Penulis mendengar kabar burung bahwa
Nigel Berbrooke terlihat di dalam Moreton’s Jewerly Shop membeli cincin berlian
tunggal. Mungkinkah tidak lama lagi akan muncul Mrs. Berbrooke yang baru?
LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN,
28
APRIL 1831
DAPHNE
memutuskan malam ini mustahil jadi semakin buruk. Pertama-tama ia terpaksa
menghabiskan malam di sudut gelap ruang dansa (itu bukan kegiatan yang mudah,
karena Lady Danbury jelas menghargai kualitas estetika sekaligus pencerahan
lilin), kemudian tersandung kaki Philipa Featherington ketika berusaha
melarikan diri, yang mendorong gadis itu–yang tidak pernah menjadi gadis paling
tenang dalam suatu ruangan–memekik, “Daphne Bridgerton! Apa kau terluka?” Yang
pasti menarik perhatian Nigel, karena pria itu langsung menoleh dengan cepat
seperti burung kaget, dan langsung bergegas menyeberangi ruang dansa. Daphne
berharap, bukan, berdoa, bisa
meninggalkan pria itu dan masuk ke ruang istirahat wanita sebelum pria itu bisa
mengejarnya. Tapi tidak, Nigel berhasil memojokkannya di aula dan mulai
melantunkan rengekan cintanya terhadap Daphne.
Ini
semua sudah cukup memalukan, tapi tampaknya pria ini–orang asing yang luar
biasa tampan dan nyaris sangat berwibawa– menyaksikan seluruh peristiwa itu.
Dan yang lebih parah, pria itu tertawa!
Daphne
melotot kepada pria itu sementara pria tersebut menertawakannya. Ia belum
pernah melihatnya, jadi pria itu pasti orang baru di London. Ibunya sudah
memastikan Daphne diperkenalkan kepada, atau paling tidak mengetahui, semua
pria memenuhi syarat. Tentu saja pria ini bisa saja sudah menikah dan oleh
karena itu tidak termasuk dalam calon korban Violet, tapi Daphne secara
naluriah tahu pria itu tidak mungkin sudah lama ada di London tanpa menjadi
buah bibir seluruh dunia.
Wajah
pria itu bisa dibilang sempurna. Hanya butuh sesaat bagi Daphne untuk menyadari
pria itu bahkan lebih tampan dibanding semua patung Michelangelo. Matanya
terlihat intens –begitu biru hingga terlihat bersinar. Rambutnya tebal dan
gelap, sementara tubuhnya jangkung–setinggi kakak lelakinya–dan itu hal langka.
Inilah
pria yang mungkin bisa dipastikan akan mencuri perhatian para gadis muda yang
suka terkikik melihat para pria Bridgerton, batin Daphne muram. Ia tidak tahu
kenapa hal itu sangat mengusiknya. Mungkin karena aku tahu pria sepertinya
takkan pernah tertarik pada wanita sepertiku. Mungkin karena aku merasa seperti
wanita paling buruk rupa ketika duduk di lantai di hadapan sosok luar biasa
itu. Mungkin hanya karena pria itu berdiri di sana dan tertawa seolah aku ini
semacam hiburan sirkus.
Tapi
apa pun alasannya, sikap ketus yang asing muncul dari dalam diri Daphne.
Alisnya bertaut ketika ia bertanya, “Anda siapa?”
Simon
tidak tahu mengapa ia tidak langsung menjawab pertanyaan gadis itu, namun sifat
jail dalam dirinya mendorongnya untuk menjawab, “Tadinya saya berniat menyelematkan
Anda, tapi jelas Anda tidak membutuhkan bantuan saya.”
“Oh,”
ucap gadis itu, terdengar agak malu. Gadis itu mengatupkan bibir, melekukkannya
sedikit sembari mempertimbangkan kata-kata Simon. “Yah, kalau begitu sepertinya
saya harus berterima kasih! Sayang sekali Anda tidak menunjukkan diri Anda
sepuluh detik lalu. Saya lebih suka jika tidak perlu meninjunya..”
Simon
menunduk ke arah pria di lantai. Memar sudah mulai muncul di dagu pemuda itu,
dan dia mengerang, “Laffy, oh Laffy. Aku mencintaimu, Laffy.”
“Kurasa
kaulah si Laffy ini?” gumamSimon, menyusurkan pandangannya naik ke wajah gadis
itu. Gadis itu sungguh sosok mungil yang menarik, dan dari sudut ini, kerah
gaunnya terlihat nyaris amat sangat
rendah.
Gadis
itu mengerutkan dahi sembari menatapnya, jelas tidak menghargai upaya Simon
untuk bergurau, dan jelas tidak menyadari tatapan penuh hasratnya terarah ke
bagian tubuh selain wajah gadis itu. “Apa yang akan kita lakukan dengannya?”
tanya gadis itu.
“Kita?”
ulang Simon.
Kerutan
di dahi gadis itu semakin dalam. “Anda bilang Anda berniat menjadi penyelamat
saya, bukan?”
“Itu
benar.” Simon berkacak pinggang dan mempelajari situasi ini. “Bagaimana kalau
saya menyeretnya ke jalanan?”
“Tentu
saja jangan!” seru gadis itu. “Astaga, bukankah di luar hujan masih turun?”
“Miss
Laffy yang terhormat, ucap Simon, sama sekali tidak peduli dengan nada angkuh
dalam suaranya, “tidakkah menurut Anda perhatian itu agak salah tempat? Pria
ini mencoba menyerang Anda.”
“Dia
tidak mencoba menyerangku,” balas gadis itu. “Dia hanya... Dia hanya... Oh,
baiklah, dia mencoba menyerangku. Tapi dia takkan pernah bisa menyakitiku.”
Simon
mengangkat sebelah alisnya. Sungguh, wanita adalah makhluk yang paling
membingungkan. “Dan bagaimana Anda bisa yakin akan hal itu?”
Ia
mengamati manakala gadis itu memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Nigel
tidak mampu berbuat jahat,” ucap gadis itu pelan. “Ia hanya bersalah atas
penilaian yang keliru.”
“Kalau
begitu Anda lebih berjiwa pemarah dibanding saya,” tutur Simon lirih.
Gadis
itu mendesah kembali, suara lembut dan halus yang entah bagaimana Simon rasakan
di sekujur tubuhnya. “Nigel bukan orang jahat,” ucapnya dengan penuh martabat.
“Hanya saja dia tidak terlalu cerdas, dan mungkin dia salah mengira kebaikanku
sebagai sesuatu yang lebih.”
Simon
anehnya kagum kepada gadis itu. Pada titik ini, kebanyakan wanita kenalannya
pasti sudah histeris, tapi gadis itu –siapa pun dia mengambil alih situasi ini
dengan tegas, dan kini malah menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa. Ia
bahkan takjub mendengar gadis itu masih mau membela pria bernama Nigel ini.
Gadis
itu berdiri, menepuk-nepuk rok sutra berwarna hijau keabuan untuk membersihkan
tangannya. Rambutnya di tata sedemikian rupa sehingga terdapat sejumput tebal
rambut menjuntai di bahu, melingkar dengan menggoda di atas payudaranya. Simon
tahu seharusnya ia mendengarkan kata-kata gadis itu, tapi dirinya sudah tidak
bisa mengalihkan perhatian dari sejumput rambut gelap itu. Rambut itu menjuntai
laksana pita sutra di leher jenjang gadis tersebut, dan simon merasakan desakan
yang sangat mengejutkan untuk menghapus jarak di antara mereka dan menyusuri
garis rambut gadis itu dengan bibirnya. Ia belum pernah merayu gadis perawan,
tapi seluruh dunia telah mencapnya sebagai playboy.
Apa ruginya? Bukan berarti ia akan menggauli gadis itu. Ciuman saja. Satu
ciuman singkat semata.
Itu
menggoda, amat sangat luar biasa menggoda.
“Sir!
Sir!”
Dengan
amat sangat enggan Simon mengangkat tatapannya ke wajah gadis itu. Tentu saja
wajah gadis itu menarik dan sepat di pandang, tapi sulit membayangkan merayunya
ketika gadis itu mengerutkan dahi ke arahnya.
“Anda
mendengarkan saya, tidak?”
“Tentu
saja,” Simon berbohong.
“Anda
tidak mendengarkan saya.”
“Tidak,”
aku simon.
Suara
yang terlontar dari pangkal tenggorokan gadis itu secara mencurigakan terdengar
seperti geraman. “Kalau begitu mengapa Anda berkata Anda mendengarkan saya?”
tukasnya kesal.
Simon
mengangkat bahu. “Saya pikir itulah yang ingin Anda dengar.”
Simon
mengamati dengan penuh ketertarikan manakala gadis itu menarik napas
dalam-dalam dan menggumamkan sesuatu dengan pelan. Ia tidak bisa mendengarkan
ucapan gadis itu, tapi ragu hal itu bisa dianggap sebagai pujian. Akhirnya
gadis itu berkata dengan suara yang nyaris datar, “Jika Anda tidak ingin
membantu saya, saya lebih suka jika Anda pergi saja.”
Simon
memutuskan untuk berhenti bersikap seperti orang yang tidak tahu aturan, jadi
ia berkata, “Maafkan saya, tentu saja saya akan membantu.”
Gadis
itu menghela napas, kemudian menatap Nigel yang masih tergeletak di lantai,
mengerang tidak keruan. Simon juga ikut menunduk dan untuk beberapa detik
mereka hanya berdiri di sana, menatap pria tidak sadarkan diri itu sampai gadis
tersebut berkata, “Saya tidak memukulnya sekeras itu.”
“Mungkin
dia mabuk.”
Gadis
itu terlihat tidak percaya. “Menurut Anda begitu? Saya mencium alkohol dari
napasnya, tapi saya belum pernah melihatnya mabuk.”
Tidak
ada apa-apa yang bisa ditambahkan Simon pada jalan pikiran itu, jadi ia hanya
bertanya, “Jadi, apa yang ingin Anda lakukan?”
“Saya
rasa kita bisa saja meninggalkannya di sini,” jawab gadis itu, ekspresi ragu
menghias mata kelamnya.
Simon
pikir itu ide bagus, tepi jelas gadis itu mengharapkan pemuda tolol tersebut
diperlakukan dengan cara yang lebih ramah. Dan semoga Tuhan membantunya, tapi
dia merasakan dorongan aneh untuk membahagiakan gadis itu. “Inilah yang akan
kita lakukan,” ujarnya tegas, lega suaranya tidak mengungkapkan kelembutan aneh
yang dirasakannya. “Saya akan memanggil kereta kuda saya–”
“Oh,
bagus,” potong gadis itu. “Saya memang tidak ingin meninggalkannya di sini.
Sepertinya itu terlalu kejam.” Simon pikir itu agak terlalu murah hati
mengingat pria bodoh itu nyaris menyerang gadis tersebut, tapi ia tidak
mengungkapkan pendapatnya itu dan hanya melanjutkan penjelasan rencananya.
“Anda akan menunggu di perpustakaan sementara saya pergi.”
“Di
perpustakaan? Tapi–”
“Di
perpustakaan,” ulang Simon tegas. “Dengan pintu tertutup. Apa Anda benar-benar
ingin ditemukan bersama tubuh Nigel jika ada seseorang yang kebetulan berjalan
ke aula ini?”
“Tubuh
Nigel? Ya ampun, Sir, Anda tidak perlu membutnya terdengar seolah dia sudah
meninggal.”
“Seperti
yang saya bilang tadi,” lanjut Simon, sama sekali mengabaikan komentar gadis
itu, “Anda akan tetap berada di perpustakaan. Ketika saya sudah kembali, kita
akan memindahkan Nigel ini ke dalam kereta kuda saya.”
“Dan
bagaimana kita akan melakukannya?”
Simon
menyunggingkan cengiran yang sangat menawan. “Saya sama sekali tidak punya
bayangan.”
Untuk
sejenak Daphne lupa untuk bernapas. Tepat ketika ia memutuskan calon
penyelamatnya amat sangat arogan, pria itu tersenyum seperti itu kepadanya. Itu
salah satu cengiran polos yang bisa melelehkan hati wanita dalam radius lima
belas kilometer.
Dan,
sangat disayangkan, Daphne sulit mempertahankan kekesalannya terhadap pria yang
memiliki senyuman semanis itu. Setelah tumbuh besar dengan empat saudara
laki-laki, yang semuanya tampaknya tahu cara merayu wanita sejak lahir, Daphne
pikir dirinya sudah kebal.
Tapi
ternyata tidak. Dadanya berdebar-debar, perutnya mulas, dan lututnya seperti
mentega cair.
“Nigal,”
gumam Daphne, setengah mati berusaha mengalihkan perhatiannya dari pria tanpa
nama yang berdiri di seberangnya, “aku harus memeriksa Nigel.” Ia berjongkok
dan mengguncang bahu pemuda itu dengan agak kasar. “Nigel? Nigel? Kau harus
bangun sekarang, Nigel.”
“Daphne,”
erang Nigel. “Oh, Daphne.”
Kepala
orang asing berambut gelap itu menoleh dengan cepat. “Daphne? Barusan dia
bilang Daphne?”
Daphne
menegakkan tubuh, gelisah akibat pertanyaan blakblakan serta tatapan lumeyan
tajam pria itu. “Ya.”
“Namamu
Daphne?”
Sekarang
Daphne mulai bertanya-tanya apa pria itu orang idiot.
“Ya.”
Simon
mengerang. “Bukan Daphne Bridgerton, bukan?” wajah gadis itu menampakkan
ekspresi bingung. “Tepat sekali.” Simon terhuyung mundur selangkah. Mendadak
dirinya merasa mual, namakala otaknya akhirnya memproses fakta bahwa gadis itu
mempunyai rambut coklat tebal. Rambut keluarga Bridgerton yang terkenal. Belum
lagi hidung dan tulang pipi Bridgerton, dan –brengsek, gadis ini adik Anthony! Sialan. Ada aturan di
antara teman, sebenarnya lebih mirip perintah tak tertulis, dan salah satu
aturan yang paling penting adalah Kau Tidak Boleh Mengejar Saudara Perempuan
Temanmu.
Sementara
pria itu berdiri di sana, memandangnya seperti orang idiot, Daphne berkacak
pinggang dan menuntut, “Dan Anda siapa?”
“Simon
Basset,” tuturnya.
“Sang
Duke?” pekik Daphne. Pria itu mengangguk muram. “Oh, astaga.”
Simon
mengamati dengan rasa ngeri yang semakin memuncak manakala wajah gadis itu
memucat. “Demi Tuhan, kau takkan pingsan, bukan, Nona?” Ia tidak bisa
membayangkan mengapa gadis itu akan pingsan, tapi Anthony –kakak gadis itu, ia
mengingatkan dirinya –menghabiskan setengah siang tadi memperingatkannya
tentang dampak duke muda dan lajang
terhadap populasi wanita muda dan lajang. Anthony secara spesifik menyatakan
Daphne sebagai perkecualian atas aturan itu, tapi tetap saja, gadis itu
terlihat amat sangat pucat. “Jadi?” desaknya ketika gadis itu tidak berkata
apa-apa. “Mau pingsan?”
Gadis
itu terlihat tersinggung karena Simon bahkan memikirkan kemungkinan tersebut.
“Tentu saja tidak!”
“Bagus.”
“Hanya
saja–”
“Apa?”
tanya Simon curiga.
“Yah,”
sahut Daphne sambil mengangkat bahunya dengan agak pasrah, “aku sudah
diperingatkan tentangmu.”
Ini
sudah keterlaluan. “Oleh siapa?” desak Simon.
Gadis
itu menatap Simon seolah dirinya orang tolol. “Oleh semua orang.”
“Itu,
M–” Simon merasakan sesuatu yang sangat mirip kegagapan hendak muncul, jadi ia
menarik napas dalam-dalam untuk melemaskan lidahnya. Ia sudah ahli dalam
kendali semacam ini. Gadis itu hanya melihat dirinya tampak seolah berusaha
menahan amarah. Dan mengingat arah perbincangan mereka, kesan itu tidak terlalu
menyimpang jauh.
“Miss
Bridgerton yang terhormat,” ujar Simon, mulai berbicara dari awal dengan nada
yang lebih tenang dan terkontrol, “aku sulit memercayai hal itu.”
Daphne
mengangkat bahu lagi, dan simon curiga gadis itu menikmati keresahannya.
“Percayalah apa yang kau inginkan,” tukas gadis itu santai “tapi itu tertulis
di koran hari ini.”
“Apa?”
“Di
Whistledown,” sahut gadis itu, seolah
itu sudah menjelaskan segalanya.
“Whistle-apa?”
Daphne
bengong sejenak ketika menatap pria itu sampai tersadar pria itu baru kembaloi
ke London. “Oh, kau pasti tidak tahu soal itu,” ujarnya pelan, senyum kecil
jail melekukkan bibirnya. “Sulit dibayangkan.”
Sang
duke melangkah ke depan, bahasa tubuhnya amat sangat mengancam. “Miss
Bridgerton, aku merasa aku harus memperingatkanmu bahwa aku amat sangat nyaris
mencekik lehermu demi mendapatkan informasi.”
“Itu
koran gosip,” jawab Daphne, buru-buru melangkah mundur. “Itu saja. Sebenarnya
itu agak konyol, tapi semua orang membacanya.”
Pria
itu tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat sebelah alis dengan arogan. Daphne
cepat-cepat menambahkan, “Ada laporan kedatanganmu kembali pada edisi Senin.”
“Dan
apa” mata Simon menyipit dengan mengancam –“persisnya” –sekarang tatapannya
berubah sedingin es –“yang tertulis di sana?”
“Tidak
banyak kok, eh, persisnya,” elak Daphne. Ia berusaha mundur selangkah, tapi
tumitnya menempel ke dinding. Jika mundur lebih jauh lagi, ia akan berjinjit.
Sang duke terlihat amat sangat murka, dan ia mulai berpikir sebaiknya ia
mencoba segera kabur dan meninggalkan pria itu di sini bersama Nigel. Mereka
berdua cocok bagi satu sama lain –keduanya orang gila.
“Miss
Bridgerton,” suara pria itu sarat dengan ancaman.
Daphne
memutuskan untuk mengasihani sang duke karena, setelah dipikir-pikir lagi, pria
itu baru tiba di kota ini dan belum sempat menyesuaikan diri dengan dunia baru
menurut Whistledown. Ia rasa ia tidak
bisa menyalahkan pria itu karena merasa begitu risau mendengar dirinya ditulis
di koran. Pengalaman pertama itu juga lumayan mengejutkan bagi Daphne, padahal
ia sudah tahu mengenai Whistledown
sejak paling tidak sebulan sebelumnya. Ketika Lady Whistledown menulis tentang
dirinya, rasanya nyaris antiklimaks.
“Kau
tidak perlu terlalu mencemaskan soal itu,” ujar Daphne, berusaha menyuntikkan
sedikit rasa iba dalam suaranya, tapi mungkin itu tidak berhasil. “Dia hanya
menulis bahwa kau playboy kawakan,
fakta yang saya yakin takkan Anda bantah, karena sudah lama saya menyadari
bahwa kaum pria sungguh mendambakan
dianggap sebagai playboy.”
Ia
berhenti sejenak dan memberi kesempatan para pria itu untuk membuktikan bahwa
dirinya keliru dan membantah pernyataan tersebut. Pria itu tidak melakukannya.
Daphne
melanjutkan penjelasannya, “Kemudian ibuku, yang menurutku pasti pernah kau
kenal sebelum kau pergi berkeliling dunia, memastikan semua itu.”
“Oh
begitu?”
Daphne
mengangguk. “Beliau melarangku supaya jangan pernah sekalipun terlihat
bersamamu.”
“Benarkah?”
ujar Simon malas.
Sesuatu
tentang nada suara –dan bagaimana tatapan pria itu seolah berubah menjadi
nyaris menggairahkan manakala tertuju kepadanya –membuat Daphne amat sangat
resah, dan ia harus mengerahkan seluruh keberaniannya untuk tidak memejamkan
mata. Ia menolak, sama sekali menolak, pria itud mengetahui bagaimana dia bisa memengaruhinya.
Bibir
Simon perlahan menekuk membentuk senyuman. “Coba kuulang untuk memastikannya.
Ibumu memberitahu aku pria yang sangat berbahaya dan kau tidak boleh terlihat
bersamaku dalam situasi apa pun.”
Daphne
mengangguk bingung.
“Jika
demikian,” tambah Simon, berhenti sejenak untuk menambahkan efek dramatis,
“menurutmu apa yang akan dikatakan ibumu
tentang pemandangan kecil ini?”
Daphne
berkedip. “Apa?”
“Yah,
kecuali kau memperhitungkan Nigel ini” –Simon melambaikan tangan ke arah pria
yang tidak sadarkan diri di lantai –“tak seorang pun benar-benar melihatmu bersamaku. Meski demikian...”
Ia membiarkan kalimatnya menggantung, terlalu senang melihat berbagai emosi
yang melintas di wajah gadis itu untuk melakukan apa pun selain memperpanjang
momen ini selama mungkin.
Tentu
saja sebagian besar emosi di wajah gadis itu berupa beragam tingkatan kekesalan
dan kecemasan, tapi hal itu malah membuat saat ini terasa semakin manis. “Meski
demikian,” geram gadis itu.
Simon
mencondongkan tubuh ke depan, mempersempit jarak di antara mereka hingga
tinggal beberapa sentimeter. “Meski demikian,” ucapnya pelan, tahu gadis itu
merasakan embusan napas Simon di wajahnya, “kita benar-benar sendirian di
sini.”
“Kecuali
Nigel,” balas gadis itu. Simon hanya melirik sekilas ke arah pria di lantai itu
sebelum kembali mengarahkan tatapan menggodanya kepada Miss Bridgerton. “Aku
tidak terlalu peduli tentang Nigel,” gumamnya. “Bagaimana denganmu?”
Simon
mengamati manakala gadis itu menunduk menatap Nigel dengan cemas. Sudah jelas
pengagum yang ditolaknya itu takkan menyelamatkan Daphne jika Simon memutuskan
untuk merayunya. Tentu saja tidak berarti aku akan melakukannya. Lagi pula, ini
adik perempuan Anthony. Ia mungkin harus lumayan sering mengingatkan dirinya
akan hal ini, tapi itu bukanlah fakta
yang bisa lenyap dari benaknya secara permanen.
Simon
tahu sudah waktunya mengakhiri permainan kecil ini. Bukan berarti ia berpikir
gadis tersebut akan melaporkan selingan ini kepada Anthony; entah bagaimana ia
tahu gadis itu lebih suka merahasiakan hal ini, marah-marah kepadanya tanpa
diketahui siapa pun, dan –benarkah ia mengharapkannya –merasakan setitik
kegembiraan? Tapi bahkan ketika ia tahu sudah waktunya menghentikan godaan ini
dan kembali menangani urusan menyeret pengagum tolol Daphne ke luar, ia tidak
bisa menahan satu komentar terakhir. Mungkin itu akibat cara gadis itu
mengerutkan bibir ketika sedang kesal. Atau mungkin akibat cara bibir gadis itu
membuka ketika dia terkejut. Ia hanya tahu dirinya tidak berdaya menghadapi
sifat jailnya ketika menyangkut gadis ini.
Oleh
karena itu Simon mencondongkan tubuh ke depan, matanya setengah terpejam dan
merayu manakala ia berkata, “Kurasa aku tahu apa yang akan dikatakan ibumu.”
Daphne
terlihat agak bingung akibat serangannya, tapi masih berhasil menyahut, “Oh?”
dengan agak membangkang.
Simon
mengangguk pelan, lalu menempelkan satu jari ke dagu gadis itu. “Beliau akan
berkata supaya kau merasa amat sangat waswas.”
Sesaat
terdapat momen kesunyian total, kemudian mata Daphne melebar. Bibir gadis itu
merapat, seolah menahan sesuatu di dalam, kemudian bahunya terangkat sedikit,
lalu...
Lalu
gadis itu tertawa. Tepat di depan wajah Simon. “Oh, ya ampun,” Daphne
terkesiap. “Oh, itu lucu sekali.”
Simon
tidak merasa geli sedikit pun.
“Maafkan
aku.” Ini diucapkan diantara tawa. “Oh, maafkan aku, tapi, sungguh, seharusnya
kau tidak perlu bertindak sedramatis itu. Itu tidak cocok denganmu.”
Simon
terdiam, agak geram karena gadis mungil ini sama sekali tidak menghormati
otoritasnya. Ada keuntungan dianggap sebagai pria berbahaya, dan seharusnya
kemampuan menakut-nakuti gadis muda termasuk salah satu di antaranya.
“Yah,
sebenarnya aku harus mengakui hal itu cocok untukmu,” tambah Daphne, masih
menyengir sambil menertawakan Simon. “Kau terlihat lumayan berbahaya. Dan tentu
saja sangat tampan.” Ketika prian itu tidak berkomentar, wajah Daphne
menampakkan ekspresi geli, dan ia pun bertanya, “Itu tujuanmu, bukan?”
Pria
itu masih tidak berkata apa-apa, jadi Daphne berujar, “Tentu saja begitu. Jadi,
jangan sampai aku lupa memberitahumu bahwa kau akan berhasil melakukan hal itu
pada wanita lain selain aku.”
Simon
tidak dapat menahan untuk tidak berkomentar. “Kenapa bisa begiotu?”
“Empat
saudara laki-laki.” Daphne mengangkat bahu seolah itu sudah menjelaskan
segalanya. “Aku lumayan kebal terhadap taktik kalian.”
“Oh?”
Ia
menepuk-nepuk lengan Simon seolah hendak meyakinkan pria itu. “Tapi taktikmu
itu upaya yang sangat mengagumkan. Dan sungguh, aku lumayan tersanjung kau
menganggapku layak menerima pertunjukan duke
liar yang luar biasa seperti itu.” Ia menyengir, senyumnya lebar dan tulus.
“Ataukah kau lebih suka istilah keliaran duke?”
Simon
mengelus rahangnya sambil berpikir, berusaha memulihkan suasana hati predator
menyeramkannya. “Kau itu gadis kecil yang sangat menyebalkan, tahu tidak, Miss
Bridgerton?”
Daphne
menyunggingkan senyum yang paling manis. “Kebanyakan orang menganggapku sangat
baik dan ramah.”
“Kebanyakan
orang itu bodoh,” tukas Simon blak-blakan.
Daphne
menelengkan kepala, jelas merenungkan ucapan Simon. Kemudian ia menatap Nigel
dan mendesah. “Sayangnya, walaupun ini sangat tidak menyenangkan, aku harus
menyetujui ucapanmu.”
Simon
menahan senyumnya. “Sangat tidak menyenangkan bagimu, atau bahwa kebanyakan
orang itu bodoh?”
“Keduanya.”
Daphne menyengir lagi –senyum lebar dan memesona yang memengaruhi otak Simon
dengan aneh. “Tapi lebih karena yang pertama.”
Simon
tertawa keras, kemudian terkejut menyadari betapa asing suara itu di
telinganya. Ia sering tersenyum, terkadang terkekeh, tapi sudah lama sekali
sejak ia merasakan ledakan kegembiraan spontan seperti ini. “Miss Bridgerton
yang baik,” ujarnya sambil mengusap mata, “Jika kau sosok kebaikan hati dan
keramahan, dunia ini pasti tempat yang sangat berbahaya.”
“Oh,
itu pasti,” sahut Daphne. “Paling tidak jika mendengar kata-kata ibuku.”
“Aku
tidak mengerti kenapa aku tidak mengingat ibumu,” gumam Simon, “karena dia
sudah pasti terdengar seperti karakter yang tidak dapat dilupakan.”
Daphne
mengangkat sebelah alisnya. “Kau tidak ingat ibuku?”
Simon
menggeleng.
“Kalau
begitu kau tidak mengenalnya.”
“Apa
ibumu mirip denganmu?”
“Itu
pertanyaan aneh.”
“Tidak
terlalu aneh, kok,” balas Simon, berpikir jawaban Daphne sangat tepat. Itu memang pertanyaan aneh, dan ia tidak
tahu mengapa ia mengutarakannya. Tapi karena ia sudah mengutarakannya, dan
karena gadis itu mempertanyakannya, ia pun menambahkan. “Lagi pula, aku
diberitahu bahwa kalian para Bridgerton itu terlihat serupa.”
Kerutan
mungil dan misterius bagi Simon, menghiasi wajah gadis itu. “Itu benar. Kami
memang terlihat serupa. Kecuali ibuku. Sebenarnya rambut ibuku lebih terang,
dan matanya biru. Kami semua mendapatkan rambut gelap dari ayah kami. Tapi
mereka bilang aku mewarisi senyum ibuku.”
Keheningan
canggung mengisi percakapan mereka. Daphne memindahkan bobot tubuhnya dari kaki
satu ke kaki lainnya, sama sekali tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya
kepada sang duke, ketika Nigel menunjukkan pemilihan waktu yang sangat sempurna
untuk pertama kali dalam hidupnya dan duduk. “Daphne?” ujarnya, berkedip-kedip
seolah tidak dapat melihat dengan jelas. “Daphne, kaukah itu?”
“Demi
Tuhan, Miss Bridgerton,” umpat sang duke, “seberapa keraskah kau memukulnya?”
“Cukup
keras untuk menumbangkannya, tapi tidak lebih parah dibanding itu, aku
bersumpah!” Alis Daphne berkerut. “Mungkin dia mabuk.”
“Oh,
Daphne,” erang Nigel.
Sang
duke berjongkok di samping pemuda itu, kemudian mencondongkan tubuh ke belakang
sambil terbatuk.
“Apa
dia mabuk?” tanya Daphne.
Sang
duke terhuyung mundur. “Dia pasti meminum sebotol penuh wiski hanya demi
menguatkan diri untuk melamarmu.”
“Siapa
menduga aku bisa begitu mengerikan?” gumam Daphne, memikirkan semua pria yang
menganggapnya sebagai teman baik dan tidak lebih. “Bagus sekali.”
Simon
menatapnya seolah Daphne sudah gila, kemudian bergumam, “Aku bahkan takkan
mempertanyakan pertanyaan itu.” Daphne mengabaikan komentar pria tersebut.
“Tidakkah sebaiknya kita menjalankan rencana kita?”
Simon
berkacak pinggang dan kembali mengamati situasi ini. Nigel berusaha bangkit,
tapi, paling tidak di mata Simon, pemuda itu takkan berhasil melakukannya dalam
waktu dekat. Meski demikian, Nigel mungkin cukup sadar untuk membuat masalah,
dan sudah pasti cukup sadar untuk membuat keributan, seperti yang dilakukannya
sekarang. Bahkan, pemuda itu melakukannya dengan lumayan baik.
“Oh,
Daphne. Aku shanghat menchinthaimu, Daffeni.” Nigel berhasil berlutut, lalu beringsut
sambil terhuyung ke arah Daphne, terlihat mirip umat gereja mabuk yang hendak
berdoa. “Tolomng menikahlah denganku, Defini. Harus.”
“Tegarlah,
Sobat,” gerutu Simon dan mencengkeram ke arah pemuda itu. “Ini mulai
memalukan.” Ia menoleh ke arah Daphne. “Aku akan membawanya keluar sekarang.
Kita tidak bisa meninggalkannya di koridor ini. Dia bakal mulai mengerang
seperti sapi sakit.”
“Aku
malah berpikir dia sudah mulai melakukannya,” sahut Daphne. Simon merasakan
salah satu sudut bibirnya melekuk naik, dengan enggan membentuk senyuman.
Daphne Bridgerton mungkin memang wanita yang sudah pantas menikah dan oleh
karena itu berpotensi menjadi bencana bagi pria mana pun dalam posisi seperti
Simon, tapi gadis itu jelas orang baik-baik.
Simon
baru tersadar bahwa gadis itu tipe orang yang mungkin akan dianggapnya sebagai
teman jika Daphne itu seorang pria.
Tapi
karena sudah jelas –baik bagi mata maupun tubuh Simon –bahwa gadis itu bukan
lelaki, ia memutuskan lebih baik bagi mereka untuk menyelesaikan “situasi” ini
secepat mungkin. Selain reputasi Daphne yang akan hancur jika mereka ketahuan,
Simon tidak yakin ia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu lebih
lama lagi.
Hal
itu membuatnya gusar. Terutama bagi pria yang sangat menghargai kendali diri. Kendali
adalah segalanya. Tanpanya ia takkan pernah bisa menentang ayahnya atau
mendapatkan peringkat pertama di universitas. Tanpanya, ia–
Tanpanya,
batin Simon muram, aku masih akan berbicara seperti orang idiot.
“Aku
akan menyeretnya keluar dari sini,” mendadak Simon berkata. “Kau kembali saja
ke ruang dansa.”
Daphne
mengerutkan dahi, melirik ke balik bahu ke arah koridor yang mengarah kembali
ke ruang pesta. “Kau yakin? Kupikir kau ingin aku pergi ke perpustakaan.”
“Itu
ketika kupikir kita akan meninggalkannya di sini sementara aku memanggil kereta
kudaku. Tapi kita tidak bisa melakukan hal itu jika ia sudah sadar.”
Daphne
mengangguk setuju, dan bertanya, “Kau yakin kau bisa melakukannya? Tubuh Nigel
kan lumayan besar.”
“Tubuhku
lebih besar.”
Daphne
menelengkan kepala. Tubuh sang duke, walaupun ramping, terlihat sangat kokoh,
dengan bahu bidang dan paha yang berotot kencang. (Daphne tahu seharusnya ia
tidak menyadari hal semacam itu, tapi sebenarnya, salahnyakah jika mode saat ini menuntut celana selutut yang sangat
ketat?) Selain itu, pria tersebut memancarkan aura tertentu, sesuatu yang
nyaris berbahaya, sesuatu yang menyiratkan kekuatan serta kekuasaan yang sangat
terkontrol.
Daphne
memutuskan ia tidak ragu pria itu sanggup memindahkan Nigel.
“Baiklah,”
ujarnya sambil mengangguk. “Dan terima kasih. Kau baik sekali mau membantuku
hingga sejauh ini.”
“Aku
jarang sekali bersikap baik,” gumam Simon.
“Benarkah?”
gumam Daphne, mengizinkan dirinya tersenyum kecil. “Aneh sekali. Aku tidak
mungkin bisa memikirkan sebutan lain untuk menamakan tindakanmu ini. Tapi,
setelah dipikir-pikir lagi, aku belajar bahwa kaum pria–”
“Sepertinya
kau memang sangat ahli tentang kaum pria,” potong Simon agak pedas, kemudian
mendesah keras sembari mengangkat Nigel hingga berdiri.
Nigel
langsung mengulurkan tangan ke arah Daphne, bisa dibilang terisak sembari
mengucapkan nama gadis itu. Simon harus memantapkan pijakan kakinya untuk
menghalangi pemuda itu menghambur ke arah gadis tersebut. Daphne langsung
mundur selangkah. “Yah, aku kan punya empat saudara laki-laki. Aku tidak bisa
membayangkan pendidikan yang lebih baik daripada itu.”
Mustahil
mengetahui apa sang duke berniat menjawabnya, karena pada detik itu Nigel
mendapatkan kembali eneerginya(walaupun jelas tidak demikian dengan
keseimbangannya) lalu menyentakkan dirinya sehingga terlepas dari pegangan
Simon. Pemuda itu melemparkan dirinya kepada Daphne sembari terus melontarkan
suara-suara mabuk yang tidak dimengerti.
Jika
tidak memunggungi dinding. Daphne pasti bakal terjengkang ke lantai. Bahkan
dengan situasi seperti itu pun tubuhnya menabrak dinding dengan keras, membuat
dirinya terkesiap.
“Oh,
demi Tuhan,” umpat sang duke, terdengar amat sangat kesal. Ia menarik Nigel
menjauhi Daphne, kemudian menoleh ke arah gadis itu dan bertanya. “Bolehkan aku
meninjunya?”
“Oh,
silahkan saja,” jawab Daphne sambil masih terengah-engah. Ia berusaha berbaik
hati dan murah hati kepada mantan pengagumnya, tapi sungguh, semua itu ada
batasnya.
Sang
duke menggumamkan sesuatu yang terdengar mirip “bagus,” dan mendaratkan tinju
yang luar biasa keras ke dagu Nigel.
Nigel
langsung terkapar dan tidak sadarkan diri.
Daphne
mengamati pemuda di lantai itu tanpa ekspresi. “Kurasa kali ini dia takkan terbangun.”
Simon
menggoyang-goyang tinjunya. “Tidak.”
Daphne
berkedip dan mendongak kembali. “Terima kasih.”
“Dengan
senang hati,” sahut Simon dan mengerutkan dahi ke arah Nigel.
“Apa
yang akan kita lakukan sekarang?” Tatapan Daphne bergabung dengan pandangan
pria itu ke arah pemuda di lantai yang kini benar-benar tidak sadarkan diri.
“Kembali
ke rencana awal,” jawab Simon tegas. “Kau tinggalkan dia di sini sementara kau
menunggu di perpustakaan. Aku lebih suka menyeretnya keluar sesudah ada kereta
kudaku yang menunggu.”
Daphne
mengangguk setuju. “Apa kau perlu bantuan untuk membetulkan posisinya, atau
apakah sebaiknya aku langsung pindah ke perpustakaan?”
Sang
duke terdiam sejenak. Kepalanya ditelengkan ke kanan lalu ke kiri sembari
menganalisis posisi Nigel di lantai. “Sesungguhnya, aku akan sangat bersyukur
jika kau mau membantuku sedikit.”
“Benarkah?”
tanya Daphne terkejut. “Tadinya aku yakin kau akan menolaknya.”
Itu
menimbulkan tatapan sedikit geli sekaligus pongah dari sang duke. “Dan itukah alasanmu
menanyakannya?”
“Tentu
saja tidak,” tukas Daphne agak tersinggung. “Aku tidak sebodoh itu, menawarkan
bantuan padahal aku tidak berniat memberikannya. Aku Cuma bermaksud menekankan
bahwa, menurut pengalamanku, kaumpria–”
“Kau
punya terlalu banyak pengalaman,” gerutu sang duke pelan.
“Apa?”
“Maafkan
aku,” ralat Simon. “Kaupikir kau
punya terlalu banyak pengalaman.”
Daphne
memelototinya, mata kelamnya membara hingga nyaris terlihat hitam. “Itu tidak
benar, dan lagi pula, siapa pula dirimu hingga berani menyatakan hal semacam
itu?”
“Tidak,
itu juga tidak terlalu tepat,” renung sang duke, sama sekali mengabaikan
pertanyaan marah Daphne. “Kurasa lebih tepatnya menurutku kau pikir kau punya
terlalu banyak pengalaman.”
“Astaga
kau–Kau–” Sebagai balasan, ucapan itu tidak terlalu efektif. Tapi hanya itu
yang mampu Daphne ucapkan. Kemampuan berbicaranya cenderung menghilang ketika
dirinya sedang marah. Dan dirinya kini benar-benar marah.
Simon
mengangkat bahu, terlihat tidak peduli oleh ekspresi geram Daphne. “Miss
Bridgerton tersayang?”
“Kalau
kau memanggilku seperti itu sekali lagi, aku bersumpah aku akan menjerit.”
“Oh,
kau takkan melakukannya,” komentar Simon sambil tersenyum menawan. “Itu akan
menarik perhatian orang banyak, dan tolong diingat, kau tidak ingin terlihat
bersamaku.”
“Aku
mempertimbangkan untuk mengambil risiko itu,” tukas Daphne, setiap kata
didesiskan dari antara giginya.
Simon
melipat kedua tangannya dan bersandar dengan malas ke dinding. “Benarkah?”
sahutnya santai. “Aku ingin melihatnya.”
Daphne
mengangkat tangan dengan frustasi. “Lupakan saja. Lupakan aku. Lupakan
sepanjang malam ini. Aku pergi.” Ia berbalik, tapi sebelum sempat melangkah,
gerakannya ditahan oleh suara sang duke.
“Kupikir
kau akan membantuku.” Sial. Pria itu benar. Perlahan-lahan Daphne berbalik.
“Oh,
ua,” jawab Daphne, suaranya jelas-jelas menunjukkan kebohongan, “dengan senang
hati.”
“Tahu,
tidak?” tutur Simon polos, “jika tidak ingin membantu, kau tidak perlu
melakukannya.”
“Kubilang
aku akan membantumu,” benatak Daphne.
Simon
tersenyum kecil. Gadis itu mudah sekali ditipu. “Ini yang akan kita lakukan,”
ujarnya. “Aku akan mengangkatnya hingga berdiri dan menyampirkan lengan
kanannya ke bahuku. Kau akan berdiri di sebelahnya dan menopangnya.”
Daphne
melakukan segalanya sesuai perintah, menggerutu pelan tentang sikap diktator
Simon. Tapi ia tidak melontarkan satu pun keluhan. Karena, meski menyebalkan,
Duke of Hastings membantunya membebaskan diri dari peristiwa yang berpotensi
menjadi skandal memalukan.
Tentu
saja jika ada orang yang mendapati dirinya dalam posisi ini, Daphne akan
mendapati dirinya dalam situasi yang lebih buruk lagi.
“Aku
punya gagasan bagus,” mendadak Daphne berkata. “Tinggalkan saja dia di sini.”
Sang
duke berpaling menatap Daphne, terlihat seolah pria itu ingin sekali
melemparnya keluar jendela –terutama melalui jendela yang masih tertutup.
“Kupikir,” ucap pria itu, jelas berusaha keras mengekang emosinya, “kau tidak
ingin meninggalkannya tergeletak di lantai.”
“Itu
sebelum ia mendorongku ke dinding.”
“Tidak
bisakah kau memberitahukan perubahan sikapmu itu kepadaku sebelum aku
mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya?”
Daphne
merona. Ia benci jika kaum pria berpikir wanita itu makhluk plin-plan dan
gampang berubah pikiran. Ia bahkan lebih benci lagi karena saat ini dirinya
membuktikan citra tersebut.
Baiklah,”
ucap sang duke singkat , lalu menjatuhkan Nigel.
Bobot
mendadak tubuh Nigel juga nyaris membuat Daphne terjengkang. Ia menjerit kaget
sembari bergegas menjauh.
“Sekarang,
bolehkan kita pergi?” tanya sang duke, pura-pura sabar.
Daphne
mengangguk ragu, melirik ke arah Nigel. “Posisinya terlihat agak tidak nyaman,
bukan begitu menurutmu?”
Simon
menatap Daphne. Hanya menatap gadis itu. “Kau peduli pada kenyamanannya?”
akhirnya ia bertanya.
Daphne
menggeleng gugup, kemudian mengangguk, lalu kembali menggeleng. “Mungkin
sebaiknya aku –Maksudku –Tunggu sebentar.” Ia berjongkok dan meluruskan kaki
Nigel sehingga pemuda itu berbaring telentang. “Kurasa dia tidak pantas diantar
pulang dengan kereta kudamu,” jelasnya sembari merapikan jaket pemuda itu,
“tapi sepertinya agak kejam meninggalkannya di sini dalam posisi seperti itu.
Nah, sekarang aku sudah selesai.” Ia berdiri dan mendongak.
Dan
berhasil melihat sang duke berjalan pergi, menggumamkan sesuatu tentang Daphne
dan sesuatu tentang kaum wanita secara keseluruhan dan sesuatu yang sangat
berbeda yang tidak dapat didingar jelas oleh Daphne. Tapi mungkin lebih baik
begitu. Ia ragu itu berupa pujian.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar