Agnes berhenti meraung. “Rencana? Apa yang kau pikirkan?”
“Aku memikirkan sebuah rencana licik dan aku nyaris
ketakutan untuk menyebutkannya. Tapi, kemaslahatan kalian terancam, maka aku
akan memberitahu bahwa kalau aku jadi orang-orang Skotlandia itu, aku pasti
akan menghindari calon yang … entah bagaimana agak terganggu mentalnya.”
“Seringai perlahan-lahan mengembang di wajah Mary. Ia selalu yang paling cepat menangkap ide-ide Jamie, terutama yang sifatnya licik. “Atau jelek sekali sampai-sampai mereka tidak sanggup melihat,” katanya sambil mengangguk. Mata coklatnya berbinar jahil. “Agnes, kau dan Alice bisa jadi orang yang terganggu mentalnya. Aku akan menjadi gadis gemuk dan jelek.”
“Terganggu mentalnya?” tukas Alice,masih bingung. “Apa kau
paham maksudnya, Agnes?”
Agnes mulai terbahak. Hidungnya merah karena mulai
digosok-gosok dan pipi merahnya basah oleh air mata. Tapi saat ia tersenyum, ia
tampak sangat cantik. “Penyakit yang mengerikan. Kita harus makan buah beri.
Ruamnya hanya bertahan beberapa jam, jadi kita harus mengatur waktunya dengan
pas.”
“Sekarang aku mengerti,” kata Alice. “Kita akan membuat
pria-pria dungu itu mengira kalau kita memiliki wajah bentol-bentol.”
“Aku akan meneteskan liur,” tambah Agnes sambil mengangguk,
“dan menggaruk-garuk sampai mereka mengira aku tidak pernah mandi.”
Keempat gadis itu terbahak-bahak membayangkannya. Sang baron
pun jadi lebih berani. Ia tersenyum pada putri-putrinya. “Nah, apa kalian paham
sekarang? Sudah kubilang kita akan menemukan jalan keluar.” Tentu saja, ia
tidak bilang seperti itu tadi, tapi kenyataan itu tidak mengusiknya. “Aku akan
pergi sementara kalian meneruskan rencana kalian.” Tapi tampaknya Baron Jamison
tidak bisa cepat-cepat meninggalkan aula.
“Orang-orang Skotlandian ini mungkin tidak akan peduli
dengan penampilan kalian,” kata Jamie, khawatir karena telah memberikan harapan
palsu pada kakak-kakaknya.
“Kita hanya bisa berdoa semoga mereka dungu,” cetus Mary.
“Apakah kita berdosa bila memperdayai mereka?” tanya Alice.
“Tentu saja,” jawab Mary.
“Sebaiknya kita tidak mengaku ke Bapa Charles,” bisik Agnes.
“Dia akan memberi hukuman sebulan. Lagi pula, yang kita tipu bangsa Skotlandia,
jadi kurasa Tuhan pasti akan paham.”
Jamie meninggalkan kakak-kakaknya dan pergi mengunjungi
kepala istal. Beak, seperti itulah julukan yang diberikan teman-teman pria itu
karena hidungnya yang besar seperti gagak, adalah seorang laki-laki tua yang
sudah lama menjadi orang kepercayaan Jamie. Jamie memercayai Beak sepenuhnya.
Beak tidak pernah membeberkan perkataan Jamie kepada orang lain. Ia juga bijak.
Beak mengajarkan semua ketrampilan yang dianggapnya akan Jamie butuhkan. Jamie
lebih seperti anak laki-laki dibanding anak perempuan baginya.
Mereka hanya tidak sepakat mengenai satu hal, yaitu Baron
Jamison. Beak menunjukkan dengan cukup gamblang ketidaksetujuannya dengan cara
sang baron memperlakukan putri bungsunya. Di lain pihak, karena ia merasa
baik-baik saja, Jamie tidak bisa mengerti mengapa Beak mereas demikian. Mereka
tidak bisa sepakat mengenai hal ini, jadi mereka selalu menghindari topik
tersebut.
Jamie menunggu sampai Beak selesai menyuruh Emmet keluar
istal untuk melakukan perintahnya, lalu menceritakan semuanya. Beak
mengusap-ngusap rahangnya sementara mendengarkan, tanda bahwa ia menyimak
cerita itu dengan perhatian penuh.
“Semua ini sebenarnya salahku,” aku Jamie.
“Kenapa kau berpikir begitu?’” tanya Beak.
“Aku seharusnya memeriksa pengumpulan pajak itu,” Jelas
Jamie. “Sekarang, kakak-kakakku yang harus membayar harga kemalasanku.”
“Kemalasan apanya?” sanggah Beak. “Satu-satunya tugas rumah
tangga yang bukan menjadi tanggung jawabmu adalah pajak dan pengawasannya, Nak.
Kau sudah setengah mati melakukan pekerjaanmu. Semoga Tuhan mengampuni aku
karena telah mengajarimu macam-macam. Kau seorang lady yang cantik, Jamie, tapi
kau menjalankan tugas seorang pria. Akulah yang seharusnya disalahkan.”
Jamie sama sekali tidak tertipu dengan ekspresi sedih Beak.
Ia tertawa.
“Kau sudah terlalu sering menggembar-gemborkan kemampuanku,
Beak. Aku tahu kau bangga padaku.”
“Aku memang bangga padamu,” kata Beak sambil
bersungut-sungut. “Tapi, tetap saja aku tidak mau mendengarmu menyalahkan
dirimu sendiri atas kesalahan ayahmu.”
“Beak…”
“Kau bilang kau tidak masuk dalam perintah ‘pemilihan istri’
itu” tanya Beak. “Apa kau tidak merasa kalau itu agak aneh?”
“Aku memang merasa ada yang aneh, tapi sang raja pasti punya
alasan tersendiri. Aku tidak pantas untuk meragukan keputusannya.”
“Apa kau melihat surat itu, Jamie? Apa kau membacanya?”
“Tidak, Papa tidak mau aku repot-repot membacanya,” jawab
Jamie. “Beak, apa yang sedang kau pikirkan? Tiba-tiba sorot matamu tampak
kejam.”
“Kurasa ayahmu sedang merencanakan sesuatu,” sahut Beak.
“Sesuatu yang memalukan. Aku telah mengenal ayahmu sedikit lebih lama drimu,
Nak. Aku sudah tahu tingkah laku ayahmu sebelum kau bisa berjalan. Sekarang
kuberitahu kau bahwa ayahmu pasti sedang merencanakan sesuatu.”
“Papa telah menganggapnya sebagai anaknya sendiri,” kata
Jamie. “Tolong jangan lupakan kebaikan hati itu, Beak. Papa seorang pria yang
baik.”
“Aye. Dia memperlakukanmu dengan adil dengan memanggilmu
putrinya, tapi tidak sama sekali mengubah fakta yang ada.”
Pada saat itu, si pengurus kuda, Emmet, berjalan kembali ke
istal. Jamie tahu kebiasaan Emmet menguping pembicaraan orang lain, dan
langsung mengganti percakapan ke bahasa Gael sehingga obrolan mereka bisa terus
berlanjut secara pribadi. “Kesetiaanmu tidak tulus,” bisiknya sambil
menggelengkan kepala.
“Hah, aku setia padamu. Tidak ada orang yang peduli dengan
masa depanmu. Nah, berhentilah bersungut-sungut dan katakan kapan orang-orang
Skotlandia itu tiba.”
Jamie tahu Beak sengaja menghindari pembahasan soal ayahnya
dan ia bersyukur. “Satu minggu lagi, Beak. Aku harus bersembunyi seperti tahanan
sementara mereka di sini. Menurut Papa, akan lebih baik kalau mereka tidak
melihatku, walaud aku tidak paham kenapa. Tapi, itu juga sulit sebab
tugas-tugasku mengharuskan aku terloihat lalu lalang setiap harinya. Siapa yang
akan berburu untuk makan malam kami? Berapa lama menurutmu mereka akan tinggal
di sini, Beak? Kemungkinan besar seminggu, menurutmu begitu, kan? Aku harus
menggarami lebih banyak daging babi kalau…”
“Aku harap mereka tinggal sebulan,” sela Beak. “Dengan
begitu kau akan mendapat istirahat yang kau perlukan,” lanjutnya. “Jamie, aku
sudah pernah mmengatakan ini dan akan mengatakannya lagi. Kau sedang menggali
kuburanmu sendiri, bekerja dari matahari terbit sampai matahari tenggelam. Aku
mencemaskanmu, Nak. Aku lebih senang mengingat masa lalu, sebelum ibumu sakit,
semoga Tuhan mendamaikan jiwanya. Besar tubuhmu tidak lebih dari seekor
ngengat, tapi tetap saja pembuat onar. Ingat sewaktu aku harus memanjat bagian
luar dinding untuk membawamu turun? Kau meneriakkan namaku berkali-kali, sungguh.
Dan aku yang takut ketinggian, langsung muntah begitu menurunkanmu. Sungguh
memalukan. Kau mengikatkan tali rapuh di antara kedua menara, mengira bisa
berjalan menyeberanginya dengan cepat.”
Jamie tersenyum mengingatnya. “Aku ingat kau memukuli
punggungku. Aku tidak bisa duduk selama dua hari.”
“Tapi kau membantah tudingan ayahmu kalau aku memukulmu,
karena mengira aku akan kena masalah. Iya, kan?”
“Kau pasti kena masalah,” sahut Jamie.
Beak tertawa. “Jadi, kau mendapat pukulan lagi dari ibumu.
Dia tidak akan menghukummu kalau tahu bahwa aku sudah mendisiplinkanmu.”
“Saat itu kau menyeleamatkan aku dari kematian,” Jamie
mengakui.
“Aku telah menyelamatkanmu lebih dari satu kali dan itu
benar adanya.”
“Itu sudah lama berlalu,” Jamie mengingatkan Beak dengan
senyuman lembut. “Sekarang aku sudah dewasa. Aku punya banyak tanggung jawab.
Bahkan Andrew paham keadaannya, Beak, kenapa kau tidak?”
Beak tidak mau menyinggung topik yang sensitif itu. Beak
tahu ia akan menyakiti perasaan Jamie kalau memberitahukan pendapat yang
sebenarnya mengenai Andrew. Walau secara kebetulan baru satu kali bertemu
dengan Baron Andrew sang Pesolek., Beak sudah bisa menilai karakter lemah pria
itu. Pikiran Andrew seketat celana selututnya. Sepanjang waktu Andrew hanya
memikirkan dirinya sendiri. Sungguh, tiap kali Beak memikirkan Jamie
tersayangnya disandingkan dengan orang lembek seperti itu, perutnya jadi
mulas.”
“Kau butuh laki-laki yang kuat, Nak. Selain diriku, tentu
saja. Aku tidak tahu apa kau pernah bertemu pria sejati. Masih ada seberkas
sifat liar dalam dirimu. Kau ingin bebas, entah kau menyadarinya tau tidak.”
“Kau melebih-lebihkan, Beak. Aku tidak liar, tidak lagi.”
“Kau kira aku tidak pernah melihatmu berdiri di punggung
kuda betinamu sambil berpacu kencang menyusuri padang rumput selatan, Jamie?
Aku tidak pernah mengajarimu trik itu. Kau senang menantang maut, ya?”
“Beak, selama ini kau mengawasiku?”
“Memang harus ada orang yang mengawasimu.”
Jamie mengembuskan desahan lembut, lalu mengembalikan topik
pembicaraan mereka ke orang-orang Skotlandia itu. Beak mengikuti keinginan
Jamie. Ia berharap dengan mendengarkan Jamie, ia bisa sedikit meringankan beban
gadis itu.
Ketika Jamie beranjak untuk mengerjakan tugas-tugasnya
kembali, pikiran Beak berputar-putar dengan kemungkinan-kemungkinan baru.
Baron Jamison pasti sedang memainkan tipu daya; Beak berani
mempertaruhkan nyawanya. Yah, ia bertekad tidak akan membiarkan tuannya lolos.
Beak bertekad untuk menjadi penyelamat Jamie. Namun,
pertama-tama ia harus menilai orang-orang Skotlandia ini. Kalau salah satunya
ternyata pria yang takut akan Tuhan dan menyayangi wanita, maka ia bersumpah
akan mencari cara untuk menyeret lord tersebut dan mengatakan bahwa Baron
Jamison bukan hanya memiliki tiga orang putri, melainkan empat.
Aye, ia akan mencoba menyelamatkan Jamie dari nasib malang
gadis itu.
Jika Tuhan menghendaki, ia akan membebaskan Jamie.
***
Sang pastor, Murdock, baru saja memberitahu kami bahwa
Alec Kincaid akan pulang membawa seorang mempelai wanita berkebangsaan Inggris.
Akan ada banyak cibiran, tapi bukan karena ketua klan kami itu telah menikah
kembali. Nay, amarah itu karena pengantin wanita itu berkebangsaan Inggris.
Alec hanya menaati perintah raja, kata orang lain yang membelanya. Namun, tetap
saja ada orang-orang yang menyuarakan rasa penasaran mereka tentang bagaimana
mungkin ketua klan mereka bisa menerima tugas itu.
Oh Tuhan, aku harap Alec jatuh cinta padanya. Ini mungkin
harapan kosong, sebab Alec terlahir untuk melawan orang-orang Inggris seperti
juga kami semua.
Tapi… tentu saja itu akan membuat pembunuhannya jauh lebih
manis.
***
Alec Kincaid ingin cepat-cepat pulang. Ia telah memenuhi
permintaan King Edgar dan tinggal di London selama nyaris satu bulan,
mempelajari tata krama istana Inggris dan semua hal yang bisa dipelajarinya
mengenai raja inggris yang tidak bisa ditebak itu. Sebenarnya, Alec tidak
terlalu menyukai tugas tersebut. Menurutnya, para baron Inggris hanyalah
kumpulan orang-orang yang angkuh; para wanitanya berotak udang dan luar bisa
tidak bersemangat; sementara pemimpin mereka, Henry terlalu lemah dalam
sebagian besar keputusannya. Namun, Alec mengakui kalau ada satu atau dua
kesempatan di mana ia benar-benar terkesan dengan kebrutalan King Henry. Sang
raja menjatuhkan hukuman keras bagi para baron bodoh yang terbukti berkhianat.
Walau Alec tidak mengeluhkan tugasnya, ia tetap bersyukur
tugas itu sudah selesai. Sebagai ketua klan dengan banyak pengikut, ia merasa
tanggung jawab besarnya hanya membebaninya. Wilayahnya di Skotlandia mungkin sedang
kacau balau sekarang, apalagi dengan klan Campbell dan MacDonald yang sedang
berseteru dan hanya Tuhan yang tahu masalah apa lagi yang akan ia dapati sedang
menunggunya di ambang pintu.
Kini, ada penundaan lagi. Ia harus menikah.
Bagi Alec, pernikahan dengan seorang wanita Inggris yang
tidak dikenalnya hanyalah sebuah gangguan kecil, tidak lebih. Ia bersedia
menikahi wanita itu demi menyenangkan King Edgar. Tentu saja, wanita itu pun
pasti hanya mematuhi perintah King Henry, sebab memang begitulah segalanya
berjalan di masa ini karena kedua pemimpin itu terus berusaha menjalin ikatan
rapuh antara satu sama lain.
Secara khusus, King Henry telah meminta Alec Kincaid untuk
menjadi salah satu laird yang menjemput mempelai Inggris. Alec dan Edgar tahu
mengapa Henry mengajukan permintaan khusus itu. Alec Kincaid salah satu ketua
klan termuda di Skotlandia, tetapi merupakan kekuatan yang harus
diperhitungkan, Alec membawahi sekitar delapan ratus prajurit berdasarkan
perhitungan tahun lalu, tapi jumlah itu akan bertambah dua kali lipat kalau ia
meminta bantuan sekutunya.
Ketrampilan Alec Kincaid dalam pertempuran merupakan legenda
yang disebarkan dengan berbisik di Inggris, dan kebanggaan yang ditriakkan di
Skotlandia.
Henry juga tahu kalau Alec tidak terlalu menyukai orang
Inggris. Henry mengatakan pada Edgar bahwa ia berharap pernikahan ini akan
melembutkan perilaku ketua klan yang sangat berkuasa itu. Mungkin, kata Henry,
lambat laun akan tercipta keharmonisan.
Namun, Edgar jauh lebih cerdik daripada yang dikira Henry.
Edgar sudah mengira kalau Henry ingin menggoyahkan kesetiaan Alec.
Alec dan Edgar sangat geli dengan kenaifan Henry. Edgar memang
menjadi bawahan Henry sejak hari pertama ia berlutut di kaki raja Inggris itu
dan bersumpah. Ia juga dibesarkan di istana Inggris. Namun, ia tetaplah raja
Skotlandia dan kepala klannya yang setia tentu lebih didahulukan daripada siapa
pun… terutama orang luar.
Henry jelas tidak memahami ikatan darah, Alec dan Edgar
yakin bahwa raja Inggris itu hanya melihat kemungkinan persekutuan yang kuat di
balik perintah ini. Namun, Henry sudah salah menilai Alec Kincaid, sebab Alec
jelas tidak akan berpaling dari Skotlandia, apa pun insentifnya.
Daniel, kawan Alec sejak kanak-kanak dan tak lama lagi akan
menjadi ketua klan Ferguson, juga diperintahkan untuk memperistri wanita
Inggris. Daniel pun telah melewatkan satu bulan yang melelahkan di London.
Baginya, tugas ini tidak menyenangkan, sama seperti Alec, dan mereka sama-sama
ingin segera pulang.
Kedua pria itu berkuda dengan sangat cepat sejak fajar dan
hanya berhenti dua kali untuk mengistirahatkan kuda mereka. Mereka hanya ingin
melewatkan satu atau dua jam di tanaj Jamison. Dua jam pasti lebih dari cukup,
pikir mereka, untuk makan, memilih mempelai, menikahi keua weanita itu
seandainya ada pastor di kediaman itu, lalu pergi.
Mereka tidak mau melewatkan satu malam lagi di tanah
Inggris. Tidak penting kalau mempelai mereka menginginkan hal berbeda. Lagi
pula, wanita hanyalah properti dan Daniel maupun Alec sama sekali tidak
menganggap keinginan mempelai mereka penting.
Mereka akan melakukannya sesuai dengan yang diperintahkan,
habis perkara.
Karena ia melemparkan ranting pohon lebih jauh daripada
kawannya, Alec-lah yang memenangi hak istimewa untuk memilih pertama kali.
Sebenarnya, keduanya tidak terlalu peduli.
Aye, mereka hanya sedang menyelesaikan sebuah urusan, dan
urusan itu sungguh mengganggu.
***
Si Iblis dan pengikutnya tiba di kediaman Baron Jamison tiga
hari lebih awal dari jadwal.
Beak-lah yang pertama kali melihat panglima perang
Skotlandia itu dan yang pertama kali memberikan julukan yang sesuai tersebut.
Beak sedang duduk di anak tangga teratas yang digunakan untuk mencapai loteng
dan mengira saat itu waktunya untuk tidur sebab hari sudah menjelang petang dan
ia telah bekerja keras tanpa henti sejak makan siang. Namun, Lady Mary menyeret
adiknya, Jamie, ke padang rumput selatan dan ia harus mengejar mereka untuk
memastikan mereka tidak melakukan hal-hal yang jahil. Ketika Mary merengek agar
Jamie mau meninggalkan tugas-tugasnya, sifat liar Jamie kadang-kadang
menguasainya. Satu lagi alasan mengapa Jamie membutuhkan seorang pria yang kuat
untuk mengawasinya. Astaga, Jamie-nya yang manis bahkan bisa membujuk seorang
pencuri agar tidak mencuri kalau gadis itu sudah membulatkan tekad. Dan hanya
Tuhan yang tahu apa yang akan Mary lakukan atas bujukan Jamie.
Punggung Beak menggelenyar hanya dengan memikirkan semua
kemungkinan itu. Ya, ia harus mengejar pasangan yang liar itu.
Beak menguap keras dan mulai menuruni tangga. Ia tengah
menginjak anak tangga kedua dari atas ketika melihat kedua pria bertubuh besar
itu berkuda menuju ke arahnya.
Beak nyaris kehilangan keseimbangan. Ia tahu mulutnya menganga
seperti anak burung gereja yang menunggu makanan dari ibunya, tapi ia tidak
bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Ia berhasil menghentikan dirinya membuat
tanda salib dan bersyukur para pria itu tidak bisa mendengar lututnya yang
gemetaran katika akhirnya berhasil menuruni sisa anak tangga.
Beak bisa merasakan jantungnya berdentam-dentam di dalam
dada. Ia mengingatkan dirinya bahwa ada darah skotlandia yang mengalir di
pembuluh darahnya, walau darah itu berasal dari nenek moyangnya di wilayah yang
lebih beradab. Beak juga berusaha mengingatkan dirinya kalau ia tidak boleh
menilai seseorang hanya dengan penampilannya. Kedua hal itu tidak bisa
meredakan reaksi awal Beak terhadap dua laki-laki bertubuh besar yang sedang
mengamatinya dengan saksama.
Beak mulai gemetaran. Ia memaklumi kepengecutannya dengan
mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia hanyalah seorang laki-laki biasa, dan
melihat kedua pria perkasa ini membuatnya merinding hebat.
Laki-laki yang Beak anggap sebagai pengikut si iblis bertubuh
tinggi dan kekar dengan bahu lebar, rambutnya sewarna karat, dan matanya
sehijau lautan. Kerutan suram tampak di sudut matanya yang mengerikan.
Tubuh pria itu sangat besar, tapi terlihat kecil dibandingkan
dengan tubuh pria yang satunya lagi.
Laki-laki yang Beak anggap sebagai si Iblis memiliki rambut
perunggu yang sewarna dengan kulitnya. Ia satu kepala lebih tinggi daripada
kawannya dan tidak sedikit pun lemak lembek terlihat di sosok Hercules-nya yang
bengis. Ketika Beak mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat wajah si Iblis
dengan lebih baik, ia langsung berharap tidak melakukannya. Terasa hawa dingin
yang suram di sana, mengintai di mata coklat itu. Tatapan si Iblis bisa
membekukan hamparan daun semanggi di musim panas, pikir Beak, semakin patah
arang.
Tamat sudah rencana bodohnya untuk menyelamatkan Jamie-nya.
Beak memutuskan lebih baik pergi ke neraka sambil berwajah riang seperti orang
yang bahagia sebelum membiarkan kedua lelaki barbar ini mendekati Jamie.
“Nama saya Beak dan saya kepala istal di sini.” Kata Beak
akhirnya, ingin memberi kesan ada pegawai istal lain di sekitar situ sehingga
mereka akan menganggapnya cukup penting untuk diajak bicara. “Anda berdua
datang lebih awal,” tambahnya ambil mengangguk gugup. “Kalau tidak, anggota
keluarga pasti akan berbaris di luar dan mengenakan pakaian terbaik mereka
untuk memberikan sambutan yang lebih pantas.”
Beak berhenti untuk mengambil napas, lalu menunggu jawaban
atas pernyataannya. Penantiannya ternyata sia-sia saja dan semangatnya langsung
menguap. Ia jadi merasa sepenting lalat yang hendak dipukul. Cara kedua
laki-laki bertubuh raksasa itu menatapnya sengat meresahkan.
Beak memutuskan untuk mencoba lagi. “Saya akan merawat
kuda-kuda itu, Milord, sementara Anda berdua menghadap pemilik rumah.”
“Kami sendiri yang akan mengurus kuda-kuda kami Pak Tua.”
Si pengikut yang mengucapkannya. Suaranya tidak terlalu
menyenangkan. Beak mengangguk, lalu mundur beberapa langkah untuk memberi
mereka jalan. Ia mengamati kedua lord tersebut melepaskan pelana, menyimak
baik-baik saat mereka melontarkan pujian pada kuda-kuda mereka masing-masing
dalam bahasa Gael. Kuda mereka jantan dan sangat bagus, yang satu coklat dan
dan yang satu lagi hitam. Beak tidak melihat satu pun cacat pada kedua hewan
itu… atau bekas pecutan di perut.
Sepercik harapan muncul kembali di benak Beak. Sudah lama
Beak mempelajari bahwa karakter sejati seorang laki-laki bisa dilihat dari caranya
memperlakukan ibu dan kudanya. Kuda Baron Andrew dipenuhi dengan bekas pecutan
yang dalam, dan kalau itu belum cukup membuktikan kebenaran teorinya, maka Beak
tidak tahu apa lagi yang bisa.
“Apa prajurit kalian menunggu di luar dinding properti ini?”
tanya Beak dalam bahasa Gael agar mereka tahu bahwa ia seorang teman, bukan
musuh.
Si pengikut terlihat senang dengan usaha Beak karena ia
tersenyum pada kepala istal itu. “Kami hanya berdua.”
“Dari London?” cetus Beak, tidak bisa menahan nada terkejut
dalam suaranya.
“Aye,” jawab sang lord.
“Tanpa seorang pun pengawasi dari belakang?”
“Kami tidak butuh orang lain untuk melindungi kami,” sahut
sang lord. “Itu kebiasaan bangsa Inggris, bukan bangsa kami. Bukan begitu,
Kinkaid?”
Si Iblis bahkan tidak mau repot-repot menjawabnya.
“Jadi, kalian dipanggil dengan sebutan apa, Milord?” tanya
Beak. Pertanyaan yang diajukannya memang cukup lancang, tapi kedua pria itu
tidak menatap tajam ke arahnya lagi dan itu memberinya keberanian.
Si pengikut bahkan mengangganti topik pembicaraan mereka
alih-alih menjawab. “Kau lancar berbicara bahasa kami, Beak. Apa kau orang
Skotlandia?”
Bahu Beak tegak dengan rasa bangga. “Benar. Rambut di kepala
saya merah sebelum beruban jadi abu-abu.”
“Namaku Daniel, dari klan Ferguson. Dia dipanggil Alec oleh
yang mengenalnya dengan cukup baik,” kata si pengikut sambil mendongak ke si
Iblis. “Alec adalah ketua klan Kincaid.”
Beak membungkuk formal. “Dengan kerencahan hati, sungguh
senang berkenalan dengan Anda berdua,” katanya. “Sudah bertahun-tahun saya
tidak berbicara dengan orang Skotlandia murni sehingga lupa cara bersikap,’
lanjutnya sambil menyeringai. “Lupa juga betapa besarnya tubuh para prajurit
Skotlandia. Saya agak takjub sewaktu pertama kali melihat Anda berdua, sungguh.”
Beak membuka pintu dua kandang bersih di samping pintu
masuk, mengambil ember pakan sekaligus airnya, lalu mengajak kedua pria itu
mengobrol lebih lanjut.
“Anda berdua tiba tiga hari lebih awal,” katanya. “Saya rasa
seisi rumah akan gempar.”
Kedua lord itu tidak berkomentar, tapi dari cara mereka
saling melemparkan pandangan, Beak tahu kalau mereka tidak terlalu peduli
seandainya mereka benar-benar menyebabkan kekacauan.
“Siapa yang kalian nantikan selain kami?” tanya lord Daniel
sambil mengernyit.
Beak bingung dengan pertanyaan itu. “Siapa yang kami
nantikan? Tidak ada, setidaknya sampai tiga hari ke depan.”
“Jembatan tariknya diturunkan, dan tidak terlihat satu pun
penjaga. Tentu…”
“Ah, itu,” sela Beak sembil mengembuskan napas panjang. “Yah,
jembatan itu memang diturunkan pada sebagian besar waktu dan tidak pernah ada
penjaga yang ditugaskan di sana. Baron Jamison memang agak pelupa.”
Saat melihat ekspresi tidak percaya di wajah kedua pria itu.
Beak merasa harus berusaha membela tuannya sedikit. “Kami tidak pernah diganggu
karena lokasi kami di wilayah antah berantah. Baron Jamison bilang dia tidak
punya banyak barang berharga yang bisa dirampok,” katanya sambil mengangkat
bahu. “Dan tidak ada yang pernah masuk kemari tanpa undangan resmi.”
“Tidak ada yang berharga?”
Alec Kincaid angkat bicara. Suaranya lebut tapi sekaligus
kuat. Dan ketika ia menoleh dan memandang Beak dengan perhatian peuhnya, lutut
pria tua itu mulai gemetaran lagi.
“Dia punya anak perempuan, kan?”
Dengusan si Iblis bisa memicu kobaran api, pikir Beak. Ia
tidak bisa menghadapi tatapan itu terlalu lama dan harus mengalihkan
pandangannya ke ujung sepatu botnya agar bisa tetap fokus pada percakapan ini. “Dia
memang punya anak perempuan, dan jumlahnya lebih dari yang ingin dia akui.”
“Tapi, dia tidak melindungi mereka?” tanya Daniel. Ia menggeleng
tidak percaya, lalu menoleh ke Alec dan berkata, “Apa kau pernah mendengar yang
seperti itu?”
“Nay, belum pernah.”
“Pria seperti apa Baron Jamison ini?” tanya Daniel pada
Beak.
Alec menjawab pertanyaannya. “Seorang pria Inggris, Daniel.”
“Ah, itu sudah menjelaskan keadaan ini, bukankah begitu?”
cetus Daniel datar. “Katakan, Beak… apakah putri-putri sang baron begitu tidak
sedap dipandang mata sehingga tifdak perlu dilindungi? Apakah oral mereka begitu buruk?”
“Mereka semua cantik,” jawab Beak. “Dan mereka sesuci saat
mereka dilahirkan. Hantam saya sampai mati kalau itu tidak benar. Ayah
merekalah yang melalaikan tugasnya,” tambah Beak sambil mendengus.
“Ada berapa jumlah putrinya?” tanya Daniel. “Kami tidak
menanyakan pada raja kami.”
“Kalian akan melihat tiga orang,” gumam Beak.
Beak hendak mengurai pernyataannya, tapi kedua pria itu
keburu membalikkan badan dan berjalan menuju ke pintu.
Sekaranglah saatnya atau tidak sama sekali, Beak bertekad.
Ia mengambil napas panjang dan penuh tekad, lalu berseru. “Apakah Anda berdua
ketua klan yang sangat berkuasa atas klan kalian atau yang satu lebih berkuasa
daripada yang lain?”
Alec menangkap nada ketakutan dalam suara si kepala istal.
Nada itu membuatnya bingung sehingga ia menoleh kembali. “Mengapa kau
mengajukan pertanyaan yang sangat tidak sopan itu?”
“Saya tidak berniat lancang,” kata Beak cepat-cepat, “dan
saya punya alasan kuat untuk menanyakannya. Saya tahu saya melangkah terlalu
jauh. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur. Begini, harus ada seseorang yang
menjaga kepentingannya dan hanya saya satu-satunya orang yang cukup peduli
untuk melakukannya.”
Daniel mengernyit mendengar penjelasan aneh ini. Baginya itu
tidak masuk akal. “Aku akan menjadi ketua klanku dalam satu atau dua tahun lagi,”
jawabnya. “Kincaid sudah menjadi ketua klannya sendiri. Nah, apakah itu
menjawab pertanyaanmu, Beak?”
“Kalau begitu, apakah dia yang memiliki kesempatan pertama
untuk memilih mempelai wanitanya?” tanya Beak pada Daniel.
“Iya.”
“Dan dia lebih berkuasa darimu?” lanjut Beak.
Daniel mengangguk. “Untuk saat ini,” sahutnya sambil
menyeringai. “Beak, apa kau belum pernah dengar tentang para prajurit klan
Kincaid?”
“Aye, saya sudah mendengar semua ceritanya.”
Daniel tersenyum mendengar nada suram dalam suara Beak. Pria tua itu ketakutan
pada Alec. “Dan sebagian cerita yang kau dengar mencakup penggambaran metode
Alec dalam pertempuran?”
“Ya. Saya seharusnya tidak memercayainya,” ujar Beak sambil
melirik singkat ke Alec. “Semuanya diceritakan oleh orang-orang Inggris, dan
saya yakin mereka melebih-lebihkan… kebengisan sang ketua klan.”
Daniel menyeringai ke alec sebelum menanggapi. “Oh, aku ragu
cerita-cerita itu dibesar-besarkan, Beak. Apa mereka bilang dia tidak pernah
memberikan ampunan? Belas kasihan?”
“Aye.”
“Kalau begitu, sebaiknya percayalah pada cerita-cerita itu,
Beak, karena itu benar. Bukankah begitu, alec?”
“Ya, benar,” sahut Alec, nada suaranya keras.
“Beak,” lanjut Daniel, “pertanyaanmu menggelitikku, walau
aku tifdak tahu apa yang sebenarnya ingin kau ketahui. Apa ada pertanyaan lain
yang ingin kau ajukan pada kami?”
Beak mengangguk malu-malu. Kini ia menengadahkan kepala
menatap Alec. Beberapa saat berlalu dalam keheningan sementara ia memikirkan
cara yang pantas untuk menjelaskan soal Jamie-nya tanpa bersikap tidak loyal
sepenuhnya.
Alec bisa melihat rasa takut di mata pria tua itu. Ia
melangkah beberapa kali agar berdiri tepat di hadapan si kepala istal. “Apa
yang hendak kau katakan padaku?”
Beak memutuskan bahwa intusi Alec Kincaid begitu meresahkan,
sebagaimana juga suara dan tubuhnya. Suara Beak gemetaran ketika mengajukan
pertanyaan. “Apa Anda pernah menganiaya wanita di sepanjang usia Anda, Alec
Kincaid?”
Jelas terlihat kalau sang ketua klan tidak menyukai
pertanyaan Beak. Ekspresi Alec berubah jadi setajam belati. Secara naluriah, Beak
mundur selangkah dan haruss memantapkan pijakannya dengan mencengkram dinding.
“Aku sudah bersabar denganmu karena kau orang Skotlandia, Pak
Tua, tapi kalau kau mengajukan pertanyaan keji seperti itu lagi kepadaku, aku
bersumpah itu akan menjadi pertanyaan terakhirmu.”
Beak mengangguk. “Saya perlu tahu, karena saya berniat
memberi Anda hadiah yang luar biasa, daya harus memastikan bahwa Anda bisa
menghargai nilainya, My Lord.”
“Kalimatnya penuh teka-teki,” kata Daniel. Ia berjalan dan
berdiri di samping Alec. Beak memperhatikan bahwa kernyitan Daniel nyaris
setajan kernyitan Alec. “Kau sudah terlalu lama berada di Inggris, Pa Tua,
sampai-sampai terpikir mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak sopan.”
“Saya tahu ucapan saya sama sekali tidak masuk akal,” aku
Beak dengan nada sedih. “Tapi, kalau saya mengatakan semuanya, saya akan tampak
tidak setia di mata nona saya. Itu tidak boleh terjadi,” tambahnya.
“Maksudmu, kau takut pada perempuan?” tanya Daniel.
Beak mengabaikan ekspresi terperangah di wajah Daniel serta
nada tawa dalam suaranya. “Saya tidak takut pada perempuan mana pun. Saya hanya
tidak mau melanggar janji,” jelasnya. “Gadis itu sangat berarti bagi saya. Saya
tidak malu untuk mengakui bahwa saya menyayanginya seperti anak perempuan saya
sendiri.”
Dengan beraninya, Beak berusaha membalas tatapan tajam Alec.
Namun usaha itu gagal. Oh, dia sungguh berharap Daniel-lah yang paling berkuasa
dari keduanya. Setidaknya Daniel suka tersenyum sesekali. “Apa Anda cukup kuat
untuk melindungi apa yang menjadi milik Anda? Tanyanya pada Alec, ingin segera
ke inti urusan ini.
“Ya.”
“Baron Andrew akan mengerahkan banyak prajurit. Ia akan
mengejar hadiah yang diberikan kepada Anda. Dia juga dianggap teman oleh raja
Inggris, King Henry,” ujar Beak, menggoyang-goyangkan alisnya untuk mempertegas
faktor tersebut.
Alec tidak tampak terkesan dengan pernyataan itu. Ia mengangkat
bahunya dengan sikap masa bodoh. “Tidak masalah bagiku.”
“Siapa Baron Andrew?”
“Seorang pria Inggris,” jawab Beak.
“Itu semakin bagus,” komentar Alec. “Jika aku memutuskan
untuk mengambil hadiah yang kau sebutkan tadi, aku akan menyambut tantangan
pria Inggris itu. Dia tidak akan menjadi ancaman bagiku.”
Beak tampak tenang. “Tidak ada kata jika,” katanya.
“Apakah hadiahmu berupa seekor kuda?” tanya Daniel sambil
menggelengkan kepala dengan bingung. Ia tetap masih belum mengerti apa
sebenarnya yang hendak Beak katakan kepada Alec.
Alec paham. “Bukan kuda, Daniel.”
Beak menyeringai. Alec Kincaid terbukti sebagai yang paling
cerdas di antara keduanya. “Begitu melihat hadiah saya. Anda pasti akan
bertekad memilikinya, Laird Kincaid,” sesumbarnya. “Apa Anda suka mata biru,
Milord?”
“Banyak yang bermata biru di Skotlandia, Beak,” Daniel
angkat bicara.
“Yah,” kata Beak lambat-lambat, “Ada biru, dan ada juga biru
sebenarnya.” Ia terkekeh keras, lalu berdehem dan meneruskan. “Sekarang begini,
Laird Kincaid. Baron Jamison memperlakukan putri-putrinya seperti kuda-kudanya,
dan begitulah kenyataannya. Lihat saja sekeliling Anda dan Anda akan segera
mengerti maksud saya. Kuda-kuda bagus di tiga kandang ini bagai putri-putri
sang baron, berada di sana agar semua orang bisa melihat mereka. Tapi, kalau
Anda menyusuri lorong panjang ini dan berbelok, Anda akan melihat kandang lain
tersembunyi di sudut samping pintu. Letaknya terpisah dari yang lain. Di situlah
sang baron menyimpan keindahan miliknya, seekor kuda putih cantik yang menanti
pasangan yang tepat. Hiburlah pria tua yang gila ini, dan lihatlah baik-baik
kuda itu,” desak Beak, mengisyaratkan agar kedua pria itu melangkah maju. “Kuda
itu sepadan dngan waktu yang Anda lewatkan, Laird Kincaid.”
“Dia berhasil memancing rasa penasaranku,” kata Daniel pada
Alec.
Kedua pria itu mengikuti Beak. Sikap Beak berubah drastis ketika
mereka tiba di kandang tersebut. Ia menusukkan sebatang jerami di antara gigi
depannya, bersandar ke dinding sambil memangku satu kaki dengan santainya, lalu
menyaksikan kuda betina yang sangat sensitif bersikap heboh ketika Alec
mengulurkan tangan hendak membelainya. Pintu samping terbuka, sinar lembut
matahari menyorot masuk mengenai surai perak kuda tersebut.
Makhluk indah itu tidak mau tenang juga dalam waktu yang
cukup lama, tapi pada akhirnya, Alec berhasil membujuknya agar menunjukkan
setitik saja sifat lembutnya. Beak hanya berharap sang laird bisa menjinakkan
Jamie dengan kesabaran sebesar itu.
“Dia memang sangat cantik,” kata Daniel.
“Masih setengah liar,” timpal Alec. Ia tersenyum saat itu,
dan Beak menyimpulkan bahwa setengah liar bukanlah sebuah kekurangan bagi pria
itu.
“Namanya Wildfire, dan dia memang pantas diberi nama itu.
Sang baron tidak bisa mendekatinya. Dia memberikan kuda ini pada putri
bungsunya ketika terlihat jelas hanya putrinya itu satu-satunya orang yang bisa
menunggangi kuda ini.”
Alec tersenyum lagi – sungguh sebuah keajaiban – ketika kuda
betina itu menggigit tangannya. “Dia berapi-api. Kalau dikawinkan dengan kuda
jantan yang bagus, keturunannya akan sehat… dan kuat.”
Beak sekali lagi mengamati Alec dengan saksama. Ketika ia
kembali bertemu pandang dengan Alec, Beak menyeringai. “Itulah yang saya maksud
dengan hadiah saya untuk Anda.”
Beak menjauh dari dinding, sok bergaya penting, lalu
berkata, “Seperti yang tadi saya bilang. Laird Kincaid, Baron Jamison
memperlakukan putri-putrinya seperti kuda-kudanya. Ada tiga di depan untuk
memperlihatkan pada orang-orang…”
Beak bersumpah tidak akan mengucapkan sepatah kata pun.
Semuanya bergantung pada laki-laki Skotlandia itu untuk memecahkan sisa
teka-tekinya.
“Beak, apa kau di dalam?”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar