Home

Kamis, 14 Maret 2024

The Reluctant Viking #4

 “Whoa! Tunggu dulu. Cukup artinya cukup. Aku tidak melakukan striptease di depan umum.” Ketika melihat sang raja itu menelengkan kepalanya dengan bingung, Ruby menjelaskan, “Telanjang, membuka bajuku di depan umum. Tidak akan!”

“Kau berani mengatakan tidak kepadaku?” tanya Sigtrygg melalui giginya yang terkatup dan suara yang tidak menerima bantahan lebih jauh lagi dari Ruby. Pria itu mengangkat tangannya, hendak memukulnya lagi.

Olaf terbatuk dengan pelan, memberi tanda kepada Ruby untuk melakukan apa yang diminta sang raja itu. Ruby memejamkan matanya dengan lelah, memohon dengan putus asa agar perjalanan menembus waktu ini segera berakhir, tapi ia bisa merasakan kalau doanya tidak akan terkabul –paling tidak, bukan sekarang. Ia bertanya-tanya apakah ini adalah salah satu mimpi buruk di mana mereka akan berdiri telanjang di tengah ruangan dengan orang-orang yang berpakaian lengkap dan tertawa. Bagaimanapun juga, jalan terbaiknya sepertinya adalah mematuhi kata-kata pria itu.

“Oh, baiklah. Tapi hanya itu saja.”

Ruby membungkuk untuk melepaskan sepatunya, kemudian berpikir ia tidak mempertontonkan bokongnya kepada para pria Viking itu. Jadi, ia duduk di anak tangga terbawah, dan melepaskan sepatunya.

Oh, Tuhan, doanya, tolong biarkan aku terbangun sebelum mereka membunuhku. Apakah rasanya sakit kalau kepalanya dipenggal di dalam mimpi? Ruby bertanya-tanya ngeri.

Setelah melepaskan sepatunya, Ruby berdiri dan dengan menantang kembali menghadapi Thork dan Sigtrygg, menolak untuk menunjukkan rasa takutnya. Sungguh, itu bukan hal terburuk di dunia. Bagaimanapun juga, model-modelnya berjalan kesana-kemari dalam pertunjukkan lingerie di hadapan penonton yang lebih banyak lagi. Jadi, kenapa ia harus malu?

Dengan enggan, Ruby melepaskan kancing celananya dan menarik ritsletingnya ke bawah. Tapi Sigtrygg mengulurkan tangannya untuk menghentikannya.

Apakah ia diberikan penangguhan hukuman?

Ternyata ia tak seberuntung itu!

“Lakukan itu lagi,” perintah Sigtrygg dengan terpesona.

“Lakukan apa lagi?”

“Buka celanamu lagi. Dengan benda itu.”

Ruby melihat ke bawah, tidak mengerti.

Thork menunjuk ke arah ritsletingnya, bibirnya berkedut dengan tawa tertahan. “Maksudnya itu.”

Ritsleting itu pasti telah menarik perhatian Sigtrygg, Ruby menduga, menyadari kalau, tentu saja, ritsleting belum ditemukan saat itu. Ia menarik ritsletingnya ke atas, lalu ke bawah, lalu ke atas lagi, lagi dan lagi sementara Sigtrygg yang terpesona memberikan perintah, walaupun ia berusaha memberitahu kepada sang raja kalau benda itu hanya alat pengancing biasa.

Thork menyeringai geli melihat ketidaknyamanan Ruby dan senyum kekanak-kanakan sang raja.

Si brengsek itu!

Akhirnya, Ruby melepas celana jinsnya dan menyerahkannya kepada Sigtrygg agar pria itu bisa bermain sendiri dengan ritsleting sialan itu dengan sesuka hatinya.

Mata Thork menjelajahi tubuh Ruby dengan kilatan yang tak asing, yang hanya bisa dikenali olehnya saja, bertahan beberapa detik lebih lama di celana dalam hitam rendanya. Celana dalamnya tidak berpotongan bikini, bisa dibilang cukup konservatif, jauh dari celana dalam pendek transparan yang menggantung di pinggul, namun bagian kiri dan kanannya berpotongan tinggi.

Thork menyukai pakaian dalamnya. Itu tak diragukan lagi. Pria itu selalu menyukainya. Dan warna hitam adalah warna kesukaan pria itu. Terlepas dari bahaya yang dihadapinya, Ruby menikmati saat itu, senang melihat Thork bergerak-gerak dengan tidak nyaman. Mata pria itu menghindari matanya, mungkin takut tontonan yang memalukan itu terulang lagi.

Ruby menyukai tubuh kencang yang dilihatnya ketika ia menunduk. Badannya masih tetap tinggi, sekitar seratus tujuh puluh sembilan sentimeter, tapi dengan tulang yang kecil, payudara kencang, pinggang ramping, pinggul yang agak membulat dan kaki yang sangat panjang. Benar-benar usia dua puluhan.

Kerumunan orang di belakangnya bergumam dan komentar-komentar cabul dari para lelaki itu memberitahu Ruby kalau pria Viking lainnya juga menyadari pakaian dalamnya yang tidak biasa, walaupun Sigtrygg masih terpesona oleh ritsleting itu. Pria itu mungkin akan merusak benda itu dengan tangannya yang kikuk, lalu menyalahkan Ruby karena benda itu tidak berfungsi.

Ketika akhirnya perhatian Sigtrygg kembali padanya matanya yang masih bagus menyipit, memandangnya dengan curiga. Pria itu memandang ritsleting celananya lagi lalu kembali memandang Ruby dan berkata, “Siapa sebenarnya kau ini? Mungkinkah kau seorang penyihir?”

“Bukan!” Ruby langsung menyanggahnya, ingat peringatan Thork tentang ketidaksukaan Sigtrygg pada penyihir.

“Kurasa kita harus membakar penyihir ini,” ujar Sigtrygg.

Kerumunan itu bergumam lebih keras di belakangnya sekarang dan bukan dalam ketidaksetujuan, Ruby menyadari dengan penuh sesal. Mereka suka dengan ide itu.

Ya Tuhan! Orang-orang Viking ini memang haus darah, sama seperti yang diketahuinya dari penelitiannya beberapa tahun lalu ketika ia melacak asal usulnya hingga kembali ke zaman pra-Mediaval. Waktu itu ia berpikir kalau laporan itu bersifat bias, di mana mereka dianggap sebagai penjajah penyembah berhala dalam catatan-catatan sejarah para gerejawan. Sekarang ia tak terlalu yakin lagi.

Ketika Thork tidak mengatakan apa pun untuk membelanya dari tuduhan Sigtrygg sarta kemungkinan eksekusi yang akan dihadapinya, ruby tahu kalau ia harus berjuang sendirian. Pikirannya bekerja keras memikirkan rencana untuk menyelamatkan dirinya.

Hei! Itu mungkin saja bisa berhasil!

Dalam usaha terakhirnya untuk menyelamatkan diri, Ruby mengumumkan dengan keras, “Kau tahu, aku juga bangsa Viking.”

“Huh?” Thork dan Sigtrygg sama-sama berseru. Dan kerumunan itu mulai bergumam lagi. Tapi Ruby melihat Olaf mengejeknya dengan memberi tanda hormat, lalu tersenyum padanya sambil mengedipkan mata untuk memberikan semangat. Geez! Ia mulai menyukai pria itu.

“Jelaskan, Wench, dan tidak ada lagi kebohongan,” ujar Sigtrygg sambil memegang dagu Ruby yang masih sakit akibat perlakuan Thork sebelumnya.

“Kakekku, sekitar lima puluh generasi sebelumnya, adalah Hrolf, Duke of Normandy pertama.” Muka Ruby berkerut sebelum menambahkan, “Aku yakin orang-orang Saxon memanggilnya Rollo.”

Terdengar tarikan napas tak percaya menyebar di seluruh penjuru aula itu ketika mendengar pengakuan itu. Wajah Thork memerah, dan ia terlihat seakan-akan ingin mencekik Ruby.

Sigtrygg yang terkejut bertanya, “Kau mengatakan kalau dirimu adalah cucu dari sekutu kami, Hrolf?”

Jelas sekali, pria itu tidak mendengar bagian “lima puluh generasi sebelumnya.”  Ruby sudah hendak mengoreksinya, kemudian ingat peringatan dari sang raja itu untuk tidak mengatakan kepadanya kalau ia datang dari masa depan. Jadi, sambil menyilangkan jari-jarinya untuk keberuntungan, ia menjawab, “Ya, aku keturunan langsung dari Gongu-Hrolf,” menggunakan nama lengkap Nordic-nya, “The Marcher.”

Rubby memandang Plaf dan pria itu mengangguk menyatakan persetujuannya. Sejauh ini baik-baik saja.

“Apa kau tahu Hrolf dan ayahku bersekutu?” tanya Thork yang meragukannya dengan penuh selidik.

Ruby bisa merasakan kalau pria itu hendak menipunya, jadi ia menjawab, “Tidak, itu tidak benar. Ayah Hrolf, Earl Rognvald of More, adalah sahabat Harald, tapi King Harald menyatakan kalau Horlf seorang pemberontak dan mengusirnya dari Norwegia.”

Harapan Ruby membumbung ketika melihat ketidakpastian di mata Sigtrygg, tapi langsung terpuruk ketika Thork menyatakan dengan berapi-api, “Ini menggelikkan! Dia bukan orang Viking, sama seperti aku bukan… orang Saxon. Dia berbohong.”

“Mungkin,” Sigtrygg dengan jawab dengan ragu-ragu, menggigit bibir bawahnya sambil perpikir. Kemudian, tiba-tiba saja ia terlihat bosan dengan seluruh pembicaraan itu. “Bagaimana menurutmu, Thork? Kau yang memutuskan. Apakah kau akan menyiksanya sampai ia membocorkan rahasiannya? Atau kau akan memenggalnya dan mengirim kepalanya kepada Ivar dalam pakaian itu sebagai peringatan?”

Aku?” Thork mengeluarkan sumpah serapah dan memberitahu Sigtrygg, “Ini adalah malam pertamaku kembali ke Jorvik setelah dua tahun. Wanita ini bukan tanggung jawabku.”

“Oh,” ujar Sigtrygg dengan mulus, “Kupikir dia tiba di dalam salah satu kapalmu.”

“Itu tidak terbukti.”

“Dan tidak bisa dibuktikan sebaliknya.” Rasa tidak senang terdengar di suara raja. Suasana hati Sigtrygg telah berayun lagi –kearah yang buruk.

Olaf maju untuk berbicara dengan sang raja. “Bagaimana kalau dia benar-benar memiliki hubungan darah dengan Hrolf? Tidakkah kita harus memastikannya dulu? Bukankah kita sudah cukup banyak masalah dengan orang Saxon tanpa harus membuat orang hebat seperti Hrolf memusuhi kita? Apakah kita sudah siap untuk menyinggung teman kita?”

 Benar! Ruby melemparkan tatapan penuh terima kasih kepada Olaf. Kemudian ia berpaling kepada Thork, bibir tipis pria itu mencerminkan kegusarannya atas campur tangan Plaf. Thork mengucapkan kata “pengkhianat” tanpa bersuara.

Rahang Thork mengeras tapi tidak mengatakan apa pun. Rupanya komentar ruby sebelumnya tentang anak laki-lakinya masih melukai perasaan pria itu, begitu juga dengan ketertarikan terhadap ruby yang tidak dikehendakinya.

Ruby bersumpah kalau Thork akan membayar mahal karena mengabaikannya seperti ini. Mengabaikannya! Hah! Sama seperti Jack, pikir Ruby. Tapi ia tak punya waktu untuk memikirkan hal itu, karena sigtrygg meraung seperti seekor harimau gunung yang sedang marah, lagi.

Diam!” teriak sang raja, mengalahkan dengungan riuh di aula itu. “Cukup!”

Ketika keheningan menyelimuti ruangan besar itu. Sigtrygg mengeluarkan pernyataan, “Nasib budak ini akan diputuskan di Althing bulan depan. Selama itu, aku akan menempatkannya dalam penjagaan Thork Haraldson.”

Ssigtrygg menatap Thork dengan dingin, menantangnya untuk menolak.

“Jaga dia dengan hati-hati, Thork,” lanjut Sigtrygg, “tapi perlakukan dia dengan hormat sebagai cucu Hrolf… hanya untuk berjaga-jaga kalau ceritanya benar.”

Cucu! Ia tak pernah mengatakan “cucu”. Oh well itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan, sungguh. Semoga saja ia sudah terbangun dari mimpi ini sebelum ia harus membuktikan kata-katanya.

Ia akan segera bangun, bukan?

Orang-orang membubarkan diri, membentuk beberapa kelompok yang tersebar di seluruh penjuru aula, dan para pria Viking itu menegak ale mereka, termasuk Thork. Mata pria itu menusuknya dari atas pinggiran tanduk binatang yang digunakan sebagai gelas, memperingatkan Ruby akan pembalasan yang akan diterimanya. Kemudian Thork memberi tanda kepada Olaf, yang mengembalikan pakaian dan se[atu Ruby.

“Kita akan membawa wanita itu ke rumahmu, di mana aku sudah sangat rindu untuk melihat…” Ucapan Thork kepada Olaf itu berhenti ketika keduanya bertukar pandang dengan hati-hati. “Aku akan memberimu satu atau dua jam untuk menunjukkan kepada istrimu seberapa besar kau merindukannya,” Thork melanjutkan dengan seringai nakal. “Kemudian kita akan kembali ke pelabuhan untuk mengawasi pembongkaran muatan kapal kita.”

“Ya, aku tahu Selik, sekarang pun ia pasti sudah berbaring di antara paha wanita, bukannya di pelabuhan tempatnya seharusnya berada.”

Thork dan Olaf sama-sama tertawa.

“Aku harus pergi ke rumah kekakku di Notrhumbria besok. Dar sudah mengharapkan kedatanganku sejak berminggu-minggu yang lalu. Aku tahu kau akan menjaga wanita itu dengan baik sampai aku kembali nanti.”

“Kau akan tidur di rumahku malam ini?”

Thork terlihat ragu. “Tidak, itu tidak bijaksana.” Sekali lagi, kedua pria itu berbagi rahasia dan menganggukkan kepala mereka.

“Kapan kau akan kembali?” Wajah Olaf sama tidak menunjukkan perasaannya mengenai Ruby yang tiba-tiba dijatuhkannya di atas pangkuannya.

“Dua… tiga hari.”

Tiga hari! Ruby mengernyit membayangkan hidup tanpa Thork, walaupun hanya untuk beberapa hari. “Thork, kau tidak bisa meninggalkanku seperti ini. Kita harus bicara. Kau suamiku. Kau benar-benar suamiku. Bawa aku bersamamu.”

“Hanya dalam mimpimu saja!”

Airm mata menggenang di mata Ruby akibat perlakuan yang kasar itu. Ia menyekanya dengan punggung tangannya. “apakah kau sama sekali tidak peduli atas apa yang terjadi padaku?”

“Tidak sedikit pun!”

Dasar bajingan! Bagaimana ia bisa begitu tertarik dan pada saat yang bersamaan merasa jijik pada pria ini! Ruby bertanya-tanya pada diri sendiri. “Kau sama sekali tidak seperti Jack.”

“Bagus.”

“Kalau dipikir-pikir lagi, kau bahkan tidak sama tampannya dengan Jack,” Ruby berbohong sambil merajuk.

“Kau pikir aku peduli apakah aku menarik bagi wanita jelek seperti dirimu? Menurutku kau adalah wanita paling jelek yang lahir dari kalangan rendah dan seharusnya seudah ditenggelamkan ketika lahir, seperti kucing kurus."

"Kau... kau..."

"Kehabisan kata-kata, Manis?" tanya Thork sambil mencubit bokongnya dengan lancang ketika melewati Ruby. “Demi Thor! Lidahmu yang kelu itu adalah hal terbaik yang terjadi padaku sepanjang hari ini.” Ia membuka pintu dan melalui bahunya berseru kepada Olaf sembil tertawa, “Semoga beruntung, Sobat. Aku akan menemuimu di halaman setelah aku mengucapkan selamat tinggal pada Sigtrygg. Kurasa aku tidak berutang apa pun padamu dengan menempatkan wanita itu dalam penjagaanmu.”

“Sobat?” gerutu Olaf. “Sama sekali tidak ada persahabatan dalam tugas yang kau timpakan kepadaku. Lebih seperti hukuman.”

Suara kekehan Thork menggema di belakangnya ketika ia pergi, meninggalkan Ruby dan Olaf.

Hati Ruby sakit ketika ia menyaksikan Thork berjalan menjauh. Pria itu akan meninggalkannya. Anehnya, terlepas dari sifat kasar suami Vikingnya itu, ia merasa Jack seperti meninggalkannya sekali lagi. Dan rasa sakit itu tidak berkurang sedikit pun.

Kemungkinan besar Thork bukan suaminya. Pria itu tidak mungkin suaminya, tetapi tetap saja Ruby merasa kehilangan, ketika ia sadar kalau satu-satunya hubungan yang dimilikinya dengan kenyataan akan hancur seiring dengan kepergian Thork dari Jorvik.

Melihat kekecewaan di wajah ruby, Olaf memperingatkannya, “Matamu mengungkapkan isi hatimu, Mungil. Sebaiknya kau lebih berhati-hati menjaga hatimu dengan orang seperti thork. Di luar tempat tidur, wanita sama sekali tidak memiliki arti apa pun baginya.”

Ruby mendongak untuk memandang Olaf, yang sekarang sepertinya memegang kendali atas nasibnya, dan bertanya dengan penuh harap, “Apakah aku sudah memberitahumu kalau aku datang dari masa depan?”

Olaf bisa dibilang menggeram, mencengkram lengan atas Ruby dan menariknya ke arah pintu.

“Katakan itu kepada Gyda, istriku. Kemungkinan besar dia akan memukul kepalamu dengan sendok memasaknya. Mungkin setelah itu kita semua akan mendapatkan kelegaan.”

***

 

Fee, fie,fo, fum untukmu, Viking…

Ruby bisa dibilang berlari agar tidak ketinggalan oleh langkah Olaf dan Thork yang panjang ketika mereka berjalan menyusuri jalan menuju rumah Olaf. Rupanya rumah pria itu berada di pinggiran kota.

Ia berusaha untuk menanyakan barbagai hal menarik yang dilihatnya –bangunan sederhana berlapis jerami dengan pinggiran atap dari kayu yang diukir dengan sangat elok, pan pipes (alat musik tiup yang terdiri dari beberapabatang berongga dengan ukuran berbeda yang dijejerkan dan dijadikan satu) dan permainan-menggunakan-papan yang dimainkan oleh anak-anak berambut pirang di depan pintu yang terbuka, para pengrajin yang membuat perabotan indah dan perhiasan, dan semua kesibukan di sekitar mereka –tapi kedua pria itu menjawab entah hanya dengan satu kata atau tidak sama sekali.

Sebuah benda tajam menggesek telapak kaki Ruby yang sakit, dan ia berhenti. Dengan keras kepala ia duduk di atas sebuah bangku teduh yang tertimpa bayangan toko seorang pengrajin kayu, menunggu Thork dan Olaf untuk menyadari kalau ia sudah ketinggalan di belakang. Dan itu tidak butuh waktu lama.

“Kejahatan apa lagi yang kau rencanakan sekarang?” tanya Thork dengan nada mengancam.

“Tidak ada. Hanya saja ada batu di sepatuku, di bagian yang perih, dan ada dua laki-laki yang berpikir mereka sedang mengikuti Maraton Boston."

"Maraton?”

“Lupakan saja.”

Ruby memasang kembali sepatunya dengan perasaan khawatir kalau ia akan sering mengucapkan kata-kata itu sebelum mimpi ini berakhir.

Thork berdiri dengan kaki terentang, bergeser dari satu kaki ke kaki lain dengan tidak sabar. “Pakai sepatumu dan berhentilah membuang-buang waktu.”

“Tidak perlu marah-marah begitu, kan?” gerutu Ruby.

Olaf memperhatikan mereka berdua dengan geli.

“Sepatumu itu… tidak akan ada gunanya di tengah badai atau di tengah pertempuran,” komentar Thork dengan nada menghina. “Sebuah pedang bisa mengiris kainnya.”

Ruby tak bisa menahan senyumnya. “Kau benar. Sepatu ini memang tidak akan terlalu berguna di medan perang tapi sepatu ini bagus untuk joging.”

“Jiging? Apa lagi, itu?”

“Bukan, tolol. Kubilang joging. Akan kutunjukkan padamu. Ayo.” Ruby berlari di jalan, kearah yang mereka tuju. Butuh beberapa detik sebelum keduanya sadar kalau ia sedang melarikan diri dari mereka. Beberapa detik kemudian mereka berhasil mengejarnya. Thork mencengkram lengan atas Ruby dengan erat dan menariknya hingga berhenti.

“Berpikir untuk melarikan diri dariku? Kau mau menyuruhku bertanggung jawab pada Sigtrygg?”

“Tidak,” protes Ruby. “Aku hanya sedang mendemonstrasikan joging padamu. Itu yang dilakukan orang-orang… laki-laki dan wanita… untuk berolahraga di negaraku.” Sadar akan kejengkelan pria itu, Ruby menarik tangannya hingga terlepas dari cengkraman Thork dan berlari memutari pria itu untuk mendemonstrasikannya.

“Demi Thor!” seru thork. “Untuk apa orang melakukan itu? Apakah laki-laki di negaramu tidak menggunakan tubuh mereka setiap hari untuk berlatih militer? Dan wanita! Sungguh tidak pantas wanita berlari seperti itu!”

Ruby baru akan menjawab, tapi tahu kalau itu tidak akan mungkin. Bagaimana ia bisa menjelaskan kalau laki-laki di zamannya bekerja di kantor, di mana mereka akan duduk sepanjang hari, kalau pekerjaan di bidang militer bersifat sukarela dan olah raga yang paling banyak dilakukan oleh para laki-laki di masa depan adalah memukul sebuah bola kecil dengan sebuah tongkat di lapangan rumput? Atau wanita modern melakukan banyak sekali hal yang akan terlihat tidak layak bagi laki-laki Viking? Ia mengangkat bahunya.

Thork memandangnya dengan muak.

Hal itu menyakiti hati Ruby. “Kau tidak percaya kita menikah, bukan?”

Thork mengeluarkan suara mendengus yang kasar. “Humph! Sebaiknya kau melupakan kebohongan itu. Cucu Hrolf, beberap orang mungkin akan percaya, tapi menikah denganku? Tidak pernah.” Pria itu tersenyum mengejek padanya. “Mungkin kau menginginkan aku. Banyak sekali wanita yang seperti itu. Mungkin nafsumu membuatmu mengikutiku dari negaramu hingga sampai ke tempat ini. Tapi aku tidak pernah menikahi wanita mana pun, terutama sekali wanita sepertimu.”

“Dasar kau chauvinis egois! Apa yang salah denganku?”

Thork memandangnya dari atas ke bawah satu kali, dengan pandangan menghina. “Demi kaki Thor! Kau seperti laki-laki, dengan rambut pendek dan sikapmu yang kurang ajar itu. Dan hampir tidak ada daging yang menempel di tulangmu… tidak ada apa pun untuk menahan seorang pria ketika dia membenamkan dirinya ke dalam tubuhmy. Laki-laki lebih suka wanita yang lebih lembut dan feminin.”

“Aku melihat caramu memandangku ketika aku berdiri di aula,” bantah Ruby, terlepas dari rasa malunya. “Dan kau tidak kebal.”

“Hah! Kau berharap aku bersikap bagaimana? Demi Thor! Kau membuat setiap laki-laki di aula istana Sigtrygg terangsang ketika kau melepaskan pakaianmu dan memamerkan pakaian dalam yang memalukan itu.” Mata Thork yang berkilat dengan terang-terangan menatap Ruby, mengingatkannya kalau pria itu tahu apa tepatnya yang tersembunyi di balik kaus dan celana panjangnya.

“Terangsang! Memamerkan!” sembur Ruby. Kemudian ia menyeringai dan berbalik memandang pria itu dari atas ke bawah. Ia juga mengetahui pria ini, luar dan dalam. Ia telah mempelajari selera seksual pria itu dari bertahun-tahun latihan. Memangnya siapa yang mau dibodohinya? “Kau salah kalau kau pikir aku tidak bisa membuatmu tertarik padaku,” Ruby menantang sambil mengangkat dagunya dengan angkuh. “Kalau tidak, kau tidak akan menikahiku. Aku tahu lebih banyak tentang gairah seksualmu, lebih dari wanita mana pun. Apakah kau mau bertaruh?”

“Bertaruh?” Olaf melolong, tertawa melihat mereka berdua. “Apakah kau tidak mengerti maksud ucapan Thork, Wench? Laki-laki yang bertaruh, bukan wanita?”

“Demi semua dewa yang ada di dunia ini, harus kuakui aku belum pernah bertemu dengan wanita seperti kau selama ini.” Thork menggeleng takjub.

“Wll, apakah kita jadi bertaruh?”

“Tidak aku tidak bertaruh dengan wanita, ketika terutama sudah pasti kemenangan berada di tanganku.”

Ruby senang melihat setitik ketidakyakinan di mata pria itu, terlepas dari kata-katanya yang sombong.

“ayo,” Olaf mendesak dengan tidak sabar. “Sudah dua tahun aku pergi dari Jorvik dan sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengan istriku lagi.” Ia menggerak-gerakkan aisnya dengan nakal.

Setelah berjalan sekitar beberapa kilometer melalui jalan-jalan kota yang sempit, mereka tiba di daerah yang lebih sepi, di mana bangunan-bangunannya berukuran lebih besar dan jaraknya lebih berjauhan. Mereka berhenti di depan bangunan yang paling besar –dinding dari anyaman ranting dan lumpur dengan atap dari alang-alang seperti yang lainnya, tapi yang membedakan rumah itu dari rumah di sekitarnya adalah sebuah pintu dan pinggiran atap dari kayu ek yang diukir dan halamannya yang terawat. Sebuah jalur panjang dengan rumput yang dipotong pendek mengarah ke sungai.

Tiba-tiba, pintu itu mengayun terbuka dan segerombolan anak kecil yang menjerit dengan suara melengking berlarian keuar –semuanya perempuan– dengan umur mulai dari sekitar lima tahun hingga lima belas tahun, dengan rambut berwarna merah dalam segala variasi.

“Ayah! Ayah!”

“Akhirnya! Akhirnya! Kau pulang!”

“Apa yang Ayah bawa untukku?”

“Berapa lama Ayah akan tinggal?”

“Gendong aku. Gendong aku.”

“Apakah Ayah akan membawaku naik sampan lagi seperti waktu itu?”

Dengan satu anak perempuan di masing-masing tangannya dan yang lainnya berkumpul di sekelilingnya sambil memeluk dengan erat, Olaf tersenyum lebar, berusaha menjawab setiap pertanyaan itu secara bergantian dengan kesabaran seorang ayah. Akhirnya, ketika ia menurunkan kedua anak perempuan yang paling muda ke tanah dengan lembut, ia berkata, “Anak-anak, aku akan memperkenalkan kalian kepada tamu kita.”

Olaf menyuruh Ruby maju dan mengatakan dengan bangga, “Ruby, mereka adalah putri-putriku.” Ia menunjuk mereka satu per satu sesuai ukuran tubuh mereka, dimulai dengan yang termuda. “Tyra, Freydis, Thyri, Hild, Sigrun, gunha, Astrid.”

Tujuh! Pria ini punya tujuh anak perempuan!

Seorang wanita berdiri diam di pintu, menyaksikan reuni membahagiakan antara ayah dan anak-anaknya, lalu bergerak ke arah Thork dan membisikkan sesuatu padanya. Pria itu berjalan ke bagian samping bangunan itu dan menghilang dari pandangannya. Kemudian Gyda berpaling kepada suaminya dengan senyum hangat.

Istri Olaf yang cantik memiliki rambut pirang dikepang, yang kemudian dililitkan sehingga membentuk semacam mahkota di atas kepalanya. Dengan umur kurang lebih sama dengan Olaf, yang sepertinya beada di akhir tiga puluhan. Gyda bertubuh pendek, agak montok dan feminin –jelas sekali tipe wanita ideal yang dibicarakan oleh thork dan Olaf sebelumnya.

“Selamat datang, Suamiku,” sapa Gyda dengan lembut sambil melangkah ke depan.

“Senang rasanya bisa kembali ke rumah,” Olaf membalas dengan senyum lebar dan kilatan di matanya.

Dengan satu sapuan, Olaf mengangkat Gyda ke dalam pelukannya dan memutarnya, memeluk wanita itu dengan hangat. Gyda membenamkan wajahnya ke leher suaminya, berpegangan erat di bahu Olaf sementara roknya melayang di atas tanah. Ketika ia mengangkat matanya yang basah, Olaf menciumnya dengan berisik, meletakkan satu tangannya ke bawah lutut istrinya dan membopongnya tanpa ragu-ragu ke dalam rumah, meninggalkan mereka semua di luar.

Dengan malu Ruby memalingkan matanya kepada anak-anak yang berdiri di dekatnya, berharap mereka tidak mendengar Olaf bertanya dengan penuh arti kepada istrinya sebelum pintu tertutup, “Apakah kau mau melihat hadiah yang kubawakan untukmu?”

Tapi anak-anak perempuan itu terlihat biasa-biasa saja. Yang paling tua, astrid, memberitahu Ruby tanpa malu-malu, “Mereka senang melepas rindu mereka berduaan saja.” Tak diragukan lagi kalau anak-anak itu tahu persis apa yang sedang dilakukan orang tua mereka.

“Kau mau melihat bebek di sungai?” tanya anak perempuan yang paling kecil, Tyra, yang berusia sekita lima tahun, dengan penuh harap. Ketika Ruby mengangguk, gadis itu tersenyum dengan memikat, memperlihatkan dua gigi depan yang ompong. Ia meletakkan tangannya yang mungil ke dalam tangan Ruby dan menariknya ke bagian samping rumah itu.

Jantung Ruby berhenti. Ia selalu menginginkan gadis kecilnya sendiri, persis seperti Tyra yang, dengan gigi ompongnya, dengan polosnya menawarkan Ruby sambutan tulus pertama yang diterimanya sejak ia tiba di wilayah asing itu – seorang anak perempuan yang bisa dimanjakannya dengan gaun penuh renda dan busa mandi dengan wangi bunga, seorang anak perempuan yang akan menangis terisak bersamanya ketika menonton film sedih, serta berbagi kecintaannya pada menjahit.

Ia dan Jack seharusnya punya anak lagi. Pikiran yang tiba-tiba melintas di benaknya itu membuat Ruby tersentak. Selama ini mereka selalu berencana untuk menambah anak, tapi sejak ia memulai bisnis lingerie-nya dan resesi menghantam pasar real estat, ssepertinya tidak ada waktu yang cukup untuk mewujudkan hal itu. Ruby tidak bisa ingat kapan terakhir kaloi mereka membicarakannya.

Apakah sekarang sudah terlalu terlambat? Apakah ia sudah terlalu tua? Apakah Jack masing menginginkan anak lagi? Itu adalah hal yang masih perlu diperdebatkan, sungguh, kecuali Jack kembali kepadanya. Atau kalau ia bisa kembali ke masa depan.

Sakit kepala kembali menghantam Ruby dengan kekuatan penuh. Ia menggelengkan kepala untuk menghentikan pikirannya yang melantur.

Mereka memutari rumah dan berjalan melewati sebuah sumur dan lubang sampah yang tertutup, kemudian menuruni tanah melandai yang lembut. Kakak-kakak Tyra yang penasaran berjalan tak jauh di belakang mereka, sehingga mereka sendiri terlihat seperti gerombolan bebek dalam pakaian panjang berwarna terang yang dilapisi pakaian luar bermodel celemek dengan warna putih cemerlang.

Ruby duduk di atas bangku kayu yang kokoh di tepi sungai sementara Tyra merogoh ke dalam saku celemeknya dan menarik segenggam remah roti.

“Kau ingin memberi makan bebek-bebek itu?”

“Oh, ya,” jawab Ruby dengan antusias, memperhatikan bagaimana hal-hal kecil seperti itu membuat anak-anak bahagia. Apa yang terjadi ketika seseorang tumbuh menjadi dewasa, sehingga mereka kehilangan kemampuan untuk menikmati berkah kecil yang diberikan Tuhan kepada mereka – matahari terbenam yang indah, seorang anak yang tertawa, bebek yang berjalan berlenggak-lenggok di sore musim panas, cinta dari seorang pria yang baik?

Berlusin-lusin bebek kemudian berkumpul di tempat itu. Gadis-gadis itu tertawa dengan riang melihat tingkah hewan rakus yang mendorong teman-temannya ke samping untuk bisa mendapatkan makanan.

Perlahan-lahan, anak-anak perempuan itu bergeser semakin dekat dengan bangku tempat Ruby duduk, dan akhirnya Astrid, yang paling tua, duduk di ujung yang berseberangan dari Ruby dan bertanya, “Apakah tadi Ayah mengatakan namamu Ruby?”

Ruby tersenyum. “Ya, Ruby Jordan.”

“Seperti permata?”

“Ya.”

“Oh. Aku belum pernah mendengarnya digunakan sebagai nama sebelum ini.”

“Di negaraku, ada banyak sekali perempuan yang dinamakan seperti batu.” Ruby menjelaskan, “seperti Emerald. Opal, Pearl, Garnet dan Jade. Tapi sebenarnya, namaku tidak berasal dari batu mulia. Ibuku menamai aku dan adik perempuanku…” Ia tidak pernah menyelesaikan penjelasan itu karena mulai terdrngar suara koakan liar dan Tyra buru-buru naik ke tepi sungai sambil mengomel kalau salah satu bebek itu hampir saja menggigitnya, hanya karena ia memegang remah-remah terakhir yang tak bisa diraih bebek itu.

“Kau tahu, Tyra, remah-remag rotimu itu mengingatkanku pada sebuah kisah yang disukai anak-anakku, tentang seorang anak laki-laki dan perempuan yang tersesat di hutan walaupun mereka memiliki rencana yang melibatkan… kau tak akan memercayainya!... remah-remah roti. Apakah kau ingin mendengarkan ceritanya?

“Ya! Ya! Ya! Aku sangat menyukai cerita! Hampir sama seperti aku suka dengan bebek! Atau anak anjing! Atau kue stroberi!”

“Diamlah, Tyra,” salah satu kakaknya menegur gadis cilik itu. Mereka semua sudah lebih dekat sekarang, an sepertinya Tyra bukan satu-satunya yang senang mendengarkan dongeng. Beberapa duduk di samping Ruby di atas bangku dan yang lainnya duduk di atas rumput di hadapannya.

“Judul cerita ini adalah Hansel dan Gretel,” mulai Ruby. “Pada suatu masa…” Ketika ia menyelesaikan cerita anak-anak yang indah itu, mereka memohon kepadanya untuk menceritakan lagi.

“Apakah kau akan tinggal lama dengan kami?” tanya Tyra.

“Aku tidak tahu. King Sigtrygg punya pendapat konyol kalau kemungkinan besar aku adalah mata-mata bagi seorang musuhnya yang bernama Ivar.”

“Ivar si Kejam!” Anak-anak itu terkesiap secara bergantian dan menjauh darinya dengan takut. “Seorang mata-mata!”

“Sebenarnya, raja itu lebih tertarik untuk menyelidiki pernyataanku mengenai hubungan darah yang kumiliki dengan Hrolf di Normandia.”

“Kau memiliki hubungan dengan Hrolf?” Astrid yang terkesima kembali bertanya. “Aku pernah melihatnya bertahun-tahun yang lalu di Hordaland. Badannya besar sekali. Bahkan lebih tinggi dari ayahku. Dan tampan seperti semua dewa.” Wajah gadis itu memerah karena antusiasmenya yang berlebihan.

“Anak-anak, ibu kalian membutuhkan bantuan,” Olaf memanggil dari belakang rumah. Ketujuh anak perempuan itu memutar kepala mereka dan berlari ke halaman untuk memeluk ayah mereka sekali lagi. Ruby tertawa mendengar beberapa nama bercampur aduk dalam celotehan mereka, seperti Hansel, Ivar, Hrolf, dan Ruby.

Olaf memandang Ruby dengan penuh tanya setelah anak-anak perempuan itu masuk ke rumah lewat pintu belakang. Pria itu berjalan dengan santai menuruni halaman, terlihat sangat puas, dan menjatuhkan badannya ke atas bangku di samping Ruby, kakinya diselonjorkan ke depan, sepenuhnya santai.

Laki-laki! Tak peduli zaman, mereka sama saja. Beri mereka sedikit cinta dan mereka menjadi lembek. Entah dari mana, sebuah pikiran yang mengganggu merayap ke dalam kepala Ruby. Mungkin ia seharusnya lebih sering melakukannya dengan Jack selama tahun-tahun belakangan ini. Malahan, hal itu tidak perlu dipertanyakan.

Menyingkirkan pikiran bersalah itu ke bagian belakang benaknya, Ruby berbalik kepada Olaf dan berkata, “Jadi, apakah sehebat itu rasanya bisa berada di rumah lagi?”

 

“Lebih,” balas Olaf dengan menyeringai. Lalu ia menambahkan. “Dalam kegembiraanku berkumpul kembali dengan keluargaku, aku lupa melakukan tindakan pencegahan terhadap dirimu. Aku sangat beruntung kau tidak melarikan diri. Selanjutnya, salah satu pelayanku akan mengawasimu sepanjang waktu.”

“Humph! Itu tidak perlu. Aku akan pergi ke mana? Ke pelabuhan? Aku bisa membayangkannya, aku berusaha untuk menyelinap ke dalam sebuah kapal yang akan berangkat ke Amerika. Tempat itu bahkan mungkin belum ditemukan saat ini!”

Olaf menggeleng ketika mendengar kata-kata Ruby yang aneh. “Kau masih saja bertahan dengan cerita yang tidak masuk akal. Bukankah Sigtrygg sudah memperingatkanmu tentang hal itu?”

“Ya, tapi kukira kau tidak akan keberatan.”

“Untuk itu, aku keberatan dan terutama dengan anak-anakku.”

Olaf berdiri untuk kembali ke rumah ketika perhatian Ruby teralihkan oleh Thork, yang datang dari arah sungai, ditemani oleh dua anak laki-laki dengan jala di bahu mereka.

Ketika kedua anak laki-laki itu, sekitar delapan dan sepuluh tahun, melihat Olaf, mereka berlari ke arahnya, memanggil pria bertubuh besar itu. Ketika kedua bocah yang berambut gelap itu mendekat, jantung ruby mulai berdegup dengan liar. Ini tidak mungkin! Oh, Tuhan! Mereka terlihat persis seperti kedua putranya ketika mereka berusia sepuluh dan delapan tahun.

Ruby melompat berdiri dari bangku yang didudukinya dan berlari ke arah mereka. “Eddie! David! Bagaimana kalian bisa ada di sini? Aku senang sekali melihat kalian!”


Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar