Kamis, 11 Januari 2018

The Tarnished Lady 3

Apakah ia telah membuat perjanjian dengan iblis?

Kata-kata Eirik tentang kesepekatan pertunangan akhirnya mengendap dalam benak Eadyth, dan ia pun bergidik. Jadi sekarang ia akan tahu apa yang sebenarnya diinginkan pria itu darinya.

"Persyaratan? Apa maksudmu?" desak Eadyth dalam suara yang sengaja dibuat tua saat Eirik berusaha menggoreskan kata-kata di bawah dokumen Eadyth.
Eadyth senang melihat Eirik mengernyit mendengar suara tuanya, bahkan saat pria itu mengabaikan pertanyaannya dan terus menulis. Eirik menjauhkan kertas itu sedikit saat menulis, sesekali menyipitkan matanya.

Kening Eadyth berkerut bingung melihat tindakan aneh Eirik itu. Lalu senyum tipis tersungging di bibirnya seketika mendapat ide, Eadyth menyadari bahwa pria itu pasti kesulitan melihat benda-benada yang dekat, persis seperti yang diderita ayahnya.

Jadi inilah sebabnya kenapa Eirik mengira kerutan di dahinya adalah keriput, padahal sebenarnya saat itu Eadyth sedang berpikir, dan pria itu juga tidak bisa membedakan debu dari kulit abu-abu tua. Kini Eadyth mengerti mengapa warna rambutnya dan bahunya yang sengaja dibungkukkan begitu mudah membodohi pria itu.

Eadyth nyaris tertawa keras-keras karena geli. Tipuan kecil ini bukanlah sesuatu yang direncanakannya dari awal, tapi apapun yang bisa menghalangi berahi seorang pria akan sangat dimanfaatkannya.

Eirik tak menyadari senyuman Eadyth yang tertahan, karena ia begitu sulit berkonsentrasi untuk menulis. Akhirnya ia menghela napas puas dan bersandar kembali di kursinya, menyorongkan perjanjian pertunganan itu kearah Eadyth. Kilatan jahil di mata Eirik membuat Eadyth menduga bahwa ia tak akan menyukai persyaratan yang baru saja ditulis pria itu.

Eadyth dengan hati-hati memalingkan wajahnya, tahu bahwa Eirik mengawasinya dengan saksama saat ia membaca. Penglihatannya pasti tidak terlalu rabun. Lagi pula, hal itu tak mengurangi kemampuannya sebagai ksatria bayaran, kalau reputasinya benar. Eadyth harus mengingatkan dirinya sendiri untuk sedikit membungkukkan bahu, dan sesekali melirik ke arah Eirik dari jari-jari tangannya yang dengan malu-malu terentang di wajahnya yang menunduk, seolah-olah kejantanannya membuat Eadyth menjadi malu. Hah! Ia harus melakukan banyak pengakuan dosa saat bertemu Bapa Benedict nanti.

"Apa kau paham kata-kataku itu, My Lady?"

"Ya, aku cukup pintar membaca." Ia melanjutkan memindai kata-kata Eirik, lalu memprotes, "Kau tak perlu menyediakan tunjangan pemeliharaan untukku. Ayahku sudah meninggal."

"Seorang suami seharusnya membayar ayah pengantin wanita karena telah membesarkannya. Karena dia tak ada, aku akan memberimu tunjangan atas namanya."

Eadyth mengangkat dagunya dengan bangga, menantang, dan mencoret persyaratan itu dari dokumen. "Mengakui putraku sebagai anakmu sudah cukup menjadi tunjangan perawatan bagiku."

Eirik mengangkat bahu.

"Dan aku tak menginginkan sebagian dari propertimu sebagai morgen-gifu. Kado pagi hariku adalah janjimu untuk melindungiku. Kau sudah memberitahuku bahwa estatmu akan diwarisi oleh adikmu."

Eirik memandang langsung ke mata Eadyth. "Dan jika kita punya seorang putra, atau beberapa putra? Bagaimana?"

Eadyth merasakan wajahnya memerah. Ia ingin mengingatkan Eirik tujuan awal pernikahan ini, tapi tak menemukan kata-kata yang tepat. Putra! "Apa kau menganggap lamaran pernikahanku lebih dari sekedar kesepakatan bisnis?"

"Kesepakatan bisnis! Aku tak pernah bertemu wanita sepertimu sebelumnya. Tak pernah!" seru Eirik, menggeleng tak percaya. Ia mengibaskan satu tangannya mengabaikan protes Eadyth dan berkata, "Tidak usah dibahas dulu sekarang. Dengan bahaya yang dihadapi adikku Tykir setiap harinya, aku yakin umurku akan lebih panjang darinya."

Lalu Eadyth membaca persyaratan Eirik yang terakhir dan tanda bahaya menyambarnya seperti kilatan cahaya. "Aku tak bisa menerima apa yang kau minta dariku."

"Oh, persyaratan yang mana?" tanya Eirik santai, mengulurkan kaki panjangnya sekenanya kemudian menyilangkan pergelangan kakinya. Kain usang celana panjang ketatnya tertarik kencang di pahanya, dan Eadyth memandangnya ternganga beberapa saat. Jubah pria itu terjatuh ke belakang, memaparkan dada bidang berbalut tunik biru yang sama yang dipakainya kemarin malam. Beberapa untai rambut hitam sutranya mengintip dari belahan leher yang terbuka, dan tak luput dari pengamatan Eadyth.

Sudut-sudut bibir Eirik terangkat sedikit membentuk senyum, sadar sekali dengan pesona yang ditampilkannya, dan mulut Eadyth pun terkatup rapat. Rasanya ia ingin menendang dirinya sendiri karena tingkahnya yang mengkhianati kehendaknya. Sambil meredakan denyut nadinya yang berdebur, ia menggerutu, "Haruskah kau mempertontonkan tubuhmu? Kau mungkin berpikir kau bahkan bisa memikat seekor babi betina, tapi aku bukan salah satu kekasih simpananmu yang bodoh sehingga mau bertekuk lutut di depanmu."

Eirik hanya menyeringai menyebalkan. "Aku pikir kita sedang membicarakan tentang persyaratan di sini. Persyaratan pertunangan." Eirik menunduk memandang pahanya, lalu kembali memandang Eadyth, diam-diam memancing Eadyth untuk bereaksi terhadap ejekannya.

Eadyth berdehem dengan kesal dan menunjukkan pada kata-kata yang ditulis Eirik di bawah dokumennya. "Ya, aku akan membicarakan persyaratanmu. Pertama-tama, aku lebih suka tinggal di Hawks' Lair. Aku tak melihat ada alasan aku dan John harus pindah kemari ke Ravenshire."

Eirik mengangkat satu alisnya bertanya. "Apakah kau tak punya pengurus rumah tangga yang bertugas saat kau tak ada?"

"Ya, aku punya. Gerald of Brimley, tapi..."

"Apakah dia bisa dipercaya?"

"Ya, tapi dia hanya bertugas saat aku ada. Aku diperlukan di sana, walau mungkin hanya untuk mengawasi ternak lebahku."

"Pindahkan saja ternak lebah sialanmu itu kemari."

Eadyth tersenyum mengejek pada ketidaktahuan Eirik. "Lebah tak seperti orang. Mereka tak bisa langsung mengemasi barang mereka dan pindah rumah."

Eirik memandangnya serius membuat Eadyth salah tingkah dipandangi seperti itu. Ia berharap Eirik bisa berhenti membelai kumisnya. Membuatnya resah.

"Kalau begitu tinggalkan lebah-lebah itu di sana. Tapi kau, My Lady," katanya dengan datar, sambil mengacungkan jarinya ke wajah Eadyth, "akan tinggal di sini bersama dengan putramu atau tak akan ada pernikahan."

"Kenapa kau peduli dimana aku tinggal? Ini kan bukan pernikahan atas dasar cinta."

"Pastinya," balas Eirik mengejek, mengerling ke arah Eadyth.

Tuhan, rasanya Eadyth ingin sekali menampar senyuman mengejek di wajah tampan Eirik yang menyebalkan itu. "Kupikir kau akan lebih senang jika aku tak tinggal di Ravenshire."

"Kenapa kau pikir aku akan sungkan jika ada kau di sini?"

Eadyth menegang karena amarah dan menarik turun tudung kepalanya untuk menyembunyikan emosinya. Lalu dengan tegas ia berkata, mengangkat dagunya dengan bangga, "Aku tak sudi menerima kekasih simpananmu tinggal di rumah yang sama denganku."

Mata jernih Eirik membelalak terkejut. Lalu ia menyunggingkan senyum mencemooh yang membuat gusar.

"My Lady, kau menyinggungku. Aku sudah memberitahumu sebelumnya, dan aku tak akan mengulanginya lagi. Aku pria terhormat. Aku tak akan membuat malu istriku dengan cara seperti itu."

Eadyth melirik ragu kepada Eirik, bertanya, "Maksudmu kau tak akan pernah mempunyai kekasih simpanan?"

Eadyth senang melihat semburat merah di wajah Eirik dan caranya beringsut di tempat duduknya. Ia menolak untuk menjawab, hanya memandang Eadyth dengan saksama sambil bersedekap, terus membelai kumisnya.

"Aku tak bermaksud membuatmu tak nyaman, Eirik. Aku tak memintamu memutuskan hubungan dengan wanita-wanitamu."

"Wanita-wanita! Oh, Eadyth, kau menilai harta dan daya tahanku lebih dari yang sebenarnya kumiliki," ujar Eirik, menggeleng tak percaya. "Dari mana kau dapat ide tentang wanita-wanita simpananku?"

"Kabarnya kau bercinta seperti rusa jantan di musim kawin." Oh, Tuhan, apa aku benar-benar mengatakannya?

Eirik terkesiap mendengar kata-kata yang diucapkan Eadyth tanpa berpikir, dan rahangnya menegang karena amarah.

"Kau dengar kabar seperti itu tentangku?"

"Well, tak persis seperti itu."

"Kalau begitu, katakanlah dengan lebih spesifik," desaknya. "Siapa yang menghinaku seperti itu? Aku bertaruh pasti Steven of Gravely, bajingan penyebar fitnah itu."

"Bukan, bukan Steven," seru Eadyth, berharap sekali lagi ia bisa menutup mulutnya. Buru-buru ia menambahkan, "Sebenarnya, kurasa aku dengar selintingan di pasar yang bunyinya seperti ini, 'si Gagak itu tak mungkin melewati gadis cantik tanpa mencicipi madunya, dan para wanita berdengung dengan puas pada hujamannya.'"

Eadyth mengangkat bahunya tak peduli.

Mata Eirik nyaris keluar dari kepalanya dan mulutnya ternganga mendengar ucapan blak-blakannya. Lalu tawanya pecah.

"Oh, Eadyth! Hal-hal yang kau katakan!" katanya di tengah tawanya. "Aku tak pernah bertemu wanita seblak-blakan dirimu. Sayang sekali kau... ah, well, seorang pria tak bisa mendapatkan semuanya."

Entah bagaimana Eadyth tahu Eirik ingin mengatakan tentang usia dan rupanya yang buruk. Satu bagian kecil dalam diri Eadyth mengerut pada kata-kata yang tak terucap itu. Penilaian rendah pria yang sangat tampan ini seharusnya tak jadi masalah baginya, tapi tetap saja melukainya.

Tanda bahaya melanda Eadyth dengan perlawanannya yang melemah. Apa yang terjadi pada akal sehatnya? Duduklah lebih tegak, ia bersumpah untuk mempertahankan kendali pada emosinya yang anehnya sedang tak keruan.

Memasang ekspresi datar, menolak untuk menunjukkan betapa penghinaan tersirat itu menyakitinya, Eadyth bersikeras, "Aku tetap ingin tahu kenapa kau bersikeras agar aku tinggal di sini."

"Aku ingin membawa pulang para putriku. Ingat? Kau berjanji akan merawat mereka."

Dengan lega, Eadyth mengangguk pada penjelasan Eirik, kini mengerti alasan Eirik menginginkannya tinggal di Ravenshire.

"Well, mungkin aku bisa membawa sebagian sarang lebahku kemari. Setidaknya, ini yang kujanjikan di perjanjian mas kawin. Mari berkompromi. Aku akan menghabiskan setengah waktuku di sini dan setengahnya lagi di Hawks' Lair, membawa para gadis bersamaku sehingga kau bebas untuk... bepergian atau... atau... apa pun yang ingin kau lakukan." Eadyth tak mau lagi menyebutkan masalah wanita simpanan dan membuka dirinya untuk diejek lebih lanjut.

Eirik menyeringai pada cara Eadyth menghindari topik tentang kekasih simpanannya. "Kau akan tinggal di Ravenshire," katanya tegas, "dan sesekali berkunjung ke Hawks' Lair, dengan seizinku."



Wanita itu adalah misteri yang akan dipecahkannya, ia bersumpah...

Eirik mengentakkan kaki melintasi medan latihan sore itu, didorong oleh keluhan beberapa pelayan yang mengadu padanya mengeluhkan tentang hantu di kebun buah yang datang untuk menghantui Ravenshire. Sialan! Memang ini yang dibutuhkannya -istri tua, rumah yang bobrok dan sekarang hantu.

Eirik berjalan dengan cepat menyusuri lapangan di bagian luar kebun dapur, yang ditumbuhi semak berbunga dan berduri, melewati kolam bermata air tempatnya berenang saat masih anak-anak dan sekarang digunakan untuk pemandian, dan melewati kebun tanaman buah apel, pir, peach, dan plum yang sudah lama ditelantarkan. Neneknya menanam dan merawat pohon buah-buahan ini dengan telaten selama bertahun-tahun. Ia bertanya-tanya apakah pohon-pohon itu sudah terserang penyakit parah dan tak bisa lagi diselamatkan.

Akhirnya, ia melihat "penampakan" yang menakutkan para pelayannya dan yang mereka keluhkan sepanjang sore. Sejujurnya, wanita penyihir dari Hawks' Lair itu memang mirip hantu dengan masker pelindung panjang transparan yang menutupi seluruh tubuhnya dari kepala sampai kaki, seperti hantu, dengan lengan baju yang dibuat khusus dengan sarung kulit aneh yang menonjol dan memanjang sampai sikunya. Anjing yang ditendangnya malam sebelumnya tampak berbaring di sekitarnya seperti kekasih setia.

"Demi para santa, Woman! Apa yang kau lakukan di sini, jam segini, dalam pakaian yang konyol itu? Sudah hampir waktunya untuk perjamuan pertunangan kita."

Eadyth berbalik seketika, baru menyadari Eirik berdiri di belakangnya. "Jangan mendekat. Lebah-lebah ini sedang berkerumun dan mungkin menyerang."

Mata Eirik membelalak saat ia melihat retusan lebah menutupi tangan dan lengan Eadyth yang terlindungi sarung tangan. Bahkan mereka berdengung di sekujur pakaian yang tipis, seperti hiasan hidup.

"Apa kau bodoh, My Lady? Ayo pergi dari sini. Cepat!"

"Aku tak dalam bahaya. Ini pekerjaanku, beternak lebah. Aku sudah bilang padamu sebelumnya. Aku hanya ingin melihat spesies liar seperti apa yang kau miliki di Ravenshire sebelum aku membawa ternak lebahku kemari. Aku sudah pernah berhasil memadukan keturunan, tapi ini jenis yang berkualitas rendah dan mungkin harus dipindahkan ke lokasi lain."

Eirik menggeleng tak percaya pada wanita aneh yang akan dinikahinya ini. Apakah wanita ini akan terus menerus mengejutkannya? Dan ada apa dengan wanita itu yang membuatnya gusar dan memikatnya dalam waktu bersamaan? Ia tak pernah berhasrat pada wanita tua sebelumnya, tapi ia berpikir bahwa meniduri wanita itu tak seburuk anggapannya semula.

"Mungkin kita akan menyempurnakan malam pernikahan," katanya parau, tak menyadari ia mengucapkan kata-kata itu keras-keras sebelum ia melihat tubuh Eadyth yang menjadi kaku dan dagunya terangkat menantang.

"Mungkin sapi punya sayap," dengus Eadyth, menyingkirkan lebah-lebah dari pakaiannya dengan gerakan menyentak. Lalu ia memandangnya dengan marah. "Aku akan kembali ke Hawks' Lair sekarang. Aku tak akan tinggal malam ini di Ravenshire, dasar keparat mesum. Hah! Pasti ada kekurangan wanita sehingga kau mengajukan usul yang begitu menggelikan padaku."

Anjing itu mengikuti selangkah di belakangnya seperti tentara yang terlatih saat ia berseru memanggilnya, "Ayo, Prince."

"Prince? Nama macam apa itu untuk anjing kampung seperti ini?" lalu Eirik kembali memikirkan kegusaran Eadyth pada usulnya. "Ini bukan hal menggelikan. Banyak pernikahan yang disempurnakan hanya setelah pertunangan."

Eirik tak benar-benar berharap ia setuju. Sejujurnya, ia bahkan tak tahu kenapa ia mengangkat topik pembicaraan itu. Sebenarnya, ia tak mau bercinta dengan wanita kurus. Tapi tetap saja, kegusaran Eadyth melukai harga dirinya, dan ia mengikuti sosok Eadyth yang menghentakkan langkahnya kembali ke rumah, memaki pelan pada kebodohannya -tak hanya karena ucpannya, tapi karena setuju untuk menikahinya.

"Aku hanya bercanda," ia berbohong. "Apa kau tak punya selera humor sama sekali?"

"Humph! Berhenti mengikutiku."

"Berhentilah melarikan diri dariku. Dan hentikan anjing itu agar tidak terus-terusan membuntutiku."

"Dia anjingmu, bukan anjingku. Dia hanya bersikap protektif padaku karena kau meninggikan suara kasarmu."

"Lady, jangan lancang. Kita belum menikah. Ingat itu."

Eadyth cukup pintar untuk menahan diri mendengar peringatannya. Lagi pula, lebih banyak yang menguntungkannya dalam pernikahan ini daripada Eirik. Atau setidaknya begitulah yang dipikirkannya.

Eirik menyeringai saat berhasil menyusul Eadyth dan meraih lengannya, anjing itu menyalak liar. Eadyth mengentakkan tangannya dari sentuhan Eirik dan Eirik memberengut. Eirik tak suka sikapnya yang sensitif. Sebenarnya wanita itu gugup seperti seekor kucing hamil setiap kali Eirik berada dekat dengannya.

Dengan sengaja, Eirik memegang lengannya, menguji reaksinya. Mendorongnya ke dinding agar bisa melihat lebih jelas, ia melihat mata Eadyth membelalak waspada. Bahkan melalui selubung maskernya, Eirik bisa melihat bahwa napasnya menjadi berat melalui mulutnya yang terbuka. Dengan takjub Eirik memandang saat bibir Eadyth yang penuh dan menggoda bergetar gugup di balik jala-jala masker putihnya. "Aku pernah melihat kain seperti itu di kediaman pada selir raja-raja di Timur jauh, walaupun digunakan untuk hal yang jauh berbeda," gumamnya, lalu tersenyum mengenang.

Eadyth hanya mendengus.

Tahi lalat kecil di sudut mulutnya menarik perhatian Eirik. Ia mengulurkan tangannya, tak mempu menahan godaan, dan menyentuhnya ringan melalui kain masker. Sengatan hasrat mengguncang indranya dan membuatnya seketika mengeras.

"Jangan menyentuhku," bisik Eadyth, berusaha menarik diri dari cengkraman Eirik. "Tolong. Kumohon. Aku akan membebaskanmu dari sumpah pertunangan."

Eirik menjatuhkan tangannya dan memandang Eadyth, bingung. Apa yang begitu menakutkannya? Lagi pula, wanita itu bukan seorang gadis perawan, yang belum pernah disentuh pria sebelumnya. Dan kalau mengenal kegemaran Steven of Gravely pada seks yang berlebihan, ia menduga keparat itu sudah mengajarinya lebih dari beberapa trik dalam hal bercinta.

"My Lady, aku tak menganggap remeh sumpahku. Sejauh anggapanku, sumpah pertunanganku sama mengikatnya dengan ikrar pernikahan."

Eadyth menunduk dan menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Jelas sekali bahwa sentuhan Eirik sangat meresahkannya.

Atau membuatnya jijik, Pikir Eirik, dan menegang memikirkan penghinaan itu. Kaum wanita menganggapnya menarik. Selalu seperti itu. Kenapa Eadyth berbeda? Ada sesuatu yang janggal.

Akhirnya, ia mengangkat matanya, bahkan dengan warna ungu yang jernih di balik kabut air matanya, dan berkata dengan suara gemetar, "Aku juga menganggap serius sumpahku. Hanya saja kau mengejutkanku. Aku tak pernah mengira kau akan mengajukan saran yang begitu mengerikan."

"Mengerikan?" Kening Eirik berkerut. "Apa kau bodoh? Kau meminta pria menikahimu dan tak berharap untuk menidurimu?"

Pipi Eadyth menjadi merona, dan Eirik berusaha melihat lebih jelas melalui selubung maskernya. Sialan rambutnya! Ia menggeleng seolah-olah untuk menyingkirkan kabut dari matanya dan melihat lagi. Ya Tuhan! Kalau bukan karena rambutnya yang berwarna abu-abu, ia berani bersumpah wanita itu lebih muda darinya, padahal Eirik baru berumur tiga puluh satu tahun.

"Hentikan."

"Hentikan apa?"

"Memandangi mulutku."

Eirik menyeringai. Ia mengangkat satu tangannya menyentuh bibir Eadyth yang tertutupi masker dengan ibu jarinya.

Eadyth menepisnya.

Eirik tertawa, pelan dan parau.

Eadyth salah tingkah di bawah pengamatan intens Eirik, menjauh dan meletakkan satu tangan di punggungnya seolah-olah punggungnya sakit, ia berdecak dengan sikap yang yang membuat Eirik merinding.

"Aku hanya tak berpikir pria sepertimu akan mau untuk melakukan... sesuatu... dengan wanita seusiaku, dan dengan penampilan sepertiku."

"Lady, aku mulai berpikir bahwa pria dengan berahi akan mengabaikan usiamu dan... kekuranganmu... hanya karena bibirmu yang menggoda dan tahi lalat yang memikat itu."

Kalimat itu membuat tubuh Eadyth kaku seperti tombak dan Eirik tertawa sendiri pada betapa cepatnya Eadyth termakan ucapannya. Terlebih lagi, ia melihat sekilas sorot tersipu di wajah wanita itu karena pujiannya sebelum Eadyth sempat memasang topeng seriusnya lagi.

Ah! Akhirnya ada celah memasuki benteng pertahanannya yang kokoh.

Tapi kemudian Eadyth membalas dengan ketus, "Ya Tuhan! Kalau sebuah tahi lalat bisa membuatmu bernafsu, aku punya sekumpulan tukang tenun tua yang sudah tak bergigi di rumahku yang bisa membuat kejantananmu mengeras seperti batu dan membuatku sibuk selama berminggu-minggu."

"My Lady, kata-kata kasarmu tak berbatas. Tak pernah... tak pernah aku mendengar seorang wanita keturunan bangsawan yang menggunakan kata-kata seperti itu sebelumnya."

"Sepertinya ada saat pertama untuk segalanya, karena aku juga tak pernah mendengar pria berharta yang normal yang ingin meniduri seorang nenek tua."

Eirik mengepalkan tinjunya.

Jangan pukul wanita lancang ini. Jangan pukul wanita lancang ini. Jangan pukul wanita lancang ini, Eirik mengulang-ulang ucapan itu dalam hati, tapi, demi para santa, ia benar-benar gatal untuk mencekik leher kurus Eadyth dan memeras segenap napas dari tubuh cekingnya.

"Kau bukan seorang nenek," ia menyerocos, kemudian berhenti. "Benar, kan?"

Eadyth menatapnya dengan sorot mata aneh, dan tawa kecil keluar dari bibirnya. "Belum. Belum."

Saat mereka terus berjalan kembali ke rumah, sebuah pikiran tebersit di benak Eirik. "Jadi berapa usia putramu John?"

Eadyth tersandung, tapi lalu berhasil menyeimbangkan dirinya sendiri dan terus berjalan. Eirik terpaku melihat reaksi Eadyth atas pertanyaannya, tapi segera menyusulnya. Tindakan Eadyth semakin dan semakin membingungkannya.

"Jadi?"

"Menurutmu berapa tahun usianya?" tanyanya gemetar, sengaja menghindari tatapan mata Eirik.

Lonceng peringatan kecil berdering di kepala Eirik. Ia merasa ia sudah semakin dekat untuk menguas misteri dan menjawab ragu, "Aku tak tahu persisnya. Mungkin lima belas atau sekitarnya."

Terkesiap, Eadyth mulai terbatuk-batuk. Eirik menepuk punggungnya keras-keras sebelum akhirnya wanita itu berhasil bicara, "Cukup! Kau mau mematahkan tulangku."

"Kau tak menjawab pertanyaanku, Eadyth," kata Eirik dingin dan mengajaknya berhenti di luar pintu dapur di halaman kebun. "Aku ingin tahu kebenarannya."

Eadyth memandang langsung matanya. "Tujuh."

"Tujuh!" Eirik terperanjat. "Dia masih anak-anak. Kenapa kau tak bilang padaku sebelumnya?"

Eadyth mengangkat bahunya. "Kurasa tak penting menyebutkan usianya." Lalu mempelajari wajah Eirik. "Apakah itu penting?"

"Tidak," sahut Eirik ragu. "Kau hanya mengejutkanku."

Sekarang setelah Eirik punya waktu memikirkannya, tidak terlalu aneh bagi wanita seusia Eadyth untuk punya anak berusia tujuh tahun. Eadyth pasti berusia awal atau pertengahan tigapuluhan saat berhubungan dengan Steven. Eirik mendongak, hendak menanyakan pada wanita itu, tapi wanita itu sudah melesat melewati pintu.

"Sampai bertemu di perjamuan," serunya dari balik bahunya. "Jangan bawa masuk anjing itu, kumohon. Aku sudah memperingatkannya untuk tidak masuk sampai dia mandi dan belajar bersikap baik."

Eirik menyeringai dan menggeleng pada sikap pengatur Eadyth, tapi seringaiannya segera sirna begitu Eadyth menambahkan dengan jahil, "Mungkin kau perlu belajar hal yang sama, My Lord." Tawa pun bergema mengikuti langkah Eadyth.

Eirik memandangi kepergian Eadyth beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa wanita bermulut pedas itu sudah menyiaratkan bahwa ia perlu mandi dan belajar sopan santun. Hah! Ia akan segera menunjukkan pada Eadyth apa ganjaran yang akan didapatkannya karena ucapan kurang ajar itu. Wanita itu terlalu angkuh dan tinggi menilai diri sendiri, sejauh ini. Eirik akan menikmati mengajarinya agar dapat rendah hati.

Pikiran jahat terbersit di pikirannya saat itu. Ia menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa keras. Oh, ya, ia baru memikirkan cara hebat menggunakan kain setipis masker yang dipakai wanita itu.

Dengan langkah lebar dan santai, ia berpaling dan memanggil si anjing. "Ayo, Prince, kita harus mandi. Lady ini bilang kita bau."

Sang anjing pun menyalak setuju.



Next
Back
Synopsis



Tidak ada komentar:

Posting Komentar