Rabu, 20 Maret 2019

One Good Earl Deserver a Lover #9

“Permainan dadu adalah permainan yang rumit –permainan yang memberi kesan tertentu tetapi ternyata sebaliknya. Misalnya, seseorang melempar dua buah dadu, mengira kalau lemparannya akan menghasilkan jumlah di antara satu sampai dengan dua belas, tapi lemparan berjumlah satu mustahil terjadi... lalu lemparan bernilai dua dan dua belas nyaris mustahil. Lantas mengapa, kalau kekeliruan dari permainan sudah sejelas itu, permainannya sangat menarik bagi para penjudi?

Mungkin ada sisi geometris dalam permainan untung-untungan ini –tapi juga ada kesakralannya.

Rupanya yang sakral jarang masuk akal secara ilmiah.”

Jurnal ilmiah Lady Philippa Marbury
27 Maret 1831; sembilan hari sebelum pernikahannya.


Cross tidak akan menolak permintaan apa pun dari Pippa saat itu.


Tidak kalau Pippa sudah menghabiskan waktu satu jam terakhir untuk menggodanya dengan mata biru besar, berotak tajam, dan tubuh indah nan ramping yang membuatnya sangat ingin menyentuh gadis itu. Ketika wanita-wanita yang tadi datang, Cross hanya berniat untuk melindungi Pippa agar tidak ketahuan, menutupi Pippa dengan tubuhnya dan membenci dirinya sendiri karena sudah mau membawa Pippa ke tempat gelap dan kotor yang tidak pantas gadis itu kunjungi ini.

Sebagaimana dirinya tidak pantas berdekatan dengan Pippa.

Cross tahu ia harus memberitahukan semuanya kepada Bourne dan membiarkan mitranya itu menghajarnya habis-habisan karena sudah berpikir ingin membuat Philippa Marbury bejat. Karena sudah bermimpi bisa berada sedekat ini dengan Pippa. Tergoda oleh Pippa.

Karena Pippa adalah pelajaran terbesar yang pernah ada tentang godaan.

Saat Pippa terjatuh dari kereta kuda langsung ke dalam pelukannya, Cross pikir pengendalian dirinya sudah buyar, garis-garis ramping dan lekuk-lekuk lembut pada tubuh Pippa melekat ke tubuhnya, membuatnya mendamba. Tadinya ia yakin kalau momen itu adalah ujian yang sesungguhnya... ujian terberat yang pernah ia hadapi, menurunkan Pippa lalu mundur dari bibir jurang.

Mengingatkan dirinya bahwa Pippa bukan untuknya.

Bahwa Pippa tidak akan menjadi miliknya.

Tapi itu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang terjadi beberapa menit selanjutnya sewaktu, terimpit di tengah dirinya dan dinding batu klub, Pippa menoleh dan bicara kepadanya, napas gadis itu berembus ke rahangnya, membuat mulutnya terasa kering dan gairahnya tersulut. Itulah  hal terberat yang pernah Cross hadapi.

Ia hampir mencium Pippa dan membebaskan mereka berdua dari penderitaan mereka.

Semoga Tuhan menolongnya, selama sesaat ia mengira Pippa akan mengambil alih keputusan dari tangannya lalu mengambil tindakan sendiri.

Dan ia menginginkannya.

Ia masih menginginkannya.

Alih-alih, Pippa malah memintanya melanjutkan kegilaan ini –membawa gadis itu masuk ke klub dan memberikan pelajaran yang sudah ia janjikan. Mengajari Pippa tentang godaan.

Pippa mengira dirinya pria yang aman. Terpelajar. Tidak berbahaya.

Pippa gila.

Seharusnya ia membawa Pippa kembali ke kereta kuda dan mengantar gadis itu pulang, tanpa berpikir dua kali. Seharusnya ia menjauhkan Pippa  dari tempat yang dipenuhi oleh bangsawan yang akan sangat terhibur oleh keberadaan gadis itu di sini, dan gosip yang akan beredar nantinya.

Memang, ada peraturan di sisi klub sebelah sini –para wanita yang menjadi anggota dilarang ketat membocorkan rahasia yang mereka ketahui. Dan sebagai wanita yang juga memiliki rahasia dan menghargai waktu mereka di klub, mereka akan berhati-hati untuk mematuhin peraturan tersebut.

Tapi itu tidak mengubah ancaman terhadap Pippa.

Dan Cross tidak akan membiarkannya terjadi.

“Aku tidak boleh membawamu masuk,” cetus Cross, kata-katanya menggantung di tengah mereka.

“Kau sudah janji.”

“Aku bohong.”

Pippa menggelengkan kepala. “Aku tidak suka pembohong.”

Pippa menggodanya. Cross mendengar tawa lembut pada kata-kata itu. Tapi ada ataupun tidak, ia juga mendengar kebenaran di sana. Dan ia Pippa menyukai dirinya.

Gagasan tersebut menyerang Cross laksana sebuah pukulan, dan ia langsung menegakkan badan, tiba-tiba sudah tidak sabar untuk menjauh dari Pippa.

Bukan karena Pippa.

Melainkan segalanya. Dengan Digger Knight, Lavinia, dan segala sesuatu dari dunianya yang runtuh di sekelilingnya, hal terakhir yang dia butuhkan adalah Pippa Marbury berada di dalam klubnya. Di dalam hidupnya. Menimbulkan masalah. Mengambil alih pemikiran-pemikirannya.

Kegilaan itu akan pergi begitu ia menyingkirkan Pippa.

Ia harus menyingkirkan Pippa. Malam ini.

Cross mengabaikan getar-getar kejengkelan yang meliputinya karena pemikiran tersebut lalu menggedor pintu baja.

“Irama ketukannya berbeda dengan yang digunakan oleh wanita-wanita tadi.”

Tentu saja, Pippa pasti menyadarinya. Pippa menyadari segalanya, dengan mata biru yang tajam itu.

“Aku bukan wanita-wanita tadi.” Cross mendengar kesengitan pada nada suaranya, enggan menyesalinya begitu pintu dibuka.

Sepertinya Pippa tidak menyadarinya. “Semua orang punya ketukan yang berbeda?” Ia mengikuti Cross masuk ke lorong, di mana Asriel duduk di tempat biasa, membaca dengan diterangi oleh cahaya temaram dari lilin di dinding.

Penjaga pintu mengarahkan pandangan mata hitamnya kepada Cross lebih dulu, lalu kepada Pippa. “Dia bukan anggota.”

“Dia bersamaku,” tukas Cross.

“Anggota apa?” tanya Pippa.

Asriel membaca buku lagi, tidak menghiraukan mereka berdua. Pippa memiringkan kepala untuk melihat buku di tangan Asriel. Kepalanya langsung tersentak, matanya menatap mata Asriel dengan sorot tidak percaya. “Pride and Prejudice?”

Asriel langsung menutup bukunya lalau memandang Cross. “Tetap saja dia bukan anggota.”

Cross menatap Asriel dengan tajam. “Kalau begitu kita beruntung karena aku seorang pemilik.”

Seperti Asriel tidak terlalu peduli.

Akan tetapi, Pippa kelihatannya tidak kuasa menahan diri. “Mungkin kita harus memulai dari awal lagi? Kita belum diperkenalkan secara layak. Aku...”

Asriel menyela, “Cross.”

“Kuakui, aku senang melihat dia membuat semua orang gila sebagaimana dia membuatku gila.” Cross terdiam sebentar. “Vallombrosa?”

Kalau Asriel memiliki pendapat tertentu terhadap permintaan itu, ia tidak menunjukkannya. “Kosong. Semua orang menonton pertandingan. Jangan ke sana kalau kau tidak mau dia dilihat tanpa topeng.”

Seolah ini belum terpikirkan oleh Cross saja.

“Ini kali keduanya seseorang menyebut-nyebut tentang pertandingan,” sela Pippa. “Apa maksudnya.”

Asriel terdiam selama beberapa saat. “Maksudnya ada pertandingan.”

Alis Pippa terangkat. “Kau bukan pria yang ramah, ya?”

“Memang bukan.”

“Kau merusak kegembiraanku,” tukas Pippa.

“Bukan hal baru.”

Cross melawan keinginan untuk tertawa. Pippa bukan orang pertama yang berusaha mengajak Asriel bercakap-cakap, dan ia berani bertaruh kalau Pippa juga tidak akan menjadi yang pertama berhasil.

Akan tetapi, Pippa tetap berusaha, dengan seulas senyum lebar yang hangat. “Kuharap kita akan bertemu lagi. Mungkin kita bisa membentuk semacam klub baca. Aku sudah membaca buku itu.” Ia mencondongkan badan. “Apa kau sudah sampai di bagian di mana Mr. Darcy melamar?”

Asriel menyipitkan matanya kepada Cross. “Dia sengaja melakukannya.”

Pippa menggelengkan kepala. “Oh, aku tidak akan merusak kejutannya. Elizabeth menolak.” Ia terdiam sejenak. “Kurasa aku merusak kejutannya. Maaf.”

“Rasanya aku lebih menyukai kakakmu.”

Pippa mengangguk, dengan sangat serius. “Bukan hal baru.”

Mendengar kata-kata Asriel dibeokan, Cross tertawa, dan waktu ia berusaha menahan tawanya, yang keluar adalah suara tertahan –suara yang ditanggapi oleh Asriel dengan rengutan. Cross memahami isyaratnya, menyibakkan tirai beludru yang tebal lalu memastikan mereka tidak kelihatan sebelum membawa Pippa menyusuri lorong sempit dan panjang yang mengarah ke Vallombrosa, salah satu dari sejumlah ruang permainan dadu yang terdapat di sisi klub sebelah sini.

Pippa masuk lebih dulu, berbalik dengan perlahan setelah sampai di dalam, memperhatikan ruangan kecil berperabotan mewah yang ditujukan untuk permainan pribadi itu. “Bangunan ini luar biasa,” katanya, mengangkat tangan untuk membuka kancing mantelnya. “Sangat luar biasa. Setiap kali aku datang, ada bagian baru yang tersedia untuk dieksplorasi.”

Pippa melepaskan mantelnya, memperlihatkan gaun jalan-jalan hijau yang sederhana –sangat biasa-biasa saja, orang pasti berpendapat kalau gaun itu tidak menarik jika dibandingkan dengan kreasi-kreasi sutra dan organdi yang biasanya dikenakan oleh wanita lain yang mendatangi sisi klub sebelah sini. Garis lehernya tinggi, lengannya panjang, dan roknya tebal –kombinasi yang seharusnya memadamkan respon Cross terhadap interaksi mereka di dang –tapi Pippa seolah mengenakan gaun tidur berenda kalau melihat dampak dari gaun sederhananya terhadap Cross.

Gaun itu terlalu berhasil dalam menyembunyikan Pippa.

Cross ingin gaun itu ditanggalkan.

Secepatnya.

Cross berdeham lalu melihat mantel Pippa, yang disampirkan di punggung kursi santai. “Bangunan ini memang dirancang untuk membuatmu merasa seperti itu. Pengunjung dibuat bertanya-tanya apa saja yang sudah mereka lewatkan.”

“Supaya mereka tergoda untuk kembali?” pertanyaan tersebut bersifat retoris. Pippa sedang belajar. “Apa itu tujuan dari malam ini? Menggodaku dengan ruangan-ruangan indahmu dan jalan-jalan rahasiamu?”

Cross sudah tidak yakin apa tujuan dari malam ini. Seluruh akal sehat yang tadi ia miliki, rencana-rencana yang terkendali sempurna untuk pelajaran Pippa, semuanya dikacaukan oleh keberadaan gadis itu.

Pippa berbalik memunggungi Cross, beranjak untuk mengamati sebuah lukisan yang hampir memenuhi salah satu dinding. Lukisan itu menggambarkan empat orang pemuda yang tengah memainkan permainan dadu di jalan berbatu dengan diterangi oleh cahaya dari sebuah pub. “Omong-omong tentang jalan rahasia,” ujarnya, “aku sangat terkesan oleh bakat arsitekturmu.”

“Temple terlalu banyak bicara.”

Pippa tersenyum. “Apa semua ruangan punya jalan rahasia?”

“Sebagian besar. Kami ingin punya jalan untuk meloloskan diri.” Tempat di mana rahang Pippa bertemu dengan lehernya menimbulkan bayangan yang sangat menarik. Cross bertanya-tanya seperti apa citarasa kulit di sana. Seperti sutra atau satin?

“Mengapa?”

Cross mencurahkan perhatiannya kepada pertanyaan itu. “Ada banyak orang yang menginginkan kehancuran kami. Kami tidak mau kecolongan.”

Pippa berbalik menghadap Cross, matanya membelalak. “Bukankah itu tugas pria yang sedang membaca Pride and Prejudice?”

“Kurang lebih.”

“Orang bisa melewatinya?”

“Itu sudah tidak aneh lagi. Aku pernah terbangun dengan seorang wanita di kantorku. Percayalah, dia tidak diundang. Dan baru kemarin, aku mendapatinya berada di arena kasino.”

Pippa tersenyum mendengarnya. “Kedengarannya dia kasus istimewa.”

Memang.

Pippa melanjutkan. “Aku tidak suka membayangkan kalau suatu saat mungkin kau harus melarikan diri dari orang jahat.”

Cross mengenyahkan kegembiraan yang meliputinya karena gagasan bahwa Pippa peduli kepadanya. “Jangan membuat dirimu pusing. Aku jarang kabur.”


Cross melewati Pippa, mengitari meja untuk menciptakan jarak dan memosisikan meja mahoni itu di tengah mereka. Pippa tetap berada di tempatnya. “Apa ruangan ini punya jalan rahasia?”

“Mungkin.”

Pippa memandang ke sekelilingnya, matanya disipitkan, dengan hati-hati mengamati setiap bentangan dinding. “Kalau punya, ke mana arahnya?”

Cross tidak menggubris pertanyaan itu, mengambil dadu dari meja permainan, mengangkatnya, menimbangnya. “Apa kau mau mengajukan pertanyaan tentang arsitektur? Atau kau menginginkan pelajaranmu?”

Tatapan Pippa tidak goyah. “Keduanya.”

Jawaban itu tidak mengejutkan Cross. Philippa Marbury merupakan wanita yang sangat tertarik kepada wawasan sehingga wawasan mengenai topik apa pun – bukan hanya seks– bisa menggodanya. Sayangnya, rasa penasaran alaminya adalah salah satu hal yang sangat menggoda yang pernah Cross rasakan.

Cross kembali mengingat tujuannya untuk malam ini.

Pippa harus kalah.

Kalau gadis itu kalah, ia bisa mendapatkan kembali kewarasannya.

Memenangi kembali pengendalian dirinya.

Itu saja sudah sepadan.

Cross melempar dadu ke arah Pippa. “Ini keduanya.”

Mata Pippa berbinar seolah Cross baru saja menawarkan permata kepadanya. “Siapa wanita-wanita yang ada di luar?”

Cross menggelengkan kepala. “Tidak semudah itu, Pippa. Pelajarannya tentang godaan. Kalau kau ingin tahu lebih banyak... kau harus memenanginya.”

“Baiklah.”

“Dan kau harus bertaruh.”

Pippa mengangguk sekali. “Ada lima pound di tasku.

Cross menyeringai. “Lima pound tidak cukup. Itu tidak cukup untuk pelajaran yang kau minta.”

“Lantas apa? Aku tidak membawa barang berharga.”

Kau membawa pakaianmu. Cross membutuhkan segenap pengendalian dirinya untuk tidak mengucapkan kata-kata itu. “Aku mau membeli waktumu.”

Kebingungan membuat dahi Pippa dikerutkan. “Waktuku?”

Cross mengangguk. “Kalau kau menang, aku akan memberitahukan apa yang mau kau ketahui. Kalau kau kalah, kau kehilangan waktu untuk proyek riset sinting ini. Masih tersisa beberapa, sebelas hari sebelum kau menikah?”

Masih tersisa sepuluh hari. Cross sengaja salah menghitung.

Pippa meralatnya, kemudian menggelengkan kepala dengan tegas. “Kita punya kesepakatan.”

Ungkin, tapi Cross memiliki seluruh kendalinya. Setidaknya, di benak Pippa. “Kalau begitu kurasa tidak akan ada pelajaran.”

“Kau bilang kau tidak akan mengingkari janjimu. Kau sudah berjanji.”

“Dan seperti yang kukatakan sebelumnya, My Lady... bajingan selalu berbohong.” Tidak selalu karena pembawaan mereka, benak Cross. Terkadang mereka berbohong demi mempertahankan kewarasan mereka. Ia beranjak ke pintu. “Aku akan meminta seseorang membawa mantel bertudung untuk membawamu keluar dari klub lalu mengantarmu pulang.”

Cross sudah sampai di pintu, tangannya meraih gagang pintu ketika Pippa berkata, “Tunggu.”

Cross memasang ekspresi tenang dan membalikkan badan. “Ya?”

“Satu-satunya cara untuk mendapatkan pelajaran yang kuinginkan adalah dengan bertaruh?”

“Anggap saja seperti menggadakan risetnya. Pelajaran berjudi adalah petualangan yang tidak mungkin dilewatkan oleh banyak wanita.”

“Ini bukan petualangan. Ini riset. Berapa kali aku harus memberitahumu?”

“Beri sebutan apa pun yang kau inginkan, Pippa. Bagaimanapun juga, ini sesuatu yang kau inginkan.”

Pippa mengarahkan pandangannya ke meja permainan dadu, matanya memancarkan kerinduan, dan Cross tahu ia sudah menang. “Aku mau berjudi.”

“Bagus sekali, Pippa.”

Pippa membalas tatapan Cross. “Pelajaran pertamaku tentang godaan.”

Gadis pintar. “Semua atau tidak sama sekali.”

Pippa mengangguk. “Semua.”

Gadis pintar yang sesat.

Cross kembali ke meja lalau menyerahkan sepasang dadu gading kepada Pippa. “Pada lemparan pertama di The Angel, tujuh atau sebelas menang. Mendapatkan dua atau tiga, kau kalah.”

Alis Pippa diangkat. “Hanya dua atau tiga? Mengapa aku kalah hanya karena jumlah sembilan pada pertaruhan pertama kita?”

Cross tidak dapat menahan seringainya. “Kau menawarkan peluang yang lebih baik... aku menerimanya.”

“Seharusnya aku tidak berjudi dengan seorang bajingan.”

Cross memiringkan kepalanya ke arah Pippa. “Kurasa kau sudah belajar sejak saat itu.”

Pippa membalas tatapan Cross, matanya membelalak di balik kacamata. “Aku tidak terlalu yakin.”

Kata-kata jujur itu mengguncang Cross, membangkitkan gairah dan sesuatu yang lebih mendasar lagi di antara mereka. Sebelum Cross menanggapi, Pippa sudah melempar dadunya.

“Sembilan,” ujar Pippa. “Angka keberuntunganku?”

“Kau sudah menjadi penjudi ulung.” Cross mengambil dadu lalu mengembalikan kepada Pippa. “Permainannya sederhana. Kalau dapat sembilan lagi, kau menang. Kalau tujuh, kau kalah.”

“Kukira tujuh menang.”

“Hanya pada lemparan pertama. Sekarang kau sudah menetapkan kalau angkamu sembilan.”

Pippa menggelengkan kepala. “Aku tidak suka peraturan-peraturan ini. Kau tahu sebagaimana aku tahu bahwa peluang untuk mendapatkan jumlah tujuh lebih besar dari pada jumlah yang sama dengan sebelumnya.”

“Suka atau tidak, itulah peraturan yang kau terima kalau kau memilih permainan dadu.”

“Aku tidak memilihnya,” gerutu Pippa, meskipun ia menimbang dadu di telapak tangannya. Ia tidak akan pergi.

Cross bersandar ke meja. “Sekarang kau mengerti mengapa berjudi adalah ide yang sangat buruk.”

Pippa menatap Cross dengan tajam. “Menurutku yang lebih tepat adalah aku mengerti mengapa kau kaya raya.”

Cross tersenyum. “Tidak ada yang memaksamu bermain.”

Alis Pippa diangkat. “Kau melakukannya!”

“Omong kosong. Aku memberimu sesuatu untuk dipertaruhkan. Tanpanya, tidak ada yang namanya imbalan.”

Pippa mengarahkan pandangannya ke meja dengan ragu. “Aku yakin sekali imbalan itu tidak akan ada.”

“Tidakd ada yang tahu. Sebagian orang mengandalkan kemurahan hati Dewi Fortuna.”

Salah satu alis keemasan Pippa diangkat. “Seorang dewi, ya?”

“Itu pasti berhubungan dengan fakta bahwa dia sangat mudah berubah.”

“Aku sangat tersinggung mendengarnya. Aku sama sekali tidak mudah berubah. Kalau berjanji, aku akan menepatinya.”

Pippa melempar dadu, dan sebuah kenangan melintas tentang pertemuan pertama mereka.

Aku tidak suka ketidakjujuran.

“Dua dan empat,” cetus Pippa. “Enam. Sekarang apa?”

Cross mengangkat dadu lalu mengopernya kepada Pippa. “Lempar lagi.”

“Aku belum menang?”

“Kalau ini bisa menghibur, kau juga belum kalah.”

Pippa melempar tiga kali lagi, sepuluh, dua belas, dan delapan, sebelum mengerutkan hidungnya dan berkata, mengapa pria-pria itu mau mengerjakan hal-hal yang bodoh dan mustahi?”

Cross tertawa. “Di The Angel, penonton bisa bertaruh untuk apa pun yang berhubungan dengan permainan. Hasil dari sebuah lemparan, apakah jumlah suatu lemparan akan lebih tinggi atau lebih rendah dari yang sebelumnya, kombinasi persis dari titik-titik di dadu. Kalau seseorang di meja menang pada setiap lemparan, permainan akan menjadi sangat menarik.”

“Terserah kau saja,” cetus Pippa, kedengaran sangat heran sawaktu ia melempar dadu lagi, mendapat nilai enam dan tiga. “Oh! ” serunya. “Sembilan! Aku menang! Kau lihat? Keberuntungan berpihak kepadaku.”

Pippa tersenyum, pipinya merona karena kegembiraan yang dihasilkan oleh kemenangan. “Dan sekarang kau mengerti mengapa pria sangat menikmati permainan-permaian di sini,” ujar Cross.

Pippa tertawa lalu bertepuk tangan. “Kurasa aku mengerti! Dan sekarang aku bisa menerima jawaban untuk sebuah pertanyaan!”

“Benar,” Cross mengiyakan, berharap Pippa mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan klub.

“Siapa wanita-wanita yang ada di luar?”

Cross mengambil dadu. “Anggota.”

“Anggota The Angel?” Pippa hampir memekik, mengulurkan tangan untuk menerima dadu gading itu. “Kukira ini klub pria.”

“Klub ini lebih daripada yang kelihatannya. Secara teknis, ini bukan The Angel.”

Dahi Pippa dikerutkan. “Jadi apa?”

“Itu pertanyaan yang lain lagi.” Cross mendongak ke arah tangan Pippa. “Permainan di atas lebih rumit lagi, tapi untuk permainan kita, kita tetap melakukannya dengan cara yang sama. Kau menang kalau mendapat jumlah sembilan.”

Pippa melempar lagi. Enam dan tiga.

“Aku menang lagi!” Pippa bersorak, senyumnya bertambah lebar menjadi seringai. Cross tidak dapat menahan diri untuk balas tersenyum sewaktu ia menggelengkan kepala dan mengambil dadu. “Tempat ini apa?”

“Tidak ada namanya. Kami menyebutnya sebagai Sisi Lain. Tempat ini ditujukan untuk wanita.”

“Wanita yang mana?”

Cross menyerahkan dadu kepada Pippa.

Pippa mendapat jumlah lima, kemudian sepuluh, lalu sembilan. “Hore!” pekiknya, menatap mata Cross yang memancarkan keterkejutan. “Kau pasti tidak menyangka aku akan menang lagi.”

“Kuakui aku tidak menyangka.”

Pippa tersenyum. “Wanita yang mana?”

Cross menggelengkan kepala. “Aku tidak bisa menjawabnya. Cukup kalau kukatakan, wanita yang tidak ingin identitasnya diketahui. Dan merasakan petualangan mereka sendiri.”

Pippa mengangguk. “Mengapa pria bisa memiliki akses ke dunia yang luas sementara wanita tidak?”

“Persis.”

Pippa terdiam sejenak, lalu bertanya, “Apa akan ada rasa sakit?”

Cross nyaris tersedak.

Pippa salah menafsirkan suara itu sebagai kesalahpahaman.

“Maksudku, aku tahu kemungkinan besar akan ada rasa sakit untukku. Tapi apa dia juga akan merasa sakit?”

Tidak. Tidak, ia akan merasakan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Seperti yang akan kau rasakan kalau melakukannya bersamaku.

Cross menahan kata-kata itu. “Tidak.”

Kelegaan terpancar dari mata Pippa. “Bagus.” Ia terdiam sebentar. “Aku cemas kalau sampai keliru.

Cross menggelengkan kepalanya sekali, dengan tegas, “Menurutku kau tidak akan menemui kesulitan.”

Pippa tersenyum sewaktu mendengarnya. “Pengetahuan tentang anatomi bisa membantu.”

Cross tidak mau memikirkan pemahaman Pippa mengenai anatomi dalam konteks ini. Cross tidak mau membayangkan Pippa menggunakan kata-katanya yang sederhana dan blak-blakan untuk membimbing suaminya, untuk belajar bersama pria itu. Cross memejamkan mata karena fantasi yang ditimbulkan oleh kata-kata itu, karena wawasan yang terucap dari bibir Pippa. “Castleton memang bodoh, tapi tidak idiot. Kau tidak perlu khawatir, dia pasti memahami... mekanismenya.”

“Kau tidak boleh menyebutnya seperti itu.”

“Mengapa tidak? Dia bukan tunanganku.” Cross mengangkat dadu, menyodorkannya kepada Pippa. Ketika Pippa mengulurkan tangan kepada Pippa, Cross tidak kuasa menahan diri agar tidak menangkupkan telapak tangannya di jemari Pippa –menahan gadis itu. Cross tidak kuasa menahan diri agar tidak berkata dengan lembut, “Pippa.”

Mata Pippa langsung bertatapan dengan mata Cross. “Ya?”

“Kalau dia menyakitimu...” Cross terdiam, membenci bagaimana mata Pippa membelalak karena kata-katanya.

“Ya?”

Kalau Castleton menyakitimu, tinggalkan pria itu.

Kalau Castleton menyakitimu, akan kubunuh dia.

“Kalau dia menyakitimu... itu artinya dia tidak melakukannya dengan benar.” Hanya itu yang dapat Cross katakan. Ia melepaskan tangan Pippa. “Lempar lagi.”

Empat dan tiga.

“Oh,” kata Pippa, sangat kecewa. “Aku kalah.”

“Risetmu dikurangi satu hari. Berarti tinggal sembilan hari.”

Mata Pippa membelalak. “Sehari penuh? Untuk  satu lemparan yang buruk?”

“Sekarang kau tahu seperti apa rasanya kalah dan juga menang,” kata Cross. “Yang mana yang lebih kuat tarikannya? Risikonya? Atau imbalannya?”

Pippa mempertimbangkannya selama beberapa saat. “Aku mulai memahaminya.”

“Memahami apa?”

“Mengapa pria melakukan ini. Mengapa mereka bertahan. Mengapa mereka kalah.”

“Mengapa?”

Pippa menatap mata Cross. “Karena menang terasa nikmat.”

Cross memejamkan mata begitu mendengar kata-kara tersebut, karena bagaimana kata-kata itu menggodanya untuk menunjukkan betapa jauh lebih nikmatnya ia bisa membuat Pippa merasa ketimbang dadu-dadu dingin itu. “Apa kau mau melanjutkan?”

Katakan tidak. Menyerah dan pulanglah, Pippa. Tempat ini, permainan ini, momen ini... semuanya bukan untukmu.

Selagi berpikir, Pippa menggigiti bibir bawahnya, dan gerakan itu membuat Cross terkesima, sampai-sampai saat akhirnya Pippa melepaskan bibir yang agak bengkak itu, lalu berkata, “Aku mau,” Cross sudah melupakan pertanyaannya.

Sewaktu Cross tidak langsung menyodorkan dadu, Pippa mengulurkan tangannya. “Aku mau melemparnya lagi, kalau kau tidak keberatan.”

Cross keberatan. Tapi ia menyerahkan kubus gading itu, dan Pippa melemparnya ke atas kain wol hijau dengan penuh semangat.

“Delapan hari,” Pippa merengut memandang dadu empat dan tiga yang tergeletak di seberang meja.

“Ladi,” ujar Pippa.

Cross menyerahkan dadu kepadanya.

Pippa melempar.

“Tujuh hari.”

Pippa menyipitkan matanya kepada Cross. “Ada yang tidak beres dengan dadunya.”

Cross mengambil kubus gading itu lalu menyodorkannya kepada Pippa, telapak tangannya menghadap ke atas. “Godaan tidak selalu baik.”

“Selalu baik kalau seseorang ingin menggoda suaminya.”

Cross sudah hampir melupakan tujuan Pippa. Oh Tuhan, ia tidak ingin mengajari Pippa cara menggoda pria lain. Ia ingin mengajari Pippa cara menggodanya.

Ia ingin mengajari Pippa untuk mengizinkannya menggoda wanita itu.

Pippa mengambil dadu itu. “Sekali lagi.”

Cross mengangkat sebelah alisnya. “Kalau kami mendapat satu sixpence setiap kata-kata itu diucapkan diucapkan di bawah atap ini, kami pasti sudah kaya.”

Pippa mendapat jumlah delapan, lalu menatap mata Cross. “Kalian memang sudah kaya.”

Cross tersenyum lebar, menyerahkan kubus gading itu sekali lagi. “Semakin kaya.”

Pippa melempar sekali–sebelas–dua kali–empat–tiga kali. “Ah-ha!” soraknya. “Enam dan tiga! Lagi!” Pippa menoleh kepada Cross, sesuatu yang familier terpancar dari matanya –sensasi memabukkan dari kemenangan. Cross sudah sering melihatnya di mata banyak penjudi, dan sorot itu tak pernah gagal memuaskannya. Sorot itu menyiratkan satu kebenaran yang tak tergoyahkan; bahwa penjudi yang bersangkutan akan bertahan malam itu. Tapi sekarang, dengan Pippa, sorot tersebut gagal memuaskannya. Alih-alih, sorot itu membuatnya merindu karena hasrat.

Hasrat untuk melihat semangat yang sama di tempat yang jauh dari meja judi, selagi Pippa memenangi sesuatu yang jauh berbeda.

Selagi Pippa memenangi dirinya.

Pippa meraih tasnya. “Aku sudah mencatat pertanyaan-pertanyaan risetku.” Tentu saja sudah. Hanya Tuhan yang tahu pertanyaan aneh macam apa yang Lady Philippa Marbury miliki atas nama riset. Pippa membuka bukunya, menggigiti bibir bawahnya sembari membaca tulisan yang tertera di sana, dan Cross tahu, dengan pemahaman mendalam milik seseorang yang sudah sering berdekatan dengan sejumlah penjudi ulung pada masanya, bahwa Pippa akan menanyakan sesuatu yang cabul.

Cross berbalik memunggungi Pippa dan meja, berjalan ke sebuah bufet kecil lalu mengeluarkan botol wiski terbaik milik Chase, yang untungnya disimpan di sana untuk percobaan-percobaan seperti ini. Menuang cairan kuning kecoklatan itu sedikit, Cross menoleh ke balik bahu dan mendapati Pippa sedang memperhatikannya dengan cermat, menggenggam kertas. “Kau mau minum?”

Pippa langsung menggelengkan kepala. “Tidak, terima kasih. Aku tidak bisa.”

Bibir Cross berkedut mengulas senyum datar. “Wanita baik-baik tidak minum wiski, ya?”

Pippa menggelengkan kepala, membalas senyum Cross. “Ironi dari situasi ini tidak terlewatkan olehku, percayalah.”

Cross mengangkat gelasnya ke arah Pippa lalu menghabiskan isi gelas dengan satu tegukan, menikmati sensasi membara yang ditimbulkan oleh alkohol di tenggorokannya –menyambut pengalih perhatian itu. “Pertanyaanmu?”

Pippa tidak menjawab selama sesaat, dan Cross memaksakan diri untuk memandang ke arah Pippa, di mana ia mendapati pandangan gadis itu tertuju ke gelas kristal dalam genggamannya. Cross meletakkan gelasnya di bufet, dan suara lembutnya menyadarkan Pippa dari lamunan. Pippa menganggukkan kepala, memusatkan perhatian ke buku kecil dalam genggamannya.

Karena Pippa tidak melihatnya, Cross bebas memperhatikan rona merah muda yang menyelimuti pipi Pippa selagi gadis itu merangkai pertanyaan yang pasti akan menghancurkan kewarasannya.

Oh Tuhan, ia suka memperhatikan rona di wajah Pippa.

“Kurasa aku akan memulai dari awal. Rupanya aku sama sekali tidak memiliki wawasan dasar. Maksudku, aku mengerti tentang anjing, kuda, dan yang semacamnya, tapi manusia... yah, manusia berbeda. Maka...” Pippa terdiam sejenak, kemudian bicara dengan cepat, kata-kata berhamburan dari mulutnya. “Aku ingin tahu apakah kau bisa menjelaskan tentang penggunaan lidah.”

Kata-kata itu laksana pukulan, salah satu tinju Temple yang kuat dan tidak ditahan-tahan, dan –sebagaimana dengan yang terjadi di dalam ring –suara dengungan di telinga Cross baru reda setelah beberapa saat.

Setelah suara itu reda, Pippa sudah tidak sabar, menambahkan dengan lembut. “Aku tahu lidah memiliki kegunaan tersendiri dalam berciuman. Juga hal-hal lainnya, kalau Olivia bisa dipercaya... dan dia tidak selalu bisa dipercaya. Tapi aku tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan lidah, dan kalau suamiku menciumku...”

Kalau Castleton mencium Pippa, Cross akan menghancurkan pria itu senang hati.

Cross membutuhkan segenap tenaganya untuk menahan diri agar tidak melompati meja, mengangkat Pippa ke dalam pelukannya, menyandarkan Pippa ke dinding, dan menaklukkan gadis itu. Ia membuka mulut untuk bicara, tapi tidak tahu apa yang akan terucap.

Sebelum mereka berdua bisa bicara, suara ketukan terdengar di pintu, dan Cross terselamatkan.

Atau mungkin hancur.

Bagaimanapun juga, Pippa terselamatkan.

Mereka sama-sama menoleh ke pintu, terkejut dan bingung karena suara itu selama sesaat sebelum Cross beranjak untuk membukanya, menggunakan tubuh jangkungnya untuk menghalangi pandangan ke dalam ruangan.

Chase berdiri di balik pintu.

“Ada apa?” sergah Cross. Menyeringai, chase berusaha melihat ke dalam ruangan. Cross mempersempit celah di antara pintu dan kusennya. “Chase,” ia memperingatkan.

Binar tawa puas di mata coklat Chase tidak mungkin disalah artikan. “Menyembunyikan sesuatu?”

“Apa maumu?”

“Kau kedatangan tamu.”

“Aku sedang sibuk.”

“Menarik.” Cdhase berusaha melihat ke dalam ruangan lagi, dan Cross tidak dapat menahan suara ancaman rendah dan tak beradab yang keluar dari mulutnya. “Apa barusan kau menggeram? Primitif sekali.”

Cross tidak terpancing oleh umpan temannya. “Minta seseorang menanganinya. Atau, tangani saja sendiri.”

“Karena nya dalam skenario ini adalah... Lavinia-mu, aku tidak yakin kau mau aku menanganinya.”

Lavinia.

Cross yakin ini pasti salah paham. “Lavinia?”

“Dioa di sini.”

Tidak mungkin. Lavinia tidak mungkin membahayakan dirinya sendiri. Dia tidak mungkin membahayakan anak-anaknya. Amarah tersulut, panas dan cepat. “Apa sekarang kita mengizinkan semua wanita yang ada di London masuk ke sini?”

Chase masih berusaha untuk melihat ke dalam ruangan. “Beberapa dari kita lebih pantas disalahkan daripada yang lain. Dia ada di kantormu.”

Cross mengumpat, kasar dan pelan.

“Memalukan sekali kau. Apalagi di depan seorang lady.”

Cross menutup pintu di depan wajah puas Chase, berbalik menghadap Pippa.

Bencana besar.

Pippa dan adiknya, di bawah atap penuh skandal yang sama, dan ini salahnya.

Sial.

Cross tahu ia telah kehilangan kendali atas situasi, dan ia tidak peduli.

Pippa sudah beringsut-ingsut mendekat, rasa penasaran membuatnya berani, dan ia hanya berjarak beberapa puluh sentimeter dari Cross. Dua menit yang lalu, Cross pasti sudah menghilangkan jarak itu dan mencium Pippa secara menggebu.

Tapi gangguan Chase merupakan yang terbaik bagi mereka, itu jelas.

Cross tahu ia harus menghadapi adiknya.

Sekarang.

“Aku akan kembali.”

Mata Pippa membelalak. “Kau mau meninggalkanku?”

“Tidak lama.”

Pippa melangkah menghampiri Cross. “Tapi kau belum menjawab pertanyaanku.”

Puji Tuhan untuk itu.

Cross mundur selangkah, meraih gagang pintu. “Aku akan kembali,” ulangnya. “Kau aman di sini.” Ia membuka pintu sedikit, tahu bahwa tidak banyak yang bisa ia perbuat. Lavinia tidak bisa ditinggal sendirian di kasino.

Bukan berarti Pippa bisa dipercaya sepenuhnya. Malah, wanita ini bisa menimbulkan masalah besar kalau dibiarkan bertindak sesukanya di sini, di Sisi Lain.

Selama sesaat, Cross terombang-ambing di antara keinginan untuk tetap tinggal dan pergi, akhirnya ia menatap mata biru Pippa lalu berkata dengan nada suara yang paling tegas. “Tetaplah di sini.”

Oh Tuhan, jauhkanlah dirinya dari wanita.



Apa Cross pikir ia anjing?

Pippa mengitari meja permainan dadu, dan sambil lalu mengambil dadu lalu memutar-mutarnya di telapak tangannya.

Tidak banyak yang ia dengar, tapi ia mendengar Cross mengucapkan nama wanita itu.

Merasakan kekecewaan mendalam yang menyertai –dengan sangat irasional –setiap suku kata yang terucap dari lidah Cross.

Cross meninggalkannya, untuk wanita lain. Untuk Lavinia. Wanita yang ada di kebun.

Hanya dengan, “Tetaplah di sini,” yang angkuh.

Dan pria itu bahkan belum menjawab pertanyaannya.

Pippa bimbang, berbalik menghadap salah satu sisi meja yang panjang, menopangkand tangan di pinggiran mahoni yang diukir indah dan mencegah dadu terjatuh dari meja dan bergemerincing di lantai. Ia melempar dadu yang sedari tadi ia genggam saking frustasinya, tidak memperhatikan sewaktu dadu itu membentur kayu dan berhenti.

Pria itu harus segera belajar kalau ia sama sekali tidak seperti anjing.

Mencondongkan badan ke meja, Pippa berlama-lama memandangi bidang permainan dadu, otaknya berputar, kain wol hijau itu, dengan tanda-tanda putih dan merahnya, tampak kabur selagi ia mempertimbangkan tindakannya yang selanjutnya. Karena jelas ia tidak sudi berdiri dan menunggu di ruangan sempit dan sesak ini sementara beragam kegembiraan berlangsung di klub.

Tidak selagi Cross bergegas pergi untuk melakukan apa pun yang dilakukan oleh bajingan dengan wanita yang mereka dambakan.

Dan jelas Cross mendambakan si Lavinia ini.

Cross cukup mendambakan Lavinia sehingga mau menemui wanita itu secara diam-diam, di pesta dansa pertunangannya, pikir Pippa. Cross cukup mendambakan Lavinia sehingga mau mengejar wanita itu hari ini. Dan jelas Cross cukup mendambakan Lavinia sehingga komitmen pria itu kepadanya mudah dilupakan karena kehadiran Lavinia.

Tiba-tiba, dada Pippa terasa sesak.

Pippa terbatuk, berdiri tegak, pandangannya tertuju ke pintu ruangan kecil yang ditutupi dari mana Cross meninggalkannya. Ia mengangkat sebelah tangan ke dada, menyapukan jemarinya di kulit telanjang di atas pinggiran korset wolnya, berusaha meredakan ketidaknyamanan itu.

Pippa menarik napas dalam-dalam, gagasan bahwa Cross bergegas melintasi kloub judi ini dan menghamburkan diri ke dalam pelukan kekasihnya –yang jelas sudah menyadari kalau Cross adalah pria yang patut dimaafkan –mengalahkan segalanya.

Mungkin Lavinia cantik, mungil, dan molek. Lavinia pasti salah seorang wanita yang tahu persis apa yang harus dikatakan pada situasi apa pun dan tidak pernah mendapati dirinya mengucapkan perkataan yang keliru atau mengajukan  pertanyaan yang tidak pantas.

Pippa berani bertaruh kalau Lavinia-nya Cross tidak bisa menyebutkan satu pun nama tulang yang ada di tubuh manusia.

Pantas saja Cross memuja wanita itu.

Rasa sesak di dadanya menjadi rasa nyeri, dan tangan Pippa pun membeku.

Oh, astaga. Ini bukan reaksi fisiologis. Ini emosional.

Kepanikan bangkit. Tidak.

Pippa bersandar ke meja, memejamkan mata rapat-rapat dan menarik napas dalam-dalam. Tidak. Ia tidak akan mengizinkan emosi memasuki skenario ini. Ia berada di sini demi pengetahuan. Atas nama riset.

Hanya itu.

Pippa membuka matanya, mencari sesuatu untuk diperhatikan, dan menemukan dadu yang ia lempar barusan.

Enam dan tiga.

Matanya disipitkan kepada jumlah kemenangan itu.

Enam dan tiga.

Kecurigaan bangkit. Ia mengambil dadu. Melemparnya lagi. Enam dan tiga.

Memperhatikannya dengan cermat. Melemparnya lagi. Enam dan tiga.

Lalu hanya satu dadu. Tiga.

Tiga.

Tiga.

Mata Pippa membelalak begitu pemahaman terbersit. Dadunya dipasangi beban. Kedua dadunya dipasangi beban.

Ia tidak menang.

Cross membiarkannya menang.

Cross sudah mengatur jalannya permainan sedari awal.

Tidak ada yang namanya keberuntungan.

Cross membohonginya.

Cross mengakali permainan, pasti juga merekayasa kekalahannya... berencana untuk menggagalkan seluruh rencana risetnya, berencana untuk merampas minggu-minggu terakhir dari kebebasannya sebelum ia menjadi Countess Castleton. Cross sudah mencuri darinya.

Lebih parah lagi, Cross sudah mencuri darinya dan meninggalkannya untuk menemui wanita lain.

Pippa berdiri tegak, merenggut memandangi pintu di mana ia melihat Cross untuk yang terakhir kalinya.

“Yah,” katanya kepada ruangan yang kosong, “itu tidak bisa dibiarkan.”

Dan ia berjalan menuju pintu, mengerahkan segenap tenaga ke gerakannya sewaktu ia meraih gagang pintu, dan mendapati pintunya dikunci.

Suara pelan keluar dari mulutnya, perpaduan dari keterkejutan dan amarah, saat ia mencoba membuka pintu itu lagi, yakin ia salah. Tidak mungkin Cross mengurungnya di sebuah ruangan di dalam sebuah klub  judi.

Setelah mencuranginya.

Tidak mungkin.

Setelah beberapa percobaan, Pippa yakin akan dua hal. Pertama, Cross benar-benar mengurungnya di sebuah ruangan di dalam sebuah klub  judi setelah mencuranginya. Dan kedua, Cross benar-benar gila.

Berjongkok, Pippa mengintip dari lubang kunci dan melihat koridor di luar. Ia menunggu selama beberapa saat, tidak tahu apa yang ia tunggu, tapi tetap menunggu. Saat tidak ada yang muncul atau lewat di koridor di balik pintu, ia berdiri, berjalan mondar-mandir dari pintu lalu kembali lagi, menghadap pintu ek besar itu.

Ia hanya punya satu pilihan. Ia harus mengakali kuncinya. Bukan berarti ia pernah melakukannya sebelumnya, tapi ia pernah membaca praktiknya di artikel serta novel, dan, sejujurnya, kalau anak kecil saja bisa melakukannya, seberapa sulitnya tindakan itu?

Mengangkat tangan, Pippa melepaskan sebuah jepit rambut lalu berjongkok lagi, memasukkan potongan logam kecil itu ke dalam lubang lalu menggoyang-goyangkannya. Tidak terjadi apa-apa. Setelah berusaha melakukan sesuatu yang mustahil selama beberapa saat yang terasa seperti satu keabadian, menjadi semakin gusar kepada situasinya dan pria yang menyebabkannya, Pippa duduk sambil mendengus frustrasi dan mengembalikan jepit rambutnya ke tempat semula.

Rupanya, ada banyak anak kecil di London yang jauh lebih cerdik daripada dirinya. Pippa melirik lukisan besar yang ia perhatikan tadi. Pasti pemuda-pemuda yang ada di dalam lukisan itu sama sekali tidak punya kesulitan dengan kunci. Pasti mereka punya setengah lusin cara untuk meloloskan diri dari ruangan kecil ini.

Misalnya jalan rahasia.

Gagasan tersebut membuat Pippa berdiri dalam hitungan detik, sebelah tangannya diulurkan ke pelapis dinding yang terbuat dari sutra, menelusuri tepi ruangan untuk mencari sebuah pintu rahasia. Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk memeriksa setiap jengkal dinding, dari salah satu sisi lukisan sampai ke sisi yang satu lagi, tidak menemukan sesuatu yang janggal. Tidak ada jalan rahasia. Tidak kecuali kalau jalannya ada di lukisan itu sendiri.

Pippa memperhatikan lukisan itu.

Kecuali...

Meraih salah satu sisi bingkai yang besar, Pippa menarik, lalu lukisan itu pun mengayun ke dalam ruangan memperlihatkan sebuah koridor lebar yang gelap.

“Kemenangan!” seru Pippa sebelum mengangkat sebuah tempat lilin dari meja di dekatnya lalu melangkah masuk ke koridor, menarik pintu yang lebar hingga tertutup di belakangnya dengan suara berdebam.

Pippa tidakd dapat menahan senyum bangganya. Cross pasti sangat kaget begitu mendapatinya sudah tidak ada.

Dan Cross pantas diperlakukan seperti itu, dasar berengsek.

Sementara ia akan berada di tempat mana pun yang dituju oleh jalan ini.




Synopsis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar