anak tangga terbawah, dan melepaskan sepatunya.
Oh, Tuhan, doanya, tolong biarkan aku terbangun
sebelum mereka membunuhku. Apakah rasanya sakit kalau kepalanya dipenggal
di dalam mimpi? Ruby bertanya-tanya ngeri.
Setelah melepaskan sepatunya, Ruby berdiri dan dengan
menantang kembali menghadapi Thork dan Sigtrygg, menolak untuk menunjukkan rasa
takutnya. Sungguh, itu bukan hal terburuk di dunia. Bagaimanapun juga,
model-modelnya berjalan kesana-kemari dalam pertunjukkan lingerie di
hadapan penonton yang lebih banyak lagi. Jadi, kenapa ia harus malu?
Dengan enggan, Ruby melepaskan kancing celananya dan menarik
ritsletingnya ke bawah. Tapi Sigtrygg mengulurkan tangannya untuk menghentikannya.
Apakah ia diberikan penangguhan hukuman?
Ternyata ia tak seberuntung itu!
“Lakukan itu lagi,” perintah Sigtrygg dengan terpesona.
“Lakukan apa lagi?”
“Buka celanamu lagi. Dengan benda itu.”
Ruby melihat ke bawah, tidak mengerti.
Thork menunjuk ke arah ritsletingnya, bibirnya berkedut
dengan tawa tertahan. “Maksudnya itu.”
Ritsleting itu pasti telah menarik perhatian Sigtrygg, Ruby
menduga, menyadari kalau, tentu saja, ritsleting belum ditemukan saat itu. Ia
menarik ritsletingnya ke atas, lalu ke bawah, lalu ke atas lagi, lagi dan lagi
sementara Sigtrygg yang terpesona memberikan perintah, walaupun ia berusaha
memberitahu kepada sang raja kalau benda itu hanya alat pengancing biasa.
Thork menyeringai geli melihat ketidaknyamanan Ruby dan
senyum kekanak-kanakan sang raja.
Si brengsek itu!
Akhirnya, Ruby melepas celana jinsnya dan menyerahkannya
kepada Sigtrygg agar pria itu bisa bermain sendiri dengan ritsleting sialan itu
dengan sesuka hatinya.
Mata Thork menjelajahi tubuh Ruby dengan kilatan yang tak
asing, yang hanya bisa dikenali olehnya saja, bertahan beberapa detik lebih
lama di celana dalam hitam rendanya. Celana dalamnya tidak berpotongan bikini,
bisa dibilang cukup konservatif, jauh dari celana dalam pendek transparan yang
menggantung di pinggul, namun bagian kiri dan kanannya berpotongan tinggi.
Thork menyukai pakaian dalamnya. Itu tak diragukan lagi.
Pria itu selalu menyukainya. Dan warna hitam adalah warna kesukaan pria itu.
Terlepas dari bahaya yang dihadapinya, Ruby menikmati saat itu, senang melihat
Thork bergerak-gerak dengan tidak nyaman. Mata pria itu menghindari matanya,
mungkin takut tontonan yang memalukan itu terulang lagi.
Ruby menyukai tubuh kencang yang dilihatnya ketika ia
menunduk. Badannya masih tetap tinggi, sekitar seratus tujuh puluh sembilan
sentimeter, tapi dengan tulang yang kecil, payudara kencang, pinggang ramping,
pinggul yang agak membulat dan kaki yang sangat panjang. Benar-benar usia dua
puluhan.
Kerumunan orang di belakangnya bergumam dan
komentar-komentar cabul dari para lelaki itu memberitahu Ruby kalau pria Viking
lainnya juga menyadari pakaian dalamnya yang tidak biasa, walaupun Sigtrygg
masih terpesona oleh ritsleting itu. Pria itu mungkin akan merusak benda itu
dengan tangannya yang kikuk, lalu menyalahkan Ruby karena benda itu tidak
berfungsi.
Ketika akhirnya perhatian Sigtrygg kembali padanya matanya
yang masih bagus menyipit, memandangnya dengan curiga. Pria itu memandang
ritsleting celananya lagi lalu kembali memandang Ruby dan berkata, “Siapa
sebenarnya kau ini? Mungkinkah kau seorang penyihir?”
“Bukan!” Ruby langsung menyanggahnya, ingat peringatan Thork
tentang ketidaksukaan Sigtrygg pada penyihir.
“Kurasa kita harus membakar penyihir ini,” ujar Sigtrygg.
Kerumunan itu bergumam lebih keras di belakangnya sekarang
dan bukan dalam ketidaksetujuan, Ruby menyadari dengan penuh sesal. Mereka suka
dengan ide itu.
Ya Tuhan! Orang-orang Viking ini memang haus darah,
sama seperti yang diketahuinya dari penelitiannya beberapa tahun lalu ketika ia
melacak asal usulnya hingga kembali ke zaman pra-Mediaval. Waktu itu ia
berpikir kalau laporan itu bersifat bias, di mana mereka dianggap sebagai
penjajah penyembah berhala dalam catatan-catatan sejarah para gerejawan.
Sekarang ia tak terlalu yakin lagi.
Ketika Thork tidak mengatakan apa pun untuk membelanya dari
tuduhan Sigtrygg sarta kemungkinan eksekusi yang akan dihadapinya, ruby tahu
kalau ia harus berjuang sendirian. Pikirannya bekerja keras memikirkan rencana
untuk menyelamatkan dirinya.
Hei! Itu mungkin saja bisa berhasil!
Dalam usaha terakhirnya untuk menyelamatkan diri, Ruby
mengumumkan dengan keras, “Kau tahu, aku juga bangsa Viking.”
“Huh?” Thork dan Sigtrygg sama-sama berseru. Dan kerumunan
itu mulai bergumam lagi. Tapi Ruby melihat Olaf mengejeknya dengan memberi
tanda hormat, lalu tersenyum padanya sambil mengedipkan mata untuk memberikan
semangat. Geez! Ia mulai menyukai pria itu.
“Jelaskan, Wench, dan tidak ada lagi kebohongan,”
ujar Sigtrygg sambil memegang dagu Ruby yang masih sakit akibat perlakuan Thork
sebelumnya.
“Kakekku, sekitar lima puluh generasi sebelumnya, adalah
Hrolf, Duke of Normandy pertama.” Muka Ruby berkerut sebelum menambahkan, “Aku
yakin orang-orang Saxon memanggilnya Rollo.”
Terdengar tarikan napas tak percaya menyebar di seluruh penjuru
aula itu ketika mendengar pengakuan itu. Wajah Thork memerah, dan ia terlihat
seakan-akan ingin mencekik Ruby.
Sigtrygg yang terkejut bertanya, “Kau mengatakan kalau
dirimu adalah cucu dari sekutu kami, Hrolf?”
Jelas sekali, pria itu tidak mendengar bagian “lima puluh
generasi sebelumnya.” Ruby sudah hendak
mengoreksinya, kemudian ingat peringatan dari sang raja itu untuk tidak
mengatakan kepadanya kalau ia datang dari masa depan. Jadi, sambil menyilangkan
jari-jarinya untuk keberuntungan, ia menjawab, “Ya, aku keturunan langsung dari
Gongu-Hrolf,” menggunakan nama lengkap Nordic-nya, “The Marcher.”
Rubby memandang Plaf dan pria itu mengangguk menyatakan
persetujuannya. Sejauh ini baik-baik saja.
“Apa kau tahu Hrolf dan ayahku bersekutu?” tanya Thork yang
meragukannya dengan penuh selidik.
Ruby bisa merasakan kalau pria itu hendak menipunya, jadi ia
menjawab, “Tidak, itu tidak benar. Ayah Hrolf, Earl Rognvald of More, adalah
sahabat Harald, tapi King Harald menyatakan kalau Horlf seorang pemberontak dan
mengusirnya dari Norwegia.”
Harapan Ruby membumbung ketika melihat ketidakpastian di
mata Sigtrygg, tapi langsung terpuruk ketika Thork menyatakan dengan
berapi-api, “Ini menggelikkan! Dia bukan orang Viking, sama seperti aku bukan…
orang Saxon. Dia berbohong.”
“Mungkin,” Sigtrygg dengan jawab dengan ragu-ragu, menggigit
bibir bawahnya sambil perpikir. Kemudian, tiba-tiba saja ia terlihat bosan
dengan seluruh pembicaraan itu. “Bagaimana menurutmu, Thork? Kau yang
memutuskan. Apakah kau akan menyiksanya sampai ia membocorkan rahasiannya? Atau
kau akan memenggalnya dan mengirim kepalanya kepada Ivar dalam pakaian itu
sebagai peringatan?”
“Aku?” Thork mengeluarkan sumpah serapah dan
memberitahu Sigtrygg, “Ini adalah malam pertamaku kembali ke Jorvik setelah dua
tahun. Wanita ini bukan tanggung jawabku.”
“Oh,” ujar Sigtrygg dengan mulus, “Kupikir dia tiba di dalam
salah satu kapalmu.”
“Itu tidak terbukti.”
“Dan tidak bisa dibuktikan sebaliknya.” Rasa tidak senang
terdengar di suara raja. Suasana hati Sigtrygg telah berayun lagi –kearah yang
buruk.
Olaf maju untuk berbicara dengan sang raja. “Bagaimana kalau
dia benar-benar memiliki hubungan darah dengan Hrolf? Tidakkah kita harus
memastikannya dulu? Bukankah kita sudah cukup banyak masalah dengan orang Saxon
tanpa harus membuat orang hebat seperti Hrolf memusuhi kita? Apakah kita sudah
siap untuk menyinggung teman kita?”
Benar! Ruby
melemparkan tatapan penuh terima kasih kepada Olaf. Kemudian ia berpaling
kepada Thork, bibir tipis pria itu mencerminkan kegusarannya atas campur tangan
Plaf. Thork mengucapkan kata “pengkhianat” tanpa bersuara.
Rahang Thork mengeras tapi tidak mengatakan apa pun. Rupanya
komentar ruby sebelumnya tentang anak laki-lakinya masih melukai perasaan pria
itu, begitu juga dengan ketertarikan terhadap ruby yang tidak dikehendakinya.
Ruby bersumpah kalau Thork akan membayar mahal karena
mengabaikannya seperti ini. Mengabaikannya! Hah! Sama seperti Jack, pikir Ruby.
Tapi ia tak punya waktu untuk memikirkan hal itu, karena sigtrygg meraung seperti
seekor harimau gunung yang sedang marah, lagi.
“Diam!” teriak sang raja, mengalahkan dengungan riuh
di aula itu. “Cukup!”
Ketika keheningan menyelimuti ruangan besar itu. Sigtrygg
mengeluarkan pernyataan, “Nasib budak ini akan diputuskan di Althing bulan
depan. Selama itu, aku akan menempatkannya dalam penjagaan Thork Haraldson.”
Ssigtrygg menatap Thork dengan dingin, menantangnya untuk
menolak.
“Jaga dia dengan hati-hati, Thork,” lanjut Sigtrygg, “tapi
perlakukan dia dengan hormat sebagai cucu Hrolf… hanya untuk berjaga-jaga kalau
ceritanya benar.”
Cucu! Ia tak pernah mengatakan “cucu”. Oh well itu
bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan, sungguh. Semoga saja ia sudah terbangun
dari mimpi ini sebelum ia harus membuktikan kata-katanya.
Ia akan segera bangun, bukan?
Orang-orang membubarkan diri, membentuk beberapa kelompok
yang tersebar di seluruh penjuru aula, dan para pria Viking itu menegak ale
mereka, termasuk Thork. Mata pria itu menusuknya dari atas pinggiran tanduk
binatang yang digunakan sebagai gelas, memperingatkan Ruby akan pembalasan yang
akan diterimanya. Kemudian Thork memberi tanda kepada Olaf, yang mengembalikan
pakaian dan se[atu Ruby.
“Kita akan membawa wanita itu ke rumahmu, di mana aku sudah
sangat rindu untuk melihat…” Ucapan Thork kepada Olaf itu berhenti ketika
keduanya bertukar pandang dengan hati-hati. “Aku akan memberimu satu atau dua
jam untuk menunjukkan kepada istrimu seberapa besar kau merindukannya,” Thork
melanjutkan dengan seringai nakal. “Kemudian kita akan kembali ke pelabuhan
untuk mengawasi pembongkaran muatan kapal kita.”
“Ya, aku tahu Selik, sekarang pun ia pasti sudah berbaring
di antara paha wanita, bukannya di pelabuhan tempatnya seharusnya berada.”
Thork dan Olaf sama-sama tertawa.
“Aku harus pergi ke rumah kekakku di Notrhumbria besok. Dar
sudah mengharapkan kedatanganku sejak berminggu-minggu yang lalu. Aku tahu kau
akan menjaga wanita itu dengan baik sampai aku kembali nanti.”
“Kau akan tidur di rumahku malam ini?”
Thork terlihat ragu. “Tidak, itu tidak bijaksana.” Sekali
lagi, kedua pria itu berbagi rahasia dan menganggukkan kepala mereka.
“Kapan kau akan kembali?” Wajah Olaf sama tidak menunjukkan
perasaannya mengenai Ruby yang tiba-tiba dijatuhkannya di atas pangkuannya.
“Dua… tiga hari.”
Tiga hari! Ruby mengernyit membayangkan hidup tanpa
Thork, walaupun hanya untuk beberapa hari. “Thork, kau tidak bisa
meninggalkanku seperti ini. Kita harus bicara. Kau suamiku. Kau benar-benar
suamiku. Bawa aku bersamamu.”
“Hanya dalam mimpimu saja!”
Airm mata menggenang di mata Ruby akibat perlakuan yang
kasar itu. Ia menyekanya dengan punggung tangannya. “apakah kau sama sekali
tidak peduli atas apa yang terjadi padaku?”
“Tidak sedikit pun!”
Dasar bajingan! Bagaimana ia bisa begitu tertarik dan
pada saat yang bersamaan merasa jijik pada pria ini! Ruby bertanya-tanya pada
diri sendiri. “Kau sama sekali tidak seperti Jack.”
“Bagus.”
“Kalau dipikir-pikir lagi, kau bahkan tidak sama tampannya
dengan Jack,” Ruby berbohong sambil merajuk.
“Kau pikir aku peduli apakah aku menarik bagi wanita jelek
seperti dirimu? Menurutku kau adalah wanita paling jelek yang lahir dari
kalangan rendah dan seharusnya seudah ditenggelamkan ketika lahir, seperti
kucing kurus."
"Kau... kau..."
"Kehabisan kata-kata, Manis?" tanya Thork sambil mencubit
bokongnya dengan lancang ketika melewati Ruby. “Demi Thor! Lidahmu yang kelu
itu adalah hal terbaik yang terjadi padaku sepanjang hari ini.” Ia membuka
pintu dan melalui bahunya berseru kepada Olaf sembil tertawa, “Semoga
beruntung, Sobat. Aku akan menemuimu di halaman setelah aku mengucapkan selamat
tinggal pada Sigtrygg. Kurasa aku tidak berutang apa pun padamu dengan
menempatkan wanita itu dalam penjagaanmu.”
“Sobat?” gerutu Olaf. “Sama sekali tidak ada persahabatan
dalam tugas yang kau timpakan kepadaku. Lebih seperti hukuman.”
Suara kekehan Thork menggema di belakangnya ketika ia pergi,
meninggalkan Ruby dan Olaf.
Hati Ruby sakit ketika ia menyaksikan Thork berjalan
menjauh. Pria itu akan meninggalkannya. Anehnya, terlepas dari sifat kasar
suami Vikingnya itu, ia merasa Jack seperti meninggalkannya sekali lagi. Dan
rasa sakit itu tidak berkurang sedikit pun.
Kemungkinan besar Thork bukan suaminya. Pria itu tidak
mungkin suaminya, tetapi tetap saja Ruby merasa kehilangan, ketika ia sadar
kalau satu-satunya hubungan yang dimilikinya dengan kenyataan akan hancur
seiring dengan kepergian Thork dari Jorvik.
Melihat kekecewaan di wajah ruby, Olaf memperingatkannya,
“Matamu mengungkapkan isi hatimu, Mungil. Sebaiknya kau lebih berhati-hati
menjaga hatimu dengan orang seperti thork. Di luar tempat tidur, wanita sama
sekali tidak memiliki arti apa pun baginya.”
Ruby mendongak untuk memandang Olaf, yang sekarang
sepertinya memegang kendali atas nasibnya, dan bertanya dengan penuh harap,
“Apakah aku sudah memberitahumu kalau aku datang dari masa depan?”
Olaf bisa dibilang menggeram, mencengkram lengan atas Ruby
dan menariknya ke arah pintu.
“Katakan itu kepada Gyda, istriku. Kemungkinan besar dia
akan memukul kepalamu dengan sendok memasaknya. Mungkin setelah itu kita semua
akan mendapatkan kelegaan.”
***
Fee, fie,fo, fum untukmu, Viking…
Ruby bisa dibilang berlari agar tidak ketinggalan oleh
langkah Olaf dan Thork yang panjang ketika mereka berjalan menyusuri jalan
menuju rumah Olaf. Rupanya rumah pria itu berada di pinggiran kota.
Ia berusaha untuk menanyakan barbagai hal menarik yang
dilihatnya –bangunan sederhana berlapis jerami dengan pinggiran atap dari kayu
yang diukir dengan sangat elok, pan pipes (alat musik tiup yang terdiri
dari beberapabatang berongga dengan ukuran berbeda yang dijejerkan dan
dijadikan satu) dan permainan-menggunakan-papan yang dimainkan oleh anak-anak
berambut pirang di depan pintu yang terbuka, para pengrajin yang membuat
perabotan indah dan perhiasan, dan semua kesibukan di sekitar mereka –tapi
kedua pria itu menjawab entah hanya dengan satu kata atau tidak sama sekali.
Sebuah benda tajam menggesek telapak kaki Ruby yang sakit,
dan ia berhenti. Dengan keras kepala ia duduk di atas sebuah bangku teduh yang
tertimpa bayangan toko seorang pengrajin kayu, menunggu Thork dan Olaf untuk
menyadari kalau ia sudah ketinggalan di belakang. Dan itu tidak butuh waktu
lama.
“Kejahatan apa lagi yang kau rencanakan sekarang?” tanya
Thork dengan nada mengancam.
“Tidak ada. Hanya saja ada batu di sepatuku, di bagian yang
perih, dan ada dua laki-laki yang berpikir mereka sedang mengikuti Maraton
Boston."
"Maraton?”
“Lupakan saja.”
Ruby memasang kembali sepatunya dengan perasaan khawatir
kalau ia akan sering mengucapkan kata-kata itu sebelum mimpi ini berakhir.
Thork berdiri dengan kaki terentang, bergeser dari satu kaki
ke kaki lain dengan tidak sabar. “Pakai sepatumu dan berhentilah membuang-buang
waktu.”
“Tidak perlu marah-marah begitu, kan?” gerutu Ruby.
Olaf memperhatikan mereka berdua dengan geli.
“Sepatumu itu… tidak akan ada gunanya di tengah badai atau
di tengah pertempuran,” komentar Thork dengan nada menghina. “Sebuah pedang
bisa mengiris kainnya.”
Ruby tak bisa menahan senyumnya. “Kau benar. Sepatu ini
memang tidak akan terlalu berguna di medan perang tapi sepatu ini bagus untuk
joging.”
“Jiging? Apa lagi, itu?”
“Bukan, tolol. Kubilang joging. Akan kutunjukkan padamu.
Ayo.” Ruby berlari di jalan, kearah yang mereka tuju. Butuh beberapa detik
sebelum keduanya sadar kalau ia sedang melarikan diri dari mereka. Beberapa
detik kemudian mereka berhasil mengejarnya. Thork mencengkram lengan atas Ruby
dengan erat dan menariknya hingga berhenti.
“Berpikir untuk melarikan diri dariku? Kau mau menyuruhku
bertanggung jawab pada Sigtrygg?”
“Tidak,” protes Ruby. “Aku hanya sedang mendemonstrasikan
joging padamu. Itu yang dilakukan orang-orang… laki-laki dan wanita… untuk
berolahraga di negaraku.” Sadar akan kejengkelan pria itu, Ruby menarik
tangannya hingga terlepas dari cengkraman Thork dan berlari memutari pria itu
untuk mendemonstrasikannya.
“Demi Thor!” seru thork. “Untuk apa orang melakukan itu?
Apakah laki-laki di negaramu tidak menggunakan tubuh mereka setiap hari untuk
berlatih militer? Dan wanita! Sungguh tidak pantas wanita berlari seperti itu!”
Ruby baru akan menjawab, tapi tahu kalau itu tidak akan
mungkin. Bagaimana ia bisa menjelaskan kalau laki-laki di zamannya bekerja di
kantor, di mana mereka akan duduk sepanjang hari, kalau pekerjaan di bidang
militer bersifat sukarela dan olah raga yang paling banyak dilakukan oleh para
laki-laki di masa depan adalah memukul sebuah bola kecil dengan sebuah tongkat
di lapangan rumput? Atau wanita modern melakukan banyak sekali hal yang akan
terlihat tidak layak bagi laki-laki Viking? Ia mengangkat bahunya.
Thork memandangnya dengan muak.
Hal itu menyakiti hati Ruby. “Kau tidak percaya kita
menikah, bukan?”
Thork mengeluarkan suara mendengus yang kasar. “Humph!
Sebaiknya kau melupakan kebohongan itu. Cucu Hrolf, beberap orang mungkin akan
percaya, tapi menikah denganku? Tidak pernah.” Pria itu tersenyum mengejek
padanya. “Mungkin kau menginginkan aku. Banyak sekali wanita yang seperti itu.
Mungkin nafsumu membuatmu mengikutiku dari negaramu hingga sampai ke tempat
ini. Tapi aku tidak pernah menikahi wanita mana pun, terutama sekali wanita
sepertimu.”
“Dasar kau chauvinis egois! Apa yang salah denganku?”
Thork memandangnya dari atas ke bawah satu kali, dengan
pandangan menghina. “Demi kaki Thor! Kau seperti laki-laki, dengan rambut
pendek dan sikapmu yang kurang ajar itu. Dan hampir tidak ada daging yang
menempel di tulangmu… tidak ada apa pun untuk menahan seorang pria ketika dia
membenamkan dirinya ke dalam tubuhmy. Laki-laki lebih suka wanita yang lebih
lembut dan feminin.”
“Aku melihat caramu memandangku ketika aku berdiri di aula,”
bantah Ruby, terlepas dari rasa malunya. “Dan kau tidak kebal.”
“Hah! Kau berharap aku bersikap bagaimana? Demi Thor! Kau
membuat setiap laki-laki di aula istana Sigtrygg terangsang ketika kau
melepaskan pakaianmu dan memamerkan pakaian dalam yang memalukan itu.” Mata
Thork yang berkilat dengan terang-terangan menatap Ruby, mengingatkannya kalau
pria itu tahu apa tepatnya yang tersembunyi di balik kaus dan celana
panjangnya.
“Terangsang! Memamerkan!” sembur Ruby. Kemudian ia menyeringai
dan berbalik memandang pria itu dari atas ke bawah. Ia juga mengetahui pria
ini, luar dan dalam. Ia telah mempelajari selera seksual pria itu dari
bertahun-tahun latihan. Memangnya siapa yang mau dibodohinya? “Kau salah kalau
kau pikir aku tidak bisa membuatmu tertarik padaku,” Ruby menantang sambil
mengangkat dagunya dengan angkuh. “Kalau tidak, kau tidak akan menikahiku. Aku
tahu lebih banyak tentang gairah seksualmu, lebih dari wanita mana pun. Apakah
kau mau bertaruh?”
“Bertaruh?” Olaf melolong, tertawa melihat mereka berdua.
“Apakah kau tidak mengerti maksud ucapan Thork, Wench? Laki-laki yang
bertaruh, bukan wanita?”
“Demi semua dewa yang ada di dunia ini, harus kuakui aku
belum pernah bertemu dengan wanita seperti kau selama ini.” Thork menggeleng
takjub.
“Wll, apakah kita jadi bertaruh?”
“Tidak aku tidak bertaruh dengan wanita, ketika terutama
sudah pasti kemenangan berada di tanganku.”
Ruby senang melihat setitik ketidakyakinan di mata pria itu,
terlepas dari kata-katanya yang sombong.
“ayo,” Olaf mendesak dengan tidak sabar. “Sudah dua tahun
aku pergi dari Jorvik dan sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengan istriku
lagi.” Ia menggerak-gerakkan aisnya dengan nakal.
Setelah berjalan sekitar beberapa kilometer melalui jalan-jalan
kota yang sempit, mereka tiba di daerah yang lebih sepi, di mana
bangunan-bangunannya berukuran lebih besar dan jaraknya lebih berjauhan. Mereka
berhenti di depan bangunan yang paling besar –dinding dari anyaman ranting dan
lumpur dengan atap dari alang-alang seperti yang lainnya, tapi yang membedakan
rumah itu dari rumah di sekitarnya adalah sebuah pintu dan pinggiran atap dari
kayu ek yang diukir dan halamannya yang terawat. Sebuah jalur panjang dengan
rumput yang dipotong pendek mengarah ke sungai.
Tiba-tiba, pintu itu mengayun terbuka dan segerombolan anak
kecil yang menjerit dengan suara melengking berlarian keuar –semuanya
perempuan– dengan umur mulai dari sekitar lima tahun hingga lima belas tahun,
dengan rambut berwarna merah dalam segala variasi.
“Ayah! Ayah!”
“Akhirnya! Akhirnya! Kau pulang!”
“Apa yang Ayah bawa untukku?”
“Berapa lama Ayah akan tinggal?”
“Gendong aku. Gendong aku.”
“Apakah Ayah akan membawaku naik sampan lagi seperti waktu
itu?”
Dengan satu anak perempuan di masing-masing tangannya dan
yang lainnya berkumpul di sekelilingnya sambil memeluk dengan erat, Olaf
tersenyum lebar, berusaha menjawab setiap pertanyaan itu secara bergantian
dengan kesabaran seorang ayah. Akhirnya, ketika ia menurunkan kedua anak
perempuan yang paling muda ke tanah dengan lembut, ia berkata, “Anak-anak, aku
akan memperkenalkan kalian kepada tamu kita.”
Olaf menyuruh Ruby maju dan mengatakan dengan bangga, “Ruby,
mereka adalah putri-putriku.” Ia menunjuk mereka satu per satu sesuai ukuran
tubuh mereka, dimulai dengan yang termuda. “Tyra, Freydis, Thyri, Hild, Sigrun,
gunha, Astrid.”
Tujuh! Pria ini punya tujuh anak perempuan!
Seorang wanita berdiri diam di pintu, menyaksikan reuni
membahagiakan antara ayah dan anak-anaknya, lalu bergerak ke arah Thork dan membisikkan
sesuatu padanya. Pria itu berjalan ke bagian samping bangunan itu dan
menghilang dari pandangannya. Kemudian Gyda berpaling kepada suaminya dengan
senyum hangat.
Istri Olaf yang cantik memiliki rambut pirang dikepang, yang
kemudian dililitkan sehingga membentuk semacam mahkota di atas kepalanya.
Dengan umur kurang lebih sama dengan Olaf, yang sepertinya beada di akhir tiga
puluhan. Gyda bertubuh pendek, agak montok dan feminin –jelas sekali tipe
wanita ideal yang dibicarakan oleh thork dan Olaf sebelumnya.
“Selamat datang, Suamiku,” sapa Gyda dengan lembut sambil
melangkah ke depan.
“Senang rasanya bisa kembali ke rumah,” Olaf membalas dengan
senyum lebar dan kilatan di matanya.
Dengan satu sapuan, Olaf mengangkat Gyda ke dalam pelukannya
dan memutarnya, memeluk wanita itu dengan hangat. Gyda membenamkan wajahnya ke
leher suaminya, berpegangan erat di bahu Olaf sementara roknya melayang di atas
tanah. Ketika ia mengangkat matanya yang basah, Olaf menciumnya dengan berisik,
meletakkan satu tangannya ke bawah lutut istrinya dan membopongnya tanpa
ragu-ragu ke dalam rumah, meninggalkan mereka semua di luar.
Dengan malu Ruby memalingkan matanya kepada anak-anak yang
berdiri di dekatnya, berharap mereka tidak mendengar Olaf bertanya dengan penuh
arti kepada istrinya sebelum pintu tertutup, “Apakah kau mau melihat hadiah
yang kubawakan untukmu?”
Tapi anak-anak perempuan itu terlihat biasa-biasa saja. Yang
paling tua, astrid, memberitahu Ruby tanpa malu-malu, “Mereka senang melepas
rindu mereka berduaan saja.” Tak diragukan lagi kalau anak-anak itu tahu persis
apa yang sedang dilakukan orang tua mereka.
“Kau mau melihat bebek di sungai?” tanya anak perempuan yang
paling kecil, Tyra, yang berusia sekita lima tahun, dengan penuh harap. Ketika
Ruby mengangguk, gadis itu tersenyum dengan memikat, memperlihatkan dua gigi
depan yang ompong. Ia meletakkan tangannya yang mungil ke dalam tangan Ruby dan
menariknya ke bagian samping rumah itu.
Jantung Ruby berhenti. Ia selalu menginginkan gadis kecilnya
sendiri, persis seperti Tyra yang, dengan gigi ompongnya, dengan polosnya
menawarkan Ruby sambutan tulus pertama yang diterimanya sejak ia tiba di
wilayah asing itu – seorang anak perempuan yang bisa dimanjakannya dengan gaun
penuh renda dan busa mandi dengan wangi bunga, seorang anak perempuan yang akan
menangis terisak bersamanya ketika menonton film sedih, serta berbagi
kecintaannya pada menjahit.
Ia dan Jack seharusnya punya anak lagi. Pikiran yang
tiba-tiba melintas di benaknya itu membuat Ruby tersentak. Selama ini mereka
selalu berencana untuk menambah anak, tapi sejak ia memulai bisnis lingerie-nya
dan resesi menghantam pasar real estat, ssepertinya tidak ada waktu yang cukup
untuk mewujudkan hal itu. Ruby tidak bisa ingat kapan terakhir kaloi mereka
membicarakannya.
Apakah sekarang sudah terlalu terlambat? Apakah ia sudah
terlalu tua? Apakah Jack masing menginginkan anak lagi? Itu adalah hal yang
masih perlu diperdebatkan, sungguh, kecuali Jack kembali kepadanya. Atau kalau
ia bisa kembali ke masa depan.
Sakit kepala kembali menghantam Ruby dengan kekuatan penuh.
Ia menggelengkan kepala untuk menghentikan pikirannya yang melantur.
Mereka memutari rumah dan berjalan melewati sebuah sumur dan
lubang sampah yang tertutup, kemudian menuruni tanah melandai yang lembut. Kakak-kakak
Tyra yang penasaran berjalan tak jauh di belakang mereka, sehingga mereka
sendiri terlihat seperti gerombolan bebek dalam pakaian panjang berwarna terang
yang dilapisi pakaian luar bermodel celemek dengan warna putih cemerlang.
Ruby duduk di atas bangku kayu yang kokoh di tepi sungai
sementara Tyra merogoh ke dalam saku celemeknya dan menarik segenggam remah
roti.
“Kau ingin memberi makan bebek-bebek itu?”
“Oh, ya,” jawab Ruby dengan antusias, memperhatikan
bagaimana hal-hal kecil seperti itu membuat anak-anak bahagia. Apa yang terjadi
ketika seseorang tumbuh menjadi dewasa, sehingga mereka kehilangan kemampuan
untuk menikmati berkah kecil yang diberikan Tuhan kepada mereka – matahari
terbenam yang indah, seorang anak yang tertawa, bebek yang berjalan
berlenggak-lenggok di sore musim panas, cinta dari seorang pria yang baik?
Berlusin-lusin bebek kemudian berkumpul di tempat itu.
Gadis-gadis itu tertawa dengan riang melihat tingkah hewan rakus yang mendorong
teman-temannya ke samping untuk bisa mendapatkan makanan.
Perlahan-lahan, anak-anak perempuan itu bergeser semakin
dekat dengan bangku tempat Ruby duduk, dan akhirnya Astrid, yang paling tua,
duduk di ujung yang berseberangan dari Ruby dan bertanya, “Apakah tadi Ayah
mengatakan namamu Ruby?”
Ruby tersenyum. “Ya, Ruby Jordan.”
“Seperti permata?”
“Ya.”
“Oh. Aku belum pernah mendengarnya digunakan sebagai nama
sebelum ini.”
“Di negaraku, ada banyak sekali perempuan yang dinamakan
seperti batu.” Ruby menjelaskan, “seperti Emerald. Opal, Pearl, Garnet dan
Jade. Tapi sebenarnya, namaku tidak berasal dari batu mulia. Ibuku menamai aku
dan adik perempuanku…” Ia tidak pernah menyelesaikan penjelasan itu karena
mulai terdrngar suara koakan liar dan Tyra buru-buru naik ke tepi sungai sambil
mengomel kalau salah satu bebek itu hampir saja menggigitnya, hanya karena ia
memegang remah-remah terakhir yang tak bisa diraih bebek itu.
“Kau tahu, Tyra, remah-remag rotimu itu mengingatkanku pada
sebuah kisah yang disukai anak-anakku, tentang seorang anak laki-laki dan
perempuan yang tersesat di hutan walaupun mereka memiliki rencana yang
melibatkan… kau tak akan memercayainya!... remah-remah roti. Apakah kau ingin
mendengarkan ceritanya?
“Ya! Ya! Ya! Aku sangat menyukai cerita! Hampir sama seperti
aku suka dengan bebek! Atau anak anjing! Atau kue stroberi!”
“Diamlah, Tyra,” salah satu kakaknya menegur gadis cilik itu.
Mereka semua sudah lebih dekat sekarang, an sepertinya Tyra bukan satu-satunya
yang senang mendengarkan dongeng. Beberapa duduk di samping Ruby di atas bangku
dan yang lainnya duduk di atas rumput di hadapannya.
“Judul cerita ini adalah Hansel dan Gretel,” mulai Ruby. “Pada
suatu masa…” Ketika ia menyelesaikan cerita anak-anak yang indah itu, mereka
memohon kepadanya untuk menceritakan lagi.
“Apakah kau akan tinggal lama dengan kami?” tanya Tyra.
“Aku tidak tahu. King Sigtrygg punya pendapat konyol kalau
kemungkinan besar aku adalah mata-mata bagi seorang musuhnya yang bernama Ivar.”
“Ivar si Kejam!” Anak-anak itu terkesiap secara bergantian
dan menjauh darinya dengan takut. “Seorang mata-mata!”
“Sebenarnya, raja itu lebih tertarik untuk menyelidiki
pernyataanku mengenai hubungan darah yang kumiliki dengan Hrolf di Normandia.”
“Kau memiliki hubungan dengan Hrolf?” Astrid yang terkesima
kembali bertanya. “Aku pernah melihatnya bertahun-tahun yang lalu di Hordaland.
Badannya besar sekali. Bahkan lebih tinggi dari ayahku. Dan tampan seperti
semua dewa.” Wajah gadis itu memerah karena antusiasmenya yang berlebihan.
“Anak-anak, ibu kalian membutuhkan bantuan,” Olaf memanggil
dari belakang rumah. Ketujuh anak perempuan itu memutar kepala mereka dan
berlari ke halaman untuk memeluk ayah mereka sekali lagi. Ruby tertawa mendengar
beberapa nama bercampur aduk dalam celotehan mereka, seperti Hansel, Ivar,
Hrolf, dan Ruby.
Olaf memandang Ruby dengan penuh tanya setelah anak-anak
perempuan itu masuk ke rumah lewat pintu belakang. Pria itu berjalan dengan
santai menuruni halaman, terlihat sangat puas, dan menjatuhkan badannya ke atas
bangku di samping Ruby, kakinya diselonjorkan ke depan, sepenuhnya santai.
Laki-laki! Tak peduli zaman, mereka sama saja. Beri mereka
sedikit cinta dan mereka menjadi lembek. Entah dari mana, sebuah pikiran yang
mengganggu merayap ke dalam kepala Ruby. Mungkin ia seharusnya lebih sering
melakukannya dengan Jack selama tahun-tahun belakangan ini. Malahan, hal itu
tidak perlu dipertanyakan.
Menyingkirkan pikiran bersalah itu ke bagian belakang benaknya,
Ruby berbalik kepada Olaf dan berkata, “Jadi, apakah sehebat itu rasanya bisa
berada di rumah lagi?”
“Lebih,” balas Olaf dengan menyeringai. Lalu ia menambahkan.
“Dalam kegembiraanku berkumpul kembali dengan keluargaku, aku lupa melakukan
tindakan pencegahan terhadap dirimu. Aku sangat beruntung kau tidak melarikan
diri. Selanjutnya, salah satu pelayanku akan mengawasimu sepanjang waktu.”
“Humph! Itu tidak perlu. Aku akan pergi ke mana? Ke
pelabuhan? Aku bisa membayangkannya, aku berusaha untuk menyelinap ke dalam
sebuah kapal yang akan berangkat ke Amerika. Tempat itu bahkan mungkin belum
ditemukan saat ini!”
Olaf menggeleng ketika mendengar kata-kata Ruby yang aneh. “Kau
masih saja bertahan dengan cerita yang tidak masuk akal. Bukankah Sigtrygg sudah
memperingatkanmu tentang hal itu?”
“Ya, tapi kukira kau tidak akan keberatan.”
“Untuk itu, aku keberatan dan terutama dengan anak-anakku.”
Olaf berdiri untuk kembali ke rumah ketika perhatian Ruby
teralihkan oleh Thork, yang datang dari arah sungai, ditemani oleh dua anak
laki-laki dengan jala di bahu mereka.
Ketika kedua anak laki-laki itu, sekitar delapan dan sepuluh
tahun, melihat Olaf, mereka berlari ke arahnya, memanggil pria bertubuh besar
itu. Ketika kedua bocah yang berambut gelap itu mendekat, jantung ruby mulai
berdegup dengan liar. Ini tidak mungkin! Oh, Tuhan! Mereka terlihat persis
seperti kedua putranya ketika mereka berusia sepuluh dan delapan tahun.
Ruby melompat berdiri dari bangku yang didudukinya dan
berlari ke arah mereka. “Eddie! David! Bagaimana kalian bisa ada di sini? Aku
senang sekali melihat kalian!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar