Home

Rabu, 06 Maret 2024

The Bride #2

Agnes berhenti meraung. “Rencana? Apa yang kau pikirkan?”

“Aku memikirkan sebuah rencana licik dan aku nyaris ketakutan untuk menyebutkannya. Tapi, kemaslahatan kalian terancam, maka aku akan memberitahu bahwa kalau aku jadi orang-orang Skotlandia itu, aku pasti akan menghindari calon yang … entah bagaimana agak terganggu mentalnya.”

“Seringai perlahan-lahan mengembang di wajah Mary. Ia selalu yang paling cepat menangkap ide-ide Jamie, terutama yang sifatnya licik. “Atau jelek sekali sampai-sampai mereka tidak sanggup melihat,” katanya sambil mengangguk. Mata coklatnya berbinar jahil. “Agnes, kau dan Alice bisa jadi orang yang terganggu mentalnya. Aku akan menjadi gadis gemuk dan jelek.”

“Terganggu mentalnya?” tukas Alice,masih bingung. “Apa kau paham maksudnya, Agnes?”

Agnes mulai terbahak. Hidungnya merah karena mulai digosok-gosok dan pipi merahnya basah oleh air mata. Tapi saat ia tersenyum, ia tampak sangat cantik. “Penyakit yang mengerikan. Kita harus makan buah beri. Ruamnya hanya bertahan beberapa jam, jadi kita harus mengatur waktunya dengan pas.”

“Sekarang aku mengerti,” kata Alice. “Kita akan membuat pria-pria dungu itu mengira kalau kita memiliki wajah bentol-bentol.”

“Aku akan meneteskan liur,” tambah Agnes sambil mengangguk, “dan menggaruk-garuk sampai mereka mengira aku tidak pernah mandi.”

Keempat gadis itu terbahak-bahak membayangkannya. Sang baron pun jadi lebih berani. Ia tersenyum pada putri-putrinya. “Nah, apa kalian paham sekarang? Sudah kubilang kita akan menemukan jalan keluar.” Tentu saja, ia tidak bilang seperti itu tadi, tapi kenyataan itu tidak mengusiknya. “Aku akan pergi sementara kalian meneruskan rencana kalian.” Tapi tampaknya Baron Jamison tidak bisa cepat-cepat meninggalkan aula.

“Orang-orang Skotlandian ini mungkin tidak akan peduli dengan penampilan kalian,” kata Jamie, khawatir karena telah memberikan harapan palsu pada kakak-kakaknya.

“Kita hanya bisa berdoa semoga mereka dungu,” cetus Mary.

“Apakah kita berdosa bila memperdayai mereka?” tanya Alice.

“Tentu saja,” jawab Mary.

“Sebaiknya kita tidak mengaku ke Bapa Charles,” bisik Agnes. “Dia akan memberi hukuman sebulan. Lagi pula, yang kita tipu bangsa Skotlandia, jadi kurasa Tuhan pasti akan paham.”

Jamie meninggalkan kakak-kakaknya dan pergi mengunjungi kepala istal. Beak, seperti itulah julukan yang diberikan teman-teman pria itu karena hidungnya yang besar seperti gagak, adalah seorang laki-laki tua yang sudah lama menjadi orang kepercayaan Jamie. Jamie memercayai Beak sepenuhnya. Beak tidak pernah membeberkan perkataan Jamie kepada orang lain. Ia juga bijak. Beak mengajarkan semua ketrampilan yang dianggapnya akan Jamie butuhkan. Jamie lebih seperti anak laki-laki dibanding anak perempuan baginya.

Mereka hanya tidak sepakat mengenai satu hal, yaitu Baron Jamison. Beak menunjukkan dengan cukup gamblang ketidaksetujuannya dengan cara sang baron memperlakukan putri bungsunya. Di lain pihak, karena ia merasa baik-baik saja, Jamie tidak bisa mengerti mengapa Beak mereas demikian. Mereka tidak bisa sepakat mengenai hal ini, jadi mereka selalu menghindari topik tersebut.

Jamie menunggu sampai Beak selesai menyuruh Emmet keluar istal untuk melakukan perintahnya, lalu menceritakan semuanya. Beak mengusap-ngusap rahangnya sementara mendengarkan, tanda bahwa ia menyimak cerita itu dengan perhatian penuh.

“Semua ini sebenarnya salahku,” aku Jamie.

“Kenapa kau berpikir begitu?’” tanya Beak.

“Aku seharusnya memeriksa pengumpulan pajak itu,” Jelas Jamie. “Sekarang, kakak-kakakku yang harus membayar harga kemalasanku.”

“Kemalasan apanya?” sanggah Beak. “Satu-satunya tugas rumah tangga yang bukan menjadi tanggung jawabmu adalah pajak dan pengawasannya, Nak. Kau sudah setengah mati melakukan pekerjaanmu. Semoga Tuhan mengampuni aku karena telah mengajarimu macam-macam. Kau seorang lady yang cantik, Jamie, tapi kau menjalankan tugas seorang pria. Akulah yang seharusnya disalahkan.”

Jamie sama sekali tidak tertipu dengan ekspresi sedih Beak. Ia tertawa.

“Kau sudah terlalu sering menggembar-gemborkan kemampuanku, Beak. Aku tahu kau bangga padaku.”

“Aku memang bangga padamu,” kata Beak sambil bersungut-sungut. “Tapi, tetap saja aku tidak mau mendengarmu menyalahkan dirimu sendiri atas kesalahan ayahmu.”

“Beak…”

“Kau bilang kau tidak masuk dalam perintah ‘pemilihan istri’ itu” tanya Beak. “Apa kau tidak merasa kalau itu agak aneh?”

“Aku memang merasa ada yang aneh, tapi sang raja pasti punya alasan tersendiri. Aku tidak pantas untuk meragukan keputusannya.”

“Apa kau melihat surat itu, Jamie? Apa kau membacanya?”

“Tidak, Papa tidak mau aku repot-repot membacanya,” jawab Jamie. “Beak, apa yang sedang kau pikirkan? Tiba-tiba sorot matamu tampak kejam.”

“Kurasa ayahmu sedang merencanakan sesuatu,” sahut Beak. “Sesuatu yang memalukan. Aku telah mengenal ayahmu sedikit lebih lama drimu, Nak. Aku sudah tahu tingkah laku ayahmu sebelum kau bisa berjalan. Sekarang kuberitahu kau bahwa ayahmu pasti sedang merencanakan sesuatu.”

“Papa telah menganggapnya sebagai anaknya sendiri,” kata Jamie. “Tolong jangan lupakan kebaikan hati itu, Beak. Papa seorang pria yang baik.”

“Aye. Dia memperlakukanmu dengan adil dengan memanggilmu putrinya, tapi tidak sama sekali mengubah fakta yang ada.”

Pada saat itu, si pengurus kuda, Emmet, berjalan kembali ke istal. Jamie tahu kebiasaan Emmet menguping pembicaraan orang lain, dan langsung mengganti percakapan ke bahasa Gael sehingga obrolan mereka bisa terus berlanjut secara pribadi. “Kesetiaanmu tidak tulus,” bisiknya sambil menggelengkan kepala.

“Hah, aku setia padamu. Tidak ada orang yang peduli dengan masa depanmu. Nah, berhentilah bersungut-sungut dan katakan kapan orang-orang Skotlandia itu tiba.”

Jamie tahu Beak sengaja menghindari pembahasan soal ayahnya dan ia bersyukur. “Satu minggu lagi, Beak. Aku harus bersembunyi seperti tahanan sementara mereka di sini. Menurut Papa, akan lebih baik kalau mereka tidak melihatku, walaud aku tidak paham kenapa. Tapi, itu juga sulit sebab tugas-tugasku mengharuskan aku terloihat lalu lalang setiap harinya. Siapa yang akan berburu untuk makan malam kami? Berapa lama menurutmu mereka akan tinggal di sini, Beak? Kemungkinan besar seminggu, menurutmu begitu, kan? Aku harus menggarami lebih banyak daging babi kalau…”

“Aku harap mereka tinggal sebulan,” sela Beak. “Dengan begitu kau akan mendapat istirahat yang kau perlukan,” lanjutnya. “Jamie, aku sudah pernah mmengatakan ini dan akan mengatakannya lagi. Kau sedang menggali kuburanmu sendiri, bekerja dari matahari terbit sampai matahari tenggelam. Aku mencemaskanmu, Nak. Aku lebih senang mengingat masa lalu, sebelum ibumu sakit, semoga Tuhan mendamaikan jiwanya. Besar tubuhmu tidak lebih dari seekor ngengat, tapi tetap saja pembuat onar. Ingat sewaktu aku harus memanjat bagian luar dinding untuk membawamu turun? Kau meneriakkan namaku berkali-kali, sungguh. Dan aku yang takut ketinggian, langsung muntah begitu menurunkanmu. Sungguh memalukan. Kau mengikatkan tali rapuh di antara kedua menara, mengira bisa berjalan menyeberanginya dengan cepat.”

Jamie tersenyum mengingatnya. “Aku ingat kau memukuli punggungku. Aku tidak bisa duduk selama dua hari.”

“Tapi kau membantah tudingan ayahmu kalau aku memukulmu, karena mengira aku akan kena masalah. Iya, kan?”

“Kau pasti kena masalah,” sahut Jamie.

Beak tertawa. “Jadi, kau mendapat pukulan lagi dari ibumu. Dia tidak akan menghukummu kalau tahu bahwa aku sudah mendisiplinkanmu.”

“Saat itu kau menyeleamatkan aku dari kematian,” Jamie mengakui.

“Aku telah menyelamatkanmu lebih dari satu kali dan itu benar adanya.”

“Itu sudah lama berlalu,” Jamie mengingatkan Beak dengan senyuman lembut. “Sekarang aku sudah dewasa. Aku punya banyak tanggung jawab. Bahkan Andrew paham keadaannya, Beak, kenapa kau tidak?”

Beak tidak mau menyinggung topik yang sensitif itu. Beak tahu ia akan menyakiti perasaan Jamie kalau memberitahukan pendapat yang sebenarnya mengenai Andrew. Walau secara kebetulan baru satu kali bertemu dengan Baron Andrew sang Pesolek., Beak sudah bisa menilai karakter lemah pria itu. Pikiran Andrew seketat celana selututnya. Sepanjang waktu Andrew hanya memikirkan dirinya sendiri. Sungguh, tiap kali Beak memikirkan Jamie tersayangnya disandingkan dengan orang lembek seperti itu, perutnya jadi mulas.”

“Kau butuh laki-laki yang kuat, Nak. Selain diriku, tentu saja. Aku tidak tahu apa kau pernah bertemu pria sejati. Masih ada seberkas sifat liar dalam dirimu. Kau ingin bebas, entah kau menyadarinya tau tidak.”

“Kau melebih-lebihkan, Beak. Aku tidak liar, tidak lagi.”

“Kau kira aku tidak pernah melihatmu berdiri di punggung kuda betinamu sambil berpacu kencang menyusuri padang rumput selatan, Jamie? Aku tidak pernah mengajarimu trik itu. Kau senang menantang maut, ya?”

“Beak, selama ini kau mengawasiku?”

“Memang harus ada orang yang mengawasimu.”

Jamie mengembuskan desahan lembut, lalu mengembalikan topik pembicaraan mereka ke orang-orang Skotlandia itu. Beak mengikuti keinginan Jamie. Ia berharap dengan mendengarkan Jamie, ia bisa sedikit meringankan beban gadis itu.

Ketika Jamie beranjak untuk mengerjakan tugas-tugasnya kembali, pikiran Beak berputar-putar dengan kemungkinan-kemungkinan baru.

Baron Jamison pasti sedang memainkan tipu daya; Beak berani mempertaruhkan nyawanya. Yah, ia bertekad tidak akan membiarkan tuannya lolos.

Beak bertekad untuk menjadi penyelamat Jamie. Namun, pertama-tama ia harus menilai orang-orang Skotlandia ini. Kalau salah satunya ternyata pria yang takut akan Tuhan dan menyayangi wanita, maka ia bersumpah akan mencari cara untuk menyeret lord tersebut dan mengatakan bahwa Baron Jamison bukan hanya memiliki tiga orang putri, melainkan empat.

Aye, ia akan mencoba menyelamatkan Jamie dari nasib malang gadis itu.

Jika Tuhan menghendaki, ia akan membebaskan Jamie.

***

 

Sang pastor, Murdock, baru saja memberitahu kami bahwa Alec Kincaid akan pulang membawa seorang mempelai wanita berkebangsaan Inggris. Akan ada banyak cibiran, tapi bukan karena ketua klan kami itu telah menikah kembali. Nay, amarah itu karena pengantin wanita itu berkebangsaan Inggris. Alec hanya menaati perintah raja, kata orang lain yang membelanya. Namun, tetap saja ada orang-orang yang menyuarakan rasa penasaran mereka tentang bagaimana mungkin ketua klan mereka bisa menerima tugas itu.

Oh Tuhan, aku harap Alec jatuh cinta padanya. Ini mungkin harapan kosong, sebab Alec terlahir untuk melawan orang-orang Inggris seperti juga kami semua.

Tapi… tentu saja itu akan membuat pembunuhannya jauh lebih manis.

***

 

Alec Kincaid ingin cepat-cepat pulang. Ia telah memenuhi permintaan King Edgar dan tinggal di London selama nyaris satu bulan, mempelajari tata krama istana Inggris dan semua hal yang bisa dipelajarinya mengenai raja inggris yang tidak bisa ditebak itu. Sebenarnya, Alec tidak terlalu menyukai tugas tersebut. Menurutnya, para baron Inggris hanyalah kumpulan orang-orang yang angkuh; para wanitanya berotak udang dan luar bisa tidak bersemangat; sementara pemimpin mereka, Henry terlalu lemah dalam sebagian besar keputusannya. Namun, Alec mengakui kalau ada satu atau dua kesempatan di mana ia benar-benar terkesan dengan kebrutalan King Henry. Sang raja menjatuhkan hukuman keras bagi para baron bodoh yang terbukti berkhianat.

Walau Alec tidak mengeluhkan tugasnya, ia tetap bersyukur tugas itu sudah selesai. Sebagai ketua klan dengan banyak pengikut, ia merasa tanggung jawab besarnya hanya membebaninya. Wilayahnya di Skotlandia mungkin sedang kacau balau sekarang, apalagi dengan klan Campbell dan MacDonald yang sedang berseteru dan hanya Tuhan yang tahu masalah apa lagi yang akan ia dapati sedang menunggunya di ambang pintu.

Kini, ada penundaan lagi. Ia harus menikah.

Bagi Alec, pernikahan dengan seorang wanita Inggris yang tidak dikenalnya hanyalah sebuah gangguan kecil, tidak lebih. Ia bersedia menikahi wanita itu demi menyenangkan King Edgar. Tentu saja, wanita itu pun pasti hanya mematuhi perintah King Henry, sebab memang begitulah segalanya berjalan di masa ini karena kedua pemimpin itu terus berusaha menjalin ikatan rapuh antara satu sama lain.

Secara khusus, King Henry telah meminta Alec Kincaid untuk menjadi salah satu laird yang menjemput mempelai Inggris. Alec dan Edgar tahu mengapa Henry mengajukan permintaan khusus itu. Alec Kincaid salah satu ketua klan termuda di Skotlandia, tetapi merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, Alec membawahi sekitar delapan ratus prajurit berdasarkan perhitungan tahun lalu, tapi jumlah itu akan bertambah dua kali lipat kalau ia meminta bantuan sekutunya.

Ketrampilan Alec Kincaid dalam pertempuran merupakan legenda yang disebarkan dengan berbisik di Inggris, dan kebanggaan yang ditriakkan di Skotlandia.

Henry juga tahu kalau Alec tidak terlalu menyukai orang Inggris. Henry mengatakan pada Edgar bahwa ia berharap pernikahan ini akan melembutkan perilaku ketua klan yang sangat berkuasa itu. Mungkin, kata Henry, lambat laun akan tercipta keharmonisan.

Namun, Edgar jauh lebih cerdik daripada yang dikira Henry. Edgar sudah mengira kalau Henry ingin menggoyahkan kesetiaan Alec.

Alec dan Edgar sangat geli dengan kenaifan Henry. Edgar memang menjadi bawahan Henry sejak hari pertama ia berlutut di kaki raja Inggris itu dan bersumpah. Ia juga dibesarkan di istana Inggris. Namun, ia tetaplah raja Skotlandia dan kepala klannya yang setia tentu lebih didahulukan daripada siapa pun… terutama orang luar.

Henry jelas tidak memahami ikatan darah, Alec dan Edgar yakin bahwa raja Inggris itu hanya melihat kemungkinan persekutuan yang kuat di balik perintah ini. Namun, Henry sudah salah menilai Alec Kincaid, sebab Alec jelas tidak akan berpaling dari Skotlandia, apa pun insentifnya.

Daniel, kawan Alec sejak kanak-kanak dan tak lama lagi akan menjadi ketua klan Ferguson, juga diperintahkan untuk memperistri wanita Inggris. Daniel pun telah melewatkan satu bulan yang melelahkan di London. Baginya, tugas ini tidak menyenangkan, sama seperti Alec, dan mereka sama-sama ingin segera pulang.

Kedua pria itu berkuda dengan sangat cepat sejak fajar dan hanya berhenti dua kali untuk mengistirahatkan kuda mereka. Mereka hanya ingin melewatkan satu atau dua jam di tanaj Jamison. Dua jam pasti lebih dari cukup, pikir mereka, untuk makan, memilih mempelai, menikahi keua weanita itu seandainya ada pastor di kediaman itu, lalu pergi.

Mereka tidak mau melewatkan satu malam lagi di tanah Inggris. Tidak penting kalau mempelai mereka menginginkan hal berbeda. Lagi pula, wanita hanyalah properti dan Daniel maupun Alec sama sekali tidak menganggap keinginan mempelai mereka penting.

Mereka akan melakukannya sesuai dengan yang diperintahkan, habis perkara.

Karena ia melemparkan ranting pohon lebih jauh daripada kawannya, Alec-lah yang memenangi hak istimewa untuk memilih pertama kali. Sebenarnya, keduanya tidak terlalu peduli.

Aye, mereka hanya sedang menyelesaikan sebuah urusan, dan urusan itu sungguh mengganggu.

***

 

Si Iblis dan pengikutnya tiba di kediaman Baron Jamison tiga hari lebih awal dari jadwal.

Beak-lah yang pertama kali melihat panglima perang Skotlandia itu dan yang pertama kali memberikan julukan yang sesuai tersebut. Beak sedang duduk di anak tangga teratas yang digunakan untuk mencapai loteng dan mengira saat itu waktunya untuk tidur sebab hari sudah menjelang petang dan ia telah bekerja keras tanpa henti sejak makan siang. Namun, Lady Mary menyeret adiknya, Jamie, ke padang rumput selatan dan ia harus mengejar mereka untuk memastikan mereka tidak melakukan hal-hal yang jahil. Ketika Mary merengek agar Jamie mau meninggalkan tugas-tugasnya, sifat liar Jamie kadang-kadang menguasainya. Satu lagi alasan mengapa Jamie membutuhkan seorang pria yang kuat untuk mengawasinya. Astaga, Jamie-nya yang manis bahkan bisa membujuk seorang pencuri agar tidak mencuri kalau gadis itu sudah membulatkan tekad. Dan hanya Tuhan yang tahu apa yang akan Mary lakukan atas bujukan Jamie.

Punggung Beak menggelenyar hanya dengan memikirkan semua kemungkinan itu. Ya, ia harus mengejar pasangan yang liar itu.

Beak menguap keras dan mulai menuruni tangga. Ia tengah menginjak anak tangga kedua dari atas ketika melihat kedua pria bertubuh besar itu berkuda menuju ke arahnya.

Beak nyaris kehilangan keseimbangan. Ia tahu mulutnya menganga seperti anak burung gereja yang menunggu makanan dari ibunya, tapi ia tidak bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Ia berhasil menghentikan dirinya membuat tanda salib dan bersyukur para pria itu tidak bisa mendengar lututnya yang gemetaran katika akhirnya berhasil menuruni sisa anak tangga.

Beak bisa merasakan jantungnya berdentam-dentam di dalam dada. Ia mengingatkan dirinya bahwa ada darah skotlandia yang mengalir di pembuluh darahnya, walau darah itu berasal dari nenek moyangnya di wilayah yang lebih beradab. Beak juga berusaha mengingatkan dirinya kalau ia tidak boleh menilai seseorang hanya dengan penampilannya. Kedua hal itu tidak bisa meredakan reaksi awal Beak terhadap dua laki-laki bertubuh besar yang sedang mengamatinya dengan saksama.

Beak mulai gemetaran. Ia memaklumi kepengecutannya dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia hanyalah seorang laki-laki biasa, dan melihat kedua pria perkasa ini membuatnya merinding hebat.

Laki-laki yang Beak anggap sebagai pengikut si iblis bertubuh tinggi dan kekar dengan bahu lebar, rambutnya sewarna karat, dan matanya sehijau lautan. Kerutan suram tampak di sudut matanya yang mengerikan.

Tubuh pria itu sangat besar, tapi terlihat kecil dibandingkan dengan tubuh pria yang satunya lagi.

Laki-laki yang Beak anggap sebagai si Iblis memiliki rambut perunggu yang sewarna dengan kulitnya. Ia satu kepala lebih tinggi daripada kawannya dan tidak sedikit pun lemak lembek terlihat di sosok Hercules-nya yang bengis. Ketika Beak mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat wajah si Iblis dengan lebih baik, ia langsung berharap tidak melakukannya. Terasa hawa dingin yang suram di sana, mengintai di mata coklat itu. Tatapan si Iblis bisa membekukan hamparan daun semanggi di musim panas, pikir Beak, semakin patah arang.

Tamat sudah rencana bodohnya untuk menyelamatkan Jamie-nya. Beak memutuskan lebih baik pergi ke neraka sambil berwajah riang seperti orang yang bahagia sebelum membiarkan kedua lelaki barbar ini mendekati Jamie.

“Nama saya Beak dan saya kepala istal di sini.” Kata Beak akhirnya, ingin memberi kesan ada pegawai istal lain di sekitar situ sehingga mereka akan menganggapnya cukup penting untuk diajak bicara. “Anda berdua datang lebih awal,” tambahnya ambil mengangguk gugup. “Kalau tidak, anggota keluarga pasti akan berbaris di luar dan mengenakan pakaian terbaik mereka untuk memberikan sambutan yang lebih pantas.”

Beak berhenti untuk mengambil napas, lalu menunggu jawaban atas pernyataannya. Penantiannya ternyata sia-sia saja dan semangatnya langsung menguap. Ia jadi merasa sepenting lalat yang hendak dipukul. Cara kedua laki-laki bertubuh raksasa itu menatapnya sengat meresahkan.

Beak memutuskan untuk mencoba lagi. “Saya akan merawat kuda-kuda itu, Milord, sementara Anda berdua menghadap pemilik rumah.”

“Kami sendiri yang akan mengurus kuda-kuda kami Pak Tua.”

Si pengikut yang mengucapkannya. Suaranya tidak terlalu menyenangkan. Beak mengangguk, lalu mundur beberapa langkah untuk memberi mereka jalan. Ia mengamati kedua lord tersebut melepaskan pelana, menyimak baik-baik saat mereka melontarkan pujian pada kuda-kuda mereka masing-masing dalam bahasa Gael. Kuda mereka jantan dan sangat bagus, yang satu coklat dan dan yang satu lagi hitam. Beak tidak melihat satu pun cacat pada kedua hewan itu… atau bekas pecutan di perut.

Sepercik harapan muncul kembali di benak Beak. Sudah lama Beak mempelajari bahwa karakter sejati seorang laki-laki bisa dilihat dari caranya memperlakukan ibu dan kudanya. Kuda Baron Andrew dipenuhi dengan bekas pecutan yang dalam, dan kalau itu belum cukup membuktikan kebenaran teorinya, maka Beak tidak tahu apa lagi yang bisa.

“Apa prajurit kalian menunggu di luar dinding properti ini?” tanya Beak dalam bahasa Gael agar mereka tahu bahwa ia seorang teman, bukan musuh.

Si pengikut terlihat senang dengan usaha Beak karena ia tersenyum pada kepala istal itu. “Kami hanya berdua.”

“Dari London?” cetus Beak, tidak bisa menahan nada terkejut dalam suaranya.

“Aye,” jawab sang lord.

“Tanpa seorang pun pengawasi dari belakang?”

“Kami tidak butuh orang lain untuk melindungi kami,” sahut sang lord. “Itu kebiasaan bangsa Inggris, bukan bangsa kami. Bukan begitu, Kinkaid?”

Si Iblis bahkan tidak mau repot-repot menjawabnya.

“Jadi, kalian dipanggil dengan sebutan apa, Milord?” tanya Beak. Pertanyaan yang diajukannya memang cukup lancang, tapi kedua pria itu tidak menatap tajam ke arahnya lagi dan itu memberinya keberanian.

Si pengikut bahkan mengangganti topik pembicaraan mereka alih-alih menjawab. “Kau lancar berbicara bahasa kami, Beak. Apa kau orang Skotlandia?”

Bahu Beak tegak dengan rasa bangga. “Benar. Rambut di kepala saya merah sebelum beruban jadi abu-abu.”

“Namaku Daniel, dari klan Ferguson. Dia dipanggil Alec oleh yang mengenalnya dengan cukup baik,” kata si pengikut sambil mendongak ke si Iblis. “Alec adalah ketua klan Kincaid.”

Beak membungkuk formal. “Dengan kerencahan hati, sungguh senang berkenalan dengan Anda berdua,” katanya. “Sudah bertahun-tahun saya tidak berbicara dengan orang Skotlandia murni sehingga lupa cara bersikap,’ lanjutnya sambil menyeringai. “Lupa juga betapa besarnya tubuh para prajurit Skotlandia. Saya agak takjub sewaktu pertama kali melihat Anda berdua, sungguh.”

Beak membuka pintu dua kandang bersih di samping pintu masuk, mengambil ember pakan sekaligus airnya, lalu mengajak kedua pria itu mengobrol lebih lanjut.

“Anda berdua tiba tiga hari lebih awal,” katanya. “Saya rasa seisi rumah akan gempar.”

Kedua lord itu tidak berkomentar, tapi dari cara mereka saling melemparkan pandangan, Beak tahu kalau mereka tidak terlalu peduli seandainya mereka benar-benar menyebabkan kekacauan.

“Siapa yang kalian nantikan selain kami?” tanya lord Daniel sambil mengernyit.

Beak bingung dengan pertanyaan itu. “Siapa yang kami nantikan? Tidak ada, setidaknya sampai tiga hari ke depan.”

“Jembatan tariknya diturunkan, dan tidak terlihat satu pun penjaga. Tentu…”

“Ah, itu,” sela Beak sembil mengembuskan napas panjang. “Yah, jembatan itu memang diturunkan pada sebagian besar waktu dan tidak pernah ada penjaga yang ditugaskan di sana. Baron Jamison memang agak pelupa.”

Saat melihat ekspresi tidak percaya di wajah kedua pria itu. Beak merasa harus berusaha membela tuannya sedikit. “Kami tidak pernah diganggu karena lokasi kami di wilayah antah berantah. Baron Jamison bilang dia tidak punya banyak barang berharga yang bisa dirampok,” katanya sambil mengangkat bahu. “Dan tidak ada yang pernah masuk kemari tanpa undangan resmi.”

“Tidak ada yang berharga?”

Alec Kincaid angkat bicara. Suaranya lebut tapi sekaligus kuat. Dan ketika ia menoleh dan memandang Beak dengan perhatian peuhnya, lutut pria tua itu mulai gemetaran lagi.

“Dia punya anak perempuan, kan?”

Dengusan si Iblis bisa memicu kobaran api, pikir Beak. Ia tidak bisa menghadapi tatapan itu terlalu lama dan harus mengalihkan pandangannya ke ujung sepatu botnya agar bisa tetap fokus pada percakapan ini. “Dia memang punya anak perempuan, dan jumlahnya lebih dari yang ingin dia akui.”

“Tapi, dia tidak melindungi mereka?” tanya Daniel. Ia menggeleng tidak percaya, lalu menoleh ke Alec dan berkata, “Apa kau pernah mendengar yang seperti itu?”

“Nay, belum  pernah.”

“Pria seperti apa Baron Jamison ini?” tanya Daniel pada Beak.

Alec menjawab pertanyaannya. “Seorang pria Inggris, Daniel.”

“Ah, itu sudah menjelaskan keadaan ini, bukankah begitu?” cetus Daniel datar. “Katakan, Beak… apakah putri-putri sang baron begitu tidak sedap dipandang mata sehingga tifdak perlu dilindungi? Apakah  oral mereka begitu buruk?”

“Mereka semua cantik,” jawab Beak. “Dan mereka sesuci saat mereka dilahirkan. Hantam saya sampai mati kalau itu tidak benar. Ayah merekalah yang melalaikan tugasnya,” tambah Beak sambil mendengus.

“Ada berapa jumlah putrinya?” tanya Daniel. “Kami tidak menanyakan pada raja kami.”

“Kalian akan melihat tiga orang,” gumam Beak.

Beak hendak mengurai pernyataannya, tapi kedua pria itu keburu membalikkan badan dan berjalan menuju ke pintu.

Sekaranglah saatnya atau tidak sama sekali, Beak bertekad. Ia mengambil napas panjang dan penuh tekad, lalu berseru. “Apakah Anda berdua ketua klan yang sangat berkuasa atas klan kalian atau yang satu lebih berkuasa daripada yang lain?”

Alec menangkap nada ketakutan dalam suara si kepala istal. Nada itu membuatnya bingung sehingga ia menoleh kembali. “Mengapa kau mengajukan pertanyaan yang sangat tidak sopan itu?”

“Saya tidak berniat lancang,” kata Beak cepat-cepat, “dan saya punya alasan kuat untuk menanyakannya. Saya tahu saya melangkah terlalu jauh. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur. Begini, harus ada seseorang yang menjaga kepentingannya dan hanya saya satu-satunya orang yang cukup peduli untuk melakukannya.”

Daniel mengernyit mendengar penjelasan aneh ini. Baginya itu tidak masuk akal. “Aku akan menjadi ketua klanku dalam satu atau dua tahun lagi,” jawabnya. “Kincaid sudah menjadi ketua klannya sendiri. Nah, apakah itu menjawab pertanyaanmu, Beak?”

“Kalau begitu, apakah dia yang memiliki kesempatan pertama untuk memilih mempelai wanitanya?” tanya Beak pada Daniel.

“Iya.”

“Dan dia lebih berkuasa darimu?” lanjut Beak.

Daniel mengangguk. “Untuk saat ini,” sahutnya sambil menyeringai. “Beak, apa kau belum pernah dengar tentang para prajurit klan Kincaid?”

“Aye, saya sudah mendengar semua ceritanya.”
Daniel tersenyum mendengar nada suram dalam suara Beak. Pria tua itu ketakutan pada Alec. “Dan sebagian cerita yang kau dengar mencakup penggambaran metode Alec dalam pertempuran?”

“Ya. Saya seharusnya tidak memercayainya,” ujar Beak sambil melirik singkat ke Alec. “Semuanya diceritakan oleh orang-orang Inggris, dan saya yakin mereka melebih-lebihkan… kebengisan sang ketua klan.”

Daniel menyeringai ke alec sebelum menanggapi. “Oh, aku ragu cerita-cerita itu dibesar-besarkan, Beak. Apa mereka bilang dia tidak pernah memberikan ampunan? Belas kasihan?”

“Aye.”

“Kalau begitu, sebaiknya percayalah pada cerita-cerita itu, Beak, karena itu benar. Bukankah begitu, alec?”

“Ya, benar,” sahut Alec, nada suaranya keras.

“Beak,” lanjut Daniel, “pertanyaanmu menggelitikku, walau aku tifdak tahu apa yang sebenarnya ingin kau ketahui. Apa ada pertanyaan lain yang ingin kau ajukan pada kami?”

Beak mengangguk malu-malu. Kini ia menengadahkan kepala menatap Alec. Beberapa saat berlalu dalam keheningan sementara ia memikirkan cara yang pantas untuk menjelaskan soal Jamie-nya tanpa bersikap tidak loyal sepenuhnya.

Alec bisa melihat rasa takut di mata pria tua itu. Ia melangkah beberapa kali agar berdiri tepat di hadapan si kepala istal. “Apa yang hendak kau katakan padaku?”

Beak memutuskan bahwa intusi Alec Kincaid begitu meresahkan, sebagaimana juga suara dan tubuhnya. Suara Beak gemetaran ketika mengajukan pertanyaan. “Apa Anda pernah menganiaya wanita di sepanjang usia Anda, Alec Kincaid?”

Jelas terlihat kalau sang ketua klan tidak menyukai pertanyaan Beak. Ekspresi Alec berubah jadi setajam belati. Secara naluriah, Beak mundur selangkah dan haruss memantapkan pijakannya dengan mencengkram dinding.

“Aku sudah bersabar denganmu karena kau orang Skotlandia, Pak Tua, tapi kalau kau mengajukan pertanyaan keji seperti itu lagi kepadaku, aku bersumpah itu akan menjadi pertanyaan terakhirmu.”

Beak mengangguk. “Saya perlu tahu, karena saya berniat memberi Anda hadiah yang luar biasa, daya harus memastikan bahwa Anda bisa menghargai nilainya, My Lord.”

“Kalimatnya penuh teka-teki,” kata Daniel. Ia berjalan dan berdiri di samping Alec. Beak memperhatikan bahwa kernyitan Daniel nyaris setajan kernyitan Alec. “Kau sudah terlalu lama berada di Inggris, Pa Tua, sampai-sampai terpikir mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak sopan.”

“Saya tahu ucapan saya sama sekali tidak masuk akal,” aku Beak dengan nada sedih. “Tapi, kalau saya mengatakan semuanya, saya akan tampak tidak setia di mata nona saya. Itu tidak boleh terjadi,” tambahnya.

“Maksudmu, kau takut pada perempuan?” tanya Daniel.

Beak mengabaikan ekspresi terperangah di wajah Daniel serta nada tawa dalam suaranya. “Saya tidak takut pada perempuan mana pun. Saya hanya tidak mau melanggar janji,” jelasnya. “Gadis itu sangat berarti bagi saya. Saya tidak malu untuk mengakui bahwa saya menyayanginya seperti anak perempuan saya sendiri.”

Dengan beraninya, Beak berusaha membalas tatapan tajam Alec. Namun usaha itu gagal. Oh, dia sungguh berharap Daniel-lah yang paling berkuasa dari keduanya. Setidaknya Daniel suka tersenyum sesekali. “Apa Anda cukup kuat untuk melindungi apa yang menjadi milik Anda? Tanyanya pada Alec, ingin segera ke inti urusan ini.

“Ya.”

“Baron Andrew akan mengerahkan banyak prajurit. Ia akan mengejar hadiah yang diberikan kepada Anda. Dia juga dianggap teman oleh raja Inggris, King Henry,” ujar Beak, menggoyang-goyangkan alisnya untuk mempertegas faktor tersebut.

Alec tidak tampak terkesan dengan pernyataan itu. Ia mengangkat bahunya dengan sikap masa bodoh. “Tidak masalah bagiku.”

“Siapa Baron Andrew?”

“Seorang pria Inggris,” jawab Beak.

“Itu semakin bagus,” komentar Alec. “Jika aku memutuskan untuk mengambil hadiah yang kau sebutkan tadi, aku akan menyambut tantangan pria Inggris itu. Dia tidak akan menjadi ancaman bagiku.”

Beak tampak tenang. “Tidak ada kata jika,” katanya.

“Apakah hadiahmu berupa seekor kuda?” tanya Daniel sambil menggelengkan kepala dengan bingung. Ia tetap masih belum mengerti apa sebenarnya yang hendak Beak katakan kepada Alec.

Alec paham. “Bukan kuda, Daniel.”

Beak menyeringai. Alec Kincaid terbukti sebagai yang paling cerdas di antara keduanya. “Begitu melihat hadiah saya. Anda pasti akan bertekad memilikinya, Laird Kincaid,” sesumbarnya. “Apa Anda suka mata biru, Milord?”

“Banyak yang bermata biru di Skotlandia, Beak,” Daniel angkat bicara.

“Yah,” kata Beak lambat-lambat, “Ada biru, dan ada juga biru sebenarnya.” Ia terkekeh keras, lalu berdehem dan meneruskan. “Sekarang begini, Laird Kincaid. Baron Jamison memperlakukan putri-putrinya seperti kuda-kudanya, dan begitulah kenyataannya. Lihat saja sekeliling Anda dan Anda akan segera mengerti maksud saya. Kuda-kuda bagus di tiga kandang ini bagai putri-putri sang baron, berada di sana agar semua orang bisa melihat mereka. Tapi, kalau Anda menyusuri lorong panjang ini dan berbelok, Anda akan melihat kandang lain tersembunyi di sudut samping pintu. Letaknya terpisah dari yang lain. Di situlah sang baron menyimpan keindahan miliknya, seekor kuda putih cantik yang menanti pasangan yang tepat. Hiburlah pria tua yang gila ini, dan lihatlah baik-baik kuda itu,” desak Beak, mengisyaratkan agar kedua pria itu melangkah maju. “Kuda itu sepadan dngan waktu yang Anda lewatkan, Laird Kincaid.”

“Dia berhasil memancing rasa penasaranku,” kata Daniel pada Alec.

Kedua pria itu mengikuti Beak. Sikap Beak berubah drastis ketika mereka tiba di kandang tersebut. Ia menusukkan sebatang jerami di antara gigi depannya, bersandar ke dinding sambil memangku satu kaki dengan santainya, lalu menyaksikan kuda betina yang sangat sensitif bersikap heboh ketika Alec mengulurkan tangan hendak membelainya. Pintu samping terbuka, sinar lembut matahari menyorot masuk mengenai surai perak kuda tersebut.

Makhluk indah itu tidak mau tenang juga dalam waktu yang cukup lama, tapi pada akhirnya, Alec berhasil membujuknya agar menunjukkan setitik saja sifat lembutnya. Beak hanya berharap sang laird bisa menjinakkan Jamie dengan kesabaran sebesar itu.

“Dia memang sangat cantik,” kata Daniel.

“Masih setengah liar,” timpal Alec. Ia tersenyum saat itu, dan Beak menyimpulkan bahwa setengah liar bukanlah sebuah kekurangan bagi pria itu.

“Namanya Wildfire, dan dia memang pantas diberi nama itu. Sang baron tidak bisa mendekatinya. Dia memberikan kuda ini pada putri bungsunya ketika terlihat jelas hanya putrinya itu satu-satunya orang yang bisa menunggangi kuda ini.”

Alec tersenyum lagi – sungguh sebuah keajaiban – ketika kuda betina itu menggigit tangannya. “Dia berapi-api. Kalau dikawinkan dengan kuda jantan yang bagus, keturunannya akan sehat… dan kuat.”

Beak sekali lagi mengamati Alec dengan saksama. Ketika ia kembali bertemu pandang dengan Alec, Beak menyeringai. “Itulah yang saya maksud dengan hadiah saya untuk Anda.”

Beak menjauh dari dinding, sok bergaya penting, lalu berkata, “Seperti yang tadi saya bilang. Laird Kincaid, Baron Jamison memperlakukan putri-putrinya seperti kuda-kudanya. Ada tiga di depan untuk memperlihatkan pada orang-orang…”

Beak bersumpah tidak akan mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya bergantung pada laki-laki Skotlandia itu untuk memecahkan sisa teka-tekinya.

“Beak, apa kau di dalam?”

***

 Synopsis




Tidak ada komentar:

Posting Komentar