Jumat, 10 Mei 2019

Lucky Penny #2

1 Mei 1891

Angin padang rumput yang dingin dan setajam silet mengiris rahang David, hanya sedikit teredam oleh jambang yang sudah tumbuh beberapa hari. Ia beringsut di atas pelananya, mengeluskan tangannya ke sepanjang leher Blue dan memberi kuda itu tepukan. Bukan untuk pertama kalinya ia merasa bersyukur atas kekuatan Blue yang tak ada habisnya serta gerakannya yang mulus. Lucy tua yang malang, mengikuti di belakang mereka dengan kuping panjangnya yang terdunduk, tidak mendapatkan belaian, tapi David berniat akan memberikannya ketika mereka mencapai Glory Ridge malam itu. Keledai abu-abu itu memeiliki tugas terberat, terkena debu dari kaki Blue dan membawa barang-barang mereka.


Perjalanan itu telah menjadi perjalanan yang melelahkan. David menggunakan kereta api sejauh yang dimungkinkan, membuat Blue dan Lucy si penggugup senyaman mungkin di dalam gerbong barang. Sialnya, dataran tinggi bagian timur Colorado, penggunaan kereta api masih jarang. Di perhentian terakhir ia sudah diberitahu kalau ada kereta yang menuju Glory Ridge, tapi kereta itu tidak akan berangkat hingga beberapa hari lagi, dan jalurnya akan berhenti sekitar seratus kilometer dari tujuannya. David tidak bisa menunggu lebih lama lagi; ia memiliki tugas sebagai marshal di No Name, dan ia sudah alpa lebih lama daripada yang diinginkannya. Ia bisa menunggu kereta api itu atau menumpang kereta kuda. Itu bukan pilihan yang sulit. Berjalan melintasi negeri dalam kereta kuda yang sempit adalah bayangannya akan neraka, dan menambatkan Blue serta Lucy ke bagian belakang kereta kuda sangatlah kejam. Kuda-kuda yang digunakan untuk menarik kereta akan ditukar di hampir setiap stasiun, Tapi keledai yang berjalan di belakang hanya bisa beristirahat selama berhenti. Artinya, mereka harus berlari sepanjang hari dan terkadang hingga malam. David tidak mau membuat Blue dan Lucy merasakan hal itu. Ia lebih memilih untuk bepergian sendiri, berjalan pelan demi kedua sahabatnya itu.

“Kita akan sampai di sana dua jam lagi,” David memberitahu Blue, yang kupingnya langsung terangkat. “Di istal, kau bisa mendapatkan semua jerami dan gandum yang bisa kau makan. Kau juga, Lucy,” tambah David sambil menoleh melalui bahunya.

Lucy mengeluarkan suara khasnya, gabungan antara ringkikan dan tawa yang selalu membuat David tersenyum. Ia telah meninggalkan Sam di peternakan supaya kaki anjing itu tidak lelah, tapi sekarang ia berharap membawa anjing konyol itu. Ia merindukan Sam terutama ketika malam hari ia duduk di dekat api unggun. Sam akan bernyanyi ketika David memainkan biolanya menggonggong, melolong, dan menggeram, dan ketika David berguling keluar dari selimut, anjing itu akan bergelung di dekatnya, menjaga agar tetap hangat.

David membungkukkan bahu untuk melawan udara dingin, bersyukur atas perlindungan dustar kulitnya dan penambahan lemak yang membuatnya tahan angin. Sayangnya, dustar itu hanya mencapai lutut ketika ia berdiri dan terbuka ke kiri dan ke kanan ketika ia menunggang kuda sehingga kakinya tidak terlindungi. Ia bisa berhenti untuk memakai chap-nya, tapi itu terlalu merepotkan. Lebih baik ia terus bergerak dan menyelesaikan perjalanan ini. Bila beruntung, ia tidak akan lama di Glory Ridge. Ia akan bertemu dengan Brianna Paxton, wanita itu akan menjelaskan semuanya, dan ia akan pulang besok.

Kalau ternyata tidak berjalan seperti harapannya... Yah, ia hanya ingin membereskan masalah ini dan melanjutkan hidupnya. Bagaimana ia bisa punya anak dengan seorang wanita yang bahkan tak bisa diingatnya? Rasanya itu mustahil, namun ia tidak bisa dmenghapus fakta kalau itu mungkin saja terjadi. Memikirkan hal itu membuat perutnya sakit. Secara bergantian, ia merasa otaknya seakan-akan diserbu oleh sapi gila atau berputar di kepalanya seperti angin puting beliung, membuat emosinya kusut seperti hiasan dari untaian popcorn setelah disimpan satu tahun di gudang. Bagaimana kalau Daphne benar anaknya? Kalau begitu, apakah ia berkewajiban untuk menikahi ibu anak itu? Bagaimana hal itu akan memengaruhi masa depannya bersama Hazel Wright? Ia yakin Hazel tidak akan bisa menerima berita bahwa ia telah memiliki anak dari wanita lain dengan baik.

David memandang ke kejauhan. Orang-orang yang belum pernah ke tempat ini mengira datarannya rata, dengan tidak ada hal menarik untuk dilihat. Mereka salah. Padang rumput ini bergelombang dengan undakan dan lembah yang bisa menyembunyikan gerombolan bison tepat di undakan berikutnya, kalau masih ada kumpulan besar binatang itu yang tersisa. Sekarang, rumput buffalo tumbuh tinggi dan kebanyakan tidak terganggu oleh mamalia besar itu, yang menjadi asal-usul nama rumput tersebut, membentuk karpet hijau tebal yang bergoyang tersapu angin, yang sangat kontras dengan langit biru yang luas. Jauh ke sebelah kanannya dan terlindungi oleh tumpukan batu, sekelompok bunga kesukaan ibunya menciptakan percikan warna-warna cerah. Di dekatnya, bunga beardtongue terlihat menakjubkan. Di atas bukit berpasir di depannya, dua ayam padang rumput jantan sedang mengigal, menari, mengepak-ngepakkan sayap mereka yang berwarna coklat jingga, dan menggembungkan kantung-kantung jingga di masing-masing sisi leher mereka untuk membuat suara membahana yang bisa terdengar hingga berkilo-kilometer. Sekarang sudah terlambat untuk musim kawin, tapi rupanya kalender ayam-ayam itu juga terlambat. Bukannya David menyalahkan mereka. Hanya memiliki waktu yang singkat selama tiap musim semi untuk merayu para betina mereka akan mendorong ayam jantan mana pun untuk memperlambatnya selama mungkin.

Tidak. Padang rumput itu tidak membosankan untuknya. Dan ibunya, seorang botanis amatir, memiliki ketertarikan yang sama dengannya; kalau cuaca mengizinkan, ibunya senang melatih dirinya di padang rumput yang ada di sekitar peternakan Ace.

Blue meringkik, dan Lucy mengeluarkan suara pelan, menarik David dari perenungannya. Dengan mata menyipit, ia mencari-cari di kaki langit. Bangunan. Ia tidak berharap mencapai Glory Ridge hingga malam, tapi di sanalah kota itu. Ia akan bertemu dengan Brianna Paxton tak lama lagi.

Pemikiran itu membuat perutnya kejang. Surat ucapan terima kasih wanita itu sangat sopan. Brianna berterima kasih, tapi tidak mau menerima hadiah uang lagi, dan suatu hari nanti akan membayar uang itu lagi kepadanya, berikut bunganya. Wanita itu juga dengan jelas menyampaikan kalau Daphne bukan anaknya. Tidak masalah, pikir David, tapi kalau begitu kenapa Daphne menyebutnya sebagai ayah?

David tidak mengharapkan pertemuan pertamanya dengan Brianna berjalan dengan mulus. Untuk alasan-alasan yang tidak dapat dijelaskan, wanita itu berbalik seratus delapan puluh derajat, bertahun-tahun memohon agar ia datang dan menjemput, dan sekarang, tiba-tiba saja, berusaha menjauhkannya. Mungkin wanita itu telah bertemu dengan laki-laki lain dan tidak ingin ia mengganggu rencana mereka untuk menikah. Atau mungkin ia hanya David Paxton yang salah. David berharap alasannya adalah yang terakhir, tapi ia tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum tahu dengan pasti. Sial, para lelaki di keluarganya tidak memiliki anak dan kemudian melepaskan tanggung jawab mereka begitu saja.

Well, kemungkinan yang suram itu harus menunggu. Ia tidak mau bertemu dengan Brianna ketika dirinya terlihat seperti seorang penggiring ternak yang mampir ke kota setelah menggiring ternaknya. Ia sudah tidak sabar ingin menegak segelah ale untuk menggelontorkan debu selama perjalanan itu, diikuti dengan mandi, mengganti pakaiannya dengan yang bersih, dan bercukur sebelum menikmati makan di restoran. Kebanyakan kota memiliki restoran atau sejenisnya. Dan ia tidak akan menolak roti dan sosis panas.

Dengan mata yang masih terpaku pada bangunan di depannya, David merasa jantungnya melesak ketika semakin mendekati kota itu. Demi Tuhan, kenapa tempat seperti ini dinamakan glory Rigde? Tidak bukit yang terlihat, dan tidak ada yang agung pada kota ini. Ketika ia berkuda di sisi barat, ia memutuskan penduduk di kota itu bisa menjadi contoh yang tepat untuk istilah one-horse town. Ia bisa melempar batu dari ujung ke ujung jalan utamanya. Di ujung jalan itu, atap gereja yang turun serta gedung sekolah yang kecil menjadi bukti kalau keuntungan dari peternakan di kota ini sangat kecil. Serambi kayu lebar dan atap yang menjorok keluar juga tidak dalam kondisi yang lebih baik. Rumput liar telah mencuat di sepanjang tepian jalan berbatu, dan hunga liar yang berwarna merah muda bergerombol di antaranya. Seluruh kota itu terlihat lusuh. David tak bisa menahan dirinya untuk tidak membandingkan kota itu dengan No Name, yang paling tidak terjaga kerapiannya dan terawat, dengan lapisan cat baru di dinding semua bangunan setiap musim panas.

Hotelnya tidak terlihat terlalu mengundang. Huruf E pada tanda yang bergantung miring di depannya hilang, dan jendela-jendelannya terlihat terlalu kotor untuk bisa dilalui cahaya. David mendesah. Ranjangnya mungkin tidak akan jauh lebih baik. Ia tidak suka dengan kasur yang bergumpal-gumpal. Ia hanya bisa berharap kalau seprai dan selimutnya bersih. Tapi ia akan mengkhawatirkan itu nanti. Sambil mendecakkan lidahnya kepada Blue, David menuntun binatang itu menuju kandang sewaan, sebuah bangunan kumuh dengan dinding kayu yang termakan usia serta sebuah papan lusuh di atas pintunya yang miring dan berkepak-kepak tertiup angin.

David turun di depannya, mengamati gerobak kayu terbuka yang reyot dengan tempelan “Disewakan” di bagian samping. David memegang tali kekang Blue dan masuk ke dalam hanya untuk menemukan jalannya dihalangi oleh seorang pria tua yang memakai terusan denim biru dengan bretel ungu yang kontras dengan kemeja merah terangnya.

“Apa kabar, orang asing,” sapa pria itu. “Bagaimana aku bisa membantumu?”

Cara bicaranya, yang memanjangkan kata-katanya, memberitahu David kalau pria tua itu berasal dari suatu tempat di selatan Manson-Dixon Line. David menumpangkan satu tangannya di leher Blue. “Aku ingin menginapkan kuda dan keledaiku untuk malam ini.”

Pria itu mengangguk lalu meludahkan air liur bercampur tembakau sebelum bergoyang maju mundur di tumit sepatu botnya dan mencantolkan ibu jari ke bawah bretelnya. Jambang yang baru tumbuh menghiasi rahangnya. “Aku punya tiga kandang kosong, jadi kau datang ke tempat yang tepat.”

David memiringkan kepalanya. “Kedengarannya bagus. Kalau kau tak keberatan, aku sendiri yang akan mengurus mereka. Kudaku sudah berjalan jauh, dan keledaiku membawa muatan. Aku ingin membawa mereka masuk dan menyikat bulu mereka sebelum mereka diberi makan dan minum.”

“Senang bisa membantumu.” Pria tua itu menyapukan tangannya ke atas rambut beruban yang berantakan. “Jalanku pincang. Cedera pinggul beberapa tahun yang lalu. Menggiring kuda adalah cobaan yang berat buatku.”

Sementara pria itu memimpin jalan, David melihat bagaimana ia mengayunkan kaki kanannya ke samping setiap kali melangkah. “Menjaga tempat ini pasti sulit untukmu.”

“Sudah jarang,” pria itu menjawab dari balik bahunya. “Aku membayar seorang pemuda untuk melakukan pekerjaan berat. Di siang hari aku yang menjalankan tempat ini, tapi ketika malam, dia yang menjalankannya. Sebagai bayaran untuk membersihkan kandang dan melayani satu atau dua pelanggan yang datang pada malam hari, dia mendapat makan tiga kali sehari, kasur di gudang peralatan, dan gaji yang lumayan.”

Kandang-kandang di tempat itu lebih baik daripada yang berani diharapkan David, cukup bersih, dengan jerami segar serta palung makanan yang tidak memperlihatkan sisa-sisa jerami kuda lain. Kotoran tikus juga tak terlihat. David juga senang melihat ember-ember air di tempat itu dibalikkan ketika tidak dipakai, dan bukannya dibiarkan setengah berisi air yang tidak pernah diganti dan kotor.

Terlepas dari kondisi bangunan yang menyedihkan, David merasa wajib untuk mengatakan, “Kau menjalankan usaha kelas satu di sini.”

“Aku suka kuda... keledai juga,” sahut pria tua itu. “Silahkan periksa jeraminya. Kau tidak akan menemukan jamur atau cheat grass. Aku membeli kualitas.”

Seorang pencinta kuda akan mengenali pencinta kuda lainnya. David tahu ia akan menemukan makanan kuda yang bagus. “Berapa yang harus kubayar untuk mendapatkan gandum untuk teman-temanku? Mereka pantas mendapatkannya.”

“Gandum termasuk dalam biaya perawatan mereka. Begitu juga dengan jerami dan air segar.” Dengan jalan yang terpincang-pincang, pria itu memasuki kandang yang berdampingan itu untuk menurunkan barang bawaan dari punggung Lucy, sementara David memebaskan Blue dari perlengkapan kudanya. Ketika semua bebannya sudah diturunkan, Lucy langsung membengkokkan kaki depannya dan berguling di jerami bersih, mendengus puas. Melirik melalui dinding pemisah, pria tua itu berkomentar, “Dia kuda biru yang cantik, Nak. Tak pernah melihat yang seperti itu.”

David terkekeh. “Ayahnya berwarna hitam pekat, dan aku ingin anak kuda yang sama dengan warna yang sama ketika aku mengawinkannya dengan kuda betinaku yang berwarna biru. Tak seperti yang kurencanakan, tapi aku tak akan mengeluhkan hasilnya.” Sambil mengelus leher Blue yang melengkung, David menambahkan, “dia cantik.”

“Mengawinkan kuda untuk mendapatkan warna tertentu seperti melempar dadu. Ketika kau mengawinkan kuda hitam dengan kuda biru, warna anaknya bisa hitam atau biru, dengan kemungkinan warna lain yang akan keluar.”

“Kau benar-benar tahu kuda.”

“Ya, dan itu kenyataan.” Lucy yang sudah berdiri, sepertinya sadar kalau dia diabaikan dan meringkik dengan kekuatan penuh, mengagetkan David dan pria tua itu. Mereka berdua tertawa, dan si pemilik istal menepuk bahu Lucy. “Kau juga cantik, Sayang. Aku tak pernah melihat keledai betina yang lebih cantik darimu, dan kau juga kuat. Perjalananmu panjang, ya? Kau berhak dimanjakan.”

David suka cara pria itu berbicara kepada binatang –seakan-akan mereka mengerti dan punya perasaan. Sedihnya, ia jarang sekali melihat yang seperti itu. Ketegangan mengalir dalam tubuhnya. Membiarkan orang asing mengurus kuda dan keledainya selalu membuat David gugup. Malam ini tidak perlu. Blue dan Lucy akan berada di tangan yang tepat.

Seakan-akan pemilik istal itu merasakan persetujuan David, ia tersenyum ketika meninggalkan kandang Lucy. “Ada lapangan di belakang. Kau bisa membawa mereka berjalan ke luar sana. Kalau mereka sudah siap untuk menikmati jerami, gandum, dan air, panggil saja aku.”



Betapa menakjubkannya perbedaan yang bisa dihasilkan dalam dua jam. David telah membuang semua kotoran dan debu hasil perjalanannya dengan air hangat, mencukur jambang tanpa menggores kulitnya, serta mengganti pakaiannya dengan yang bersih sebelum menuju satu-satunya restoran di glory Ridge. Ia beruntung, karena itu restoran yang bagus. Daging setebal lima sentimeter, dengan semua makanan pelengkapnya, yang baru saja dilahapnya tidak kalah enak dengan yang ada di tempat Roxie Baloux. Hotelnya terbukti menjadi kejutan yang menyenangkan juga. Kamarnya luas, walaupun agak tua, dan sangat bersih. Kaca jendelanya ternyata mengabur karena usia, bukan lapisan debu seperti yang disangkanya semula. Kasur yang baru dipasang memanggilnya setelah berhari-hari tidur di tanah dengan pelana sebagai bantal. Secara keseluruhan, David tidak bisa mengeluh.

Setelah meninggalkan tip yang cukup banyak, ia keluar dari restoran, melintasi serambi kayu yang reyot, dan melangkah ke jalan yang berdebu. Segelas ale dingin terdengar nikmat, tapi ada yang lebih penting. Lebih baik segera menyelesaikan urusannya dengan Brianna Paxton. Ia telah menemukan toko pakaian tempat Brianna sebagai tukang jahit pada sore dan malam hari, dan berharap bisa menemui wanita itu di sana.

Yah, berharap mungkin agak terlalu berlebihan. Sekarang, ketika pertemuan itu berada di depan matanya, David merasa segugup anak sapi liar ketika dikumpulkan. Bagaimana sebaiknya ia mendekati wanita yang tak dikenal ini, yang bisa jadi ibu dari putrinya? Kalau anak itu benar miliknya, dan ia tak mengenali Brianna, wanita itu berhak untuk lebih marah dari seekor beruang yang hidungnya dihinggapi lebah. Ia hanya berharap cakar Brianna tak setajam cakar beruang.

David berpakaian dengan hati-hati untuk pertemuan itu, tidak ingin terlihat terlalu formal seperti orang kota yang sombong. Ia akhirnya memilih celana panjang coklat muda yang bersih dan kemeja lengan panjang warna biru yang dipuji Hazel Wright ketika dikenakannya. Memikirkan Hazel membutnya teringat bagaimana sulitnya meninggalkan No Name tanpa membiarkan alasan kepergiannya diketahui orang lain. Hazel telah mencoba segala cara untuk mendapatkan penjelasan darinya, dan wanita itu bersikap kasar ketika ia tidak mau memberi penjelasan apa pun. Itu adalah sisi lain Hazel yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Restoran itu berada di ujung jalan utama. Kalau belok ke kiri ia akan mengarah keluar dari kota untuk berkumpul dengan anjing padang rumput dan coyote. David mengambil arah kanan, melambatkan langkahnya dan mengamati toko-toko yang berbaris di kedua sisi jalan itu, mencari apa pun yang menyerupai toko pakaian. Ketika ia sekilas menangkap kilau uang logam dari sudut matanya, ia berhenti, memandang koin yang tergeletak di tanah beberapa meter di depannya, dan ia baru akan memungut koin itu ketika seorang gadis kecil, yang terbungkus pita dan renda merah muda, melesat ke depan untuk mengambilnya. David menyelamatkan mereka berdua dari tabrakan kepala yang menyakitkan dengan mundur pada detik-detik terakhir. Kepala anak itu hampir menabrak hidungnya. Ia menunduk dan menyeringai pada anak itu.

Well,” ujar David. “Aku selalu mendengar kalau si penemu akan menjadi orang yang menyimpan temuannya, tapi tak ada yang pernah menyebutkan apa yang harus dilakukan ketika ada dua orang penemu.”

Tanpa memungut koin itu, si anak menegakkan badan dengan wajah memerah. “Maafkan aku, Mister. Aku tidak tahu kau sudah melihatnya juga.”

Well, Ma’am,” kata David sambil memiringkan topinya, “aku tidak akan menghalangi seorang wanita dari sesuatu yang sangat diinginkannya, jadi silahkan...”

David lupa apa lagi yang ingin diucapkannya, Oh, Tuhan. Anak perempuan yang berdiri di hadapannya adalah jiplakan ibunya, dengan rambut ikal emas yang sama, mata biru yang bear, hidung yang agak melengkung ke atas, serta dagu kecil yang runcing. Mulut anak ini bahkan berbentuk seperti mulut Dory, dan anak itu memiliki lesung pipit dalam yang sama di pipi kiri. Sesaat, David merasa dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Perutnya terasa seperti beberapa tahun lalu, ketika seekor lembu jantan menendang perutnya di pertandingan rodeo tahunan kotanya. Sekujur tubuhnya menggigil.

“Daphne?” Bibir David membentuk nama itu tanpa suara. Ekspresi bingung terbentuk di wajah anak itu, dan David memaksa lidahnya untuk mengucapkannya lagi. “Daphne?” ulangnya, bertanya-tanya kenapa ia membuat kata itu terdengar seperti pertanyaan. Tidak ada keraguan lagi. Anak ini memiliki tanda Paxton di setiap jengkal tubuhnya. “Daphne,” ucap David lagi dengan suara mendesah, seolah semua udara di dalam tubuhnya keluar melalui mulutnya.

Mata anak itu melebar. Mulutnya yang kecil sempurna membulat penuh ketakjuban ketika ia mendongak dan memandang wajah David. “Papa?” tanyanya dengan tidak percaya.

Oh, Tuhan. Papa. David bukan pria yang gampang menangis karena hal sepele, tapi matanya terasa panas ketika ia memandang putri kecilnya. Putrinya. Tidak ada keraguan lagi. Lututnya goyah. Kepalanya terasa berputar-putar. Ribuan perasaan menghantamnya. Tenggorokannya tersumbat, dadanya sakit, dan dorongan untuk menarik Daphne ke dalam pelukannya dan tidak akan melepaskan anak itu lagi begitu kuat sampai-sampai ujung jarinya berdenyut.

Tapi, tidak. Kalau ia menyentuh Daphne, ia mungkin akan membuat anak itu takut. Ia menunduk dan memandang ke dalam mata biru yang jernih itu, yang sekarang terpaku pada wajahnya. Gelombang rasa malu yang memuakkan membuncah di dalam dirinya, menekan dadanya sehingga jantungnya terasa seperti mau meledak. Oh Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Tak perlu diragukan lagi, anak ini adalah anaknya, dan selama ini ia telah mengabaikan anaknya. David setengah berharap akan ada petir yang menyambarnya dari langit dan membunuhnya, karena sudah pasti, memiliki anak dan mengabaikan anak itu merupakan salah satu urutan teratas dalam daftar perbuatan tercela. Ia tak ingat pernah berhubungan intim dengan ibu anak ini, tapi kemiripan keluarga yang disandang anak itu terlalu jelas untuk disangkal.

Potongan-potongan dari surat Daphne berputar-putar di benak David –permintaan agar ia mau mengirimkan uang hanya untuk membeli satu pakaian baru, cerita bahwa terkadang anak itu memakan makanan dari tong sampah, dan permohonan Daphne yang berulang-ulang agar ia mengunjungi anak itu. Sepanjang hidup, Daphne tidak memiliki ayah, dan telah menderita karenanya, dan itu bukan kesalahan siapa pun selain kesalahannya, pikir David. Saat itu juga, ia membuat janji bisu kepada dirinya sendiri kalau Daphne tidak akan pernah kekurangan lagi.

David berusaha untuk bicara, tapi suaranya tak berhasil keluar. Mungkin begini lebih baik. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Ia hanya memandang Daphne, memperhatikan setiap detail anak itu. Daphne sangat cantik dalam gaun merah mudanya yang indah, yang bermotif kelopak bunga mawar dengan nuansa warna yang lebih tua dan tepiannya dihiasi pita dan renda. Kakinya yang kecil terbungkus sandal kulit mengilap. Seutas pita sutra, diikat dengan kencang dipuncak kepalanya yang pirang, berkibar tertiup angin.

Tepat pada saat itu, rambut ikal Daphne bergeser dan memperlihatkan bagian samping lehernya. Di sana David melihat noda kecil berwarna merah stroberi, yang merupakan tanda lahir Paxton, diwariskan dari sisi ibunya secara turun temurun. Kalau tadi masih ada keraguan yang tersisa, maka tanda itu menghapuskannya. Semua anak di keluarganya lahir dengan tanda itu. Seiring berjalannya waktu, kulit David telah menggelap akibat terkena paparan sinar matahari, tapi tanda lahirnya masih tampak. Taidak ada keraguan lagi. Darahnya mengalir di dalam pembuluh anak ini.

David menurunkan badannya dan berlutut, yang membuatnya sejajar dengan anak perempuan itu. “Well, well,” akhirnya ia berhasil mengucapkan sesuatu. “Bukankah ini saat yang penuh dengan kemaslahatan.” Ia memungut koin itu, memegangnya di depan hidung Daphne yang mungil dan berbintik-bintik. “Dan kita menemukan sebuah koin keberuntungan bagi kita berdua. Itu pertanda bagus. Bukankah begitu menurutmu?”

Mata Daphne berbinar, bibirnya bergetar ketika ia berkata, “Apakah kemals... emm... kata sulit yang baru kau ucapkan itu... apakah itu artinya kau papaku?”

David sadar, dengan mengabaikan anak ini selama bertahun-tahun, ia sudah melakukan dosa besar. Ia tidak akan menambah kesalahannya lagi dengan berbohong kepada anak ini. “Benar,” bisiknya dengan suara yang menjadi serak karena emosi. “Aku Papamu, atau namaku bukan David Paxton.”

Mata Daphne mengerjap dan mengangguk. “Oh.” Tiba-tiba ia terlihat malu dan mengalihkan tatapannya dari David untuk memandang koin yang ada di depannya. “Aku tidak tahu koin bisa membawa keberuntungan.”

David mengumpulkan semua kendali dirinya, menelan ludah dengan susah payah untuk menjaga suaranya agar tidak goyah, lalu menimpali, “Kau belum pernah mendengar tentang koin keberuntungan? Sayang, ini adalah koin yang paling penuh keberuntungan yang akan pernah kita temui dalam hidup kita. Koin ini mempertemukan kita, bukan begitu?”

Lesung pipit menghiasi wajah Daphne, membuat David teringat pada ibunya sehingga ia mengerjapkan matanya lagi untuk mengusir air matanya. Dory akan sangat bersuka cita kalau tahu ia punya satu cucu perempuan lagi. Dan, oh, gigi depannya yang ompong membuat anak ini sangat menis dan membuat David ingin menyeringai. Namun sebelum seringai itu sempat terbentuk, rasa kehilangan menyapu David. Dorry menyimpan semua gigi susu anak-anaknya. Gigi David sendiri ditempelkan ke kertas lusuh pada sebuah buku kliping berjudul David. Apa yang telah terjadi pada gigi Daphne? Kehilangan gigi untuk pertama kalinya adalah kejadian besar dalam kehidupan anak-anak. Apakah Daphne menggoyang-goyangkan gigi itu sampai lepas dengan lidahnya? Atau karena ia menggigit apel? David bisa ingat dengan jelas dirinya dulu berdiri dengan seutas benang terikat di gigi pertamanya yang longgar, sementara ujung benang yang satu lagi diikat ke kenop pintu. Waktu itu kakinya gemetar di celananya karena Ace dan Joseph terus menerus mengatakan, “Banting pintu itu, David. Jangan jadi pengecut.”

“Yang benar saja,” sahut Daphne.

David tersentak kembali ke masa kini tapi tak bisa mengingat apa yang sedang mereka bicarakan.

“Kepala kita hampir bertabrakan karena koin itu!” seru Daphne. “Kau seharusnya senang karena kepala kita tidak terbentur.” Sambil terkikik, ia menambahkan, “Mama bilang kepalaku lebih keras dari batu.”

David tertawa. “Well, kurasa kau mendapat itu dariku. Sudah banyak orang yang bilang ada batu di antara telingaku.”

David menumpukan berat badannya ke tumitnya, samar-samar sadar kalau lalu lintas di jalan itu sepi dan bersyukur karenanya. Ia harus terbatuk untuk membersihkan tenggorokannya dulu sebelum melanjutkan. “Biasanya, cerita tentang koin itu seperti ini, ‘Temukan sebuah koin, ambil koin itu, dan sepanjang hari kau akan mendapatkan keberuntungan.’ Dan aku bisa mengatakan kepadamu dari pengalaman pribadiku kalau itu benar. Koin tua mana pun bisa jadi mengundang keberuntungan kalau kau menemukannya dan memungutnya, tapi dalam kasus seperti itu, keberuntungannya hanya untuk satu hari.” Ia menyentuhkan koin yang berkilauan itu ke ujung hidung Daphne. “Tapi, ini bukan koin keberuntungan yang biasa.”

“Oh, ya?”

“Ya,” David meyakinkan Daphne. “Yang satu ini adalah koin yang penuh keberuntungan karena aku dan kau menemukannya bersama-sama. “Ia membalik koin itu agar permukaannya memantulkan cahaya matahari yang terbenam. “Kau lihat itu? Koin ini bahkan mengedip pada kita. Kita menemukan harta karun.”

“Apa yang akan kita lakukan pada koin ini?” tanya Daphne, suaranya terdengar agak takjub.

“Kita akan menyimpanannya dengan aman untuk digunakan di masa depan. Sekarang, kau yang simpan.” Ia meletakkan koin itu ke dalam tangan Daphne. “Kapan pun kita dalam kesulitan atau sangat menginginkan sesuatu yang penting, kita akan membuat permohonan pada koin itu, dan permohonan kita akan terkabul.”

Daphne mendorong koin itu kembali kepada David. “Kalau begitu, lebih baik kau saja yang menyimpannya. Aku suka jajan, dan jika aku menemukan uang, aku akan menghabiskannya untuk membeli permen. Mungkin nanti tak sengaja akan membelanjakan koin keberuntungan kita.”

David menerima koin itu dan memasukkannya ke dalam saku kemejanya, di mana ia tidak pernah memasukkan uang receh. “Kau benar. Kita tidak bisa mengambil risiko tak sengaja membelanjakan koin ini. Aku akan membuat lubang di koin ini sehingga kita bisa memasukkan rantai atau tali kulit. Dengan cara itu, kita bisa menggunakannya sebagai kalung, dan kita berdua akan selalu tahu kalau ini adalah koin keberuntungan kita. Setuju?”

Daphne mengangguk dan menyorongkan tangannya yang kecil untuk berjabat. Ketika David membungkus jari-jari kecil itu ke dalam tangannya sendiri, hatinya sakit. Entah bagaimana, jabatan tangan itu berubah menjadi pelukan, awalnya ragu-ragu, tapi menjadi sangat erat. David harus mengurangi kekuatannya karena takut akan melukai anak itu. Daphne melingkarkan lengan kurusnya ke sekeliling leher David, “Kukira kau tidak akan pernah datang, Papa. Aku berdoa dan berdoa, tapi tidak pernah terkabul. Kupikir mungkin...” Tubuh Daphne tersentak. “Kupikir mungkin kau tidak cukup mencintaiku untuk datang ke sini.”

David merasa seolah baru saja menegak cairan asam, yang membuat kerongkongannya terasa sepeerti terbakar oleh api. Ia tak bisa langsung menjawab anak itu. Ketika akhirnya ia mendapatkan kembali suaranya, suara itu terdengar seperti pisau yang digesekkan di atas ampelas, “Oh, Sayang, tidak. Bagaimana mungkin ada ayah yang tidak mencintai gadis kecil sepertimu? Aku tidak datang lebih cepat karena aku tidak pernah mendapatkan surat-suratmu. Surat-surat itu tertahan di kantor pos Denver, dan aku baru mendapatkannya sekitar sebulan lalu.”

“Apakah itu waktu kau mengirimiku uang untuk baju baru?”

David memutar kepalanya sehingga wajahnya terbenam dalam rambut ikal emas Daphne dan menghirup aromanya yang manis. Ketika ia memikirkan tahun-tahun yang telah dilewatkannya, semua pelukan yang tidak akan pernah dirasakannya, ia merasa mual. Ia pantas untuk ditendang sampai ke san Francisco. “Ya, Little Princess.”

Daphne menarik diri untuk berputar di hadapan David. “Kau mengirim banyak sekali sehingga Mama membuatku tiga gaun untukku, ditambah satu baju biasa untuk dipakai setelah pulang dari sekolah. Aku juga mendapatkan dua pasang sepatu, pakaian dalam, lalu mantel musim dingin dan sarung tangan! Dulu, anak-anak perempuan lainnya tidak mau bermain denganku dan mengejek pakaianku. Sekarang Mama bilang aku mengalahkan mereka semua.”

“Aku yakin sekali.” Memandang gadis kecil itu, David hanya bisa mengatakan kalau ia belum pernah melihat anak yang lebih cantik lagi. “Pakaianmu indah sekali.”

“Kau suka? Aku yang memilih kainnya. Dan Mama memilih hiasannya. Kemudian dia begadang semalaman membuatkannya untukku. Aku menemukan sebuah gambar di harian berkala tentang  fashion, dan dia membuatkan bajuku persis seperti itu.”

David bertanya-tanya apakah semua anak enam tahun mengatakan sesuatu seperti  harian berkala. Entah putrinya terlalu cerdas atau anak ini terbiasa mendengar kata-kata sulit. Dengan berlebihan, David mengagumi baju Daphne. “Bajumu luar biasa. Mamamu sungguh penjahit yang hebat.”

“Dia yang paling hebat.” Daphne memeluk pinggangnya dan tersenyum dengan wajah yang berseri-seri. “Biasanya sepulang sekolah aku harus menggantinya dengan baju bermainku, tapi hari ini istimewa.”

“Oh, ya?”

Daphne tersenyum lebar lagi. “Sekarang May Day.”

Terlalu lama dalam perjalanan, David sudah tidak tahu lagi hari itu tanggal berapa. “Demi Tuhan, kurasa kau benar. Sekarang May Day, ya?”

“Ya! Dan sekolahku mengadakan pertunjukan malam ini di gereja untuk merayakannya. Hanya dua anak perempuan di kelasku yang dipilih untuk melakukan deklamasi solo, dan aku salah satunya. Karena itulah aku masih memakai baju sekolahku yang istimewa. Aku harus terlihat cantik.”

Daphne berputar lagi, begitu bangga akan gaunnya sehingga ia hampir saja menghancurkan hati David. Demi Tuhan, ini adalah putrinya, pikir David. Seharusnya anak ini memiliki selemari penuh gaun-gaun indah.

Daphne berhenti berputar untuk berkata, “Mama akan kaget sekali melihatmu!”

David merasa komentar itu sangat tepat. Bagaimanapun juga, ia datang tanpa pemberitahuan. Melalui surat-ucapan-terima-kasih, dengan jelas Brianna ingin mengakhiri hubungan mereka, itupun kalau bisa disebut sebagai hubungan. Membayangkan seperti apa kira-kira reaksi wanita itu –sejauh yang diketahuinya, Brianna bisa saja seorang wanita pemberang –David memutuskan pertemuan mereka sebaiknya dilakukan tanpa dihadiri Daphne. David berbidi, merogoh saku celana panjangnya, lalu meletakkan beberapa koin di tangan Daphne. Mata Daphne membelalak sampai sama bulatnya dengan koin yang ada di telapak tangannya yang terbuka.

“Untukku?”

David terkekeh. “Sedikit uang jajan. Hanya saja jangan menghabiskan semuanya hari ini. Kalau kau sakit perut, mamamu mungkin akan menggunduli kepalaku.”

Daphne mengepalkan jari-jarinya di sekitar koin itu. “Aku bisa membelanjakannya lain kali, Papa. Boleh aku menunjukkan kepadamu di mana Mama bekerja? Dia pasti akan senang sekali melihatmu.”

Kita lihat saja nanti, pikir David. Ia melirik jalan itu, lalu memandang anaknya lagi. “Ini bukan kota besar, Pumpkin. Aku bisa menemukan toko itu tanpa bantuanmu. Pergilah. Tidak setiap hari Papamu datang dan memberikanmu uang jajan.”

Daphne tampak bimbang. Mata birunya tidak berhenti menatap David. “Bagaimana kalau kau pergi saat aku tidak ada?”

“Aku tidak akan pergi.” David ingin sekali memberitahu Daphne bahwa sekarang, setelah mereka bertemu, dia tidak akan meninggalkan anak itu lagi. Tapi sampai ia mendiskusikan masalah ini dengan ibu Daphne, ia tidak bisa membuat janji yang tidak pasti. “Kita akan bertemu lagi, Sayang. Aku janji.”

Jelas sekali Daphne enggan untuk meninggalkan David. Bibir bawah Daphne mulai bergetar. Ketika David menunduk untuk memandang Daphne, ia berpikir, Oh, persetan dengan semuanya. Dan ia pun menarik anak itu ke dalam pelukannya. Seperti monyet kecil yang pernah dilihat David dalam pertunjukkan di San Francisco, Daphne melingkarkan tungkainya yang kurus ke pinggang David dan bergantung di lehernya. David mencium pelipis Daphne, dan hampir membuat potinya jatuh ketika melakukan itu.

“Kau benar,” bisik David. “Permen itu bisa menunggu.”

“Aku mencintaimu, Papa,” Daphne balas berbisik. Bahunya tersentak oleh isak tangis. “Aku senang sekali kau menerima suratku dan akhirnya datang menemuiku.”

Lengan Daphne yang memeluk erat, kata-kata yang mencekik, serta bagaimana tubuh anak itu gemetar di tubuhnya hampir membuat lutut David tertekuk. Daphne telah lama sekali menunggu kedatangannya, dan selama itu, ia bahkan tidak sadar kalau anak itu ada di dunia ini. Air mata meluncur dari matanya yang terpejam rapat, mengalir di pipinya dan menjadi dingin akibat terkena angin. Ia merasakan kelembapan di lehernya juga dan tahu Daphne sedang menangis bersamanya. Anak itu terasa begitu pas di dalam pelukannya. Berat badan Daphne adalah bebean yang tak pernah dirindukannya, tapi sekarang ia merasa akan mati kalau ia melepaskan anak itu. Ia tak ingat sudah berapa lama ia berdiri di sana, memeluk putrinya –seorang anak perempuan cantik yang tidak pernah diketahuinya.

Jadi, begini rasanya menjadi seorang ayah. David telah menyaksikan Ace dan Joseph bertingkah seperti idiot saat pertama kali mereka menggendong bayi mereka. Sekarang akhirnya ia mengerti. Anak ini merupakan bagian dari dirinya, darah dagingnya. Cinta itu datangnya seketika dan mengalir begitu dalam sampai rasanya hampir menakutkan. David mencintai keluarganya, ia sungguh sungguh mencintai mereka, tapi perasaan ini berbeda. Dalam perjalanan ke kota ini, berulang kali ia berharap akan mendapat jawaban kalau Daphne bukan putrinya –bahwa ia akan bebas untuk pulang ke rumah pada keesokan paginya dan melanjutkan kehidupannya yang nyaman tanpa anak atau istri yang  tidak diinginkan dan bisa mengacaukan rencananya. Sekarang ia tidak bisa membayangkan dirinya meninggalkan Daphne di kota yang lusuh ini. Tidak akan. Sejak saat ini, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi Daphne –kalau perlu, dengan nyawanya sendiri –dan tak bisa melakukan itu apabila mereka kembali terpisah.

Sebuah kereta kuda berbelok ke jalan utama, menyentakkan David kembali ke dunia nyata. Walau tidak suka melepaskan pelukannya dari Daphne, ia mundur ke atas serambi kayu.

“Jangan tinggalkan aku! Jangan pernah lagi, Papa. Kumohon... aku anak yang baik. Aku sungguh-sungguh.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Sayang.” Ketika David mengucapkan kata-kata itu, ia tahu itu adalah janji yang perlu dibuatnya, dan itu juga janji yang akan ditepatinya. Ini adalah anaknya. Anak ini tidak akan pernah memakan sisa-sisa makanan dari tong sampah lagi. Terserah apakah ibunya mau menerima itu, atau David akan bertarung dengan wanita itu di pengadilan untuk memperebutkan hak asuh. “Tidak perlu lagi berharap. Mulai saat ini, aku akan menempel denganmu seperti kutu yang menempel ke leher anjing.”

Daphne mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata dari bahu David. Bulu matanya yang lembap membentuk jarum-jarum gelap, membingkai matanya yang biru. “Apakah itu artinya menempel sangat erat?”

David tertawa di sela air matanya. Ia sadar kalau sekujur tubuhnya bergetar. Putri kecilnya. Oh Tuhan, putrinya. Ia tidak pernah akan menepuk punggung Daphne untuk membuat anak itu bersendawa atau mengganti popok Daphne. Ia tidak akan pernah menemani Daphne ketika anak itu terkena kolik. Ia mungkin telah melewatkan demam, cacar, dan hanya Tuhan yang tahu apa lagi. Well, terkutuklah dirinya kalau sampai melewatkan yang lain. Mulai sekarang ketika Daphne sakit, ia akan ada di samping anak ini. Ketika Daphne ketakutan, ia akan menemani anak itu. Ketika Daphne membutuhkan apa pun, demi Tuhan, ia akan ada.

“Daphne, apa kau pernah melihat leher anjing pemburu?”

Kening Daphne berkerut ketika ia berpikir. David pernah melihat ibunya seperti itu ketika sedang berusaha memutuskan tanaman apa yang digunakan untuk menyembuhkan suatu penyakit. “Kebanyakan orang hanya punya anjing gembala.”

Well, kulit di keher anjing pemburu itu berlipat-lipat agak mirip dengan gorden. Ketika kutu menempel ke leher anjing itu, satu-satunya cara untuk membuatnya pergi adalah membakar pantatnya dengan korek api. Mereka menempel sekuat itu.”

Tawa Daphne meledak. “Jauh-jauhlah dari korek api, Papa. Kalau kau meninggalkanku lagi, aku akan sedih sekali.”

David menyeringai dan mendorong pelan anak itu. “Sayang, Lucifer sendiri bisa membakar pantatku sekarang, dan satu-satunya yang akan kulakukan adalah menari-nari memutarimu. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu.”



Synopsis

3 komentar: