Angin padang rumput yang dingin dan setajam silet mengiris
rahang David, hanya sedikit teredam oleh jambang yang sudah tumbuh beberapa
hari. Ia beringsut di atas pelananya, mengeluskan tangannya ke sepanjang leher
Blue dan memberi kuda itu tepukan. Bukan untuk pertama kalinya ia merasa bersyukur
atas kekuatan Blue yang tak ada habisnya serta gerakannya yang mulus. Lucy tua
yang malang, mengikuti di belakang mereka dengan kuping panjangnya yang
terdunduk, tidak mendapatkan belaian, tapi David berniat akan memberikannya
ketika mereka mencapai Glory Ridge malam itu. Keledai abu-abu itu memeiliki
tugas terberat, terkena debu dari kaki Blue dan membawa barang-barang mereka.
Perjalanan itu telah menjadi perjalanan yang melelahkan.
David menggunakan kereta api sejauh yang dimungkinkan, membuat Blue dan Lucy si
penggugup senyaman mungkin di dalam gerbong barang. Sialnya, dataran tinggi
bagian timur Colorado, penggunaan kereta api masih jarang. Di perhentian
terakhir ia sudah diberitahu kalau ada kereta yang menuju Glory Ridge, tapi
kereta itu tidak akan berangkat hingga beberapa hari lagi, dan jalurnya akan
berhenti sekitar seratus kilometer dari tujuannya. David tidak bisa menunggu
lebih lama lagi; ia memiliki tugas sebagai marshal
di No Name, dan ia sudah alpa lebih lama daripada yang diinginkannya. Ia bisa
menunggu kereta api itu atau menumpang kereta kuda. Itu bukan pilihan yang
sulit. Berjalan melintasi negeri dalam kereta kuda yang sempit adalah
bayangannya akan neraka, dan menambatkan Blue serta Lucy ke bagian belakang
kereta kuda sangatlah kejam. Kuda-kuda yang digunakan untuk menarik kereta akan
ditukar di hampir setiap stasiun, Tapi keledai yang berjalan di belakang hanya
bisa beristirahat selama berhenti. Artinya, mereka harus berlari sepanjang hari
dan terkadang hingga malam. David tidak mau membuat Blue dan Lucy merasakan hal
itu. Ia lebih memilih untuk bepergian sendiri, berjalan pelan demi kedua
sahabatnya itu.
“Kita akan sampai di sana dua jam lagi,” David memberitahu
Blue, yang kupingnya langsung terangkat. “Di istal, kau bisa mendapatkan semua
jerami dan gandum yang bisa kau makan. Kau juga, Lucy,” tambah David sambil
menoleh melalui bahunya.
Lucy mengeluarkan suara khasnya, gabungan antara ringkikan
dan tawa yang selalu membuat David tersenyum. Ia telah meninggalkan Sam di
peternakan supaya kaki anjing itu tidak lelah, tapi sekarang ia berharap
membawa anjing konyol itu. Ia merindukan Sam terutama ketika malam hari ia
duduk di dekat api unggun. Sam akan bernyanyi ketika David memainkan biolanya
menggonggong, melolong, dan menggeram, dan ketika David berguling keluar dari
selimut, anjing itu akan bergelung di dekatnya, menjaga agar tetap hangat.
David membungkukkan bahu untuk melawan udara dingin,
bersyukur atas perlindungan dustar
kulitnya dan penambahan lemak yang membuatnya tahan angin. Sayangnya, dustar itu hanya mencapai lutut ketika
ia berdiri dan terbuka ke kiri dan ke kanan ketika ia menunggang kuda sehingga
kakinya tidak terlindungi. Ia bisa berhenti untuk memakai chap-nya, tapi itu terlalu merepotkan. Lebih baik ia terus bergerak
dan menyelesaikan perjalanan ini. Bila beruntung, ia tidak akan lama di Glory
Ridge. Ia akan bertemu dengan Brianna Paxton, wanita itu akan menjelaskan
semuanya, dan ia akan pulang besok.
Kalau ternyata tidak berjalan seperti harapannya... Yah, ia
hanya ingin membereskan masalah ini dan melanjutkan hidupnya. Bagaimana ia bisa
punya anak dengan seorang wanita yang bahkan tak bisa diingatnya? Rasanya itu
mustahil, namun ia tidak bisa dmenghapus fakta kalau itu mungkin saja terjadi.
Memikirkan hal itu membuat perutnya sakit. Secara bergantian, ia merasa otaknya
seakan-akan diserbu oleh sapi gila atau berputar di kepalanya seperti angin
puting beliung, membuat emosinya kusut seperti hiasan dari untaian popcorn setelah disimpan satu tahun di
gudang. Bagaimana kalau Daphne benar anaknya? Kalau begitu, apakah ia
berkewajiban untuk menikahi ibu anak itu? Bagaimana hal itu akan memengaruhi
masa depannya bersama Hazel Wright? Ia yakin Hazel tidak akan bisa menerima
berita bahwa ia telah memiliki anak dari wanita lain dengan baik.
David memandang ke kejauhan. Orang-orang yang belum pernah
ke tempat ini mengira datarannya rata, dengan tidak ada hal menarik untuk
dilihat. Mereka salah. Padang rumput ini bergelombang dengan undakan dan lembah
yang bisa menyembunyikan gerombolan bison tepat di undakan berikutnya, kalau
masih ada kumpulan besar binatang itu yang tersisa. Sekarang, rumput buffalo tumbuh tinggi dan kebanyakan
tidak terganggu oleh mamalia besar itu, yang menjadi asal-usul nama rumput
tersebut, membentuk karpet hijau tebal yang bergoyang tersapu angin, yang
sangat kontras dengan langit biru yang luas. Jauh ke sebelah kanannya dan
terlindungi oleh tumpukan batu, sekelompok bunga kesukaan ibunya menciptakan
percikan warna-warna cerah. Di dekatnya, bunga beardtongue terlihat menakjubkan. Di atas bukit berpasir di
depannya, dua ayam padang rumput jantan sedang mengigal, menari,
mengepak-ngepakkan sayap mereka yang berwarna coklat jingga, dan menggembungkan
kantung-kantung jingga di masing-masing sisi leher mereka untuk membuat suara
membahana yang bisa terdengar hingga berkilo-kilometer. Sekarang sudah
terlambat untuk musim kawin, tapi rupanya kalender ayam-ayam itu juga
terlambat. Bukannya David menyalahkan mereka. Hanya memiliki waktu yang singkat
selama tiap musim semi untuk merayu para betina mereka akan mendorong ayam
jantan mana pun untuk memperlambatnya selama mungkin.
Tidak. Padang rumput itu tidak membosankan untuknya. Dan
ibunya, seorang botanis amatir, memiliki ketertarikan yang sama dengannya;
kalau cuaca mengizinkan, ibunya senang melatih dirinya di padang rumput yang
ada di sekitar peternakan Ace.
Blue meringkik, dan Lucy mengeluarkan suara pelan, menarik
David dari perenungannya. Dengan mata menyipit, ia mencari-cari di kaki langit.
Bangunan. Ia tidak berharap mencapai
Glory Ridge hingga malam, tapi di sanalah kota itu. Ia akan bertemu dengan
Brianna Paxton tak lama lagi.
Pemikiran itu membuat perutnya kejang. Surat ucapan terima
kasih wanita itu sangat sopan. Brianna berterima kasih, tapi tidak mau menerima
hadiah uang lagi, dan suatu hari nanti akan membayar uang itu lagi kepadanya,
berikut bunganya. Wanita itu juga dengan jelas menyampaikan kalau Daphne bukan
anaknya. Tidak masalah, pikir David, tapi kalau begitu kenapa Daphne
menyebutnya sebagai ayah?
David tidak mengharapkan pertemuan pertamanya dengan Brianna
berjalan dengan mulus. Untuk alasan-alasan yang tidak dapat dijelaskan, wanita
itu berbalik seratus delapan puluh derajat, bertahun-tahun memohon agar ia
datang dan menjemput, dan sekarang, tiba-tiba saja, berusaha menjauhkannya.
Mungkin wanita itu telah bertemu dengan laki-laki lain dan tidak ingin ia
mengganggu rencana mereka untuk menikah. Atau mungkin ia hanya David Paxton
yang salah. David berharap alasannya adalah yang terakhir, tapi ia tidak akan
bisa tidur nyenyak sebelum tahu dengan pasti. Sial, para lelaki di keluarganya
tidak memiliki anak dan kemudian melepaskan tanggung jawab mereka begitu saja.
Well, kemungkinan
yang suram itu harus menunggu. Ia tidak mau bertemu dengan Brianna ketika
dirinya terlihat seperti seorang penggiring ternak yang mampir ke kota setelah
menggiring ternaknya. Ia sudah tidak sabar ingin menegak segelah ale untuk menggelontorkan debu selama
perjalanan itu, diikuti dengan mandi, mengganti pakaiannya dengan yang bersih,
dan bercukur sebelum menikmati makan di restoran. Kebanyakan kota memiliki
restoran atau sejenisnya. Dan ia tidak akan menolak roti dan sosis panas.
Dengan mata yang masih terpaku pada bangunan di depannya,
David merasa jantungnya melesak ketika semakin mendekati kota itu. Demi Tuhan,
kenapa tempat seperti ini dinamakan glory Rigde? Tidak bukit yang terlihat, dan
tidak ada yang agung pada kota ini. Ketika ia berkuda di sisi barat, ia
memutuskan penduduk di kota itu bisa menjadi contoh yang tepat untuk istilah one-horse town. Ia bisa melempar batu
dari ujung ke ujung jalan utamanya. Di ujung jalan itu, atap gereja yang turun
serta gedung sekolah yang kecil menjadi bukti kalau keuntungan dari peternakan
di kota ini sangat kecil. Serambi kayu lebar dan atap yang menjorok keluar juga
tidak dalam kondisi yang lebih baik. Rumput liar telah mencuat di sepanjang
tepian jalan berbatu, dan hunga liar yang berwarna merah muda bergerombol di
antaranya. Seluruh kota itu terlihat lusuh. David tak bisa menahan dirinya
untuk tidak membandingkan kota itu dengan No Name, yang paling tidak terjaga
kerapiannya dan terawat, dengan lapisan cat baru di dinding semua bangunan
setiap musim panas.
Hotelnya tidak terlihat terlalu mengundang. Huruf E pada
tanda yang bergantung miring di depannya hilang, dan jendela-jendelannya
terlihat terlalu kotor untuk bisa dilalui cahaya. David mendesah. Ranjangnya
mungkin tidak akan jauh lebih baik. Ia tidak suka dengan kasur yang
bergumpal-gumpal. Ia hanya bisa berharap kalau seprai dan selimutnya bersih.
Tapi ia akan mengkhawatirkan itu nanti. Sambil mendecakkan lidahnya kepada
Blue, David menuntun binatang itu menuju kandang sewaan, sebuah bangunan kumuh
dengan dinding kayu yang termakan usia serta sebuah papan lusuh di atas pintunya
yang miring dan berkepak-kepak tertiup angin.
David turun di depannya, mengamati gerobak kayu terbuka yang
reyot dengan tempelan “Disewakan” di bagian samping. David memegang tali kekang
Blue dan masuk ke dalam hanya untuk menemukan jalannya dihalangi oleh seorang
pria tua yang memakai terusan denim biru dengan bretel ungu yang kontras dengan
kemeja merah terangnya.
“Apa kabar, orang asing,” sapa pria itu. “Bagaimana aku bisa
membantumu?”
Cara bicaranya, yang memanjangkan kata-katanya, memberitahu
David kalau pria tua itu berasal dari suatu tempat di selatan Manson-Dixon
Line. David menumpangkan satu tangannya di leher Blue. “Aku ingin menginapkan
kuda dan keledaiku untuk malam ini.”
Pria itu mengangguk lalu meludahkan air liur bercampur
tembakau sebelum bergoyang maju mundur di tumit sepatu botnya dan mencantolkan
ibu jari ke bawah bretelnya. Jambang yang baru tumbuh menghiasi rahangnya. “Aku
punya tiga kandang kosong, jadi kau datang ke tempat yang tepat.”
David memiringkan kepalanya. “Kedengarannya bagus. Kalau kau
tak keberatan, aku sendiri yang akan mengurus mereka. Kudaku sudah berjalan
jauh, dan keledaiku membawa muatan. Aku ingin membawa mereka masuk dan menyikat
bulu mereka sebelum mereka diberi makan dan minum.”
“Senang bisa membantumu.” Pria tua itu menyapukan tangannya
ke atas rambut beruban yang berantakan. “Jalanku pincang. Cedera pinggul
beberapa tahun yang lalu. Menggiring kuda adalah cobaan yang berat buatku.”
Sementara pria itu memimpin jalan, David melihat bagaimana
ia mengayunkan kaki kanannya ke samping setiap kali melangkah. “Menjaga tempat
ini pasti sulit untukmu.”
“Sudah jarang,” pria itu menjawab dari balik bahunya. “Aku
membayar seorang pemuda untuk melakukan pekerjaan berat. Di siang hari aku yang
menjalankan tempat ini, tapi ketika malam, dia yang menjalankannya. Sebagai
bayaran untuk membersihkan kandang dan melayani satu atau dua pelanggan yang
datang pada malam hari, dia mendapat makan tiga kali sehari, kasur di gudang
peralatan, dan gaji yang lumayan.”
Kandang-kandang di tempat itu lebih baik daripada yang
berani diharapkan David, cukup bersih, dengan jerami segar serta palung makanan
yang tidak memperlihatkan sisa-sisa jerami kuda lain. Kotoran tikus juga tak
terlihat. David juga senang melihat ember-ember air di tempat itu dibalikkan
ketika tidak dipakai, dan bukannya dibiarkan setengah berisi air yang tidak
pernah diganti dan kotor.
Terlepas dari kondisi bangunan yang menyedihkan, David
merasa wajib untuk mengatakan, “Kau menjalankan usaha kelas satu di sini.”
“Aku suka kuda... keledai juga,” sahut pria tua itu.
“Silahkan periksa jeraminya. Kau tidak akan menemukan jamur atau cheat grass. Aku membeli kualitas.”
Seorang pencinta kuda akan mengenali pencinta kuda lainnya.
David tahu ia akan menemukan makanan kuda yang bagus. “Berapa yang harus
kubayar untuk mendapatkan gandum untuk teman-temanku? Mereka pantas
mendapatkannya.”
“Gandum termasuk dalam biaya perawatan mereka. Begitu juga
dengan jerami dan air segar.” Dengan jalan yang terpincang-pincang, pria itu
memasuki kandang yang berdampingan itu untuk menurunkan barang bawaan dari
punggung Lucy, sementara David memebaskan Blue dari perlengkapan kudanya.
Ketika semua bebannya sudah diturunkan, Lucy langsung membengkokkan kaki
depannya dan berguling di jerami bersih, mendengus puas. Melirik melalui
dinding pemisah, pria tua itu berkomentar, “Dia kuda biru yang cantik, Nak. Tak
pernah melihat yang seperti itu.”
David terkekeh. “Ayahnya berwarna hitam pekat, dan aku ingin
anak kuda yang sama dengan warna yang sama ketika aku mengawinkannya dengan
kuda betinaku yang berwarna biru. Tak seperti yang kurencanakan, tapi aku tak
akan mengeluhkan hasilnya.” Sambil mengelus leher Blue yang melengkung, David
menambahkan, “dia cantik.”
“Mengawinkan kuda untuk mendapatkan warna tertentu seperti
melempar dadu. Ketika kau mengawinkan kuda hitam dengan kuda biru, warna
anaknya bisa hitam atau biru, dengan kemungkinan warna lain yang akan keluar.”
“Kau benar-benar tahu kuda.”
“Ya, dan itu kenyataan.” Lucy yang sudah berdiri, sepertinya
sadar kalau dia diabaikan dan meringkik dengan kekuatan penuh, mengagetkan
David dan pria tua itu. Mereka berdua tertawa, dan si pemilik istal menepuk
bahu Lucy. “Kau juga cantik, Sayang. Aku tak pernah melihat keledai betina yang
lebih cantik darimu, dan kau juga kuat. Perjalananmu panjang, ya? Kau berhak
dimanjakan.”
David suka cara pria itu berbicara kepada binatang
–seakan-akan mereka mengerti dan punya perasaan. Sedihnya, ia jarang sekali
melihat yang seperti itu. Ketegangan mengalir dalam tubuhnya. Membiarkan orang
asing mengurus kuda dan keledainya selalu membuat David gugup. Malam ini tidak
perlu. Blue dan Lucy akan berada di tangan yang tepat.
Seakan-akan pemilik istal itu merasakan persetujuan David,
ia tersenyum ketika meninggalkan kandang Lucy. “Ada lapangan di belakang. Kau
bisa membawa mereka berjalan ke luar sana. Kalau mereka sudah siap untuk
menikmati jerami, gandum, dan air, panggil saja aku.”
Betapa menakjubkannya perbedaan yang bisa dihasilkan dalam
dua jam. David telah membuang semua kotoran dan debu hasil perjalanannya dengan
air hangat, mencukur jambang tanpa menggores kulitnya, serta mengganti
pakaiannya dengan yang bersih sebelum menuju satu-satunya restoran di glory
Ridge. Ia beruntung, karena itu restoran yang bagus. Daging setebal lima
sentimeter, dengan semua makanan pelengkapnya, yang baru saja dilahapnya tidak
kalah enak dengan yang ada di tempat Roxie Baloux. Hotelnya terbukti menjadi
kejutan yang menyenangkan juga. Kamarnya luas, walaupun agak tua, dan sangat
bersih. Kaca jendelanya ternyata mengabur karena usia, bukan lapisan debu
seperti yang disangkanya semula. Kasur yang baru dipasang memanggilnya setelah
berhari-hari tidur di tanah dengan pelana sebagai bantal. Secara keseluruhan,
David tidak bisa mengeluh.
Setelah meninggalkan tip yang cukup banyak, ia keluar dari
restoran, melintasi serambi kayu yang reyot, dan melangkah ke jalan yang
berdebu. Segelas ale dingin terdengar
nikmat, tapi ada yang lebih penting. Lebih baik segera menyelesaikan urusannya
dengan Brianna Paxton. Ia telah menemukan toko pakaian tempat Brianna sebagai
tukang jahit pada sore dan malam hari, dan berharap bisa menemui wanita itu di
sana.
Yah, berharap
mungkin agak terlalu berlebihan. Sekarang, ketika pertemuan itu berada di depan
matanya, David merasa segugup anak sapi liar ketika dikumpulkan. Bagaimana
sebaiknya ia mendekati wanita yang tak dikenal ini, yang bisa jadi ibu dari
putrinya? Kalau anak itu benar miliknya, dan ia tak mengenali Brianna, wanita
itu berhak untuk lebih marah dari seekor beruang yang hidungnya dihinggapi
lebah. Ia hanya berharap cakar Brianna tak setajam cakar beruang.
David berpakaian dengan hati-hati untuk pertemuan itu, tidak
ingin terlihat terlalu formal seperti orang kota yang sombong. Ia akhirnya
memilih celana panjang coklat muda yang bersih dan kemeja lengan panjang warna
biru yang dipuji Hazel Wright ketika dikenakannya. Memikirkan Hazel membutnya
teringat bagaimana sulitnya meninggalkan No Name tanpa membiarkan alasan
kepergiannya diketahui orang lain. Hazel telah mencoba segala cara untuk
mendapatkan penjelasan darinya, dan wanita itu bersikap kasar ketika ia tidak
mau memberi penjelasan apa pun. Itu adalah sisi lain Hazel yang belum pernah ia
lihat sebelumnya.
Restoran itu berada di ujung jalan utama. Kalau belok ke
kiri ia akan mengarah keluar dari kota untuk berkumpul dengan anjing padang
rumput dan coyote. David mengambil
arah kanan, melambatkan langkahnya dan mengamati toko-toko yang berbaris di
kedua sisi jalan itu, mencari apa pun yang menyerupai toko pakaian. Ketika ia
sekilas menangkap kilau uang logam dari sudut matanya, ia berhenti, memandang
koin yang tergeletak di tanah beberapa meter di depannya, dan ia baru akan
memungut koin itu ketika seorang gadis kecil, yang terbungkus pita dan renda
merah muda, melesat ke depan untuk mengambilnya. David menyelamatkan mereka
berdua dari tabrakan kepala yang menyakitkan dengan mundur pada detik-detik
terakhir. Kepala anak itu hampir menabrak hidungnya. Ia menunduk dan
menyeringai pada anak itu.
“Well,” ujar
David. “Aku selalu mendengar kalau si penemu akan menjadi orang yang menyimpan
temuannya, tapi tak ada yang pernah menyebutkan apa yang harus dilakukan ketika
ada dua orang penemu.”
Tanpa memungut koin itu, si anak menegakkan badan dengan
wajah memerah. “Maafkan aku, Mister. Aku tidak tahu kau sudah melihatnya juga.”
“Well, Ma’am,”
kata David sambil memiringkan topinya, “aku tidak akan menghalangi seorang
wanita dari sesuatu yang sangat diinginkannya, jadi silahkan...”
David lupa apa lagi yang ingin diucapkannya, Oh, Tuhan. Anak perempuan yang berdiri
di hadapannya adalah jiplakan ibunya, dengan rambut ikal emas yang sama, mata
biru yang bear, hidung yang agak melengkung ke atas, serta dagu kecil yang
runcing. Mulut anak ini bahkan berbentuk seperti mulut Dory, dan anak itu
memiliki lesung pipit dalam yang sama di pipi kiri. Sesaat, David merasa dunia
di sekelilingnya berhenti berputar. Perutnya terasa seperti beberapa tahun
lalu, ketika seekor lembu jantan menendang perutnya di pertandingan rodeo
tahunan kotanya. Sekujur tubuhnya menggigil.
“Daphne?” Bibir David membentuk nama itu tanpa suara.
Ekspresi bingung terbentuk di wajah anak itu, dan David memaksa lidahnya untuk
mengucapkannya lagi. “Daphne?” ulangnya, bertanya-tanya kenapa ia membuat kata
itu terdengar seperti pertanyaan. Tidak ada keraguan lagi. Anak ini memiliki
tanda Paxton di setiap jengkal tubuhnya. “Daphne,” ucap David lagi dengan suara
mendesah, seolah semua udara di dalam tubuhnya keluar melalui mulutnya.
Mata anak itu melebar. Mulutnya yang kecil sempurna membulat
penuh ketakjuban ketika ia mendongak dan memandang wajah David. “Papa?”
tanyanya dengan tidak percaya.
Oh, Tuhan. Papa.
David bukan pria yang gampang menangis karena hal sepele, tapi matanya terasa
panas ketika ia memandang putri kecilnya. Putrinya.
Tidak ada keraguan lagi. Lututnya goyah. Kepalanya terasa berputar-putar.
Ribuan perasaan menghantamnya. Tenggorokannya tersumbat, dadanya sakit, dan
dorongan untuk menarik Daphne ke dalam pelukannya dan tidak akan melepaskan
anak itu lagi begitu kuat sampai-sampai ujung jarinya berdenyut.
Tapi, tidak. Kalau ia menyentuh Daphne, ia mungkin akan
membuat anak itu takut. Ia menunduk dan memandang ke dalam mata biru yang
jernih itu, yang sekarang terpaku pada wajahnya. Gelombang rasa malu yang
memuakkan membuncah di dalam dirinya, menekan dadanya sehingga jantungnya
terasa seperti mau meledak. Oh Tuhan, apa
yang sudah kulakukan? Tak perlu diragukan lagi, anak ini adalah anaknya,
dan selama ini ia telah mengabaikan anaknya. David setengah berharap akan ada
petir yang menyambarnya dari langit dan membunuhnya, karena sudah pasti,
memiliki anak dan mengabaikan anak itu merupakan salah satu urutan teratas
dalam daftar perbuatan tercela. Ia tak ingat pernah berhubungan intim dengan
ibu anak ini, tapi kemiripan keluarga yang disandang anak itu terlalu jelas
untuk disangkal.
Potongan-potongan dari surat Daphne berputar-putar di benak
David –permintaan agar ia mau mengirimkan uang hanya untuk membeli satu pakaian
baru, cerita bahwa terkadang anak itu memakan makanan dari tong sampah, dan
permohonan Daphne yang berulang-ulang agar ia mengunjungi anak itu. Sepanjang
hidup, Daphne tidak memiliki ayah, dan telah menderita karenanya, dan itu bukan
kesalahan siapa pun selain kesalahannya, pikir David. Saat itu juga, ia membuat
janji bisu kepada dirinya sendiri kalau Daphne tidak akan pernah kekurangan
lagi.
David berusaha untuk bicara, tapi suaranya tak berhasil
keluar. Mungkin begini lebih baik. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus
diucapkannya. Ia hanya memandang Daphne, memperhatikan setiap detail anak itu.
Daphne sangat cantik dalam gaun merah mudanya yang indah, yang bermotif kelopak
bunga mawar dengan nuansa warna yang lebih tua dan tepiannya dihiasi pita dan
renda. Kakinya yang kecil terbungkus sandal kulit mengilap. Seutas pita sutra,
diikat dengan kencang dipuncak kepalanya yang pirang, berkibar tertiup angin.
Tepat pada saat itu, rambut ikal Daphne bergeser dan
memperlihatkan bagian samping lehernya. Di sana David melihat noda kecil
berwarna merah stroberi, yang merupakan tanda lahir Paxton, diwariskan dari
sisi ibunya secara turun temurun. Kalau tadi masih ada keraguan yang tersisa,
maka tanda itu menghapuskannya. Semua anak di keluarganya lahir dengan tanda
itu. Seiring berjalannya waktu, kulit David telah menggelap akibat terkena
paparan sinar matahari, tapi tanda lahirnya masih tampak. Taidak ada keraguan
lagi. Darahnya mengalir di dalam pembuluh anak ini.
David menurunkan badannya dan berlutut, yang membuatnya
sejajar dengan anak perempuan itu. “Well,
well,” akhirnya ia berhasil mengucapkan sesuatu. “Bukankah ini saat yang
penuh dengan kemaslahatan.” Ia memungut koin itu, memegangnya di depan hidung
Daphne yang mungil dan berbintik-bintik. “Dan kita menemukan sebuah koin
keberuntungan bagi kita berdua. Itu pertanda bagus. Bukankah begitu menurutmu?”
Mata Daphne berbinar, bibirnya bergetar ketika ia berkata,
“Apakah kemals... emm... kata sulit yang baru kau ucapkan itu... apakah itu
artinya kau papaku?”
David sadar, dengan mengabaikan anak ini selama
bertahun-tahun, ia sudah melakukan dosa besar. Ia tidak akan menambah
kesalahannya lagi dengan berbohong kepada anak ini. “Benar,” bisiknya dengan
suara yang menjadi serak karena emosi. “Aku Papamu, atau namaku bukan David
Paxton.”
Mata Daphne mengerjap dan mengangguk. “Oh.” Tiba-tiba ia
terlihat malu dan mengalihkan tatapannya dari David untuk memandang koin yang
ada di depannya. “Aku tidak tahu koin bisa membawa keberuntungan.”
David mengumpulkan semua kendali dirinya, menelan ludah
dengan susah payah untuk menjaga suaranya agar tidak goyah, lalu menimpali,
“Kau belum pernah mendengar tentang koin keberuntungan? Sayang, ini adalah koin
yang paling penuh keberuntungan yang akan pernah kita temui dalam hidup kita.
Koin ini mempertemukan kita, bukan begitu?”
Lesung pipit menghiasi wajah Daphne, membuat David teringat
pada ibunya sehingga ia mengerjapkan matanya lagi untuk mengusir air matanya.
Dory akan sangat bersuka cita kalau tahu ia punya satu cucu perempuan lagi.
Dan, oh, gigi depannya yang ompong membuat anak ini sangat menis dan membuat
David ingin menyeringai. Namun sebelum seringai itu sempat terbentuk, rasa
kehilangan menyapu David. Dorry menyimpan semua gigi susu anak-anaknya. Gigi
David sendiri ditempelkan ke kertas lusuh pada sebuah buku kliping berjudul David. Apa yang telah terjadi pada gigi
Daphne? Kehilangan gigi untuk pertama kalinya adalah kejadian besar dalam
kehidupan anak-anak. Apakah Daphne menggoyang-goyangkan gigi itu sampai lepas
dengan lidahnya? Atau karena ia menggigit apel? David bisa ingat dengan jelas
dirinya dulu berdiri dengan seutas benang terikat di gigi pertamanya yang
longgar, sementara ujung benang yang satu lagi diikat ke kenop pintu. Waktu itu
kakinya gemetar di celananya karena Ace dan Joseph terus menerus mengatakan,
“Banting pintu itu, David. Jangan jadi pengecut.”
“Yang benar saja,” sahut Daphne.
David tersentak kembali ke masa kini tapi tak bisa mengingat
apa yang sedang mereka bicarakan.
“Kepala kita hampir bertabrakan karena koin itu!” seru
Daphne. “Kau seharusnya senang karena kepala kita tidak terbentur.” Sambil
terkikik, ia menambahkan, “Mama bilang kepalaku lebih keras dari batu.”
David tertawa. “Well,
kurasa kau mendapat itu dariku. Sudah banyak orang yang bilang ada batu di
antara telingaku.”
David menumpukan berat badannya ke tumitnya, samar-samar
sadar kalau lalu lintas di jalan itu sepi dan bersyukur karenanya. Ia harus
terbatuk untuk membersihkan tenggorokannya dulu sebelum melanjutkan. “Biasanya,
cerita tentang koin itu seperti ini, ‘Temukan sebuah koin, ambil koin itu, dan
sepanjang hari kau akan mendapatkan keberuntungan.’ Dan aku bisa mengatakan
kepadamu dari pengalaman pribadiku kalau itu benar. Koin tua mana pun bisa jadi
mengundang keberuntungan kalau kau menemukannya dan memungutnya, tapi dalam
kasus seperti itu, keberuntungannya hanya untuk satu hari.” Ia menyentuhkan
koin yang berkilauan itu ke ujung hidung Daphne. “Tapi, ini bukan koin
keberuntungan yang biasa.”
“Oh, ya?”
“Ya,” David meyakinkan Daphne. “Yang satu ini adalah koin
yang penuh keberuntungan karena aku dan kau menemukannya bersama-sama. “Ia
membalik koin itu agar permukaannya memantulkan cahaya matahari yang terbenam.
“Kau lihat itu? Koin ini bahkan mengedip pada kita. Kita menemukan harta
karun.”
“Apa yang akan kita lakukan pada koin ini?” tanya Daphne,
suaranya terdengar agak takjub.
“Kita akan menyimpanannya dengan aman untuk digunakan di
masa depan. Sekarang, kau yang simpan.” Ia meletakkan koin itu ke dalam tangan
Daphne. “Kapan pun kita dalam kesulitan atau sangat menginginkan sesuatu yang
penting, kita akan membuat permohonan pada koin itu, dan permohonan kita akan
terkabul.”
Daphne mendorong koin itu kembali kepada David. “Kalau
begitu, lebih baik kau saja yang menyimpannya. Aku suka jajan, dan jika aku
menemukan uang, aku akan menghabiskannya untuk membeli permen. Mungkin nanti
tak sengaja akan membelanjakan koin keberuntungan kita.”
David menerima koin itu dan memasukkannya ke dalam saku
kemejanya, di mana ia tidak pernah memasukkan uang receh. “Kau benar. Kita tidak
bisa mengambil risiko tak sengaja membelanjakan koin ini. Aku akan membuat
lubang di koin ini sehingga kita bisa memasukkan rantai atau tali kulit. Dengan
cara itu, kita bisa menggunakannya sebagai kalung, dan kita berdua akan selalu
tahu kalau ini adalah koin keberuntungan kita. Setuju?”
Daphne mengangguk dan menyorongkan tangannya yang kecil
untuk berjabat. Ketika David membungkus jari-jari kecil itu ke dalam tangannya
sendiri, hatinya sakit. Entah bagaimana, jabatan tangan itu berubah menjadi
pelukan, awalnya ragu-ragu, tapi menjadi sangat erat. David harus mengurangi
kekuatannya karena takut akan melukai anak itu. Daphne melingkarkan lengan
kurusnya ke sekeliling leher David, “Kukira kau tidak akan pernah datang, Papa.
Aku berdoa dan berdoa, tapi tidak pernah terkabul. Kupikir mungkin...” Tubuh
Daphne tersentak. “Kupikir mungkin kau tidak cukup mencintaiku untuk datang ke
sini.”
David merasa seolah baru saja menegak cairan asam, yang
membuat kerongkongannya terasa sepeerti terbakar oleh api. Ia tak bisa langsung
menjawab anak itu. Ketika akhirnya ia mendapatkan kembali suaranya, suara itu
terdengar seperti pisau yang digesekkan di atas ampelas, “Oh, Sayang, tidak.
Bagaimana mungkin ada ayah yang tidak mencintai gadis kecil sepertimu? Aku
tidak datang lebih cepat karena aku tidak pernah mendapatkan surat-suratmu.
Surat-surat itu tertahan di kantor pos Denver, dan aku baru mendapatkannya
sekitar sebulan lalu.”
“Apakah itu waktu kau mengirimiku uang untuk baju baru?”
David memutar kepalanya sehingga wajahnya terbenam dalam
rambut ikal emas Daphne dan menghirup aromanya yang manis. Ketika ia memikirkan
tahun-tahun yang telah dilewatkannya, semua pelukan yang tidak akan pernah
dirasakannya, ia merasa mual. Ia pantas untuk ditendang sampai ke san Francisco.
“Ya, Little Princess.”
Daphne menarik diri untuk berputar di hadapan David. “Kau
mengirim banyak sekali sehingga Mama membuatku tiga gaun untukku, ditambah satu baju biasa untuk dipakai setelah
pulang dari sekolah. Aku juga mendapatkan dua pasang sepatu, pakaian dalam,
lalu mantel musim dingin dan sarung tangan! Dulu, anak-anak perempuan lainnya
tidak mau bermain denganku dan mengejek pakaianku. Sekarang Mama bilang aku
mengalahkan mereka semua.”
“Aku yakin sekali.” Memandang gadis kecil itu, David hanya
bisa mengatakan kalau ia belum pernah melihat anak yang lebih cantik lagi.
“Pakaianmu indah sekali.”
“Kau suka? Aku yang memilih kainnya. Dan Mama memilih
hiasannya. Kemudian dia begadang semalaman membuatkannya untukku. Aku menemukan
sebuah gambar di harian berkala tentang fashion, dan dia membuatkan bajuku persis
seperti itu.”
David bertanya-tanya apakah semua anak enam tahun mengatakan
sesuatu seperti harian berkala. Entah putrinya terlalu
cerdas atau anak ini terbiasa mendengar kata-kata sulit. Dengan berlebihan,
David mengagumi baju Daphne. “Bajumu luar biasa. Mamamu sungguh penjahit yang
hebat.”
“Dia yang paling hebat.” Daphne memeluk pinggangnya dan
tersenyum dengan wajah yang berseri-seri. “Biasanya sepulang sekolah aku harus
menggantinya dengan baju bermainku, tapi hari ini istimewa.”
“Oh, ya?”
Daphne tersenyum lebar lagi. “Sekarang May Day.”
Terlalu lama dalam perjalanan, David sudah tidak tahu lagi
hari itu tanggal berapa. “Demi Tuhan, kurasa kau benar. Sekarang May Day, ya?”
“Ya! Dan sekolahku mengadakan pertunjukan malam ini di
gereja untuk merayakannya. Hanya dua anak perempuan di kelasku yang dipilih
untuk melakukan deklamasi solo, dan aku salah satunya. Karena itulah aku masih
memakai baju sekolahku yang istimewa. Aku harus terlihat cantik.”
Daphne berputar lagi, begitu bangga akan gaunnya sehingga ia
hampir saja menghancurkan hati David. Demi Tuhan, ini adalah putrinya, pikir
David. Seharusnya anak ini memiliki selemari penuh gaun-gaun indah.
Daphne berhenti berputar untuk berkata, “Mama akan kaget
sekali melihatmu!”
David merasa komentar itu sangat tepat. Bagaimanapun juga,
ia datang tanpa pemberitahuan. Melalui surat-ucapan-terima-kasih, dengan jelas
Brianna ingin mengakhiri hubungan mereka, itupun kalau bisa disebut sebagai
hubungan. Membayangkan seperti apa kira-kira reaksi wanita itu –sejauh yang
diketahuinya, Brianna bisa saja seorang wanita pemberang –David memutuskan
pertemuan mereka sebaiknya dilakukan tanpa dihadiri Daphne. David berbidi,
merogoh saku celana panjangnya, lalu meletakkan beberapa koin di tangan Daphne.
Mata Daphne membelalak sampai sama bulatnya dengan koin yang ada di telapak
tangannya yang terbuka.
“Untukku?”
David terkekeh. “Sedikit uang jajan. Hanya saja jangan
menghabiskan semuanya hari ini. Kalau kau sakit perut, mamamu mungkin akan
menggunduli kepalaku.”
Daphne mengepalkan jari-jarinya di sekitar koin itu. “Aku
bisa membelanjakannya lain kali, Papa. Boleh aku menunjukkan kepadamu di mana
Mama bekerja? Dia pasti akan senang sekali melihatmu.”
Kita lihat saja nanti,
pikir David. Ia melirik jalan itu, lalu memandang anaknya lagi. “Ini bukan kota
besar, Pumpkin. Aku bisa menemukan
toko itu tanpa bantuanmu. Pergilah. Tidak setiap hari Papamu datang dan
memberikanmu uang jajan.”
Daphne tampak bimbang. Mata birunya tidak berhenti menatap
David. “Bagaimana kalau kau pergi saat aku tidak ada?”
“Aku tidak akan pergi.” David ingin sekali memberitahu
Daphne bahwa sekarang, setelah mereka bertemu, dia tidak akan meninggalkan anak
itu lagi. Tapi sampai ia mendiskusikan masalah ini dengan ibu Daphne, ia tidak
bisa membuat janji yang tidak pasti. “Kita akan bertemu lagi, Sayang. Aku
janji.”
Jelas sekali Daphne enggan untuk meninggalkan David. Bibir bawah
Daphne mulai bergetar. Ketika David menunduk untuk memandang Daphne, ia
berpikir, Oh, persetan dengan semuanya.
Dan ia pun menarik anak itu ke dalam pelukannya. Seperti monyet kecil yang
pernah dilihat David dalam pertunjukkan di San Francisco, Daphne melingkarkan tungkainya
yang kurus ke pinggang David dan bergantung di lehernya. David mencium pelipis
Daphne, dan hampir membuat potinya jatuh ketika melakukan itu.
“Kau benar,” bisik David. “Permen itu bisa menunggu.”
“Aku mencintaimu, Papa,” Daphne balas berbisik. Bahunya tersentak
oleh isak tangis. “Aku senang sekali kau menerima suratku dan akhirnya datang
menemuiku.”
Lengan Daphne yang memeluk erat, kata-kata yang mencekik,
serta bagaimana tubuh anak itu gemetar di tubuhnya hampir membuat lutut David
tertekuk. Daphne telah lama sekali menunggu kedatangannya, dan selama itu, ia
bahkan tidak sadar kalau anak itu ada di dunia ini. Air mata meluncur dari
matanya yang terpejam rapat, mengalir di pipinya dan menjadi dingin akibat
terkena angin. Ia merasakan kelembapan di lehernya juga dan tahu Daphne sedang
menangis bersamanya. Anak itu terasa begitu pas
di dalam pelukannya. Berat badan Daphne adalah bebean yang tak pernah
dirindukannya, tapi sekarang ia merasa akan mati kalau ia melepaskan anak itu.
Ia tak ingat sudah berapa lama ia berdiri di sana, memeluk putrinya –seorang anak
perempuan cantik yang tidak pernah diketahuinya.
Jadi, begini rasanya menjadi seorang ayah. David telah
menyaksikan Ace dan Joseph bertingkah seperti idiot saat pertama kali mereka
menggendong bayi mereka. Sekarang akhirnya ia mengerti. Anak ini merupakan
bagian dari dirinya, darah dagingnya. Cinta itu datangnya seketika dan mengalir
begitu dalam sampai rasanya hampir menakutkan. David mencintai keluarganya, ia
sungguh sungguh mencintai mereka, tapi perasaan ini berbeda. Dalam perjalanan
ke kota ini, berulang kali ia berharap akan mendapat jawaban kalau Daphne bukan
putrinya –bahwa ia akan bebas untuk pulang ke rumah pada keesokan paginya dan
melanjutkan kehidupannya yang nyaman tanpa anak atau istri yang tidak diinginkan dan bisa mengacaukan
rencananya. Sekarang ia tidak bisa membayangkan dirinya meninggalkan Daphne di
kota yang lusuh ini. Tidak akan.
Sejak saat ini, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi Daphne –kalau perlu,
dengan nyawanya sendiri –dan tak bisa melakukan itu apabila mereka kembali
terpisah.
Sebuah kereta kuda berbelok ke jalan utama, menyentakkan
David kembali ke dunia nyata. Walau tidak suka melepaskan pelukannya dari
Daphne, ia mundur ke atas serambi kayu.
“Jangan tinggalkan aku! Jangan pernah lagi, Papa. Kumohon...
aku anak yang baik. Aku sungguh-sungguh.”
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Sayang.” Ketika David
mengucapkan kata-kata itu, ia tahu itu adalah janji yang perlu dibuatnya, dan
itu juga janji yang akan ditepatinya. Ini adalah anaknya. Anak ini tidak akan
pernah memakan sisa-sisa makanan dari tong sampah lagi. Terserah apakah ibunya
mau menerima itu, atau David akan bertarung dengan wanita itu di pengadilan
untuk memperebutkan hak asuh. “Tidak perlu lagi berharap. Mulai saat ini, aku
akan menempel denganmu seperti kutu yang menempel ke leher anjing.”
Daphne mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata dari
bahu David. Bulu matanya yang lembap membentuk jarum-jarum gelap, membingkai
matanya yang biru. “Apakah itu artinya menempel sangat erat?”
David tertawa di sela air matanya. Ia sadar kalau sekujur
tubuhnya bergetar. Putri kecilnya. Oh Tuhan, putrinya. Ia tidak pernah akan
menepuk punggung Daphne untuk membuat anak itu bersendawa atau mengganti popok
Daphne. Ia tidak akan pernah menemani Daphne ketika anak itu terkena kolik. Ia
mungkin telah melewatkan demam, cacar, dan hanya Tuhan yang tahu apa lagi. Well, terkutuklah dirinya kalau sampai
melewatkan yang lain. Mulai sekarang ketika Daphne sakit, ia akan ada di
samping anak ini. Ketika Daphne ketakutan, ia akan menemani anak itu. Ketika
Daphne membutuhkan apa pun, demi Tuhan, ia akan ada.
“Daphne, apa kau pernah melihat leher anjing pemburu?”
Kening Daphne berkerut ketika ia berpikir. David pernah
melihat ibunya seperti itu ketika sedang berusaha memutuskan tanaman apa yang
digunakan untuk menyembuhkan suatu penyakit. “Kebanyakan orang hanya punya
anjing gembala.”
“Well, kulit di
keher anjing pemburu itu berlipat-lipat agak mirip dengan gorden. Ketika kutu
menempel ke leher anjing itu, satu-satunya cara untuk membuatnya pergi adalah
membakar pantatnya dengan korek api. Mereka menempel sekuat itu.”
Tawa Daphne meledak. “Jauh-jauhlah dari korek api, Papa.
Kalau kau meninggalkanku lagi, aku akan sedih sekali.”
David menyeringai dan mendorong pelan anak itu. “Sayang,
Lucifer sendiri bisa membakar pantatku sekarang, dan satu-satunya yang akan
kulakukan adalah menari-nari memutarimu. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan
meninggalkanmu.”
Synopsis
Kenapa update nya lama bgt sist...
BalasHapusLanjutannya lg donk...
BalasHapusKpn lanjutannya..
BalasHapus