Senin, 22 April 2019

The Duke and I #3

 Penulis mendengar kabar burung bahwa Nigel Berbrooke terlihat di dalam Moreton’s Jewerly Shop membeli cincin berlian tunggal. Mungkinkah tidak lama lagi akan muncul Mrs. Berbrooke yang baru?

LEMBAR BERITA LADY WHISTLEDOWN,
28 APRIL 1831
  
DAPHNE memutuskan malam ini mustahil jadi semakin buruk. Pertama-tama ia terpaksa menghabiskan malam di sudut gelap ruang dansa (itu bukan kegiatan yang mudah, karena Lady Danbury jelas menghargai kualitas estetika sekaligus pencerahan lilin), kemudian tersandung kaki Philipa Featherington ketika berusaha melarikan diri, yang mendorong gadis itu–yang tidak pernah menjadi gadis paling tenang dalam suatu ruangan–memekik, “Daphne Bridgerton! Apa kau terluka?” Yang pasti menarik perhatian Nigel, karena pria itu langsung menoleh dengan cepat seperti burung kaget, dan langsung bergegas menyeberangi ruang dansa. Daphne berharap, bukan, berdoa, bisa meninggalkan pria itu dan masuk ke ruang istirahat wanita sebelum pria itu bisa mengejarnya. Tapi tidak, Nigel berhasil memojokkannya di aula dan mulai melantunkan rengekan cintanya terhadap Daphne.


Ini semua sudah cukup memalukan, tapi tampaknya pria ini–orang asing yang luar biasa tampan dan nyaris sangat berwibawa– menyaksikan seluruh peristiwa itu. Dan yang lebih parah, pria itu tertawa!

Daphne melotot kepada pria itu sementara pria tersebut menertawakannya. Ia belum pernah melihatnya, jadi pria itu pasti orang baru di London. Ibunya sudah memastikan Daphne diperkenalkan kepada, atau paling tidak mengetahui, semua pria memenuhi syarat. Tentu saja pria ini bisa saja sudah menikah dan oleh karena itu tidak termasuk dalam calon korban Violet, tapi Daphne secara naluriah tahu pria itu tidak mungkin sudah lama ada di London tanpa menjadi buah bibir seluruh dunia.

Wajah pria itu bisa dibilang sempurna. Hanya butuh sesaat bagi Daphne untuk menyadari pria itu bahkan lebih tampan dibanding semua patung Michelangelo. Matanya terlihat intens –begitu biru hingga terlihat bersinar. Rambutnya tebal dan gelap, sementara tubuhnya jangkung–setinggi kakak lelakinya–dan itu hal langka.

Inilah pria yang mungkin bisa dipastikan akan mencuri perhatian para gadis muda yang suka terkikik melihat para pria Bridgerton, batin Daphne muram. Ia tidak tahu kenapa hal itu sangat mengusiknya. Mungkin karena aku tahu pria sepertinya takkan pernah tertarik pada wanita sepertiku. Mungkin karena aku merasa seperti wanita paling buruk rupa ketika duduk di lantai di hadapan sosok luar biasa itu. Mungkin hanya karena pria itu berdiri di sana dan tertawa seolah aku ini semacam hiburan sirkus.

Tapi apa pun alasannya, sikap ketus yang asing muncul dari dalam diri Daphne. Alisnya bertaut ketika ia bertanya, “Anda siapa?”


Simon tidak tahu mengapa ia tidak langsung menjawab pertanyaan gadis itu, namun sifat jail dalam dirinya mendorongnya untuk menjawab, “Tadinya saya berniat menyelematkan Anda, tapi jelas Anda tidak membutuhkan bantuan saya.”

“Oh,” ucap gadis itu, terdengar agak malu. Gadis itu mengatupkan bibir, melekukkannya sedikit sembari mempertimbangkan kata-kata Simon. “Yah, kalau begitu sepertinya saya harus berterima kasih! Sayang sekali Anda tidak menunjukkan diri Anda sepuluh detik lalu. Saya lebih suka jika tidak perlu meninjunya..”

Simon menunduk ke arah pria di lantai. Memar sudah mulai muncul di dagu pemuda itu, dan dia mengerang, “Laffy, oh Laffy. Aku mencintaimu, Laffy.”

“Kurasa kaulah si Laffy ini?” gumamSimon, menyusurkan pandangannya naik ke wajah gadis itu. Gadis itu sungguh sosok mungil yang menarik, dan dari sudut ini, kerah gaunnya terlihat  nyaris amat sangat rendah.

Gadis itu mengerutkan dahi sembari menatapnya, jelas tidak menghargai upaya Simon untuk bergurau, dan jelas tidak menyadari tatapan penuh hasratnya terarah ke bagian tubuh selain wajah gadis itu. “Apa yang akan kita lakukan dengannya?” tanya gadis itu.

“Kita?” ulang Simon.

Kerutan di dahi gadis itu semakin dalam. “Anda bilang Anda berniat menjadi penyelamat saya, bukan?”

“Itu benar.” Simon berkacak pinggang dan mempelajari situasi ini. “Bagaimana kalau saya menyeretnya ke jalanan?”

“Tentu saja jangan!” seru gadis itu. “Astaga, bukankah di luar hujan masih turun?”

“Miss Laffy yang terhormat, ucap Simon, sama sekali tidak peduli dengan nada angkuh dalam suaranya, “tidakkah menurut Anda perhatian itu agak salah tempat? Pria ini mencoba menyerang Anda.”

“Dia tidak mencoba menyerangku,” balas gadis itu. “Dia hanya... Dia hanya... Oh, baiklah, dia mencoba menyerangku. Tapi dia takkan pernah bisa menyakitiku.”

Simon mengangkat sebelah alisnya. Sungguh, wanita adalah makhluk yang paling membingungkan. “Dan bagaimana Anda bisa yakin akan hal itu?”

Ia mengamati manakala gadis itu memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Nigel tidak mampu berbuat jahat,” ucap gadis itu pelan. “Ia hanya bersalah atas penilaian yang keliru.”

“Kalau begitu Anda lebih berjiwa pemarah dibanding saya,” tutur Simon lirih.

Gadis itu mendesah kembali, suara lembut dan halus yang entah bagaimana Simon rasakan di sekujur tubuhnya. “Nigel bukan orang jahat,” ucapnya dengan penuh martabat. “Hanya saja dia tidak terlalu cerdas, dan mungkin dia salah mengira kebaikanku sebagai sesuatu yang lebih.”

Simon anehnya kagum kepada gadis itu. Pada titik ini, kebanyakan wanita kenalannya pasti sudah histeris, tapi gadis itu –siapa pun dia mengambil alih situasi ini dengan tegas, dan kini malah menunjukkan kemurahan hati yang luar biasa. Ia bahkan takjub mendengar gadis itu masih mau membela pria bernama Nigel ini.

Gadis itu berdiri, menepuk-nepuk rok sutra berwarna hijau keabuan untuk membersihkan tangannya. Rambutnya di tata sedemikian rupa sehingga terdapat sejumput tebal rambut menjuntai di bahu, melingkar dengan menggoda di atas payudaranya. Simon tahu seharusnya ia mendengarkan kata-kata gadis itu, tapi dirinya sudah tidak bisa mengalihkan perhatian dari sejumput rambut gelap itu. Rambut itu menjuntai laksana pita sutra di leher jenjang gadis tersebut, dan simon merasakan desakan yang sangat mengejutkan untuk menghapus jarak di antara mereka dan menyusuri garis rambut gadis itu dengan bibirnya. Ia belum pernah merayu gadis perawan, tapi seluruh dunia telah mencapnya sebagai playboy. Apa ruginya? Bukan berarti ia akan menggauli gadis itu. Ciuman saja. Satu ciuman singkat semata.

Itu menggoda, amat sangat luar biasa menggoda.

“Sir! Sir!”

Dengan amat sangat enggan Simon mengangkat tatapannya ke wajah gadis itu. Tentu saja wajah gadis itu menarik dan sepat di pandang, tapi sulit membayangkan merayunya ketika gadis itu mengerutkan dahi ke arahnya.

“Anda mendengarkan saya, tidak?”

“Tentu saja,” Simon berbohong.

“Anda tidak mendengarkan saya.”

“Tidak,” aku simon.

Suara yang terlontar dari pangkal tenggorokan gadis itu secara mencurigakan terdengar seperti geraman. “Kalau begitu mengapa Anda berkata Anda mendengarkan saya?” tukasnya kesal.

Simon mengangkat bahu. “Saya pikir itulah yang ingin Anda dengar.”

Simon mengamati dengan penuh ketertarikan manakala gadis itu menarik napas dalam-dalam dan menggumamkan sesuatu dengan pelan. Ia tidak bisa mendengarkan ucapan gadis itu, tapi ragu hal itu bisa dianggap sebagai pujian. Akhirnya gadis itu berkata dengan suara yang nyaris datar, “Jika Anda tidak ingin membantu saya, saya lebih suka jika Anda pergi saja.”

Simon memutuskan untuk berhenti bersikap seperti orang yang tidak tahu aturan, jadi ia berkata, “Maafkan saya, tentu saja saya akan membantu.”

Gadis itu menghela napas, kemudian menatap Nigel yang masih tergeletak di lantai, mengerang tidak keruan. Simon juga ikut menunduk dan untuk beberapa detik mereka hanya berdiri di sana, menatap pria tidak sadarkan diri itu sampai gadis tersebut berkata, “Saya tidak memukulnya sekeras itu.”

“Mungkin dia mabuk.”

Gadis itu terlihat tidak percaya. “Menurut Anda begitu? Saya mencium alkohol dari napasnya, tapi saya belum pernah melihatnya mabuk.”

Tidak ada apa-apa yang bisa ditambahkan Simon pada jalan pikiran itu, jadi ia hanya bertanya, “Jadi, apa yang ingin Anda lakukan?”

“Saya rasa kita bisa saja meninggalkannya di sini,” jawab gadis itu, ekspresi ragu menghias mata kelamnya.

Simon pikir itu ide bagus, tepi jelas gadis itu mengharapkan pemuda tolol tersebut diperlakukan dengan cara yang lebih ramah. Dan semoga Tuhan membantunya, tapi dia merasakan dorongan aneh untuk membahagiakan gadis itu. “Inilah yang akan kita lakukan,” ujarnya tegas, lega suaranya tidak mengungkapkan kelembutan aneh yang dirasakannya. “Saya akan memanggil kereta kuda saya–”

“Oh, bagus,” potong gadis itu. “Saya memang tidak ingin meninggalkannya di sini. Sepertinya itu terlalu kejam.” Simon pikir itu agak terlalu murah hati mengingat pria bodoh itu nyaris menyerang gadis tersebut, tapi ia tidak mengungkapkan pendapatnya itu dan hanya melanjutkan penjelasan rencananya. “Anda akan menunggu di perpustakaan sementara saya pergi.”

“Di perpustakaan? Tapi–”

“Di perpustakaan,” ulang Simon tegas. “Dengan pintu tertutup. Apa Anda benar-benar ingin ditemukan bersama tubuh Nigel jika ada seseorang yang kebetulan berjalan ke aula ini?”

“Tubuh Nigel? Ya ampun, Sir, Anda tidak perlu membutnya terdengar seolah dia sudah meninggal.”

“Seperti yang saya bilang tadi,” lanjut Simon, sama sekali mengabaikan komentar gadis itu, “Anda akan tetap berada di perpustakaan. Ketika saya sudah kembali, kita akan memindahkan Nigel ini ke dalam kereta kuda saya.”

“Dan bagaimana kita akan melakukannya?”

Simon menyunggingkan cengiran yang sangat menawan. “Saya sama sekali tidak punya bayangan.”

Untuk sejenak Daphne lupa untuk bernapas. Tepat ketika ia memutuskan calon penyelamatnya amat sangat arogan, pria itu tersenyum seperti itu kepadanya. Itu salah satu cengiran polos yang bisa melelehkan hati wanita dalam radius lima belas kilometer.

Dan, sangat disayangkan, Daphne sulit mempertahankan kekesalannya terhadap pria yang memiliki senyuman semanis itu. Setelah tumbuh besar dengan empat saudara laki-laki, yang semuanya tampaknya tahu cara merayu wanita sejak lahir, Daphne pikir dirinya sudah kebal.

Tapi ternyata tidak. Dadanya berdebar-debar, perutnya mulas, dan lututnya seperti mentega cair.

“Nigal,” gumam Daphne, setengah mati berusaha mengalihkan perhatiannya dari pria tanpa nama yang berdiri di seberangnya, “aku harus memeriksa Nigel.” Ia berjongkok dan mengguncang bahu pemuda itu dengan agak kasar. “Nigel? Nigel? Kau harus bangun sekarang, Nigel.”

“Daphne,” erang Nigel. “Oh, Daphne.”

Kepala orang asing berambut gelap itu menoleh dengan cepat. “Daphne? Barusan dia bilang Daphne?”

Daphne menegakkan tubuh, gelisah akibat pertanyaan blakblakan serta tatapan lumeyan tajam pria itu. “Ya.”

“Namamu Daphne?”

Sekarang Daphne mulai bertanya-tanya apa pria itu orang idiot.

“Ya.”

Simon mengerang. “Bukan Daphne Bridgerton, bukan?” wajah gadis itu menampakkan ekspresi bingung. “Tepat sekali.” Simon terhuyung mundur selangkah. Mendadak dirinya merasa mual, namakala otaknya akhirnya memproses fakta bahwa gadis itu mempunyai rambut coklat tebal. Rambut keluarga Bridgerton yang terkenal. Belum lagi hidung dan tulang pipi Bridgerton, dan –brengsek, gadis ini adik Anthony! Sialan. Ada aturan di antara teman, sebenarnya lebih mirip perintah tak tertulis, dan salah satu aturan yang paling penting adalah Kau Tidak Boleh Mengejar Saudara Perempuan Temanmu.

Sementara pria itu berdiri di sana, memandangnya seperti orang idiot, Daphne berkacak pinggang dan menuntut, “Dan Anda siapa?”

“Simon Basset,” tuturnya.

“Sang Duke?” pekik Daphne. Pria itu mengangguk muram. “Oh, astaga.”

Simon mengamati dengan rasa ngeri yang semakin memuncak manakala wajah gadis itu memucat. “Demi Tuhan, kau takkan pingsan, bukan, Nona?” Ia tidak bisa membayangkan mengapa gadis itu akan pingsan, tapi Anthony –kakak gadis itu, ia mengingatkan dirinya –menghabiskan setengah siang tadi memperingatkannya tentang dampak duke muda dan lajang terhadap populasi wanita muda dan lajang. Anthony secara spesifik menyatakan Daphne sebagai perkecualian atas aturan itu, tapi tetap saja, gadis itu terlihat amat sangat pucat. “Jadi?” desaknya ketika gadis itu tidak berkata apa-apa. “Mau pingsan?”

Gadis itu terlihat tersinggung karena Simon bahkan memikirkan kemungkinan tersebut. “Tentu saja tidak!”

“Bagus.”

“Hanya saja–”

“Apa?” tanya Simon curiga.

“Yah,” sahut Daphne sambil mengangkat bahunya dengan agak pasrah, “aku sudah diperingatkan tentangmu.”

Ini sudah keterlaluan. “Oleh siapa?” desak Simon.

Gadis itu menatap Simon seolah dirinya orang tolol. “Oleh semua orang.”

“Itu, M–” Simon merasakan sesuatu yang sangat mirip kegagapan hendak muncul, jadi ia menarik napas dalam-dalam untuk melemaskan lidahnya. Ia sudah ahli dalam kendali semacam ini. Gadis itu hanya melihat dirinya tampak seolah berusaha menahan amarah. Dan mengingat arah perbincangan mereka, kesan itu tidak terlalu menyimpang jauh.

“Miss Bridgerton yang terhormat,” ujar Simon, mulai berbicara dari awal dengan nada yang lebih tenang dan terkontrol, “aku sulit memercayai hal itu.”

Daphne mengangkat bahu lagi, dan simon curiga gadis itu menikmati keresahannya. “Percayalah apa yang kau inginkan,” tukas gadis itu santai “tapi itu tertulis di koran hari ini.”

Apa?”

“Di Whistledown,” sahut gadis itu, seolah itu sudah menjelaskan segalanya.

“Whistle-apa?”

Daphne bengong sejenak ketika menatap pria itu sampai tersadar pria itu baru kembaloi ke London. “Oh, kau pasti tidak tahu soal itu,” ujarnya pelan, senyum kecil jail melekukkan bibirnya. “Sulit dibayangkan.”

Sang duke melangkah ke depan, bahasa tubuhnya amat sangat mengancam. “Miss Bridgerton, aku merasa aku harus memperingatkanmu bahwa aku amat sangat nyaris mencekik lehermu demi mendapatkan informasi.”

“Itu koran gosip,” jawab Daphne, buru-buru melangkah mundur. “Itu saja. Sebenarnya itu agak konyol, tapi semua orang membacanya.”

Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat sebelah alis dengan arogan. Daphne cepat-cepat menambahkan, “Ada laporan kedatanganmu kembali pada edisi Senin.”

“Dan apa” mata Simon menyipit dengan mengancam –“persisnya” –sekarang tatapannya berubah sedingin es –“yang tertulis di sana?”

“Tidak banyak kok, eh, persisnya,” elak Daphne. Ia berusaha mundur selangkah, tapi tumitnya menempel ke dinding. Jika mundur lebih jauh lagi, ia akan berjinjit. Sang duke terlihat amat sangat murka, dan ia mulai berpikir sebaiknya ia mencoba segera kabur dan meninggalkan pria itu di sini bersama Nigel. Mereka berdua cocok bagi satu sama lain –keduanya orang gila.

“Miss Bridgerton,” suara pria itu sarat dengan ancaman.

Daphne memutuskan untuk mengasihani sang duke karena, setelah dipikir-pikir lagi, pria itu baru tiba di kota ini dan belum sempat menyesuaikan diri dengan dunia baru menurut Whistledown. Ia rasa ia tidak bisa menyalahkan pria itu karena merasa begitu risau mendengar dirinya ditulis di koran. Pengalaman pertama itu juga lumayan mengejutkan bagi Daphne, padahal ia sudah tahu mengenai Whistledown sejak paling tidak sebulan sebelumnya. Ketika Lady Whistledown menulis tentang dirinya, rasanya nyaris antiklimaks.

“Kau tidak perlu terlalu mencemaskan soal itu,” ujar Daphne, berusaha menyuntikkan sedikit rasa iba dalam suaranya, tapi mungkin itu tidak berhasil. “Dia hanya menulis bahwa kau playboy kawakan, fakta yang saya yakin takkan Anda bantah, karena sudah lama saya menyadari bahwa kaum pria sungguh mendambakan dianggap sebagai playboy.”

Ia berhenti sejenak dan memberi kesempatan para pria itu untuk membuktikan bahwa dirinya keliru dan membantah pernyataan tersebut. Pria itu tidak melakukannya.

Daphne melanjutkan penjelasannya, “Kemudian ibuku, yang menurutku pasti pernah kau kenal sebelum kau pergi berkeliling dunia, memastikan semua itu.”

“Oh begitu?”

Daphne mengangguk. “Beliau melarangku supaya jangan pernah sekalipun terlihat bersamamu.”

“Benarkah?” ujar Simon malas.

Sesuatu tentang nada suara –dan bagaimana tatapan pria itu seolah berubah menjadi nyaris menggairahkan manakala tertuju kepadanya –membuat Daphne amat sangat resah, dan ia harus mengerahkan seluruh keberaniannya untuk tidak memejamkan mata. Ia menolak, sama sekali menolak, pria itud mengetahui bagaimana dia bisa memengaruhinya.

Bibir Simon perlahan menekuk membentuk senyuman. “Coba kuulang untuk memastikannya. Ibumu memberitahu aku pria yang sangat berbahaya dan kau tidak boleh terlihat bersamaku dalam situasi apa pun.”

Daphne mengangguk bingung.

“Jika demikian,” tambah Simon, berhenti sejenak untuk menambahkan efek dramatis, “menurutmu  apa yang akan dikatakan ibumu tentang pemandangan kecil  ini?”

Daphne berkedip. “Apa?”

“Yah, kecuali kau memperhitungkan Nigel ini” –Simon melambaikan tangan ke arah pria yang tidak sadarkan diri di lantai –“tak seorang pun benar-benar melihatmu bersamaku. Meski demikian...” Ia membiarkan kalimatnya menggantung, terlalu senang melihat berbagai emosi yang melintas di wajah gadis itu untuk melakukan apa pun selain memperpanjang momen ini selama mungkin.

Tentu saja sebagian besar emosi di wajah gadis itu berupa beragam tingkatan kekesalan dan kecemasan, tapi hal itu malah membuat saat ini terasa semakin manis. “Meski demikian,” geram gadis itu.

Simon mencondongkan tubuh ke depan, mempersempit jarak di antara mereka hingga tinggal beberapa sentimeter. “Meski demikian,” ucapnya pelan, tahu gadis itu merasakan embusan napas Simon di wajahnya, “kita benar-benar sendirian di sini.”

“Kecuali Nigel,” balas gadis itu. Simon hanya melirik sekilas ke arah pria di lantai itu sebelum kembali mengarahkan tatapan menggodanya kepada Miss Bridgerton. “Aku tidak terlalu peduli tentang Nigel,” gumamnya. “Bagaimana denganmu?”

Simon mengamati manakala gadis itu menunduk menatap Nigel dengan cemas. Sudah jelas pengagum yang ditolaknya itu takkan menyelamatkan Daphne jika Simon memutuskan untuk merayunya. Tentu saja tidak berarti aku akan melakukannya. Lagi pula, ini adik perempuan Anthony. Ia mungkin harus lumayan sering mengingatkan dirinya akan hal ini, tapi itu bukanlah fakta  yang bisa lenyap dari benaknya secara permanen.

Simon tahu sudah waktunya mengakhiri permainan kecil ini. Bukan berarti ia berpikir gadis tersebut akan melaporkan selingan ini kepada Anthony; entah bagaimana ia tahu gadis itu lebih suka merahasiakan hal ini, marah-marah kepadanya tanpa diketahui siapa pun, dan –benarkah ia mengharapkannya –merasakan setitik kegembiraan? Tapi bahkan ketika ia tahu sudah waktunya menghentikan godaan ini dan kembali menangani urusan menyeret pengagum tolol Daphne ke luar, ia tidak bisa menahan satu komentar terakhir. Mungkin itu akibat cara gadis itu mengerutkan bibir ketika sedang kesal. Atau mungkin akibat cara bibir gadis itu membuka ketika dia terkejut. Ia hanya tahu dirinya tidak berdaya menghadapi sifat jailnya ketika menyangkut gadis ini.

Oleh karena itu Simon mencondongkan tubuh ke depan, matanya setengah terpejam dan merayu manakala ia berkata, “Kurasa aku tahu apa yang akan dikatakan ibumu.”

Daphne terlihat agak bingung akibat serangannya, tapi masih berhasil menyahut, “Oh?” dengan agak membangkang.

Simon mengangguk pelan, lalu menempelkan satu jari ke dagu gadis itu. “Beliau akan berkata supaya kau merasa amat sangat waswas.”

Sesaat terdapat momen kesunyian total, kemudian mata Daphne melebar. Bibir gadis itu merapat, seolah menahan sesuatu di dalam, kemudian bahunya terangkat sedikit, lalu...

Lalu gadis itu tertawa. Tepat di depan wajah Simon. “Oh, ya ampun,” Daphne terkesiap. “Oh, itu lucu sekali.”

Simon tidak merasa geli sedikit pun.

“Maafkan aku.” Ini diucapkan diantara tawa. “Oh, maafkan aku, tapi, sungguh, seharusnya kau tidak perlu bertindak sedramatis itu. Itu tidak cocok denganmu.”

Simon terdiam, agak geram karena gadis mungil ini sama sekali tidak menghormati otoritasnya. Ada keuntungan dianggap sebagai pria berbahaya, dan seharusnya kemampuan menakut-nakuti gadis muda termasuk salah satu di antaranya.

“Yah, sebenarnya aku harus mengakui hal itu cocok untukmu,” tambah Daphne, masih menyengir sambil menertawakan Simon. “Kau terlihat lumayan berbahaya. Dan tentu saja sangat tampan.” Ketika prian itu tidak berkomentar, wajah Daphne menampakkan ekspresi geli, dan ia pun bertanya, “Itu tujuanmu, bukan?”

Pria itu masih tidak berkata apa-apa, jadi Daphne berujar, “Tentu saja begitu. Jadi, jangan sampai aku lupa memberitahumu bahwa kau akan berhasil melakukan hal itu pada wanita lain selain aku.”

Simon tidak dapat menahan untuk tidak berkomentar. “Kenapa bisa begiotu?”

“Empat saudara laki-laki.” Daphne mengangkat bahu seolah itu sudah menjelaskan segalanya. “Aku lumayan kebal terhadap taktik kalian.”

“Oh?”

Ia menepuk-nepuk lengan Simon seolah hendak meyakinkan pria itu. “Tapi taktikmu itu upaya yang sangat mengagumkan. Dan sungguh, aku lumayan tersanjung kau menganggapku layak menerima pertunjukan duke liar yang luar biasa seperti itu.” Ia menyengir, senyumnya lebar dan tulus. “Ataukah kau lebih suka istilah keliaran duke?”

Simon mengelus rahangnya sambil berpikir, berusaha memulihkan suasana hati predator menyeramkannya. “Kau itu gadis kecil yang sangat menyebalkan, tahu tidak, Miss Bridgerton?”

Daphne menyunggingkan senyum yang paling manis. “Kebanyakan orang menganggapku sangat baik dan ramah.”

“Kebanyakan orang itu bodoh,” tukas Simon blak-blakan.

Daphne menelengkan kepala, jelas merenungkan ucapan Simon. Kemudian ia menatap Nigel dan mendesah. “Sayangnya, walaupun ini sangat tidak menyenangkan, aku harus menyetujui ucapanmu.”

Simon menahan senyumnya. “Sangat tidak menyenangkan bagimu, atau bahwa kebanyakan orang itu bodoh?”

“Keduanya.” Daphne menyengir lagi –senyum lebar dan memesona yang memengaruhi otak Simon dengan aneh. “Tapi lebih karena yang pertama.”

Simon tertawa keras, kemudian terkejut menyadari betapa asing suara itu di telinganya. Ia sering tersenyum, terkadang terkekeh, tapi sudah lama sekali sejak ia merasakan ledakan kegembiraan spontan seperti ini. “Miss Bridgerton yang baik,” ujarnya sambil mengusap mata, “Jika kau sosok kebaikan hati dan keramahan, dunia ini pasti tempat yang sangat berbahaya.”

“Oh, itu pasti,” sahut Daphne. “Paling tidak jika mendengar kata-kata ibuku.”

“Aku tidak mengerti kenapa aku tidak mengingat ibumu,” gumam Simon, “karena dia sudah pasti terdengar seperti karakter yang tidak dapat dilupakan.”

Daphne mengangkat sebelah alisnya. “Kau tidak ingat ibuku?”

Simon menggeleng.

“Kalau begitu kau tidak mengenalnya.”

“Apa ibumu mirip denganmu?”

“Itu pertanyaan aneh.”

“Tidak terlalu aneh, kok,” balas Simon, berpikir jawaban Daphne sangat tepat. Itu memang pertanyaan aneh, dan ia tidak tahu mengapa ia mengutarakannya. Tapi karena ia sudah mengutarakannya, dan karena gadis itu mempertanyakannya, ia pun menambahkan. “Lagi pula, aku diberitahu bahwa kalian para Bridgerton itu terlihat serupa.”

Kerutan mungil dan misterius bagi Simon, menghiasi wajah gadis itu. “Itu benar. Kami memang terlihat serupa. Kecuali ibuku. Sebenarnya rambut ibuku lebih terang, dan matanya biru. Kami semua mendapatkan rambut gelap dari ayah kami. Tapi mereka bilang aku mewarisi senyum ibuku.”

Keheningan canggung mengisi percakapan mereka. Daphne memindahkan bobot tubuhnya dari kaki satu ke kaki lainnya, sama sekali tidak yakin akan apa yang akan dikatakannya kepada sang duke, ketika Nigel menunjukkan pemilihan waktu yang sangat sempurna untuk pertama kali dalam hidupnya dan duduk. “Daphne?” ujarnya, berkedip-kedip seolah tidak dapat melihat dengan jelas. “Daphne, kaukah itu?”

“Demi Tuhan, Miss Bridgerton,” umpat sang duke, “seberapa keraskah kau memukulnya?”

“Cukup keras untuk menumbangkannya, tapi tidak lebih parah dibanding itu, aku bersumpah!” Alis Daphne berkerut. “Mungkin dia mabuk.”

“Oh, Daphne,” erang Nigel.

Sang duke berjongkok di samping pemuda itu, kemudian mencondongkan tubuh ke belakang sambil terbatuk.

“Apa dia mabuk?” tanya Daphne.

Sang duke terhuyung mundur. “Dia pasti meminum sebotol penuh wiski hanya demi menguatkan diri untuk melamarmu.”

“Siapa menduga aku bisa begitu mengerikan?” gumam Daphne, memikirkan semua pria yang menganggapnya sebagai teman baik dan tidak lebih. “Bagus sekali.”

Simon menatapnya seolah Daphne sudah gila, kemudian bergumam, “Aku bahkan takkan mempertanyakan pertanyaan itu.” Daphne mengabaikan komentar pria tersebut. “Tidakkah sebaiknya kita menjalankan rencana kita?”

Simon berkacak pinggang dan kembali mengamati situasi ini. Nigel berusaha bangkit, tapi, paling tidak di mata Simon, pemuda itu takkan berhasil melakukannya dalam waktu dekat. Meski demikian, Nigel mungkin cukup sadar untuk membuat masalah, dan sudah pasti cukup sadar untuk membuat keributan, seperti yang dilakukannya sekarang. Bahkan, pemuda itu melakukannya dengan lumayan baik.

“Oh, Daphne. Aku shanghat menchinthaimu, Daffeni.” Nigel berhasil berlutut, lalu beringsut sambil terhuyung ke arah Daphne, terlihat mirip umat gereja mabuk yang hendak berdoa. “Tolomng menikahlah denganku, Defini. Harus.”

“Tegarlah, Sobat,” gerutu Simon dan mencengkeram ke arah pemuda itu. “Ini mulai memalukan.” Ia menoleh ke arah Daphne. “Aku akan membawanya keluar sekarang. Kita tidak bisa meninggalkannya di koridor ini. Dia bakal mulai mengerang seperti sapi sakit.”

“Aku malah berpikir dia sudah mulai melakukannya,” sahut Daphne. Simon merasakan salah satu sudut bibirnya melekuk naik, dengan enggan membentuk senyuman. Daphne Bridgerton mungkin memang wanita yang sudah pantas menikah dan oleh karena itu berpotensi menjadi bencana bagi pria mana pun dalam posisi seperti Simon, tapi gadis itu jelas orang baik-baik.

Simon baru tersadar bahwa gadis itu tipe orang yang mungkin akan dianggapnya sebagai teman jika Daphne itu seorang pria.

Tapi karena sudah jelas –baik bagi mata maupun tubuh Simon –bahwa gadis itu bukan lelaki, ia memutuskan lebih baik bagi mereka untuk menyelesaikan “situasi” ini secepat mungkin. Selain reputasi Daphne yang akan hancur jika mereka ketahuan, Simon tidak yakin ia bisa menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu lebih lama lagi.

Hal itu membuatnya gusar. Terutama bagi pria yang sangat menghargai kendali diri. Kendali adalah segalanya. Tanpanya ia takkan pernah bisa menentang ayahnya atau mendapatkan peringkat pertama di universitas. Tanpanya, ia–

Tanpanya, batin Simon muram, aku masih akan berbicara seperti orang idiot.

“Aku akan menyeretnya keluar dari sini,” mendadak Simon berkata. “Kau kembali saja ke ruang dansa.”

Daphne mengerutkan dahi, melirik ke balik bahu ke arah koridor yang mengarah kembali ke ruang pesta. “Kau yakin? Kupikir kau ingin aku pergi ke perpustakaan.”

“Itu ketika kupikir kita akan meninggalkannya di sini sementara aku memanggil kereta kudaku. Tapi kita tidak bisa melakukan hal itu jika ia sudah sadar.”

Daphne mengangguk setuju, dan bertanya, “Kau yakin kau bisa melakukannya? Tubuh Nigel kan lumayan besar.”

“Tubuhku lebih besar.”

Daphne menelengkan kepala. Tubuh sang duke, walaupun ramping, terlihat sangat kokoh, dengan bahu bidang dan paha yang berotot kencang. (Daphne tahu seharusnya ia tidak menyadari hal semacam itu, tapi sebenarnya, salahnyakah jika mode saat ini menuntut celana selutut yang sangat ketat?) Selain itu, pria tersebut memancarkan aura tertentu, sesuatu yang nyaris berbahaya, sesuatu yang menyiratkan kekuatan serta kekuasaan yang sangat terkontrol.

Daphne memutuskan ia tidak ragu pria itu sanggup memindahkan Nigel.

“Baiklah,” ujarnya sambil mengangguk. “Dan terima kasih. Kau baik sekali mau membantuku hingga sejauh ini.”

“Aku jarang sekali bersikap baik,” gumam Simon.

“Benarkah?” gumam Daphne, mengizinkan dirinya tersenyum kecil. “Aneh sekali. Aku tidak mungkin bisa memikirkan sebutan lain untuk menamakan tindakanmu ini. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, aku belajar bahwa kaum pria–”

“Sepertinya kau memang sangat ahli tentang kaum pria,” potong Simon agak pedas, kemudian mendesah keras sembari mengangkat Nigel hingga berdiri.

Nigel langsung mengulurkan tangan ke arah Daphne, bisa dibilang terisak sembari mengucapkan nama gadis itu. Simon harus memantapkan pijakan kakinya untuk menghalangi pemuda itu menghambur ke arah gadis tersebut. Daphne langsung mundur selangkah. “Yah, aku kan punya empat saudara laki-laki. Aku tidak bisa membayangkan pendidikan yang lebih baik daripada itu.”

Mustahil mengetahui apa sang duke berniat menjawabnya, karena pada detik itu Nigel mendapatkan kembali eneerginya(walaupun jelas tidak demikian dengan keseimbangannya) lalu menyentakkan dirinya sehingga terlepas dari pegangan Simon. Pemuda itu melemparkan dirinya kepada Daphne sembari terus melontarkan suara-suara mabuk yang tidak dimengerti.

Jika tidak memunggungi dinding. Daphne pasti bakal terjengkang ke lantai. Bahkan dengan situasi seperti itu pun tubuhnya menabrak dinding dengan keras, membuat dirinya terkesiap.

“Oh, demi Tuhan,” umpat sang duke, terdengar amat sangat kesal. Ia menarik Nigel menjauhi Daphne, kemudian menoleh ke arah gadis itu dan bertanya. “Bolehkan aku meninjunya?”

“Oh, silahkan saja,” jawab Daphne sambil masih terengah-engah. Ia berusaha berbaik hati dan murah hati kepada mantan pengagumnya, tapi sungguh, semua itu ada batasnya.

Sang duke menggumamkan sesuatu yang terdengar mirip “bagus,” dan mendaratkan tinju yang luar biasa keras ke dagu Nigel.

Nigel langsung terkapar dan tidak sadarkan diri.

Daphne mengamati pemuda di lantai itu tanpa ekspresi. “Kurasa kali ini dia takkan terbangun.”

Simon menggoyang-goyang tinjunya. “Tidak.”

Daphne berkedip dan mendongak kembali. “Terima kasih.”

“Dengan senang hati,” sahut Simon dan mengerutkan dahi ke arah Nigel.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Tatapan Daphne bergabung dengan pandangan pria itu ke arah pemuda di lantai yang kini benar-benar tidak sadarkan diri.

“Kembali ke rencana awal,” jawab Simon tegas. “Kau tinggalkan dia di sini sementara kau menunggu di perpustakaan. Aku lebih suka menyeretnya keluar sesudah ada kereta kudaku yang menunggu.”

Daphne mengangguk setuju. “Apa kau perlu bantuan untuk membetulkan posisinya, atau apakah sebaiknya aku langsung pindah ke perpustakaan?”

Sang duke terdiam sejenak. Kepalanya ditelengkan ke kanan lalu ke kiri sembari menganalisis posisi Nigel di lantai. “Sesungguhnya, aku akan sangat bersyukur jika kau mau membantuku sedikit.”

“Benarkah?” tanya Daphne terkejut. “Tadinya aku yakin kau akan menolaknya.”

Itu menimbulkan tatapan sedikit geli sekaligus pongah dari sang duke. “Dan itukah alasanmu menanyakannya?”

“Tentu saja tidak,” tukas Daphne agak tersinggung. “Aku tidak sebodoh itu, menawarkan bantuan padahal aku tidak berniat memberikannya. Aku Cuma bermaksud menekankan bahwa, menurut pengalamanku, kaumpria–”

“Kau punya terlalu banyak pengalaman,” gerutu sang duke pelan.

“Apa?”

“Maafkan aku,” ralat Simon. “Kaupikir kau punya terlalu banyak pengalaman.”

Daphne memelototinya, mata kelamnya membara hingga nyaris terlihat hitam. “Itu tidak benar, dan lagi pula, siapa pula dirimu hingga berani menyatakan hal semacam itu?”

“Tidak, itu juga tidak terlalu tepat,” renung sang duke, sama sekali mengabaikan pertanyaan marah Daphne. “Kurasa lebih tepatnya menurutku kau pikir kau punya terlalu banyak pengalaman.”

“Astaga kau–Kau–” Sebagai balasan, ucapan itu tidak terlalu efektif. Tapi hanya itu yang mampu Daphne ucapkan. Kemampuan berbicaranya cenderung menghilang ketika dirinya sedang marah. Dan dirinya kini benar-benar marah.

Simon mengangkat bahu, terlihat tidak peduli oleh ekspresi geram Daphne. “Miss Bridgerton tersayang?”

“Kalau kau memanggilku seperti itu sekali lagi, aku bersumpah aku akan menjerit.”

“Oh, kau takkan melakukannya,” komentar Simon sambil tersenyum menawan. “Itu akan menarik perhatian orang banyak, dan tolong diingat, kau tidak ingin terlihat bersamaku.”

“Aku mempertimbangkan untuk mengambil risiko itu,” tukas Daphne, setiap kata didesiskan dari antara giginya.

Simon melipat kedua tangannya dan bersandar dengan malas ke dinding. “Benarkah?” sahutnya santai. “Aku ingin melihatnya.”

Daphne mengangkat tangan dengan frustasi. “Lupakan saja. Lupakan aku. Lupakan sepanjang malam ini. Aku pergi.” Ia berbalik, tapi sebelum sempat melangkah, gerakannya ditahan oleh suara sang duke.

“Kupikir kau akan membantuku.” Sial. Pria itu benar. Perlahan-lahan Daphne berbalik.

“Oh, ua,” jawab Daphne, suaranya jelas-jelas menunjukkan kebohongan, “dengan senang hati.”

“Tahu, tidak?” tutur Simon polos, “jika tidak ingin membantu, kau tidak perlu melakukannya.”

“Kubilang aku akan membantumu,” benatak Daphne.

Simon tersenyum kecil. Gadis itu mudah sekali ditipu. “Ini yang akan kita lakukan,” ujarnya. “Aku akan mengangkatnya hingga berdiri dan menyampirkan lengan kanannya ke bahuku. Kau akan berdiri di sebelahnya dan menopangnya.”

Daphne melakukan segalanya sesuai perintah, menggerutu pelan tentang sikap diktator Simon. Tapi ia tidak melontarkan satu pun keluhan. Karena, meski menyebalkan, Duke of Hastings membantunya membebaskan diri dari peristiwa yang berpotensi menjadi skandal memalukan.

Tentu saja jika ada orang yang mendapati dirinya dalam posisi ini, Daphne akan mendapati dirinya dalam situasi yang lebih buruk lagi.

“Aku punya gagasan bagus,” mendadak Daphne berkata. “Tinggalkan saja dia di sini.”

Sang duke berpaling menatap Daphne, terlihat seolah pria itu ingin sekali melemparnya keluar jendela –terutama melalui jendela yang masih tertutup. “Kupikir,” ucap pria itu, jelas berusaha keras mengekang emosinya, “kau tidak ingin meninggalkannya tergeletak di lantai.”

“Itu sebelum ia mendorongku ke dinding.”

“Tidak bisakah kau memberitahukan perubahan sikapmu itu kepadaku sebelum aku mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya?”

Daphne merona. Ia benci jika kaum pria berpikir wanita itu makhluk plin-plan dan gampang berubah pikiran. Ia bahkan lebih benci lagi karena saat ini dirinya membuktikan citra tersebut.

Baiklah,” ucap sang duke singkat , lalu menjatuhkan Nigel.

Bobot mendadak tubuh Nigel juga nyaris membuat Daphne terjengkang. Ia menjerit kaget sembari bergegas menjauh.

“Sekarang, bolehkan kita pergi?” tanya sang duke, pura-pura sabar.

Daphne mengangguk ragu, melirik ke arah Nigel. “Posisinya terlihat agak tidak nyaman, bukan begitu menurutmu?”

Simon menatap Daphne. Hanya menatap gadis itu. “Kau peduli pada kenyamanannya?” akhirnya ia bertanya.

Daphne menggeleng gugup, kemudian mengangguk, lalu kembali menggeleng. “Mungkin sebaiknya aku –Maksudku –Tunggu sebentar.” Ia berjongkok dan meluruskan kaki Nigel sehingga pemuda itu berbaring telentang. “Kurasa dia tidak pantas diantar pulang dengan kereta kudamu,” jelasnya sembari merapikan jaket pemuda itu, “tapi sepertinya agak kejam meninggalkannya di sini dalam posisi seperti itu. Nah, sekarang aku sudah selesai.” Ia berdiri dan mendongak.

Dan berhasil melihat sang duke berjalan pergi, menggumamkan sesuatu tentang Daphne dan sesuatu tentang kaum wanita secara keseluruhan dan sesuatu yang sangat berbeda yang tidak dapat didingar jelas oleh Daphne. Tapi mungkin lebih baik begitu. Ia ragu itu berupa pujian.



Synopsis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar