London
1888
Wanita baik-baik dan terpandang
menawarkan untuk menjadi pendamping wanita Amerika sopan yang membutuhkan
bimbingan sosial. Referensi ada. Kirim permintaan Anda kepada Lady Louisa
Wentworth melalui terbitan ini
The Lady’s Quarterly Review
“Coba
katakan apa ini?”
Lady
Louisa Wentworth menghindarkan kepalanya agar hidungnya tidak memar terkena
majalah yang dilambai-lambaikan kakak laki-lakinya dengan gusar di depan
wajahnya. Louisa tengah menikmati sarapannya yang biasa, terdiri dari bubur,
mentega, susu, dan banyak gula, sebelum kakaknya itu menerjang memasuki ruang
makan pagi bagaikan seorang malaikat pembalas dendam. Sambil menekankan serbet
linennya dengan lembut ke kedua ujung bibirnya, Louisa mengumpulkan setiap ons
keteguhan dalam dirinya supaya bisa menghadapi amukan kakaknya dengan tenang.
“Sepertinya
itu majalah,” sahut Louisa.
“Bukan
ini!” teriak kakaknya,
melambai-lambaikan majalah terbitan berkala itu ke atas dan ke bawah sebelum
membantingnya ke meja. Kakak laki-lakinya menekankan satu telunjuknya ke satu
paragraf tertentu. “Ini!”
Melirik
kata-kata yang tampak familier itu, Louisa manarik napas menenangkan diri.
“Iklanku.”
“Iklanmu,”
ulang kakaknya dengan ketenangan yang tampak ganjill hingga membuat kegelisahan
merayapi tulang belakang Louisa. Kemudian amarah kakaknya kembali meledak.
“Iklanmu! Kau mengiklankan diri untuk menjadi seorang pendamping?”
“Ya,
dan aku ada wawancara setelah ini, jadi aku akan sangat menghargai kalau kau
berhenti berteriak-teriak supaya pencernaanku tidak terganggu.
“Kau
tidak akan bekerja sebagai seorang pendamping. Aku sangat melarangnya.”
Perut
Louisa menegang dan bergejolak. Ia membuat keputusan ini setelah dengan cermat
dan hati-hati menganalisis pilihan-pilihan yang dimilikinya, menimbang
keuntungan dan kerugian, serta menerima konsekuensi luar biasa yang pasti akan
terjadi setelah ia mengubah drastis arah hidupnya, jadi ia tidak akan
mengizinkan kakaknya –atau siapa pun juga dalam hal ini –untuk menghalangi atau
menggagalkannya mewujudkan rencana itu sampai selesai.
“Aku
sudah dua puluh enam tahun, Alex, cukup dewasa untuk melakukan apa yang aku
inginkan. Menjadi pendamping merupakan pekerjaan terhormat untuk putri dari...”
“Gadis
di bawah tiga puluh tahun yang belum menikah memerlukan pendamping. Bagaimana
bisa kau menjadi pendamping padahal kau sendiri memerlukan pendamping?”
Mendorong
kursinya ke belakang, Louisa bangkit berdiri, ia melempar serbet linennya ke
mangkuk buburnya dan balas memandangi mata biru kakaknya yang memelototinya. Ia
bertanya-tanya apakah matanya juga menggelap seperti mata kakaknya ketika
ditantang.
“Seorang
lady harus menjaga reputasinya dengan baik jika ada kemungkinan seorang pria
terhormat akan melamarnya untuk menikah. Tapi tidak ada seorang pria terhormat
brengsek sekalipun yang mau menikahiku dan kau tahu betul itu.” Kakaknya
melongo mendengar makian Louisa yang pertama; kemudian membelalak mendengar
yang kedua. “Aku tidak punya mas kawin sama sekali. Sudah waktunya aku
menghadapi kenyataan, sudah waktunya kau menghadapi kenyataan. Kau tidak punya
apa pun yang berharga...”
“Kita
punya satu sama lain.”
“Kalau
begitu biar kuubah kata-kataku supaya jelas. Kau punya nilai; kau punya gelar
sialan itu. Aku tak punya apa-apa. Tidak ada mas kawin, tidak ada properti,
tidak juga harapan untuk memikat seorang pria hingga mau mengabaikan kondisiku
yang melarat...”
“Suatu
saat akan ada seorang pria cerdas yang bisa melihat nilaimu yang sebenarnya.”
Louisa
tertawa pahit. “Oh, Kakakku, berapa lama aku harus menunggu? Aku tidak pernah
didekati. Oh, beberapa pria pernah berkencan denganku sekali-sekali, tapi lebih
untuk bermain-main daripada serius. Tak ada yang pernah mengirimiku buket
bunga. Tak ada yang pernah duduk bersamaku di ruang tamu, mengobrol
macam-macam. Tak ada yang mau minta izin kepadamu untuk menikahiku. Tidak ada
yang tertarik kepadaku... tidak ada sama sekali. Kenyataannya adalah takkan
pernah ada. Tidak sebagai seorang istri dan aku takkan merendahkan diriku untuk
menjadi wanita simpanan seorang pria...”
“Aku
akan membunuh pria mana pun yang berani berpikir bisa menjadikanmu seperti
itu.”
Namun
Louisa sendiri tahu kakaknya tidak menyesal memiliki seorang wanita simpanan.
Pria memang makhluk yang aneh. Tetap saja, ia merasa kakaknya yang begitu cepat
membelanya sungguh manis.
“Alex,
aku lelah tidak punya uang terus, tidak punya kuasa atas hidup atau takdirku,
menunggu dengan sia-sia seorang pria memutuskan apakah aku layak menerima kasih
sayang dan perhatiannya sementara aku tidak memiliki apa-apa.”
Alex
menunduk memandangi sepatunya, yang sedikit usang, pemandangan yang membuat
hati Louisa hancur, karena Alex selalu menjaga penampilannya. Situasi mereka
memang cukup menyedihkan ketika Alex sudah begitu lama tidak mengganti
sepatunya.
“Kau
sangat berharga, Louisa,” kata Alex perlahan. Ia menatap adik perempuannya dan
adiknya bisa melihat betapa menderitanya ia karena kenyataan hidup mereka sama
sekali tidak seperti yang mereka berdua harapkan. “Tapi untuk menjalani
pekerjaan itu, dianggap sebagai pelayan orang lain...”
“Seorang
pendamping tidak sama dengan pelayan.”
“Semantik.
Kau melayani mereka sesuka mereka.”
“Aku
akan punya uang saku.” Memandang enteng situasi ini adalah satu-satunya cara
Louisa bisa menahan diri agar tidak menagis setiap saat, setiap jam, setiap
hari. Ia juga sama tidak bahagianya dengan keputusan ini seperti Alex, tapi
sejujurnya, apakah ia punya pilihan lain? Ia sudah melewati masa-masa
keemasannya dan sekarang saat gadis-gadis ahli waris Amerika datang menyerbu
London bagaikan burung pemangsa bangkai dan memilih-milih para pria bangsawan
yang ada, ia tidak mau hanya menerima sisa-sisa mereka –bukan berarti ada yang
dilemparkan kepadanya. Tapi ia masih harus memperhitungkan kemungkinan hal itu
akan terjadi, bahwa seorang bangsawan tua mungkin akan melihatnya sebagai jalan
keluar terakhir.
Tapi
tidak dengan yang masih muda-muda dan jantan. Tidak, Mereka memanfaatkan para
orang Amerika yang kaya raya, yang menikahkan putri-putri mereka di mana mereka
bisa mendapatkan mas kawin yang besar dari orang-orang Amerika ini. Kenapa para
wanita Inggris tidak mencoba memanfaatkan situasi ini juga? Kenapa hanya pria
yang bisa mengambil manfaat dari kegilaan orang Amerika yang ingin meningkatkan
status mereka dengan memiliki gelar bangsawan?
“Louisa...”
“Alex,
aku sudah bertekad untuk menjalani ini. Tolong jangan mempersulit kondisi yang
sudah cukup sulit ini.” Sambil tersenyum masam kepada kakaknya, Louisa kembali
duduk di kursinya. “Aku tidak menyangka kau akan mengetahui rencanaku. Aku
tidak tahu kau membaca majalah wanita.”
Sambil
menarik sebuah kursi, Alex kemudian ikut duduk, amarahnya jelas menghilang. Ia
memang selalu meledak-ledak dan jarang marah lama-lama. “Memang tidak, demi
Tuhan. Simpananku yang menunjukkannya kepadaku. Dia menertawainya, kau tahu.”
Mereka
memang berkubang dalam kemiskinan, namun Alex masih bisa memelihara seorang
wanita simpanan, tidak malu meminta para pedagang memperpanjang utangnya supaya
ia bisa menikmati semua kenyamanan yang ada dalam hidup ini. Louisa membenci
kebiasaan seperti itu, tapi tampaknya para pedagang menghargai kebangsawanan
mereka –mengizinkan mereka untuk membeli barang dengan terburu-buru kemudian
membayar dengan santai, biasanya baru di akhir tahun. Dan kalau tidak tahun
ini, maka tahun depan.
Tetapi
Louisa percaya bahwa seseorang harus hidup sesuai dengan kemampuannya. Masalah
mereka bermula ketika ayah mereka, yang wafat tiga tahun yang lalu –ironisnya
sedang memeriksa utang-utangnya saat jantungnya mendadak berhenti berdetak
–meninggalkan mereka tanpa warisan apa pun dan alex belum mampu menerima fakta
itu. Meski keadaan sepatunya menunjukkan bahwa ia mungkin sudah semakin dekat
untuk menerima keadaan mereka yang kurang beruntung.
“Simpananmu
bisa membaca?” tanya Louisa angkuh. “Bagus sekali. Aku tidak tahu kau memilih
wanita berdasarkan otaknya.”
Karena
warna kulit mereka yang putih, alex kesulitan menyembunyikan bahwa ia merasa
malu. Rona merah merambati dagu dan pipinya. Ia berdeham seolah berharap untuk
mengalihkan perhatian adiknya dari wajahnya yang memerah. “Jadi apa yang kau
ketahui mengenai pekerjaan ini dan orang yang akan mewawancaraimu?”
“Dengan
keluarga Rose. Mereka punya dua putri...”
“Rose
dari New York?”
“Kau
kenal mereka?”
“Tidak
secara pribadi, tentu saja, tapi aku sudah mendengar desas-desusnya. James Rose
adalah bankir, dari yang kuketahui, dan kaya raya.”
Louisa
mengangguk, mengakui bahwa desas-desus yang didengar Alex memang benar. “Aku
akan tahu lebih banyak setelah aku bicara dengannya dan istrinya. Aku merasa
mereka berharap akan mendapatkan pria bergelar untuk kedua putri mereka.”
Senyum
nakal terlintas di wajah tampan kakaknya. “Benarkah? Kudengar orang-orang
Amerika ini jauh lebih murah hati mengenai pengaturan maskawin.” Sambil
mencondongkan tubuhnya, ia berbisik penuh konspirasi, “Biasanya ribuan. Dan
beruntungnya aku, akan punya seseorang yang bisa menyebarkan berita baik
mengenai diriku.”
“Apa
kau mau menikah dengan ahli waris dari Amerika?”
“Lebih
sedikit kerja daripada melayaninya sebagai pendampingnya.”
Louisa
tertawa. “Pria tidak bekerja sebagai pendamping.”
Alex
mengulurkan tangan dan menggenggam tangan adiknya, semua humor tadi lenyap dari
wajahnya. “Maafkan aku, Louisa, karena kau sampai harus benar-benar bekerja.
Aku merasa seolah aku telah mengecewakanmu.”
“Aku
tidak menyalahkanmu, Alex. Kau bukanlah alasan kita sangat miskin, meskipun aku
harus mengakui aku agak jengkel memikirkan simpananmu yang tinggal di rumah
yang bisa menjadi maskawin kalau Mama masih hidup dan kau sungguh-sungguh
menikah.”
“Untungnya
Mama sudah meninggal.”
Louisa
menarik tangannya dari genggaman kakaknya. Ibu mereka meninggal tidak lama
setelah ayah mereka. Dokter mengidentifikasi penyebabnya sebagai radang
paru-paru, dikarenakan udara yang lembap, tetapi Louisa selalu yakin bahwa
penyebab meninggalnya ibunya yang sebenarnya karena patah hati. Kekurangan ibu
mereka yang cukup banyak tidak termasuk ketiadaan cinta untuk suaminya.
“Maafkan
aku, Louisa. Akan jauh lebih sulit kalau Mama masih hidup, dan kau tahu itu.
Nafsunya untuk menghabiskan uang merupakan salah satu penyebab kita berada di
posisi ini sekarang.”
“Kebiasaan
yang tampaknya kau dukung.”
Alex
meringis mendengar teguran itu tapi ia tidak bisa menyangkal kebenaran
kata-kata Louisa. “Seorang pria harus punya sesuatu untuk mengalihkan
perhatiannya; kalau tidak, tanggung jawabnya bisa membuatnya kewalahan dan dia
akan menjadi tidak berguna untuk orang lain.”
Louisa
memutar bola mata mendengar pernyataan konyol itu saat perutnya bergemuruh. Ia
berharap seandainya tadi tidak mencampakkan serbetnya ke buburnya. Sungguh perencanaan yang buruk.
“Dan
siapa yang harus kusalahkan atas pernyataan konyol itu; Hawkhurst atau
Falconridge?”
“Aku
tidak mengerti kenapa kau selalu berpendapat buruk tentang teman-temanku.”
“Mereka
merupakan pengawuh buruk. Tidak ada yang mau menikah dan mengurus usaha
mereka.”
“Aku
juga tidak.”
“Itulah
maksudku.”
“Well, mungkin tahun ini kami akan
menikahi seseorang. Sungguh sayang keluarga Rose tidak punya tiga orang putri.
Kau bisa menggiring mereka kepada kami.”
“Aku
akan membuat mereka menjauhimu.”
“Kasihanilah...”
“Aku
akan mengasihani mereka. Jika aku ditawari pekerjaan itu. Aku harus menjalani
wawancara dulu dan membuat mereka terkesan.”
“Aku
yakin kau pasti akan memikat mereka.”
***
“Apa
kau bisa menjamin putri-putriku bisa menikahi pria dengan gelar yang tinggi dan
garis silsilah yang mengesankan?”
Louisa
berjuang untuk tidak memandangi raksasa yang menyebut dirinya Mrs. Rose itu.
Wanita itu sama sekali tidak mirip bunga yang dijadikan nama keluarganya. Ia
duduk di sebuah kursi besar berpola bunga-bunga kuning di hadapan Louisa,
memberi kesan seorang ratu yang bila kau gagal memberi jawaban yang tepat akan
berteriak, “Penggal kepalanya!”
Louisa
melirik dua gadis muda yang duduk di kedua sisi ibunya. Mata Jenny yang hijau
gelap memancarkan kegembiraan mendengar pertanyaan ibunya. Louisa tidak tahu
apa yang dipikirkan Kate. Tatapan gadis itu tertuju pada novel yang dibacanya,
seolah ia sama sekali tidak peduli soal urusan mencari suami ini.
Sambil
berdeham, Louisa menatap Mrs. Rose, bola matanya sehijau putri sulungnya. Namun
tidak dengan rambutnya. Ia mewariskan rambut merah terangnya pada putri
bungsunya, Kate, sementara warna rambut Jenny lebih gelap, lebih seperti warna
kayu mahoni.
“Aku
akan berusaha semampuku...”
“Bagaimana
kalau semampumu tidak cukup baik?”
Louisa
merasa ia hampir kehilangan pekerjaan ini. Mrs. Rose tampaknya kurang puas
dengan semua jawaban yang diberikannya. Ayah Louisa Cuma seorang earl. Dengan
dengusan angkuh, Mrs. Rose berkata ia mengharapkan putri seorang duke yang akan
menjadi pendamping anaknya. Louisa menduga sebenarnya Mrs. Rose mengharapkan
lebih dari itu: putri dari seorang pangeran atau bahkan raja.
Mrs.
Rose berpendapat Louisa berpakaian dengan lusuh dan kuno. Well, tidak semua wanita mampu pergi menyeberangi Selat Inggris ke
Paris dan meminta Charles Worth mendesain gaun.
Louisa
berbicara terlalu pelan. Dan sikapnya itu menghambatnya untuk menunjukkan bahwa
sebenarnya ia berbicara dengan penuh tata krama, sesuatu yang jelas asing bagi
ibu dari Amerika itu.
Perut
ouisa bergemuruh. Sialan, hal ini selalu terjadi kalau ia sedang tegang. Mrs.
Rose menaikkan sebelah alis seolah gemuruh pelan itu menekankan pokok
permasalah apa pun yang hendak disampaikannya.
Louisa
mengepalkan tangannya yang bersarung tangan di pangkuannya. “Aku kenal dengan
banyak lord. Aku mengenal karakter mereka, warisan mereka, skandal-skandal
keluarga mereka, dan bahkan kejayaan keluarga mereka. Aku mengetahui nilai
gelar mereka. Aku tahu kesukaan-kesukaan mereka. Aku bisa tahu mana yang cocok
dan mana yang tidak. Aku akan mencarikan suami untuk putri-putrimu sama seperti
aku mencari suami untuk diriku sendiri. Seorang yang baik...”
“Aku
tidak peduli apakah dia baik. Aku Cuma mau dia berkedudukan tinggi di antara
para bangsawan. Bisakah kau menjamin posisi pria tersebut sehingga ibu Amerika
lainnya akan memandangku penuh iri dan cemburu yang susah dikendalikan karena
putri-putriku berhasil mendapatkan orang yang begitu ningrat?”
Dengan
pasrah Louisa menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak bisa menjamin itu. Aku
akan berusaha untuk memastikan putri-putrimu mendapatkan pasangan yang cocok,
tapi aku tidak bisa menjamin orang lain akan iri. Sejujurnya, aku tidak yakin
ada pendamping lain yang bisa memenuhi harapanmu yang begitu tinggi. Kami hanya
bisa menjamin tindakan kami sendiri, bukan orang lain.”
“Setidaknya
kau jujur.”
“Aku
memang jujur,” jawab Louisa cepat. Ia mungkin memang sangat membutuhkan pekerjaan
ini, tapi ia hanya bisa menelan harga dirinya hingga batas tertentu, dan ia
sudah mencapai batas itu. “Aku berusaha untuk tidak memberikan kesan palsu atau
memberikan harapan palsu.”
Louisa
merasa ia melihat satu sudut bibir Mrs. Rose berkedut, seolah wanita itu tampak
senang dan bukannya jengkel melihat keberanian Louisa.
Mrs.
Rose mengetukkan satu jemarinya yang dimanikur ke lapisan berenda yang menutupi
lengan kursinya. “Seandainya kau berada dalam posisi lebih menguntungkan,
bangsawan mana yang akan kau pilih untuk dirimu sendiri?”
Perut
Louisa menegang mendengar pertanyaan yang begitu pribadi dan intim. Ini
merupakan ujian. Ia yakin wanita mengerikan ini tengah memberinya semacam
ujian. Louisa mengangkat dagunya cukup untuk menunjukkan tanpa kelihatan angkuh
bahwa ia tidak terintimidasi. “Aku tidak pernah berada dalam posisi yang lebih
menguntungkan, jadi aku tidak pernah memikirkannya lebih lanjut.”
“Oh,
ayolah. Semua wanita berfantasi. Siapa yang akan menjadi pasangan idealmu?”
“Oh,
Mama, tentunya Mama sadar bahwa pria yang menjadi fantasi seorang wanita belum
tentu seseorang yang akan menjadi pasangan ideal,” sahut Jenny.
Louisa
terkejut gadis muda itu mengucapkan persis apa yang dipikirkannya. Bayangan
akan Hawkhurst –berkulit gelap, jail, berbahaya –berkelebat mendadak di
benaknya. Hal yang aneh, karena pria itu jelas bukan fantasi atau idaman... well, mungkin lebih ke arah fantasi,
kalau ia harus jujur pada dirinya sendiri, dan bukannya ia mengklaim bahwa ia
orang yang jujur?
Selain
kejujuran itu, ada juga pengakuan bahwa Hawkhurst punya andil dalam situasi
yang sekarang ini. Tiap kali pria itu mengunjungi kakaknya, Hawkhurst
mengabaikannya seperti pria-pria lain. Kalau Louisa tidak bisa mendapatkan
perhatian sahabat kakaknya, lalu harapan apa yang tersisa untuknya? Sama sekali
tidak ada.
“Wah,
Lady Louisa, wajahmu memerah,” komentar Jenny.
“Aku
Cuma tidak terbiasa ditanya berbagai macam hal yang pribadi. Kami orang Inggris
agak lebih berhati-hati dalam menentukan seseorang untuk melakukan sesuatu
pekerjaan spesifik. Siapa yang kurasa ideal, Mrs. Rose, tidak ada hubungannya
dengan siapa yang mungkin ideal untuk putri-putrimu. Kalau kau khawatir aku
akan menjadi saingan mereka, kuyakinkan kau aku tidak akan seperti itu.”
Pengakuan yang menyakitkan, tapi memang jujur. “Semua daya dan upayaku akan
kucurahkan untuk memenuhi harapanmu.”
“Harus
kuakui aku tidak merasa jawaban-jawabanmu memuaskan...”
Perut
Louisa bergejolak saat rasa kecewa melandanya. Apakah ia akan menerima
kekalahan ini dengan anggun atau mencoba sekali lagi...
“Seandainya
kau mempekerjakanku sebagai pendamping sosial putri-putrimu, aku akan berusaha
sekuat tenaga agar kau tidak kecewa dengan hasil dari kesepakatan kita. Kita
semua akan mendapat keuntungan dan bukankah itu ukuran kerja sama yang
berhasil?”
“Apa
kau sering memotong perkataan orang tua?” Tanya Mrs. Rose.
“Tidak,
aku hampir tidak pernah memotong perkataan orang lain dan aku minta maaf atas
kekasaran tindakanku. Aku hanya ingin membuat...” usaha terakhir kedengaran
seolah Louisa sedang memohon dan ia tidak mau membungkuk serendah itu dan
mengakui apa yang tengah ia lakukan, “pernyataan terakhir mengenai kekuatanku
sebelum kau mengatakan sesuatu yang kita berdua akan sesali.”
“Yang
hendak kukatakan adalah bahwa aku lelah mendengarmu bicara berputar-putar, tapi
sudah memutuskan bahwa kau cocok. Kau dipekerjakan.” Mrs. Rose bangkit berdiri
begitu cepat hingga roknya bergemerisik. “Suamiku yang akan mengurus masalah
detail pembayaran vulgar itu denganmu. Kau boleh pindah kemari besok. Sebuah
kamar akan disiapkan dekat kamar putri-putriku supaya kau bisa siap untuk
mereka setiap saat. Jangan kecewakan aku, Lady Louisa. Kau takkan mau aku
kecewa. Aku bisa membuat hidupmu menderita...”
“Ya,
ya, kurasa kau sudah membuat pekerjaanmu cukup jelas, Sayang,” kata Mr. Rose,
bicara untuk pertama kalinya sejak Louisa memasuki ruangan dan mereka sudah
berkenalan. Ia tengah duduk di kursi dekat jendela seolah-olah ia hanya sebuah
tambahan di sana.
Mrs.
Rose melirik tajam suaminya dan mau tak mau Louisa bertanya-tanya apakah wanita
itu membuat hidup suaminya menderita. Kelihatannya itulah tujuan utama Mrs.
Rose: untuk membuat orang lain ketakutan dan terintimidasi.
“Baiklah,”
sahut Mrs. Rose. “Aku akan meninggalkanmu dan anak-anak untuk saling mengenal
lebih jauh. Aku punya masalah lain yang lebih penting untuk diurus.”
Dan
setelah berkata demikian, Mrs. Rose keluar dari ruangan bagaikan ditiup angin.
Louisa menemukan dirinya bersandar ke kursi, rasa lega bercampur ngeri melandanya.
Apa yang membuatnya berjuang keras untuk masuk ke situasi ini dan seberapa
cepat ia akan mulai menyesalinya?
“Jangan
khawatir. Istriku lebih keras salakannya daripada gigitannya,” sahut Mr. Rose
sambil berpindah ke kursi yang tadi diduduki istrinya. Pria itu tampak gagah,
pakaiannya rapi, dan tata kramanya apik.
Louisa
merasa ia perlu merespons pernyataan itu meskipun ia tak ingin menghina majikan
barunya. Sementara ia tidak ragu Mr. Rose yang membawa uang ke dalam rumah
tangga itu, ia menduga Mrs. Rose mengawasi pengeluarannya. “Tampaknya dia tahu
apa yang diinginkannya.”
“Kami
orang kaya baru. Istriku tersayang berpikir bahwa kalau putri-putri kami
menikahi bangsawan Inggris maka kami bisa mendapatkan gengsi orang kaya lama.”
Mr. Rose terus mengelus-elus kumisnya yang beruban dengan ibu jari dan
telunjuknya. Matanya bersinar ramah, tidak coklat, tidak hijau, dengan senyum
malu-malu yang tampaknya tidak cocok dengan seorang pria seperti dirinya yang
dikenal kaya, sukses, dan bertekad untuk meninggalkan jejak di dunia ini.
Louisa
langsung menyukai Mr. Rose ketika mereka diperkenalkan. Seandainya saja ia bisa
mengatakan hal yang sama dengan Mrs. Rose yang menakutkan.
“Istriku
menyebut bahwa pembayaran itu vulgar. Tak ada yang vulgar dalam pekerjaan
jujur. Para bangsawan seperti kalian harus menerimanya supaya bisa tetap
bertahan hidup.”
“Kami
sudah berhasil bertahan selama beberapa abad, terima kasih banyak,” kata
Louisa, meringis mendengar suara angkuh dalam suaranya, juga kelancangan
pernyataannya. Bukankah ia tadi memohon-mohon untuk pekerjaan ini? “Maafkan
aku...”
“Tidak
perlu meminta maaf, Sayang. Aku dulu juga pernah berada di posisimu. Aku bahkan
pernah tidak punya satu sen pun dan aku rela melakukan apa saja untuk bertahan
hidup. Jadi mari bicarakan soal kevulgaran itu?”
Mereka
mendiskusikan gaji Louisa, atau lebih tepatnya Mr. Rose memberitahukan berapa
banyak ia berencana membayarnya –lima pound sebulan ditambah bonus pada hari
kedua putrinya menikah –dan karena itu sungguh perjanjian yang murah hati dan
hanya orang bodoh yang akan menolaknya –dan Louisa tidak menganggap dirinya
sendiri sebagai orang bodoh –ia menerima perjanjian itu tanpa keberatan atau
ragu-ragu lagi. Mr. Rose menyambutnya ke dalam rumah tangga itu dengan jabat
tangan mantap dan janji untuk menyiapkan dokumen-dokumen untuk Louisa tanda
tangani besok.
Setelah
Mr. Rose keluar dari ruangan itu, yang harus Louisa lakukan sekarang adalah
menenangkan gadis-gadis keluarga Rose mengingat bagaimana tugas-tugasnya akan
memengaruhi hidup mereka. Ia punya firasat, berdasarkan komentar Jenny, bahwa
gadis itu suka iseng dan bersenang-senang. Tapi ia tidak tahu bagaimana
perangai Kate. Loisa tersenyum cerah kepada jenny karena Kate masih asyik
dengan isi novelnya. “Jadi sepengetahuanku ini Season pertama kalian di
London.”
“Kami
tiba di sini sejak musim semi, jadi musim panas akan menjadi Season kedua kami
di London,” gumam Kate.
Sambil
tertawa, Jenny melakukan apa yang dari tadi hendak dilakukan Louisa. Ia
merampas buku itu dari genggaman Kate. Sambil menjerit Kate berusaha meraih
kembali dan Jenny buru-buru menjejalkan itu ke bawah roknya yang mengembang,
mendudukinya dengan wajah tampak puas.
“Kembalikan
bukuku,” desak Kate.
“Tidak
sebelum kau berhenti bersikap begitu tidak sopan pada pendamping kita. Tidak
bisakah kau melihat dia begitu gugup?”
“Aku
tidak gugup,” protes Louisa. Ia meringis melihat tatapan menantang Jenny.
“Baiklah, sedikit.”
“Seharusnya
tidak usah, karena sekarang naga sudah meninggalkan sarangnya,” kata Kate,
kembali duduk di kursinya seolah pasrah dengan fakta bahwa kakaknya takkan
mengembalikan barangnya yang berharga.
“Kate
agak gusar karena Ibu menangani perburuan suami kami bagaikan mengurus bisnis.”
“Orang
harus menikah karena cinta,” sahut Kate.
“Aku
tidak setuju. Seseorang harus menikah karena gairah kemudian cinta akan
mengikuti.”
“Kau
harus punya cinta sebelum bisa punya
gairah,” balas Kate.
Jenny
menatap Louisa. “Bagaimana menurutmu? Yang mana lebih dulu, cinta atau gairah?”
Bergerak-gerak
gelisah di kursinya, Louisa merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang begitu
blak-blakan itu. “Karena aku tidak pernah mengalami keduanya, aku khawatir aku
tidak bisa menjawabnya.”
“Kalau
begitu kenapa kau cocok menjadi pendamping kami?” tanya Kate.
“Kalau
kau tadi mendengarkan, Bodoh, kau akan tahu. Dia telah memberitahukan semua kualifikasinya
kepada Ibu.”
“Aku
mendengarkan dan aku tidak peduli pada hal-hal yang dia sebutkan tadi. Aku
tidak mau pernikahanku diatur...”
“Pernikahan
tidak lagi diatur...”
“Siapa
bilang tidak. Mereka mengubah prosesnya, tapi intinya tetap sama. Selama Ibu
menyetujui pria itu, tidak penting kita mencintainya atau tidak.”
“Karena
itulah Lady Louisa sangat penting. Dia akan membimbing kita kepada pria-pria
yang bisa kita cintai. Bukankah begitu?” tanya Jenny.
Louisa
menarik napas dalam-dalam. “Itulah harapanku.”
“Apakah
kau sudah punya kandidat?”
“Well, kurasa pertama-tama, aku harus
tahu apa yang kalian cari dari seorang pria.”
“Bagus!”
Jenny menarik buku dari bawah roknya dan melemparkannya ke pangkuan adiknya.
“Kau lihat, Lady Louisa ada di pihak kita, jadi kemenangan sudah pasti.”
“Kau
membuat seolah hal ini kedengaran seperti perang,” ujar Louisa.
“Bukankah
kau baru bertemu Ibu kami?” tanya Kate. “Aku yakin dialah alasan perutmu
bergemuruh.”
“Tak
usah khawatir dengan komentar sinis Kate,” sahut Jenny cepat sebelum Louisa
bisa menjawab kekasaran Kate itu. “Seperti Ibu, dia punya gagasan sendiri
mengenai bagaimana seseorang menemukan cinta sejatinya.”
“Kau
tidak perlu mencarinya. Dia yang harus menemukanmu,” sahut Kate.
Jenny
memutar bola matanya. “Cukup sudah pembicaraan coal ini.” Ia duduk lebih tegak,
memusatkan perhatiannya. Meskipun tak seorang pun dari kakak beradik ini gang
gemuk, Kate tampak lebih bundar wajahnya dan Jenny sedikit lebih tinggi, nyaris
sama tinggi dengan Louisa.
“Ceritakan
mengenai calon-calonnya,” pinta Jenny.
Louisa
tertawa, tawanya dihiasi rasa tidak nyaman saat ia berusaha menemukan
keseimbangan dalam pengaturan janggal ini: pendamping-makcomblang. Ini
merupakan pekerjaan untuk wanita-wanita berpendidikan. Sejauh ini ia tidak
pernah menemukan ada buku yang ditulis mengenai persisnya apa tugas dan
tanggung jawab seseorang dalam pekerjaan semacam ini.
“Seperti
yang kukatakan tadi, kurasa kalian harus memberitahuku apa yang kalian cari
dalam diri seorang suami. Lalu aku bisa membandingkan keinginan kalian dengan
apa yang kuketahui dari para lord yang tersedia, dan kuharap kita akan
menemukan pasangan yang cocok.”
“Kau
mau pria yang nyata daripada fantasiku?” tanya Jenny. “Karena seperti yang kau
sebutkan, kurasa keduanya sama sekali tidak sama.”
Louisa
merasa pipinya memanas. Orang-orang Amerika selalu bicara blak-blakan. “Mungkin
sedikt dari keduanya,” jawabnya.
“Well, dia harus tampan,” sahut Jenny.
“Kau setuju kan Kate?”
“Aku
tak peduli soal penampilannya. Aku hanya peduli bagaimana dia bisa membuatku
merasa nyaman.”
“Well, kalau dia jelek, dia pasti akan
membuatmu mual.”
“Dia
takkan jelek.”
“Lady-lady,”
sela Louisa sebelum debat mereka berlanjut makin panjang. Ia tidak mengira
kakak beradik ini sangat berbeda baik dari segi pendapat maupun temperamen.
Mencarikan suami untuk mereka masing-masing akan menjadi tantangan tersendiri,
apalagi pria yang disetujui oleh ibu mereka. “Kurasa lebih baik kalau kalian
masing-masing memberitahuku apa yang kalian butuhkan.”
“Gairah,”
sahut Jenny.
“Cinta,”
balas Kate.
Kemudian
mereka berdua berdebat mengenai mana yang ada duluan. Oh, Season ini pasti akan
sangat menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar