“Permainan dadu adalah permainan yang
rumit –permainan yang memberi kesan tertentu tetapi ternyata sebaliknya.
Misalnya, seseorang melempar dua buah dadu, mengira kalau lemparannya akan
menghasilkan jumlah di antara satu sampai dengan dua belas, tapi lemparan
berjumlah satu mustahil terjadi... lalu lemparan bernilai dua dan dua belas
nyaris mustahil. Lantas mengapa, kalau kekeliruan dari permainan sudah sejelas
itu, permainannya sangat menarik bagi para penjudi?
Mungkin ada sisi geometris dalam
permainan untung-untungan ini –tapi juga ada kesakralannya.
Rupanya yang sakral jarang masuk akal
secara ilmiah.”
Jurnal ilmiah Lady Philippa Marbury
27 Maret 1831; sembilan hari sebelum
pernikahannya.
Cross
tidak akan menolak permintaan apa pun dari Pippa saat itu.
Tidak
kalau Pippa sudah menghabiskan waktu satu jam terakhir untuk menggodanya dengan
mata biru besar, berotak tajam, dan tubuh indah nan ramping yang membuatnya
sangat ingin menyentuh gadis itu. Ketika wanita-wanita yang tadi datang, Cross
hanya berniat untuk melindungi Pippa agar tidak ketahuan, menutupi Pippa dengan
tubuhnya dan membenci dirinya sendiri karena sudah mau membawa Pippa ke tempat
gelap dan kotor yang tidak pantas gadis itu kunjungi ini.
Sebagaimana dirinya tidak pantas
berdekatan dengan Pippa.
Cross
tahu ia harus memberitahukan semuanya kepada Bourne dan membiarkan mitranya itu
menghajarnya habis-habisan karena sudah berpikir ingin membuat Philippa Marbury
bejat. Karena sudah bermimpi bisa berada sedekat ini dengan Pippa. Tergoda oleh
Pippa.
Karena
Pippa adalah pelajaran terbesar yang pernah ada tentang godaan.
Saat
Pippa terjatuh dari kereta kuda langsung ke dalam pelukannya, Cross pikir
pengendalian dirinya sudah buyar, garis-garis ramping dan lekuk-lekuk lembut
pada tubuh Pippa melekat ke tubuhnya, membuatnya mendamba. Tadinya ia yakin
kalau momen itu adalah ujian yang sesungguhnya... ujian terberat yang pernah ia
hadapi, menurunkan Pippa lalu mundur dari bibir jurang.
Mengingatkan
dirinya bahwa Pippa bukan untuknya.
Bahwa Pippa tidak akan menjadi miliknya.
Tapi
itu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang terjadi beberapa
menit selanjutnya sewaktu, terimpit di tengah dirinya dan dinding batu klub,
Pippa menoleh dan bicara kepadanya, napas gadis itu berembus ke rahangnya,
membuat mulutnya terasa kering dan gairahnya tersulut. Itulah hal terberat yang
pernah Cross hadapi.
Ia
hampir mencium Pippa dan membebaskan mereka berdua dari penderitaan mereka.
Semoga
Tuhan menolongnya, selama sesaat ia mengira Pippa akan mengambil alih keputusan
dari tangannya lalu mengambil tindakan sendiri.
Dan
ia menginginkannya.
Ia masih menginginkannya.
Alih-alih,
Pippa malah memintanya melanjutkan kegilaan ini –membawa gadis itu masuk ke
klub dan memberikan pelajaran yang sudah ia janjikan. Mengajari Pippa tentang
godaan.
Pippa
mengira dirinya pria yang aman. Terpelajar. Tidak berbahaya.
Pippa
gila.
Seharusnya
ia membawa Pippa kembali ke kereta kuda dan mengantar gadis itu pulang, tanpa
berpikir dua kali. Seharusnya ia menjauhkan Pippa dari tempat yang dipenuhi oleh bangsawan yang
akan sangat terhibur oleh keberadaan gadis itu di sini, dan gosip yang akan
beredar nantinya.
Memang,
ada peraturan di sisi klub sebelah sini –para wanita yang menjadi anggota
dilarang ketat membocorkan rahasia yang mereka ketahui. Dan sebagai wanita yang
juga memiliki rahasia dan menghargai waktu mereka di klub, mereka akan
berhati-hati untuk mematuhin peraturan tersebut.
Tapi
itu tidak mengubah ancaman terhadap Pippa.
Dan
Cross tidak akan membiarkannya terjadi.
“Aku
tidak boleh membawamu masuk,” cetus Cross, kata-katanya menggantung di tengah
mereka.
“Kau
sudah janji.”
“Aku
bohong.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Aku tidak suka pembohong.”
Pippa
menggodanya. Cross mendengar tawa lembut pada kata-kata itu. Tapi ada ataupun
tidak, ia juga mendengar kebenaran di sana. Dan ia Pippa menyukai dirinya.
Gagasan
tersebut menyerang Cross laksana sebuah pukulan, dan ia langsung menegakkan
badan, tiba-tiba sudah tidak sabar untuk menjauh dari Pippa.
Bukan karena Pippa.
Melainkan
segalanya. Dengan Digger Knight, Lavinia, dan segala sesuatu dari dunianya yang
runtuh di sekelilingnya, hal terakhir yang dia butuhkan adalah Pippa Marbury
berada di dalam klubnya. Di dalam hidupnya. Menimbulkan masalah. Mengambil alih
pemikiran-pemikirannya.
Kegilaan
itu akan pergi begitu ia menyingkirkan Pippa.
Ia harus menyingkirkan Pippa. Malam ini.
Cross
mengabaikan getar-getar kejengkelan yang meliputinya karena pemikiran tersebut
lalu menggedor pintu baja.
“Irama
ketukannya berbeda dengan yang digunakan oleh wanita-wanita tadi.”
Tentu
saja, Pippa pasti menyadarinya. Pippa menyadari segalanya, dengan mata biru
yang tajam itu.
“Aku
bukan wanita-wanita tadi.” Cross mendengar kesengitan pada nada suaranya,
enggan menyesalinya begitu pintu dibuka.
Sepertinya
Pippa tidak menyadarinya. “Semua orang punya ketukan yang berbeda?” Ia
mengikuti Cross masuk ke lorong, di mana Asriel duduk di tempat biasa, membaca
dengan diterangi oleh cahaya temaram dari lilin di dinding.
Penjaga
pintu mengarahkan pandangan mata hitamnya kepada Cross lebih dulu, lalu kepada
Pippa. “Dia bukan anggota.”
“Dia
bersamaku,” tukas Cross.
“Anggota
apa?” tanya Pippa.
Asriel
membaca buku lagi, tidak menghiraukan mereka berdua. Pippa memiringkan kepala
untuk melihat buku di tangan Asriel. Kepalanya langsung tersentak, matanya
menatap mata Asriel dengan sorot tidak percaya. “Pride and Prejudice?”
Asriel
langsung menutup bukunya lalau memandang Cross. “Tetap saja dia bukan anggota.”
Cross
menatap Asriel dengan tajam. “Kalau begitu kita beruntung karena aku seorang
pemilik.”
Seperti
Asriel tidak terlalu peduli.
Akan
tetapi, Pippa kelihatannya tidak kuasa menahan diri. “Mungkin kita harus
memulai dari awal lagi? Kita belum diperkenalkan secara layak. Aku...”
Asriel
menyela, “Cross.”
“Kuakui,
aku senang melihat dia membuat semua orang gila sebagaimana dia membuatku
gila.” Cross terdiam sebentar. “Vallombrosa?”
Kalau
Asriel memiliki pendapat tertentu terhadap permintaan itu, ia tidak
menunjukkannya. “Kosong. Semua orang menonton pertandingan. Jangan ke sana
kalau kau tidak mau dia dilihat tanpa topeng.”
Seolah
ini belum terpikirkan oleh Cross saja.
“Ini
kali keduanya seseorang menyebut-nyebut tentang pertandingan,” sela Pippa. “Apa
maksudnya.”
Asriel
terdiam selama beberapa saat. “Maksudnya ada pertandingan.”
Alis
Pippa terangkat. “Kau bukan pria yang ramah, ya?”
“Memang
bukan.”
“Kau
merusak kegembiraanku,” tukas Pippa.
“Bukan
hal baru.”
Cross
melawan keinginan untuk tertawa. Pippa bukan orang pertama yang berusaha
mengajak Asriel bercakap-cakap, dan ia berani bertaruh kalau Pippa juga tidak
akan menjadi yang pertama berhasil.
Akan
tetapi, Pippa tetap berusaha, dengan seulas senyum lebar yang hangat. “Kuharap
kita akan bertemu lagi. Mungkin kita bisa membentuk semacam klub baca. Aku
sudah membaca buku itu.” Ia mencondongkan badan. “Apa kau sudah sampai di
bagian di mana Mr. Darcy melamar?”
Asriel
menyipitkan matanya kepada Cross. “Dia sengaja melakukannya.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Oh, aku tidak akan merusak kejutannya. Elizabeth
menolak.” Ia terdiam sejenak. “Kurasa aku merusak kejutannya. Maaf.”
“Rasanya
aku lebih menyukai kakakmu.”
Pippa
mengangguk, dengan sangat serius. “Bukan hal baru.”
Mendengar
kata-kata Asriel dibeokan, Cross tertawa, dan waktu ia berusaha menahan
tawanya, yang keluar adalah suara tertahan –suara yang ditanggapi oleh Asriel
dengan rengutan. Cross memahami isyaratnya, menyibakkan tirai beludru yang
tebal lalu memastikan mereka tidak kelihatan sebelum membawa Pippa menyusuri
lorong sempit dan panjang yang mengarah ke Vallombrosa, salah satu dari
sejumlah ruang permainan dadu yang terdapat di sisi klub sebelah sini.
Pippa
masuk lebih dulu, berbalik dengan perlahan setelah sampai di dalam,
memperhatikan ruangan kecil berperabotan mewah yang ditujukan untuk permainan
pribadi itu. “Bangunan ini luar biasa,” katanya, mengangkat tangan untuk
membuka kancing mantelnya. “Sangat luar biasa. Setiap kali aku datang, ada
bagian baru yang tersedia untuk dieksplorasi.”
Pippa
melepaskan mantelnya, memperlihatkan gaun jalan-jalan hijau yang sederhana
–sangat biasa-biasa saja, orang pasti berpendapat kalau gaun itu tidak menarik
jika dibandingkan dengan kreasi-kreasi sutra dan organdi yang biasanya
dikenakan oleh wanita lain yang mendatangi sisi klub sebelah sini. Garis
lehernya tinggi, lengannya panjang, dan roknya tebal –kombinasi yang seharusnya
memadamkan respon Cross terhadap interaksi mereka di dang –tapi Pippa seolah
mengenakan gaun tidur berenda kalau melihat dampak dari gaun sederhananya
terhadap Cross.
Gaun
itu terlalu berhasil dalam menyembunyikan Pippa.
Cross
ingin gaun itu ditanggalkan.
Secepatnya.
Cross
berdeham lalu melihat mantel Pippa, yang disampirkan di punggung kursi santai.
“Bangunan ini memang dirancang untuk membuatmu merasa seperti itu. Pengunjung
dibuat bertanya-tanya apa saja yang sudah mereka lewatkan.”
“Supaya
mereka tergoda untuk kembali?” pertanyaan tersebut bersifat retoris. Pippa
sedang belajar. “Apa itu tujuan dari malam ini? Menggodaku dengan
ruangan-ruangan indahmu dan jalan-jalan rahasiamu?”
Cross
sudah tidak yakin apa tujuan dari malam ini. Seluruh akal sehat yang tadi ia
miliki, rencana-rencana yang terkendali sempurna untuk pelajaran Pippa,
semuanya dikacaukan oleh keberadaan gadis itu.
Pippa
berbalik memunggungi Cross, beranjak untuk mengamati sebuah lukisan yang hampir
memenuhi salah satu dinding. Lukisan itu menggambarkan empat orang pemuda yang
tengah memainkan permainan dadu di jalan berbatu dengan diterangi oleh cahaya
dari sebuah pub. “Omong-omong tentang jalan rahasia,” ujarnya, “aku sangat
terkesan oleh bakat arsitekturmu.”
“Temple
terlalu banyak bicara.”
Pippa
tersenyum. “Apa semua ruangan punya jalan rahasia?”
“Sebagian
besar. Kami ingin punya jalan untuk meloloskan diri.” Tempat di mana rahang
Pippa bertemu dengan lehernya menimbulkan bayangan yang sangat menarik. Cross
bertanya-tanya seperti apa citarasa kulit di sana. Seperti sutra atau satin?
“Mengapa?”
Cross
mencurahkan perhatiannya kepada pertanyaan itu. “Ada banyak orang yang
menginginkan kehancuran kami. Kami tidak mau kecolongan.”
Pippa
berbalik menghadap Cross, matanya membelalak. “Bukankah itu tugas pria yang
sedang membaca Pride and Prejudice?”
“Kurang
lebih.”
“Orang
bisa melewatinya?”
“Itu
sudah tidak aneh lagi. Aku pernah terbangun dengan seorang wanita di kantorku.
Percayalah, dia tidak diundang. Dan baru kemarin, aku mendapatinya berada di
arena kasino.”
Pippa
tersenyum mendengarnya. “Kedengarannya dia kasus istimewa.”
Memang.
Pippa
melanjutkan. “Aku tidak suka membayangkan kalau suatu saat mungkin kau harus
melarikan diri dari orang jahat.”
Cross
mengenyahkan kegembiraan yang meliputinya karena gagasan bahwa Pippa peduli
kepadanya. “Jangan membuat dirimu pusing. Aku jarang kabur.”
Cross melewati Pippa, mengitari meja untuk menciptakan jarak dan memosisikan meja mahoni itu di tengah mereka. Pippa tetap berada di tempatnya. “Apa ruangan ini punya jalan rahasia?”
“Mungkin.”
Pippa
memandang ke sekelilingnya, matanya disipitkan, dengan hati-hati mengamati
setiap bentangan dinding. “Kalau punya, ke mana arahnya?”
Cross
tidak menggubris pertanyaan itu, mengambil dadu dari meja permainan, mengangkatnya,
menimbangnya. “Apa kau mau mengajukan pertanyaan tentang arsitektur? Atau kau
menginginkan pelajaranmu?”
Tatapan
Pippa tidak goyah. “Keduanya.”
Jawaban
itu tidak mengejutkan Cross. Philippa Marbury merupakan wanita yang sangat
tertarik kepada wawasan sehingga wawasan mengenai topik apa pun – bukan hanya
seks– bisa menggodanya. Sayangnya, rasa penasaran alaminya adalah salah satu
hal yang sangat menggoda yang pernah Cross rasakan.
Cross
kembali mengingat tujuannya untuk malam ini.
Pippa
harus kalah.
Kalau
gadis itu kalah, ia bisa mendapatkan kembali kewarasannya.
Memenangi kembali pengendalian dirinya.
Itu
saja sudah sepadan.
Cross
melempar dadu ke arah Pippa. “Ini keduanya.”
Mata
Pippa berbinar seolah Cross baru saja menawarkan permata kepadanya. “Siapa
wanita-wanita yang ada di luar?”
Cross
menggelengkan kepala. “Tidak semudah itu, Pippa. Pelajarannya tentang godaan.
Kalau kau ingin tahu lebih banyak... kau harus memenanginya.”
“Baiklah.”
“Dan
kau harus bertaruh.”
Pippa
mengangguk sekali. “Ada lima pound di
tasku.
Cross
menyeringai. “Lima pound tidak cukup.
Itu tidak cukup untuk pelajaran yang kau minta.”
“Lantas
apa? Aku tidak membawa barang berharga.”
Kau membawa pakaianmu. Cross
membutuhkan segenap pengendalian dirinya untuk tidak mengucapkan kata-kata itu.
“Aku mau membeli waktumu.”
Kebingungan
membuat dahi Pippa dikerutkan. “Waktuku?”
Cross
mengangguk. “Kalau kau menang, aku akan memberitahukan apa yang mau kau
ketahui. Kalau kau kalah, kau kehilangan waktu untuk proyek riset sinting ini.
Masih tersisa beberapa, sebelas hari sebelum kau menikah?”
Masih
tersisa sepuluh hari. Cross sengaja salah menghitung.
Pippa
meralatnya, kemudian menggelengkan kepala dengan tegas. “Kita punya
kesepakatan.”
Ungkin,
tapi Cross memiliki seluruh kendalinya. Setidaknya, di benak Pippa. “Kalau
begitu kurasa tidak akan ada pelajaran.”
“Kau
bilang kau tidak akan mengingkari janjimu. Kau sudah berjanji.”
“Dan
seperti yang kukatakan sebelumnya, My Lady... bajingan selalu berbohong.” Tidak
selalu karena pembawaan mereka, benak Cross. Terkadang mereka berbohong demi
mempertahankan kewarasan mereka. Ia beranjak ke pintu. “Aku akan meminta
seseorang membawa mantel bertudung untuk membawamu keluar dari klub lalu
mengantarmu pulang.”
Cross
sudah sampai di pintu, tangannya meraih gagang pintu ketika Pippa berkata,
“Tunggu.”
Cross
memasang ekspresi tenang dan membalikkan badan. “Ya?”
“Satu-satunya
cara untuk mendapatkan pelajaran yang kuinginkan adalah dengan bertaruh?”
“Anggap
saja seperti menggadakan risetnya. Pelajaran berjudi adalah petualangan yang
tidak mungkin dilewatkan oleh banyak wanita.”
“Ini
bukan petualangan. Ini riset. Berapa kali aku harus memberitahumu?”
“Beri
sebutan apa pun yang kau inginkan, Pippa. Bagaimanapun juga, ini sesuatu yang
kau inginkan.”
Pippa
mengarahkan pandangannya ke meja permainan dadu, matanya memancarkan kerinduan,
dan Cross tahu ia sudah menang. “Aku mau berjudi.”
“Bagus
sekali, Pippa.”
Pippa
membalas tatapan Cross. “Pelajaran pertamaku tentang godaan.”
Gadis
pintar. “Semua atau tidak sama sekali.”
Pippa
mengangguk. “Semua.”
Gadis
pintar yang sesat.
Cross
kembali ke meja lalau menyerahkan sepasang dadu gading kepada Pippa. “Pada
lemparan pertama di The Angel, tujuh atau sebelas menang. Mendapatkan dua atau
tiga, kau kalah.”
Alis
Pippa diangkat. “Hanya dua atau tiga? Mengapa aku kalah hanya karena jumlah
sembilan pada pertaruhan pertama kita?”
Cross
tidak dapat menahan seringainya. “Kau menawarkan peluang yang lebih baik... aku
menerimanya.”
“Seharusnya
aku tidak berjudi dengan seorang bajingan.”
Cross
memiringkan kepalanya ke arah Pippa. “Kurasa kau sudah belajar sejak saat itu.”
Pippa
membalas tatapan Cross, matanya membelalak di balik kacamata. “Aku tidak
terlalu yakin.”
Kata-kata
jujur itu mengguncang Cross, membangkitkan gairah dan sesuatu yang lebih
mendasar lagi di antara mereka. Sebelum Cross menanggapi, Pippa sudah melempar
dadunya.
“Sembilan,”
ujar Pippa. “Angka keberuntunganku?”
“Kau
sudah menjadi penjudi ulung.” Cross mengambil dadu lalu mengembalikan kepada
Pippa. “Permainannya sederhana. Kalau dapat sembilan lagi, kau menang. Kalau
tujuh, kau kalah.”
“Kukira
tujuh menang.”
“Hanya
pada lemparan pertama. Sekarang kau sudah menetapkan kalau angkamu sembilan.”
Pippa
menggelengkan kepala. “Aku tidak suka peraturan-peraturan ini. Kau tahu
sebagaimana aku tahu bahwa peluang untuk mendapatkan jumlah tujuh lebih besar
dari pada jumlah yang sama dengan sebelumnya.”
“Suka
atau tidak, itulah peraturan yang kau terima kalau kau memilih permainan dadu.”
“Aku
tidak memilihnya,” gerutu Pippa, meskipun ia menimbang dadu di telapak
tangannya. Ia tidak akan pergi.
Cross
bersandar ke meja. “Sekarang kau mengerti mengapa berjudi adalah ide yang
sangat buruk.”
Pippa
menatap Cross dengan tajam. “Menurutku yang lebih tepat adalah aku mengerti
mengapa kau kaya raya.”
Cross
tersenyum. “Tidak ada yang memaksamu bermain.”
Alis
Pippa diangkat. “Kau melakukannya!”
“Omong
kosong. Aku memberimu sesuatu untuk dipertaruhkan. Tanpanya, tidak ada yang
namanya imbalan.”
Pippa
mengarahkan pandangannya ke meja dengan ragu. “Aku yakin sekali imbalan itu
tidak akan ada.”
“Tidakd
ada yang tahu. Sebagian orang mengandalkan kemurahan hati Dewi Fortuna.”
Salah
satu alis keemasan Pippa diangkat. “Seorang dewi, ya?”
“Itu
pasti berhubungan dengan fakta bahwa dia sangat mudah berubah.”
“Aku
sangat tersinggung mendengarnya. Aku sama sekali tidak mudah berubah. Kalau
berjanji, aku akan menepatinya.”
Pippa
melempar dadu, dan sebuah kenangan melintas tentang pertemuan pertama mereka.
Aku tidak suka ketidakjujuran.
“Dua
dan empat,” cetus Pippa. “Enam. Sekarang apa?”
Cross
mengangkat dadu lalu mengopernya kepada Pippa. “Lempar lagi.”
“Aku
belum menang?”
“Kalau
ini bisa menghibur, kau juga belum kalah.”
Pippa
melempar tiga kali lagi, sepuluh, dua belas, dan delapan, sebelum mengerutkan
hidungnya dan berkata, mengapa pria-pria itu mau mengerjakan hal-hal yang bodoh
dan mustahi?”
Cross
tertawa. “Di The Angel, penonton bisa bertaruh untuk apa pun yang berhubungan
dengan permainan. Hasil dari sebuah lemparan, apakah jumlah suatu lemparan akan
lebih tinggi atau lebih rendah dari yang sebelumnya, kombinasi persis dari
titik-titik di dadu. Kalau seseorang di meja menang pada setiap lemparan,
permainan akan menjadi sangat menarik.”
“Terserah
kau saja,” cetus Pippa, kedengaran sangat heran sawaktu ia melempar dadu lagi,
mendapat nilai enam dan tiga. “Oh! ” serunya. “Sembilan! Aku menang! Kau lihat?
Keberuntungan berpihak kepadaku.”
Pippa
tersenyum, pipinya merona karena kegembiraan yang dihasilkan oleh kemenangan.
“Dan sekarang kau mengerti mengapa pria sangat menikmati permainan-permaian di
sini,” ujar Cross.
Pippa
tertawa lalu bertepuk tangan. “Kurasa aku mengerti! Dan sekarang aku bisa
menerima jawaban untuk sebuah pertanyaan!”
“Benar,”
Cross mengiyakan, berharap Pippa mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan
klub.
“Siapa
wanita-wanita yang ada di luar?”
Cross
mengambil dadu. “Anggota.”
“Anggota
The Angel?” Pippa hampir memekik, mengulurkan tangan untuk menerima dadu gading
itu. “Kukira ini klub pria.”
“Klub
ini lebih daripada yang kelihatannya. Secara teknis, ini bukan The Angel.”
Dahi
Pippa dikerutkan. “Jadi apa?”
“Itu
pertanyaan yang lain lagi.” Cross mendongak ke arah tangan Pippa. “Permainan di
atas lebih rumit lagi, tapi untuk permainan kita, kita tetap melakukannya
dengan cara yang sama. Kau menang kalau mendapat jumlah sembilan.”
Pippa
melempar lagi. Enam dan tiga.
“Aku
menang lagi!” Pippa bersorak, senyumnya bertambah lebar menjadi seringai. Cross
tidak dapat menahan diri untuk balas tersenyum sewaktu ia menggelengkan kepala
dan mengambil dadu. “Tempat ini apa?”
“Tidak
ada namanya. Kami menyebutnya sebagai Sisi Lain. Tempat ini ditujukan untuk
wanita.”
“Wanita
yang mana?”
Cross
menyerahkan dadu kepada Pippa.
Pippa
mendapat jumlah lima, kemudian sepuluh, lalu sembilan. “Hore!” pekiknya,
menatap mata Cross yang memancarkan keterkejutan. “Kau pasti tidak menyangka
aku akan menang lagi.”
“Kuakui
aku tidak menyangka.”
Pippa
tersenyum. “Wanita yang mana?”
Cross
menggelengkan kepala. “Aku tidak bisa menjawabnya. Cukup kalau kukatakan,
wanita yang tidak ingin identitasnya diketahui. Dan merasakan petualangan
mereka sendiri.”
Pippa
mengangguk. “Mengapa pria bisa memiliki akses ke dunia yang luas sementara
wanita tidak?”
“Persis.”
Pippa
terdiam sejenak, lalu bertanya, “Apa akan ada rasa sakit?”
Cross
nyaris tersedak.
Pippa
salah menafsirkan suara itu sebagai kesalahpahaman.
“Maksudku,
aku tahu kemungkinan besar akan ada rasa sakit untukku. Tapi apa dia juga akan
merasa sakit?”
Tidak. Tidak, ia akan merasakan
kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Seperti yang akan kau rasakan kalau
melakukannya bersamaku.
Cross
menahan kata-kata itu. “Tidak.”
Kelegaan
terpancar dari mata Pippa. “Bagus.” Ia terdiam sebentar. “Aku cemas kalau
sampai keliru.
Cross
menggelengkan kepalanya sekali, dengan tegas, “Menurutku kau tidak akan menemui
kesulitan.”
Pippa
tersenyum sewaktu mendengarnya. “Pengetahuan tentang anatomi bisa membantu.”
Cross
tidak mau memikirkan pemahaman Pippa mengenai anatomi dalam konteks ini. Cross
tidak mau membayangkan Pippa menggunakan kata-katanya yang sederhana dan
blak-blakan untuk membimbing suaminya, untuk belajar bersama pria itu. Cross
memejamkan mata karena fantasi yang ditimbulkan oleh kata-kata itu, karena
wawasan yang terucap dari bibir Pippa. “Castleton memang bodoh, tapi tidak
idiot. Kau tidak perlu khawatir, dia pasti memahami... mekanismenya.”
“Kau
tidak boleh menyebutnya seperti itu.”
“Mengapa
tidak? Dia bukan tunanganku.” Cross
mengangkat dadu, menyodorkannya kepada Pippa. Ketika Pippa mengulurkan tangan
kepada Pippa, Cross tidak kuasa menahan diri agar tidak menangkupkan telapak
tangannya di jemari Pippa –menahan gadis itu. Cross tidak kuasa menahan diri
agar tidak berkata dengan lembut, “Pippa.”
Mata
Pippa langsung bertatapan dengan mata Cross. “Ya?”
“Kalau
dia menyakitimu...” Cross terdiam, membenci bagaimana mata Pippa membelalak
karena kata-katanya.
“Ya?”
Kalau Castleton menyakitimu, tinggalkan
pria itu.
Kalau Castleton menyakitimu, akan
kubunuh dia.
“Kalau
dia menyakitimu... itu artinya dia tidak melakukannya dengan benar.” Hanya itu
yang dapat Cross katakan. Ia melepaskan tangan Pippa. “Lempar lagi.”
Empat dan tiga.
“Oh,”
kata Pippa, sangat kecewa. “Aku kalah.”
“Risetmu
dikurangi satu hari. Berarti tinggal sembilan hari.”
Mata
Pippa membelalak. “Sehari penuh?
Untuk satu lemparan yang buruk?”
“Sekarang
kau tahu seperti apa rasanya kalah dan juga menang,” kata Cross. “Yang mana
yang lebih kuat tarikannya? Risikonya? Atau imbalannya?”
Pippa
mempertimbangkannya selama beberapa saat. “Aku mulai memahaminya.”
“Memahami
apa?”
“Mengapa
pria melakukan ini. Mengapa mereka bertahan. Mengapa mereka kalah.”
“Mengapa?”
Pippa
menatap mata Cross. “Karena menang terasa nikmat.”
Cross
memejamkan mata begitu mendengar kata-kara tersebut, karena bagaimana kata-kata
itu menggodanya untuk menunjukkan betapa jauh lebih nikmatnya ia bisa membuat
Pippa merasa ketimbang dadu-dadu dingin itu. “Apa kau mau melanjutkan?”
Katakan tidak. Menyerah dan pulanglah,
Pippa. Tempat ini, permainan ini, momen ini... semuanya bukan untukmu.
Selagi
berpikir, Pippa menggigiti bibir bawahnya, dan gerakan itu membuat Cross
terkesima, sampai-sampai saat akhirnya Pippa melepaskan bibir yang agak bengkak
itu, lalu berkata, “Aku mau,” Cross sudah melupakan pertanyaannya.
Sewaktu
Cross tidak langsung menyodorkan dadu, Pippa mengulurkan tangannya. “Aku mau
melemparnya lagi, kalau kau tidak keberatan.”
Cross
keberatan. Tapi ia menyerahkan kubus gading itu, dan Pippa melemparnya ke atas
kain wol hijau dengan penuh semangat.
“Delapan
hari,” Pippa merengut memandang dadu empat dan tiga yang tergeletak di seberang
meja.
“Ladi,”
ujar Pippa.
Cross
menyerahkan dadu kepadanya.
Pippa
melempar.
“Tujuh
hari.”
Pippa
menyipitkan matanya kepada Cross. “Ada yang tidak beres dengan dadunya.”
Cross
mengambil kubus gading itu lalu menyodorkannya kepada Pippa, telapak tangannya
menghadap ke atas. “Godaan tidak selalu baik.”
“Selalu
baik kalau seseorang ingin menggoda suaminya.”
Cross
sudah hampir melupakan tujuan Pippa. Oh Tuhan, ia tidak ingin mengajari Pippa
cara menggoda pria lain. Ia ingin
mengajari Pippa cara menggodanya.
Ia
ingin mengajari Pippa untuk mengizinkannya menggoda wanita itu.
Pippa
mengambil dadu itu. “Sekali lagi.”
Cross
mengangkat sebelah alisnya. “Kalau kami mendapat satu sixpence setiap kata-kata itu diucapkan diucapkan di bawah atap
ini, kami pasti sudah kaya.”
Pippa
mendapat jumlah delapan, lalu menatap mata Cross. “Kalian memang sudah kaya.”
Cross
tersenyum lebar, menyerahkan kubus gading itu sekali lagi. “Semakin kaya.”
Pippa
melempar sekali–sebelas–dua kali–empat–tiga kali. “Ah-ha!” soraknya.
“Enam dan tiga! Lagi!” Pippa menoleh kepada Cross, sesuatu yang familier
terpancar dari matanya –sensasi memabukkan dari kemenangan. Cross sudah sering
melihatnya di mata banyak penjudi, dan sorot itu tak pernah gagal memuaskannya.
Sorot itu menyiratkan satu kebenaran yang tak tergoyahkan; bahwa penjudi yang
bersangkutan akan bertahan malam itu. Tapi sekarang, dengan Pippa, sorot
tersebut gagal memuaskannya. Alih-alih, sorot itu membuatnya merindu karena
hasrat.
Hasrat
untuk melihat semangat yang sama di tempat yang jauh dari meja judi, selagi
Pippa memenangi sesuatu yang jauh berbeda.
Selagi Pippa memenangi dirinya.
Pippa
meraih tasnya. “Aku sudah mencatat pertanyaan-pertanyaan risetku.” Tentu saja sudah. Hanya Tuhan yang tahu
pertanyaan aneh macam apa yang Lady Philippa Marbury miliki atas nama riset.
Pippa membuka bukunya, menggigiti bibir bawahnya sembari membaca tulisan yang
tertera di sana, dan Cross tahu, dengan pemahaman mendalam milik seseorang yang
sudah sering berdekatan dengan sejumlah penjudi ulung pada masanya, bahwa Pippa
akan menanyakan sesuatu yang cabul.
Cross
berbalik memunggungi Pippa dan meja, berjalan ke sebuah bufet kecil lalu
mengeluarkan botol wiski terbaik milik Chase, yang untungnya disimpan di sana
untuk percobaan-percobaan seperti ini. Menuang cairan kuning kecoklatan itu
sedikit, Cross menoleh ke balik bahu dan mendapati Pippa sedang
memperhatikannya dengan cermat, menggenggam kertas. “Kau mau minum?”
Pippa
langsung menggelengkan kepala. “Tidak, terima kasih. Aku tidak bisa.”
Bibir
Cross berkedut mengulas senyum datar. “Wanita baik-baik tidak minum wiski, ya?”
Pippa
menggelengkan kepala, membalas senyum Cross. “Ironi dari situasi ini tidak
terlewatkan olehku, percayalah.”
Cross
mengangkat gelasnya ke arah Pippa lalu menghabiskan isi gelas dengan satu
tegukan, menikmati sensasi membara yang ditimbulkan oleh alkohol di
tenggorokannya –menyambut pengalih perhatian itu. “Pertanyaanmu?”
Pippa
tidak menjawab selama sesaat, dan Cross memaksakan diri untuk memandang ke arah
Pippa, di mana ia mendapati pandangan gadis itu tertuju ke gelas kristal dalam
genggamannya. Cross meletakkan gelasnya di bufet, dan suara lembutnya
menyadarkan Pippa dari lamunan. Pippa menganggukkan kepala, memusatkan
perhatian ke buku kecil dalam genggamannya.
Karena
Pippa tidak melihatnya, Cross bebas memperhatikan rona merah muda yang
menyelimuti pipi Pippa selagi gadis itu merangkai pertanyaan yang pasti akan
menghancurkan kewarasannya.
Oh
Tuhan, ia suka memperhatikan rona di wajah Pippa.
“Kurasa
aku akan memulai dari awal. Rupanya aku sama sekali tidak memiliki wawasan
dasar. Maksudku, aku mengerti tentang anjing, kuda, dan yang semacamnya, tapi
manusia... yah, manusia berbeda. Maka...” Pippa terdiam sejenak, kemudian
bicara dengan cepat, kata-kata berhamburan dari mulutnya. “Aku ingin tahu
apakah kau bisa menjelaskan tentang penggunaan lidah.”
Kata-kata
itu laksana pukulan, salah satu tinju Temple yang kuat dan tidak ditahan-tahan,
dan –sebagaimana dengan yang terjadi di dalam ring –suara dengungan di telinga
Cross baru reda setelah beberapa saat.
Setelah
suara itu reda, Pippa sudah tidak sabar, menambahkan dengan lembut. “Aku tahu
lidah memiliki kegunaan tersendiri dalam berciuman. Juga hal-hal lainnya, kalau
Olivia bisa dipercaya... dan dia tidak selalu bisa dipercaya. Tapi aku tidak
tahu apa yang harus dilakukan dengan lidah, dan kalau suamiku menciumku...”
Kalau
Castleton mencium Pippa, Cross akan menghancurkan pria itu senang hati.
Cross
membutuhkan segenap tenaganya untuk menahan diri agar tidak melompati meja,
mengangkat Pippa ke dalam pelukannya, menyandarkan Pippa ke dinding, dan menaklukkan
gadis itu. Ia membuka mulut untuk bicara, tapi tidak tahu apa yang akan
terucap.
Sebelum
mereka berdua bisa bicara, suara ketukan terdengar di pintu, dan Cross
terselamatkan.
Atau mungkin hancur.
Bagaimanapun
juga, Pippa terselamatkan.
Mereka
sama-sama menoleh ke pintu, terkejut dan bingung karena suara itu selama sesaat
sebelum Cross beranjak untuk membukanya, menggunakan tubuh jangkungnya untuk
menghalangi pandangan ke dalam ruangan.
Chase
berdiri di balik pintu.
“Ada
apa?” sergah Cross. Menyeringai, chase berusaha melihat ke dalam ruangan. Cross
mempersempit celah di antara pintu dan kusennya. “Chase,” ia memperingatkan.
Binar
tawa puas di mata coklat Chase tidak mungkin disalah artikan. “Menyembunyikan
sesuatu?”
“Apa
maumu?”
“Kau
kedatangan tamu.”
“Aku
sedang sibuk.”
“Menarik.”
Cdhase berusaha melihat ke dalam ruangan lagi, dan Cross tidak dapat menahan
suara ancaman rendah dan tak beradab yang keluar dari mulutnya. “Apa barusan
kau menggeram? Primitif sekali.”
Cross
tidak terpancing oleh umpan temannya. “Minta seseorang menanganinya. Atau,
tangani saja sendiri.”
“Karena
nya dalam skenario ini adalah...
Lavinia-mu, aku tidak yakin kau mau aku menanganinya.”
Lavinia.
Cross
yakin ini pasti salah paham. “Lavinia?”
“Dioa
di sini.”
Tidak mungkin. Lavinia tidak mungkin
membahayakan dirinya sendiri. Dia tidak mungkin membahayakan anak-anaknya. Amarah
tersulut, panas dan cepat. “Apa sekarang kita mengizinkan semua wanita yang ada
di London masuk ke sini?”
Chase
masih berusaha untuk melihat ke dalam ruangan. “Beberapa dari kita lebih pantas
disalahkan daripada yang lain. Dia ada di kantormu.”
Cross
mengumpat, kasar dan pelan.
“Memalukan
sekali kau. Apalagi di depan seorang lady.”
Cross
menutup pintu di depan wajah puas Chase, berbalik menghadap Pippa.
Bencana
besar.
Pippa
dan adiknya, di bawah atap penuh skandal yang sama, dan ini salahnya.
Sial.
Cross
tahu ia telah kehilangan kendali atas situasi, dan ia tidak peduli.
Pippa
sudah beringsut-ingsut mendekat, rasa penasaran membuatnya berani, dan ia hanya
berjarak beberapa puluh sentimeter dari Cross. Dua menit yang lalu, Cross pasti
sudah menghilangkan jarak itu dan mencium Pippa secara menggebu.
Tapi
gangguan Chase merupakan yang terbaik bagi mereka, itu jelas.
Cross
tahu ia harus menghadapi adiknya.
Sekarang.
“Aku
akan kembali.”
Mata
Pippa membelalak. “Kau mau meninggalkanku?”
“Tidak
lama.”
Pippa
melangkah menghampiri Cross. “Tapi kau belum menjawab pertanyaanku.”
Puji Tuhan untuk itu.
Cross
mundur selangkah, meraih gagang pintu. “Aku akan kembali,” ulangnya. “Kau aman
di sini.” Ia membuka pintu sedikit, tahu bahwa tidak banyak yang bisa ia
perbuat. Lavinia tidak bisa ditinggal sendirian di kasino.
Bukan
berarti Pippa bisa dipercaya sepenuhnya. Malah, wanita ini bisa menimbulkan
masalah besar kalau dibiarkan bertindak sesukanya di sini, di Sisi Lain.
Selama
sesaat, Cross terombang-ambing di antara keinginan untuk tetap tinggal dan
pergi, akhirnya ia menatap mata biru Pippa lalu berkata dengan nada suara yang
paling tegas. “Tetaplah di sini.”
Oh Tuhan, jauhkanlah dirinya dari wanita.
Apa
Cross pikir ia anjing?
Pippa
mengitari meja permainan dadu, dan sambil lalu mengambil dadu lalu
memutar-mutarnya di telapak tangannya.
Tidak
banyak yang ia dengar, tapi ia mendengar Cross mengucapkan nama wanita itu.
Merasakan
kekecewaan mendalam yang menyertai –dengan sangat irasional –setiap suku kata
yang terucap dari lidah Cross.
Cross
meninggalkannya, untuk wanita lain. Untuk Lavinia. Wanita yang ada di kebun.
Hanya
dengan, “Tetaplah di sini,” yang angkuh.
Dan pria itu bahkan belum menjawab
pertanyaannya.
Pippa
bimbang, berbalik menghadap salah satu sisi meja yang panjang, menopangkand
tangan di pinggiran mahoni yang diukir indah dan mencegah dadu terjatuh dari
meja dan bergemerincing di lantai. Ia melempar dadu yang sedari tadi ia genggam
saking frustasinya, tidak memperhatikan sewaktu dadu itu membentur kayu dan
berhenti.
Pria
itu harus segera belajar kalau ia sama sekali tidak seperti anjing.
Mencondongkan
badan ke meja, Pippa berlama-lama memandangi bidang permainan dadu, otaknya
berputar, kain wol hijau itu, dengan tanda-tanda putih dan merahnya, tampak
kabur selagi ia mempertimbangkan tindakannya yang selanjutnya. Karena jelas ia
tidak sudi berdiri dan menunggu di ruangan sempit dan sesak ini sementara
beragam kegembiraan berlangsung di klub.
Tidak
selagi Cross bergegas pergi untuk melakukan apa pun yang dilakukan oleh
bajingan dengan wanita yang mereka dambakan.
Dan
jelas Cross mendambakan si Lavinia ini.
Cross
cukup mendambakan Lavinia sehingga mau menemui wanita itu secara diam-diam, di
pesta dansa pertunangannya, pikir Pippa. Cross cukup mendambakan Lavinia
sehingga mau mengejar wanita itu hari ini. Dan jelas Cross cukup mendambakan
Lavinia sehingga komitmen pria itu kepadanya mudah dilupakan karena kehadiran
Lavinia.
Tiba-tiba,
dada Pippa terasa sesak.
Pippa
terbatuk, berdiri tegak, pandangannya tertuju ke pintu ruangan kecil yang
ditutupi dari mana Cross meninggalkannya. Ia mengangkat sebelah tangan ke dada,
menyapukan jemarinya di kulit telanjang di atas pinggiran korset wolnya,
berusaha meredakan ketidaknyamanan itu.
Pippa
menarik napas dalam-dalam, gagasan bahwa Cross bergegas melintasi kloub judi
ini dan menghamburkan diri ke dalam pelukan kekasihnya –yang jelas sudah
menyadari kalau Cross adalah pria yang patut dimaafkan –mengalahkan segalanya.
Mungkin
Lavinia cantik, mungil, dan molek. Lavinia pasti salah seorang wanita yang tahu
persis apa yang harus dikatakan pada situasi apa pun dan tidak pernah mendapati
dirinya mengucapkan perkataan yang keliru atau mengajukan pertanyaan yang tidak pantas.
Pippa
berani bertaruh kalau Lavinia-nya Cross tidak bisa menyebutkan satu pun nama
tulang yang ada di tubuh manusia.
Pantas
saja Cross memuja wanita itu.
Rasa
sesak di dadanya menjadi rasa nyeri, dan tangan Pippa pun membeku.
Oh,
astaga. Ini bukan reaksi fisiologis. Ini emosional.
Kepanikan
bangkit. Tidak.
Pippa
bersandar ke meja, memejamkan mata rapat-rapat dan menarik napas dalam-dalam.
Tidak. Ia tidak akan mengizinkan emosi memasuki skenario ini. Ia berada di sini
demi pengetahuan. Atas nama riset.
Hanya
itu.
Pippa
membuka matanya, mencari sesuatu untuk diperhatikan, dan menemukan dadu yang ia
lempar barusan.
Enam dan tiga.
Matanya
disipitkan kepada jumlah kemenangan itu.
Enam dan tiga.
Kecurigaan
bangkit. Ia mengambil dadu. Melemparnya lagi. Enam dan tiga.
Memperhatikannya
dengan cermat. Melemparnya lagi. Enam dan
tiga.
Lalu
hanya satu dadu. Tiga.
Tiga.
Tiga.
Mata
Pippa membelalak begitu pemahaman terbersit. Dadunya dipasangi beban. Kedua dadunya dipasangi beban.
Ia
tidak menang.
Cross membiarkannya menang.
Cross
sudah mengatur jalannya permainan sedari awal.
Tidak ada yang namanya keberuntungan.
Cross membohonginya.
Cross
mengakali permainan, pasti juga merekayasa kekalahannya... berencana untuk
menggagalkan seluruh rencana risetnya, berencana untuk merampas minggu-minggu
terakhir dari kebebasannya sebelum ia menjadi Countess Castleton. Cross sudah
mencuri darinya.
Lebih
parah lagi, Cross sudah mencuri darinya dan meninggalkannya untuk menemui
wanita lain.
Pippa
berdiri tegak, merenggut memandangi pintu di mana ia melihat Cross untuk yang
terakhir kalinya.
“Yah,”
katanya kepada ruangan yang kosong, “itu tidak bisa dibiarkan.”
Dan
ia berjalan menuju pintu, mengerahkan segenap tenaga ke gerakannya sewaktu ia
meraih gagang pintu, dan mendapati pintunya dikunci.
Suara
pelan keluar dari mulutnya, perpaduan dari keterkejutan dan amarah, saat ia
mencoba membuka pintu itu lagi, yakin ia salah. Tidak mungkin Cross
mengurungnya di sebuah ruangan di dalam sebuah klub judi.
Setelah mencuranginya.
Tidak
mungkin.
Setelah
beberapa percobaan, Pippa yakin akan dua hal. Pertama, Cross benar-benar
mengurungnya di sebuah ruangan di dalam sebuah klub judi setelah mencuranginya. Dan kedua, Cross
benar-benar gila.
Berjongkok,
Pippa mengintip dari lubang kunci dan melihat koridor di luar. Ia menunggu
selama beberapa saat, tidak tahu apa yang ia tunggu, tapi tetap menunggu. Saat
tidak ada yang muncul atau lewat di koridor di balik pintu, ia berdiri,
berjalan mondar-mandir dari pintu lalu kembali lagi, menghadap pintu ek besar
itu.
Ia
hanya punya satu pilihan. Ia harus mengakali kuncinya. Bukan berarti ia pernah
melakukannya sebelumnya, tapi ia pernah membaca praktiknya di artikel serta
novel, dan, sejujurnya, kalau anak kecil saja bisa melakukannya, seberapa
sulitnya tindakan itu?
Mengangkat
tangan, Pippa melepaskan sebuah jepit rambut lalu berjongkok lagi, memasukkan
potongan logam kecil itu ke dalam lubang lalu menggoyang-goyangkannya. Tidak
terjadi apa-apa. Setelah berusaha melakukan sesuatu yang mustahil selama
beberapa saat yang terasa seperti satu keabadian, menjadi semakin gusar kepada
situasinya dan pria yang menyebabkannya, Pippa duduk sambil mendengus frustrasi
dan mengembalikan jepit rambutnya ke tempat semula.
Rupanya,
ada banyak anak kecil di London yang jauh lebih cerdik daripada dirinya. Pippa
melirik lukisan besar yang ia perhatikan tadi. Pasti pemuda-pemuda yang ada di
dalam lukisan itu sama sekali tidak punya kesulitan dengan kunci. Pasti mereka
punya setengah lusin cara untuk meloloskan diri dari ruangan kecil ini.
Misalnya jalan rahasia.
Gagasan
tersebut membuat Pippa berdiri dalam hitungan detik, sebelah tangannya
diulurkan ke pelapis dinding yang terbuat dari sutra, menelusuri tepi ruangan
untuk mencari sebuah pintu rahasia. Ia membutuhkan waktu beberapa menit untuk
memeriksa setiap jengkal dinding, dari salah satu sisi lukisan sampai ke sisi
yang satu lagi, tidak menemukan sesuatu yang janggal. Tidak ada jalan rahasia.
Tidak kecuali kalau jalannya ada di lukisan itu sendiri.
Pippa
memperhatikan lukisan itu.
Kecuali...
Meraih
salah satu sisi bingkai yang besar, Pippa menarik, lalu lukisan itu pun
mengayun ke dalam ruangan memperlihatkan sebuah koridor lebar yang gelap.
“Kemenangan!”
seru Pippa sebelum mengangkat sebuah tempat lilin dari meja di dekatnya lalu
melangkah masuk ke koridor, menarik pintu yang lebar hingga tertutup di
belakangnya dengan suara berdebam.
Pippa
tidakd dapat menahan senyum bangganya. Cross pasti sangat kaget begitu
mendapatinya sudah tidak ada.
Dan
Cross pantas diperlakukan seperti itu, dasar berengsek.
Sementara
ia akan berada di tempat mana pun yang dituju oleh jalan ini.
Synopsis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar